Ghulûl, Dosa Besar

Agama Islam memerintahkan pemeluknya agar bersifat amanah dan menjauhi sifat khianat. Diantara bentuk khianat dalam masalah harta adalah ghulûl. Banyak nash yang melarangnya. Disebutkan dalam sebuah hadits:

عَنْ أُمِّ حَبِيبَةَ بِنْتِ الْعِرْبَاضِ، عَنْ أَبِيهَا: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْخُذُ الْوَبَرَةَ مِنْ فَيْءِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَيَقُولُ: مَا لِي مِنْ هَذَا إِلَّا مِثْلَ مَا لِأَحَدِكُمْ إِلَّا الْخُمُسَ، وَهُوَ مَرْدُودٌ فِيكُمْ، فَأَدُّوا الْخَيْطَ وَالْمَخِيطَ فَمَا فَوْقَهُمَا، وَإِيَّاكُمْ وَالْغُلُولَ، فَإِنَّهُ عَارٌ وَشَنَارٌ عَلَى صَاحِبِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Dari Ummu Habîbah binti al-‘Irbâdh, dari bapaknya bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil rambut dari fai pemberian Allâh (harta ghanîmah), lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Saya tidak memiliki hak dari harta (ghanimah) ini kecuali seperti hak salah seorang diantara kalian darinya (juga), kecuali yang seperlima. Itupun dikembalikan kepada kamu. Maka serahkanlah (ghanimah/harta rampasan, baik berupa) benang, jarum dan semua barang lainnya yang lebih besar dari keduanya. Janganlah kamu melakukan ghulûl, karena itu merupakan celaan dan aib bagi pelakunya pada hari kiamat”.  [Hadits hasan lighairihi. HR. Ahmad, no. 17154; Al-Bazzar, no. 1734; Ath-Thabrani dalam al-Ausath, no. 2443]

MAKNA GHULUL
Diantara makna ghulûl adalah khianat, adapun secara istilah, ghulûl adalah mengambil sesuatu dari ghanîmah (harta rampasan perang) sebelum pembagian. [al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 31/272]

Imam Ibnu Qudâmah rahimahullah berkata, “Orang yang melakukan ghulûl adalah orang yang menyembunyikan ghanîmah yang berhasil dia dapatkan, sehingga imam (pemimpin) tidak mengetahuinya, dan dia tidak mengumpulkannya bersama ghanîmah”. [al-Mughni, 8/470]

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Asal arti ghulûl adalah khianat secara mutlak, kemudian istilah ghulûl khusus digunakan dengan arti khianat dalam urusan ghanîmah”. [Syarh Muslim, 4/216]

Termasuk ghulûl adalah seseorang mengambil sesuatu dari baitul mal kaum Muslimin, atau harta zakat dengan tanpa hak. Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Dosa besar yang ke-22 adalah ghulûl dari ghanîmah, yaitu dari baitul mal kaum muslimin, atau harta zakat”. [al-Kabâ‘ir, hlm. 94, karya adz-Dzahabi]

Demikian juga hadiah-hadiah yang diberikan kepada pegawai termasuk ghulûl. Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya:

Kami pegawai negeri, pada bulan Ramadhân, kami diberi hadiah dan zakat dari sebagian pengusaha. Kami tidak bisa membedakan antara zakat dengan hadiah, karena kami tidak mengetahuinya. Pertanyaannya: Jika kami menerima harta tersebut, padahal kami tidak membutuhkan, lalu kami infakkan kepada para janda, anak yatim, orang miskin, apa hukumnya? Dan jika kami menggunakan sebagiannya untuk kami dan keluarga kami, apa hukumnya?

Syaikh menjawab:
Hadiah untuk pegawai itu termasuk ghulûl. Maksudnya, jika seseorang sebagai pejabat pemerintah, kemudian orang yang memiliki hubungan dengan tugas (pejabat itu) memberikan hadiah, maka itu termasuk ghulûl. Pejabat itu tidak boleh (tidak halal) mengambil hadiah itu sedikitpun, walaupun itu diberikan dengan senang hati. Misalnya: anda berdinas pada satu instansi, kemudian kepala bagian atau para pegawainya diberi hadiah, maka haram bagi mereka mengambilnya.

Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus Abdullah bin al-Lutbiyyah Radhiyallahu anhu mengurusi zakat. Ketika dia kembali, dia berkata, “Ini dihadiahkan kepadaku, sedangkan yang ini untuk kamu”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri lalu berbicara kepada para sahabat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mengapa ada orang diantara kamu yang kami serahi tugas, lalu dia datang dan berkata, ‘Ini untuk kamu, sedangkan yang ini dihadiahkan kepadaku.’ Tidakkah dia duduk di rumah kedua ibu bapaknya, lalu dia perhatikan, apakah dia akan diberi hadiah atau tidak”.

Maka tidak halal bagi seorang pegawai pada sebuah instansi pemerintahan untuk menerima hadiah terkait dengan tugas mereka pada instansi tersebut. Karena kalau kita membuka pintu ini dengan mengatakan, “Pegawai boleh menerima hadiah”, berarti kita telah membuka (melegalkan) pintu suap. [Majmû’ Fatâwâ wa Rasâil al-‘Utsaimin, 18/359]

BAHAYA GHULUL
Ghulûl merupakan perbuatan khianat dan Allâh Azza wa Jalla pengkhianat. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْخَائِنِينَ

Sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang yang berkhianat. [Al-Anfâl/8: 58]

Dan barangsiapa mengambil barang secara ghulûl, maka dia akan dihinakan pada hari kiamat dengan membawa barang tersebut dan dipersaksiakan oleh makhluk yang lain. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ ۚ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ

Tidak mungkin seorang nabi berbuat ghulûl (berkhianat dalam urusan harta rampasan perang). Barangsiapa berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap jiwa akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya. [Ali Imrân/3: 161]

Juga dijelaskan dalam hadits yang diceritakan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata:

قَامَ فِينَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَذَكَرَ الغُلُولَ فَعَظَّمَهُ وَعَظَّمَ أَمْرَهُ، قَالَ: لاَ أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ يَوْمَ القِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ شَاةٌ لَهَا ثُغَاءٌ، عَلَى رَقَبَتِهِ فَرَسٌ لَهُ حَمْحَمَةٌ، يَقُولُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي، فَأَقُولُ: لاَ أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا، قَدْ أَبْلَغْتُكَ، وَعَلَى رَقَبَتِهِ بَعِيرٌ لَهُ رُغَاءٌ، يَقُولُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي، فَأَقُولُ: لاَ أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ، وَعَلَى رَقَبَتِهِ صَامِتٌ، فَيَقُولُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي، فَأَقُولُ لاَ أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ، أَوْ عَلَى رَقَبَتِهِ رِقَاعٌ تَخْفِقُ، فَيَقُولُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي، فَأَقُولُ: لاَ أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا، قَدْ أَبْلَغْتُكَ

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di hadapan kami, lalu menyebutkan ghulûl dan menyatakan besarnya urusan ghulûl. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan sampai pada hari kiamat aku bertemu seseorang dari kaalian yang memikul kambing yang mengembik di lehernya, memikul kuda yang meringkik di lehernya, lalu dia berkata, “Wahai Rasûlullâh! Tolonglah aku!”, lalu aku akan menjawab, “Aku tidak mampu menolongmu. Dahulu aku sudah menyampaikan kepadamu”.

Memikul harta (emas; perak; dll) di lehernya, lalu dia berkata. Wahai Rasûlullâh! Tolonglah aku!”, lalu aku akan menjawab, “Aku tidak mampu menolongmu. Dahulu aku sudah menyampaikan kepadamu”.

Memikul kain di lehernya yang bergoyang-goyang, lalu dia berkata, “Wahai Rasûlullâh! Tolonglah aku!”, lalu aku akan menjawab, “Aku tidak mampu menolongmu. Dahulu aku sudah menyampaikan kepadamu”. [HR. Al-Bukhâri, no. 3073; Muslim, no. 1831]

Bahkan ghulûl termasuk penyebab masuk neraka, walaupun pelakunya seakan seorang shalih. Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata:

افْتَتَحْنَا خَيْبَرَ، وَلَمْ نَغْنَمْ ذَهَبًا وَلاَ فِضَّةً، إِنَّمَا غَنِمْنَا البَقَرَ وَالإِبِلَ وَالمَتَاعَ وَالحَوَائِطَ، ثُمَّ انْصَرَفْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى وَادِي القُرَى، وَمَعَهُ عَبْدٌ لَهُ يُقَالُ لَهُ مِدْعَمٌ، أَهْدَاهُ لَهُ أَحَدُ بَنِي الضِّبَابِ، فَبَيْنَمَا هُوَ يَحُطُّ رَحْلَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ سَهْمٌ عَائِرٌ، حَتَّى أَصَابَ ذَلِكَ العَبْدَ، فَقَالَ النَّاسُ: هَنِيئًا لَهُ الشَّهَادَةُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بَلْ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّ الشَّمْلَةَ الَّتِي أَصَابَهَا يَوْمَ خَيْبَرَ مِنَ المَغَانِمِ، لَمْ تُصِبْهَا المَقَاسِمُ، لَتَشْتَعِلُ عَلَيْهِ نَارًا  فَجَاءَ رَجُلٌ حِينَ سَمِعَ ذَلِكَ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشِرَاكٍ أَوْ بِشِرَاكَيْنِ، فَقَالَ: هَذَا شَيْءٌ كُنْتُ أَصَبْتُهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: شِرَاكٌ – أَوْ شِرَاكَانِ – مِنْ نَارٍ

Kami menaklukkan Khaibar, kami tidak mendapatkan ghanimah berupa emas dan perak, tetapi kami mendapatkan ghanimah berupa sapi, onta, barang-barang dan kebun-kebun. Kemudian kami pergi bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Wadil Qura, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diikuti budaknya yang bernama Mid’am yang dihadiahkan oleh seseorang dari Bani adh-Dhibab. Ketika budak itu sedang menurunkan pelana Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tiba-tiba sebuah anak panah nyasar datang dan mengenainya. Orang-orangpun berkata, “Selamat! Dia meraih syahid”. Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak! Demi Allâh yang jiwaku di tanganNya! Sesungguhnya selimut yang dia ambil dari ghanimah Khaibar, yang belum dibagi, akan menyalakan api padanya.”

Ketika mendengar hal itu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , seorang laki-laki datang membawa satu tali atau dua tali sandal, lalu berkata, “Ini barang yang aku ambil”. Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Satu tali sandal atau dua tali sandal dari neraka”. [HR. Al-Bukhâri, no. 4234; Muslim, no. 115]

Seandainya seseorang bersedekah dengan barang hasil ghulûl, maka sedekah itu tertolak, karena barang ghulûl bukan barang yang baik.

Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma menyatakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ

Shalat tanpa bersuci tidak akan diterima, demikian juga sedekah dari ghulûl (tidak akan diterima). [HR. Muslim, no. 224]

Dengan berbagai bahaya ghulûl yang demikian besar, maka hendaklah orang-orang yang mengurusi harta umat, baik itu berupa zakat, infak, sedekah, kas masjid, dan lainnya, berhati-hati agar tidak mengambil harta umat demi kepentingan pribadi. Jika dia mengambil harta umat untuk akan menjadi sebab dia celaka di akhirat nanti.

Hanya kepada Allâh Azza wa Jalla kita memohon taufik agar melaksanakan perkara yang Dia cintai dan ridhai, sesungguhnya Dia Maha Pemurah dan Maha Suci.

Oleh Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari

Read more https://almanhaj.or.id/5943-ghull-dosa-besar.html

Dalam Islam, Gratifikasi Sama dengan Mengambil Ghulul

Islam melarang pejabat dan pegawai menerima gratifikasi.

Dalam hukum bernegara, gratifikasi adalah tindakan melanggar hukum yang bisa dijerat pidana. Penerima gratifikasi bisa dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Banyak kasus korupsi yang menjerat pejabat negara lantaran gratifikasi yang ia terima.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gratifikasi adalah uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan. Deskripsi yang lebih spesifik diterangkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 12B ayat satu. Dikatakan, “Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.”

Pembahasan gratifikasi di tengah-tengah masyarakat pun beragam. Ada yang menyebutnya hadiah, ucapan terima kasih, tips, dan lainnya. Menurut pakar ekonomi Islam, Syafii Antonio, pemberian hadiah dinilai haram jika kondisi pemberi dan penerima pada posisi dari “bawah” ke “atas”. Misalnya, dari bawahan ke atasan, dari wajib pajak ke petugas pajak, dari rakyat ke pejabat, dan seterusnya.

Pemberian dari bawah ke atas ini dimaksudkan untuk mengharapkan suatu imbalan, baik secara materi atau non-materi. Misalnya, memperlancar kepentingan bisnis, naik jabatan, pemberian wewenang atau keputusan dari atasan, dan semua hal yang berkaitan dalam ruang lingkup bawahan ke atasan tersebut. Ia mengharapkan ada timbal balik dari atas ke bawah.

Tetapi, jika pemberian hadiah dari atas ke bawah atau kepada sesama, hal ini diperbolehkan. Misalnya, dari orang kaya ke orang miskin, dari bos kepada karyawan, atau sesama teman. Alasannya, tidak ada “udang di balik batu” dari pemberian tersebut. Pemberian hadiah didasarkan untuk memupuk persaudaraan, persahabatan, dan kasih sayang semata.

Sebagaimana gratifikasi dilarang dalam hukum bernegara, demikian juga pandangan hukum Islam dalam bersikap. Rasulullah SAW sangat tegas melarang sahabat-sahabatnya untuk menerima gratifikasi. Riwayat dari Abu Humaid as-Sa’idi mengisahkan, salah seorang dari suku Al-Azdi bernama Ibnu Lutbiah ditugaskan memungut zakat. Setelah ia pulang, ia melaporkan dan menyerahkan zakat hasil pungutannya kepada Baitul Mal.

“Ini pembayaran zakat mereka, lalu yang ini adalah untuk saya karena ini pemberian dari wajib zakat kepada saya pribadi,” ujar Ibnu Lutbiah. Rasulullah SAW pun marah dan memerintahkan Ibnu Lutbiah untuk mengembalikan gratifikasi yang diterimanya. Rasulullah SAW bersabda, “Cobalah dia (Ibnu Lutbiah) duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya. Apakah akan ada yang memberikan (gratifikasi) kepadanya?” (HR Bukhari Muslim).

Rasulullah SAW dalam hadis Beliau menegaskan, menerima gratifikasi sama halnya dengan mengambil ghulul, yakni barang curian dari harta rampasan perang. Ancamannya sangat jelas, siapa yang memakan harta gratifikasi akan datang di Hari Kiamat dalam kondisi kesusahan. Di lehernya akan dipikulkan unta, sapi, dan kambing yang mengembik. (HR Bukhari Muslim).

Tidak bisa dimungkiri, pejabat berwenang yang menerima gratifikasi akan berpengaruh pada putusan dan kinerja apa yang diwewenanginya. Demikian juga pegawai pemerintahan. Ketika ia meminta atau menerima gratifikasi, ia akan cenderung melayani konsumen yang memberi gratifikasi.

Lama kelamaan, ia bahkan tak mau melayani orang yang tak mau memberi gratifikasi. Padahal, semua konsumen mempunyai hak yang sama, yaitu mendapatkan pelayanan dari pegawai tersebut secara adil dan proporsional. Pegawai tersebut sudah digaji oleh negara atau perusahaan tempatnya bekerja untuk melayani konsumen secara umum.

Demikian juga seorang hakim, pasti akan terpengaruh dengan gratifikasi. Ia akan cenderung membenarkan atau membela orang yang memberi gratifikasi kepadanya. Inilah alasannya Imam Al-Baghawi dalam kitab Syarhu as-Sunnah secara keras mengharamkan para pejabat pemerintah dan hakim untuk menerima gratifikasi.

Pakar fikih kontemporer, Dr Ahmad Zain An-Najah, mengatakan, masuk juga dalam kasus gratifikasi, seorang pegawai yang kongkalikong dengan pihak lain. Misalnya, pegawai pemerintahan yang ditugaskan untuk menyediakan alat-alat multimedia di kantornya. Ketika penganggaran, harga alat-alat multimedia ini di-mark-up lebih tinggi. Kemudian, saat pembelian, dia memilih membeli alat-alat tersebut di toko yang mau menawarkan harga lebih murah dari anggaran belanja yang ada. Alasannya, selisih uang pembelanjaan bisa masuk ke kantong pribadinya.

Di samping itu, pegawai pemerintahan tadi juga mendapatkan diskon dari penyedia alat-alat multimedia tadi. Diskon tersebut sebenarnya harus ia laporkan ke kantor tempatnya bekerja secara transparan. Jika ia mengambil potongan harga tersebut untuk pribadinya, hal ini juga termasuk dalam definisi gratifikasi.

Bisa juga, jika pegawai tadi meminta uang lebih kepada konsumen, katakanlah uang transport, uang jasa, atau uang lelah karena telah melayani pelanggan. Padahal, pegawai tersebut sudah digaji dan memiliki tunjangan-tunjangan atas pekerjaannya. Hal ini juga termasuk dalam gratifikasi.

Semasa Nabi Muhammad, hadiah-hadiah yang didapat para sahabat dari tugasnya di lapangan selalu dilaporkan secara transparan. Misalnya, Muaz bin Jabal RA yang pulang bertugas dari Yaman dan membawa hadiah budak-budak. Muaz sempat ditegur Allah SWT melalui mimpi karena belum melaporkan budak-budak tersebut kepada khalifah Abu Bakar RA.

Keesokan harinya, Muaz langsung menyerahkan seluruh budak tersebut kepada Abu Bakar RA. Bijaknya Abu Bakar, hadiah budak yang memang diperuntukkan bagi Muaz pun ia perintahkan untuk dikembalikan kepada Muaz. Demikian atsar yang dikisahkan Ibnu Abdul Barr dalam kitab At Tamhid (2/7).

Mungkin pada awalnya, gratifikasi bertujuan baik. Pelanggan yang puas dengan pelayanan yang prima ingin memberi hadiah sebagai penyemangat atau memotivasi. Mungkin juga sebagai tanda terima kasihnya karena puas dengan pelayanan si pegawai. Tapi, hadiah semacam ini untuk jangka panjang akan merusak mental si pegawai. Lama-lama, niatnya bekerja bisa berpaling. Ia bekerja bukan atas nama perusahaannya, tapi untuk dirinya sendiri. Ia menunggu dan mengharapkan gratifikasi, baru mau bekerja. Apalagi, meminta gratifikasi dari konsumennya yang sebenarnya bukanlah haknya.

Para ulama mengisyaratkan, jika memang ingin memberi tips atau hadiah kepada pegawai tersebut, berikanlah pada kondisi dan waktu yang tidak berkaitan dengan dunia kerjanya. Misalnya, memberikan hadiah pada waktu ia tak lagi sebagai pegawai. Wallahu’alam. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Yuk, Jangan Lewatkan Salat Sunah Fajar

DUA rakaat sunah fajar (subuh) lebih baik dari dunia dan seisinya.” (HR. Muslim)

Sejumlah hadis menjanjikan pahala besar bagi tindakan-tindakan yang tampak sangat ringan. Misalnya, dalam sebuah hadis Rasul Saw mengatakan, bahwa orang yang membaca surat Al-Ikhlas sama nilainya dengan membaca sepertiga Alquran. Artinya, Anda bisa mendapatkan pahala membaca seluruh Quran hanya dalam waktu lima menit.

Menakjubkan, bukan? Beberapa orang berpikir bahwa “tawaran” ini terlalu berlebihan dan sulit dipercaya. Mereka ragu dan menyatakan bahwa memberikan pahala besar atas tindakan kecil merupakan suatu kemustahilan, ini jelas tidak seimbang.

Bahkan, sebagian ulama mendiskreditkan hadis-hadis tertentu dan menganggapnya sebagai hadis maudhu (palsu). Namun, banyak juga dijumpai hadis lain yang sahih, seperti salah satunya hadis tentang membaca Al Ikhlas di atas yang diriwayatkan Bukhari.

Jadi, bagaimana menjelaskan pahala sangat menguntungkan ini?

Salah satu cara untuk menjawab pertanyaan ini adalah untuk merefleksikan sifat orang-orang yang tertarik merebut peluang tersebut; orang-orang yang akan mengambil serius peluang ini.

Iman dan Penawaran Khusus Tuhan

Seorang pemburu pahala akan memiliki kepercayaan yang besar terhadap apa-apa yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya. Pahala besar yang diberikan untuk perbuatan kecil mungkin tampak tidak seimbang. Tapi, setelah sumber berita ini diverivikasi, dan diketahui bahwa kabar tersebut benar, maka itu dianggap sudah cukup bagi orang-orang yang percaya janji-Nya, dan segera saja menghilangkan keraguan yang ada padanya selama ini.

Kepercayaan tersebut menunjukkan tingkatan iman seseorang yang tinggi kepada Allah dan Rasul-Nya. Selain itu, kepercayaan ini bukan klaim belaka. Hal ini dibuktikan dengan tindakan; antusiasme yang tinggi untuk mengambil keuntungan dari penawaran khusus mereka terus-menerus.

Prasangka baik kepada Allah

Sikap orang-orang yang melakukan tindakan ini juga berarti menunjukkan bahwa mereka berpikir positif kepada Allah (husnudzon) yang merupakan salah satu ciri orang-orang beriman dalam Islam.

Menariknya, dalam sebuah hadis, Nabi menghubungkan sifat ini dengan praktik mengingat Allah (dzikir), yang pada gilirannya, menggiring seseorang untuk mengambil “penawaran khusus,”

Nabi Saw. bersabda, “Allah berfirman, Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku saat sendirian, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada itu (kumpulan malaikat). Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat.” (HR. Bukhari no. 6970 dan Muslim no. 2675).

Dalam hadis ini, Allah dijelaskan begitu penuh kasih. Sehingga, orang-orang yang percaya dan setia kepada Allah, akan berani menghabiskan seluruh waktunya untuk mengabdi pada-Nya, dan tak lupa pula mengambil “penawaran khusus” ini guna memaksimalkan pahala.

Bersikap baik kepada semua makhluk

Penawaran khusus tidak hanya tentang bagaimana kita bisa menjaga hubungan baik dengan Allah. Anda bisa mendapatkan banyak kebaikan dengan memperlakukan manusia dan bahkan hewan dengan baik.

Seorang pemburu pahala tahu bahwa bertemu dengan orang-orang dengan wajah tersenyum merupakan amal. Seseorang yang menyingkirkan duri di jalan akan mendapat pahala surga. Seorang pelacur diampuni karena memberikan air untuk anjing yang sedang kehausan.

Semangat positif yang dilakukan orang-orang yang percaya pada janji-Nya ini, akan menyebarkan perdamaian dan kebaikan di bumi dan bekerja keras untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik.

Akhirat dijadikan sebagai prioritas utama

Dalam hiruk-pikuk kehidupan, sangat mudah bagi seseorang untuk melupakan akhirat, dan mengisinya dengan berbagai kesenangan hidup yang fana. Bekerja, belajar, anak-anak, bisnis, acara TV, uang, hiburan dan banyak hal lainnya telah berhasil memikat hati dan pikiran banyak orang. Hal inilah yang kemudian mengesampingkan perhatian mereka pada tujuan akhir kehidupannya, akhirat.

Namun orang yang beriman dengan cerdas, ia akan selalu waspada terhadap perangkap dunia ini. Mereka sangat menyadari realitas duniayang hanya berfungsi sebagai persinggahan sementara untuk menuju kehidupan yang sesungguhnya di akhirat.

Oleh karena itu, mereka lebih memilih akhirat dibanding gemerlap dunia ini. Mereka siap mengorbankan beberapa kenyamanan dunia. Misalnya, ia memilih keluar rumah pada cuaca dingin untuk salat subuh di masjid guna mendapatkan pahala yang jauh lebih besar dan berusaha mencari tempat yang nyaman kelak di akhirat.

Pikirkan berapa banyak usaha dan konsentrasi kita yang dipersembahkan untuk bisnis, mengurus kehidupan dunia, hingga melupakan apa yang seharusnya menjadi prioritas. Bandingkan sikap kita terhadap “penawaran khusus” dengan bunga yang sangat tinggi kita dalam penawaran duniawi, poin kartu kredit, rekening bank, pasar penjualan dan promosi.

Dalam sebuah hadis Nabi memberitahu kita bahwa salat dua rakaat sebelum salat subuh pahalnya jauh lebih baik ketimbang dunia dan seisinya.

Pikirkan tentang hal ini : Apakah Anda akan mengambil serius tawaran ini? Apakah Anda menunjukkan minat yang sama jika tawaran itu tentang mendapatkan rumah di dunia ini, di lingkungan terbaik di negara Anda, sebagai imbalan atas pekerjaan 30 menit?

Bukankah perbuatan yang dianggap remeh ini (kadang) dapat mengikis besarnya keimanan seseorang dengan melupakan tugas pengabdian kita pada Allah? Bukankah dengan mempertanyakan apa-apa yang sudah Allah tentukan kadarnya, bisa mengikis rasa percaya kita atas janji-Nya?

Dan, bukankah surga dan neraka yang diberikan kepada manusia sejatinya berkat kasih sayang-Nya? Wallahu Alam Bishawab. [Onislam]

INILAH MOZAIK

Hal yang Diharamkan Didatangi dari Wanita Haid

‘Menjauhi wanita haid’ adalah menjauhi seluruh tubuh mereka.

Imam Syafi’i berkata, “Sebagian ahli ilmu Alquran menjelaskan mengenai firman Allah azza wa jalla: “Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian,” (QS al-Baqarah [2]: 222); bahwa yang dimaksud adalah: Kalian harus menjauhi mereka, yaitu dari ‘tempat terjadinya haid’.”

Dikutip dari Al-Umm Kitab Induk Fiqih Islam 1 oleh Imam Syafi’i, Imam Syafi’i berkata,” Ayat ini memang mengandung kemungkinan arti seperti yang dinyatakan di atas, tetapi ayat ini juga mengandung kemungkinan arti bahwa yang dimaksud ‘menjauhi wanita haid’ adalah menjauhi seluruh tubuh mereka.

Imam Syafi’i berkata, “Sunnah Rasulullah SAW menunjukkan yang dimaksud ‘menjauhi’ wanita haid adalah ‘menjauhi’ bagian tubuh di bawah kain seorang wanita (di bawah pusar, penrj.), dan dibolehkannya semua bagian selain itu.”

KHAZANAH REPUBLIKA

Angan-Angan adalah Dagangan Orang Yang Dungu

Angan-Angan adalah Harta Orang Yang Dungu

Penyakit yang menimpa kaum Yahudi dan Nasrani kala itu adalah mereka hanya berangan-angan dan terus berangan-angan hingga meyakini bahwa mereka adalah penghuni surga dan selain mereka adalah penghuni neraka.

Al-Qur’an menceritakan dalam firman-Nya :

وَقَالُواْ لَن يَدۡخُلَ ٱلۡجَنَّةَ إِلَّا مَن كَانَ هُودًا أَوۡ نَصَٰرَىٰۗ تِلۡكَ أَمَانِيُّهُمۡۗ قُلۡ هَاتُواْ بُرۡهَٰنَكُمۡ إِن كُنتُمۡ صَٰدِقِينَ

Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, “Tidak akan masuk surga kecuali orang Yahudi atau Nasrani.” Itu (hanya) angan-angan mereka. Katakanlah, “Tunjukkan bukti kebenaranmu jika kamu orang yang benar.” (QS.Al-Baqarah:111)

Sayangnya, penyakit semacam ini tidak hanya menimpa oknum-oknum dari Yahudi dan Nasrani, hari ini kaum muslimin juga banyak yang terjangkiti penyakit yang sangat merusak ini.

Al-Qur’an menceritakan kisah Bani Israil dan Ahlul kitab agar kita bisa mengambil pelajaran dan menjauhi penyakit-penyakit yang menimpa mereka. Khususnya penyakit yang sangat merusak ini yaitu hidup dalam angan-angan.

Masalah terbesar pada diri kaum muslim hari ini adalah mereka hidup dalam angan-angan bahwa hanya kelompok mereka yang masuk surga dan diluar kelompok mereka adalah ahli neraka. Padahal surga itu harus diraih dengan perjuangan yang tidak mudah.

Setiap muslim pasti berharap masuk surga, tapi tidak akan ada yang meraih surga hanya dengan angan-angan belaka.

وَمَنۡ أَرَادَ ٱلۡأٓخِرَةَ وَسَعَىٰ لَهَا سَعۡيَهَا وَهُوَ مُؤۡمِنٞ فَأُوْلَٰٓئِكَ كَانَ سَعۡيُهُم مَّشۡكُورٗا

“Dan barang siapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan dia beriman, maka mereka itulah orang yang usahanya dibalas dengan baik.” (QS.Al-Isra’:19)

فَمَن كَانَ يَرۡجُواْ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلۡيَعۡمَلۡ عَمَلٗا صَٰلِحٗا وَلَا يُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدَۢا

“Maka barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS.Al-Kahfi:110)

Dalam ayat lain Allah swt berfirman :

لَّيۡسَ بِأَمَانِيِّكُمۡ وَلَآ أَمَانِيِّ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِۗ مَن يَعۡمَلۡ سُوٓءٗا يُجۡزَ بِهِۦ وَلَا يَجِدۡ لَهُۥ مِن دُونِ ٱللَّهِ وَلِيّٗا وَلَا نَصِيرٗا – وَمَن يَعۡمَلۡ مِنَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ مِن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤۡمِنٞ فَأُوْلَٰٓئِكَ يَدۡخُلُونَ ٱلۡجَنَّةَ وَلَا يُظۡلَمُونَ نَقِيرٗا

(Pahala dari Allah) itu bukanlah angan-anganmu dan bukan (pula) angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa mengerjakan kejahatan, niscaya akan dibalas sesuai dengan kejahatan itu, dan dia tidak akan mendapatkan pelindung dan penolong selain Allah.

Dan barangsiapa mengerjakan amal kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia beriman, maka mereka itu akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak dizhalimi sedikit pun. (QS.An-Nisa’:123 -124)

Dari ayat-ayat diatas menjadi jelas bahwa angan-angan tidak akan membantu sedikitpun untuk menyelamatkanmu. Karena Allah swt selalu menggandengkan Rahmat dan Anugerah dari-Nya dengan amal, perjuangan dan kesungguh-sungguhan dari hamba-Nya.

Bila kita berangan-angan surga tanpa berjuang dengan beramal untuk mendapatkannya maka sadar atau tidak kita sebenarnya sedang bermain-main dengan Allah swt.

Rasulullah saw bersabda :

الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ

“Orang pintar adalah orang yang menginstropeksi dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah kematiannya.

Sementara orang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan hanya berangan-angan kepada Allah swt.”

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Hukum Mengucapkan Kata ‘Seandainya’

Beberapa waktu yang lalu teman kantor kami menanyakan seputar hukum mengucapkan kata ‘seandainya’. Pada saat itu, kami menjelaskan hukumnya secara ringkas dan berikut ini kami berusaha berbagi faidah dengan sedikit memberikan tambahan yang disusun dalam beberapa poin. Semoga bermanfaat.

Larangan Penggunaan Kata “Seandainya”

Dalam Shahih Muslim terdapat hadits Abu Hurairah yang mengandung larangan penggunaan kata “seandainya”, di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلْـمُؤْمِنُ الْقَـوِيُّ خَـيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَـى اللهِ مِنَ الْـمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ، وَفِـيْ كُـلٍّ خَـيْـرٌ ، اِحْـرِصْ عَـلَـى مَا يَـنْـفَـعُـكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَـعْجَـزْ ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَـيْءٌ فَـلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِـّيْ فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَـذَا ، وَلَـكِنْ قُلْ: قَـدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَـفْـتَـحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allâh daripada mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allâh (dalam segala urusanmu) serta janganlah sekali-kali engkau merasa lemah. Apabila engkau tertimpa musibah, janganlah engkau berkata, “Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini dan begitu”. Tetapi katakanlah, “Qadarullah wa ma sya-a fa’al* (hal ini telah ditakdirkan Allâh dan Allâh berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya). Karena ucapan “seandainya” akan membuka pintu perbuatan syaitan”. [HR. Muslim].

Penggunaan Kata “Seandainya” dalam Alquran dan Hadits

Berkebalikan dengan hal di atas, penggunaan kata “seandainya” justru terdapat dalam al-Quran dan juga beberapa hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah ta’ala berfirman,

لَوْ كَانَ فِيْهِمَا اٰلِهَةٌ إِلَّا اللّٰهُ لَفَسَدَتَاۚ

“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa” [al-Anbiya: 22].

Dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan,

لَوْ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ مَا سُقْتُ الْهَدْيَ وَلَحَلَلْتُ مَعَ النَّاسِ حِينَ حَلُّوا

“Seandainya aku bisa mengulang kembali apa yang telah lewat, niscaya tak kutuntun binatang korban ini dan aku bertahallul bersama orang-orang ketika mereka bertahallul”. [HR. al-Bukhari].

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyampaikan dalam sebuah sabdanya perihal ucapan seorang yang berandai-andai memiliki harta agar bisa berinfak. Orang tersebut mengatakan,

لَوْ أَنَّ لِـيْ مَالًا لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ ، فَهُوَ بِنِـيَّـتِـهِ فَأَجْرُهُـمَـا سَوَاءٌ

“Seandainya aku memiliki harta, aku pasti mengerjakan seperti apa yang dikerjakan Si Fulan”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Maka dengan niatnya itu pahala keduanya sama”. [Shahih. HR. Ahmad; at-Tirmidzi; Ibnu Majah].

Bahkan imam al-Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab dalam kitab at-Tamanniy dalam Shahih-nya yang berjudul “Penggunaan kata ‘Lau’ yang Diperbolehkan”.

Beliau pun kemudian memaparkan sejumlah hadits, di antaranya:

  • Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,

لَوْ تَأَخَّرَ اَلْهِلَالُ لَزِدْتُكُمْ

“Seandainya hilal itu tertunda, niscaya aku akan menyuruh kalian meneruskan puasa wishal kalian itu”. [HR. al-Bukhari].

  • Hadits Abdullah bin Zaid radhiallahu ‘anhu,

لولا الهجرة لكنت امرءاً من الأنصار ولو سلك الناس وادياً أو شعباً لسلكت وادي الأنصار وشعبها

“Seandainya bukan karena hijrah, tentulah aku termasuk salah seorang dari kaum Anshar. Seandainya manusia menempuh satu lembah (dan orang-orang Anshar melewati lembah lain), pastilah aku akan ikut melewati lembah yang dilalui orang-orang Anshar” [HR. al-Bukhari].

Penggunaan Kata “Seandainya” Tidak Terlarang Secara Mutlak

Oleh karena itu, dari berbagai dalil di atas, ulama tidak menyimpulkan bahwa penggunaan kata “seandainya” terlarang secara mutlak.

Ibnu Hajar rahimahullah memberikan komentar terhadap judul bab yang dibuat oleh imam al-Bukhari rahimahullah dengan mengatakan,

فيه إشارة إلى أنها في الأصل لا تجوز إلا ما استثني

“Hal ini mengisyaratkan bahwa hukum asal penggunaan kata ‘seandainya’ tidak diperbolehkan selain yang dikecualikan” [Fath al-Baari 13/227].

Sejalan dengan imam Ibnu Hajar, setelah memaparkan hadits Abu Hurairah yang berisi larangan, imam al-Qurthubi rahimahumallah mengatakan,

ولا يُفهم من هذا أنه لا يجوز النطق بـ (لو) مطلقاً، إذ قد نطق بها النبي صلى الله عليه وسلم

“Jangan dipahami dari hadits ini bahwa sama sekali tidak boleh menggunakan kata ‘seandainya’, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengucapkan kata ‘seandainya” [al-Mufhim 6/683].

Kesimpulan Rincian Pengunaan Kata “Seandainya”

Ulama berusaha memberikan perincian dalam pembahasan ini, yaitu dengan mengompromikan dalil-dalil yang melarang dan membolehkan.

Kesimpulan mereka adalah semua bergantung pada motif yang mendasari penggunaan kata ‘seandainya’, sehingga:

  • Jika motif ucapan adalah keluhan, ungkapan kesedihan, mempermasalahkan takdir dan syari’at yang ditetapkan Allah atau angan-angan untuk melakukan keburukan, maka hal ini tercela dan terlarang. Larangan yang terdapat dalam hadits Abu Hurairah di atas berlaku pada kondisi ini.
  • Jika motif ucapan adalah ungkapan untuk melakukan suatu kebaikan, membimbing dan mengarahkan, atau menyarankan dan menjelaskan apa yang semestinya dilakukan, maka penggunaan kata ‘seandainya’ diperbolehkan dan bisa menjadi sesuatu yang terpuji. Seluruh penggunaan kata ‘seandainya’ yang terdapat dalam dalil, baik al-Quran dan hadits, diberlakukan untuk kondisi ini [Lihat Majmu al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah dan Majmu’ fatawa wa Rasaa-il karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahumallah].

Demikian yang dapat disampaikan. Semoga bermanfaat.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/54203-hukum-mengucapkan-kata-seandainya.html

Merekayasa Kesan Diri

KEBANYAKAN orang ingin dirinya dikesankan sebagai orang baik, orang hebat, orang berprestasi. Sebenarya, pada tataran yang normal, keinginan seperti ini adalah normal-normal saja alias wajar.

Namun saat keinginan itu melampaui batas kewajaran, biasanya muncullah upaya manipulasi diri dan pembohongan publik demi untuk menutupi sifat aslinya dengan memunculkan sifat palsu. Bisa saja upaya ini sukses, namun biasanya tak lama akan terbaca dan terbongkar. Hati manusia normal itu sangat peka terhadap kepalsuan.

Dalam tataran keilmuan, ada orang yang copy paste tulisan orang lain tanpa menyebutkan penulis aslinya demi untuk menunjukkan kepada khalayak bahwa dirinyalah yang cerdas dan pintar. Sekali dua kali bisa jadi berhasil mendapatkan kesan sebagai orang cerdas, namun pada saatnya nanti akan terlihat bahwa kesan itu tak layak disematkan padanya.

Ada juga orang yang menampilkan diri sebagai orang tersabar sedunia, selalu tersenyum (saat dilihat banyak orang) namun sering menghina dan mengumpat jika tak di depan banyak orang. Sekali dua kali mungkin dia sukses menggaet kesan sebagai orang baik nan murah senyum. Namun pada saatnya nanti akan terbaca bahwa semuanya adalah palsu.

Teknik rekayasa diri pun berkembang bukan terbatas pada rekasaya penampilan diri. Ada yang sangat berbahaya, yaitu rekayasa diri dengan menjadikan orang lain sebagai korban, dengan cara menjelek-jelekkan orang lain, demi mengangkat harga dirinya sendiri. Bisa jadi dengan mengubah susunan kata orang lain yang memungkinkan memiliki makna berbeda dengan kata-kata aslinya, bahkan bisa jadi dengan mengubah intonasi atau nada serta bahasa tubuh orang lain yang mengesankan bahwa orang yang ditiru itu adalah orang tak baik. Hati-hatilah mengutip kata orang lain, tanggungjawabnya bukan hanya pada masalah susunan kata, melainkan juga pada intonasi yang memungkinkan punya kesan berbeda.

“Emas 24 karat itu tak usah direkayasa, ia akan tetap mulia dan berharga. Besi adalah besi walau direkasaya diwarnai dan dilapisi emas.” Demikian petuah para sesepuh yang meyakinkan para generasi berikutnya untuk tampil apa adanya, tanpa rekayasa.

Sekali lagi, hati manusia normal itu adalah peka. Pada saatnya ia akan tahu mana yang asli dan mana yang palsu. Salam, AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

INILAH MOZAIK

Manusia Tempatnya Salah dan Lupa

JUDUL di atas adalah terjemahan dari pepatah Arab yang sangat populer dan seringkali menjadi dalil “pembenar” diri bagi orang yang melakukan kesalahan dan lupa akan sesuatu.

Pepatah itu tak salah karena memang ada landasannya, yakni hadits rimayat Imam Turmudzi: “Setiap anak Adam pernah berbuat salah dan sebaik-baik yang berbuat salah adalah yang bertobat dari kesalahannya.” Ada juga hadits riwayat Ibnu Majah: “Sesungguhnya Allah menghapuskan dari umatku dosa ketika mereka dalam keadaan keliru, lupa dan dipaksa.”

Kemudian ada pertanyaan bagaimana dengan orang yang pura-pura lupa? Apakah dia juga juga dianggap tidak berdosa? Jawaban tegasnya adalah BERDOSA, bahkan dosanya bisa berlipat karena telah melakukan kebohongan publik yang merugikan orang lain. Nah, tipe pura-pura lupa seperti ini mulai marak jaman kita ini, terlebih orang-orang yang tertimpa kasus dan dibawa ke pengadilan. Rata-rata jawabannya adalah “saya lupa.” Dalam kasus di luar pengadilan juga banyak. Perhatikan kisah berikut ini.

Seorang tamu dengan malu-malu bertamu ke seorang ustadz yang dikenal ramah dan suka membantu kesulitan para jamaahnya. Ustadz itu bertanya: “Apakabar? Agak lama juga kita tak jumpa di pengajian?”

Orang itu dengan tersipu-sipu menjawab: ” Iya Ustadz. Saya baik ustadz. Saya sowan ke sini karena ingin berobat ustadz. Saya sakit.” Ustadz lalu bertanya sakit apa dan sejak kapan. Dijawabnya bahwa penyakitnya adalah penyakit lupa. Jadi pelupa. Ingatan hanya bisa normal untuk periatiwa jangka pendek, lewat sehari biasanya lupa. Lalu orang itu meminta saran obat pada ustadz itu.

Sebelum kasih saran obat, dengan senyum-senyum ustadz itu iseng bertanya: “Bagaimana dengan utang Bapak 25 juta ke saya tiga bulan yang lalu? Apa sudah ada?” Orang itu menjawab: “Maaf ustadz. Sudah lupa. Itu kan sudah lama. Jadi terhapus dari ingatan. Saya lupa betul. Makanya tanya obat pelupa.”

Tiba-tiba, ayam jantan milik ustadz berkokok. Ustadz berkata: “Itu ayam jantannya sudah besar. Itu ayam jantan yang 5 bulan yang lalu kau kasihkan ke saya.” Orang itu merespon: ” O ya. Waktu hujan-hujan itu ya ustadz?”

Ustadz tersenyum lagi sambil bergumam: “Hutang ke orang lupa. Kasih sesuatu ke orang ingat dan hapal. Hahaaa… manusia oh manusia. Catatan Malaikat cukup lengkap.” Salam, AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi |

INILAH MOZAIK

Langkah Sederhana Menghindari Tipu Daya Oknum Travel Umrah

Beberapa tahun belakangan ini, tidak sedikit calon jamaah umrah yang menjadi korban penipuan travel umrah nakal. Karena itu, Yayasan Sobat Indonesia Sejahtera menggelar kegiatan “Sosialisasi dan Solusi Umrah Cerdas” di Jakarta, Sabtu (25/1). 

Direktur Sobat Indonesia Sejahtera Hidayat Nasrun mengatakan, kegiatan tersebut bertujuan memberikan informasi dan tip-tip pada masyarakat yang akan menjalankan ibadah umrah untuk memilih travel umrah yang aman dan nyaman sesuai dengan peraturan Kementerian Agama RI. 

“Supaya calon jamaah lebih cerdas memilih travel. Penipuan ini bukan hanya karena travel-nya yang nakal, melainkan jamaah juga belum cerdas memilih travel. Di sinilah kita informasikan semuanya, terutama hak-hak jamaah,” ujar Hidayat dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Senin (27/1). 

Dalam acara yang dihadiri ratusan peserta ini, Direktur Marketing Sobat Indonesia Sejahtera, Noor Yunita, memberikan solusi dan beberapa tip agar calon jamaah terhindar dari modus penipuan berkedok travel umrah. 

Di antaranya, dia menyarankan calon jamaah mengunduh aplikasi Umrah Cerdas. “Kita download aplikasi Umrah Cerdas yang berlambang Kementerian Agama. Ketika kita mendapatkan penawaran dari travel, kita cek dulu ada tidak PPIU nya di aplikasi Umrah Cerdas,” ujarnya.   

Dalam acara itu, Yunita juga menekankan pentingnya jamaah untuk lebih selektif, kritis, dan proaktif mencari informasi penyelenggara travel umrah dan hal-hal yang terkait. “Melalui aplikasi ini, jamaah bisa lebih mudah mengetahui travel mana saja yang berizin dan tidak berizin. Ini bisa mencegah terjadinya penipuan,” katanya.  

Agar calon jamaah umrah tidak tertipu, Yayasan Sobat Indonesia Sejahtera juga tidak sembarangan mengajak travel-travel untuk menjalin kerja sama. 

Menurut dia, untuk berkerja sama dengan pihaknya, travel umrah harus terlebih dulu mengikuti peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan Kementerian Agama.   

“Jika sesuatu dijalankan sesuai dengan peraturan. Insya Allah lebih aman dan terkendali. Travel yang sudah berkerjasama dengan kita, harus memberikan informasi dan hak-hak kepada jamaah. Misalnya Nomor Porsi Umrah, tiket pesat, informasi hotel, makanannya, dan para muthawifnya, semuanya harus jelas,” katanya.   

IHRAM


Meninggal Ketika Ibadah Haji dan Umrah

Berikut beberapa fikih mengenai jamaah yang meninggal ketika sedang melakukan ibadah haji dan umrah:

1. Jika meninggal ketika ihram:

  • Dimandikan dengan air bercampur daun bidara atau hal yang membuat harum semisal sabun
  • Dikafani dengan dua potong kain diriawayat lainnya dengan kain ihramnya
  • Tidak diberi wewangian
  • Tidak ditutup kepala dan wajahnya
  • Akan dibangkitkan hari kiamat dalam keadaan bertalbiyah

Hal ini karena mereka akan dibangkitkan dihari kiamat sebagaimana keadaan orang yang berihram, yaitu tidak memakai wangi-wangian, tidak ditutup wajahnya. Adapun memandikan dengan bidara tujuannya agar jasad tetap harum ketika memandikan dan sabun semisal dengan bidara.1

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma:

بينما رجل واقف بعرفة، إذ وقع عن راحلته فوقصته، أو قال: فأقعصته، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: اغسلوه بماء وسدر، وكفنوه في ثوبين -وفي رواية: في ثوبيه- ولا تحنطوه -وفي رواية: ولا تطيبوه- ، ولا تخمروا رأسه ولا وجهه ، فإنه يبعث يوم القيامة ملبيا

Ketika seseorang tengah melakukan wukuf di Arafah, tiba-tiba dia terjatuh dari hewan tunggangannya lalu hewan tunggangannya menginjak lehernya sehingga meninggal. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Mandikanlah dengan air yang dicampur daun bidara lalu kafanilah dengan dua potong kain – dan dalam riwayat yang lain: “ dua potong kainnya “- dan jangan diberi wewangian. Jangan ditutupi kepala dan wajahnya. Sesungguhnya ia akan dibangkitkan pada hari kiyamat nanti dalam keadaan bertalbiyah.”2

2. Pahala haji dan umrahnya ditulis hingga hari kiamat

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

من خرج حاجا فمات كتب له أجر الحاج إلى يوم القيامة ومن خرج معتمرا فمات كتب له أجر المعتمر إلى يوم القيامة ومن خرج غازيا فمات كتب له أجر الغازي إلى يوم القيامة

Barangsiapa keluar untuk berhaji lalu meninggal dunia, maka dituliskan untuknya pahala haji hingga hari kiamat. Barangsiapa keluar untuk umrah lalu meninggal dunia, maka ditulis untuknya pahala umrah hingga hari kiamat. Dan barangsiapa keluar untuk berjihad lalu mati maka ditulis untuknya pahala jihad hingga hari kiamat.”3

3. Jika meninggal dalam perjalanan dan belum melakukan ihram, maka tidak termasuk meninggal dalam ketika beribadah haji

Misalnya pesawatnya jatuh ketika perjalanan dari negaranya ke Saudi dan belum berihram. Maka tidak termasuk dalam bab “meninggal ketika ibadah haji dan umrah”.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

إذا هلك من سافر للحج قبل أن يخرج فليس بحاج ، لكن الله عز وجل يثيبه على عمله ، أما إذا أحرم وهلك فهو …. ولم يأمرهم بقضاء حجه ، وهذا يدل على أنه يكون حاجاً ” انتهى .

“Jika kecelakaan ketika safar menuju haji sebelum ia ia keluar (berihram) maka tidak terhitung haji. Akan tetapi Allah akan membalas sesuai niatnya. Adapun jika sudah berihram, kemudian kecelakaan (misalnya mobilnya tabrakan, pent), maka termasuk dalam hadits (cara mengurus jenazahnya).”4

4. Jika meninggal ketika haji (sudah berihram), maak tidak perlu diqadhakan tahun depan oleh walinya

Karena hadits menunjukkan bahwa ia akan dibangkitkan dalam keadaan bertalbiyah hari kiamat dan ini menunjukka ia sudah mencukup hajinya.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelasakan,

ولم يأمرهم بقضاء حجه ، وهذا يدل على أنه يكون حاجاً

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan untuk diqadhakan (untuk yang meninggal), karena statusnya ia sudah berhaji.”5

Demikian semoga bermanfaat.

***

Catatan kaki

1 Kami ringkas dari: http://www.sonnaonline.com/DisplayExplanation.aspx?ExplainId=84,49079,95503,81134,89863,118245

2 H.R.Bukhari no. 1265 dan Muslim no 1206

3 HR Abu Ya’la dan dishahihkan Albani dalam Shahih At Targhib 1114

4 Majmu’ Fatawa syaikh Utsaimin 21/252

5 Majmu’ Fatawa syaikh Utsaimin 21/252

___

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/26603-meninggal-ketika-ibadah-haji-dan-umrah.html