Tafsir Ayat Puasa (13): Akhirnya Dibolehkan Hubungan Intim di Malam Hari Ramadhan

Akhirnya dibolehkan hubungan intim (suami-istri) pada malam hari Ramadhan setelah sebelumnya dilarang sebagaimana dijelaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 187 yang dibahas kali ini.

 

Malam hari dibolehkan hubungan intim, ini asal hukumnya dari surah Al-Baqarah ayat 187.

 

Ada yang Melanggar

Allah Ta’ala berfirman,

عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ

Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu.” (QS. Al-Baqarah: 187).

Artinya, Allah tahu bahwa kalian telah melanggar dengan berjimak di malam hari Ramadhan, padahal kalian dilarang. Pahala kalian jadinya berkurang.

Allah lantas mengampuni kalian dengan memberikan kelapangan (bentuknya dihapuskannya hukum larangan hubungan intim di malam hari) sehingga kalian tidak terkena dosa. Maka penghapusan hukum (nasakh) larangan hubugan intim di malam hari adalah suatu rahmat. Seandainya hukum larangan tersebut tidak dihapus, tentu banyak manusia yang akan terjerumus dalam yang haram.

Allah memberi maaf pada kalian, maksudnya menghapuskan dosa-dosa kalian, dimaafkan dan tidak dikenakan hukuman.

 

Malam Hari Ramadhan Boleh Bercumbu (Mubasyarah)

 

Dalam ayat disebutkan,

فَالْآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ

Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.

Ayat ini berisi perintah, namun menunjukkan ibahah (hukum boleh). Karena perintah tersebut datang setelah pengharaman.

 

Faedah dari Ilmu Ushul

 

Yang jelas menurut para ulama ushul, hukum asal al-amr (perintah) menunjukkan wajib, selama tidak ada yang memalingkan keluar dari itu. Jika datang kalimat al-amr (perintah) setelah adanya larangan, para ulama berselisih pendapat.

Pendapat pertama: Kalimat perintah tersebut bermakna wajib, inilah madzhab Ibnu Hazm serta sebagian ulama Malikiyah dan Syafi’iyah.

Pendapat kedua: Kalimat perintah tersebut dimaknakan mubah (boleh), inilah pendapat kebanyakan ulama.

Pendapat ketiga: Kalimat perintah terseebut dimaknakan dengan makan sebelum dilarang. Jika sebelum dilarang dihukumi mubah (boleh), berarti dihukumi boleh. Jika sebelum dilarang dihukumi wajib, berarti dihukumi wajib.

Ibnu Katsir rahimahullah sendiri cenderung pada pendapat ketiga, beliau rahimahullah mengatakan ketika menjelaskan surah Al-Maidah ayat kedua “وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا ۚ” (dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu),

وَهَذَا أَمُرٌ بَعْدَ الْحَظْرِ ، وَالصَّحِيحُ الَّذِي يَثْبُتُ عَلَى السَّبْر : أَنَّهُ يَرُد الْحُكْمَ إِلَى مَا كَانَ عَلَيْهِ قَبْلَ النَّهْيِ ، فَإِنْ كَانَ وَاجِبًا رَدَّهُ وَاجِبًا ، وَإِنْ كَانَ مُسْتَحَبًّا فَمُسْتَحَبٌّ ، أَوْ مُبَاحًا فَمُبَاحٌ.

“Ini adalah perintah (berburu) setelah sebelumnya ada larangan. Yang benar, setelah penelitian lebih jauh, hukum perintah tadi kembali pada hukum sebelum dilarang. Jika hukum sebelum dilarang itu wajib, maka dihukumi wajib. Jika hukum sebelumnya adalah sunnah, maka dihukumi sunnah. Jika hukum sebelumnya mubah, maka dihukumi mubah.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 3:300)

Berarti dalam kasus yang kita pelajari, perintah hubungan intim pada malam hari Ramadhan dihukumi apa?

Karena ketika awal puasa dahulu dilarang hubungan intim, maka kembali ke hukum sebelum dilarang. Hukum asal hubungan intim adalah mubah, berarti hubungan intim di malam hari Ramadhan dihukumi mubah.

Semoga bermanfaat. Insya Allah masih berlanjut pada faedah lainnya.

Sumber https://rumaysho.com/20403-tafsir-ayat-puasa-13-akhirnya-dibolehkan-hubungan-intim-di-malam-hari-ramadhan.html

Abu Said al-Khudri

Abu Said al-Khudri radhiallahu ‘anhu adalah salah seorang ulamanya para sahabat. Ia termasuk seorang Anshar yang paling banyak meriwayatkan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan termasuk yang terbanyak riwayatnya di antara sahabat lainnya.

Nasabnya

Nama dan nasab Abu Said al-Khudri adalah Saad bin Malik bin Sinan bin Ubaid bin Tsa’labah al-Abjar -Abjar adalah Khudrah- bin Auf bin al-Harits bin al-Khazraj al-Anshari al-Kahzraji. Yang masyhur dengan kun-yah Abu Said al-Khudri.

Masa Rasulullah

Abu Said bercerita, “Rasulullah datang kepada kami. Kami adalah orang-orang biasa (bukan tokoh) dari kalangan kaum muslimin. Aku kira Rasulullah tidak mengenal salah seorang dari kami. Sebagian dari kami hampir-hampir tak berpakaian. Rasulullah mengisyaratkan bentuk lingkarangan dengan tangannya. Beliau bersabda, “Dengan apa kalian saling mengingatkan?” Mereka menjawab, “Ini ada seseorang yang membacakan Alquran kepada kami dan mendakwahi kami.” Beliau berkata, “Serulah! Mengapa kalian bersamanya.” Kemudian beliau berkata, “Segala puji bagi Allah yang menjadikan untuk umatku seseorang yang aku perintahkan untuk bersama mereka.” Beliau melanjutkan, “Berilah kabar gembira pada orang-orang beriman yang miskin bahwa mereka akan lebih dahulu masuk surge dibanding orang-orang kaya pada hari kiamat kelak dengan lama 500 tahun lebih awal. Mereka berada di dalam surga dan menikmati kenikmatannya. Sementara orang-orang kaya masih dihisab.” (HR. Abu Dawud).

Masa Para Sahabat

Saat orang-orang membaiat Yazid bin Muawiyah, cucu Nabi, Husein bin Ali radhiallahu ‘anhuma tidak membaiatnya. Mendengar kabar tersebut, orang-orang Kufah mengirimi Husein surat. Mengajaknya untuk datang ke Kufah. Awalnya Husein menolak. Kemudian mereka mengajak Muhammad bin al-Hanafiyah (saudara seayah dengan Husein bin Ali). Beliau pun menolak. Mereka kembali membujuk Husein, Husein berkata, “Sesungguhnya mereka ini hendak memangsa kita dan bersemangat mengucurkan darah kita.”

Bujukan dan godaan orang-orang kufah ini membuat Husein risau. Terkadang beliau merasa condong kepada mereka. Terkadang ia tidak ingin keluar. Kemudian datanglah Abu Said al-Khudri, ia berekata, “Hai Abu Abdullah (kun-yah Husein), sungguh aku termasuk pemberi nasihat untuk Anda. Aku adalah orang yang menyayangimu. Sampai kabar padaku bahwa para pendukungmu di Kufah mengirimimu surat. Mereka mengajakmu menuju mereka. Jangan kau keluar! Sungguh aku mendengar ayahmu saat di Kufah, ia berkata, “Demi Allah, aku telah membuat mereka bosan dan marah. Mereka pun membuatku bosan dan marah. Tidak kudapati sifat memenuhi janji pada mereka. Siapa yang selamat dari mereka, dia telah selamat dari panah yang jelek. Demi Allah, tidak ada keteguhan dan ketetapan hati dalam suatu urusan. Tidak ada kesabaran pada mereka saat menghadapi pedang.”

Masa Tabi’in

Pada saat terjadi kekacauan di Kota Madinah, Abu Said al-Khudri keluar dan bersembunyi di sebuah goa. Ia disusul oleh seorang pasukan Syam. Kata Abu Said, “Saat ia melihatku, ia hunus pedangnya menginginkanku. Saat ia dekat denganku, ia arahkan pedangnya padaku. Kutahan pedangku. Dan kubaca firman Allah,

إِنِّي أُرِيدُ أَنْ تَبُوءَ بِإِثْمِي وَإِثْمِكَ فَتَكُونَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ وَذَلِكَ جَزَاءُ الظَّالِمِينَ

“Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim”. [Quran Al-Maidah: 29]

Mendengar hal itu, ia bertanya, “Siapa Anda?” “Aku Abu Said al-Khudri”, jawabku. “Sahabatnya Rasulullah?” tanyanya. “Iya”, jawabku. Ia pun berlalu dan meninggalkanku.

Riwayat Abu Said

– Dari Ismail bin Raja bin Rabi’ah dari ayahnya. Ia berkata, “Kami bersama Abu Said al-Khudri saat ia sedang sakit yang mengantarkannya pada wafat. Ia mengalami pingsan. Kemudian saat tersadar, kami berkata padanya, ‘Shalat, Abu Said’. Ia berkata, ‘Kafan’. Abu Bakr (perwari) berkata, ‘Ia menginginkan kafan. Kemudian ia menyebutkan beberapa hadits yang ia riwayatkan dari Nabi’.”

– Terdapat suatu riwayat:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي صَعْصَعَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوشِكُ أَنْ يَكُونَ خَيْرَ مَالِ الْمُسْلِمِ غَنَمٌ يَتْبَعُ بِهَا شَعَفَ الْجِبَالِ وَمَوَاقِعَ الْقَطْرِ يَفِرُّ بِدِينِهِ مِنْ الْفِتَنِ

“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abu Sha’Sha’ah dari bapaknya dari Abu Sa’id Al Khudri bahwa dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Hampir saja terjadi (suatu zaman) harta seorang muslim yang paling baik adalah kambing yang digembalakannya di puncak gunung dan tempat-tempat terpencil, dia pergi menghindar dengan membawa agamanya disebabkan takut terkena fitnah”.” (HR. Al-Bukhari).

– Abu Said al-Khudri meriwayatkan sebuah hadits:

يَدْخُلُ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ، وَأَهْلُ النَّارِ النَّارَ، ثُمَّ يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: أَخْرِجُوْا مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ مِنْ إِيْمَانٍ، فَيُخْرَجُوْنَ مِنْهَا قَد ِاسْوَدُّوا فَيُلْقَوْنَ فِي نَهْرِ الْحَيَاءِ -أَوِ الْحَيَاةِ، شَكَّ مَالِكٌ- فَيَنْبُتُوْنَ كَمَا تَنْبُتُ الْحَبَّةُ فِي جَانِبِ السَّيْلِ، أَلَمْ تَرَ أَنَّهَا تَخْرُجُ صَفْرَاءَ مُلْتَوِيَةً؟

“Setelah penghuni Surga masuk ke Surga, dan penghuni Neraka masuk ke Neraka, maka setelah itu Allah pun berfirman: ‘Keluarkan (dari Neraka) orang-orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi iman!’ Maka mereka pun dikeluarkan dari Neraka. Hanya saja tubuh mereka sudah hitam legam (bagaikan arang). Lalu mereka dimasukkan ke sungai kehidupan, maka tubuh mereka tumbuh (berubah), sebagaimana tumbuhnya benih yang berada di pinggiran sungai. Tidakkah engkau perhatikan, bahwa benih itu tumbuh berwarna kuning dan berlipat-lipat?” (HR. Al-Bukhari dari Abu Sa’id al-Khudriy Radhiyallahu anhu).

– Abu Said juga meriwayatkan sebuah hadits:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ صَالِحٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ رَأَيْتُ النَّاسَ يُعْرَضُونَ عَلَيَّ وَعَلَيْهِمْ قُمُصٌ مِنْهَا مَا يَبْلُغُ الثُّدِيَّ وَمِنْهَا مَا دُونَ ذَلِكَ وَعُرِضَ عَلَيَّ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَعَلَيْهِ قَمِيصٌ يَجُرُّهُ قَالُوا فَمَا أَوَّلْتَ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الدِّينَ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ubaidillah berkata, telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa’d dari Shalih dari Ibnu Syihab dari Abu Umamah bin Sahal bin Hunaif bahwasanya dia mendengar Abu Said Al Khudri berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Ketika aku tidur, aku bermimpi melihat orang-orang dihadapkan kepadaku. Mereka mengenakan baju, diantaranya ada yang sampai ke buah dada dan ada yang kurang dari itu. Dan dihadapkan pula kepadaku Umar bin Al Khaththab dan dia mengenakan baju dan menyeretnya. Para sahabat bertanya: “Apa maksudnya hal demikian menurut engkau, ya Rasulullah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Ad-Din (agama).” (HR. Al-Bukhari).

– Riwayat berikutnya:

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ: قَالَتِ النِّسَاءُ لِلنَّبِيِّ : غَلَبَنَا عَلَيْكَ الرِّجَالُ, فَاجْعَلْ لَنَا يَوْمًا مِنْ نَفْسِكَ. فَوَعَدَهُنَّ يَوْمًا لَقِيَهُنَّ فِيْهِ فَوَعَظَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ, فَكَانَ فِيْمَا قَالَ لَهُنَّ : مَا مِنْكُنَّ امْرَأَةٌ تُقَدِّمُ ثَلاَثَةٌ مِنْ وَلَدِهَا إِلاَّ كَانَ لَهَا حِجَابًا مِنَ النَّارِ. فَقَالَتِ امْرَأَةٌ : وَاثْنَيْنِ؟ فَقَالَ : وَاثْنَيْنِ.

Dari Abu Sa’id al-Khudri menceritakan bahwa sejumlah para wanita berkata kepada Nabi: “Kaum lelaki lebih banyak bergaul denganmu daripada kami, maka jadikanlah suatu hari untuk kami”. Nabi menjanjikan mereka suatu hari untuk bertemu dengan mereka guna menasehati dan memerintah mereka. Diantara sabda beliau saat itu: “Tidak ada seorang wanitapun yang ditinggal mati oleh tiga anaknya kecuali akan menjadi penghalang baginya dari neraka”. Seorang wanita bertanya: “Bagaimana kalau Cuma dua?”. Nabi menjawab: “Sekalipun Cuma dua” (HR. Al-Bukhari).

Al-Khatib al-Baghdadi berkata tentang Abu Said al-Khudri, “Dia termasuk sahabat yang paling utama dan penghafal hadits yang banyak.”

Wafat

Ada beberapa pendapat tentang tahun wafat Abu Said al-Khudri. Ada yang mengatakan beliau wafat tahun 74 H. Ada pula yang mengatakan 64 H. Al-Madaini mengatakan, “Ia wafat tahun 63 H”. Sedangkan al-Askari mengatakan, “Ia wafat tahun 65 H.”

Semoga Allah meridhainya.

Diterjemahkan dari: https://islamstory.com/ar/artical/33989/أبوسعيدالخدري

Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)

Read more https://kisahmuslim.com/6272-abu-said-al-khudri.html#more-6272

Tafsir Ayat Puasa (12): Ternyata Puasa Awal Islam Beratnya Seperti Ini

Ternyata puasa awal Islam beratnya seperti ini. Ini menandakan kita harus bersyukur dengan puasa yang kita jalani saat ini.

Masih melanjutkan surah Al-Baqarah ayat 187. Kali ini kami ambil dari bahasan Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid dalam Tafsir Az-Zahrawain.

Allah menyebutkan bagaimanakah kasih sayang-Nya pada hamba-hamba-Nya, Allah Mahatahu mengenai keadaan mereka. Allah memberikan keringanan bagi kaum muslimin ketika mereka berpuasa. Allah mengangkat kesulitan bagi mereka di mana sungguh berat menjalankan puasa pada awal-awal Islam. Pada awal Islam, jika ada yang sudah berbuka, maka halal untuk makan, minum, dan berjimak hingga shalat Isya atau ia tidur sebelum itu, ketika tidur sebelum berbuka atau sebelum shalat Isya, haram untuk makan dan minum serta berjimak sampai malam berikutnya. Maka ini jadi kesulitan yang besar, maka akhirnya Allah menurunkan rukshah dan takhfif (yaitu keringanan) pada surah Al-Baqarah ayat 187.

 

Pada Malam Hari Halal Hubungan Intim

Dalam ayat disebutkan,

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu.

Berarti dihalalkan pada setiap malam Ramadhan untuk berjimak dengan istri, ini berlaku di seluruh malam Ramadhan.

Kenapa jimak dibutuhkan?

Dalam ayat lanjutan disebutkan,

هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ

“Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.”

Maksudnya adalah suami istri itu satu dan lainnya saling membutuhkan, maka seperti kebutuhan dalam berpakaian, ia bercampur dengannya dan memakainya, menutupi dan ditutupi. Istri itu menjaga suaminya dari maksiat syahwat yang jelek. Seperti halnya pakaian bisa melindungi dari panas dan dingin yang mengganggu.

Sebab turunnya surah Al-Baqarah ayat 187 adalah karena ada sebagian sahabat mengalami kesulitan berat dengan adanya larangan makan pada malam hari kalau sudah tertidur. Ada juga di antara mereka yang tetap nekat mendatangi istrinya pada malam hari. Padahal hal tersebut terlarang ketika seseorang sudah shalat Isya atau tertidur sebelum berbuka.

Riwayat ini tentang kisah Qais bin Shirmah.

Dari Al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu, ia menceritakan bahwa para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu (pada masa awal Islam) jika berpuasa lantas tiba waktu berbuka, jika tidur sebelum berbuka, maka tidak dibolehkan makan pada malam tersebut, ia berpuasa hingga keesokan hari, sampai sore.

Ada seseorang bernama Qais bin Shirmah, ia berpuasa. Ketika waktu berbuka tiba, ia mendatangi istrinya, ia menanyakan, “Apakah ada makanan?” Istrinya menjawab, “Tidak ada. Aku akan pergi menyiapkannya dan menyerahkannya padamu.” Qais bin Shirmah sendiri siang hari puasa bekerja keras, sehingga ketika ia menunggu makanan tadi, ia tertidur. Ketika itu istrinya datang lalu melihatnya tertidur, istrinya berkata, “Yah, engkau gagal makan.” Keesokan harinya pada tengah siang, Qais bin Shirmah jatuh pingsan. Kemudian keadaan Qais bin Shirmah diceritakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian turunlah ayat,

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu.

Para sahabat pun sangat gembira mendengar turunnya ayat tersebut. Juga turun ayat,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah: 187) (HR. Bukhari, no. 1915)

Dari Al-Bara’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

لَمَّا نَزَلَ صَوْمُ رَمَضَانَ كَانُوا لاَ يَقْرَبُونَ النِّسَاءَ رَمَضَانَ كُلَّهُ ، وَكَانَ رِجَالٌ يَخُونُونَ أَنْفُسَهُمْ ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ ( عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ)

Ketika turun pensyariatan puasa Ramadhan, mereka para sahabat tidak boleh mendekati istri mereka di seluruh hari Ramadhan. Lalu ada di antara para sahabat yang diam-diam tidak bisa tahan dan mendatangi istrinya (berjimak). Maka turunlah firman Allah, ‘Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu.’” (QS. Al-Baqarah: 187) (HR. Bukhari, no. 4508)

Masih bersambung insya Allah dalam serial berikutnya.

 

Referensi:

Tafsir Az-Zahrawain – Al-Baqarah wa Ali Imran. Cetakan pertama, Tahun 1437 H. Muhammad Shalih Al-Munajjid. Penerbit Obeikan.

Sumber https://rumaysho.com/20382-tafsir-ayat-puasa-12-ternyata-puasa-awal-islam-beratnya-seperti-ini.html

I’tikaf Meninggalkan Keluarga tetapi Tidak Kuat Meninggalkan Gadget dan Handphone

Saudaraku

Hakihat i’tikaf adalah meninggalkan hubungan dan interakis dengan manusia sementara dan berusaha meminimalkannya

Ibnu Rajab mengatakan.

حقيقة الاعتكاف قطع العلائق عن الخلائق للاتصال بخدمة الخالق ، وكلما قويت المعرفة بالله والمحبة له والأنس به ، أورثت صاحبها الانقطاع إلى الله بالكلية

“Hakikat i’tikaf adalah memutuskan hubungan dan interaski dengan manusia untuk berkhidmat (beribadah) kepada khaliq (Allah). Semakin kuat ma’rifah, cinta dan  sayang kepada Alah maka ia akan semakin memutus hubungan dengan menusia dan fokus kepada Allah secara total.”[Lathaif Al-Ma’arif hal 289]

Di zaman ini, godaan yang paling besar adalah gadget, handphone dan sosial media. Jika kita termasuk orang yang tidak bisa mengontrol diri, hendaknya kita tidak membawa gadget atau handphone ketika i’tikaf atau mungkin menitipkannya pada panitia masjid agar kita fokus i’tikaf.

Sampai membuat kemah kecil

Perhatikan bagaimana teladan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai membuat kemah kecil di dalam masjid agar benar-benar fokus kepada Allah dan jauh dari manusia di dalam masjid.

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

كَانَ النَّبِىُّ   يَعْتَكِفُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ ، فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّى الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam I’tikaf pada sepuluh malam terakhir dari ramadhan dan aku membuatkannya kemah kemudian beliau shalat subuh lalu memasukinya.” (HR. Bukhari).

Hendaknya kita juga tidak mengajak mengobrol-ngonrol teman-teman dan sahabat yang i’tikaf terlalu lama.

Mari kita renungkan, hanya 10 hari dari 360 hari dalam setahun yang Allah perintahkan agar kita fokus beribadah kepada Allah, yang menciptakan kita dan telah memberikan segala karunia dan kebaikan kepada kita. Apakah kita masih sangat sibuk dengan urusan dunia?

Demikian semoga bermanfaat

MUSLIMSFIYAH

Penyakit Berbahaya: Merasa Punya Jasa dalam Dakwah

Ketika kita mendapatkan kemudahan dan pertolongan untuk beribadah kepada Allah Ta’ala dalam bentuk ibadah apa pun, hendaknya kita senantiasa bersyukur kepada-Nya dan senantiasa memohon taufik dan hidayah dari Allah Ta’ala agar kita senantiasa istiqamah di dalamnya. Termasuk ketika mendapatkan kemudahan dari Allah Ta’ala sehingga kita dimudahkan untuk (sedikit) berkontribusi dalam dakwah.

Namun, setan memanfaatkan sedikit celah untuk menjerumuskan manusia dalam hal ini. Yaitu dengan mengajak manusia yang telah berkhidmat dalam dakwah untuk menyombongkan diri di hadapan manusia yang lainnya. Dia merasa bahwa dia punya jasa besar dalam dakwah. Dia merasa bahwa tersebarnya dakwah Islam saat ini adalah karena peran besarnya. Dia merasa bahwa jika dia tidak ada dan tidak ikut andil dalam dakwah, maka dakwah tidak akan jalan dan dakwah pun akan berhenti. Dia merasa dibutuhkan dalam dakwah. Dan perasaan-perasaan lain yang berpotensi merusak amalnya.

Merasa punya jasa dalam agama adalah di antara ciri khas orang-orang musyrikin jahiliyyah

Merasa bangga dan merasa punya jasa dalam agama dan dakwah, adalah di antara ciri khas orang-orang musyrikin jahiliyyah. Dulu, mereka membanggakan diri mereka dan menyombongkan diri bahwa mereka punya jasa besar dalam mengurus ibadah haji. Mereka sombong karena telah memelihara tempat-tempat pelaksanaan manasik haji, menjadi pengurusnya, serta memberi makan dan minum untuk jamaah haji yang miskin.

Allah Ta’ala pun mencela perbuatan mereka ini dengan mengatakan,

مُسْتَكْبِرِينَ بِهِ سَامِرًا تَهْجُرُونَ

“Dengan menyombongkan diri (terhadap Al-Qur’an atau iman) dan mengucapkan perkataan-perkataan keji terhadapnya di waktu kamu bercakap-cakap di malam hari.” (QS. Al-Mu’minuun [23]: 67)

Maksudnya, mereka sombong karena telah mengurusi baitullah (ka’bah) dan melayani jamaah haji yang mendatanginya. Dengan amal itu, mereka menyombongkan diri di hadapan bangsa Arab lainnya. Lebih parah dari itu, beralasan dengan amal-amal tersebut, mereka merasa cukup sehingga merasa tidak butuh lagi terhadap Al-Qur’an dan tidak butuh beriman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menyangka bahwa amal mereka tersebut telah mencukupi untuk diri mereka.

 

Allah Ta’ala pun mencela sikap mereka tersebut dengan mengatakan,

أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَوُونَ عِنْدَ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram itu kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta bejihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS. At-Taubah [9]: 19)

Betul, memberi makan dan minum jamaah haji serta memakmurkan Masjidil Haram adalah termasuk amal shalih. Akan tetapi, tidak selayaknya seseorang membangga-banggakan amal tersebut di hadapan manusia. Bahkan menganggap amal tersebut telah cukup untuk diri mereka. Lalu merasa tidak butuh dengan amal yang lebih agung, di antaranya adalah jihad di jalan Allah, beriman kepada Allah Ta’ala, serta beriman kepada hari akhir. [1]

Jadi, membanggakan amal shalih di hadapan manusia, pada asalnya adalah ciri khas (karakter) masyarakat jahiliyyah.

Janganlah merasa telah memberi jasa kepada Islam

Allah Ta’ala mencela orang-orang yang merasa punya jasa ketika masuk Islam. Allah Ta’ala berfirman,

يَمُنُّونَ عَلَيْكَ أَنْ أَسْلَمُوا قُلْ لَا تَمُنُّوا عَلَيَّ إِسْلَامَكُمْ بَلِ اللَّهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَاكُمْ لِلْإِيمَانِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

“Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, “Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepada-Ku dengan keislamanmu. Sebenarnya Allah, Dia-lah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujuraat [49]: 17)

Ketika sebagian orang merasa punya jasa dengan masuk Islam, merasa bahwa keislaman mereka itu adalah jasa besar untuk Islam, Allah Ta’ala pun membantahnya. Yaitu sebenarnya, Allah-lah yang memberikan nikmat kepada mereka dengan memberikan hidayah kepada mereka dengan masuk Islam.

Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu Ta’ala berkata menjelaskan ayat ini,

هذه حالة من أحوال من ادعى لنفسه الإيمان، وليس به، فإنه إما أن يكون ذلك تعليمًا لله، وقد علم أنه عالم بكل شيء، وإما أن يكون قصدهم بهذا الكلام، المنة على رسوله، وأنهم قد بذلوا له [وتبرعوا] بما ليس من مصالحهم، بل هو من حظوظه الدنيوية، وهذا تجمل بما لا يجمل، وفخر بما لا ينبغي لهم أن يفتخروا على رسوله به فإن المنة لله تعالى عليهم، فكما أنه تعالى يمن عليهم، بالخلق والرزق، والنعم الظاهرة والباطنة، فمنته عليهم بهدايتهم إلى الإسلام، ومنته عليهم بالإيمان، أعظم من كل شيء

“Ini adalah kondisi orang-orang yang mengklaim telah beriman, padahal tidak. Klaim itu bisa jadi adalah untuk memberi tahu kepada Allah, padahal dia telah mengetahui bahwa Allah Ta’ala mengetahui segala sesuatu. Atau bisa jadi maksud mereka dengan ucapan itu adalah untuk mengungkit jasa mereka kepada Rasul-Nya, bahwa mereka telah mencurahkan segala usaha mereka dan berbuat baik kepada Rasul-Nya, dengan sesuatu yang hakikatnya bukan merupakan amal shalih mereka, namun hanya karena motivasi duniawi semata. Mereka telah menghiasi diri dengan sesuatu yang tidak bisa dipakai untuk berhias (karena amal tersebut memiliki tendensi duniawi).

Mereka telah menyombongkan diri dengan sesuatu yang tidak sepantasnya, yaitu menyombongkan diri kepada Rasul-Nya. Karena sesungguhnya nikmat Allah Ta’ala kepada mereka, yaitu dengan menciptakan dan memberi mereka rizki, juga nikmat lahir dan batin, atau nikmat telah memberikan hidayah kepada mereka dengan masuk Islam dan memberikan hidayah untuk beriman, itu adalah nikmat yang jauh lebih besar dari segala nikmat yang ada.” (Taisiir Karimir Rahmaan, hal. 802)

 

‘Ujub terhadap diri sendiri dan merendahkan orang lain

Berdakwah adalah di antara bentuk ibadah yang terpuji. Sehingga tidak boleh atas seseorang untuk berbangga diri, menepuk dada, dan sombong dengan amal ibadah tersebut. Karena ibadah adalah saran untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, bukan untuk mengharapkan pujian dan sanjungan dari manusia. Bahkan, hendaknya dia memuji Allah Ta’ala karena telah menjadikan dirinya sebagai orang yang menunaikan amal tersebut, bukan membangga-banggakan dan menyombongkan diri sendiri di hadapan manusia.

Sombong terhadap amal atau dakwah yang telah dilakukan, akan menyebabkan ‘ujub terhadap diri sendiri dan merendahkan orang lain. Dia akan cenderung menganggap remeh apa yang telah dilakukan orang lain.

Yang perlu kita sadari adalah betapa pun besar atau hebat amal dakwah yang telah kita lakukan, tetap saja pasti ada kekurangan di sana-sini. Amal besar itu belum mampu menunaikan hak Allah Ta’ala dengan sempurna. Sehingga amal kebaikan atau dakwah yang kita lakukan itu pada hakikatnya adalah amal yang sedikit, yang penuh kekurangan. Oleh karena itu, membanggakan amal yang dilakukan antara dia dengan Allah Ta’ala itu sangat berbahaya, karena hal itu akan menyeret kepada ‘ujub, sekedar memperbanyak amal, dan pada akhirnya akan membatalkan pahala amal tersebut.

Inilah yang seharusnya kita lakukan, yaitu menganggap amal kita adalah amal yang sedikit. Karena itulah yang akan mendorongnya untuk tawadhu’ (rendah hati) di hadapan manusia. Selain itu, juga akan mendorongnya untuk terus-menerus memperbanyak amal kebaikan yang lainnya.

Kesimpulan

Kesimpulan, merasa punya jasa dalam Islam atau merasa punya jasa dalam dakwah adalah penyakit yang bisa jadi menggerogoti amal para aktivis dakwah. Hendaknya kita senantiasa menyadari, bahwa ketika kita dimudahkan untuk banyak beramal, termasuk amal untuk berdakwah, itu semata-mata karena pertolongan dan kemudahan dari Allah Ta’ala. Lalu, apa alasan untuk menyombongkannya di hadapan manusia?

Al-Barra’ radhiyallahu ‘anhu berkata,

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْأَحْزَابِ يَنْقُلُ مَعَنَا التُّرَابَ، وَلَقَدْ وَارَى التُّرَابُ بَيَاضَ بَطْنِهِ، وَهُوَ يَقُولُ: وَاللهِ لَوْلَا أَنْتَ مَا اهْتَدَيْنَا، وَلَا تَصَدَّقْنَا وَلَا صَلَّيْنَا

“Ketika terjadi perang Ahzab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam turut bersama-sama dengan kami mengangkat tanah. Sehingga perut putih beliau menjadi kotor karena tanah. Beliau pun bersenandung, “Ya Allah, sekiranya bukan karena Engkau, tidaklah kami mendapatkan petunjuk, tidaklah kami bersedekah, dan tidaklah kami mendirikan shalat.“(HR. Bukhari no. 4104 dan Muslim no. 1803)

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/46732-penyakit-berbahaya-merasa-punya-jasa-dalam-dakwah.html

Tafsir Ayat Puasa (11): Kisah Shirmah yang Tidak Kuat Puasa

Kisah Shirmah yang tidak kuat puasa dan Umar bin Khaththab yang melanggar saat malam hari berhubungan intim jadi kisah yang menarik untuk diambil pelajaran. Dan ini berkaitan dengan tafsir ayat puasa.

Dalam Musnad Imam Ahmad disebutkan hadits berikut.

Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, shalat dibagi menjadi tiga periode, puasa juga dibagi menjadi tiga periode. Adapun periode shalat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, lantas beliau shalat selama tujuh belas bulan menghadap Baitul Maqdis. Kemudian turunlah firman Allah,

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Rabbnya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 144). Maka ketika itu Allah memerintahkan untuk menghadap Makkah. Inilah periode pertama.

Lalu mereka berkumpul untuk shalat, lantas sebagian mereka mengumumkan kepada sebagian lainnya, sambil mengeraskan suara. Kemudian ada seseorang dari Anshar yaitu ‘Abdullah bin Zaid mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku melihat seperti orang yang tertidur, yaitu antara orang yang tertidur dan sadar, aku melihat ada seseorang dengan dua baju berwarna hijau, ia menghadap kiblat lantas mengucapkan, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Asyhadu alla ilaaha illallah, Asyhadu alla ilaaha illallah, dua kali dua kali.” Bacaan itu diucapkan sampai selesai azan. Lalu berlalu waktu tanpa tergesa-gesa, ia mengucapkan seperti kalimat pertama, namun ia tambahkan kalimat “qad qaamatish shalaah, qad qaamatish shalaah”.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengatakan, “Suruhlah Bilal untuk mengumandangkan azan seperti itu.” Maka Bilal adalah orang pertama yang mengumandakan azan dengan kalimat tadi. Lantas Umar bin Al-Khaththab datang dan berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh ia (‘Abdullah bin Zaid) telah bermimpi seperti mimpiku, namun ia telah mendahuluiku dalam menyampaikannya.” Inilah periode kedua.

Lantas orang-orang mendatangi shalat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendahului sebagian mereka. Ketika itu ada seseorang berisyarat kepada lainnya, “Berapa shalat?” Dijawab, “Satu atau dua.” Lantas dilaksanakanlah shalat, kemudian ia masuk pada kaum dengan shalat mereka. Mu’adz kemudian datang lantas berkata, “Aku tidaklah menemui satu periode selamanya melainkan aku melakukannya.” Kata Mu’adz, “Aku menunaikan apa yang telah aku didahului.” Ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendahuluinya.” Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan shalatnya, ia berkata, “Inilah yang telah dilakukan oleh Mu’adz, maka lakukanlah.” Inilah periode ketiga.

Adapun periode puasa, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamtiba di Madinah, beliau puasa setiap bulannya tiga hari. Kemudian beliau menambah puasa hingga 17 bulan dari Rabi’ul Awwal sampai Ramadhan (Yazid mengatakan 19 bulan dari Rabi’ul Awwal hingga Ramadhan), setiap bulannya tiga hari puasa. Kemudian beliau juga puasa Asyura (sepuluh Muharram). Kemudian Allah mewajibkan puasa dengan menurunkan ayat,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Hingga ayat,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِين

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Maka barangsiapa ingin puasa, silakan. Siapa yang mau tunaikan fidyah dengan memberi makan orang miskin, dibolehkan pula. Kemudian diturunkan ayat,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚفَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Maka diwajibkan puasa bagi yang mukim, sehat, dan diberikan keringanan bagi orang sakit, musafir. Sedangkan untuk yang sudah berusia lanjut yang tidak sanggup lagi untuk berpuasa, maka dikenakan fidyah dengan memberi makan pada orang miskin. Inilah periode kedua.

Maka orang-orang saat itu makan, minum, dan menggauli istri mereka selama mereka belum tidur malam. Ketika sudah tidur, maka tidak boleh melakukan hal-hal tadi lagi.

Diceritakan bahwa ada seseorang bernama Shirmah, siang hari ia bekerja hingga petang. Kemudian ia mendatangi keluarganya, kemudian ia shalat Isya, kemudian langsung tertidur dan tidak sempat makan maupun minum hingga datang Shubuh, maka ia dari tertidur tadi sudah dalam keadaan berpuasa. Lantas di pagi hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya yang sudah dalam keadaan letih berat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan kepadanya,

مَا لِى أَرَاكَ قَدْ جَهَدْتَ جَهْداً شَدِيداً

“Sepertinya engkau dalam keadaan letih berat.” Ia menjawab,

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى عَمِلْتُ أَمْسِ فَجِئْتُ حِينَ جِئْتُ فَأَلْقَيْتُ نَفْسِى فَنِمْتُ وَأَصْبَحْتُ حِينَ أَصْبَحْتُ صَائِماً

“Iya wahai Rasulullah. Aku kemarin bekerja berat. Aku pulang lantas tertidur hingga aku berpuasa pada pagi hari.”

Umar pun menggauli budak wanitanya atau istrinya setelah Umar tidur, kemudian ia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kasus yang ia alami. Lantas turunlah firman Allah,

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚهُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ۗعَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۖفَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚوَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al-Baqarah: 187).” (HR. Ahmad, 5:246).

 

Takhrij hadits dari Musnad Imam Ahmad (5:247):

 

Perawi hadits ini tsiqah (terpercaya), termasuk perawi Syaikhain (Bukhari-Muslim), selain Al-Mas’udi. Al-Mas’udi di sini adalah ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah bin ‘Utbah, Bukhari juga menyebutkan riwayat secara istisyhad dan begitu pula ashabus sunan.

Hadits ini juga dikeluarkan oleh Al-Hakim, 2:274 dari jalur Abu An-Nadhr sendirian dengan sanad ini. Juga hadits ini dikeluarkan oleh Abu Daud (507), Ibnu Khuzaimah (381), Asy-Syasyi (1362), dan dari jalur Yazid bin Harun sendirian dengan sanad yang sama.

Semoga bermanfaat.

Sumber https://rumaysho.com/20331-tafsir-ayat-puasa-11-kisah-shirmah-yang-tidak-kuat-puasa.html

Tafsir Ayat Puasa (10): Kehalalan di Malam Puasa

Suatu nikmat yang besar, masih halalnya hubungan intim di malam hari puasa Ramadhan.

Allah Ta’ala berfirman,

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. ” (QS. Al Baqarah: 187).

Kehalalan di Malam Puasa

Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan, “Kaum muslimin ketika di bulan Ramadhan jika mereka telah melakukan shalat Isya, mereka dilarang untuk menyetubuhi istri, juga dilarang makan, yang semisal itu pula adalah bercumbu. Namun ada beberapa orang dari kaum muslimin menyetubuhi istrinya dan makan setelah Isya di bulan Ramadhan. Di antara yang melakukan seperti itu adalah Umar bin Khottob sampai ia pun mengadukan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga turunlah ayat,

عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ

“Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu” sampai firman Allah Ta’ala,

فَالْآَنَ بَاشِرُوهُنَّ

Maksudnya adalah sekarang halal bagimu untuk menyetubuhi istri kalian (di malam hari). Kemudian Allah Ta’ala berfirman,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam.” Maksudnya adalah sampai nampak fajar Shubuh dan sebelumnya adalah gelap malam. Yang dimaksud rofats adalah nikah.

Dari Sa’id bin Jubair mengenai firman Allah Ta’ala,

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ

“Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu.” Sa’id berkata, “Diwajibkan bagi mereka ketika salah seorang dari mereka sudah tidur dan belum makan, maka tidak dibolehkan bagi mereka untuk makan sedikit pun ketika bangun, begitu pula tidak boleh mencumbu istri. Selama bulan puasa dilarang pula untuk berhubungan intim di malam hari dengan pasangannya. Allah akhirnya memberikan keringanan bagi kalian. Saat ini di malam hari dihalalkan untuk melakukan hubungan intim.” (Syarhul ‘Umdah – Shiyam, 1: 517-518).

Syaikh As Sa’di berkata, “Di awal-awal diwajibkannya puasa bagi kaum muslimin di malam hari setelah sebelumnya tidur diharamkan untuk makan, minum dan melakukan hubungan intim. Seperti ini terasa berat. Sehingga Allah meringankannya dan akhirnya dibolehkan melakukan hal-hal tadi di malam hari baik sebelumnya tidur ataupun tidak. Hal itu dibolehkan karena hawa nafsu tidak bisa ditahan sampai meninggalkan hal yang diperintahkan. Allah pun menerima taubat kalian. Allah memberikan kelapangan yang jika tidak diberikan maka akan membuat seseorang terjerumus dalam dosa. Namun Allah memaafkan hawa nafsu kalian di masa sebelumnya. Ini adalah keringanan dan kelapangan dari Allah. Sekarang boleh bagi kalian untuk bersetubuh, mencium dan bersentuhan dengan pasangan kalian.” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 87).

Syaikh As Sa’di juga mengatakan, “Niatkanlah dalam hubungan intim kalian dengan pasangan kalian sebagai bentuk ibadah kepada Allah. Tujuan utama dari hubungan intim tersebut adalah mengharap keturunan, menjaga diri dari zina dan menggapai tujuan nikah.” (Idem).

Sampai-sampai dijelaskan oleh Syaikh As Sa’di, meski di malam hari puasa dibolehkan hubungan intim, namun jangan sampai hal ini membuat lalai dari ibadah di hari-hari terakhir Ramadhan yang terdapat Lailatul Qadar. Beliau rahimahullah berkata, “Allah menetapkan adanya Lailatul Qadar (malam yang penuh keutamaan) dan itu terdapat di malam-malam terakhir di bulan Ramadhan. Tidak sepantasnya kenikmatan hubungan intim melalaikan dari ibadah di malam-malam akhir bulan Ramadhan. Hubungan intim jika luput bisa dilakukan di lain waktu. Namun untuk Lailatul Qadar jika luput, maka ia tidak akan memperolehnya lagi untuk saat itu.” (Idem).

Itulah nikmatnya untuk saat ini dibolehkan untuk melakukan hubungan intim di malam hari, beda di masa-masa awal Islam. Sungguh nikmat yang besar yang patut disyukuri.

Wallahu waliyyut taufiq.

Sumber https://rumaysho.com/8441-tafsir-ayat-puasa-10-kehalalan-di-malam-puasa.html

Orang Yang Sakit Selayaknya Bergembira

“Mengapa sakit saya tidak sembuh-sembuh?”

”Mengapa sakit saya sedemikian beratnya?”

“Kenapa mesti saya yang sakit?”

 

Mungkin inilah sebagian perkataan atau bisikan setan yang terbesit dalam hati orang yang sakit. Perlu kita ketahui bahwa sakit merupakan takdir Allah dan menurut akidah (kepercayaan) seorang muslim yang beriman bahwa semua takdir Allah itu baik dan ada hikmahnya, berikut ini tulisan ringkas yang senoga bisa mencerahkan hati orang-orang yang sakit yang selayaknya mereka bergembira

 

Sakit adalah ujian, cobaan dan takdir Allah

Hendaknya orang yang sakit memahami bahwa sakit adalah ujian dan cobaan dari Allah dan perlu benar-benar kita tanamkan dalam keyakinan kita yang sedalam-dalamya bahwa ujian dan cobaan berupa hukuman adalah tanda kasih sayang Allah. Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ، وَإِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ،

فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ

“sesungguhnya pahala yang besar didapatkan melalui cobaan yang besar pula. Apabila Allah mencintai seseorang, maka Allah akan memberikan cobaan kepadanya, barangsiapa yang ridho (menerimanya) maka Allah akan meridhoinya dan barangsiapa yang murka (menerimanya) maka Allah murka kepadanya.”[1]

 

Dan beliau shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوْبَةَ فِي الدُّنْيَا

وَإِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِيَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang hamba, maka Allah menyegerakan siksaan  baginya di dunia”[2]

 

Mari renungkan hadits ini, apakah kita tidak ingin Allah menghendaki kebaikan kapada kita? Allah segerakan hukuman kita di dunia dan Allah tidak menghukum kita lagi di akhirat yang tentunya hukuman di akhirat lebih dahsyat dan berlipat-lipat ganda. Dan perlu kita sadari bahwa hukuman yang Allah turunkan merupakan akibat dosa kita sendiri, salah satu bentuk hukuman tersebut adalah Allah menurunkannya berupa penyakit.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفْ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأنفُسِ

وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَْ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ

قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَْ أُولَـئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ

مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan:”Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun”.Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. [3]

 

Ujian juga merupakan takdir Allah yang wajib diterima minimal dengan kesabaran, Alhamdulillah jika mampu diterima dengan ridha bahkan rasa syukur. Semua manusia pasti mempunyai ujian masing-masing. Tidak ada manusia yang tidak pernah tidak mendapat ujian dengan mengalami kesusahan dan kesedihan. Setiap ujian pasti Allah timpakan sesuai dengan kadar kemampuan hamba-Nya untuk menanggungnya karena Allah tidak membebankan hamba-Nya di luar kemampuan hamba-Nya.

 

Sakit manghapuskan dosa-dosa kita

Orang yang sakit juga selayaknya semakin bergembira mendengar berita ini karena kesusahan, kesedihan dan rasa sakit karena penyakit yang ia rasakan akan menghapus dosa-dosanya. Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصِيْبُهُ أَذًى مِنْ مَرَضٍ فَمَا سِوَاهُ إِلاَّ حَطَّ اللهُ بِهِ سَيِّئَاتِهِ كَمَا تَحُطُّ

“Setiap muslim yang terkena musibah penyakit atau yang lainnya, pasti akan hapuskan kesalahannya, sebagaimana pohon menggugurkan daun-daunnya”[4]

 

Dan beliau shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ شَيْءٍ يُصِيْبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ نَصَبٍ، وَلاَ حَزَنٍ، وَلاَ وَصَبٍ،

حَتَّى الْهَمُّ يُهِمُّهُ؛ إِلاَّ يُكَفِّرُ اللهُ بِهِ عَنْهُ سِيِّئَاتِهِ

“Tidaklah seorang muslim tertusuk duri atau sesuatu hal yang lebih berat dari itu melainkan diangkat derajatnya dan dihapuskan dosanya karenanya.”[5]

 

Bergembiralah saudaraku, bagaimana tidak, hanya karena sakit tertusuk duri saja dosa-dosa kita terhapus. Sakitnya tertusuk duri tidak sebanding dengan sakit karena penyakit yang kita rasakan sekarang.

 

Sekali lagi bergembiralah, karena bisa jadi dengan penyakit ini kita akan bersih dari dosa bahkan tidak mempunyai dosa sama sekali, kita tidak punya timbangan dosa, kita menjadi suci sebagaimana anak yang baru lahir. Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,

مَا يَزَالُ الْبَلاَءُ بِالْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ فِي جَسَدِهِ وَمَالِهِ وَوَلَدِهِ

حَتَّى يَلْقَى اللهَ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيْئَةٌ

“Cobaan akan selalu menimpa seorang mukmin dan mukminah, baik pada dirinya, pada anaknya maupun pada hartanya, sehingga ia bertemu dengan Allah tanpa dosa sedikitpun.”[6]

 

Hadits ini sangat cocok bagi orang yang mempunyai penyakit kronis yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya dan vonis dokter mengatakan umurnya tinggal hitungan minggu, hari bahkan jam. Ia khawatir penyakit ini menjadi sebab kematiannya. Hendaknya ia bergembira, karena bisa jadi ia menghadap Allah suci tanpa dosa. Artinya surga telah menunggunya.

Melihat besarnya keutamaan tersebut, pada hari kiamat nanti, banyak orang yang berandai-andai jika mereka ditimpakan musibah di dunia sehingga menghapus dosa-dosa mereka dan diberikan pahala kesabaran. Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,

يَوَدُّ أَهْلُ الْعَافِيَةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَّ جُلُودَهُمْ قُرِضَتْ بِالْمَقَارِيضِ

مِمَّا يَرَوْنَ مِنْ ثَوَابِ أَهْلِ الْبَلاَءِ.

Manusia pada hari kiamat menginginkan kulitnya dipotong-potong dengan gunting ketika di dunia, karena mereka melihat betapa besarnya pahala orang-orang yang tertimpa cobaan di dunia.[7]

Bagaimana kita tidak gembira dengan berita ini, orang-orang yang tahu kita sakit, orang-orang yang menjenguk kita ,orang-orang yang menjaga kita sakit,  kelak di hari kiamat sangat ingin terbaring lemah seperti kita tertimpa penyakit.

 

Meskipun sakit, pahala tetap mengalir

Mungkin ada beberapa dari kita yang tatkala tertimpa penyakit bersedih karena tidak bisa malakukan aktivitas, tidak bisa belajar, tidak bisa mencari nafkah dan tidak bisa melakukan ibadah sehari-hari yang biasa kita lakukan. Bergembiralah karena Allah ternyata tetap menuliskan pahala ibadah bagi kita yang biasa kita lakukan sehari-hari. Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,

إذا مرض العبد أو سافر كتب له مثل ما كان يعمل مقيما صحيحا

“Apabila seorang hamba sakit atau sedang melakukan safar, Allah akan menuliskan baginya pahala seperti saat ia lakukan ibadah di masa sehat dan bermukim.”[8]

Subhanallah, kita sedang berbaring dan beristirahat akan tetapi pahala kita terus mengalir, apalagi yang menghalangi anda untuk tidak bergembira wahai orang yang sakit.

 

Sesudah kesulitan pasti datang kemudahan

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراْْْ, إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً ً

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”[9]

 

Ini merupakan  janji Allah, tidak pernah kita menemui manusia yang selalu merasa kesulitan dan kesedihan, semua pasti ada akhir dan ujungnya. Allah menciptakan segala sesuatu berpasangan, susah-senang, lapar-kenyang, kaya-miskin, sakit-sehat. Salah satu hikmah Allah menciptakan sakit agar kita bisa merasakan nikmatnya sehat. sebagaimana orang yang makan, ia tidak bisa menikmati kenyang yang begitu nikmatnya apabila ia tidak merasakan lapar, jika ia merasa agak kenyang atau kenyang maka selezat apapun makanan tidak bisa ia nikmati. Begitu juga dengan nikmat kesehatan, kita baru bisa merasakan nikmatnya sehat setelah merasa sakit sehingga kita senantiasa bersyukur, merasa senang dan tidak pernah melalaikan lagi nikmat kesehatan serta selalu menggunakan nikmat kesehatan dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat. Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,

 

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

 

“Ada dua kenikmatan yang sering terlupakan oleh banyak orang: nikmat sehat dan waktu luang.”[10]

 

Bersabarlah dan bersabarlah

Kita akan mendapatkan semua keutamaan tersebut apabila musibah berupa penyakit ini kita hadapi dengan sabar. Agar kita dapat bersabar, hendaknya kita mengingat keutamaan bersabar yang sangat banyak. Allah banyak menyebutkan kata-kata sabar dalam kitab-Nya.

 

Berikut adalah beberapa keutamaan bersabar:

Sabar memiliki keutamaan yang sangat besar di antaranya:

1. Mendapatkan petunjuk. Allah Ta’ala berfirman:

“Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”[11]

2. Mendapatkan pahala yang sangat besar dan keridhaan Allah.

Allah Ta’ala berfirman,

“sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabar diberikan pahala bagi mereka tanpa batas.”[12]

3. Mendapatkan alamat kebaikan dari Allah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 “Apabila Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba-Nya maka Dia menyegerakan hukuman baginya di dunia, sedang apabila Allah menghendaki keburukan pada seorang hamba-Nya maka Dia menangguhkan dosanya sampai Dia penuhi balasannya nanti di hari kiamat.”[13]

4. Merupakan anugrah yang terbaik

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tidaklah Allah menganugerahkan kepada seseorang sesuatu pemberian yang lebih baik dan lebih lapang daripada kesabaran.”[14]

 

Hindarilah hal ini ketika sakit

Ketika sakit merupakan keadaan dimana seseorang lemah fisik dan psikologis bahkan bisa membuat lemah iman. Oleh karena itu kita mesti berhati-hati agar kondisi ini tidak dimanfaatkan oleh syaitan. Ada beberapa hal yang harus kita hindari ketika sakit.

1. berburuk sangka kepada Allah atau merasa kecewa bahkan marah kepada takdir Allah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya Allah azza wa jalla berfirman: Aku sesuai dengan prasangka hamba kepada-Ku, jika ia berprasangka baik, maka aku akan berbuat demikian terhadapnya. Jika ia berprasangka buruk, maka aku akan berbuat demikian terhadapnya.”[15]

2. Menyebarluaskan kabar sakit dan mengeluhkannya

Merupakan salah satu tanda tauhid dan keimanan seseorang bahwa ia berusaha hanya mengeluhkan keadaannya kepada Allah saja, karena hanya Allah yang bisa merubah semuanya. Sebaliknya orang yang banyak mengeluh merupakan tanda bahwa imannya sangat tipis. kita boleh mengabarkan bahwa kita sakit tetapi tidak untuk disebarluaskan dan kita kelauhkan kepada orang banyak

3. membuang waktu dengan melakukan pekerjaan yang sia-sia selama sakit

Misalnya banyak menonton acara-acara TV, mendengarkan musik, membaca novel khayalan dan mistik, hendaknya waktu tersebut di isi dengan muhasabah, merenungi, berdzikir, membaca Al-Quran dan lain-lain.

4. Tidak memperhatikan kewajiban menutup aurat

Hal ini yang paling sering dilalaikan ketika sakit. walaupun sakit tetap saja kita berusaha menutup aurat kita selama sakit sebisa mungkin. Lebih-lebih bagi wanita, ia wajib menjaga auratnya misalnya  kaki dan rambutnya dan berusaha semaksimal mungkin agar tidak dilihat oleh laki-laki lain misalnya perawat atau dokter laki-laki

5. Berobat dengan yang haram

Kita tidak boleh berobat dengan hal-hal yang haram, misalnya dengan obat atau vaksin yang mengandung babi, berobat dengan air kencing sendiri karena Allah telah menciptakan obatnya yang halal.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit bersama obatnya, dan menciptakan obat untuk segala penyakit, maka berobatlah, tetapi jangan menggunakan yang haram.”[16]

Dan perbuatan haram yang paling berbahaya adalah berobat dengan mendatangi dukun mantra, dukun berkedok ustadz dan ahli sihir karena ini merupakan bentuk kekafiran yang bisa mengeluarkan pelakunya dari islam serta kekal di neraka.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa yang mendatangi dukun, lalu mempercayai apa yang ia ucapkan, maka ia telah kafir terhadap ajaran yang diturunkan kepada nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam”[17].

 

Sebagai penutup tulisan ini, berikut jawaban serta jalan keluar dari Allah yang langsung tertulis dalam kitab-Nya mengenai beberapa keluhan yang muncul dalam hati manusia yang lemah[18]

–Mengapa saya di uji (dengan penyakit ini)?

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:”Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS. 29:2)

“Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. 29:3)

-Mengapa saya tidak mendapatkan apa yang saya inginkan (berupa  kesehatan)?

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahu, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. 2:216)

-Mengapa ujian (penyakit) seberat ini?

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. 2:286)

-Saya mulai frustasi dengan ujian (penyakit) ini.

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. 3:139)

-Bagaimanakah saya menghadapinya?

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (QS. 3:200)

-Apa yang saya dapatkan dari semua ini?

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka,” (QS. 9:111)

-Kepada siapa Saya berharap?

“Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Ilah selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Rabb yang memiliki ‘Arsy yang agung”. (QS. 9:129)

-Saya sudah tidak dapat bertahan lagi dan menanggung beban ini!

“Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”. (QS. 12:87)

 

Disempurnakan di Lombok, pulau seribu masjid

30 Muharram 1433 H, Bertepatan  25 Desember 2011

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen

Muraja’ah: ustdaz Fakhruddin, Lc [Mudir Ma’had Abu Hurairah Mataram]

artikel https://muslimafiyah.com

 

MUSLIMAFIYAH

Dianjurkan Menulis Wasiat Ketika Sakit

Mungkin sunnah ini jarang dipraktekkan kaum muslimin. Yaitu disunnahkan bagi seseorang yang sakit agar menulis wasiat. Bahkan menulis wasiat tidak hanya ketika sakit saja tetapi kapan saja ketika ia memiliki sesuatu untuk di wasiatkan. Misalnya ketika akan berpergian jauh dan lama. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُرِيْدُ أَنْ يُوْصِيَ فِيْهِ يَبِيْتُ لَيْلَتَيْنِ إِلاَّ وَوَصِيِّتُهُ مَكْتُوْبَةٌ عِنْدَهُ

Tidak pantas bagi seorang muslim yang memiliki sesuatu yang ingin ia wasiatkan untuk melewati dua malamnya melainkan wasiatnya itu tertulis di sisinya.”1

Ibnu Umar radhiallahu ’anhuma berkata,

ما مرت على ليلةٌ منذُ سمعتُ رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ذلك إلا وعندي وصيتي

Semenjak kudengar sabda beliau ini, tidak pernah lewat satu malam pun, melainkan aku sudah mempunyai wasiat”.

Hukumnya adalah sunnah dan tidak mesti wasiat seputar harta

Dalam Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah dijelaskan,

الوصية للميت مستحبة فيما ينفعه ، إذا كان عنده مال كثير يستحب أن يوصي بالثلث أو بالربع ، أو بالخمس في وجوه البر وأعمال الخير ، ولا تجب عليه ، ولكن إذا أراد ذلك ينبغي أن يبادر ويكتبها

“Wasiat hukumnya mustahab/sunnah. Jika ia mempunyai harta yang banyak, disunnahkan berwasiat dengan sepertiga atau seperempat atau seperlima (dari harta tersebut). Atau berwasiat untuk mewujudkan kebaikan dan amal kebaikan. Hukumnya tidak wajib akan tetapi jika ia berkehendak maka sebaiknya ia bersegera menulisnya.”2

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata,

إنما تكتب إذا كان له شيء يوصي فيه، أما إذا ما كان له شيء يوصي فيه فإنها لا تشرع له

“Wasiat ditulis jika ia mempunyai sesuatu untuk diwasiatkan adapun jika tidak ada maka tidak diwajibkan baginya”3

Tidak mesti berwasiat saat sakit keras/pengantar ajal saja

Mungkin ada yang salah paham dalam hal ini, mungkin pernah membaca firman Allah Ta’ala,

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْراً الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقّاً عَلَى الْمُتَّقِينَ

Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf , (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 180)

Maka maksudnya adalah wajib meninggalkan harta yang cukup untuk ahli waris ketika meninggal, jika ia memiliki harta dan tidak mewasiatkan kepada yang lain sehingga kerabatnya terlantar.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata,

وكان قد {تَرَكَ خَيْرًا} [أي: مالا] وهو المال الكثير عرفا، فعليه أن يوصي لوالديه وأقرب الناس إليه بالمعروف، على قدر حاله من غير سرف

“Maksud “taraka khairan” adalah harta yaitu harta yang cukup banyak menurut adat saat itu, dan wajib baginya berwasiat bagi anak dan kerabatnya dengan baik sesuai dengan keadaannya tanpa berlebihan.”4

Imam An-Nawawi menukil perkataan Imam Asy-Syafi’I rahimahullahu,

ويستحب تعجيلها وأن يكتبها في صحته ويشهد عليه فيها ويكتب فيها ما يحتاج إليه فإن تجدد له أمر يحتاج إلى الوصية به ألحقه بها قالوا ولا يكلف أن يكتب كل يوم محقرات المعاملات وجزيئات الأمور المتكررة وأما قوله صلى الله عليه وسلم ووصيته مكتوبة عنده فمعناه مكتوبة وقد أشهد

“Dianjurkan agar bersegera menulis wasiat, menulisnya ketika sehat dan dipersaksikan. Ia tulis sesuai dengan yang dibutuhkan. Jika perkaranya berubah maka ia perbarui wasiat tersebut sesuai keadaan.”5

Berwasiat kabaikan dan takwa

Tidak mesti berwasiat mengenai harta, hutang, klaim dan urusan-urusan dunia, tetapi yang lebih penting berwasiat kepada kerabatnya agar bertakwa dan istiqamah dalam agama. Karena wasiat takwa adalah wasiat yang paling mulia, wasiat yang menjamin kebahagiaan di dunia dan di akhirat bagi orang yang berpegang teguh kepadanya.

Tentu lebih mengena jika kita berwasiat kepada keluarga kita dengan tulisan,

wahai anakku, bertakwalah kepada Allah, jangan nakal ya, tetap semangat belajar dan jangan lupakan akhirat

wahai istriku, bertakwalah kepada Allah dan didiklah anak kita agar sukses di akhirat

Atau wasiat semacamnya dengan kata-kata yang menyentuh dan memberi semangat.

Begitu juga para ulama memberikan wasiat kepada keluarganya semisal agar jangan mengangis berlebihan jika saya meninggal, kubur saya jangan di bangun bangunan dan jangan mengadakan peringatan kematian saya dan lain-lainnya.

wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/24484-dianjurkan-menulis-wasiat-ketika-sakit.html