Membantu Sesama

MAHA Suci Allah yang karena izin-Nya kita masih bernafas hingga hari ini. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Al Amin, Muhammad Rasulullah Saw.

Saudaraku, barangkali kita pernah mengalami saat orang lain memuji dan menyanjung kita karena prestasi yang kita raih. Kemudian, kita pun merasa senang karenanya. Maka, sadarilah saudaraku, bahwa yang prestasi yang kita raih itu syariatnya karena keterlibatan orangtua kita, guru-guru kita, atau siapa saja yang sedikit banyak telah membantu kita. Atas perantara jasa dan bantuan merekalah prestasi itu kita raih.

Kesuksesan bukanlah sukses diri sendiri, melainkan ketika kita bisa mensukseskan orang lain. Dalam konsep 7B (kiat menjadi pribadi sukses) terdapat B yang ke enam yaitu bantu sesama.

Kita disebut sukses jikalau mendapat rezeki, maka kita berbagi demi membantu orang lain agar ia pun mendapat rezeki. Ketika kita berilmu, kemudian kita berbagi agar orang lain pun memahami ilmu. Kesuksesan sejati adalah ketika kita bisa menjadi manfaat bagi orang lain, meringankan bebannya, menutupi kekurangannya, meski keadaan kita pun sederhana saja.

Karena itulah Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa menghilangkan kesulitan dari seorang muslim dari kesulitan-kesulitan dunia, maka Allah akan menghilangkan darinya kesulitan-kesulitan pada hari kiamat. Allah akan selalu menolong seseorang selama ia menolong orang lain.” (HR. Muslim, Ahmad, Tirmidzi).

Kesuksesan kita bukan diukur dari banyaknya pujian orang lain kepada kita. Andaikata ada seseorang yang merasa sukses padahal baru dirinya sendirian yang sukses, maka dia sebenarnya belum sukses. Maka dari itu, tingkatkanlah kemampuan agar semakin banyak orang yang bisa kita bantu.

Kiatnya, cobalah buat pemetaan. Pertama, mulailah dari keluarga dan kerabat dekat. Perhatikan siapa saja yang perlu dibantu. Siapa di antara mereka yang sekolahnya tidak lancar. Siapa yang kesulitan membayar sewa rumah. Siapa yang memerlukan pekerjaan.

Keduakemudian lakukan hal yang sama pada tetangga. Amatilah siapa di antara mereka yang perlu dibantu. Siapa yang perlu biaya kuliah. Siapa yang sudah jompo namun keluarganya tak mampu merawatnya. Siapa yang membutuhkan pekerjaan.

Jangan sampai kita sekali makan ratusan ribu, punya mobil seharga ratusan juta, tapi ada saudara atau tetangga kita yang tak bisa makan, tak bisa membayar uang sekolah, apalagi membeli rumah.

Tak kalah penting juga untuk memperhatikan lingkungan kerja kita. Jangan sampai kita menggunakan aksesoris mahal, tapi karyawan kita penghasilannya seret. Dukunglah mereka untuk memiliki kualitas diri yang lebih baik lagi.

Membantu sebaiknya dengan cara memberdayakan. Kita ingin memberi makan seseorang, jika hanya diberi ikan sekali, maka bisa langsung habis. Namun, jika diberi alat pancing sedangkan dia tak tahu cara memancing, maka tak ada manfaatnya. Karenanya, selain memberinya ikan dan alat pancing, berilah ilmu agar dia bisa memancing, hingga akhirnya mampu mendapatkan ikan secara mandiri.

Alangkah baiknya jika bantuan yang kita beri adalah bantuan yang bermanfaat secara berkesinambungan, hingga yang dibantu makin meningkat kemampuannya. Misalnya dengan dikursuskan dan dimagangkan. Atau, kalau kita berinvestasi, sebaiknya dengan bagi hasil. Walau keuntungannya tak begitu banyak, tapi kita bisa menolong banyak orang mendapatkan pekerjaan.

Kita sering merasa bahwa rezeki itu apa yang kita dapatkan, padahal menolong orang lain juga rezeki. Misalnya saat berbelanja, belilah kepada pedagang yang paling sederhana dan tak usah menawarnya jika memiliki kelebihan uang. Rasulullah Saw. bukan hanya tak menawar, bahkan menambahinya.

Semoga kita menjadi manusia-manusia yang senantiasa bersemangat membantu sesama tanpa pamrih. Semata-mata hanya mengharap ridha Allah Swt. Bukan hanya bantuan yang konsumtif, namun juga dengan bantuan yang memberdayakan. Jika semua orang memiliki semangat yang demikian, maka cita-cita menjadi bangsa yang memiliki kemandirian, tidak akan hanya menjadi harapan semata. Aamiin yaa Robbal aalamiin.[smstauhiid]

 

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

 

Cinta Pada Diri Sendiri!

Setiap manusia, lelaki ataupun wanita, orang tua maupun remaja, orang yang bertakwa ataupun yang berpaling, semuanya pasti memiliki rasa cinta pada dirinya.

Setiap insan pasti ingin menjaga diri serta kehormatannya. Tanpa adanya rasa cinta pada diri sendiri, maka manusia tidak akan maju dan berkembang.

Semua manusia memiliki rasa cinta pada diri mereka, namun setiap dari mereka memiliki perbedaan dalam bentuk kecintaan pada diri masing-masing.

Tipe pertama mencintai dirinya berdasarkan akal sehat dan nalurinya.

Bentuk kecintaan semacam ini akan mewujudkan sikap yang terarah dan memberi hasil yang positif. Ia tidak akan mengganggu hak orang lain, ia akan menerima ketentuan dan pembagian Allah atas dirinya bahkan ia rela untuk berkorban dan mendahulukan orang lain. Karena manusia dengan tipe pertama ini meyakini bahwa pengorbanannya untuk orang lain adalah bentuk mencintai diri sendiri, karena kelak manfaatnya akan kembali kepada dirinya.

Tipe kedua mencintai diri dengan mengalahkan akal dan nalurinya.

Cinta semacam ini akan membawa seseorang menjadi manusia yang bengis dan keji. Hatinya dipenuhi dengan rasa tamak untuk memuaskan hawa nafsunya.

Ia tidak memikirkan siapapun kecuali dirinya sendiri dan tidak ingin memberi manfaat kecuali untuk dirinya sendiri.

Tipe semacam ini hatinya telah tertutup sehingga tidak bisa lagi tertembus oleh nasihat ataupun peringatan.

Inilah yang digambarkan oleh Al-Qur’an dalam firman-Nya :

لَهُمۡ قُلُوبٞ لَّا يَفۡقَهُونَ بِهَا وَلَهُمۡ أَعۡيُنٞ لَّا يُبۡصِرُونَ بِهَا وَلَهُمۡ ءَاذَانٞ لَّا يَسۡمَعُونَ بِهَآۚ أُوْلَٰٓئِكَ كَٱلۡأَنۡعَٰمِ بَلۡ هُمۡ أَضَلُّۚ

“Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi.” (QS.Al-A’raf:179)

Tipe kedua ini selalu ada di setiap zaman. Sebagaimana di zaman Rasulullah saw kita akan menyaksikan bagaimana kecongkakan dan kekejian mereka yang ingin memuaskan diri tanpa memikirkan orang lain.

Mereka mau menerima ajaran Nabi saw asalkan dengan memenuhi syarat-syarat yang sesuai dengan nafsu duniawi mereka.

وَقَالُواْ لَن نُّؤۡمِنَ لَكَ حَتَّىٰ تَفۡجُرَ لَنَا مِنَ ٱلۡأَرۡضِ يَنۢبُوعًا – أَوۡ تَكُونَ لَكَ جَنَّةٞ مِّن نَّخِيلٖ وَعِنَبٖ فَتُفَجِّرَ ٱلۡأَنۡهَٰرَ خِلَٰلَهَا تَفۡجِيرًا – أَوۡ تُسۡقِطَ ٱلسَّمَآءَ كَمَا زَعَمۡتَ عَلَيۡنَا كِسَفًا أَوۡ تَأۡتِيَ بِٱللَّهِ وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ قَبِيلًا – أَوۡ يَكُونَ لَكَ بَيۡتٞ مِّن زُخۡرُفٍ أَوۡ تَرۡقَىٰ فِي ٱلسَّمَآءِ

Dan mereka berkata, “Kami tidak akan percaya kepadamu (Muhammad) sebelum engkau memancarkan mata air dari bumi untuk kami, atau engkau mempunyai sebuah kebun kurma dan anggur, lalu engkau alirkan di celah-celahnya sungai yang deras alirannya, atau engkau jatuhkan langit berkeping-keping atas kami, sebagaimana engkau katakan, atau engkau datangkan Allah dan para malaikat berhadapan muka dengan kami,atau engkau mempunyai sebuah rumah (terbuat) dari emas, atau engkau naik ke langit.” (QS.Al-Isra’:90-93)

Mereka ingin Rasulullah saw memiliki dan mengabulkan semua keinginan dan nafsu duniawi mereka. Namun apapun yang mereka minta sebenarnya itu semua karena kecintaan yang salah kepada diri sendiri. Nafsu telah menyelimuti hati mereka sehingga cahaya kebenaran tak bisa lagi menembus hatinya.

Semoga bermanfaat.

 

KHAZANAHALQURAN

Abu Lahab, Paman Nabi SAW yang Dilaknat Allah

Dukungan tidak selalu datang dari seluruh keluarga terdekat. Hal itu pula yang dialami Rasulullah SAW. Ketika menerima risalah kenabian, beliau SAW justru merasakan permusuhan dari pamannya sendiri yang bernama Abu Lahab.

Abu Lahab bin Abdul Muthalib bin Hasyim merupakan salah satu paman Nabi SAW. Nama aslinya adalah Abdul Uzza. Lahab berarti ‘yang menyala-nyala.’ Sebutan itu disematkan karena waktu kecil dia dikenal dari wajahnya yang tampak cerah.

Allah SWT melaknat Abu Lahab. Namanya bahkan diabadikan melalui surah al-Lahab yang terdiri atas lima ayat. Asbabun nuzul surah itu diterangkan Imam Bukhari yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas.

Konteksnya adalah sesudah Nabi SAW menerima wahyu pertama. Awalnya, beliau SAW melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi. Selang waktu kemudian, turun surah asy-Syu’ara’ ayat ke-214 yang artinya, “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” Maka, beliau SAW pun mulai menyebarkan risalah Islam secara terbuka.

“Suatu hari, Rasulullah SAW naik ke atas bukit Shafa lalu memanggil orang-orang Quraisy untuk berkumpul. Pada saat mereka telah berkumpul, Rasulullah lalu berkata, ‘Sekiranya saya sekarang mengatakan kepada kalian bahwa pasukan musuh akan menyerang kalian di pagi ini atau sore ini, apakah kalian akan mempercayainya?’

Mereka serentak menjawab, ‘Ya.’

Rasulullah SAW lalu berkata, ‘Sesungguhnya saya sekarang memberi peringatan kepada kalian terhadap akan datangnya azab yang pedih.’

Mendengar ucapan Nabi SAW tersebut, Abu Lahab langsung menyahut, ‘Celaka engkau, apakah hanya untuk menyampaikan hal ini engkau mengumpulkan kami!?’

Allah SWT melalui Jibril AS lalu menurunkan ayat ini (surah al-Lahab) kepada Nabi SAW.”

Surah al-Lahab sendiri secara harfiah berarti ‘gejolak api’ atau ‘sabut.’ Pada ayat keempat dan kelima, disebutkan firman Allah SWT yang artinya: “Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar”, “Yang di lehernya ada tali dari sabut.”

Maknanya, istri Abu Lahab kelak juga akan merasakan siksa api neraka. Riwayat Ibnu Jarir yang sampai pada Yazid bin Zaid menyebutkan, suatu ketika istri Abu Lahab menebarkan duri-duri ke jalan yang biasa dilalui Nabi SAW. Tidak lama kemudian, turunlah surah al-Lahab, ayat kesatu hingga keempat.

Untuk diketahui, surah al-Lahab turun 10 tahun sebelum matinya Abu lahab. Karena itu, banyak ulama yang berpendapat, turunnya firman Allah SWT itu sebagai salah satu mukjizat.

Kematian Abu Lahab terjadi setelah Perang Badar. Waktu itu, dia tidak mengikuti pertempuran tersebut. Dengan menyetor 4.000 dirham, dia meminta seorang temannya, al-Ashi bin Hisyam, untuk menggantikannya di medan perang.

Perang Badar berakhir dengan kekalahan yang memalukan dari pihak musyrikin Quraisy. Sepekan setelah itu, Abu Lahab menderita sakit parah. Dia pun meregang nyawa dan tewas.

Jasadnya diabaikan orang-orang tiga hari berturut-turut. Bau busuk menyeruak. Para tetangganya memutuskan untuk menggali sebuah lubang besar dan memasukkan mayat Abu Lahab ke dalam boks kayu. Dimasukkanlah peti kayu dan isinya itu ke dalam lubang tersebut.

Cara menguburkannya begitu merepotkan. Orang-orang tidak tahan dengan bau busuk yang keluar dari jasad Abu Lahab, sehingga mereka memasukkan peti tadi dari kejauhan. Sesudah itu, lubang tadi dilempari dengan kerikil dan tanah sampai rata. Demikianlah akhir hayat sang penentang dakwah Nabi SAW.

REPUBLIKA

Haruskah Cuci Pembalut Haid sebelum Dibuang?

PADA dasarnya tidak ada ketentuan bagi wanita yang haidh untuk membersihkan pembalut yang digunakan sebelum membuangnya. Sebab fungsi pembalut itu bukan semata-mata sekedar menampung keluarnya darah, tetapi juga untuk menjaga kebersihan seorang wanita. Jadi kalau kemudian pembalut itu menjadi kotor dengan darah, tentu tidak perlu lagi dibersihkan. Pembalut itu bisa langsung dibuang, karena memang dibuat dan dirancang untuk sekali pemakaian.

Kira-kira fungsinya seperti kertas tissue yang hanya sekali pakai. Apa pernah ada orang menggunakan kertas tissue berkali-kali, dipakai lalu dibersihkan lagi, lalu dipakai lagi? Tentu tidak pernah, bukan? Sebab kertas tissue itu memang dirancang oleh penemunya untuk pemakaian sekali saja lalu dibuang. Kalau masih penasaran, kita bisa ambil perbandingan dengan prilaku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat berisitinja’ dengan batu.

Di dalam ilmu fiqih, istilah yang lazim digunakan adalah istijmar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah memerintahkan umatnya untuk membersihkan batu-batu yang telah digunakan untuk beristinja’, bukan? Perintahnya hanya sekedar menggunakan batu saja, tapi tidak diikuti dengan perintah untuk membersihkan batu itu setelah dipakai. Dan logikanya bisa kita pakai dalam kasus pembalut wanita itu. Di mana salah satu fungsinya adalah untuk membersihkan kotoran atau darah wanita. Sekali pakai dan silahkan dibuang.

INILAH MOZAIK

Jamaah yang Sudah Berhaji Kena Biaya Visa Progresif

Arab Saudi memberlakukan biaya visa haji secara progresif berlaku bagi jamaah yang kembali berhaji di tahun ini.

“Sesuai ketentuan dan sistem imigrasi Arab Saudi, jamaah yang sudah berhaji akan terkena biaya visa progresif. Tahun ini biayanya dibebankan kepada jamaah haji yang bersangkutan,” kata kata Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Nizar Ali, Jumat (1/3).

Dia mengatakan visa progresif sejatinya sudah diberlakukan bagi jamaah Indonesia pada 2018 tapi biaya ditanggung melalui dana tidak langsung (indirect cost) hasil optimalisasi dana setoran awal jamaah calon haji.

Mulai 2019, Nizar mengatakan biaya visa progresif dibayar sendiri oleh jamaah bersangkutan sebagaimana keputusan pemerintah bersama Komisi VIII DPR RI.

Adapun nilai biaya visa progresif sebesar dua ribu Riyal Saudi atau sekitar Rp7,6 juta. Biaya visa tersebut dibayar bersamaan dengan pelunasan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji.

Kemenag, kata dia, segera mengindentifikasi jamaah yang akan kembali berhaji melalui basis data Siskohat Kemenag yang dicocokkan dengan e-Hajj milik Saudi.

“Ada kemungkinan, jamaah dalam data Siskohat belum berhaji tapi di data e-Hajj sudah pernah sehingga harus membayar visa progresif. Jika ada yang seperti itu, maka jamaah akan diminta membayarnya setelah visanya keluar. Jika tidak visanya dibatalkan,” kata dia.

Nizar mengatakan tahun ini biaya pembuatan paspor juga menjadi tanggung jawab pribadi jamaah haji. Dengan begitu, tidak ada penggantian biaya pembuatan paspor yang selama ini dilakukan saat jemaah masuk asrama haji.

“Banyak jamaah haji yang telah memiliki paspor sebelumnya sehingga penggantian biaya paspor dianggap sudah tidak relevan,” katanya.

 

IHRAM REPUBLIKA

Yuk Biasakan Anak Perempuan Berhijab dari Kecil

BERDASARKAN firman Allah Ta’ala dalam QS. An-Nur ayat 31, yang artinya:

“Katakanlah kepada wanita-wanita beriman: Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) tampak daripadanya.”

Juga dalam QS. Al-Ahzab ayat 59 yang artinya:

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: Hendaklah mereka menjulurkan khimarnya (jilbab) ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar supaya mereka lebih mudah untuk dikenali, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:

“Ada dua macam golongan penghuni neraka yang belum pernah aku lihat sebelumnya: Sekelompok laki-laki yang menggenggam cambuk seperti ekor sapi, mereka mencambuk manusia dengannya. Dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang dan berlenggak lenggok. Di kepalanya ada sesuatu seperti punuk unta. Mereka itu tidak akan masuk surga dan tidak juga mencium baunya surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu bisa tercium dari jarak yang sangat jauh.” (HR. Muslim)

Perintah hijab diwajibkan bagi wanita yang sudah akil baligh, akil baligh pada anak perempuan ditandai dengan keluarnya darah haid. Tetapi alangkah baiknya pembiasaan menggunakan hijab sejak maka kanak-kanak agar ketika kewajiban telah sampai kepadanya, yaitu telah akil baligh maka berhijab akan menjadi kebiasaan yang mudah untuk dilakukan.

Banyak anak perempuan sudah akil baligh pada umur 11 tahun bahkan banyak juga pada umur 10 tahun, jadi umur 11 tahun sudah berkewajiban untuk menggunakan hijab keluar rumah, tidak hanya keluar rumah tetapi berhijab dari orang-orang yang bukan mahram kita, misalnya saudara sepupu.

[Ustadzah Novria]

 

 

Cahaya Bekas Sujud Meski Terlanjur Masuk Neraka

KITA menemukan hadits yang shahih terkait dengan fungsi ‘bekas sujud’ ini. Namun manfaatnya bukan untuk dikenal orang di alam dunia ini, melainkan untuk bisa dikenali Allah Ta’ala di akhirat nanti.

“Jika Allah ingin memberikan rahmat kepada ahli neraka, maka Dia memerintahkan malaikat untuk mengeluarkan mereka yang menyembah Allah. Lalu malaikat mengeluarkan mereka. Mereka dikenali karena ada bekas sujud pada wajahnya. Dan Allah mengharamkan neraka untuk memakan tanda bekas sujud sehingga mereka keluar dari neraka. Seluruh anak Adam bisa dimakan api neraka, kecuali bekas sujud.” (HR Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa orang yang shalatnya baik di dunia ini dan punya bekas sujud, nanti di akhirat kalau sudah terlanjur masuk neraka, akan dikeluarkan dari dalamnya. Dan cara untuk mengenalinya adalah dari cahaya bekas sujud yang memancar dari dahinya. Dan bahwa cahaya bekas sujud itu tidak akan hilang termakan oleh panasnya api neraka. Adapun bekas sujud yang sifatnya seperti cahaya di akhirat nanti, kita dapati keterangannya dari hadits lainnya berikut ini.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada seorang pun dari umatku kecuali aku mengenalnya pada hari kiamat kelak.” Para shahabat bertanya, “Ya Rasulallah, bagaimana anda mengenali mereka di tengah banyaknya makhluk?” Beliau menjawab, “Tidakkah kamu lihat, jika di antara sekumpulan kuda yang berwarna hitam terdapat seekor kuda yang berwarna putih di dahi dan kakinya? Bukankah kamu dapat mengenalinya?” “Ya”, jawab shahabat. “Sesungguhnya pada hari itu umatku memancarkan cahaya putih dari wajahnya bekas sujud dan bekas air wudhu’. (HR Ahmad dan Tirmizy)

Semoga Allah Ta’ala menjadikan dahi kita ini memancarkan cahaya di akhirat nanti, sehingga termasuk orang yang akan dibela oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Aamiin. Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. [Ahmad Sarwat, Lc]

 

 

Menara al-Muzhaffariyah, Kenangan Bagi Salahuddin al-Ayyubi

Menara al-Muzhaffariyah melintasi beragam generasi.

Jika Anda berkunjung ke Irak, tepatnya di Provinsi Arbil, utara Irak, Anda akan mendapati salah satu situs bersejarah yang telah berusia puluhan abad. Menara ini telah melintasi beberapa generasi dengan ragam peristiwanya.

Menurut guru besar Universitas Salahuddin di Provinsi Arbil, Ahmad Mirza, menara ini dibangun oleh mertua dari Salahuddin al-Ayyubi, yaitu Sultan Muzhafar ad-Din Kawkaburi, yang berkuasa di Arbil pada periode 567 H-589 H.

Bagi Salahuddin al-Ayyubi, menara ini memberikan kenangan indah. Lantaran tempat ini menjadi saksi bahwa dia, pernah melamar gadis pujaan hatinya.

Menara yang berbentuk silinder dengan kurang lebih 110 anak tangga itu, memiliki ragam fungsi antara lain sebagai menara pengawas pergerakan musuh, hingga sebagai tempat pengumandangan azan dan takbir pada hari-hari besar keagamaan umat Islam, seperti Idul Adha dan Idul Fitri.

Semula, menara ini mempunyai ketinggian 45 meter, namun sekarang tingginya hanya tersisa 35 meter, sebagian yang 8 meter runtuh akibat terjangan puting beliung yang dahsyat beberapa dekade lalu.

KHAZANAH REPUBLIKA

Haruskah Berwudu sebelum Memegang Al-Quran?

PARA ulama berbeda pendapat dalam masalah keharusan berwudu untuk menyentuh mushaf. Sebagian ulama mensyaratkan namun sebagian lainnya tidak mensyaratkannya.

1. Yang Mengharuskannya. Di antara ulama yang mengharuskan berwudu sebelum menyentuh mushaf adalah Al-Imam Abu Hanifa, Al-Imam Malik dan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahumullah.
2. Yang Tidak Mengharuskannya. Sedangkan para ulama dari kalangan mahzab Zhahiri tidak mengharuskan berwudu untuk menyentuh mushaf.

Sebenarnya kedua kelompok yang berbeda pendapat ini sama-sama menggunakan dalil ayat Quran yang satu juga, yaitu: “Tidaklah menyentuhnya kecuali mereka yang disucikan.” (QS. Al-Waqiah: 79)

Namun metode pendekatan masing-masing saling berbeda. Kelompok yang mengharuskan wudhu’ menafsirkan kata al-muthahharun (mereka yang disucikan) di dalam ayat di atas sebagai manusia. Dan lafadz laa yamassuhu bernilai larangan bukan sekedar kabar atau pemberitahuan belaka. Jadi kesimpulan hukumnya menurut kelompok ini adalah manusia tidak boleh menyentuh mushaf Al-Quran kecuali bila telah disucikan. Dan makna disucikan adalah bahwa orang itu sudah berwudhu.

Kelompok yang tidak mewajibkan wudhu’ menafsirkan kata al-muthahharun di dalam ayat di atas sebagai malaikat. Sehingga tidak ada kewajiban bagi manusia untuk berwudhu’ ketika menyentuh mushaf Al-Quran. Selain itu lafadz laa yammassuhu (tidak menyentuh Al-Quran) menurut mereka tidak bernilai larangan melainkan bernilai khabar (pemberitahuan) bahwa tidak ada yang menyentuh Al-Quran selain para malaikat. Maka tidak ada larangan apapun bagi seseorang untuk menyentuh mushaf meski tidak dalam keadaan suci.

Namun sumber perbedaan di antara keduanya memang bukan semata-mata perbedaan dalam memahami ayat di atas saja, tetapi memang ada dalil lainnya yang digunakan untuk menguatkan argumentasi masing-masing. Misalnya, mereka yang mengharuskan wudhu menambahi hujjah mereka dengan hadits berikut ini: “Dari Amru bin Hazm bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menuliskan: Tidaklah seseorang menyentuh Al-Quran kecuali dalam keadaan suci.” (HR Malik 1/199, Abdurrazzaq 1/341, Al-Baihaqi 1/87 dan Ad-Daruquthuni 1/121). Hadits ini dinilai sebagai hadits hasan li ghairihi oleh para ulama. Namun sebagian orang tidak menerima hadits ini lantaran diriwayatkan lewat tulisan (mushahhafah).

Kemudian pertanyaan berikutnya adalah apakah mushaf yang ada terjemahannya itu terbilang sebagai mushaf juga atau bukan? Ada sebagian dari ulama yang memandang bahwa ketika sebuah mushaf tidak hanya terdiri dari lafadz Al-Quran, tetapi juga dilengkapi dengan terjemahan atau penjelasan-penjelasan lainnya, maka dinilai sudah bukan termasuk mushaf secara hukum. Namun umumnya ulama tetap tidak membedakan antara keduanya, meski telah dilengkapi dengan terjemahan, tetap saja ada lafadz arabnya. Sehingga identitas ke-mushafan-nya tetap lekat tidak bisa dipisahkan.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. [Ahmad Sarwat, Lc.]

 

 

Bolehkah Anak Kandung sebagai Wali Nikah Ibunya?

PERTANYAAN Anda tentang bisakah anak kandung menjadi wali bagi ibunya sendiri yang mau menikah dalam pandangan saya menarik untuk dikaji. Sebab setelah ditelurusi pendapat para fuqaha dalam kitab-kitab mereka, ternyata jawabannya tidak seragam. Ada yang mengatakan tidak boleh, namun ada juga yang membolehkan. Maka setidaknya, jawaban dari masalah ini masih menjadi titik perbedaan (khilafiyah) di tengah para ulama.

A. Tidak Boleh

Mazhab Asy-Syafi’iyah umumnya mengatakan bahwa anak laki-laki tidak boleh menjadi wali bagi ibundanya sendiri, apabila ibunya sudah janda dan ingin menikah lagi. Hal itu lantaran anak kandung tidak termasuk ke dalam daftar urutan wali. Maka anak kandung tidak bisa menikahkan ibunya sendiri dengan suami barunya. Pendapat mazhab Asy-Syafi’iyah ini cukup populer dan berlaku di negeri kita. Maka kalau kita tanyakan kepada para guru ngaji di Indonesia, umumnya mereka mengatakan tidak boleh.

1. Al-Minhaj Li An-Nawawi. Kalau kita buka salah satu kitab fiqih mazhab Asy-Syafi’iyah, yaitu Al-Minhaj karya Al-Imam An-Nawawi, ada daftar urutan wali nikah. Namun anak laki-laki tidak disebutkan disana. Dan yang lebih berhak menjadi wali adalah ayah, kakek (ayahnya ayah), saudara laki-laki seayah-seibu, saudara laki-laki seayah saja, anak laki-laki dari saudara laki-laki dan kebawahnya, paman dan kemudian seluruh ashabah seperti waris. Dan diutamakan saudara seayah-seibu dari pada saudara seayah saja.

2. Kompilasi Hukum Islam (KHI). Hukum positif yang berlaku di negeri ini tegas diambil dari mazhab Asy-Syafi’iyah ini. Oleh karena itu bila pertanyaan ini dikaitkan dengan hukum positif yang berlaku di negeri kita, katakanlah Kompilasi Hukum Islam (KHI), seorang anak laki-laki tidak boleh menjadi wali atas ibunya sendiri.

Pada Bagian Ketiga di Pasal 21 ayat (1) disebutkan bahwa: Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.

Kita tidak menemukan adanya anak kandung yang berhak untuk menjadi wali di dalam KHI yang berlaku di negeri ini secara resmi. Oleh karena itu dengan sederhana bisa kita simpulkan bahwa di dalam mazhab Asy-Syafi’iyah, khususnya di Indonesia, memang seorang anak tidak bisa menjadi wali bagi ibunya sendiri.

B. Boleh

Namun apa yang berlaku di negeri kita dan juga dalam mazhab Asy-Syafi’iyah agak berbeda dengan di negeri lain, yang kebetulan bermazhab selain Asy-Syafi’iyah.

1. Mazhab Al-Hanafiyah. Bila kita melirik pendapat mazhab lain, misalnya mazhab Al-Hanafiyah, justru kita akan terheran-heran sendiri. Karena mazhab tersebut membolehkan seorang anak laki-laki menjadi wali bagi ibundanya sendiri. Yang lebih didahulukan adalah ashabah nasab, dan yang pertama adalah anak laki-laki, anak dari anak laki-laki dan ke bawahnya. Kemudian ayah, kemudian ayahnya ayah (kakek). Kemudian saudara seayah-seibu (syaqiq), kemudian saudara seayah saja. Kemudian anak laki dari saudara seayah-seibu, kemudian anak laki dari saudara seayah saja. Kemudian paman yang seayah dan seibu (paman syaqiq), kemudian paman yang hanya seayah tidak seibu. Kemudian anak laki dari paman yang seayah dan seibu (paman syaqiq) dan anak laki dari paman yang hanya seayah tidak seibu.

2. Mazhab Al-Malikiyah. Di dalam mazhab Al-Malikiyah, kita menemukan nash seperti berikut ini: Masalah kedua dalam hal urutan para wali: Yang termasuk wali mujbir adalah ayah, kemudian orang yang diberi wasiat olehnya. Sedangkan yang bukan termasuk wali mujbir adalah qarabah, lalu maula kemudian sultan. Dan lebih didahulukan dari aqarib adalah anak laki-laki, kemudian anak laki dari anak laki dan ke bawahnya lagi. Kemudian ayah, saudara laki dan anak laki dari saudara laki, kemudian paman kemudian anak laki dari paman.

3. Mazhab Al-Hanabilah. Kita merujuk ke salah satu kitab fiqih dalam mazhab Al-Hanabilah, Mukhtashar Al-Kharqi, disana disebutkan tentang anak yang bisa menjadi wali bagi ibunya sendiri. Orang yang paling berhak untuk menikahkan wanita merdeka adalah ayah kandungnya, kemudian ayahnya lagi dan ke atasnya. Kemudian anak laki-lakinya, lalu anak laki dari anak lakinya dan ke bawahnya.

Kesimpulan sederhananya, seorang anak laki-laki tidak dapat menjadi wali bagi ibunya sendiri. Ini adalah hukum yang berlaku di Indonesia, yang secara umum didasari dari pandangan mazhab Asy-Syafi’iyah. Namun boleh jadi di negeri muslim lain, dimungkinkan hal itu, karena mungkin saja sistem hukum yang berlaku disana mengacu kepada mazhab selain Asy-Syafi’iyah, yang membolehkan anak menjadi wali bagi ibunya sendiri. Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. [Ahmad Sarwat, Lc., MA]