Calon Jamaah Haji Diimbau Tetap Menjaga Kesehatan

Pusat Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan tetap meminta jamaah haji selalu menjaga kesehatanya sebagai persiapan menunaikan ibadah haji. Meski sampak saat ini Saudi belum memastikan penyelenggaraan ibadah haji tahun 2020 dapat dilaksanakan atau ditiadakan seperti halnya ibadah umroh.

“Kita tetap meminta jamaah haji menjaga kesehatannya,” kata Kepala Pusat Kesehatan Haji Eka Jusup Singka saat dihubungi, Kamis, (26/3).

Eka mengatakan, menjaga kesehatan sangat penting dilakukan oleh setiap masyarakat khususnya jamaah haji yang telah mendapat porsi berangkat tahun ini. Setiap jamaah harus peduli dengan kesehatanya masing-masing agar dapat melaksanakan ibadah haji sesuai tuntunan syariat Islam

“Apalagi saat pandemi Covid-19 ini menjaga kesehatan yang paling utama,” katanya.

Menurutnya, jamaah haji Indonesia pada umumnya memiliki usia lanjut. Sehingga upaya pencegahan terhadap penyakit sangat diperlakukan oleh masing jamaah haji terutama yang akan memeriksakan kesehatanya.

“Jika akan memeriksakan diri ke Puskesmas dan RS hendaklah memperhatikan sosial distancing,” katanya.

Eka menambahkan, selain harus patuh terhadap social distancing. Jamaah juga diharapkan selalu mengkonsumsi makanan bergizi dan vitamin setiap hari dan mencuci tangan menggunakan sabun untuk mencegah transmisi virus.

Demi keselamatan pribadi dan juga orang lain, maka setiap orang  khususnya jamaah haji mesti memperhatikan setiap petunjuk-petunjuk umum tentang pencegahan Covid-19. Pentunjuk umum ini efektif mencegah terpaparnya Covid-19.

“Petunjuk umum ini harus dipenuhi oleh jamaah haji dan juga para KBIH,” katanya.

Eka menyarankan, jika sudah waktunya untuk dilakukan imunisasi Meningitis Meningokokus (MM) silahkan ke tempat pelayanan kesehatan yang telah di tunjuk Kemenkes. Meski demikian jamaah tetap mejaga jarak dengan orang lain.

“Namun harus menjaga social distancing,” katanya.

Meski saat ini Pemerintah Saudi belum mengumumkan penyelenggaraan ibadah haji tahun 2020 dapat dilaksanakan, Persiapan kesehatan jamaah haji Indonesia tetap dilaksanakan sambil menunggu keputusan selanjutnya tentang haji.

Saat ini kata Eka pihaknya terus mengupayakan agar jamaah haji dan pengelola KBIH dapat mematuhi arahan-arahan pemerintah dalam penanggulangan bencana non alam yaitu Covid-19. Kepatuhan terhadap arahan pemerintah penting demi kebaikan umat manusia.

“Saya meminta jamaah Haji dan pengelola KBIH mematuhi arahan pemerintah dalam penanggulangan bencana Non Alam Covid-19,” katanya.

IHRAM

Ini Julukan Ulama pada Surah An-Nahl

DI dalam al-Quran, terdapat satu surat yang dijuluki para ulama dengan surat an-Niam (surat kenikmatan). Surat an-Niam atau surat yang banyak menyebutkan kenikmatan adalah surat an-Nahl.

Surat an-Nahl termasuk surat Makiyah menurut Jumhur ahli tafsir, selain 3 ayat yang diturunkan di Madinah, sepulangnya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dari perang Uhud. Berisi 128 ayat, dan berada di urutan ke-16 dalam mushaf al-Quran. (at-Tahrir wa at-Tanwir, 14/93)

Disebut surat kenikmatan, karena surat ini banyak menyebutkan berbagai macam nikmat Allah untuk para hamba-Nya, yang itu merupakan bukti kebesaran dan keagungan Allah. Berikut beberapa keterangan para ulama yang menyebut surat ini dengan surat an-Niam (surat kenikmatan),

[1] Keterangan Qatadah ulama tafsir zaman tabiin Imam Qatadah mengatakan, Surat ini (an-Nahl) dinamakan dengan surat an-Niam. (Tafsir Yahya bin Sallam, 1/80)

[2] Keterangan Ali bin Zaid bin Jadaan salah satu ulama tabiin Dari Ali bin Zaid, beliau mengatakan, Surat an-Nahl disebut juga surat an-Niam. Karena di sana banyak disebutkan kenikmatan-kenikmatan. (Zadul Masir, 2/548)

[3] Keterangan Muhammad bin Saib al-Kalbi (w. 146 H) al-Kalbi mengatakan, Surat ini dinamakan surat kenikmatan, karena Allah menyebutkan banyak sekali nikmat-Nya untuk hamba-Nya di dalam surat ini. (an-Nukat wal Uyun, Tafsir al-Mawardi, 3/207).

Nikmat-nikmat di Surat an-Nahl:

Ada banyak ayat di surat an-Nahl yang menyebutkan kata nikmat. Saya mencoba menghitungnya, kurang lebih ada 9 ayat, yaitu: ayat 18, 53, 71, 72, 81, 83, 112, 114, dan 121. Di surat ini, Allah juga menyebutkan kisah Ibrahim dengan mencantumkan sifatnya yang menonjol, yaitu pandai mensyukuri nikmat Allah. Allah berfirman,

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (120) (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus.” (QS. an-Nahl: 120 121)

Ibrahim memiliki banyak sifat yang mulia. Namun di sini, Allah menyebutkan sifat pandai mensyukuri nikmat agar menjadi teladan bagi manusia dalam mensyukuri nikmat Allah. Kemudian, setelah Allah menyebutkan nikmat-nikmat yang demikian banyak, Allah mengakhirinya dengan mengatakan,

“Demikianlah Allah menyempurnakan nikmat-Nya atasmu agar kamu berserah diri (kepada-Nya).” (QS. an-Nahl: 81)

INILAH MOZAIK

Ini Fatwa Imam Al-Azhar Soal Salat Jumat di Tengah Pandemi Virus Corona

 Otoritas Cendekiawan Senior Al-Azhar, yang dipimpin Azhar Grand Sheikh Ahmed Al-Tayeb, telah mengizinkan penangguhan salat Jumat dan salat berjamaah sebagai bagian dari langkah-langkah pencegahan terhadap Virus Corona COVID-19.

Sebuah pernyataan dari pihak berwenang mengatakan, laporan kesehatan menunjukkan virus menyebar dengan cepat dan telah menjadi pandemi, dengan bahaya virus itu dapat menyebar dengan mudah dan cepat bahkan ketika seseorang tidak menunjukkan gejala.

Prioritas utama Syariah Islam, katanya, adalah untuk melindungi orang dan menjaga kesehatan mereka. Demikian seperti melansir dary Egypt Independent, Senin (16/3/2020).

“Karena tanggung jawabnya, Otoritas Cendekia Senior memberi tahu para pejabat di seluruh dunia, bahwa diperbolehkan untuk menunda salat Jumat dan salat berjamaah di semua negara karena takut menyebarkan virus,” kata pernyataan itu.

Pihak berwenang menambahkan, itu adalah kewajiban bagi pasien yang terinfeksi dan lansia untuk tinggal di rumah, mengikuti langkah pencegahan yang diumumkan otoritas yang kompeten di setiap negara, dan tidak pergi ke salat berjamaah seperti yang dilakukan pada hari Jumat.

Dalam hal salat dan jamaah yang ditangguhkan, adzan masih harus dilanjutkan, kata otoritas, dengan para jamaah dipanggil untuk berdoa di rumah.

Semua warga negara harus mematuhi pedoman dan instruksi yang dikeluarkan oleh otoritas kesehatan untuk membatasi penyebaran virus. Pernyataan itu menekankan bahwa peringatan lebih lanjut bahwa informasi harus diambil dari sumber tepercaya untuk menghindari rumor berbahaya.

Masjid Ditutup Karena Wabah

Sejarah Islam dahulu menjelaskan bahwa masjid dahulu pernah ditutup karena ada wabah. Ini berarti tidak ada shalat berjamaah dan shalat jumat. Adz-Zahabi menceritakan,

وكان القحط عظيما بمصر وبالأندلس وما عهد قحط ولا وباء مثله بقرطبة حتى بقيت المساجد مغلقة بلا مصل وسمي عام الجوع الكبير

“Dahulu terjadi musim paceklik besar-besaran di Mesir dan Andalus,  kemudian terjadi juga paceklik dan wabah di Qordoba sehingga masjid-masjid ditutup dan tidak ada orang yang shalat. Tahun itu dinamakan tahun kelaparan besar.” [Siyar A’lam An-Nubala 18/311]

Sebagaimana kita ketahui bahwa wabah itu penyakit yang menular dengan sangat cepat. Lebih cepat menular apabila berada pada manusia dengan kumpulan massa yang banyak. Oleh karena itu para ulama sejak dahulu maupun sekarang telah menfatwakan bolehnya tidak shalat berjamaah dan tidak shalat Jumat di masjid apabila ada udzur syar’iy dan sesuai arahan ulil amri, para ulama (ustadz) atau ahli kesehatan setempat. (catatan penting: kebijaksanaan tidak shalat berjamaah dan tidak shalat jumat, dikembalikan lagi ke daerah masing-masing karena setiap daerah berbeda-beda keadaannya)

Hal ini berdasarkan kaidah fikh bahwa mencegah madharat didahulukan daripada mendatangkan mashalat. 

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ

“Menghilangkan kemudharatan itu lebih didahulukan daripada Mengambil sebuah kemaslahatan.”

Demikian juga kaidah bahwa yang namanya bahya itu harus dihilangkan,

اَلضَّرَرُ يُزَالُ

 (Kemudharatan Dihilangkan Sebisa Mungkin)

Mencegah wabah yang sudah pasti menyebar dan berbahaya tentu harus didahulukan daripada mendatangkan mashalat yaitu mendapatkan pahala shalat berjamaah.

Salah satu dalil yang dibawa ulama bolehnya tidak shalat berjamaah adalah terlarangnya seseorang hadir shalat berjamaah ke masjid karena bau bawang putih yang akan menganggu orang yang shalat. Haditsnya sebagai berikut:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: ” مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الْبَقْلَةِ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسَاجِدَنَا، حَتَّى يَذْهَبَ رِيحُهَا، يَعْنِي الثُّومَ “

Dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya Rasulullah ﷺ pernah bersabda : “Barangsiapa yang memakan sayuran ini, maka janganlah mendekati masjid kami hingga hilang baunya” – yaitu bawang putih [HR. Muslim no. 561].

 Ibnu ‘Abdil Barr menjelaskan bahwa bau bawang putih dapat diqiyaskan dengan orang yang punya pengakit kusta yang menular, bahkan penyakit kusta lebih berbahaya daripada bau bawang putih. Terlebih ada wabah yang menular dengan cepat dan kita tidak tahu siapa saja yang menularkan. Beliau berkata,

أو عاهة مؤذية كالجذام وشبهه وكل ما يتأذى به الناس إذا وجد في أحد جيران المسجد وأرادوا إخراجه عن المسجد وإبعاده عنه كان ذلك لهم 

” Atau memiliki penyakit berbahaya seperti kusta dan semisalnya. Setiap hal yang mengganggu manusia apabila ada pada seseorang di masjid lalu mereka ingin mengeluarkan dan menjauhkannya dari masjid, maka mereka berhak melakukanitu.” [At-Tamhiid, 6/422-423].

Fatwa ulama kontemporer saat ini bolehnya shalat berjamaah di masjid cukup banyak. misalnya fatwa Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaily dari laman twitter beliau,

إذا وجد فيروس الكورونا في المنطقة أو منعت الدولة من التجمعات جاز تعطيل الجمعة والجماعة ويرخص للناس في الصلاة في بيوتهم ويصلون جماعة بأهل بيوتهم

“Apabila ada virus korona di suatu tempat dan dilarang oleh negara untuk berkumpul (dengan jumlah massa), maka boleh meniadakan shalat jumat dan shalat berjamaah. Manusia mendapat rukhshah shalat di rumah mereka bersama kelurarga.” [https://twitter.com/solyman24]

Demikian juga fatwa MUI tentang hal ini. Silahkan baca [https://mui.or.id/berita/27675/mui-putuskan-fatwa-penyelenggaraan-ibadah-dalam-situasi-terjadi-wabah-covid-19/]

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55384-masjid-ditutup-karena-wabah.html

Rezeki tak Bertambah dengan Kerja Habis-habisan

SAAT ini amanat atau amanah adalah sesuatu yang sangat langka, sementra khianat merajalela, tersebar dimana-mana. Ada yang mengatakan, “Dalam klan keluarga fulan terdapat seorang laki-laki yang amanat.” Hal itu menunjukkan betapa jarangnya orang yang amanah di zaman sekarang ini. Manusia mungkin tidak tahu atau mereka lupa, amanah dan rahim (hubungan keluarga) akan berdiri pada hari kiamat di sebelah kanan dan kiri sirath, -menunjukkan betapa besarnya permasalahan ini- keduanya menuntut hak kepada setiap orang yang melewati sirath.

Sekarang kita terbangkan alam pikiran kita ke masa-masa orang-orang saleh banyak ditemui, mereka berjalan di jalan-jalan kota, dan bermuamalah dengan akhlak-akhlak terpuji, merekalah generasi awal Islam. Di masa mereka sifat amanah tertanam begitu mendalam di hati-hati masyarakat. Rekam jejak kehidupan mereka selalu dihiasi kisah-kisah amanah dan kejujuran. Kita sering dengar tentang profil pemimpin yang amanah di zaman mereka, dan kita katakan “Ada tidak ya pemimpin seperti mereka di zaman seakrang.” Kali ini, penulis mengajak pembaca menyorot ke dalam diri masing-masing (introspeksi), dengan membawakan kisah rakyat di zaman-zaman pemimpin yang adil tersebut. Adakah yang mengatakan “Saya rakyat/individu yang amanah seperti mereka tidak ya?”

Sebagaimana kisah Ibnu Aqil yang mengisahkan tentang dirinya: Aku pernah menunaikan ibadah haji dan menemukan kalung mutiara dengan tali berwarna merah. Di waktu berikutnya, ada seorang laki-laki yang mengumumkan kehilangan kalung mutiara dan menyediakan uang sebanyak seratus dinar bagi penemunya. Tanpa banyak berpikir, aku kembalikan kalung itu kepadanya. Laki-laki itu berkata kepadaku, “Amibillah dinar ini.” Namun aku menolak pemberiannya.

Setelah itu, aku pergi bersafar ke Syam, mengunjungi Baitul Maqdis lalu ke Baghdad dan Halb (Aleppo sekarang). Aku bermalam di sebuah masjid di Halb. Malam itu aku benar-benar merasa kedinginan dan kelaparan, dan itulah awal Ramadhan-ku di Halb. Tak disangka, masyarakat kampung tersebut menunjukku sebagai imam masjid karena imam masjid sebelumnya baru saja meninggal. Mereka memuliakanku dengan memberi makanan. Setelah itu mereka mengatakan, “Imam masjid kami memiliki seorang anak perempuan.” Lalu mereka menikahkanku dengan anak sang imam masjid tersebut. Selama satu tahun aku hidup bersama istriku itu dan dia melahirkan anak pertama kami. Sampai akhirnya tiba saat-saat perpisahan. Setelah melahirkan, dalam masa nifas, istriku sakit parah.

Aku merawatnya dan memperhatikannya, kulihat ia mengenakan sebuah kalung yang aku kenal. Kalung itu adalah kalung mutiara yang aku temukan pada musim haji. Aku berkata kepada istriku, “Kalung ini mempunyai cerita.” Kuceritakan kepadanya kisahku dengan kalung tersebut. Istriku menitikkan air mata mendengar kisahku. Dia berkata, “Kamulah orangnya. Ayahku pernah menangis, dalam doanya ia mengatakan, Ya Allah, jodohkanlah putriku dengan seseorang seperti orang yang menemukan kalung dan mengembalikannya kepadaku. Allah telah mengabulkan permohonan ayahku.” Kemudian istriku meninggal. Secara otomatis kalung tersebut beralih kepemilikannya kepadaku sebagai pewaris istriku. Sepeninggal istriku, aku pun pulang ke Baghdad.

Kisah lainnya tentang seorang ulama besar yang terkenal, Abdullah bin Mubarak. Beliau menceritakan sendiri kisahnya, “Di Syam aku meminjam pena. Aku berniat mengembalikan pena tersebut kepada pemiliknya, tapi ternyata pena tersebut masih kubawa. Saat itu aku sudah berada di kota lain, Kota Marwu. Aku kembali ke Syam untuk mengembalikan pena tersebut kepada pemiliknya.”

Kejujuran dan amanah itu tidak mengurangi jatah rezeki seseorang. Ibnu Aqil, yang seandainya dia mengambil barang temuannya berupa kalung mutiara, ia bisa menyimpan kalung itu menjadi milikinya, dan kalung tersebut menjadi rezeki baginya, tapi rezeki yang ia dapat tersebut diperoleh dengan cara yang haram. Di kemudian hari, kalung tersebut tetap menjadi bagian dari rezekinya, dan diperoleh dengan cara yang halal. Dalam bahasa kita, sering kita katakan “Kalau rezeki tidak akan kemana.”

Penyair mengatakan,
(Jatah) Rezeki itu tidak berkurang karena kita bersantai
Dan (jatah) rezeki itu tidak bertambah dengan bekerja habis-habisan
Seandainya benar itu adalah rezekiku, maka ia tidak akan berlalu pergi
Walaupun ia berada di relung samudera terdalam.

Demikian juga kisah Abdullah bin Mubarak, hanya untuk mengembalikan sebatang pena, ia rela menghabiskan waktu dan mengeluarkan tenaga untuk kembali ke Syam demi mengembalikan hak pemilik pena, masya Allah. [Sumber: Mujidul Khatib oleh Ahmad bin Shaqr as-Suwaidi/KisahMuslim]

INILAH MOZAIK

Apakah Penjara Bisa Membebaskan Utang?

Apakah Penjara Bisa Membebaskan Utang? 

Jika ada orang yang berutang dan tidak mampu bayar, lalu dia dipenjarakan oleh pemilik utang, apakah kewajiban utangnya menjadi hangus secara otomatis?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Ketika ada orang yang memiliki utang, ada 3 keadaan yang disikapi berbeda,

Pertama, orang yang berutang dalam kondisi kesulitan dan tidak mampu melunasinya.

Dalam kondisi ini, Hakim tidak berhak memenjarakan orang tersebut. Bahkan memenjarakannya termasuk kedzaliman. Allah wajibkan bagi orang yang berutang dan kesulitan untuk melunasi, agar diberi waktu tunda.

Allah berfirman,

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (QS. al-Baqarah: 280)

Dan percuma saja ketika orang yang tidak mampu dipenjarakan, tetap dia tidak akan mampu melunasi. Karena itu, dia dibiarkan agar bisa bekerja dan berusaha untuk mencicil utangnya.

Kedua, Orang yang berutang mampu bayar, sementara dia tidak mau untuk membayar, maka dia boleh dipaksa dengan cara dipenjarakan.

Jika setelah dipenjarakan, ternyata dia tetap tidak mau bayar maka hartanya dibekukan (al-Hajar), kemudian dijual secara paksa dan hasilnya dibagikan ke seluruh orang yang memberi utang kepadanya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيُّ الوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ

Orang mampu yang tidak mau membayar utang menghalalkan kehormatan dan hukumannya. (HR. Nasai 4706,  Abu Daud 3630 dan dihasankan al-Albani)

Ketiga, posisinya diragukan, apakah memiliki kemampuan ataukah tidak.

Hakim berhak menahan orang ini untuk diinterogasi. Jika bisa dipastikan dia tidak mampu maka dia dilepaskan. Dan jika ternyata dia mampu, maka tetap ditahan sampai dia mau melunasi utangnya.

Disimpulkan dari: Mausu’ah al-Fiqh al-Islami

Apakah Jika  Sudah Dipenjara Utang Menjadi Lunas?

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa fungsi memenjarakan orang yang berutang adalah untuk memaksa dia agar mau melunasi utang, bukan untuk menebus dan memutihkan utangnya. Dan ini hanya berlaku bagi orang yang mampu, namun tidak mau bayar. Karena itu, sekalipun dia sudah dipenjarakan, utang tidak otomatis hangus, namun tetap menjadi tanggung jawabnya sampai dilunasi.

Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah dinyatakan,

فما عليك من دين يبقى في ذمتك، ولا يسقطه سجنك، ويجب عليك أداؤه متى ما تمكنت من ذلك

Utang yang menjadi tanggung jawab anda tetap menjadi kewajiban anda. Dan tidak gugur disebabkan anda dipenjara, dan wajib bagi anda untuk melunasinya ketika memungkinkan. (https://www.islamweb.net/ar/fatwa/54380/)

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/36229-apakah-penjara-bisa-membebaskan-utang.html

Kasus Corona, Antara Memelihara Agama dan Jiwa

Merebaknya virus corona, mengharuskan penjagaan terhadap agama (hifdz al-din) tidak boleh bertentangan dengan tujuan-tujuan syariat

MUNCULNYA  wabah virus corona (COVID-19) telah menimbulkan kebingungan di kalangan kaum Muslimin.  Bukan hanya karena telah merenggut nyawa banyak orang, tetapi juga adanya perbedaan fatwa di kalangan ulama berkaitan hukum yang menyertainya

Sebagian ulama dengan tegas menfatwakan supaya kaum Muslimin menghindari wabah tersebut dengan membolehkan meninggalkan shalat jamaah dan shalat Jumát. Alasannya, salah satu media yang sangat potensial bagi penularan virus itu adanya kerumunan atau perkumpulan. Dalam shalat berjamaah tentu terjadi pertemuaan banyak orang di satu tempat.

Namun, ada sebagian ulama yang tidak setuju dengan pendapat tersebut.  Alasannya, menjalankan hukum-hukum Islam merupakan prinsip agama walaupun harus mengorbankan jiwa, seperti jihad fi sabilillah.

Bukti menjalankan hukum agama di antaranya melaksanakan dzikrullah di masjid-masjid serta memakmurkannya dengan shalat fardhu dan shalat Jumat. Karena itu masjid tidak boleh ditutup.  Dasarnya adalah pendapat  Ibnu Taimiyah bahwa haram menutup masjid-masjid untuk pelaksanaan amalan-amalan yang untuk itu disyariatkan pembangunan masjid (Majmu’ul Fatawa XXXI/255). Demikian juga pendapat Al-Aini bahwa dimakruhkan mengunci pintu masjid karena seakan-akan itu merupakan larangan shalat (Al-Binayah Syarhul Hidayah lil Marghinani fi Fiqhil Hanafiyah, II/470).

Mengunci pintu masjid mirip dengan tindakan melarang, sehingga dimakruhkan. Ini berdasar  firman Allah Ta’ala: “Siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang melarang berzikir mengingat Allah di masjid-masjid Allah?” (QS: al-Baqarah:114).

Bahkan ulama yang menfatwakan larangan shalat di masjid karena corona dituduh terpengaruh paradigma Barat yang sekuler dan materialistis. Barat memandang manusia sebagai komoditas yang khawatir musnah atau setidaknya rugi secara materi yang akan menjadi beban negara.

Karena pemikiran tersebut, kehidupan dunia lebih penting daripada kemaslahatan agama, iman, dan akhirat. Cara pandang Barat yang materialistis itu telah mendominasi dalam penyikapan terhadap wabah corona dengan membatasi persoalan ini sebagai wilayah thibb thabi’i semata seperti upaya kehati-hatian, pencegahan, dan pengobatan. Namun di saat yang sama memutus hubungan dengan alam ghaib dan thibb imani yang mengharuskan bertaubat, berinabah, berdoa, dan bertawakal kepada Allah. Juga bersabar terhadap ujian-Nya, ridha kepada takdir-Nya, serta kesadaran akan keagungan-Nya. Padahal, itu semua merupakan hakikat keimanan kepada Allah!

Karenanya,  ada pendapat sebuah kebatilan bagi orang yang memahami hakikat Islam, Iman, dan tauhid jika menutup masjid.

Sedang ulama yang menerbitkan fatwa berisi himbauan meniadakan penyelenggaraan shalat Jumat dan berjamaah di masjid di wilayah terpapar wabah corona didasarkan pada  Firman Allah Ta’ala:

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“Dan janganlah kalian jatuhkan diri kalian dalam kebinasaan dengan tangan kalian sendiri. Dan berbuat baiklah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS: Al Baqarah 195).

Demikian juga sabda Rasulullaah ﷺ “Tidak boleh ada bahaya dan sesuatu yang menyebabkan bahaya.” (HR. Ibnu Majah, Daruqutni).

Demikian juga larangan Rasulullah ﷺ dalam riwayat Muslim, bagi orang yang memakan bawang mendekati masjid karena baunya dapat mengganggu orang lain. Jika orang seperti ini saja dilarang apalagi bagi orang yang mungkin menjadi sebab sakit dan kematian bagi orang lain.

Apalagi hal yang sama juga pernah dilakukan oleh para ulama salaf. Ketika itu di tahun 448 H terjadi kekeringan parah di Mesir dan Andalusia, dan di Qordoba tidak terjadi kekeringan dan wabah seperti itu, sampai-sampai masjid ditutup dan tidak ada orang shalat. (Siyar A’lam an Nubala, 18/311).

Antara Hifdun Din dan Hifdun Nafs

Islam hadir dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umat manusia. Menurut Imam Ghazali dalam kitabnya  al-Mustashfa, kemaslahatan mencakup tiga hal penting, yaitu(primer), Hajjiyah (sekunder) dan Tahsiniyah (tersier). Yang mana dalam setiap tingkatan kemaslahatan tersebut mencakup lima hal penting yaitu hifdzud Din (memelihara agama), hifdzun nafs (memelihara jiwa), hifdzun nasl (memelihara keturunan), hifdzul aql (memelihara akal) dan hifdzul mal (memelihara harta). Kelima hal tersebut kemudian dikenal sebagai tujuan-tujuan utama syariah atau agama hadir adalah untuk menjaga hal-hal tersebut.

Para ulama sepakat bahwa dalam prakteknya, kelima hal tersebut tidak boleh saling bertentangan satu sama lainnya. Misalnya hifdzud din (memelihara agama), bukan hanya sekedar menjaga kesucian agama, namun juga membangun sarana ibadah dan menciptakan pola hubungan yang sehat dalam menjalankan agama, baik antar sesama agama maupun dengan orang beda agama.

Secara tidak langsung, hak ini digunakan untuk menciptakan situasi kondusif dalam mewujudkan  keberagamaan seseorang. Dalam konteks sekarang, kebolehan mengganti shalat Jumat dengan shalat Dhuhur  karena adanya wabah adalah bentuk memelihara agama sekaligus memelihara jiwa.

Adalah Rasulullah ﷺ sangat tidak suka  terhadap fatwa yang mengancam dan mengorbankan nyawa manusia. Abu Dawud meriwayatkan, “Dari ‘Atha` bin Abi Rabah bahwasanya dia mendengar Ibnu Abbas berkata: Ada seseorang terluka pada masa Rasulullah , kemudian dia bermimpi basah, lalu dia diperintahkan untuk mandi, maka dia mandi dan meninggal. Kejadian ini kemudian sampai kepada Rasulullah , maka beliau bersabda: “Mereka telah membunuhnya semoga Allah membunuh mereka! Bukankah obat dari kebodohan adalah bertanya!” (HR: Abu Dawud).

Dalam hadis di atas, sejumlah Sahabat memberi fatwa untuk mandi kepada seorang Sahabat yang sedang junub, padahal di kepalanya ada luka parah. Akibatnya Sahabat ini wafat. Karena itulah Rasulullah ﷺ sangat marah dan mensifati pemberi fatwa dengan penisbatan pada pembunuhan.

Padahal, para Sahabat yang berfatwa tentu berniat baik dengan menyuruh Sahabat yang terluka tetap dalam ketakwaan. Juga supaya tidak melanggar perintah Allah untuk bersuci dengan air, yang berarti berada dalam jalan kesalihan dalam kondisi apapun.  Akan tetapi ternyata kondisi seperti ini tidak menyelamatkan mereka  mendapatkan teguran keras dari Rasulullah ﷺ.

Demikian juga ketika ada kasus pandemi, Rasulullah ﷺ juga menegaskan agar tidak mendatangi tempat yang terkena wabah dan yang sudah ada di wilayah tersebut tidak keluar agar tidak menular ke orang lain. Hal ini kemudian juga dipraktekkan ole para Sahabat seperti Umar bin Khatab yang membatalkan ke Damasku karena di wilayah tersebut terkena pendemi thaún.

Banyak kitab para ulama yang mencatat dengan baik bagaimana Nabi Muhammad ﷺ dan  para Sahabat menyikapi pandemi. Para Sahabat  bukan dengan menantangnya atas nama tauhid, atau atas nama “hanya takut pada Allah”.

Ini berbeda dengan masyarakat Eropa jaman itu yang karena kefanitikannya menyikapi the Black Death. Yang menuduh kaum Yahudi sebagai penyebabnya sehingga Tuhan murka. Akibatnya, , ribuan Yahudi dipersekusi.

Merebaknya virus corona yang sangat mematikan saat ini, mengharuskan penjagaan terhadap agama (hifdz al-din) tidak boleh bertentangan dengan tujuan-tujuan syariat yang lainnya yaitu salah satunya adalah menjaga jiwa (hifdzun nafs).

Kebolehan untuk mengganti shalat Jumat tidak lain adalah bagian dari penjagaan atas hak hidup manusia atau jiwa manusia. Tanpa meninggalkan penjagaan terhadap agama, yaitu tetap beribadah dengan mengganti shalat Jumat dengan shalat Dzuhur. Wallahuálam.*

Dosen Ushul Fiqh, Sekretraris MIUMI Jawa Timur

HIDAYATULLAH





Tiga Cara Tingkatkan Imunitas Diri Ala Rasulllah SAW

Qiyamul Lail dan Tilawah Alquran amat dianjurkan untuk dilakukan di awal pagi.

Wabah virus corona yang semakin merebak membuat kita semua semakin khawatir. Ditambah lagi semua info di media daring maupun sosial membuat mental semakin lemah. Kekhawatiran membuat problem psikis yang tidak bisa diremehkan. Alih-alih makin sehat, cemas yang dirasa membuat manusia betulan sakit.

Inilah cara Islam membuat imunitas diri semakin kuat. Apalagi cara-cara yang ditulis di bawah ini adalah cara yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam dan diridhoi oleh Allah Ta’ala.

Tiga cara tingkatkan imunitas diri di awal pagi adalah; 1) Qiyamul Lail, 2) Tilawah Alquran, dan 3) Shalat Subuh.

Qiyamul Lail dan Tilawah Alquran amat dianjurkan untuk dilakukan di awal pagi. Lakukan Qiyamul Lail sebisa mungkin, meski 2 rakaat atau paling tidak 10 menit sebelum Subuh. Allah Ta’ala berfirman dalam surah al-Muzammil ayat 6, “Inna nasyiatal lail hiya asyaddu wath’an”. (Sungguh bangun malam itu lebih kuat untuk diri dan jiwa manusia). Kekuatan diri ini adalah imunitas yang bisa didapatkan dengan cara qiyamullail.

Sedang tilawah Alquran juga dianjurkan untuk dibaca pada saat qiyamul lail sebagaimana dalam surah al-Muzammil ayat 4, “Wa rattil qur’aana tartila”, bacalah Alquran dengan perlahan-lahan) (saat qiyamul lail). Atau bacalah Alquran di waktu Fajr (Subuh). Sebab bacaan Alquran di waktu fajar disaksikan oleh para malaikat. Lih.QS. 17:78

Dr Ahmed Al-Qadhi di Klinik Besar Florida, Amerika Serikat, melakukan sebuah riset dan berhasil membuktikan hanya dengan mendengarkan dan membaca ayat suci Alquran mampu menangkal berbagai macam penyakit. Penemuan yang sama juga dilakukan Muhammad Salim yang dipublikasikan oleh Universitas Boston.

Keduanya menyatakan bahwa membaca Alquran dengan bersuara akan membuat vibrasi atau getaran yang membuat sel-sel yang sudah rusak pada tubuh akan kembali sembuh dan bekerja dengan baik kembali.

Hal ini selaras dengan firman Allah Ta’ala, “Dan Kami turunkan dari Alquran suatu yang menjadi penawar (obat) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS 17:82).

Amalan ketiga untuk tingkatkan imunitas diri di awal pagi adalah dengan shalat Subuh. Dalam hadis riwayat Muslim disampaikan bahwa Nabi Shalallahu Alaihi wa Salam bersabda, “Barangsiapa yang shalat Subuh maka dia berada dalam jaminan Allah.” 

Shalat Subuh akan membuat diri kita dijamin oleh Allah. Dijamin rezekinya, dijamin keselamatannya. Juga dijamin insya Allah dari wabah corona yang mengkhawatirkan. 

Itulah tiga amalan yang akan membuat imunitas tubuh semakin meningkat. Yuk bersama kita amalkan!

Oleh Ustaz Bobby Herwibowo

KHAZANAH REPUBLIKA

Aku Tak Takut Corona, Aku Hanya Takut Allah?

Melalui tulisan ini kita berupaya meluruskan ucapan sebagian orang, di tengah wabah corona akhir-akhir ini. 

“Aku ngga takut corona. Aku hanya takut kepada Allah..“

Pembaca yang dimuliakan Allah…

Di saat rombongan Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu mengadakan agenda kunjungan ke negeri Syam, beliau mendapatkan kabar bahwa di Syam sedang tersebar wabah tho’un. Sehingga beliau pun mengurungkan rencana kunjungan tersebut.

Abu Ubaidah radhiyallahu ’anhu sebagai gubernur Syam ketika itu, menyayangkan batalnya kunjungan itu. Beliau berkata kepada Umar,

يا أمير المؤمنين، أفراراً من قدر الله؟

“Wahai Amirul Mukminin.. Mengapa anda lari dari takdir Allah?“

Lalu Umar radhiyallahu ’anhu menjawab dengan sangat hikmah,

لو غيرك قالها يا أبا عبيدة! نعم، نفرّ من قدر الله إلى قدر الله، أرأيت لو كانت لك إبل فهبطت واديا له عدوتان، إحداهما خصبة، والأخرى جدبة، أليس إن رعيتَ الخصبة رعيتَها بقدر الله، وإن رعيت الجدبة رعيتَها بقدر الله؟

“Aku berharap bukan Anda yang mengucapkan itu, ya Abu Ubaidah. Iya benar, kami sedang lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain. Seandainya kamu punya unta, kemudian ada dua lahan yang subur dan yang kering. Bukankah bila Anda gembalakan ke lembah yang kering itu adalah takdir Allah, dan jika Anda pindah ke lembah subur itu juga takdir Allah?!

“Iya benar…” Jawab sahabat Abu Ubaidah radhiyallahu ’anhu.

Umar pun takut pada wabah tho’un, kemudian berikhtiar menghindar. Padahal beliau adalah salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, Khalifahnya Rasulullah, orang yang Nabi pernah bilang, “kalau ada Nabi setelahku, maka Umar orangnya.” Sosok yang pernah Nabi ceritakan bahwa setan tidak berani melewati jalan yang dilewati oleh Umar. Kita siapa? Umar bukan? Nabi bukan? Rasul bukan? Shalih juga masih ragu-ragu? Kemudian petantang-petenteng?!

Ini menunjukkan bahwa, sebenarnya takut kepada Corona tidak bertentangan dengan takut kepada Allah.

Karena takut kepada makhluk yang bisa mendatangkan bahaya, tergolong takut yang sifatnya tabiat (thobi’i).

Allah Ta’ala memaklumi adanya takut seperti ini pada diri manusia. Karena itu bagian dari fitrah yang Allah tanamkan pada diri manusia. Sehingga tidak perlu dipertentangkan dengan takut kepada Allah.

Bahkan manusia yang mulian yaitu para Nabi, pun merasakan takut ini. Sebut saja Nabi Musa ‘alaihis salam. Allah Ta’ala berfirman,

فَخَرَجَ مِنۡهَا خَآئِفٗا يَتَرَقَّبُۖ قَالَ رَبِّ نَجِّنِي مِنَ ٱلۡقَوۡمِ ٱلظَّٰلِمِينَ

“Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut, waspada (kalau ada yang menyusul atau menangkapnya). Dia berdoa, “Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zhalim itu.” (QS. Al-Qashash: 21)

Saat Allah menunjukkan mukjizat Nabi Musa dihadapan para penyihir Fir’aun, ketika tongkat beliau berubah menjadi ular, Musa gelisah ketakutan.

وَأَلۡقِ عَصَاكَۚ فَلَمَّا رَءَاهَا تَهۡتَزُّ كَأَنَّهَا جَآنّٞ وَلَّىٰ مُدۡبِرٗا وَلَمۡ يُعَقِّبۡۚ يَٰمُوسَىٰ لَا تَخَفۡ إِنِّي لَا يَخَافُ لَدَيَّ ٱلۡمُرۡسَلُونَ

“Lemparkanlah tongkatmu!” Maka ketika (tongkat itu menjadi ular dan) Musa melihatnya bergerak-gerak seperti seekor ular yang gesit, larilah dia berbalik ke belakang tanpa menoleh. ”Wahai Musa! Jangan takut! Sesungguhnya di hadapan-Ku, para rasul tidak perlu takut.” (QS. An-Naml: 10)

Lihatlah, Nabi Musa pun takut kepada ular. Apakah sekelas Nabi Musa yang kualitas takwa dan tauhidnya jelas terjamin baik; bayangkan beliau termasuk Nabi Ulul Azmi, melihat ular-ular itu kemudian berkata, “Saya ngga takut ular. Saya hanya takut kepada Allah. Sini ular saya cincang kalian.”?! Ternyata tidak, Allah Tuhan yang maha tahu isi hati manusia sendiri bahkan yang menceritakan dan tidak mengingkari adanya takut jenis itu pada diri Musa.

Saudaraku yang dimuliakan Allah…

Ketahuilah bahwa, takut kepada Allah harus didasari ilmu. Bukan bermodal semangat saja.

Di dalam Al-Qur’an, Allah menyandingkan rasa takut kepadaNya dengan ilmu.

إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَٰٓؤُاْۗ

“Hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah orang-orang yang berilmu. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Maha Pengampun.” (QS. Fathir: 28)

Bisa pembaca rasakan, ungkapan di atas lebih di dasari ilmu atau semangat?

Sama jawaban kita, semboyan di atas hanya didasari semangat tanpa ilmu. Sehingga lebih pantas disebut nekad, bukan takut kepada Allah.

Bukti bahwa semboyan di atas tidak didasari ilmu adalah, hampir bisa dipastikan orang yang memegang semboyan itu adalah kalangan awam terhadap ilmu agama dan ilmu medis. Silahkan perhatikan, tak ada satupun ulama atau ustadz, yang mumpuni ilmu agamanya, apalagi dokter, yang berprinsip demikian. Rata-rata yang memegang prinsip itu adalah orang awam yang tidak punya kapasitas di bidang ilmu agama dan juga kesehatan. Atau, orang awam yang diustadzkan.

Silahkan, sekarang mau pilih ikut yang mana sahabat?

Kita hidup di bumi Allah teman. Maka harus patuh pada hukum Allah yang berlaku di bumi ini. Jangan membuat hukum sendiri di alam ini. Kecuali kalau punya alam sendiri. Allah tetapkan di dunia ini ada hukum sebab akibat. Anda mau dapat sesuatu, harus ada upaya (ikhtiyar). Anda tidak mengupayakan sebab, tak mungkin mendapatkan akibat atau hasil.

Maryam saja, sosok yang sudah jelas dicintai Allah, saat akan melahirkan Nabi Isa ‘alaihis salaam, untuk mendapatkan buah kurma, Allah perintahkan dia untuk melakukan sebab, yaitu menggoncang pohon kurma agar buah berjatuhan,

وَهُزِّيٓ إِلَيۡكِ بِجِذۡعِ ٱلنَّخۡلَةِ تُسَٰقِطۡ عَلَيۡكِ رُطَبٗا جَنِيّٗا

“Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya (pohon) itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” (QS. Maryam: 25)

Kita siapa brother? Tidak mau berusaha?! Maunya semua gratis? Kadang kita suka pede keterlaluan.

Orang yang seperti itu, sama saja dengan orang yang ingin punya anak tapi tidak mau nikah. Berdoa saja. Pengen dapat rizki tapi tidak usah kerja, yang penting doa saja.

Coba kepada orang yang berprinsip seperti itu, kita ajak ke kandang singa atau buaya. Tolong tinggal di situ satu atau dua jam saja, sambil lantang berteriak, “Woi singa… woi buaya.. kemari, aku ngga takut sama kalian. Aku takut kepada Allah.”

Berani menerima tantangan ini?! Kalau masih pikir-pikir berarti tidak konsisten dengan prinsip yang dia pegang.

Wallahua’lam bis showab…

Penulis: Ahmad Anshori

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55371-aku-tak-takut-corona-aku-hanya-takut-allah.html

20 Doa dan Dzikir Saat Wabah Corona Melanda

Doa dan dzikir saat wabah corona melanda, silakan diamalkan, disebarkan, jangan lupa dihafalkan.

Doa yang Dibaca Waktu Kapan Pun

#01

Doa sapu jagat, meminta kebaikan di dunia dan akhirat

رَبَّنَا آَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

ROBBANAA AATINAA FID DUN-YAA HASANAH, WA FIL AAKHIROTI HASANAH, WA QINAA ‘ADZAABAN NAAR.

Artinya: Ya Allah, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia, berikan pula kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari siksa neraka.[1]

#02

Doa memohon kemudahan

اللَّهُمَّ لاَ سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً وَأَنْتَ تَجْعَلُ الحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلاً

ALLOOHUMMA LAA SAHLA ILLAA MAA JA’ALTAHU SAHLAA, WA ANTA TAJ’ALUL HAZNA IDZAA SYI’TA SAHLAA.

Artinya: Ya Allah, tidak ada kemudahan kecuali yang Engk au buat mudah. Engkau yang mampu menjadikan kesedihan (kesulitan) – jika Engkau kehendaki – menjadi mudah.[2]

#03

Doa agar diperbagus akhir setiap urusan, juga diselamatkan dari kebinasaan dunia dan akhirat

اللَّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الْأُمُوْرِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ

ALLOOHUMMA AHSIN ‘AAQIBATANAA FIL UMUURI KULLIHAA, WA AJIRNAA MIN KHIZYID DUN-YAA WA ‘ADZAAِBIL AAKHIROH.

Artinya: Ya Allah, baguskanlah setiap akhir urusan kami, dan selamatkanlah dari kebinasaan di dunia dan dari siksa akhirat.[3]

#04

Doa orang yang sedang berduka

اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو فَلاَ تَكِلْنِى إِلَى نَفْسِى طَرْفَةَ عَيْنٍ وَأَصْلِحْ لِى شَأْنِى كُلَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ

ALLOOHUMMA ROHMATAKA ARJUU, FA LAA TAKILNII ILAA NAFSII THORFATA ‘AININ, WA ASH-LIHLII SYA’NII KULLAHU, LAA ILAAHA ILLAA ANTA

Artinya: Ya Allah, dengan rahmat-Mu, aku berharap, janganlah Engkau sandarkan urusanku kepada diriku sendiri walau sekejap mata, perbaikilah segala urusanku seluruhnya, tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Engkau.[4]

#05

Doa saat mendapat kesulitan seperti yang dibaca oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam

حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ

HASBUNALLOOHU WA NI’MAL WAKIIL.

Artinya: Cukuplah Allah yang menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.

#06

Doa meminta agar diangkat dari kesulitan yang dibaca oleh Nabi Yunus ‘alaihis salam

لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّى كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ

LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIIN

Artinya: Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Engkau, Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang yang berbuat aniaya.[5]

#07

Doa agar diberikan ketenteraman hati dan dihilangkan kesedihan

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، اِبْنُ عَبْدِكَ، اِبْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجَلاَءَ حُزْنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ.

ALLOOHUMMA INNI ‘ABDUK, IBNU ‘ABDIK, IBNU AMATIK, NAASHIYATII BIYADIK, MAADHIN FIYYA HUKMUK, ‘ADLUN FIYYA QODHOO-UK. AS-ALUKA BIKULLISMIN HUWA LAK, SAMMAYTA BIHI NAFSAK, AW ANZALTAHU FII KITAABIK, AW ‘ALLAMTAHU AHADAN MIN KHOLQIK, AWISTA’TSARTA BIHI FII ‘ILMIL GHOIBI ‘INDAK. AN TAJ’ALAL QUR’AANA ROBII’A QOLBII, WA NUURO SHODRII, WA JALAA-A HUZNII, WA DZAHAABA HAMMII.

Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba-Mu (Adam) dan anak hamba perempuan-Mu (Hawa). Ubun-ubunku di tangan-Mu, keputusan-Mu berlaku padaku, ketentuan-Mu kepadaku pasti adil. Aku mohon kepada-Mu dengan setiap nama (baik) yang telah Engkau gunakan untuk diri-Mu, yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau khususkan untuk diri-Mu dalam ilmu gaib di sisi-Mu. Mohon jadikan Alquran sebagai penenteram hatiku, cahaya di dadaku, pelenyap duka, dan penghilang kesedihanku.[6]

#08

Doa untuk kesedihan yang mendalam

لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ الْعَظِيْمُ الْحَلِيْمُ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمُ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَرَبُّ اْلأَرْضِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيْمُ

LAA ILAAHA ILLALLOH AL-‘AZHIIM AL-HALIIM, LAA ILAAHA ILLALLOH ROBBUL ‘ARSYIL ‘AZHIIM. LAA ILAAHA ILLALLOH, ROBBUS SAMAAWAATI WA ROBBUL ARDHI WA ROBBUL ‘ARSYIL KARIIM.

Artinya: Tiada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah yang Maha Agung dan Maha Pengampun. Tiada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah, Rabb yang menguasai ‘arsy, yang Maha Agung. Tiada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah – (Dia) Rabb yang menguasai langit, (Dia) Rabb yang menguasai bumi, dan (Dia) Rabb yang menguasai ‘arsy, lagi Mahamulia.[7]

#09

Doa agar tidak hilang nikmat, tidak berubah jadi sakit, dan dihindarkan dari musibah yang datang tiba-tiba

اللَّهُمَّ إِنِّيٍ أَعُوذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ

ALLOOHUMMA INNII A’UUDZU BIKA MIN ZAWAALI NI’MATIK, WA TAHAWWULI ‘AAFIYATIK, WA FUJAA’ATI NIQMATIK, WA JAMII’I SAKHOTHIK.

Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hilangnya kenikmatan yang telah Engkau berikan, dari berubahnya kesehatan yang telah Engkau anugerahkan, dari siksa-Mu yang datang secara tiba-tiba, dan dari segala kemurkaan-Mu.[8]

#10

Doa berlindung dari penyakit menular dan setiap penyakit jelek

اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْبَرَصِ وَالْجُنُونِ وَالْجُذَامِ وَمِنْ سَيِّئِ اْلأَسْقَامِ

ALLOOHUMMA INNII ‘AUUDZU BIKA MINAL BAROSHI WAL JUNUUNI WAL JUDZAAMI WA MIN SAYYI-IL ASQOOM.

Artinya: Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari penyakit belang, gila, lepra, dan dari segala keburukan segala macam penyakit.[9]

#11

Doa ketika melihat orang lain tertimpa musibah (cukup dibaca sendiri, tidak didengar orang lain)

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي عَافَانِي مِمَّا ابْتَلاَكَ بِهِ وَفَضَّلَنِي عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيلاً

ALHAMDULILLAAHILLADZII ‘AAFAANII MIMMAB TALAAKA BIHI, WA FADDHOLANII ‘ALA KATSIIRIN MIMMAN KHOLAQO TAFDHIILAA.

Artinya: Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkanku dari musibah yang menimpamu dan yang telah benar-benar memuliakanku dibandingkan makhluk lainnya.[10]

#12

Doa agar tidak mati mengerikan

اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ التَّرَدِّي وَالْهَدْمِ وَالْغَرَقِ وَالْحَرِيقِ وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ يَتَخَبَّطَنِي الشَّيْطَانُ عِنْدَ الْمَوْتِ وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ أَمُوتَ فِي سَبِيلِكَ مُدْبِرًا وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ أَمُوتَ لَدِيغًا

ALLOOHUMMA INNII A’UUDZU BIKA MINAT TARODDI WAL HADMI WAL GHOROQI WAL HARIIQI, WA A’UUDZU BIKA AN-YATAKHOBBATHONISY SYAITHOONU ‘INDAL MAUTI, WA A’UDZU BIKA AN AMUUTA FII SABIILIKA MUDBIRON, WA A’UDZU BIKA AN AMUUTA LADIIGHO.

Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kebinasaan (terjatuh), kehancuran (tertimpa sesuatu), tenggelam, kebakaran, dan aku berlindung kepada-Mu dari dirasuki setan pada saat mati, dan aku berlindung kepada-Mu dari mati dalam keadaan berpaling dari jalan-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari mati dalam keadaan tersengat.[11]

#13

Doa meminta kekuatan iman, langgengnya nikmat, dan dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di surga

اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ إِيْمَانًا لاَ يَرْتَدُّ، وَنَعِيْمًا لاَ يَنْفَدُ، وَمُرَافَقَةَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَعْلَى جَنَّةِ الْخُلْدِ

ALLOOHUMMA INNII AS-ALUKA IIMAANAN LAA YARTADDU, WA NA’IIMAN LAA YANFADU, WA MUROOFAQOTA MUHAMMADIN SHOLLALLOOHU ‘ALAYHI WA SALLAM FII A’LAA JANNATIL KHULDI.

Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu iman yang tidak akan lepas, nikmat yang tidak akan habis, dan menyertai Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di surga yang paling tinggi selama-lamanya.[12]

#14

Doa agar terhindar dari cobaan yang berat, tidak bahagia, takdir yang jelek, dan kegembiraan musuh

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ جَهْدِ البَلاَءِ ، وَدَرَكِ الشَّقَاءِ ، وَسُوءِ القَضَاءِ ، وَشَمَاتَةِ الأَعْدَاء

ALLOOHUMMA INNI A’UDZU BIKA MIN JAHDIL BALAA-I, WA DAROKISY SYAQOO-I, WA SUU-IL QODHOO-I, WA SYAMAATATIL A’DAAI.

Artinya: Ya Allah aku meminta perlindugan kepada-Mu dari beratnya cobaan, kesengsaraan yang hebat, takdir yang jelek, dan kegembiraan musuh atas kekalahan.[13]

Dzikir yang Dibaca pada Waktu Tertentu

#15

Membaca ayat kursi agar mendapatkan perlindungan, dibaca satu kali setiap pagi dan petang

اَللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ، لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ، لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ، مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ، وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاءَ، وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ، وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا، وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

“Allah, tidak ada ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya). Dia tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya segala yang ada di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa seizin-Nya. Dia mengetahui segala sesuatu yang ada di hadapan mereka dan di belakang mereka. Mereka tidak mengetahui apa pun dari ilmu Allah melainkan sesuai kehendak-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dia tidak merasa berat memelihara keduanya. Dia Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. Al-Baqarah: 255)

#16

Membaca doa meminta keselamatan, dibaca satu kali setiap pagi dan petang


اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِيْنِيْ وَدُنْيَايَ وَأَهْلِيْ وَمَالِيْ، اَللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِيْ وَآمِنْ رَوْعَاتِيْ. اَللَّهُمَّ احْفَظْنِيْ مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ، وَمِنْ خَلْفِيْ، وَعَنْ يَمِيْنِيْ وَعَنْ شِمَالِيْ، وَمِنْ فَوْقِيْ، وَأَعُوْذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِيْ

ALLOHUMMA INNII AS-ALUKAL ‘AFWA WAL ‘AAFIYATA FID DUN-YAA WAL AAKHIROH. ALLOHUMMA INNII AS-ALUKAL ‘AFWA WAL ‘AAFIYATA FII DIINII WA DUN-YAAYA WA AHLII WA MAALII. ALLOHUMAS-TUR ‘AWROOTII WA AAMIN ROW’AATII. ALLOHUMMAHFAZH-NII MIM BAYNI YADAYYA WA MIN KHOLFII WA ‘AN YAMIINII WA ‘AN SYIMAALII WA MIN FAWQII WA A’UUDZU BI ’AZHOMATIKA AN UGH-TAALA MIN TAHTII.

Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kebajikan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kebajikan dan keselamatan dalam agama, dunia, keluarga, dan hartaku. Ya Allah, tutupilah auratku (aib dan sesuatu yang tidak layak dilihat orang) dan tenteramkanlah aku dari rasa takut. Ya Allah, peliharalah aku dari muka, belakang, kanan, kiri, dan atasku. Aku berlindung dengan kebesaran-Mu, agar aku tidak disambar dari bawahku (oleh ular atau tenggelam dalam bumi dan bencana lain yang membuat aku jatuh).[14]

#17

Membaca dzikir agar tidak datang mudarat, dibaca tiga kali setiap pagi dan petang

بِسْمِ اللَّهِ الَّذِيْ لاَ يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِى الأَرْضِ وَلاَ فِى السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

BISMILLAAHILLADZII LAA YADHURRU MA’ASMIHI SYAI-UN FIL ARDHI WA LAA FIS SAMAA’I WA HUWAS SAMII’UL ’ALIIM.

Artinya: Dengan nama Allah – bila nama-Nya disebut maka segala sesuatu di bumi dan langit tidak akan berbahaya – Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Dibaca 3 x)

Faedah: Barang siapa yang mengucapkan dzikir tersebut sebanyak tiga kali pada pagi hari dan tiga kali pada petang hari, tidak akan ada bahaya yang tiba-tiba memudaratkannya.[15]

#18

Meminta perlindungan dari kejelekan setiap makhluk, dibaca tiga kali pada waktu petang dan dibaca sekali ketika mampir suatu tempat

أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ

A’UUDZU BIKALIMAATILLAAHIT-TAAMMAATI MIN SYARRI MAA KHOLAQ.

Artinya: “Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk yang diciptakan-Nya.”[16]

#19

Membaca ayat kursi agar mendapat penjagaan Allah, dibaca sekali sebelum tidur

اَللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ، لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ، لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ، مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ، وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاءَ، وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ، وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا، وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

“Allah, tidak ada ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya). Dia tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya segala yang ada di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa seizin-Nya. Dia mengetahui segala sesuatu yang ada di hadapan mereka dan di belakang mereka. Mereka tidak mengetahui apa pun dari ilmu Allah melainkan sesuai kehendak-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dia tidak merasa berat memelihara keduanya. Dia Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. Al-Baqarah: 255)[17]

#20

Membaca dua ayat terakhir surah Al-Baqarah (ayat 285-286) agar diberi kecukupan, dibaca sekali sebelum tidur

آَمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آَمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ * لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

“Rasul telah beriman kepada Al-Quran yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan), ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya,’ dan mereka mengatakan, ‘Kami dengar dan kami taat.’ (Mereka berdoa), ‘Ampunilah kami, wahai Rabb kami, dan kepada Engkaulah tempat kembali.’ Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa), ‘Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami sesuatu yang tak sanggup kami pikul. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkau Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 285-286)[18]


Disusun oleh Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/23644-20-doa-dan-dzikir-saat-wabah-corona-melanda.html