Bagaimana hukum shalat berjamah dengan jarak antara jamaah satu meter seperti saat wabah virus covid-19 (virus corona) melanda negeri kita ini? Beberapa masjid masih menyelenggarakan shalat, baris shaf antara jamaah dibuat dengan selisih jarak satu meter. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang hal ini?
Dalil yang membicarakan meluruskan dan merapatkan shaf
Imam Nawawi rahimahullah dalam Riyadhus Sholihin membicarakan lima belas hadits dalam judul bab “Keutamaan Shaf Pertama dan Perintah untuk Menyempurnakan Shaf Pertama, Meluruskan, dan Merapatkannya”.
Dalil-dalil yang dibawakan oleh Imam Nawawi dalam bab di atas yang terkait dengan bahasan ini ada delapan dalil.
Hadits pertama (Hadits #1086)
وَعَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، يَمْسَحُ مَنَاكِبَنَا فِي الصَّلاَةِ ، وَيَقُولُ : (( اِسْتَوُوْا وَلاَ تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ ، لِيَلِيَنِي مِنْكُمْ أُولُو الأَحْلاَمِ وَالنُّهَى ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ )) رَوَاهُ مُسلِمٌ
Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengusap pundak-pundak kami ketika shalat dan berkata, “Luruskanlah dan janganlah berselisih, lalu berselisihlah pula hati kalian. Hendaklah orang-orang yang dewasa dan berakal (yang punya keutamaan) dekat denganku (dekat dengan imam), lalu diikuti orang-orang setelah mereka, lalu orang-orang setelah mereka.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 432].
Hadits kedua (Hadits #1087)
وَعَنْ أَنَسٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : (( سَوُّوا صُفُوفَكُمْ ؛ فَإنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ )) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ .
وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِي : (( فَإنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إقَامَةِ الصَّلاَةِ )) .
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Luruskanlah shaf-shaf kalian karena lurusnya shaf termasuk kesempurnaan shalat.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 723 dan Muslim, no. 433].
Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan, “Karena lurusnya shaf termasuk mendirikan shalat.”
Hadits ketiga (Hadits #1088)
وَعَنْهُ ، قَالَ : أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ فَأقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِوَجْهِهِ ، فَقَالَ : (( أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ وَتَرَاصُّوا ؛ فَإنِّي أرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي )) رَوَاهُ البُخَارِيُّ بِلَفْظِهِ ، وَمُسْلِمٌ بِمَعْنَاهُ .
وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِي: وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ.
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Iqamah shalat telah dikumandangkan, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap kami kemudian berkata, ‘Luruskanlah dan rapatkanlah shaf-shaf kalian karena aku dapat melihat kalian dari belakang punggungku.’” (HR. Bukhari dengan lafazhnya, sedangkan diriwayatkan oleh Imam Muslim secara makna) [HR. Bukhari, no. 719 dan Muslim, no. 434].
Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan, “Salah seorang dari kami menempelkan bahunya dengan bahu rekannya dan telapak kakinya dengan telapak kaki rekannya.”
Hadits keempat (Hadits #1089)
وَعَنِ النُّعْمَانَ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، يَقُوْلُ : (( لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ ، أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ )) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ .
وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ : أَنَّ رَسُولَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ يُسَوِّي صُفُوفَنَا ، حَتَّى كَأنَّمَا يُسَوِّي بِهَا القِدَاحَ حَتَّى رَأَى أَنَّا قَدْ عَقَلْنَا عَنْهُ ، ثُمَّ خَرَجَ يَوماً فَقَامَ حَتَّى كَادَ يُكَبِّرُ ، فَرَأَى رَجُلاً بَادِياً صَدْرُهُ مِنَ الصَّفِّ ، فَقَالَ : (( عِبَادَ اللهِ ، لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ ، أو لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ ))
An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, ‘Hendaklah kalian meluruskan shaf-shaf kalian atau Allah akan menyelisihkan di antara wajah-wajah kalian.’” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, 717 dan Muslim, no. 436].
Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa meluruskan shaf-shaf kami sampai seolah-olah beliau sedang meluruskan gelas sehingga beliau melihat bahwa kami telah mengerti. Kemudian pada suatu hari, beliau keluar. Lantas beliau berdiri. Lalu saat hampir bertakbir, beliau melihat seseorang pada dadanya maju dari shaf, maka beliau berkata, ‘Wahai hamba-hamba Allah, luruskanlah shaf kalian atau Allah akan menyelisihkan di antara wajah-wajah kalian.’”
Hadits kelima (Hadits #1090)
وَعَنِ البَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَتَخَلَّلُ الصَّفَّ مِنْ نَاحِيَةٍ إِلَى نَاحِيَةٍ ، يَمْسَحُ صُدُورَنَا وَمَنَاكِبَنَا ، وَيَقُولُ : (( لاَ تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ )) وَكَانَ يَقُولُ : (( إِنَّ اللهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصُّفُوفِ الأَوَّلِ )) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ
Al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa memeriksa shaf dari satu sisi ke sisi yang lain. Beliau mengusap dada dan pundak kami seraya berkata, ‘Janganlah kalian berselisih sehingga berselisihlah pula hati kalian.’ Beliau biasa mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya (memberikan rahmat dan memintakan ampun) atas shaf-shaf yang pertama.” (HR. Abu Daud, sanadnya hasan) [HR. Abu Daud, no. 664; An-Nasa’i, no. 812. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih].
Hadits keenam (Hadits #1091)
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنهُمَا : أَنَّ رَسُولَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( أَقِيْمُوا الصُّفُوفَ ، وَحَاذُوا بَيْنَ المَنَاكِبِ ، وَسُدُّوا الخَلَلَ ، وَلِيَنُوا بِأيْدِي إِخْوَانِكُمْ ، وَلاَ تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ ، وَمَنْ وَصَلَ صَفّاً وَصَلَهُ اللهُ ، وَمَنْ قَطَعَ صَفّاً قَطَعَهُ اللهُ )) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Luruskanlah shaf-shaf kalian, ratakanlah pundak-pundak kalian, isilah shaf yang kosong, bersikap lemah lembutlah terhadap tangan-tangan saudara kalian, dan janganlah kalian biarkan shaf kosong untuk diisi setan. Barangsiapa yang menyambungkan shaf, Allah pasti akan menyambungkannya dan barangsiapa yang memutuskan shaf, Allah pasti akan memutuskannya.” (HR. Abu Daud, sanadnya hasan) [HR. Abu Daud, no. 666; An-Nasa’i, no. 820. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan].
Hadits ketujuh (Hadits #1092)
وَعَنْ أَنَسٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ رَسُولَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( رُصُّوا صُفُوفَكُمْ ، وَقَارِبُوا بَيْنَهَا ، وَحَاذُوا بِالأعْنَاقِ؛ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إنِّي لأَرَى الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ ، كَأَنَّهَا الحَذَفُ )) حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ رَوَاهُ أبُو دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ عَلَى شَرْطِ مُسْلِمٍ .
(( الحَذَفُ )) بِحَاءِ مُهْمَلَةٍ وَذَالٍ مُعْجَمَةٍ مَفْتُوْحَتَيْنِ ثُمَّ فَاء وَهِيَ : غَنَمٌ سُودٌ صِغَارٌ تَكُونُ بِاليَمَنِ .
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rapatkanlah shaf kalian, dekatkanlah di antara shaf-shaf, dan sejajarkanlah tengkuk-tengkuk kalian. Demi Allah yang diriku ada pada tangan-Nya, sesungguhnya aku melihat setan masuk ke sela-sela shaf, seperti domba kecil.” (HR. Abu Daud, shahih dengan sanad sesuai syarat Muslim). Al-Hadzaf adalah domba hitam kecil yang hidup di Yaman. [HR. Abu Daud, no. 667 dan An-Nasa’i, no. 816. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih]
Hadits kedelapan (Hadits #1093)
وَعَنْهُ : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( أتِمُّوا الصَّفَّ المُقَدَّمَ ، ثُمَّ الَّذِي يَلِيهِ ، فَمَا كَانَ مِنْ نَقْصٍ فَلْيَكُنْ في الصَّفِّ المُؤَخَّرِ )) رواه أبُو دَاوُدَ بإسناد حسن
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sempurnakanlah shaf depan, kemudian yang selanjutnya. Jika masih ada yang kurang, jadikanlah di shaf belakang.” (HR. Abu Daud dengan sanad sahih) [HR. Abu Daud, no. 671 dan An-Nasa’i, no. 819. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih].
Hukum meluruskan dan merapatkan shaf
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Tidak lurusnya shaf akan menimbulkan permusuhan dan kebencian, serta perselisihan antar hati orang yang shalat.” (Syarh Shahih Muslim, 4:157)
Dalam Ensiklopedia Fikih disebutkan, “Mayoritas ulama berpandangan bahwa dianjurkan meluruskan shalat dalam shalat berjamaah, maksudnya adalah tidak boleh satu jamaah lebih di depan dari jamaah lainnya. Orang yang akan melaksanakan shalat membuat shaf jadi lurus dalam satu baris dengan shaf dirapatkan. Rapatnya shaf adalah dengan mendekatkan pundak yang satu dan lainnya, telapak kaki yang satu dan lainnya, mata kaki yang satu dan lainnya, sampai-sampai dalam shaf tidak dibuat ada celah. Imam disunnahkan memerintahkan pada jamaah sebagaimana perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Luruskanlah dan rapatkanlah shaf, karena lurusnya shaf termasuk kesempurnaan shalat’.” (Al-Mawsu’ah Al-Kuwaitiyyah, 27:35)
Masih dalam kitab yang sama, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah menyebutkan bahwa hukum shaf yang lurus adalah wajib. Namun shaf yang tidak lurus dihukumi sah. Shalat yang telah dilakukan dalam keadaan seperti itu tidak perlu diulangi. Lihat Al-Mawsu’ah Al-Kuwaitiyyah, 27:36.
Cara meluruskan shaf
Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily menerangkan, “Imam disarankan untuk meluruskan shaf-shaf yang ada sebelum melakukan takbiratul ihram. Imam hendaklah menyuruh makmum di belakangnya untuk meluruskan shaf sebelum masuk takbiratul ihram. Jika masjid berukuran besar, imam dianjurkan menyuruh orang lain untuk meluruskan shaf dengan cara mengelilingi shaf-shaf yang ada atau orang yang diperintah tadi menghimbau yang lainnya untuk meluruskan shaf. Setiap yang hadir shalat berjamaah hendaklah mengajak yang lain meluruskan shaf. Perbuatan seperti ini termasuk amar makruf nahi mungkar, juga termasuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Sebagaimana diketahui, shaf yang lurus merupakan kesempurnaan shalat.”
Az-Zuhaily, semoga Allah menjaga beliau, melanjutkan, “Yang dimaksud meluruskan shaf adalah menyempurnakan shaf yang pertama lalu shaf yang berikutnya. Termasuk juga meluruskan shaf adalah menutup shaf yang masih kosong. Shaf yang lurus akan terlihat rata dan posisi badan yang satu tidak maju dari yang lainnya. Shaf kedua barulah diisi ketika shaf pertama terisi penuh. Jamaah tidak boleh berdiri pada shaf yang baru sebelum shaf pertama diisi.” Lihat bahasan beliau dalam Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:439.
Apa yang dimaksud menempelkan bahu dengan bahu rekannya?
Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menyatakan bahwa kalimat “menempelkan bahu pada bahu lainnya dan telapak kaki pada telapak kaki lainnya”, maksudnya adalah benar-benar shaf itu dibuat lurus dan celah shaf itu ditutup. Kalimat semacam ini disebut dengan kalimat mubalaghah. Ada perintah dalam hadits lainnya untuk menutup celah shaf. Dalam banyak hadits ada anjuran demikian pula, di antaranya terkumpul dalam hadits Ibnu ‘Umar yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, di mana hadits tersebut disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim. Lafal hadits yang dimaksud adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَقِيمُوا الصُّفُوفَ وَحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ وَسُدُّوا الْخَلَلَ وَلَا تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ وَمَنْ وَصَلَ صَفًا وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللَّهُ
“Luruskanlah shaf, rapatkanlah antara pundak, tutuplah celah shaf, dan janganlah biarkan celah shaf untuk setan. Siapa yang menyambung shaf, maka Allah menyambungnya. Siapa yang memotong shaf, maka Allah memotongnya.” (Fath Al-Bari, 2:211)
Merapatkan apakah dengan menempelkan telapak kaki?
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Yang tepat dan terpercaya, shaf yang lurus adalah shaf yang antara mata kaki itu lurus, bukan antara ujung jari yang lurus. Tubuh kita memiliki mata kaki. Jari-jari yang ada berbeda sesuai dengan bentuk telapak kaki. Telapak kaki ada yang panjang dan telapak kaki yang pendek, sehingga keduanya dibuat sama lurus tidaklah mungkin. Yang bisa dibuat sama adalah lurusnya mata kaki. Adapun menempelkan kedua mata kaki antara jamaah, hadits tentang hal ini ada dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Dahulu mereka meluruskan shaf dengan menempelkan mata kaki antara satu dan lainnya. Namun tujuan menempelkan di sini adalah untuk membuat shaf menjadi lurus. Yang dimaksud menempelkan di sini bukanlah harus benar-benar menempel dan menjaganya sampai akhir shalat seperti itu. Sebagian orang melakukan tindakan ekstrim dengan menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya, akhirnya kedua telapak kakinya sendiri terbuka lebar dan antara pundak mereka terdapat celah besar. Padahal yang dimaksud adalah antara pundak dan mata kaki itu dibuat lurus.” (Fatawa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dikumpulkan oleh Asyraf ‘Abdur Rahim, 1:436-437)
Syaikh Ibnu Jibrin rahimahullah juga menjelaskan hal yang sama dengan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Syaikh Ibnu Jibrin menjelaskan kalimat dari Ibnu Hajar yang dinukilkan di atas, lalu beliau berkata, “Yang dimaksudkan menempelkan pundak dan telapak kaki adalah untuk meluruskan shaf, lalu dekatnya satu jamaah dan lainnya. Yang dimaksud menempelkan bukanlah benar-benar menempel. Pundak satu dan lainnya bisa saja saling menyentuh. Adapun kaki dan lutut tidak mungkin menempel. Karena karena terlalu menempel dan terlalu rapat antara jamaah malah saling menyakiti. Yang dimaksudkan hadits adalah merapatkan shaf dan menutup celah shaf sehingga tidak dimasuki oleh setan.”
Dua fatwa di atas dinukil dari Website Multaqa Ahlil Hadits.
Kesimpulan dari bahasan meluruskan dan merapatkan shaf
- Hukum meluruskan shaf adalah sunnah menurut jumhur ulama. Ulama yang menyatakan wajib, seperti Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, tidak menganggapnya sebagai syarat sah shalat.
- Shaf yang lurus didapati dari shaf yang rapat. Cara meluruskan shaf adalah dengan mendekatkan mata kaki dan pundak. Jika shaf yang lurus dihukumi sunnah, shaf yang rapat berarti dihukumi sunnah pula.
- Maksud sahabat dengan menempelkan pundak dan telapak kaki adalah mendekatkan, bukan saling menyakiti satu dan lainnya.
Bagaimana jika baris shaf saling berjauhan?
Syaikh Khalid Al-Musyaiqih hafizhahullah menyatakan, “Baris shaf itu disunnahkan saling berdekatan jarak antara shaf depan dan belakang, sekadar jarak di mana seseorang bisa sujud dalam shalat. Namun jika dibutuhkan, dikhawatirkan akan penyakit menular, atau sebab lainnya, shaf depan dan belakangnya dibuat lebih lebar. Jika ada yang shalat sendirian di belakang shaf, itu juga dibolehkan ketika mendesak. Ibnu Taimiyyah rahimahullah sendiri menganggap bahwa membentuk satu baris shaf (al-mushaffah) itu wajib. Namun, beliau rahimahullah membolehkan tidak dibuat barisan shaf ketika mendesak. Contoh keadaan mendesak di sini adalah adanya penyakit menular. Akhirnya ada yang melaksanakan shalat sendirian di belakang shaf, shalat seperti itu sah. Jika tidak kondisi mendesak, barisan shaf mesti dibentuk. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hadits ‘Ali bin Syaiban, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada shalat bagi orang yang shalat sendirian di belakang shaf.” Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan lainnya.” (Al-Ahkaam Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqah bi Waba’ Kuruna, hlm. 17).
Afdal mana, meninggalkan shalat berjamaah di masjid ataukah tetap shalat berjamaah dan shafnya saling berjauhan?
Ada beberapa poin yang bisa dipahami:
Pertama, hukum shalat berjamaah itu wajib sebagaimana pendapat dalam madzhab Abu Hanifah dan Imam Ahmad.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi seorang lelaki buta. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki seorang penuntun yang menuntunku ke masjid.’ Maka ia meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendapatkan keringanan sehingga dapat shalat di rumahnya. Pada awalnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya keringanan tersebut. Ketika orang itu mau berbalik, beliau memanggilnya, lalu berkata kepadanya,
هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلاَةِ ؟
‘Apakah engkau mendengar panggilan shalat?’ Ia menjawab,
نَعَمْ
‘Ya.’ Beliau bersabda,
فَأجِبْ
‘Penuhilah panggilan azan tersebut.’” (HR. Muslim, no. 503)
Kedua, jika mendapati uzur, shalat berjamaah bisa gugur termasuk saat wabah corona ini melanda. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit, beliau tidak melakukan shalat berjamaah. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan,
مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ
“Perintahkanlah kepada Abu Bakar untuk memimpin shalat.” (HR. Bukhari, no. 664 dan Muslim, no. 418)
Ada kaedah fikih yang berbunyi,
المشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرُ
“Kesulitan mendatangkan kemudahan.”
Atau seperti ibarat yang diungkapkan oleh Imam Asy Syafi’i dalam Al-Umm,
إِذَا ضَاقَ الأَمْرُ اِتَّسَعَ
“Jika perkara itu sempit, datanglah kelapangan.”
Dalil dari kaedah di atas adalah firman Allah,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghabun: 16)
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، ولَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أحَدٌ إلَّا غَلَبَهُ
“Sesungguhnya agama itu mudah. Orang yang memperberat diri dalam beragama, dialah yang akan kalah.” (HR. Bukhari, no. 39)
Ketiga, ada yang menyatakan, “Wabah juga muncul di masa silam namun tidak ada peniadaan shalat berjamaah.”
Jawaban: Kalimat ini perlu ditinjau ulang. Karena wabah virus corona yang saat ini ada berbeda dengan wabah di masa silam. Para pakar menilai bahwa virus ini benar-benar berbahaya. Virus ini bisa menyebar begitu cepat. Bahkan dari orang yang sehat dan kuat pun bisa terkena virus ini, walaupun ia tidak merasakan gejala apa-apa. Fatwa itu akan berbeda sesuai zaman dan tempat masing-masing.
Lihat sanggahan dari Syaikh Khalid Al-Musyaiqih dalam Al-Ahkaam Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqah bi Waba’ Kuruna, hlm. 13-14.
Keempat, jika ada yang shalat di rumah padahal sudah terbiasa shalat berjamaah, ia tetap dicatat pahala sempurna di sisi Allah. Hal ini berdasarkan hadits Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Jika seorang hamba sakit atau melakukan safar (perjalanan jauh), maka dicatat baginya pahala sebagaimana kebiasaan dia ketika mukim dan ketika sehat.” (HR. Bukhari, no. 2996)
Dari hadits itu, Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah mengatakan,
وَهُوَ فِي حَقّ مَنْ كَانَ يَعْمَل طَاعَة فَمَنَعَ مِنْهَا وَكَانَتْ نِيَّته لَوْلَا الْمَانِع أَنْ يَدُوم عَلَيْهَا
“Hadits di atas berlaku untuk orang yang ingin melakukan ketaatan lantas terhalang dari melakukannya. Padahal ia sudah punya niatan kalau tidak ada yang menghalangi, amalan tersebut akan dijaga rutin.” (Fath Al-Bari, 6:136)
Kesimpulan
Lebih afdal shalat di rumah daripada shalat di masjid dengan pertimbangan bahayanya virus corona ini:
- Bahayanya virus corona seperti penyakit pernapasan lainnya, infeksi covid-19 dapat menyebabkan gejala ringan seperti: demam, batuk, pilek, gangguan pernapasan, sakit tenggorokan, letih, dan lesu.
- Kondisi ini bisa menjadi lebih parah bagi beberapa orang dan dapat menyebabkan pneumonia atau kesulitan bernafas.
- Orang tua dan orang-orang yang mempunyai riwayat medis sebelumnya, seperti diabetes dan penyakit jantung, lebih rentan mengalami kondisi parah jika terkena virus corona.
- Salah satu penyebab virus sulit dikendalikan adalah silent carrier corona. Silent carrier corona adalah orang yang memiliki atau terinfeksi virus corona tetapi tidak bergejala, alias asimtompatis, terlihat seperti orang sehat, tidak merasa sakit atau memiliki gejala yang sangat ringan, tetapi bisa menyebabkan orang lain tertular penyakit. (Sumber: Kompas dan CNN Indonesia)
Saran penulis
Karena pertimbangan inilah, shalat di rumah lebih disarankan dibandingkan shalat di masjid walaupun dengan jarak shaf dibuat satu meter (dengan anggapan shaf yang tidak rapat tetap sah), walaupun juga sebelum masuk masjid ada penyemprotan disinfektan. Ini akan sesuai dengan saran pemerintah dan MUI untuk #DiRumahAja. Saran #DiRumahAja dari pemerintah dan MUI kita sudah menunjukkan bahwa mereka menyayangi rakyat Indonesia, agar tidak terus berjatuhan korban karena yang positif corona sudah mencapai empat digit (di atas 1.000).
Semoga Allah segera mengangkat musibah wabah ini dari negeri kita tercinta. Moga badai segera berlalu.
Referensi:
- Al-Ahkaam Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqah bi Waba’ Kuruna. Prof. Dr. Khalid bin ‘Ali Al-Musyaiqih. (File PDF)
- Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Wakaf dan Urusan Keislaman.
- Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i. Cetakan kelima, Tahun 1436 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily. Penerbit Darul Qalam.
- Ash-Shalah wa Hukmu Taarikiha. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Penerbit Dar Al-Imam Ahmad.
- Fath Al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari. Cetakan Keempat. Tahun 1432 H. Ibnu Hajar Al-Asqalani. Penerbit Dar Ath-Thiybah.
Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/23728-hukum-shalat-berjamaah-dengan-jarak-antara-jamaah-satu-meter.html