Mengapa Orang Barat Banyak yang Tertarik Masuk Islam?

Orang Barat tertarik masuk Islam puncaknya sejak 11 September.

REPUBLIKA.CO.ID, Mengapa di negara maju seperti Eropa dan Amerika Serikat sekarang banyak orang yang tergerak hatinya ingin mengkaji agama Islam? Fenomena ini terjadi setelah peristiwa 11 September. Bangsa yang berjaya dan maju sedang berbondong-bondong masuk agama Islam, tetapi sebaliknya di negara terbelakang dan miskin banyak orang yang ingin murtad (keluar) dari Islam. 

Mengapa fenomena ini terjadi? Mereka yang mengkaji Islam secara benar menemukan ajaran Islam seimbang dan relevan. Islam tidak mengharamkan kemoderenan, bahkan Islam menjadi penggerak ke arah kehidupan yang maju dan modern. Tetapi Islam juga menyediakan ruang untuk mendidik rohani di tengah kehidupan yang serba materialistis ini.

Islam bersifat mudah dan fleksibel, tata cara ibadahnya diatur oleh disiplin ilmu yang relevan sepanjang zaman. Islam sesuai dengan tabiat manusia yang memerlukan ketenangan dan kedamaian dalam hidup.

Islam bersifat universal, tidak jumud (monoton) dan menolak keras praktek kerahiban. Seorang Muslim ketika dia berdiri sebagai imam shalat, dia juga adalah seorang pemimpin, pengatur, pejuang, dan pekerja yang berdedikasi. Seorang orientalis terkenal, HAR Gibb, tanpa malu-malu memuji ajaran Islam. Dia berkata: ”Islam bukanlah semata-mata ajaran ibadah dan upacara, bahkan Islam meliputi politik dan kenegaraan, sosial dan ekonomi, undang-undang dan kekuasaan, serta perang dan perdamaian. Islam adalah satu sistem yang hidup.”

Inilah di antara daya tarik Islam bagi orang Barat yang berpikiran maju. Mereka menemukan keserasian di antara Islam dan gaya hidup modern yang produktif. Ciri-ciri produktivitas dalam Islam antara lain adalah, meletakkan ibadah dan bekerja sebagai satu visi dan misi kehidupan. Islam menuntut setiap umatnya agar menjadi Muslim yang produktif. Nabi Muhammad SAW bersabda: ”Jika kiamat hampir datang sedangkan di tangan salah seorang dari kamu ada biji benih yang hendak ditanamnya, maka jika dia mampu hendaklah dia menanamnya!” (HR al-Bukhari dan Imam Ahmad). 

KHAZANAH REPUBLIKA

Para Nabi Dan Salafush Shalih Juga Bekerja

Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia ke dunia ini, Dia juga memberikan ilham melalui fitrah dan akal mereka untuk mencari sebab-sebab memperoleh rezeki yang halal dan baik. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyediakan berbagai sarana guna mempertahankan kehidupan manusia di dunia ini, yaitu bekerja mencari beragam penghidupan yang dibolehkan syari’at.

Tuntutan fitrah ini, tidak hanya berlaku pada umumnya manusia, melainkan berlaku pula atas manusia-manusia pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kalangan para nabi dan rasul Allah, termasuk pula rasul yang paling mulia, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula orang-orang yang mengikutinya dari para salafush shalih dari generasi sahabat maupun setelahnya.

Berikut ini kami nukilkan beberapa ayat, hadits maupun atsar (riwayat tentang sahabat atau tabi’in) yang mengisyaratkan tentang hal ini. Semoga bermanfaat.

Pekerjaan Pertukangan, Industri dan Kerajinan Tangan
Allah Subhanahu wa Ta’ala berkata kepada Nabi Nuh Alaihissallam:

وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا

Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami ..” [Hud/11:37].

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Nuh Alaihissallam untuk membuat bahtera (perahu besar) yang memberi isyarat tentang pekerjaan menukang dan industri. Artinya, pekerjaan tukang dan industri merupakan salah satu jenis pekerjaan yang bisa dilakukan oleh manusia untuk dijadikan sebagai mata pencahariannya. Allah telah memberikan kemampuan berindustri membuat baju-baju besi kepada Nabi Daud Alaihissallam :

وَعَلَّمْنَاهُ صَنْعَةَ لَبُوسٍ لَكُمْ لِتُحْصِنَكُمْ مِنْ بَأْسِكُمْ فَهَلْ أَنْتُمْ شَاكِرُونَ.

Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperangan; Maka hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah)”. [Al Anbiya’/21: 80].

وَأَلَنَّا لَهُ الْحَدِيدَ. أَنِ اعْمَلْ سَابِغَاتٍ وَقَدِّرْ فِي السَّرْدِ وَاعْمَلُوا صَالِحاً إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

“… dan Kami telah melunakkan besi untuknya (yakni Daud); (yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang shalih. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan”. [Saba’/34:10-11].

Dengan kemampuan yang Allah karuniakan itulah, Nabi Daud Alaihissallam menjadikannya sebagai mata pencaharian. Beliau Alaihissallam makan dari hasilnya, padahal ia seorang nabi dan raja[1]. Hal ini telah dijelaskan pula oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya :

إِنَّ دَاوُدَ النَّبِيَّ كَانَ لاَ يَأْكُلُ إِلاَّ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

Sesungguhnya Nabi Daud tidak makan kecuali dari hasil jerih payahnya sendiri[2].

Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji orang yang makan dari hasil jerih payahnya sendiri, lalu menghubungkan pujian ini dengan menceritakan tentang Nabi Daud Alaihissallam :

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَاماً قَطْ خَيْراً مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ .

Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik dari memakan hasil jerih payahnya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Daud makan dari hasil jerih payahnya sendiri[3].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan penyebutan Nabi Daud Alaihissallam dalam hadits di atas, lantaran Daud Alaihissallam seorang nabi dan raja. Biasanya, para raja tidak perlu bekerja untuk memenuhi kebutuhan pangannya sehari-hari, karena telah dipenuhi oleh para pekerja dan pelayannya.

Masih tentang pekerjaan pertukangan ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang Nabi Zakariya Alaihissallam :

كَانَ زَكَرِيَّا نَجَّاراً .

Zakariya Alaihissallam dulu adalah seorang tukang kayu[4].

Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan: “Dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya berindustri. Dan pekerjaan tukang tidak menjatuhkan kewibawaan (seseorang), bahkan termasuk pekerjaan mulia. Dalam hadits ini (juga) terdapat (petunjuk tentang) keutamaan Zakariya Alaihissallam, karena ia (bekerja) sebagai tukang dan makan dari hasil jerih payahnya”[5]. Oleh karena itu, Imam Muslim membawakan hadits ini dalam bab Min Fadhail Zakariya Alaihissallam.

Ibnu Hajar rahimahullah menukil apa yang diriwayatkan Ats Tsauri dalam Tafsir-nya, dari Asy’ats dari Ikrimah dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: “Lukman (Al Hakim), dulu adalah seorang budak habsyi dan seorang tukang”. [Lihat Fathul Bari (6/466)].

Pekerjaan seperti di atas juga telah dikenal pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Bahkan di kalangan wanitanya sekalipun, sebagaimana disebutkan dalam riwayat-riwayat berikut.

عَنْ جَابِرٍ أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ أَلاَ أَجْعَلُ لَكَ شَيْئاً تَقْعُدُ عَلَيْهِ فَإِنَّ لِي غُلاماً نَجَّاراً. قَالَ: إِنْ شِئْتِ فَعَمِلْتِ الْمِنْبَرَ

Jabir Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, bahwa ada seorang wanita berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, tidakkah saya buatkan sesuatu untuk tempat dudukmu? Sesungguhnya saya punya budak ahli pertukangan,” maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Jika engkau mau (melakukannya), maka engkau buatkan mimbar saja.” [HR Al Bukhari no. 438].

 بِالصَّدَقَةِ، فَقَالَتْ زَيْنَبُ امْرَأَةُ عَبْدِ اللهِ: أَيُجْزِيْنِي مِنَ الصَّدَقَةِ أَنْ أَتَصَدَّقَ عَلَى زَوْجِي وَهُوَ فَقِيرٌ وَبَنِي أَخٍ لِي أَيْتَامٍ وَأَنَا أُنْفِقُ عَلَيْهِمْ هَكَذَا وَهَكَذَا وَعَلَى كُلِّ حَالٍ؟ ، قَالَ: نَعَمْ ، قَالَ: وَكَانَتْ صَنَّاعَ الْيَدَيْنِ .eعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ

Ummu Salamah menceritakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami bershadaqah”. Maka Zainab –isteri Abdullah (bin Mas’ud)- berkata: “Apakah boleh aku bershadaqah suamiku yang fakir dan kemenakan-kemenakanku yang yatim, dan aku menghidupi mereka dengan ini dan itu?” Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjwab,”Ya, boleh.” (Perawi) berkata: “Dan ia (Zainab) adalah wanita pembuat kerajinan tangan”.[6]

Aisyah Radhiyallahu ‘anha menuturkan tentang Zainab binti Jahsy (salah seorang isteri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) –ketika wafatnya :

وَكَانَتْ زَيْنَبُ امْرَأَةً صَنَّاعَةَ الْيَدِ، فَكَانَتْ تَدْبَغُ وَتَخْرِزُ وَتَصَدَّقُ فِي سَبِيلِ اللهِ . أخرجه الحاكم (4/26) وقال: هذا حديث صحيح على شرط مسلم ولم يخرجاه.

Dan Zainab adalah wanita pengrajin tangan, ia menyamak kulit dan melobangi (serta menjahit)nya untuk dibuat khuf atau lainnya. Lalu ia bershadaqah di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.”[7]

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanadnya dari Ubaid bin Al Abrash yang menuturkan, bahwa Ali Radhiyallahu ‘anhu (menetapkan) jaminan (atas) tukang.

Ia juga meriwayatkan dengan sanadnya, bahwa Umar bin Al Khaththab (menetapkan) jaminan atas setiap buruh (industri atau kerajinan) bila si pekerja merusakkan barang orang-orang yang menginginkannya membuat sesuatu untuk mereka dari barang tersebut.[8]

Demikian pula masa setelah sahabat Radhiyallahu ‘anhum, seperti disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad ketika menjelaskan salah seorang perawi tabi’in dalam sanad berikut.

Telah bercerita kepada kami Waqi’ (ia berkata), telah bercerita kepada kami Yazid bin Abu Shalih, dan ia adalah seorang penyamak kulit, memiliki postur yang bagus, dan ia memiliki empat hadits, ia berkata: “Aku mendengar Anas bin Malik berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Akan ada sekelompok manusia yang masuk neraka, hingga hangus menjadi arang…al hadits.[9]

Menggembalakan Hewan Ternak
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengisahkan tentang Musa Alaihissallam:

قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى.

Musa berkata, “Ini adalah tongkatku. Aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.” [Thaaha/20:18].

Ayat ini memberikan petunjuk bahwa Musa Alaihissallam dahulu bekerja menggembalakan kambing. Dengan bantuan tongkat di tangannya, ia menjatuhkan dedaunan dari pohon untuk memberi makan hewan gembalaannya[10]. Pekerjaan inilah yang banyak digeluti para nabi, termasuk nabi dan rasul yang paling mulia Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan dalam sabdanya:

مَا بَعَثَ اللهُ نَبِيّاً إِلاَّ رَعَى الْغَنَمَ ، فَقَالَ أَصْحَابُهُ: وَأَنْتَ؟ ، فَقَالَ: نَعَمْ، كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيطَ لِأَهْلِ مَكَّةَ . رواه البخاري.

Tidaklah Allah mengutus seorang nabi pun melainkan pernah menggembala kambing.” Para sahabat bertanya,”Dan engkau sendiri?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Ya, aku juga dulu menggembalakan (kambing-kambing) milik penduduk Mekkah dengan upah beberapa qirath[11]

Demikian pula yang berlaku pada sebagian sahabatnya, seperti dalam riwayat berikut ini :
Abdullah bin Rafi’ menuturkan: Aku pernah bertanya kepada Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu ,”Mengapa engkau dijuluki Abu Hurairah?” Ia balik bertanya,“Apakah engkau ingin merendahkan aku?” Aku jawab,“Tidak. Demi Allah, aku amat menghormatimu.” Ia pun berkata,“Aku dahulu menggembalakan kambing milik keluargaku. Waktu itu, aku mempunyai kucing kecil yang kuletakkan di sebuah pohon pada malam hari. Siang harinya aku bermain bersamanya, maka mereka pun menjulukiku Abu Hurairah (bapaknya kucing kecil)” [12]

Berdagang atau Berniaga
Aktifitas dagang atau jual beli (dengan beragam bentuknya yang dibolehkan syari’at) banyak dikerjakan oleh manusia. Para nabi juga tidak lepas dari aktifitas ini, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْوَاقِ

Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar”. [Al Furqan/25:20].

Dan tentang RasulNya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَقَالُوا مَالِ هَذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الْأَسْوَاقِ لَوْلا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُونَ مَعَهُ نَذِيراً

Dan mereka berkata: “Mengapa Rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?” [Al Furqan/25:7].

Imam Al Qurthubi rahimahullah berkata, “Masuk pasar dibolehkan untuk berniaga dan mencari penghidupan. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu masuk pasar untuk memenuhi hajatnya, disamping untuk mengingatkan manusia akan perintah Allah, berdakwah, dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyodorkan diri kepada kabilah-kabilah yang datang. Semoga Allah mengembalikan mereka kepada kebenaran.”[13]

Ibnu Katsir rahimahullah, ketika menjelaskan firman Allah Ta’ala “Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar”, beliau berkata: Yakni mereka (para rasul) adalah manusia. Mereka makan dan minum sebagaimana layaknya manusia yang lain, serta memasuki pasar untuk mencari penghasilan dan berniaga. Dan itu, tidaklah merugikan mereka lagi tidak mengurangi sedikitpun kedudukan mereka. (Tidak) sebagaimana yang disangka oleh kaum musyrikin ketika mereka mengatakan tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Dan mereka berkata: “Mengapa Rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar”.[14]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri, ketika masa mudanya sebelum diangkat menjadi nabi dan rasul, Beliau pernah berdagang ke negeri Syam dengan ditemani budak lelaki Khadijah yang bernama Maisarah, membawa barang-barang perniagaan milik Khadijah Radhiyallahu ‘anha sebelum menikahinya. [Lihat Sirah Ibnu Hisyam (2/5-6)].

Pekerjaan inilah yang banyak digeluti oleh para sahabat, baik ketika masa jahiliyah maupun setelah Islam, terutama dari kalangan Muhajirin. Diceritakan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu : “Dan sesungghnya saudara-saudara kami kaum Muhajirin sibuk dengan urusan niaga di pasar. Sedangkan saudara-saudara kami kaum Anshar sibuk mengusahakan (memutar) harta mereka …” [HR Bukhari no. 118].

Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha menceritakan: “Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu pernah keluar berniaga ke Bushra (Syam) pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pengkhususan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah mencegah Abu Bakar, yaitu untuk tidak memberikan bagiannya dari barang-barang perniagaan. Hal itu karena kekaguman dan kesukaan mereka dengan usaha niaga. Dan tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencegah Abu Bakar dari memperjualbelikan barang-barang niaganya karena kecintaan, kedekatan dan pengkhususannya terhadap Abu Bakar –dan sungguh bersahabat dengannya amat mengagumkan-, karena anjuran dan kekaguman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap usaha niaga.”[15]

Shakhr bin Wada’ah Al Ghamidi Radhiyallahu anhu menceritakan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

اللَّهُمَّ بَارِكْ لِأُمَّتِي فِي بُكُورِهَا . وَكَانَ إِذَا بَعَثَ سَرِيَّةً أَوْجَيْشاً بَعَثَهُمْ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ، وَكَانَ صَخْرٌ رَجُلاً تَاجِراً، وَكَانَ يَبْعَثُ تِجَارَتَهُ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ فَأَثْرَى وَكَثُرَ مَالُهُ.

Ya, Allah. Berkahilah untuk umatku di pagi harinya.” Dan apabila Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus pasukan, Beliau mengutusnya pada awal siang (pagi hari). Dan adalah Shakhr seorang pedagang; ia mengirimkan perniagaannya dari awal siang (pagi hari), maka ia pun menjadi kaya raya dan banyak harta[16]

Al-Barra’ bin ‘Azib dan Zaid bin Arqam Radhiyallahu ‘anhu pernah ditanya tentang sharf (tukar menukar emas dengan perak), maka keduanya menjawab: “Pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu, kami pernah berdagang. Kami bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sharf (tukar menukar emas dengan perak). Maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,’Jika dari tangan ke tangan (masing-masing langsung memperoleh barangnya), maka tidak mengapa. Tapi kalau dengan nasi’ah (dengan tempo dan masing-masing atau salah satu tidak memperoleh barangnya), maka tidak boleh’.”[17][18]

Urwah bin Az Zubair Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, bahwa Abdullah bin Ja’far Radhiyallahu ‘anhu pernah berdagang sesuatu. Lalu Ali Radhiyallahu ‘anhu berkata kepadanya:“Sungguh saya akan mendatangi Utsman Radhiyallahu ‘anhu dan akan memboikotmu,” maka Ibnu Ja’far memberitahukan hal itu kepada Az Zubair Radhiyallahu ‘anhu . Az Zubair Radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Ibnu Ja’far Radhiyallahu ‘anhu : “Saya berserikat denganmu (partner) dalam perniagaan.” Kemudian Ali Radhiyallahu ‘anhu mendatangi Utsman Radhiyallahu ‘anhu dan berkata: “Sesungguhnya Ibnu Ja’far telah melakukan perniagaan begini …, maka boikotlah dia.” Tetapi Az Zubair berkata,“Saya adalah partnernya.” Maka Utsman berkata: “Bagaimana saya akan memboikot seseorang, sementara partnernya adalah Az Zubair.”[19]

Utsman bin Affan Radhiyallahu anhu bercerita: Aku pernah menjual kurma di pasar, lalu aku mengatakan, “Aku telah menakarnya dalam wasaq-ku ini sekian, lalu aku membayar beberapa wasaq kurma dengan takaran (wasaq)nya dan aku mengambil keuntungan. Tetapi ada sesuatu yang mengganjal dalam diriku, maka aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau pun menjawab,‘Apabila engkau telah menyebut takaran, maka takarlah’.”[20]

Demikian beberapa macam pekerjaan yang bisa dilakukan oleh manusia dalam mencari penghidupannya. Tentunya masih banyak lagi jenis pekerjaan yang lain, selama dibolehkan oleh syari’at. Misalnya, seperti bercocok tanam dan sebagainya.

Kesimpulan dan Pelajaran.

  1. Disyariatkan bekerja dan berusaha untuk menjadi sebab-sebab datangnya rezeki, demi menghindari perbuatan meminta-minta yang dilarang, kecuali dalam kondisi yang amat terpaksa.[21]
  2. Terdapat keutamaan bagi orang yang makan dari hasil jerih payahnya sendiri.
  3. Melakukan pekerjaan apa pun yang dihalalkan, tidak menurunkan martabat dan harga diri seseorang, bahkan justeru merupakan kemuliaan dan keutamaan. Karena para nabi pun bekerja mencari penghidupan.
  4. Dibolehkan bagi wanita bekerja dan berwirausaha selama tidak melanggar larangan-larangan syari’at, seperti bercampur baur dengan kaum lelaki yang bukan mahram dalam pekerjaannya.
  5. Bila seseorang telah dibukakan rezeki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dari suatu jalan pekerjaan atau tempat, janganlah beralih kepada pekerjaan atau tempat lain yang belum jelas hasilnya, sampai Allah menutup baginya jalan yang pertama yang mengharuskannya mencari jalan lain.
  6. Anjuran mengadakan aktifitas usaha pada awal siang (pagi hari), karena itu merupakan waktu yang didapati keberkahan Allah.
  7. Imam Al Qurthubi rahimahullah berkata : Telah berkata kepadaku sebagian masyayikh (gugu-guru kaum sufi) pada masa sekarang dalam suatu perbincangan, ”Sesungguhnya para nabi diutus untuk mengajarkan sebab-sebab bagi orang-orang yang lemah,” maka saya jawab,”Perkataan ini tidak ada sumbernya, melainkan dari orang-orang yang jahil, dungu dan bodoh, atau dari seorang yang mencela Al Kitab dan As Sunnah yang mulia, padahal Allah mengabarkan dalam kitabNya tentang orang-orang pilihan, para nabi dan rasulNya (bahwa mereka) mengambil sebab-sebab dan (bekerja dengan) keahlian mereka. Maka Allah berkata dan perkataanNya adalah haq (benar):

وَعَلَّمْنَاهُ صَنْعَةَ لَبُوسٍ لَكُمْ

Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu..” [Al Anbiya’/21:80].

وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْوَاقِ

Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar”. [Al Furqan/25:20].

Para ulama mengatakan, maksudnya ialah, mereka berniaga dan memiliki keahlian (berwira usaha). Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengatakan, ‘Telah dijadikan rezekiku di bawah naungan tombakku (dari rampasan perang).’ Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَكُلُوا مِمَّا غَنِمْتُمْ حَلالاً طَيِّباً

Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik …” [Al Anfal/8:69].

Para sahabat Radhiyallahu ‘anhum dahulu berniaga, memiliki keahliaan (berwira usaha), mengusahakan (memutar) harta mereka dan memerangi orang-orang kafir yang menyelisihi mereka. (Maka) apakah kamu memandang, bahwa mereka itu orang-orang yang lemah, bahkan –demi Allah– mereka itu orang-orang yang kuat, dan generasi yang shalih setelah mereka mengikuti teladan mereka. Dalam jalan mereka terdapat petunjuk dan pelajaran”[22].

Wallahu a’lam.

Oleh Ustadz Abu Humaid ‘Arif Syarifuddin

Read more https://almanhaj.or.id/13694-para-nabi-dan-salafush-shalih-juga-bekerja-2.html

Hukum Ereksi Ketika Sedang Sholat

DALAM sebuah halaqah, ada yang bertanya bagaimana hukumnya bila seorang Muslim mengalami ereksi manakala sholat? Bagaimana pula hukumnya bila kebetulan orang itu mendapat amanah untuk mengimami jemaah yang lain.

Menurut Ustaz Ammi Nur Baits, pertanyaan semacam itu pernah disampaikan pada lembaga fatwa Syabakah Islamiyah. Misalnya, ada pertanyaan:

Jika penis ereksi ketika salat atau muncul luapan syahwat, apakah bisa membatalkan salat? Apa yang harus saya lakukan?

Jawabannya, Tidak membatalkan salat hanya karena kemaluan mengalami ereksi atau karena muncul syahwat ketika salat. Karena munculnya syahwat dan ereksi bukan pembatal salat. Ini jika tidak sampai keluar madzi. Jika keluar madzi maka wudhunya batal, dan wajib membatalkan salat. Kemudian mencuci kemaluan dan bagian pakaian atau badan yang terkena madzi, lalu mengulangi salat.

Yang harus anda lakukan adalah membuang was-was dan pikiran jorok yang menjadi pemicu hal itu, dan konsentrasi terhadap salat yang dikerjakan dengan khusyu serta merenungi makna bacaannya. Jika muncul syahwat, segera memohon perlindungan dari setan dan meludah ke kiri tiga kali. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadis dari Utsman bin Abil Ash Radhiyallahu anhu, beliau mengadu kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam,

Ya Rasulullah, setan telah mengganggu konsentrasiku ketika salat, serta merusak bacaanku.

Lalu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Itu setan, namanya khinzib. Jika kamu merasa terganggu mintalah perlindungan kepada Allah darinya dan meludahlah tiga kali ke kiri.”

Kata Utsman, Akupun melakukan hal itu, dan Allah menghilangkan gangguan itu dariku. (HR. Muslim). Hal itu bersumber dari Fatwa Syabakah Islamiyah, no. 50096. Sementara yang dimaksud meludah ke kiri adalah meludah ringan, angin campur sedikit air ludah.

Kemudian, dalam fatwanya yang lain, juga ditegaskan,

Semata muncul syahwat, tidak membatalkan wudhu, dan tidak membatalkan salat. Kecuali jika keluar sesuatu, seperti madzi atau semacamnya, maka wudhunya batal da salatnya juga batal. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. []

INILAH MOZAIK

Rasulullah Melarang Salat di Tiga Waktu ini

SALAT Tathawwu tidak boleh di lakukan di waktu-waktu yang dilarang mendirikan salat, dan ini berlaku untuk salat yang tidak mempunyai sebab, seperti salat tasbih karena larangan untuk salat padanya cukup tegas sementara semua ini lemah sehingga tidak kuat melawannya. Adapun salat yang mempunyai sebab seperti tahiyatul masjid, salat gerhana, salat istisqa dan yang lainnya.

Adapun hadisnya bahwasanya Rasulullah bersabda: “Tiga waktu yang Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang untuk salat atau mengubur orang-orang kami pada saat itu, ketika matahari terbit hingga naik, ketika pertengahan siang hingga matahari tergelincir, ketika matahari condong ke barat hingga tenggelam. (H.R Muslim, Ibnu Majah, Tirmidzi, dan Nasai)

Dan ketahuilah bahwa larangan untuk salat di tiga waktu tersebut mempunyai hikmah-hikmah sebagaimana yang Rasulullah sampaikan kepada Amr bin Abasah yakni: Pertama, agar tidak menyerupai penyembah matahari.

Kedua, agar tidak sujud kepada tanduk setan, sebab matahari terbit diiringi oleh tanduk setan, bila matahari naik, maka tanduk setan tersebut terpisah darinya, bila matahari di atas kepala, maka ia menyertainya lagi, bila sudah tergelincir maka ia akan berpisah darinya, bila ia hampir terbenam maka ia mengiringinya lagi, dan bila ia terbenam maka ia berpisah darinya.

Ketiga, orang-orang yang berjalan menuju alam akhirat selalu menjaga ibadah, menemui sesuatu dengan pola yang satu menyebabkan kejenuhan, bila sesaat dilarang, maka akan memicu semangat, sebab jiwa menyukai apa yang dilarang, maka seseorang dilarang salat di waktu larangan tetapi tidak dilarang melakukan ibadah yang lain seperti membaca Alquran dan berzikir. Maka hendaknya orang yang beribadah berpindah dari satu keadaan ke keadaan yang lainnya, sebagaimana salat terbagi ke dalam beberapa perbuatan seperti, berdiri, rukuk, sujud, dan lain-lain.

[Sumber: Mukhtashar Minhajul Qashidin oleh Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, penerbit: Pustaka Darul Haq, Jakarta]

INILAH MOZAIK

Hukum Shalat Sendirian di Belakang Shaf yang Sudah Penuh (Bag. 1)

Setelah sebelumnya dijelaskan secara rinci mengenai Posisi Imam dan Makmum dalam Shalat Jama’ah kali ini kita akan membahas secara berseri penjelasan jika seorang makmum shalat sendirian di belakang shaf yang sudah penuh

Penjelasan Ulama Mengenai Permasalahan Ini

Ketika seseorang masuk masjid dan mendapati shaf sudah penuh, dan dia tidak memiliki ruang (tempat) untuk masuk ke shaf yang sudah ada, apakah dia diperbolehkan tetap ikut shalat jamaah dengan membuat shaf sendiri (satu orang) di belakang shaf? Atau dia harus menunggu sampai ada jamaah lain yang datang agar bisa membuat shaf baru bersama dengan orang tersebut? 

Permasalahan ini adalah permasalahan yang diperselisihkan oleh para ulama. Terdapat tiga pendapat ulama dalam masalah ini.

Pendapat Pertama

Seseorang boleh membuat shaf sendirian di belakang jamaah lainnya, dan shalatnya sah. 

Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, termasuk tiga imam madzhab, yaitu Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Abu Hanifah rahimahumullah. Di antara dalilnya adalah hadits sahabat Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu yang terlambat shalat jamaah, kemudian disebutkan,

فَرَكَعَ دُونَ الصَّفِّ ثُمَّ مَشَى إِلَى الصَّفِّ

“Abu Bakrah ruku’ sebelum sampai di shaf, sambil berjalan menuju shaf.” (HR. Bukhari no. 784 dan Abu Dawud no. 684, lafadz hadits ini milik Abu Dawud)

Al-Baghawi rahimahullah berkata, 

“Dalam hadits ini terdapat masalah fiqh, yaitu siapa saja yang shalat sendirian di belakang shaf dan menjadi makmum, maka shalatnya sah. Hal ini karena Abu Bakrah ruku’ di belakang shaf. Sehingga ada sebagian dari shalatnya yang dikerjakan di belakang shaf. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkannya untuk mengulang shalatnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan petunjuk bagaimanakah sebaiknya yang hendaknya dikerjakan di masa mendatang, yaitu “Janganlah diulangi lagi.” Ini adalah larangan dalam rangka memberikan bimbingan, bukan larangan yang menunjukkan pengharaman. Jika ini adalah larangan dalam rangka mengharamkan, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memerintahkannya untuk mengulang shalatnya.” (Syarhus Sunnah, 3: 338)

Pendapat ke Dua

Shalat sendirian di belakang shaf jamaah itu tidak sah.

Ini adalah madzhab Imam Ahmad, dan juga salah satu riwayat dari pendapat Imam Malik, juga dipilih oleh sejumlah ulama fiqh dan ulama ahlul hadits. Ulama kontemporer yang memilih pendapat ini adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahumullah. 

Ulama yang memilih pendapat ini berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Wabishah bin Ma’bad radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلًا يُصَلِّي خَلْفَ الصَّفِّ وَحْدَهُ فَأَمَرَهُ أَنْ يُعِيدَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seseorang shalat sendirian di belakang shaf. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk mengulang shalatnya.” (HR. Abu Dawud no. 682, At-Tirmidzi no. 230, dan Ibnu Majah no. 1004, dinilai hasan oleh At-Tirmidzi)

Hadits ini juga memiliki penguat dari hadits ‘Ali bin Syaiban, beliau berkata,

خَرَجْنَا حَتَّى قَدِمْنَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَبَايَعْنَاهُ، وَصَلَّيْنَا خَلْفَهُ، ثُمَّ صَلَّيْنَا وَرَاءَهُ صَلَاةً أُخْرَى، فَقَضَى الصَّلَاةَ، فَرَأَى رَجُلًا فَرْدًا يُصَلِّي خَلْفَ الصَّفِّ، قَالَ: فَوَقَفَ عَلَيْهِ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ انْصَرَفَ قَالَ: اسْتَقْبِلْ صَلَاتَكَ، لَا صَلَاةَ لِلَّذِي خَلْفَ الصَّفِّ

“Kami berangkat hingga akhirnya sampai di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian kami membai’at dan shalat di belakangnya. Setelah itu kami mengerjakan shalat yang lain di belakang beliau. Selesai shalat, beliau melihat seorang laki-laki shalat sendirian di belakang shaf.” ‘Ali bin Syaiban berkata, “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlalu, beliau berhenti di sisi orang itu, lalu bersabda, “Ulangilah shalatmu, karena tidak ada (tidak sah) shalat bagi orang yang shalat sendirian di belakang shaf.” (HR. Ibnu Majah no. 1003, shahih)

Para ulama yang mengikuti pendapat ke dua ini kemudian berselisih, apa yang harus dilakukan jika ada satu orang datang dan dia jumpai shaf sudah penuh (tidak ada satu pun celah). Sebagian ulama mengatakan, dia harus menarik satu orang di shaf agar bisa menyusun shaf berdua dengannya. Pendapat ini lemah, sebagaimana akan kami sebutkan alasannya di seri ke dua tulisan ini. 

Sebagian ulama mengatakan, dia harus berdiri di samping imam. Tidak terdapat dalil dalam masalah ini. Namun, terdapat riwayat dari Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berdiri di samping Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit. Akan tetapi, peristiwa ini adalah kasus yang bersifat kasuistik. Selain itu, kita bayangkan jika shafnya itu banyak. Dia harus menyibak shaf-shaf tersebut agar bisa sampai ke tempat imam. Tentu ini akan mengganggu jamaah shalat dan juga mengganggu imam. Lalu, bagaimana lagi jika ada orang ke dua, disusul orang ke tiga yang datang terlambat, tentu makin banyak jamaah yang shalat di samping imam. Oleh karena itu, masalah ini mengisyaratkan lemahnya pendapat yang ke dua ini. 

Pendapat ke Tiga

Pendapat yang memberikan perincian dalam masalah ini.

Yaitu, apabila dia masih mendapatkan sedikit celah untuk masuk ke shaf di depannya, dan dia tidak melakukannya dan memilih membuat shaf sendirian di belakang, maka shalatnya tidak sah. Namun, jika dia sudah berusaha mencari dan shaf betul-betul sudah penuh, maka boleh menjadi makmum sendirian di belakang shaf

Inilah yang menjadi pendapat Al-Hasan Al-Bashri, Ibnu Qudamah, dan juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumullah. Ulama kontemporer yang memilih pendapat ini adalah Syaikh ‘Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di rahimahumullah. 

Pendapat yang Paling Kuat dan Alasannya

Pendapat ke tiga inilah pendapat yang paling kuat dalam masalah ini, dengan didukung beberapa alasan (argumentasi) berikut ini:

Pertama, para ulama sepakat bahwa rukun dan wajib shalat itu gugur ketika tidak mampu dikerjakan. Sebagaimana perkara yang haram juga gugur ketika terdapat situasi darurat. Ini adalah salah satu kaidah penting dalam syariat. Misalnya, berdiri adalah rukun shalat. Namun, ketika seseorang tidak mampu berdiri, dia boleh shalat sambil duduk atau berbaring. Menyusun shaf bukanlah termasuk rukun dan wajib shalat. Kita tidak ragu lagi bahwa kalau memang tidak bisa bergabung dengan shaf yang sudah ada (karena sudah penuh), maka ini adalah situasi ‘udzur yang bisa dimaklumi. 

Ke dua, bahwa dalil-dalil umum dari syariat juga menguatkan hal ini. Misalnya, firman Allah Ta’ala,

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Bertakwalah kepada Allah Ta’ala semampu kalian.” (QS. At-Taghaabun [64]: 16)

Juga firman Allah Ta’ala, 

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 286)

Ke tiga, pendapat ini adalah pendapat yang menggabungkan semua dalil yang ada dalam masalah ini. Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Ali bin Syaiban,

لَا صَلَاةَ لِلَّذِي خَلْفَ الصَّفِّ

“ … karena tidak ada (tidak sah) shalat bagi orang yang shalat sendirian di belakang shaf.”

Dimaknai jika orang tersebut ceroboh dalam melaksanakan kewajiban (alias sebetulnya masih ada celah untuk dimasuki, namun dia memilih di belakang shaf sendirian). Adapun jika memang shaf itu sudah sangat rapat dan penuh, dia tidak lagi mendapatkan celah meskipun sedikit, tidak termasuk dalam larangan hadits ini. 

(Bersambung)

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52892-shalat-sendirian-di-belakang-shaf-1.html

Visi Saudi 2030 Berdampak pada Layanan Umrah

Beragam fasilitas dan infrastruktur dibangun pada Visi Saudi 2030.

Visi Saudi 2030 akan membawa dampak pada penyelenggaraan umrah. Dampak tersebut tentunya diharapkan dapat dinikmati jamaah umrah.

Direktur Operasional maktour , Muhammad Rocky Mashyur, menilai, pemerintah Saudi telah mengimplementasikan visi tersebut dengan beragam fasilitas dan infrastruktur. Berbagai tujuan wisata dibuat, agar jamaah umrah merasa betah.

”Di Jeddah misalnya, sudah dibangun berbagai lokasi wisata baru,” kata dia.

Hal lain, kata dia, kini menara Zamzam Tower diperbolehkan untuk dimasuki jamaah. Di menara ini, jamaah dapat melihat kota Makkah. Selain itu, jamaah juga bisa melihat secara langsung operasional jam pada menara Zamzam Tower. 

“Saya kira ini menarik untuk jamaah,” katanya. 

Karena itu, kata dia, Maktour Group melihat bagaimana perkembangan Visi Saudi 2030 ini untuk menjadi program pengembangan layanan umrah. 

Sebelumnya, Rocky mengatakan antusiasme jamaah umrah masih tinggi. Antusiasme itu dibarengi dengan layanan umrah yang secara umum membaik. “Tahun ini tidak ada lagi penipuan atau jamaah yang tidak berangkat,” katanya

REPUBLIKA

Manusia Terbaik Selalu Membahagiakan Semuanya

KENAL dengan Halimatus Sa’diyah? Iya, betul. Ada banyak nama Halimatus Sa’diyah, temasuk tetangga dan teman Anda. Namun yang ingin saya kisahkan di sini adalah Halimatus Sa’diyah yang pernah menyusui Nabi Agung Muhammad SAW, seorang wanita sederhana dari Bani Sa’d di Thaif yang sangat beruntung dipilih Allah menyusui dan membesarkan Sang Rasul.

Beliau berkisah bahwa saat akan mengambil Rasulullah di Mekah untuk dibawa ke rumahnya di Thaif, Nabi Muhammad yang masih bayi itu sedang terlelap dalam tidurnya. Halimatus Sa’diyah meletakkan tangannya di dada Nabi Muhammad, Nabi Muhammad terbangun dan kemudian tersenyum kepada Halimatus Sa’diyah. Bagaimana komentar pertama Halimatus Sa’diyah?

Halimah berkata: “Ku lihat terpancarlah cahaya dari kedua mata Nabi Muhammad, cahaya itu tembus sampai ke langit dan angkasa. Lalu saya menatap beliau dan mencium beliau di antara kedua mata beliau. Lalu ku gendong beliau dan ku tempelkan ke dadaku. Sungguhaku merasakan bahagia yang luar biasa.”

Manusia terbaik senantiasa memberikan kepada bahagia. Bukan hanya saat sudah dewasa, saat kecil pun sudah membahagiakan. Bukan kata-katanya saja, tatapan dan senyumannya pun menyejukkan jiwa membahagiakan hati. Bagaimanakah dengan tatapan dan senyuman kita? Tebarkanlah kebaikan di manapun dan kapanpun serta kepada siapapun. Salam, AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

INILAH MOZAIK 

Anjuran Berpagi-pagi Dalam Mencari Rezeki

SALAH satu adab mencari rezeki adalah berangkat pagi-pagi. Dalam beberapa kitab fadhail amal atau at targhib wa at tarhib, anjuran berpagi-pagi dalam mencari rezeki dicantumkan dalam bab tersendiri.

Mengapa harus berangkat pagi-pagi untuk mencari rezeki? Berikut ini sabda Rasulullah dan bukti di balik anjuran itu. Dari Shakhr bin Wadaah al Ghamidi ash Shahabi radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Ya Allah, berkahilah umatku di waktu pagi mereka.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi, An Nasai dan Ibnu Hibban; shahih lighairihi)

Shakhr menambahkan, apabila beliau mengirim pasukan atau tentara perang, beliau memberangkatkan mereka pagi-pagi.

Anjuran berpagi-pagi dalam mencari rezeki berdasarkan kebiasaan Rasulullah (hadits fili) sekaligus doa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tersebut (hadits qauli). Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah mendoakan keberkahan waktu pagi bagi umatnya. Sehingga dalam mencari rezeki, kita dianjurkan untuk memulainya pagi-pagi. Ketika menjelaskan hadis tersebut, sebagian ulama juga mengingatkan bahwa tidur di waktu pagi setelah Subuh hukumnya makruh.

Keberkahan waktu pagi itulah yang kemudian dikejar oleh banyak umat Islam sejak generasi sahabat. Rasulullah sendiri mencontohkan, beliau biasa memberangkatkan pasukan di pagi hari.

Shakhr yang meriwayatkan hadis ini juga telah membuktikan bahwa berangkat pagi-pagi dalam mencari rezeki membuahkan keberkahan yang luar biasa. Shakhr adalah seorang pebisnis. Dia selalu memberangkatkan barang-barangnya dimulai sejak dini hari sehingga ia menjadi kaya raya dan hartanya barakah.

Secara ilmiah, memulai atau berangkat pagi-pagi dalam mencari rezeki memiliki sejumlah dampak yang positif.Pertama, bangun pagi membuat tubuh lebih segar karena bisa menikmati udara pagi yang relatif bersih dari polusi, oksigen yang didapat lebih banyak. Tidak mungkin seseorang bisa berpagi-pagi dalam mencari rezeki tanpa bangun lebih pagi.

Kedua, kinerja otak menjadi optimal ketika seseorang memulai aktivitas sejak pagi. Di waktu pagi otak menjadi lebih segar karena telah beristirahat. Karenanya beberapa buku seperti Be Student Idol menganjurkan waktu belajar di pagi hari. Melatih otak. Dan sesungguhnya, aktivitas mencari rezeki juga merupakan bagian dari proses belajar. Sebab tidak ada satu pun pekerjaan melainkan membutuhkan kemampuan otak dan kreatifitas.

Ketiga, menurut ahli saraf dari Rockefeller University, Ilia Karatsoreos PhD, rentang waktu antara jam 7 9 pagi merupakan waktu paling optimal untuk menciptakan atau menguatkan hubungan dengan orang-orang terpenting. Jika kita pebisnis, marketing atau bekerja di manapun yang berinteraksi dengan orang lain, jam 7 9 adalah saat yang tepat untuk memperbanyak pelanggan, customer, klien dan sebagainya. Wallahu alam bish shawab. 

INILAH MOZAIK

Lewat Empat Cara Ini Allah Memberi Kita Rezeki

BERIKUT ini adalah beberapa cara Allah dalam memberikan rezeki kepada semua mahkluknya menurut Alquran:

1. Tingkat rezeki pertama yang dijamin oleh Allah

“Tidak suatu binatangpun (termasuk manusia) yg bergerak di atas bumi ini yang tidak dijamin oleh Allah rezekinya.”(QS. Hud: 6).

Artinya Allah akan memberikan kesehatan, makan, minum untuk seluruh makhluk hidup di dunia ini. Hal tersebut adalah rezeki dasar yang terendah.

2. Tingkat rezeki kedua yang didapat sesuai dengan apa yang diusahakan.

“Tidaklah manusia mendapat apa-apa kecuali apa yang telah dikerjakannya” (QS. An-Najm: 39).

Allah akan memberikan rezeki sesuai dengan apa yang dikerjakannya. Jika seseorang bekerja selama dua jam, dapatlah hasil yang dua jam. Jika kerja lebih lama, lebih rajin, lebih berilmu, lebih sungguh-sungguh, seseorang akan mendapat lebih banyak. Tidak pandang dia itu seorang muslim atau kafir.

3. Tingkat rezeki ketiga adalah rezeki lebih bagi orang-orang yang pandai bersyukur.

” Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)

Inilah rezeki bagi orang yang disayang oleh Allah. Orang-orang yang pandai bersyukur akan dapat merasakan kasih sayang Allah dan mendapat rezeki yang lebih banyak.

Itulah Janji Allah! Orang yang pandai bersyukurlah yg dapat hidup bahagia, sejahtera dan tentram. Usahanya akan sangat sukses, karena Allah tambahkan selalu.

4. Tingkat rezeki keempat adalah rezeki istimewa dari arah yang tidak disangka-sangka bagi orang-orang yang bertakwa dan bertawakal pada Allah SWT.

“. Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yg tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS.Ath-Thalaq:2-3)

Peringkat rezeki yang keempat ini adalah rezeki yang istimewa, tidak semua orang bisa meraihnya. Rezeki ini akan Allah berikan dari arah yang tidak disangka-sangka. Mungkin pada saat seseorang berada dalam kondisi sangat sangat membutuhkan.

INILAH MOZAIK

Ketika Penguasa Romawi Bertanya Soal Sosok Rasulullah SAW

Sang Penguasa belum pernah mendengar sosok Rasulullah SAW.

Diplomasi surat yang dilakukan rasulullah saw mendapat respons beragam dari berbagai penguasa kala itu. Salah satunya, respons yang diungkap Kaisar Hiraklius, penguasa Romawi di Syam. 

Darii buku Inilah Rasulullah karya Salman Al- Audah diungkapkam Abdullah Ibnu Abbas RA mengisahkan ketika Abu Sofyan dihadapkan kepada Kaisar Hiraklius, penguasa Romawi di Negeri Syam. Ketika itu datanglah utusan Nabi SAW, Dihyah al-Kalbi membawa surat berisi ajakan masuk Islam. Sang Kaisar, yang belum pernah mendengar sosok sang Nabi, bertanya, “Siapa di antara kalian yang masih kerabat dengannya?”. “Aku,” jawab Abu Sofyan yang saat itu belum masuk Islam.

Terjadilah dialog mengesankan antara Kaisar dan Abu Sofyan. Pertanyaan Kaisar pun dijawabnya dengan meyakinkan. “Bagaimanakah keadaan keluarganya di tengah kalian?”. “Dia berasal dari keluarga terhormat.” “Apakah ada di antara nenek moyangnya menjadi raja?”. “Tidak ada”. “Sebelum mengaku Nabi, apakah dia pernah berbohong?”. “Tidak pernah.” “Apakah dia pernah berkhianat?”. “Tidak pernah”. “Apakah pengikutnya berasal dari orang terhormat atau orang lemah?”. “Orang-orang lemah.” “Apakah jumlah mereka semakin bertambah atau berkurang?”. “Tidak, justru semakin bertambah.” “Apakah ada yang murtad setelah masuk agamanya?”. “Tidak ada.”. “Apakah kalian memeranginya?”. “Ya”.

“Bagaimana peperangan kalian?”. “Kadang ia menang dan kadang kami yang menang.”. “Apa saja yang diperintahkannya?”. “Menyembah Allah saja dan jangan menyekutukan-Nya, mendirikan shalat, berlaku jujur, menjauhi maksiat, dan menyambung silaturahim.”

Setelah mengurai kembali pertanyaannya dengan jawaban Abu Sofyan, Kaisar pun berkata, “Orang itu akan menguasai bumi, tempat kedua kakiku berpijak. Aku memang sudah tahu bahwa Nabi akhir zaman akan muncul, tetapi tidak mengira jika ia akan berasal dari kalangan kalian. Sekiranya dapat menemuinya, niscaya aku akan berusaha semaksimal mungkin. Apabila sudah berada di hadapannya, aku akan mencuci kedua telapak kakinya.” (HR Bukhari).

Nabi Muhammad SAW adalah manusia pilihan yang diutus sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan serta rahmat bagi semesta (QS 2: 119, 21: 107). Beliau sosok pemimpin dan pendidik untuk menyempurnakan akhlak (HR Bukhari). Keagungan pekertinya pun dikagumi Allah SWT (QS 68:4), karena akhlaknya bagai Alquran berjalan (HR Muslim). Sebagai umatnya, kita mencintai Beliau dengan banyak shalawat, mencintai keluarganya, dan menjalankan sunahnya (QS 3:31, 33:56). Allahu a’lam bishshawab. 

KHAZANAH REPUBLIKA