Jangan Hanya Penuhi Kebutuhan Dunia Keluarga!

INILAH kriteria suami idaman yang pasti akan membawa kebaikan dalam rumah tangga. Kedua: Suami peduli pada kebagusan agama istri dan anaknya, bukan terus memenuhi kepentingan dunianya saja

Allah Taala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At- Tahrim: 6)

Adh-Dhahak dan Maqatil mengenai ayat di atas, “Menjadi kewajiban seorang muslim untuk mengajari keluarganya, termasuk kerabat, sampai pada hamba sahaya laki-laki atau perempuannya. Ajarkanlah mereka perkara wajib yang Allah perintahkan dan larangan yang Allah larang.” (HR. Ath-Thabari, dengan sanad shahih dari jalur Said bin Abi Urubah, dari Qatadah. Lihat Tafsir Al-Quran Al-Azhim, 7:321)

Kepala rumah tangga yang baik mengajak anaknya untuk shalat sebagaimana yang suri tauladan kita perintahkan, “Perhatikanlah anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat ketika mereka berumur 7 tahun. Jika mereka telah berumur 10 tahun, namun mereka enggan, pukullah mereka.” (HR. Abu Daud, no. 495; Ahmad, 2: 180. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Coba perhatikan nikmatnya jika rumah tangganya dibina dengan agama. Sungguh nikmat dan seuju. Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah menyuruh suami-istri untuk shalat malam bareng,

“Semoga Allah merahmati seorang lelaki yang bangun di waktu malam lalu mengerjakan shalat dan ia membangunkan istrinya lalu si istri mengerjakan shalat. Bila istrinya enggan untuk bangun, ia percikkan air di wajah istrinya. Semoga Allah merahmati seorang wanita yang bangun di waktu malam lalu mengerjakan shalat dan ia membangunkan suami lalu si suami mengerjakan shalat. Bila suaminya enggan untuk bangun, ia percikkan air di wajah suaminya.” (HR. Abu Daud, no. 1450; An-Nasai, no. 1611. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

“Semoga Allah merahmati seorang lelaki yang bangun di waktu malam lalu mengerjakan shalat dan ia membangunkan istrinya lalu si istri mengerjakan shalat. Bila istrinya enggan untuk bangun, ia percikkan air di wajah istrinya. Semoga Allah merahmati seorang wanita yang bangun di waktu malam lalu mengerjakan shalat dan ia membangunkan suami lalu si suami mengerjakan shalat. Bila suaminya enggan untuk bangun, ia percikkan air di wajah suaminya.” (HR. Abu Daud, no. 1450; An-Nasai, no. 1611. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

INILAH MOZAIK

Berilah Nafkah sesuai Kemampuan

INILAH kriteria suami idaman yang pasti akan membawa kebaikan dalam rumah tangga. Ketiga: Memberi nafkah kepada keluarga dengan baik

Dari Muawiyah Al-Qusyairi radhiyallahu anhu, ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengenai kewajiban suami pada istri, lantas Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Engkau memberinya makan sebagaimana engkau makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian -atau engkau usahakan-, dan engkau tidak memukul istrimu di wajahnya, dan engkau tidak menjelek-jelekkannya serta tidak memboikotnya (dalam rangka nasehat) selain di rumah.” (HR. Abu Daud, no. 2142. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).

Besaran nafkah itu seperti apa? Allah Taala berfirman, “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya.” (QS. Ath Tholaq: 7).

Abul Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah berkata, “Yang tepat dan lebih benar sebagaimana yang dinyatakan oleh kebanyakan ulama (baca: jumhur) bahwa nafkah suami pada istri kembali pada kebiasaan masyarakat (kembali pada urf) dan tidak ada besaran tertentu yang ditetapkan oleh syariat. Nafkah itu berbeda sesuai dengan perbedaan tempat, zaman, keadaan suami istri dan adat yang ada.” (Majmuah Al-Fatawa, 34: 83)

Bagaimana jika suami tidak memberi nafkah?

Dari Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata bahwa Hindun binti Utbah, istri dari Abu Sufyan, telah datang berjumpa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan itu orang yang sangat pelit. Ia tidak memberi kepadaku nafkah yang mencukupi dan mencukupi anak-anakku sehingga membuatku mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah berdosa jika aku melakukan seperti itu?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Ambillah dari hartanya apa yang mencukupi anak-anakmu dengan cara yang patut.” (HR. Bukhari, no. 5364; Muslim, no. 1714)

INILAH MOZAIK

Hanya di Medsos Hal Ini Bisa Terjadi

TAK ada yang tak mengakui bahwa perkembangan teknologi medsos itu memiliki banyak manfaat. Komunikasi menjadi lebih lancar. Bahkan saking lancarnya, banyak yang tak sadar dirinya telah menghabiskan waktu di dunia medsos itu dengan melupakan dunia nyata.

Namun ada dua hal penting yang kadang tidak disadari, yaitu bahwa hanya di medsoslah terjadi 2 hal naif berikut ini: pengecut yang mengancam pemberani dan orang bodoh yang menguji orang cerdas. Di dunia nyata, sesungguhnya jarang kita dengar cacian dan hinaan langsung yang ditujukan kepada para tokoh agama. Hanya di medsoslah mereka berani mengolok-olok para tokoh itu. Buktinya adalah bahwa saat penghina di medsos itu didatangi ke rumahnya dan dimintai klarifikasi, malah sikapnya tak segarang di medsos dan bahkan melembut meminta maaf.

Orang secerdas apapun akan dikritik dan ditantang oleh orang yang tak sealiran dengan diri mereka. Ini hanya terjadi medsos. Di dunia nyata, para cerdas cendikia itulah yang menguji para orang yang tengah belajar agar lebih pandai dan arif menyikapi persoalan hidup. Di medsos, orang tak tamat sekolah banyak sekali yang “menguji” para cerdas cendikia itu dengan mempertanyakan keahlian dan lain sebagainya. Ah, dunia medsos.

Kalau kita termasuk korban dari dua macam manusia itu, jangan habiskan waktu melayani mereka. Cikup katakan “salaamaa” seperti yang diajarkan al-Qur’an. Melayani orang yang belum kenal dirinya sendiri, belum tahu kadar dirinya sendiri, lebih sering bermakna buang-buang waktu. Teruslah positif menjalani hidup dan persembahkan yang terbaik selalu. Salam, AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

INILAH MOZAIK

Adab-Adab Ketika Bangun Tidur

Tidur adalah anugrah dan nikmat dari Allah bagi manusia. Dengan tidur, badan rileks kembali, menjadi segar dan tubuh pun menjadi sehat. Maka, jika bangun tidur, hendaknya kita bersyukur kepada Allah dengan menerapkan beberapa adab Islam yang dianjurkan untuk dilakukan ketika bangun tidur.

Berikut ini adab-adab tersebut:

  1. Membaca doa bangun dari tidur dan memperbanyak dzikir

Dianjurkan ketika bangun tidur untuk membaca doa sebagaimana yang ada dalam hadits dari Hudzaifah bin Al Yaman berikut ini. Beliau radhiallahu ‘anhu mengatakan:

كان النبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ إذا أخذ مضجعه من الليلِ قال : ( اللهم باسمك أموت وأحيا ) . فإذا استيقظ قال : ( الحمد للهِ الذي أحيانا بعد ما أماتنا وإليه النشورُ )

Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbaring di tempat berbaringnya (untuk tidur) ketika malam hari, beliau berdoa: /Allahumma bismika amuutu wa ahyaa/ (Ya Allah, dengan namaMu aku mati dan aku hidup). Jika beliau bangun beliau berdoa:

الحمد للهِ الذي أحيانا بعد ما أماتنا وإليه النشورُ

/Alhamdulillahilladzi ahyaana ba’damaa amaatana wa ilaihin nusyuur/

(Segala puji bagi Allah yang menghidupkanku dan mematikanku dan kepadaNya lah kita dikembalikan)” (HR. Bukhari no. 6325, Muslim no. 2711).

Imam An Nawawi menjelaskan:

فنبه صلى الله عليه وسلم بإعادة اليقظة بعد النوم الذي هو كالموت على إثبات البعث بعد الموت , قال العلماء: وحكمة الدعاء عند إرادة النوم أن تكون خاتمة أعماله كما سبق , وحكمته إذا أصبح أن يكون أول عمله بذكر التوحيد والكلم الطيب

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengingatkan di setiap bangun tidur, yang tidur itu mirip dengan kematian, terhadap hari kebangkitan setelah mati kelak. Para ulama mengatakan, bahwa hikmah doa sebelum tidur adalah agar penutup amalannya adalah sebagaimana disebutkan. Dan hikmah doa bangun tidur adalah agar pembuka amalan di hari itu berupa mengingat tauhid dan perkataan yang baik” (Syarah Shahih Muslim, 17 / 35).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menerangkan tentang doa bangun tidur:

فتحمد الله الذي أحياك بعد الموت وتذكر أن النشور يعني من القبور والإخراج من القبور يكون إلى الله عز وجل فتتذكر ببعثك من موتتك الصغرى بعثك من موتتك الكبرى

“(dengan membaca doa ini) maka Anda memuji Allah yang telah menghidupkan anda dari maut (tidur), dan mengingatkan anda tentang hari kebangkitan, yaitu kebangkitan dari kubur dan keluar dari kuburan, menuju Allah ‘Azza wa Jalla. Maka dengan bangkit dari kematian yang kecil (tidur) Anda ingat kepada kebangkitan dari kematian yang besar” (Syarah Riyadus Shalihin, 1/1652).

Hadits ini juga menunjukkan bahwa dianjurkan untuk memperbanyak dzikir mutlak ketika bangun tidur. Sebagaimana akan disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu pada poin 4.

  1. Mencuci tangan

Ketika bangun tidur disyariatkan untuk mencuci tangan sebelum memasukkan tangan ke dalam bejana atau melakukan aktifitas lainnya. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إذا استيقظ أحدُكم من نومِهِ، فلا يَغْمِسْ يدَه في الإناءِ حتى يغسلَها ثلاثًا . فإنه لا يَدْرِي أين باتت يدُه

Jika salah seorang di antara kalian bangun dari tidurnya, maka jangan mencelupkan tangannya ke dalam bejana sebelum ia mencucinya tiga kali. Karena ia tidak mengetahui dimana letak tangannya semalam” (HR. Bukhari no. 162, Muslim no. 278).

Ulama berbeda pendapat apakah larangan mencelupkan tangan ke dalam bejana (semua tempat yang menyimpan air) di dalam hadits ini apakah makruh ataukah haram. Ulama Hanabilah berpendapat hukumnya haram dan mencuci tangan hukumnya wajib. Namun jumhur ulama berpendapat hukumnya makruh dan mencuci tangan hukumnya mustahab (sunnah). Dalil yang dijadikan landasan oleh jumhur adalah firman Allah Ta’ala:

إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ

Jika kalian berdiri untuk shalat maka cucilah wajah-wajah kalian” (QS. Al Maidah: 6).

Andaikan mencuci tangan itu wajib, maka tentu akan disebutkan dalam ayat ini.

  1. Bersiwak

Dianjurkan bersiwak ketika bangun tidur. Dari Hudzaifah bin Al Yaman radhiallahu’anhu beliau mengatakan:

كان النبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم إذا قام مِن الليلِ يَشُوصُ فاه بالسواكِ

Biasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika bangun di malam hari beliau menggosok-gosok mulutnya dengan siwak” (HR. Al Bukhari no. 245, Muslim no. 255).

Hikmahnya anjuran ini dijelaskan oleh Syaikh Shalih Al Fauzan:

وذلك لأن النوم تتغير معه رائحة الفم؛ لتصاعد أبخرة المعدة، والسواك في هذه الحالة ينظف الفم من آثارها

“Ini dianjurkan karena ketika tidur bau mulut biasanya berubah, disebabkan uap dari perut yang naik. Dan dalam keadaan ini, dengan bersiwak akan menghilangkan bau yang tidak sedap di mulut” (Al Mulakhas Al Fiqhi, 1/36).

  1. Berwudhu untuk menghilangkan malas

Ketika bangun tidur, rasa kantuk dan malas biasanya masih terasa. Dianjurkan untuk membaca dzikir ketika bangun tidur, segera berwudhu dan menuju shalat, untuk menghilangkan rasa kantuk dan malas. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

يَعقِدُ الشَّيطانُ عَلى قافيَةِ رأسِ أَحدِكُم إذا هوَ نام ثَلاثَ عُقدٍ، يَضرِبُ كلَّ عُقدةٍ مَكانَها: عليكَ ليلٌ طويلٌ فارقُدْ، فإنِ استَيقظَ فذَكَر اللهَ انحلَّت عُقدةٌ، فإن تَوضَّأ انحلَّت عُقدةٌ، فإن صلَّى انحلَّت عُقدُه كلُّها، فأَصبحَ نَشيطًا طيِّبَ النَّفسِ، وإلَّا أَصبحَ خَبيثَ النَّفسِ كَسلانَ

Setan mengikat tengkuk kepala seseorang di antara kalian ketika sedang tidur dengan tiga ikatan. Pada setiap ikatannya ia mengatakan: “malammu masih panjang, teruslah tidur”. Maka jika orang tersebut bangun, kemudian ia berdzikir kepada Allah, terbukalah satu ikatan. Kemudian jika ia berwudhu terbukalah satu ikatan lagi. Kemudian jika ia shalat maka terbukalah seluruh ikatan. Sehingga ia pun bangun dalam keadaan bersemangat dan baik jiwanya. Namun jika tidak melakukan demikian, maka ia biasanya akan bangun dalam keadaan buruk jiwanya dan malas” (HR. Bukhari no. 1142, Muslim no. 776).

  1. Bersegera untuk shalat

Jika seseorang bangun di malam hari atau bangun di waktu subuh, maka hendaknya ia bersegera untuk mengerjakan shalat dan tidak menunda-nundanya agar tidak terus tenggelam dalam rasa malas dan kantuk. Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Abu Hurairah di atas. Dan ini juga merupakan bentuk rasa syukur kepada Allah Ta’ala karena telah dihidupkan kembali, diberi kesempatan untuk bangun dan menghirup udara kembali. Sehingga rasa syukur atas hal ini diwujudkan dalam bentuk ibadah. Al ‘Aini mengatakan:

يَنْبَغِي أَن يجْتَهد المستيقظ على أَدَاء صَلَاة الْفجْر شكرا لله على حَيَاته وإعادة روحه إِلَيْهِ، وَيعلم أَن لإقامتها فضلا عَظِيما

“Hendaknya orang yang bangun tidur bersungguh-sungguh untuk segera mengerjakan shalat fajar (subuh), sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah atas kehidupan yang Allah berikan dan atas dikembalikannya ruh ke dalam tubuh kita. Dan hendaknya ia memahami bahwa hal itu merupakan nikmat yang besar” (Umdatul Qari, 5/70).

Demikian semoga bermanfaat.

Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa Shahbihi wasallam

***

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/36486-adab-adab-ketika-bangun-tidur.html

Perkara yang Banyak Memasukkan Seseorang ke Surga atau Neraka

Dua tempat yang menjadi tujuan seluruh manusia di Kampung Akhirat kelak adalah surga dan neraka. Namun tentu saja surga menjadi tempat paling favorit, meski ada juga yang menghendaki neraka sebagai persinggahannya.

Hanya tak banyak diketahui bahwa ada dua perkara yang paling banyak menyebabkan seseorang masuk surga. Pun demikian ada dua perkara yang paling banyak menyebabkan seseorang masuk neraka. Apa sajakah itu?

Jawabannya dapat diketahui dari sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini.

“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang perkara yang menyebabkan banyak memasukkan seseorang ke dalam surga. Beliau menjawab, ‘Takwa kepada Allah dan berakhlak yang baik’. Beliau ditanya juga mengenai perkara yang banyak memasukkan seseorang ke dalam neraka. Beliau menjawab, ‘Perkara yang disebabkan karena mulut dan kemaluan’,” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Takwa kepada Allah Ta’ala, secara umum dimaknai sebagai upaya seorang hanba untuk menjalankan semua perkara yang diperintahkan oleh Allah dan meninggalkan semua larangan yang dilarang oleh-Nya.

Inilah makna umum takwa, karena takwa diambil dari kata ‘wiqoyah’, yang berarti bahwa semua manusia meminta perlindungan dari adzab Allah dan tidak ada sesuatupun yang dapat melindungi dari adzab Allah kecuali menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Sementara perkara kedua yang banyak memasukkan seseorang ke dalam surga adalah akhlak yang baik. Akhlak dimaknai sebagai tolok ukur kesempurnaan iman seorang hamba sebagaimana disabdakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, “Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya.”

Adapun dua perkara yang banyak menyebabkan manusia masuk ke dalam neraka adalah mulut dan kemaluan. Makna dari mulut di sini adalah lisan atau ucapan yang sesungguhnya manusia seringkali berbicara tanpa peduli kalau hal tersebut akan menyebabkan ia masuk ke dalam neraka.

Aktifitas lidah itu tidak melelahkan, maka sering didapatkan orang banyak bicara sesuatu yang membahayakan dirinya, seperti ghibah, namimah, melaknat, mencela, dan mencaci, akan tetapi ia tidak menyadari hal itu, sehingga ia memperoleh dosa yang banyak karena perbuatannya itu.

Adapun farj (kemaluan) maksudnya di sini adalah zina, dan lebih keji dari itu adalah liwath (homo seksual). Hal yang demikian itu banyak menjerumuskan manusia karena seringkali embuat mereka terbuai, sedikit demi sedikit hingga mereka terjerumus pada kemaksiatan dan mereka tidak menyadarinya.

Ketika telah mengetahui hal-hal yang banyak menyebabkan seseorang masuk ke dalam surga yaitu takwa dan berbuat baik, maka seorang muslim yang baik tentu akan berusaha mendapatkannya.

Begitu juga sebaliknya, ketika mengetahui hal-hal yang menyebabkan seseorang masuk ke dalam neraka yaitu, mulut dan kemaluan, maka seorang muslim yang baik akan berusaha untuk menjauhinya.

Lantas, bagaimana caranya?

Allah ‘Azza wa Jalla menganjurkan hamba-hamba-Nya agar segera bertaubat ketika berbuat dosa dan mengerjakan kebajikan dan berlomba untuk memperoleh derajat muttaqin.

Firman Allah, “Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Tuhan kalian dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,” (QS. Ali Imran: 133).

Sementara akhlak, maka tolok ukur akhlak yang agung, tentu saja ahlak Nabi Saw., dimana beliau merupakan teladan paripurna bagi seluruh manusia.

Dari manusia agung ini setiap manusia dapat belajar bagaimana menjaga mulut, anggota tubuhnya, termasuk kemaluan agar tidak mendatangkan murka Allah Ta’ala.

Wallahu A’lam.

MUSLIM OBSESSION

Waktu Tidur Ideal Seorang Muslim

Waktu Tidur Setelah Shalat Isya

Waktu tidur ideal bagi seorang muslim adalah langsung tidur sebisa mungkin setelah shalat Isya, akan tetapi apabila ada kegiatan yang lebih mashlahat dan untuk kebaikan, ia boleh melakukan aktivitas yang bermanfaat setelah shalat isya seperti belajar, menerima tamu, berbincang-bincang dengan  keluarganya, tentu hendaknya tidak begadang sampai larut.

Dalil tidur setelah isya berdasarkan hadits makruhnya berbincang-bincang setelah shalat Isya, Dari Abu Barzah radhiallahu ‘anhu

أنَّ رسولَ الله – صلى الله عليه وسلم – كان يكرهُ النَّومَ قَبْلَ العِشَاءِ والحَديثَ بَعْدَهَا

 “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyukai tidur sebelum shalat ‘Isya’ dan berbincang-bincang setelahnya.” [HR. Bukhatri & Muslim]

Syaikh Abdulah Al-Faqih menjelaskan,

فقد كان النبي صلى الله عليه وسلم ينام أول الليل بعد العشاء، إذ كان يكره النوم قبل العشاء والحديث بعدها

“Adalah kebiasaan Nabis shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur di awal malam setelah salat Isya, karena dimakruhkan tidur sebelum shalat Isya dan berbincang-bincang setelahnya.” [Fatawa As-Syabakiyyah no. 251950]

Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa tidur di awal malam bermanfaat bagi kesehatan, beliau berkata:

وأنفع النوم : ما كان عند شدة الحاجة إليه ، ونوم أول الليل أحمد وأنفع من آخره

“Tidur yang paling bermanfaat adalah tidur ketika sangat mengantuk, tidur di awal malam paling baik dan paling bermanfaat dari lainnya.” [Madarijus Salikin 1/459-460]

Berbincang-Bincang Setelah Isya

An-Nawawi menjelaskan bahwa hukum asal berbincang-bincang setelah isya adalah makruh, akan tetapi apabila ada mashlahat dengan berbincang-bincang maka tidak diperbolehkan. Beliau berkata:

قال العلماء : والمكروه من الحديث بعد العشاء هو ما كان في الأمور التي لا مصلحة فيها ، أما ما فيه مصلحة وخير فلا كراهة فيه ، وذلك كمدارسة العلم وحكايات الصالحين ومحادثة الضيف والعروس للتأنيس ومحادثة الرجل أهله وأولاده للملاطفة والحاجة ومحادثة المسافرين

“Para ulama berkata: makruh hukumnya berbincang-bincang setelah Isya, apabila pada perkara yang tidak ada mashlahatnya. Adapun apabila ada mashlahatnya maka baik dan bukan makruh. Misalnya seperti mempelajari ilmu, menceritakan kisah orang shlaih, berbincang-bincang dengan tamu, acara pernikahan, berbincang-bincang dan beramah-tamah dengan istri dan anak-anaknya dan perbincangan antar musafir.” [Syarah Muslim, 5/149]

Catatan Penting

  1. Hendaknya berbincang-bincang setelah Isya tidak sampai begadang, karena Allah menjadikan malam sebagai waktu istirahat utama.

Allah berfirman,

 وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاساً

“dan Kami jadikan malam sebagai pakaian. [An Naba’ : 10]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

فإن النبي صلى الله عليه وسلم كان يكره النوم قبل صلاة العشاء والحديث بعدها وإذا أطال الإنسان السهر فإنه لا يعطي بدنه حظه من النوم، ولا يقوم لصلاة الصبح، إلا وهو كسلان تعبان، ثم ينام في أول نهاره عن مصالحة الدينية والدنيوية، والنوم الطويل في أول النهار يؤدي إلى فوات مصالح كثيرة

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum isya dan berbincang-bincang (tidak bermanfaat) setelahnya. Jika seseorang begadang semalaman dan tidak memberikan hak tidur kepada badannya, bahkan tidak shalat subuh kecuali bangn dengan tubuh yang lelah dan malas, kemudian tidur di awal hari, maka ia telah kehilangan mashlahat yang banyak.”[ Liqaa’ Asy syahri 1/333] 

  1. Pola kehidupan kita di zaman ini menyebabkan tidak memungkinkan melakukan sunnah ini terus-menerus, yaitu langsung tidur setelah isya, akan tetapi hendaknya seorang muslim pernah sesekali melakukan sunnah tidur setelah isya agar lebih mudah bangun shalat malam

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51745-waktu-tidur-ideal-seorang-muslim.html

Tafsir Ayat Proses Persalinan Maryam binti Imran

Hikmah Kisah Persalinan Maryam binti Imran

Dalam proses persalinan maryam binti Imran ketika melahirkan Nabi Isa ‘alaihi wa sallam terdapat pelajaran yang cukup berharga, yaitu keikhlasan, kesabaran dan prinsip tawakkal. Maryam binti Imram yang hamil menjauh dari manusia karena ujian berat dari Allah yaitu hamil tanpa disentuh sekalipun oleh manusia. Kaumnya menuduh ia telah berzina padahal ia dikenal seroang yang ahli ibadah. Maryam pun menjauh dari manusia dan melahirkan sendiri.

Allah ta’ala berfirman,

فَحَمَلَتْهُ فَانْتَبَذَتْ بِهِ مَكَانًا قَصِيًّا

“Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh.” (QS:Maryam | Ayat: 22).

Dalam keadaan susah payah dan lemah, ketika akan tiba waktu melahirkan serta datang nyeri menjelang melahirkan, Maryam menuju ke pohon kurma. Syaikh As-Sa’diy menjelaskan dalam tafsirnya,

فلما قرب ولادها، ألجأها المخاض إلى جذع نخلة، فلما آلمها وجع الولادة

“Tatkala waktu melahirkan sudah dekat, rasa sakit menjelang melahirkan membuat Maryam menuju ke bawah pohon kurma dan merasakan nyeri melahirkan.” (Lihat Tafsir As-Sa’diy terhadap surat Maryam ayat 22).

Maryam Menggoyangkan Pohon Kurma dengan Tangan

Dengan tubuh yang lemah Maryam mengoyangkan kurma dengan tangannya dengan goyangan yang sangat lemah sambil menahan rasa sakit, dengan harapan agar buah kurma bisa jatuh. Maryam tahu bahwa kurma ini tidak mungkin jatuh dengan goyangan tangan yang lemah sambil menahan sakit menjelang melahirkan, akan tetapi ini bentuk tawakkal yang besar dari Maryam, tetap berusaha mengambil sebab untuk terjadi sesuatu, tidak pasrah saja tanpa berbuat apa-apa.
Allah berfirman,

وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا.

“Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu” (QS. Maryam 26).

Gerakan tangan Maryam menggoyangkan kurma sangat lemah, tetapi kurma bisa jatuh ke bawah. Dalam kamus Al-Ma’aniy makna /huzziy/ (وَهُزِّي) yaitu:

هَزَّ أَغْصَانَ الشَّجَرَةِ : حَرَّكَهَا بِشَيْءٍ مِنَ الْقُوَّةِ

“Menggerakkan dahan pohon: menggerakkan dengan sedikit kekuatan” (Kamus Al-Ma’aniy).

Dalam tafsir Al-Wasith karya Ath Thanthawi dijelaskan bahwa gerakan tersebut yaitu ke kanan-kiri dan depan-belakang:

أى : وحركى نحوك أو جهة اليمين أو الشمال جذع النخلة

“Yaitu menggerakkan kearah dia (menarik) atau ke arah kanan dan kiri dari pohon kurma.” (Tafsir Al-Wasith terhadap surat Maryam ayat 26).
Al-Baghawi menjelaskan gerakannya seperti menarik ke depan dengan tangan. Beliau mengatakan,

حركي ( بجذع النخلة ) تقول العرب : هزه وهز به ، كما يقول : حز رأسه وحز برأسه

“Menggerakan pohon kurma sebagaimana perkataan orang Arab, yaitu menarik kepala (dengan tangan)” (Lihat Tafsir Al-Baghawi terhadap surat Maryam ayat 26).

Mengambil Sebab Sebagai Bentuk Tawakal

Meskipun Maryam tahu gerakan tangan yang lemah sambil menahan rasa sakit melahirkan tidak akan bisa membuat kurma jatuh, tetapi inilah bentuk tawakkal dan tidak meninggalkan sebab (daripada pasrah total). Syaikh Abdul Aziz Bin Baz berkata,

وهذا أمرٌ لها بالأسباب، وقد هزت النخلة وتعاطت الأسباب، حتى وقع الرطب فليس في سيرتها ترك الأسباب

“Ini adalah perkara yang memiliki sebab. Maryam menggoyangkan kurma dan menempuh terjadinya sebab sehingga kurma jatuh. Tidaklah ia meninggalkan sebab/usaha (tidak pasrah total).” (Majmu’ Fatawa 4/427).

Tentunya kita memahami dengan jelas bahwa tujuan Maryam menggoyang pohon kurma ini adalah untuk mendapatkan kurma agar bisa dimakan. Gerakan bukanlah gerakan yang khusus atau gerakan yang dimaksudkan untuk ta’abbud (ibadah) atau tujuan lainnya. Ini jelas tersirat dalam firman Allah:

تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا

“Niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu” (QS. Maryam 26).

Syaikh Abdurrahman As- Sa’diy menjelaskan akhirnya kurma yang jatuh adalah kurma yang bermanfaat. Beliau berkata:

أي: طريا لذيذا نافعا

“Yaitu kurma yang segar, enak dan bermanfaat.” (Lihat Tafsir as-Sa’diy terhadap surat Maryam ayat 26).

Sebagian ulama menafsirkan bahwa ucapan tersebut adalah ucapan hiburan agar Maryam tidak bersedih hati, yang diucapkan oleh Nabi Isa ‘alaihissalam setelah lahir. Disebutkan dalam ayat,

فَنَادَاهَا مِنْ تَحْتِهَا أَلَّا تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيًّا. وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا. فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا

“Maka menyerunya dari tempat yang rendah: “Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu, maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu.” (QS:Maryam | Ayat: 24-26).

Ibnu Katsir berkata,

وقال مجاهد : ( فناداها من تحتها ) قال : عيسى ابن مريم ، وكذا قال عبد الرزاق ، عن معمر ، عن قتادة قال : قال الحسن : هو ابنها . وهو إحدى الروايتين عن سعيد بن جبير : أنه ابنها

“Mujahid berkata bahwa yang menyeru dari arah bawah adalah Isa bin Maryam. Demikian juga pendapat Abdurrazzaq dari Ma’mar dari Qatadah dari Al-Hasan bahwa yang berkata demikian adalah anaknya Maryam (Nabi Isa). Salah satu dari dua riwayat Sa’id bin Jubair juga menegaskan bahwa itu adalah anak Maryam (nabi Isa).” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir).

Karenanya beberapa ulama menafsirkan bahwa kurma itu makanan yang baik bagi ibu yang sedang menjalani masa nifas. Ahli Tafsir Al-Baghawi membawakan perkataan Ar-Rabi’ bin Khutsaim dalam tafsirnya,

ما للنفساء عندي خير من الرطب ، ولا للمريض خير من العسل

“Makanan terbaik bagi wanita nifas adalah kurma dan makanan terbaik bagi orang sakit adalah madu.” [Lihat Tafsir Al-Baghawi]

Demikian semoga bermanfaat.

@ Lombok, Pulau seribu Masjid

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen, M.Sc, Sp.PK

Artikel ini telah dimuraja’ah dan diedit oleh:
Ustadz Yulian Purnama, S.Kom

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51821-tafsir-ayat-proses-persalinan-maryam-binti-imran.html

Jangan Suka Melaknat (Bag. 2)

Berhati-Hati dalam Melaknat

An-Nawawi rahimahullah berkata,

“Ketahuilah bahwa melaknat seorang muslim yang terjaga (kehormatannya) itu haram berdasarkan ijma’ kaum muslimin. Namun boleh melaknat orang-orang yang memiliki sifat tercela, seperti ucapanmu, “Laknat Allah untuk orang-orang dzalim, laknat Allah untuk orang-orang kafir, laknat Allah untuk orang-orang Yahudi dan Nasrani, laknat Allah untuk orang-orang fasik, laknat Allah untuk tukang gambar (makhluk bernyawa, pen.), dan semacamnya.” (Al-Adzkar, hal. 303)

Hukum Melaknat dengan Bahasa General

Terdapat beberapa hadits yang menunjukkan bolehnya melaknat dengan bahasa general. 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَعَنَ اللهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى، اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

“Laknat Allah untuk orang-orang Yahudi dan Nashrani, mereka menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai masjid.” (HR. Bukhari no. 435, 436 dan Muslim no. 529)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ غَيَّرَ الْمَنَارَ

“Laknat Allah untuk orang yang menyembelih untuk selain Allah, dan laknat Allah untuk orang yang melindungi penjahat (buron) [1], laknat Allah untuk orang yang melaknat kedua orang tuanya, dan laknat Allah untuk orang yang memindahkan (mengubah) tanda patok batas tanah.” (HR. Muslim no. 1978)

Hukum Melaknat dengan Menyebut Person Tertentu

Adapun melaknat dengan menyebutkan nama person tertentu (misalnya, “Laknat Allah untuk si fulan A si pencuri itu”), maka terdapat perselisihan pendapat di antara ulama apakah diperbolehkan ataukah tidak. Sebagian ulama membolehkan, sebagian yang lain tidak membolehkannya. 

An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan,

“Adapun melaknat person tertentu yang melakukan maksiat, seperti Yahudi, Nashrani, orang zalim, pezina, tukang gambar, pencuri, pemakan riba, maka makna yang ditangkap dari hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa hal itu tidaklah haram. Namun Al-Ghazali rahimahullah mengisyaratkan haramnya hal tersebut, kecuali pada orang-orang yang kita ketahui bahwa dia meninggal di atas kekafiran, seperti Abu Lahab, Abu Jahal, Fir’aun, Haman, dan orang-orang semisal mereka. Al-Ghazali berkata, “Karena laknat itu berarti (berdoa) menjauhkan seseorang dari rahmat Allah Ta’ala. Sedangkan kita tidak mengetahui bagaimana kondisi akhir hidup orang fasik atau orang kafir ini. Al-Ghazali juga berkata, “Yang mendekati kalimat laknat adalah mendoakan kejelekan untuk orang lain, meskipun orang zalim. Seperti ucapan seorang yang terzalimi, “Semoga Allah tidak memberikan badan yang sehat untukmu, semoga Allah tidak menyelamatkanmu, dan ucapan semisal itu.” (Al-Adzkar, hal. 304)

Setelah membawakan perkataan An-Nawawi di atas, Syaikh Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahthani rahimahullah menguatkan pendapat Al-Ghazali dengan berkata,

“Yang benar, wallahu a’lam, adalah pendapat Al-Ghazali yang mengatakan bahwa tidak boleh melaknat orang-orang yang telah diketahui memiliki maksiat tertentu, kecuali pada orang tertentu yang kita ketahui bahwa dia mati di atas kekafiran. Hal ini karena kita tidak mengetahui bagaimana akhir hidup orang fasik atau orang kafir ini. Betapa banyak kita melihat atau betapa banyak kita mendengar orang-orang yang terjerumus dalam maksiat dan kekafiran, kemudian Allah Ta’ala beri hidayah dan menutup hidupnya dengan kebaikan. Mereka menjadi penolong kebenaran setelah sebelumnya menjadi penolong kebatilan.” (Afaatul Lisaan, hal. 94)

Pendapat ini juga dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, dengan alasan yang sama, yaitu adanya kemungkinan orang tersebut untuk bertaubat.

Namun, wallahu a’lam, pendapat yang benar dalam masalah ini adalah pendapat ulama yang menyatakan bolehnya melaknat person tertentu sekalipun, namun dengan syarat bahwa mereka memang berhak untuk mendapatkan laknat. Jika tidak, maka yang mendoakan laknat tersebut telah berbuat kezaliman.

Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seekor keledai yang diberi cap (diberi tanda atau wasm) mukanya [2], beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

لَعَنَ اللهُ الَّذِي وَسَمَهُ

“Laknat Allah untuk orang yang melakukannya.” (HR. Muslim no. 2117)

Hadits di atas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat person tertentu, yaitu orang yang memberi cap (wasm) pada binatang tersebut. Tentu bahasa di atas mengarah kepada person pelakunya, bukan laknat secara umum (general).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda setelah sebagian suku Arab membantai sahabat-sahabatnya terbaiknya secara licik dan culas,

اللهُمَّ الْعَنْ لِحْيَانَ، وَرِعْلًا، وَذَكْوَانَ، وَعُصَيَّةَ عَصَتِ اللهَ وَرَسُولَهُ

“Ya Allah, laknatlah bani Lihyan, bani Ri’l, bani Dzakwaan dan bani ‘Ushayyah. Mereka telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Muslim no. 675)

Hadits di atas juga menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat secara spesifik, dengan menyebutkan kabilah-kabilah Arab yang telah membantai sahabat terbaik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Wallahu Ta’ala a’lam. [3]

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51763-jangan-suka-melaknat-bag-2.html

Jangan Suka Melaknat (Bag. 1)

Salah satu akhlak buruk yang harus kita jauhi adalah suka melaknat. Laknat adalah (berdoa) menjauhkan orang lain dari rahmat Allah Ta’ala. Sifat suka melaknat merupakan akhlak tercela yang dapat mengurangi kesempurnaan iman. 

Hadits-Hadits Tentang Larangan Melaknat

Dari sahabat Tsaabit bin Adh-Dhakhak radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَعْنُ الْمُؤْمِنِ كَقَتْلِهِ

“Melaknat seorang mukmin itu seperti membunuhnya.” (HR. Bukhari no. 6105 dan Muslim no. 110)

Yang dimaksud dengan “seperti” dalam hadits di atas adalah sama-sama perbuatan dosa, meskipun level dosanya tentu saja berbeda di antara dua perbuatan dosa tersebut.

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَنْبَغِي لِصِدِّيقٍ أَنْ يَكُونَ لَعَّانًا

“Tidak selayaknya orang yang jujur itu suka melaknat.” (HR. Muslim no. 2597)

Dari sahabat Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَكُونُ اللَّعَّانُونَ شُفَعَاءَ وَلَا شُهَدَاءَ، يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Sesungguhnya para pelaknat itu tidak akan dapat menjadi syuhada’ (orang-orang yang menjadi saksi) dan tidak pula dapat memberi syafa’at pada hari kiamat kelak.” (HR. Muslim no. 2598)

Dari sahabat Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَلَاعَنُوا بِلَعْنَةِ اللَّهِ، وَلَا بِغَضَبِ اللَّهِ، وَلَا بِالنَّارِ

“Janganlah saling melaknat dengan laknat Allah, jangan pula dengan murka-Nya, jangan pula dengan neraka.” (HR. Abu Dawud no. 4906 dan Tirmidzi no. 1976) [1]

Jenis-Jenis Ucapan Laknat

Dari hadits yang diriwayatkan dari sahabat Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu di atas, kita bisa memahami bahwa ada dua jenis ucapan laknat.

Ucapan Laknat yang Sharih

Ucapan laknat yang sharih (jelas-jelas mengucapkan laknat). Misalnya ucapan seseorang, “Semoga laknat Allah ditimpakan kepada si fulan.”

Ucapan Laknat Kinayah

Ucapan laknat kinayah (kiasan). Maksudnya, teks atau kalimatnya memang tidak mengatakan laknat, tetapi secara makna, sama saja dengan melaknat. Misalnya ucapan seseorang, “Murka Allah atasmu” atau “Semoga Engkau masuk neraka.”

Dari sahabat Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا لَعَنَ شَيْئًا صَعِدَتِ اللَّعْنَةُ إِلَى السَّمَاءِ فَتُغْلَقُ أَبْوَابُ السَّمَاءِ دُونَهَا، ثُمَّ تَهْبِطُ إِلَى الْأَرْضِ فَتُغْلَقُ أَبْوَابُهَا دُونَهَا، ثُمَّ تَأْخُذُ يَمِينًا وَشِمَالًا، فَإِذَا لَمْ تَجِدْ مَسَاغًا رَجَعَتْ إِلَى الَّذِي لُعِنَ، فَإِنْ كَانَ لِذَلِكَ أَهْلًا وَإِلَّا رَجَعَتْ إِلَى قَائِلِهَا

“Jika seorang hamba melaknat sesuatu, maka laknat itu akan naik ke langit, dan tertutuplah pintu-pintu langit di bawahnya. Kemudian laknat itu akan turun lagi ke bumi, namun pintu-pintu bumi telah tetutup. Laknat itu kemudian bergerak ke kanan dan ke kiri. Jika tidak mendapatkan tempat berlabuh, ia akan menghampiri orang yang dilaknat, jika orang itu memang layak dilaknat. Namun jika tidak, maka laknat itu akan kembali kepada orang yang melaknat.” (HR. Abu Dawud no. 4905, dinilai hasan oleh Al-Albani) 

Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ada seseorang yang melaknat angin karena selendangnya diterbangkan oleh angin tersebut. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَلْعَنْهَا، فَإِنَّهَا مَأْمُورَةٌ، وَإِنَّهُ مَنْ لَعَنَ شَيْئًا لَيْسَ لَهُ بِأَهْلٍ رَجَعَتِ اللَّعْنَةُ عَلَيْهِ

“Janganlah Engkau melaknatnya, karena sesungguhnya dia diperintah (oleh Allah). Sungguh, orang yang melaknat sesuatu padahal dia tidak pantas mendapatkan laknat, maka laknat tersebut akan kembali kepada dirinya sendiri.” (HR. Abu Dawud no. 4908, Tirmidzi no. 1978) [2]

Dari sahabat ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan, ada seorang wanita Anshar yang tengah mengendarai unta. Namun, unta yang sedang dikendarainya itu memberontak dengan tiba-tiba. Lalu dengan serta-merta wanita itu melaknat untanya. Ketika Rasulullah mendengar ucapan wanita itu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, 

خُذُوا مَا عَلَيْهَا وَدَعُوهَا، فَإِنَّهَا مَلْعُونَةٌ

“Turunkanlah beban di atas unta dan lepaskanlah unta tersebut, karena ia telah dilaknat.”

‘Imran berkata, “Sepertinya sekarang saya melihat unta tersebut berjalan di tengah-tengah manusia, tanpa ada seorang pun yang mengganggunya.” (HR. Muslim no. 2595)

Dari sahabat Abu Barzah Al Aslami radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Pada suatu ketika, seorang budak wanita sedang mengendarai unta dengan membawa perbekalan kaumnya. Lalu wanita tersebut melewati pegunungan yang sempit, hingga ketika dia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berkata, “Hus, hus, Ya Allah, laknatlah unta ini!”

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

لَا تُصَاحِبْنَا نَاقَةٌ عَلَيْهَا لَعْنَةٌ

“Kita tidak boleh menyertai unta yang (didoakan) mendapatkan laknat Allah.” (HR. Muslim no. 2596)

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51737-jangan-suka-melaknat-bag-1.html

Benarkah Safar Bulan Sial? Ini Penjelasannya!

Dalam penanggalan Hijriyah atau kalender Islam, bulan Safar adalah bulan kedua setelah Muharram. Safar sendiri dalam bahasa Arab artinya kosong.

Mengapa disebut kosong? Sebab sudah menjadi kebiasaan orang-orang Arab jahiliyah zaman dulu, meninggalkan rumah mereka sehingga menjadi kosong. Dalam artian, hal ini menunjukkan bahwa Safar diyakini sebagai bulan yang harus diwaspadai karena banyak memiliki kesialan.

Namun, ada pula yang mengatakan jika Safar diambil dari nama penyakit seperti yang juga diyakini orang Arab jahiliyah di masa lampau, yakni penyakit safar yang ada di perut. Sehingga akan membuat seseorang menjadi sakit karena terdapat ulat besar yang sangat berbahaya.

Safar juga dinyatakan sebagai jenis angin berhawa panas yang terjadi pada perut serta banyak tafsiran lainnya dari kata Safar tersebut.

Lebih lanjut, pendapat yang menyatakan jika bulan Safar adalah bulan sial dan tidak baik untuk mengadakan sebuah acara penting merupakan khurafat atau tahayul dan mitos.

Khurafat adalah bentuk penyimpangan dalam akidah Islam. Beberapa keyakinan dalam hal ini meliputi beberapa larangan seperti melakukan pernikahan, khitan dan berbagai perbuatan lain yang apabila dilakukan akan menimbulkan musibah atau kesialan.

Pemikiran semacam ini terus saja berkembang dari setiap generasi bahkan hingga sekarang yang dianggap sebagai bulan tidak menguntungkan.

Mitos akan hal ini sebenarnya sudah dipatahkan oleh Rasulullah Saw. yang bersabda jika bulan Safar bukanlah bulan yang sial dan sudah jelas tidak masuk dalam dasar hukum Islam.

Rasulullah Saw. juga bersabda: “Tidak ada wabah dan tidak ada keburukan binatang terbang dan tiada kesialan bulan Safar dan larilah (jauhkan diri) daripada penyakit kusta sebagaimana kamu melarikan diri dari seekor singa,” (HR. Bukhari).

Karenanya, beranggapan sial pada bulan Safar ini masuk kedalam jenis tathayyur yang dilarang dan masuk ke dalam jenis amalan jahiliyyah yang sudah dibatalkan atau dihapus dalam Islam dan ini menjadi kebiasaan dari jahiliyyah.

Sebab pada dasarnya, di bulan ini juga terdapat keutamaan bulan Shafar seperti pada bulan bulan lainnya yakni keutamaan bulan Muharram, keutamaan bulan Dzulhijjah, keutamaan bulan Rabiul akhir dan sebagainya.

Seperti halnya bulan yang lain, bulan Safar juga terdapat kebaikan serta keburukan. Kebaikan yang ada hanya semata-mata datang dari Allah dan keburukan terjadi karena takdir-Nya.

Rasulullah Saw. telah bersabda, “Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah, tidak ada kesialan karena burung hantu, tidak ada kesialan pada bulan Safar.” (HR. Al-Bukhari 5437, Muslim 2220, Abu Dawud 3911, Ahmad (II/327).

Namun juga tidak terdapat amalan istimewa yang dikhususkan untuk dirayakan pada bulan Safar dan amalan yang ada dalam bulan Safar juga sama dengan bulan lainnya. Kepercayaan tentang keburukan pada sebuah hari, bulan atau pun tempat hanyalah kepercayaan jahiliyyah sebelum datangnya Islam.

Wallahu ‘Alam bish Shawab..

(Vina – Berbagai Sumber)

MUSLIM OBSESSION