Beberapa Fikh Kesehatan Terkait Wabah Korona

Berikut pembahasan fikh kesehatan ringkas terkait wabah korona

[1] Hukum shalat mengunakan masker ketika ada wabah adalah boleh/mubah

Memang hukum asalnya menutup mulut adalah makruh karena ada ada hadits larangannya.

Dari Abu Hurairah,

أَنَّ رَسُـوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ السَّدْلِ فِي الصَّلاَةِ وَأَنْ يَغْطِيَ الرَّجُلُ فَاهُ. 

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang sadl dan menutup mulut ketika shalat.”[HR, Tirmidzi & Ibnu Majah]

 Tetapi ketika ada hajat penting karena wabah, maka hukumnya menjadi boleh. Sebagaimana kaidah

فكل مكروه عند الحاجة يُباح،

“Semua hal makruh ketika ada hajat menjadi mubah”

[2] Boleh menjamak shalat bagi tenaga medis yang sedang berjaga di ruang isolasi dan memakai APD (Alat Pelindung Diri)

Di mana pemakaian APD terkadang ini tidak boleh dilepas dalam jangka waktu shit semisal 8 atau 12 jam. Petugas medis boleh menjamak shalat baik itu shalat jamak taqdim atau jamak takhir yang memudahkan mereka, karena ketika sudah memakai APD sulit untuk berwudhu dan tayammum. Hanya boleh jamak saja, tidak boleh diqashar karena qashar itu hanya hak orang yang musafir saja.

Apabila masuk waktu subuh dan shalat subuh tidak bisa dijamak, dan saat itu petugas tidak bisa wudhu maupun tayammum, maka ia boleh shalat dalam keadaan tanpa wudhu dan tayammum. Sebagaimana shalat ketika perang sedang berkecamuk di bawah kilatan pedang, ia shalat semampunya tanpa wudhu dan tayammum. Hal ini adalah kemudahan dari Allah

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian.” [QS. At-Tagabun: 16.]

[3] Hukumnya Boleh menggunakna hand sanitizer yang mengandung alkohol

Karena alkohol itu secara zatnya tidak memabukkan. Yang memabukkan itu adalah “minuman beralkohol”, jadi bedakan antara alkohol dan “minuman beralkohol” kita ambil contoh misalnya alkohol 70% yang dipakai untuk hand sanitizer, apabila diminum tidak menyebabkan mabuk tetapi menyebabkan kematian. Jadi ‘iilat atau alasannya bukan karena ada alkoholnya tapi apakah menyebabkan mabuk atau tidak sebagaimana hadits dan kaidahnya:

كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ

“Setiap yang memabukan adalah khamr (HR. Muslim)

[4] Pengurusan jenazah pasien yang terkena Covid19

Pertama-tama kita doakan dahulu agar si mayit mendapatkan pahala mati syahid karena wabah. Ini pahala yang sangat besar. Jenazah pasien yang terkena masih bisa menularkan terutama cairan-cairan dari jenazah tersebut, sehingga dalam bentuk kehati-hatian jenazah pasien covid19 diperlakukan berbeda yaitu dibungkus plastik untuk melindungi agar tidak ada cairan yang keluar.

Apabila keadaannya darurat seperti ini jika jezanah dishalatkan, dimandikan dan dikafankan oleh petugas yang terlatih dan memakai APD. Apabila tidak ada dan dalam keadaan darurat jenazah boleh tidak dimandikan tetapi ditayamumkan saja. Selebihnya MUI telah mengeluarkan fatwa terkait hal ini, silahkan merujuk pada fatwa MUI.

Silahkan download: https://mui.or.id/produk/fatwa/27752/fatwa-no-18-tahun-2020-pedoman-pengurusan-jenazah-tajhiz-al-janaiz-muslim-yang-terinfeksi-covid-19/

[5] Shalat ghaib bagi jenazah yang terkena covid19

Shalat jezanah hukumnya fardhu kifayah artinya apabila sudah dishalatkan oleh tim penyelanggara jezanah khusus covid19, maka ini sudah mencukupi.

An-Nawawi menjelaskan hal ini adalah ijma’,

الصلاة علي الميت فرض كفاية بلا خلاف عندنا وهو إجماع

 “Shalat jenazah terhadap mayit hukumnya fardhu klfayah dan tidak ada perselisihan dalam mazhab kami, ini adalah ijma’” [Al-Majmu’ 5/167]

Lalu, apakah boleh shalat ghaib? Dalam hal ini kami memilih pendapat bahwa shalat ghaib itu khusus bagi jenazah yang tidak dishalatkan sama sekali sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam yang melakukan shalat ghaib bagi raja Najasyi yang meninggal ditengah rakyatnya yang tidak beriman. Tentu tidak ada yang menshalatkan jenazah raja Najasyi. Begitu juga dengan kasus jenazah kapal tenggelam atau pesawat tenggelam yang tidak ditemukan jezanahnya. 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan,

الصواب أن الغائب إن مات ببلدٍ لم يصلَّ عليه فيه، صلي عليه صلاة الغائب، كما صلى النبي صلى الله عليه وسلم على النجاشي

“Pendapat yang benar adalah shalat ghabi dilakukan bagi mayit berada di daerah yang tidak ada yang menshalatkannya, maka kita shalat ghaib baginya sebagaimana Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam shalat ghaib untuk raja Najasyi.” [Zadul Ma’ad 1/301]

Kita masih bisa melakukan kebaikan yang banyak untuk si mayit selain shalat ghaib yaitu dengan mendoakannya atau  bersedekah atas namanya. 

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55471-beberapa-fikh-kesehatan-terkait-wabah-korona.html

Antara Nikmat dan Perintah dalam Alquran

TUJUAN terpenting dari nikmat itu adalah mengajari manusia untuk memberi respon terbaik, sesuai jenis nikmat yang Allah sediakan. Berikut diantara kaitan nikmat dan perintah setelahnya,

[1] Setelah Allah menyebutkan nikmat gunung dan laut yang ditaklukkan, Allah mengatakan, “Agar kalian bersyukur.” (ayat 14)

[2] Setelah Allah menyebutkan nikmat pegunungan, sungai-sungai, jalanan darat, Allah menegaskan, “Agar kalian mendapatkan petunjuk.” (ayat 15)

[3] Setelah Allah menyebutkan nikmat maknawi terbesar yaitu diturunkannya al-Quran, Allah menyatakan, “Agar mereka berfikir.” (ayat 44).

[4] Seusai Allah menyebutkan nikmat panca indera (pendengaran, penglihatan, dan perasaan), Allah menyebutkan setelahnya, “Agar kalian bersyukur.” (ayat 78)

[5] Setelah Allah mengisyaratkan mengenai kesempurnaan nikmat ilahiyah, Allah menyatakan, “agar kamu berserah diri (kepada-Nya).” (ayat 81)

[6] Setelah Allah menyebutkan keadilan, kebaikan (ihsan), larangan dari perbuatan kekejian, kemungkaran dan kedzaliman, Allah menegaskan setelahnya, “Agar kalian mengambil peringatan.” (ayat 90)

Allahu akbar. Semoga kita bisa mengambil pelajaran darinya. Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

Besar Kecilnya Pahala Sebanding dengan Pengorbanan

DIANTARA cara berkurban yang diajarkan Rasulullah shalallahu alaihi wa salam, adalah berkurban secara mandiri atau kolektif. Sapi dapat dikurbankan maksimal kolektif tujuh orang, onta sepuluh orang. Meski secara urutan, kurban onta lebih utama dari qurban sapi. Dan kurban sapi lebih utama dari qurban kambing. Dalilnya adalah hadis tentang anjuran berlomba-lomba untuk segera menghadiri shalat Jumat.

Rasulullah shalallahu alaihi wa salam bersabda,

“Barangsiapa yang mandi pada hari Jumat kemudian berangkat ke masjid maka seakan-akan ia berkurban unta, barangsiapa yang berangkat di waktu yang kedua seakan-akan berkurban sapi, barangsiapa yang berangkat di waktu yang ketiga seakan-akan berkurban kambing, barangsiapa yang berangkat di waktu yang ke empat seakan-akan berkurban ayam, barangsiapa yang berangkat di waktu yang kelima seakan-akan berkurban telur. Jika Imam keluar, malaikat hadir (duduk) untuk mendengarkan dzikir (khutbah).”
(Muttafaqun alaih)

Pada hadis di atas bekurban unta disebutkan pertama, lalu sapi, kemudian kambing. Menunjukkan bahwa binantang kurban paling utama adalah onta. Karena memang harga onta paling mahal dibanding hewan kurban lain, sehingga pengorbanan dana paling besar dibanding kurban sapi atau kambing. Ada sebuah kaidah fikih yang sangat populer berkaitan dengan pahala suatu ibadah, “Besar kecilnya pahala, berbanding dengan kadar pengorbanan saat melakukan ibadah.”

Namun yang menjadi pertanyaan, antara korban mandiri dan kolektif, mana yang lebih besar pahalanya? Tentu saja berkurban secara mandiri lebih besar pahalanya. Karena orang yang berkurban mandiri, dia dapat meraup seluruh pahala menyembelih qurban secara utuh, berbeda dengan yang berkolektif, ibadah dan pahalanya untuk orang-orang yang tergabung dalam kolektif itu. Sementara letak inti nilai ibadah pada qurban, adalah pada menyembelihnya, karena Allah azza wa jalla.

Kesimpulan ini pernah dinyatakan oleh Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, “Berkurban kambing lebih utama daripada qurban onta secara kolektif. Karena menyembelih, adalah tujuan ibadah dalam ibadah kurban. Dan orang yang berkurban mandiri, dia dapat meraup seluruh pahala sembelihan qurban.” (Dikutip dari : Aujazul Masalik 10/227)

Sehingga bila kita urutan model berkurban dari yang paling afdhol:
Pertama, kurban mandiri:
1. Kurban onta.
2. Kemudian kurban sapi.
3. Lalu kambing.

Kedua, kurban kolektif:
1. Kolektif (maks) sepuluh orang untuk kurban onta.
2. Kemudian kolektif (maks) tujuh orang untuk kurban sapi.

Sekian, semoga mencerahkan. Wallahualam bis shawab. [Ustadz Ahmad Anshori, Lc]

Jangan Salat Menghadap Tempat Buang Hajat!

TIDAK mengapa membangun toilet di arah kiblat masjid dengan syarat bangunannya terpisah dari bangunan masjid. Apabila bangunannya bersambung maka makruh shalat di masjid tersebut, dan shalatnya sah.

Berkata Abdullah bin Amr radhiyallahu anhu: “Jangan shalat menghadap tempat buang hajat, kamar mandi, dan kuburan.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 3/372 no: 7651, cet. Maktabah Ar-Rusyd )

Berkata Al-Musayyib bin Raafi (wafat tahun 105 H) dan Khaitsamah bin Abdurrahman (wafat setelah tahun 80 H): “Jangan shalat menghadap dinding kamar mandi dan tengah kuburan. ” (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 3/372 no:7653 )

Berkata Ibrahim An-Nakhai (wafat tahun 196 H): “Para salaf membenci 3 tempat untuk qiblat: tempat buang hajat (toilet), kuburan, dan kamar mandi” (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 3/372 no:7656)

Berkata Syeikh Muhammad bin Ibrahim (Mufti Kerajaan Saudi sebelum Syeikh Bin Baz, meninggal tahun 1389 H): “Toilet ini tidak terlepas dari 2 kemungkinan:

Pertama: Terpisah dari masjid dengan dinding yang terpisah dari dinding masjid yang terletak di arah qiblat, maka ini tidak ada larangan dan tidak masalah shalat di dalamnya, meskipun toilet tersebut berada di arah qiblat masjid, selama bangunannya terpisah dari dinding masjid.

Kedua: Tersambung dengan masjid, dan tidak ada pembatas kecuali dinding masjid yang berada di arah qiblat, maka disebutkan oleh para ulama bahwa ini termasuk tempat yang makruh shalat menghadapnyadan tidak cukup hanya dinding masjid karena para salaf rahimahumullahu membenci shalat di dalam masjid yang di arah qiblatnya ada tempat buang hajat, oleh karena itu seyogyanya memisahkan toilet-toilet tersebut dari dinding masjid dengan dinding terpisah dari dinding masjid tersebut.” (Fatawa Wa Rasail Syeikh Muhammad bin Ibrahim no: 515)

Wallahu alam. [Ustadz Abdullah Roy, Lc.]

INILAH MOZAIK

Hukum Shalat Berjamaah dengan Jarak Antara Jamaah Satu Meter

Bagaimana hukum shalat berjamah dengan jarak antara jamaah satu meter seperti saat wabah virus covid-19 (virus corona) melanda negeri kita ini? Beberapa masjid masih menyelenggarakan shalat, baris shaf antara jamaah dibuat dengan selisih jarak satu meter. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang hal ini?

Dalil yang membicarakan meluruskan dan merapatkan shaf

Imam Nawawi rahimahullah dalam Riyadhus Sholihin membicarakan lima belas hadits dalam judul bab “Keutamaan Shaf Pertama dan Perintah untuk Menyempurnakan Shaf Pertama, Meluruskan, dan Merapatkannya”.

Dalil-dalil yang dibawakan oleh Imam Nawawi dalam bab di atas yang terkait dengan bahasan ini ada delapan dalil.

Hadits pertama (Hadits #1086)

وَعَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، يَمْسَحُ مَنَاكِبَنَا فِي الصَّلاَةِ ، وَيَقُولُ : (( اِسْتَوُوْا وَلاَ تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ ، لِيَلِيَنِي مِنْكُمْ أُولُو الأَحْلاَمِ وَالنُّهَى ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ )) رَوَاهُ مُسلِمٌ

Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengusap pundak-pundak kami ketika shalat dan berkata, “Luruskanlah dan janganlah berselisih, lalu berselisihlah pula hati kalian. Hendaklah orang-orang yang dewasa dan berakal (yang punya keutamaan) dekat denganku (dekat dengan imam), lalu diikuti orang-orang setelah mereka, lalu orang-orang setelah mereka.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 432].

Hadits kedua (Hadits #1087)

وَعَنْ أَنَسٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : (( سَوُّوا صُفُوفَكُمْ ؛ فَإنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ )) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ .

وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِي : (( فَإنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إقَامَةِ الصَّلاَةِ )) .

Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Luruskanlah shaf-shaf kalian karena lurusnya shaf termasuk kesempurnaan shalat.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 723 dan Muslim, no. 433].

Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan, “Karena lurusnya shaf termasuk mendirikan shalat.”

Hadits ketiga (Hadits #1088)

وَعَنْهُ ، قَالَ : أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ فَأقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِوَجْهِهِ ، فَقَالَ : (( أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ وَتَرَاصُّوا ؛ فَإنِّي أرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي )) رَوَاهُ البُخَارِيُّ بِلَفْظِهِ ، وَمُسْلِمٌ بِمَعْنَاهُ .

وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِي: وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ.

Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Iqamah shalat telah dikumandangkan, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap kami kemudian berkata, ‘Luruskanlah dan rapatkanlah shaf-shaf kalian karena aku dapat melihat kalian dari belakang punggungku.’” (HR. Bukhari dengan lafazhnya, sedangkan diriwayatkan oleh Imam Muslim secara makna) [HR. Bukhari, no. 719 dan Muslim, no. 434].

Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan, “Salah seorang dari kami menempelkan bahunya dengan bahu rekannya dan telapak kakinya dengan telapak kaki rekannya.”

Hadits keempat (Hadits #1089)

وَعَنِ النُّعْمَانَ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، يَقُوْلُ : (( لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ ، أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ )) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ .

وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ : أَنَّ رَسُولَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ يُسَوِّي صُفُوفَنَا ، حَتَّى كَأنَّمَا يُسَوِّي بِهَا القِدَاحَ حَتَّى رَأَى أَنَّا قَدْ عَقَلْنَا عَنْهُ ، ثُمَّ خَرَجَ يَوماً فَقَامَ حَتَّى كَادَ يُكَبِّرُ ، فَرَأَى رَجُلاً بَادِياً صَدْرُهُ مِنَ الصَّفِّ ، فَقَالَ : (( عِبَادَ اللهِ ، لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ ، أو لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ ))

An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, ‘Hendaklah kalian meluruskan shaf-shaf kalian atau Allah akan menyelisihkan di antara wajah-wajah kalian.’” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, 717 dan Muslim, no. 436].

Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa meluruskan shaf-shaf kami sampai seolah-olah beliau sedang meluruskan gelas sehingga beliau melihat bahwa kami telah mengerti. Kemudian pada suatu hari, beliau keluar. Lantas beliau berdiri. Lalu saat hampir bertakbir, beliau melihat seseorang pada dadanya maju dari shaf, maka beliau berkata, ‘Wahai hamba-hamba Allah, luruskanlah shaf kalian atau Allah akan menyelisihkan di antara wajah-wajah kalian.’”

Hadits kelima (Hadits #1090)

وَعَنِ البَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَتَخَلَّلُ الصَّفَّ مِنْ نَاحِيَةٍ إِلَى نَاحِيَةٍ ، يَمْسَحُ صُدُورَنَا وَمَنَاكِبَنَا ، وَيَقُولُ : (( لاَ تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ )) وَكَانَ يَقُولُ : (( إِنَّ اللهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصُّفُوفِ الأَوَّلِ )) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ

Al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa memeriksa shaf dari satu sisi ke sisi yang lain. Beliau mengusap dada dan pundak kami seraya berkata, ‘Janganlah kalian berselisih sehingga berselisihlah pula hati kalian.’ Beliau biasa mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya (memberikan rahmat dan memintakan ampun) atas shaf-shaf yang pertama.” (HR. Abu Daud, sanadnya hasan) [HR. Abu Daud, no. 664; An-Nasa’i, no. 812. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih].

Hadits keenam (Hadits #1091)

وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنهُمَا : أَنَّ رَسُولَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( أَقِيْمُوا الصُّفُوفَ ، وَحَاذُوا بَيْنَ المَنَاكِبِ ، وَسُدُّوا الخَلَلَ ، وَلِيَنُوا بِأيْدِي إِخْوَانِكُمْ ، وَلاَ تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ ، وَمَنْ وَصَلَ صَفّاً وَصَلَهُ اللهُ ، وَمَنْ قَطَعَ صَفّاً قَطَعَهُ اللهُ )) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ

Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Luruskanlah shaf-shaf kalian, ratakanlah pundak-pundak kalian, isilah shaf yang kosong, bersikap lemah lembutlah terhadap tangan-tangan saudara kalian, dan janganlah kalian biarkan shaf kosong untuk diisi setan. Barangsiapa yang menyambungkan shaf, Allah pasti akan menyambungkannya dan barangsiapa yang memutuskan shaf, Allah pasti akan memutuskannya.” (HR. Abu Daud, sanadnya hasan) [HR. Abu Daud, no. 666; An-Nasa’i, no. 820. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan].

Hadits ketujuh (Hadits #1092)

وَعَنْ أَنَسٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ رَسُولَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( رُصُّوا صُفُوفَكُمْ ، وَقَارِبُوا بَيْنَهَا ، وَحَاذُوا بِالأعْنَاقِ؛ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إنِّي لأَرَى الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ ، كَأَنَّهَا الحَذَفُ )) حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ رَوَاهُ أبُو دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ عَلَى شَرْطِ مُسْلِمٍ .

(( الحَذَفُ )) بِحَاءِ مُهْمَلَةٍ وَذَالٍ مُعْجَمَةٍ مَفْتُوْحَتَيْنِ ثُمَّ فَاء وَهِيَ : غَنَمٌ سُودٌ صِغَارٌ تَكُونُ بِاليَمَنِ .

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rapatkanlah shaf kalian, dekatkanlah di antara shaf-shaf, dan sejajarkanlah tengkuk-tengkuk kalian. Demi Allah yang diriku ada pada tangan-Nya, sesungguhnya aku melihat setan masuk ke sela-sela shaf, seperti domba kecil.” (HR. Abu Daud, shahih dengan sanad sesuai syarat Muslim). Al-Hadzaf adalah domba hitam kecil yang hidup di Yaman. [HR. Abu Daud, no. 667 dan An-Nasa’i, no. 816. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih]

 Hadits kedelapan (Hadits #1093)

وَعَنْهُ : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( أتِمُّوا الصَّفَّ المُقَدَّمَ ، ثُمَّ الَّذِي يَلِيهِ ، فَمَا كَانَ مِنْ نَقْصٍ فَلْيَكُنْ في الصَّفِّ المُؤَخَّرِ )) رواه أبُو دَاوُدَ بإسناد حسن

Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sempurnakanlah shaf depan, kemudian yang selanjutnya. Jika masih ada yang kurang, jadikanlah di shaf belakang.” (HR. Abu Daud dengan sanad sahih) [HR. Abu Daud, no. 671 dan An-Nasa’i, no. 819. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih].

Hukum meluruskan dan merapatkan shaf

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Tidak lurusnya shaf akan menimbulkan permusuhan dan kebencian, serta perselisihan antar hati orang yang shalat.” (Syarh Shahih Muslim, 4:157)

Dalam Ensiklopedia Fikih disebutkan, “Mayoritas ulama berpandangan bahwa dianjurkan meluruskan shalat dalam shalat berjamaah, maksudnya adalah tidak boleh satu jamaah lebih di depan dari jamaah lainnya. Orang yang akan melaksanakan shalat membuat shaf jadi lurus dalam satu baris dengan shaf dirapatkan. Rapatnya shaf adalah dengan mendekatkan pundak yang satu dan lainnya, telapak kaki yang satu dan lainnya, mata kaki yang satu dan lainnya, sampai-sampai dalam shaf tidak dibuat ada celah. Imam disunnahkan memerintahkan pada jamaah sebagaimana perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Luruskanlah dan rapatkanlah shaf, karena lurusnya shaf termasuk kesempurnaan shalat’.” (Al-Mawsu’ah Al-Kuwaitiyyah, 27:35)

Masih dalam kitab yang sama, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah menyebutkan bahwa hukum shaf yang lurus adalah wajib. Namun shaf yang tidak lurus dihukumi sah. Shalat yang telah dilakukan dalam keadaan seperti itu tidak perlu diulangi. Lihat Al-Mawsu’ah Al-Kuwaitiyyah, 27:36.

Cara meluruskan shaf

Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily menerangkan, “Imam disarankan untuk meluruskan shaf-shaf yang ada sebelum melakukan takbiratul ihram. Imam hendaklah menyuruh makmum di belakangnya untuk meluruskan shaf sebelum masuk takbiratul ihram. Jika masjid berukuran besar, imam dianjurkan menyuruh orang lain untuk meluruskan shaf dengan cara mengelilingi shaf-shaf yang ada atau orang yang diperintah tadi menghimbau yang lainnya untuk meluruskan shaf. Setiap yang hadir shalat berjamaah hendaklah mengajak yang lain meluruskan shaf. Perbuatan seperti ini termasuk amar makruf nahi mungkar, juga termasuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Sebagaimana diketahui, shaf yang lurus merupakan kesempurnaan shalat.”

Az-Zuhaily, semoga Allah menjaga beliau, melanjutkan, “Yang dimaksud meluruskan shaf adalah menyempurnakan shaf yang pertama lalu shaf yang berikutnya. Termasuk juga meluruskan shaf adalah menutup shaf yang masih kosong. Shaf yang lurus akan terlihat rata dan posisi badan yang satu tidak maju dari yang lainnya. Shaf kedua barulah diisi ketika shaf pertama terisi penuh. Jamaah tidak boleh berdiri pada shaf yang baru sebelum shaf pertama diisi.” Lihat bahasan beliau dalam Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:439.

Apa yang dimaksud menempelkan bahu dengan bahu rekannya?

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menyatakan bahwa kalimat “menempelkan bahu pada bahu lainnya dan telapak kaki pada telapak kaki lainnya”, maksudnya adalah benar-benar shaf itu dibuat lurus dan celah shaf itu ditutup. Kalimat semacam ini disebut dengan kalimat mubalaghah. Ada perintah dalam hadits lainnya untuk menutup celah shaf. Dalam banyak hadits ada anjuran demikian pula, di antaranya terkumpul dalam hadits Ibnu ‘Umar yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, di mana hadits tersebut disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim. Lafal hadits yang dimaksud adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَقِيمُوا الصُّفُوفَ وَحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ وَسُدُّوا الْخَلَلَ وَلَا تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ وَمَنْ وَصَلَ صَفًا وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللَّهُ

Luruskanlah shaf, rapatkanlah antara pundak, tutuplah celah shaf, dan janganlah biarkan celah shaf untuk setan. Siapa yang menyambung shaf, maka Allah menyambungnya. Siapa yang memotong shaf, maka Allah memotongnya.” (Fath Al-Bari, 2:211)

Merapatkan apakah dengan menempelkan telapak kaki?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Yang tepat dan terpercaya, shaf yang lurus adalah shaf yang antara mata kaki itu lurus, bukan antara ujung jari yang lurus. Tubuh kita memiliki mata kaki. Jari-jari yang ada berbeda sesuai dengan bentuk telapak kaki. Telapak kaki ada yang panjang dan telapak kaki yang pendek, sehingga keduanya dibuat sama lurus tidaklah mungkin. Yang bisa dibuat sama adalah lurusnya mata kaki. Adapun menempelkan kedua mata kaki antara jamaah, hadits tentang hal ini ada dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Dahulu mereka meluruskan shaf dengan menempelkan mata kaki antara satu dan lainnya. Namun tujuan menempelkan di sini adalah untuk membuat shaf menjadi lurus. Yang dimaksud menempelkan di sini bukanlah harus benar-benar menempel dan menjaganya sampai akhir shalat seperti itu. Sebagian orang melakukan tindakan ekstrim dengan menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya, akhirnya kedua telapak kakinya sendiri terbuka lebar dan antara pundak mereka terdapat celah besar. Padahal yang dimaksud adalah antara pundak dan mata kaki itu dibuat lurus.” (Fatawa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dikumpulkan oleh Asyraf ‘Abdur Rahim, 1:436-437)

Syaikh Ibnu Jibrin rahimahullah juga menjelaskan hal yang sama dengan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Syaikh Ibnu Jibrin menjelaskan kalimat dari Ibnu Hajar yang dinukilkan di atas, lalu beliau berkata, “Yang dimaksudkan menempelkan pundak dan telapak kaki adalah untuk meluruskan shaf, lalu dekatnya satu jamaah dan lainnya. Yang dimaksud menempelkan bukanlah benar-benar menempel. Pundak satu dan lainnya bisa saja saling menyentuh. Adapun kaki dan lutut tidak mungkin menempel. Karena karena terlalu menempel dan terlalu rapat antara jamaah malah saling menyakiti. Yang dimaksudkan hadits adalah merapatkan shaf dan menutup celah shaf sehingga tidak dimasuki oleh setan.”

Dua fatwa di atas dinukil dari Website Multaqa Ahlil Hadits.

Kesimpulan dari bahasan meluruskan dan merapatkan shaf

  1. Hukum meluruskan shaf adalah sunnah menurut jumhur ulama. Ulama yang menyatakan wajib, seperti Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, tidak menganggapnya sebagai syarat sah shalat.
  2. Shaf yang lurus didapati dari shaf yang rapat. Cara meluruskan shaf adalah dengan mendekatkan mata kaki dan pundak. Jika shaf yang lurus dihukumi sunnah, shaf yang rapat berarti dihukumi sunnah pula.
  3. Maksud sahabat dengan menempelkan pundak dan telapak kaki adalah mendekatkan, bukan saling menyakiti satu dan lainnya.

Bagaimana jika baris shaf saling berjauhan?

Syaikh Khalid Al-Musyaiqih hafizhahullah menyatakan, “Baris shaf itu disunnahkan saling berdekatan jarak antara shaf depan dan belakang, sekadar jarak di mana seseorang bisa sujud dalam shalat. Namun jika dibutuhkan, dikhawatirkan akan penyakit menular, atau sebab lainnya, shaf depan dan belakangnya dibuat lebih lebar. Jika ada yang shalat sendirian di belakang shaf, itu juga dibolehkan ketika mendesak. Ibnu Taimiyyah rahimahullah sendiri menganggap bahwa membentuk satu baris shaf (al-mushaffah) itu wajib. Namun, beliau rahimahullah membolehkan tidak dibuat barisan shaf ketika mendesak. Contoh keadaan mendesak di sini adalah adanya penyakit menular. Akhirnya ada yang melaksanakan shalat sendirian di belakang shaf, shalat seperti itu sah. Jika tidak kondisi mendesak, barisan shaf mesti dibentuk. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hadits ‘Ali bin Syaiban, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada shalat bagi orang yang shalat sendirian di belakang shaf.” Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan lainnya.” (Al-Ahkaam Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqah bi Waba’ Kuruna, hlm. 17).

Afdal mana, meninggalkan shalat berjamaah di masjid ataukah tetap shalat berjamaah dan shafnya saling berjauhan?

Ada beberapa poin yang bisa dipahami:

Pertama, hukum shalat berjamaah itu wajib sebagaimana pendapat dalam madzhab Abu Hanifah dan Imam Ahmad.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi seorang lelaki buta. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki seorang penuntun yang menuntunku ke masjid.’ Maka ia meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendapatkan keringanan sehingga dapat shalat di rumahnya. Pada awalnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya keringanan tersebut. Ketika orang itu mau berbalik, beliau memanggilnya, lalu berkata kepadanya,

هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلاَةِ ؟

Apakah engkau mendengar panggilan shalat?’ Ia menjawab,

نَعَمْ

Ya.’ Beliau bersabda,

فَأجِبْ

Penuhilah panggilan azan tersebut.’” (HR. Muslim, no. 503)

Kedua, jika mendapati uzur, shalat berjamaah bisa gugur termasuk saat wabah corona ini melanda. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit, beliau tidak melakukan shalat berjamaah. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan,

مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ

Perintahkanlah kepada Abu Bakar untuk memimpin shalat.” (HR. Bukhari, no. 664 dan Muslim, no. 418)

Ada kaedah fikih yang berbunyi,

المشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرُ

“Kesulitan mendatangkan kemudahan.”

Atau seperti ibarat yang diungkapkan oleh Imam Asy Syafi’i dalam Al-Umm,

إِذَا ضَاقَ الأَمْرُ اِتَّسَعَ

“Jika perkara itu sempit, datanglah kelapangan.”

Dalil dari kaedah di atas adalah firman Allah,

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghabun: 16)

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)

Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، ولَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أحَدٌ إلَّا غَلَبَهُ

Sesungguhnya agama itu mudah. Orang yang memperberat diri dalam beragama, dialah yang akan kalah.” (HR. Bukhari, no. 39)

Ketiga, ada yang menyatakan, “Wabah juga muncul di masa silam namun tidak ada peniadaan shalat berjamaah.”

Jawaban: Kalimat ini perlu ditinjau ulang. Karena wabah virus corona yang saat ini ada berbeda dengan wabah di masa silam. Para pakar menilai bahwa virus ini benar-benar berbahaya. Virus ini bisa menyebar begitu cepat. Bahkan dari orang yang sehat dan kuat pun bisa terkena virus ini, walaupun ia tidak merasakan gejala apa-apa. Fatwa itu akan berbeda sesuai zaman dan tempat masing-masing.

Lihat sanggahan dari Syaikh Khalid Al-Musyaiqih dalam Al-Ahkaam Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqah bi Waba’ Kuruna, hlm. 13-14.

Keempat, jika ada yang shalat di rumah padahal sudah terbiasa shalat berjamaah, ia tetap dicatat pahala sempurna di sisi Allah. Hal ini berdasarkan hadits Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

Jika seorang hamba sakit atau melakukan safar (perjalanan jauh), maka dicatat baginya pahala sebagaimana kebiasaan dia ketika mukim dan ketika sehat.” (HR. Bukhari, no. 2996)

Dari hadits itu, Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah mengatakan,

وَهُوَ فِي حَقّ مَنْ كَانَ يَعْمَل طَاعَة فَمَنَعَ مِنْهَا وَكَانَتْ نِيَّته لَوْلَا الْمَانِع أَنْ يَدُوم عَلَيْهَا

“Hadits di atas berlaku untuk orang yang ingin melakukan ketaatan lantas terhalang dari melakukannya. Padahal ia sudah punya niatan kalau tidak ada yang menghalangi, amalan tersebut akan dijaga rutin.” (Fath Al-Bari, 6:136)

Kesimpulan

Lebih afdal shalat di rumah daripada shalat di masjid dengan pertimbangan bahayanya virus corona ini:

  • Bahayanya virus corona seperti penyakit pernapasan lainnya, infeksi covid-19 dapat menyebabkan gejala ringan seperti: demam, batuk, pilek, gangguan pernapasan, sakit tenggorokan, letih, dan lesu.
  • Kondisi ini bisa menjadi lebih parah bagi beberapa orang dan dapat menyebabkan pneumonia atau kesulitan bernafas.
  • Orang tua dan orang-orang yang mempunyai riwayat medis sebelumnya, seperti diabetes dan penyakit jantung, lebih rentan mengalami kondisi parah jika terkena virus corona.
  • Salah satu penyebab virus sulit dikendalikan adalah silent carrier corona. Silent carrier corona adalah orang yang memiliki atau terinfeksi virus corona tetapi tidak bergejala, alias asimtompatis, terlihat seperti orang sehat, tidak merasa sakit atau memiliki gejala yang sangat ringan, tetapi bisa menyebabkan orang lain tertular penyakit. (Sumber: Kompas dan CNN Indonesia)

Saran penulis

Karena pertimbangan inilah, shalat di rumah lebih disarankan dibandingkan shalat di masjid walaupun dengan jarak shaf dibuat satu meter (dengan anggapan shaf yang tidak rapat tetap sah), walaupun juga sebelum masuk masjid ada penyemprotan disinfektan. Ini akan sesuai dengan saran pemerintah dan MUI untuk #DiRumahAja. Saran #DiRumahAja dari pemerintah dan MUI kita sudah menunjukkan bahwa mereka menyayangi rakyat Indonesia, agar tidak terus berjatuhan korban karena yang positif corona sudah mencapai empat digit (di atas 1.000).

Semoga Allah segera mengangkat musibah wabah ini dari negeri kita tercinta. Moga badai segera berlalu.

Referensi:

  1. Al-Ahkaam Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqah bi Waba’ Kuruna. Prof. Dr. Khalid bin ‘Ali Al-Musyaiqih. (File PDF)
  2. Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Wakaf dan Urusan Keislaman.
  3. Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i. Cetakan kelima, Tahun 1436 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily. Penerbit Darul Qalam.
  4. Ash-Shalah wa Hukmu Taarikiha. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Penerbit Dar Al-Imam Ahmad.
  5. Fath Al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari. Cetakan Keempat. Tahun 1432 H. Ibnu Hajar Al-Asqalani. Penerbit Dar Ath-Thiybah.

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/23728-hukum-shalat-berjamaah-dengan-jarak-antara-jamaah-satu-meter.html

Berobat Dengan Sedekah?

Benarkah sedekah bisa sebagai obat untuk kesembuhan dari penyakit ? Berikut kami nukilkan fatwa dari al Lajnah ad Daaimah. 

Pertanyaan :

تكرموا علينا- حفظكم الله- ببيان فقه حديث: داووا مرضاكم بالصدقة من جهة مداواة المريض بالذبح له ، هل   يشرع ذلك أو لا يشرع؛ لرفع البلاء عنه؟ أجزل الله مثوبتكم.

Tolong terangkan kepada kami – semoga Allah menjaga Anda sekalian- kandungan hadits dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi :

داووا مرضاكم بالصدقة 

“ Obatilah orang yang sakit di antara kalian dengan sedekah

Ada orang sakit yang mengharapkan kesembuhan dengan melakukan sembelihan sebagai sedekah baginya. Apakah perbuatan tersebut yang dilakukan untuk menghilangkan musibah termasuk disyariatkan ataukah tidak? Semoga Allah membalas Anda sekalian dengan kebaikan.

Jawaban :

الحـديث المذكور غـير صـحيح، ولكـن لا حـرج في الصدقة عن المريض تقربًا إلى الله عز وجل، ورجـاء أن يشفيه الله بذلك؛ لعموم الأدلة الدالة على فضل الصدقة، وأنها تطفئ الخطيئة وتدفع ميتة السوء. وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.

Hadits yang disebutkan tersebut adalah hadits yang tidak shahih. Akan tetapi tidak mengapa sedekah di saat sakit sebagai bentuk ibadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan sebagai bentuk pengharapan agar Allah memberikan kesembuhan dengan sebab ibadah sedekahnya tersebut. Hal ini berdasarkan keumuman dalil-dalill yang menunjukkan keutamaan sedekah. Sedekah akan menghapuskan kesalahan-kesalahan serta mencegah dari meninggal dalam keadaan jelek. Hanya Allah yang memberi taufik. 

Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Sumber : Fatwa al Lajnah ad Daaimah No 18369

Link : http://www.fatawa.com/view/31493 

Penerjemah : Adika Mianoki

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55437-berobat-dengan-sedekah.html

Ingin Pahala Syahid Saat Terjadi Wabah Corona? Tetaplah Tinggal di Rumah

Dalam setiap kondisi, Allah menyediakan ladang pahala bagi hamba-hambaNya yang beriman. Pun saat terjadi wabah atau pandemi. Termasuk saat terjadinya wabah corona. Melalui sabda Nabi-Nya, kita mengetahui janji Allah berupa pahala syahid. Baik meninggal akibat kena wabah itu atau tidak meninggal.

Bagaimana cara mendapatkan pahala syahid saat terjadi wabah corona seperti saat ini? Sabar dan tetap tinggal di rumah. Tidak keluar dari daerahnya.

Sabda Rasulullah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – أَنَّهَا أَخْبَرَتْنَا أَنَّهَا سَأَلَتْ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَنِ الطَّاعُونِ فَأَخْبَرَهَا نَبِىُّ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنَّهُ كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُهُ اللَّهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ ، فَجَعَلَهُ اللَّهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ ، فَلَيْسَ مِنْ عَبْدٍ يَقَعُ الطَّاعُونُ فَيَمْكُثُ فِى بَلَدِهِ صَابِرًا ، يَعْلَمُ أَنَّهُ لَنْ يُصِيبَهُ إِلاَّ مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ ، إِلاَّ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الشَّهِيدِ

Dari Yahya bin Ya’mar, dari Aisyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sesungguhnya dia mengabarkan kepada kami bahwa dia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang thaun, maka Nabiyullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya ia (thaun) adalah adzab yang dikirim Allah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Lalu Allah menjadikannya rahmat bagi orang-orang yang beriman. Tidak seorang pun hamba yang ditimpa thaun lalu tetap tinggal di negerinya dalam keadaan sabar dan mengetahui tidak ada yang menimpa dirinya kecuali apa yang ditetapkan Allah untuknya, maka baginya seperti pahala mati syahid.” (HR. Bukhari)

Dalam riwayat Imam Ahmad, lebih spesifik digunakan kata baitihi (rumahnya) sebagai pengganti baladihi (negerinya).

عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الطَّاعُونِ فَأَخْبَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ كَانَ عَذَاباً يَبْعَثُهُ اللَّهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ فَجَعَلَهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ فَلَيْسَ مِنْ رَجُلٍ يَقَعُ الطَّاعُونُ فَيَمْكُثُ فِى بَيْتِهِ صَابِراً مُحْتَسِباً يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ يُصِيبُهُ إِلاَّ مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ إِلاَّ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الشَّهِيدِ

Dari Yahya bin Ya’mar, dari Aisyah ia berkata, aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang thaun, maka Nabiyullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan, “Sesungguhnya ia (thaun) adalah adzab yang dikirim Allah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Lalu Allah menjadikannya rahmat bagi orang-orang yang beriman. Tidak seorang pun yang ditimpa thaun lalu tetap tinggal di rumahnya dalam keadaan sabar dan mengetahui tidak ada yang menimpa dirinya kecuali apa yang ditetapkan Allah untuknya, maka baginya seperti pahala mati syahid.” (HR. Ahmad)

Ringkasan Penjelasan Ibnu Hajar Al Asqalani

Meskipun pada hadits ini ada yaqauth thaa’uun yang diterjemahkan ditimpa thaun, Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah menjelaskan sesuai judul bab yang ditulis Imam Bukhari rahimahullah. Yakni baik thaun itu menimpanya atau terjadi di negeri tempat ia tinggal.

Thaun adalah azab (siksa) yang dikirim kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Siapa yang dikehendakinya (من يشاء) ini maksudnya adalah dari golongan orang kafir dan pelaku maksiat. Adapun untuk orang mukmin, thaun bukanlah azab melainkan rahmat.

Mengutip hadits lain yang diriwayatkan Imam Ahmad, Ibnu Hajar menegaskan, “Hal ini sangat tegas menyatakan bahwa keberadaan thaun sebagai rahmat hanya untuk kaum muslimin. Apabila thaun menimpa orang-orang kafir maka ia adalah siksaan bagi mereka yang disegerakan di dunia sebelum akhirat.”

Lalu bagaimana dengan pelaku maksiat dari kalangan kaum muslimin? Ibnu Hajar memilih berhati-hati. “Ada kemungkinan orang seperti ini tidak akan diberi kemuliaan mati syahid karena keburukan perbuatannya berdasarkan firman Allah dalam Surat Al Jatsiyah ayat 21.”

Ibnu Hajar kemudian mengutip banyaknya hadits yang menjelaskan, thaun justru datang karena banyaknya kemaksiatan. Di antaranya adalah:

إذا ظهر الزنا والربا في قرية ، فقد أحلوا بأنفسهم عذاب الله

“Apabila zina dan riba telah nampak (banyak terjadi) pada suatu negeri, maka mereka telah menghalalkan azab Allah terhadap diri mereka” (HR. Hakim)

ولا ظهرت الفاحشة في قوم قط ، إلا سلط الله عليهم الموت

“Tidaklan kekejian tampak pada suatu kaum kecuali Allah menguasakan kematian pada mereka” (HR. Hakim)

لاَ تَزَالُ أُمَّتِى بِخَيْرٍ مَا لَمْ يَفْشُ فِيهِمْ وَلَدُ الزِّنَا فَإِذَا فَشَا فِيهِمْ وَلَدُ الزِّنَا فَيُوشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِعِقَابٍ

“Umatku senantiasa dalam kebaikan selama anak zina belum menyebar di antara mereka. Apabila anak zina telah menyebar di antara mereka, dikhawatirkan Allah Azza wa Jalla akan menimpakan siksa kepada mereka” (HR. Hakim)

Orang yang akan mendapat pahala mati syahid saat terjadinya thaun adalah mukmin yang tetap tinggal di negerinya dengan sabar dan meyakini tidak ada yang menimpanya kecuali apa yang telah ditetapkan Allah.

Sabar di sini, menurut Al Hafizh, adalah tidak panik akan meninggal karena wabah tersebut. Dia tinggal di negerinya dan tidak keluar melarikan diri darinya. “Yakni negeri terjadinya thaun tersebut,” terangnya. “Dalam riwayat Imam Ahmad disebutkan tetap tinggal di rumahnya.”

“Seandainya seseorang tetap tinggal di negerinya yang dilanda thaun dalam keadaan panik dan menyesal karena tidak bisa keluar, dan beranggapan jika keluar niscaya tidak akan ditimpa thaun, lalu dia tetap tinggal sehingga ditimpa wabah itu, maka orang seperti ini tidak mendapatkan pahala mati syahid.”

Ibnu Hajar kemudian menyimpulkan, orang yang akan mendapatkan seperti pahala mati syahid pada hadits ini ada tiga golongan. Pertama, orang yang memiliki sifat-sifat yang disebutkan dalam hadits tersebut lalu ditimpa thaun sampai meninggal. Kedua, orang yang memiliki sifat-sifat yang disebutkan dalam hadits tersebut lalu ditimpa thaun namun tidak meninggal. Ketiga, orang yang memiliki sifat-sifat yang disebutkan dalam hadits tersebut namun tidak ditimpa thaun namun meninggal karena sebab lain baik saat itu maupun sesudahnya.

Syaikh Abu Muhammad bin Abi Jamrah menjelaskan, tingkatan syahid bertingkat-tingkat. Sehingga sebagaimana hadits orang yang meninggal karena tha’un adalah syahid, untuk golongan pertama. Sedangkan mendapat pahala seperti mati syahid, untuk golongan pertama dan kedua.

Sabar dan Perbanyak Doa

Membaca hadits dan penjelasannya tersebut, insya Allah membuat kita lebih tenang. Yang paling utama adalah terjaganya iman kita. Karena bagi setiap mukmin, segala kondisi adalah baik.

Selain ikhtiar dengan menjaga kesehatan, meningkatkan imun, sangat penting memenuhi karakter dalam hadits tersebut. Sabar menghadapi masa pandemi corona ini dengan tetap tinggal di rumah masing-masing, jangan keluar kota apalagi keluar negeri, dan perkuat aqidah kita. Bahwa tidak ada yang menimpa kita kecuali atas apa yang ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kita perbanyak doa pula agar kita semua diselamatkan dan dilindungi Allah. Dan semoga pandemi ini segera berlalu. Allah menjaga negeri kita dan seluruh negeri kaum muslimin. Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

BERSAMADAKWAH

Wabah Corona Harusnya jadi Momen Orang Tua Ajarkan Akidah Anak di Rumah?

SALAH satu hikmah wabah corona (COVID-19) adalah anjuran Bekerja dari Rumah (Work From Home/WFH) dan belajar dari rumah. Hari ini, sekolah-sekolah diperintahkan untuk tidak ada aktivitas, para murid diminta untuk melakukan proses belajar di rumah masing-masing. Ada hal penting yang harus diperhatikan dalam surat edaran masing-masing daerah atau institusi sekolah, bahwa proses belajar dilakukan dengan pengawasan dan bimbingan orang tua/wali siswa.

Banyak pelajaran yang kita dapat selama pembatasan aktivitas di luar rumah, di antaranya yang paling penting adalah pendekatan anak dengan orang tua semakin bertambah. Namun harus disadari, kali ini berbeda dengan suasana yang biasa kita habiskan saat liburan. Biasanya banyak orang tua mengisi liburan dengan kegiatan refreshing dan silaturahmi dengan kerabat, atau mengunjungi tempat yang dapat membuat buah hati senang. Berbeda dengan suasana libur kali ini, karena anAnda diminta di rumah untuk belajar, tidak banyak bermain di luar, dan tidak ada kesempatan untuk mengunjungi tempat-tempat wisata manapun.

Lalu bagaimana mengisi masa libur buah hati di rumah dengan tidak menghilangkan suasana pembelajaran yang efektif sebagaimana di sekolah? Jika bingung, berfikirlah ulang, apa mungkin selama ini kita selalu mempercayakan pendidikan anak hanya di sekolah saja?  Jika benar, saat ini adalah waktu yang baik untuk memperbaiki mindset para orang tua bahwa pendidikan anak tidak cukup hanya mengandalkan sepenuhnya terbentuk di sekolah.

Terkadang para guru pun tidak bisa sepenuhnya merubah anak Anda menjadi yang terbaik, meskipun usaha yang dilakukan sudah maksimal. Minimal membuatnya menjadi lebih baik, disamping memaksakan sesuatu kepada anak didik pun tidak sepenuhnya baik. Perasaan ini mungkin hasil curahan dari sebagian guru, termasuk saya. Namun perasaan untuk membentuk generasi terbaik tetap ada, karena itu ada peran wajib guru yang membina di lingkungan sekolah, selain memang ada peran orang tua yang membimbing di lingkungan rumah.

Aspek terpenting yang bagi saya harus ditumbuhkan oleh orang tua kepada anaknya adalah keteladanan dan kepedulian, khususnya pembinaan agama bagi buah hati Anda.

Biasanya ada dua faktor yang membuat anak terhambat berkembang, kurangnya pengalaman dan keteladanan. Pengalaman bisa dibentuk dengan banyak melakukan sesuatu, mempelajari ilmu baru, dan sering mencoba hal baru. Namun ada beberapa aktivitas yang butuh keteladanan sebagai kunci kematangan suatu ilmu yang sudah dipelajari.

Anggap saja di sekolah sudah diajarkan bagaimana belajar membaca Iqro atau Al-Quran. Setiap hari diulang, dilatih, dan dites sesuai targetan. Selepas dari sekolah Annda merasa puas mendapatkan perkembangan menguasai ilmu baru. Sesaat di rumah sayangnya kemampuan itu tidak diapresiasi oleh orang tua, bahkan ditanyakan pun tidak.

Walaupun selepas sekolah sebagian anak disekolahkan di madrasah di dekat rumahnya, tetap peran orang tua bagi perkembangan ilmu anaknya tidak berbekas. Wajarlah jika anak bertanya dalam pikirnya, “Untuk apa aku belajar ilmu yang aku tidak butuh sebagaimana orang tua ku tidak membutuhkannya?”

Anggap saja di sekolahnya sudah diajarkan akhlak yang baik, etika yang sesuai sunnah, dan penampilan yang sopan. Ucapannya selalu dijaga dengan perkataan baik, jilbabnya bagi perempuan selalu dipakai, dsb. Bisakah orang tua menjaga lingkungan yang sudah nyaman tadi dibawa ke dalam rumah Anda?

Jika belum maka berikan teladan yang baik, bukan sebaliknya yang bertolak dari yang diajarkan di sekolah. Sayangnya saat anaknya di sekolah dibiasakan menghafal surat-surat pendek, orang tua mereka di rumah lebih suka menghafal lagu-lagu Barat.

Saat di sekolah diajarkan kebaikan menutup aurat, di rumah orang tuanya lebih memilih pakaian yang terbuka auratnya. Maka, baiknya ubah kebiasaan kita (para orang tua) sebagaimana berharap mereka mencontoh yang baik dari kita.

Wahai ayah bunda yang terhormat, guru-guru Ananda di sekolah hanyalah teladan selama mereka beraktivitas di sekolah, sedangkan sosok yang selalu dihargai sampai akhir hayatnya adalah orang tuanya. Ilmu yang diajarkan oleh guru sampai kepada anak didik terbatas oleh waktu dan tempat sekolah, sedangkan sosok orang tua tidak pernah terlupa.

Itulah mengapa Rasul ﷺ berpesan, “Al-Umm Madrosaltul Ula.” (Ummi/ibu adalah madrasah/sekolah pertama). Karena yang pertama adalah yang paling berharga dalam sebuah proses.

Maka alangkah baiknya mengisi waktu liburan ini dengan menjadi teladan baik bagi anaknya, khususnya teladan dalam mengajarkan tauhid, ibadah, dan akhlak. Baik jika kita ceritakan bagaimana sikap akidah seorang muslim menghadapi corona bagi anak. Mengapa tidak?

Jangan sampai kekhawatiran terbayang di benaknya, namun solusi untuk menghindarinya hanya sekedar kita takut mati yang sudah menjadi qadha Allah SWT. Justru langkah terbaik menanamkan keberanian bagi Ananda adalah dengan menanamkan akidah yang kokoh, bahwa seberat apapun wabah yang dihadapi ada Allah yang Maha Pelindung.

Justru yang harus ditakuti adalah saat di mana kita jauh dari Allah, rasa paranoid menyelimuti karena khawatir jika meninggal dalam keadaan tidak diridhai oleh Allah SWT. Adakah kita para orang tua sudah menjelaskan hakikat rukun Islam dan rukun iman kepada anak-anak kita?

Jujur saja, sewaktu saya kecil menerima penjelasan tentang ilmu itu dari guru di sekolah akan terasa berbeda dengan penjelasan yang disampaikan oleh orang tua sendiri. Mengapa? Perasaan peduli muncul, karena di hadapannya yang menjelaskan adalah orang tua. Sosok yang peduli anaknya seumur hidup, berbeda dengan guru yang (mungkin) hanya peduli sampai Ananda lulus saja.

Saat-saat ini adalah waktu yang cocok menjadi teladan bagi buah hati. Bersama sambil membimbing pembelajaran, sambil membersamai dalam aktivitas ibadah. Isi liburan dengan banyak membaca Al-Quran bersama, tadarus dan muroja’ah bersama, menambah hafalan bersama, sholat berjama’ah, dsb. Bukankah kita selalu lihat anak kita bahagia saat makan bersama?

Maukah Anda melihat anak khusyu’ sholat, rajin membaca Al-Quran, dan amalan lainnya? Maka lakukan itu bersama buah hati Anda. Karena buah kebaikan akan tumbuh jika Anda sendiri menanamnya.

Duhai Ayah Bunda, jangan sampai penyesalan datang saat Ananda berubah seiring bertemu fase kedewasaannya. Suatu saat mereka sudah mulai dapat berfikir, bisa menimbang keseriusan kita orang tua membina mereka. Dapatkah mereka serius menjadi anak yang berbakti jika kita tidak pernah peduli membinanya sejak kecil?

Terakhir, pertanyaan mendasar bagi Ayah Bunda saat membina anaknya, baik di sekolah maupun di rumah adalah; Apa visi yang hendak dibangun bagi keluarga kelak di masa depan?

Visi dunia atau visi akhirat? Seharusnya wabah ini menyadarkan kita hakikat makhluk yang lemah dan tidak berdaya. Membangun keluarga yang dilandasi katakwaan kepada Allah SWT. Menjalani hari-hari dengan penuh tawakkal, yakni kepasrahan dibarengi ikhtiar yang sesuai koridor agama.

Semoga Allah memberikan perlindungan bagi kita semua, dijauhkan dari segala marabahaya dan takdir yang tidak kita harapkan. insyaAllah setiap musibah adalah ujian yang menuntut kita harus lebih banyak bertaubat dan berubah. Gunakan kacamata hikmah dalam menilai sesuatu, segala kejadian yang menimpa adalah untuk kebaikan kita semua. InsyaAllah, Wallahu a’lam bi Showab.*

Oleh: Muhamad Afif Sholahudin, Guru, Pengasuh Pondok Asy-Syabab, Bandung

HIDAYATULLAH


Makna Haji Mabrur

Muslim yang melaksanakan rukun Islam kelima mengharapkan satu hal, yaitu haji mabrur. Predikat ini diberikan Allah kepada hambanya yang dinilai melaksanakan haji dengan baik.

Ulama berbeda pendapat memaknai haji mabrur. Sebagian berpendapat haji mabrur adalah amalan yang diterima di sisi Allah. 

Sebagiannya lagi berpendapat, yaitu haji yang hasilnya tampak pada pelakunya dengan indikasi keadaannya setelah berhaji jauh lebih baik.

Salah seorang alim hadis, al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fathul Baarii, syarah Bukhari-Muslim menjelaskan, “Haji mabrur adalah haji yang diterima Allah.”

Pendapat lain yang saling menguatkan dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam syarah Muslim, “Haji mabrur itu ialah haji yang tidak dikotori oleh dosa, atau haji yang diterima Allah, yang tidak ada kesombongan di dalamnya.”

Haji mabrur dilaksanakan secara sempurna dengan memenuhi semua syarat, wajib, dan rukunnya. Selama menjalankan haji, seorang Muslim tidak mengungkapkan kata kotor, tidak berbuat kerusakan, dan tidak bertengkar atau berdebat. Hal ini dijelaskan Allah dalam surah al-Baqarah ayat 197.

Rasulullah pernah bersabda, “Barang siapa melakukan ibadah haji karena Allah, kemudian tidak berkata kotor dan tidak melakukan perbuatan fasik, maka ia akan pulang tanpa dosa sebagaimana ketika ia dilahirkan ibunya.” (HR Muttafaq ‘alaih).

Pakar ilmu Alquran Prof Quraish Shihab dalam bukunya, Haji dan Umrah, menjelaskan, ada satu hadis Rasulullah tentang haji mabrur yang populer, yaitu, “Alhajjul mabrur laysa lahu jaza’ illaljannah.” Artinya, tak ada balasan untuk haji mabrur kecuali surga.

Quraish menjelaskan, kata mabrur berasal dari kata barra. Artinya benar, diterima, pemberian, keleluasaan dalam kebajikan.

Mantan pemimpin tertinggi al-Azhar, Kairo, Prof Abdul Halim Mahmud, menulis, haji merupakan ibadah yang di dalamnya terdapat simbol kerohanian yang mengantarkan Muslim untuk masuk ke dalam lingkungan ilahi. Syaratnya, harus dilakukan dalam bentuk dan cara yang benar.

Salah satu ritual dalam berhaji adalah mengenakan ihram. Jika sudah memakainya, jamaah haji tidak diperbolehkan merusak tanaman dan membunuh binatang yang ada di Tanah Suci. Selain itu, mereka juga tidak diperbolehkan bersetubuh dengan pasangannya.

Ihram adalah simbol ketaatan. Muslim yang sudah melaksanakan haji harus dapat memahami ketaatan kepada Allah harus selalu dilaksanakan. Menaati Allah tidak hanya ketika di Tanah Suci, tapi juga di Tanah Air. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi diri dari dosa yang merusak hati.

Ihram mengajarkan untuk melindungi kelestarian alam. Tumbuhan yang ada di sekitar kita akan menjadi makanan sehat. Bisa juga menjadi tempat untuk berlindung dari cuaca ekstrem.

Jamaah haji juga dapat menghayati tawaf. Mengitari Ka’bah jangan sebatas menjadi ritual di Tanah Suci. Simpanlah tawaf di dalam hati sehingga jiwa dapat selalu memutarinya setiap saat. Ketika menyadari jiwa selalu mengitari rumah Allah, seseorang akan terhindar dari dosa.

Sa ‘i antara Shafa dan Marwah adalah simbol konsistensi keimanan kepada Allah. Seorang Muslim harus senantiasa konsisten beriman kepada Allah meskipun dalam keadaan terjepit. 

Ibadah haji mengajarkan seseorang harus tetap optimistis dalam beriman, sebagaimana Hajar tetap konsisten beriman kepada Allah meski mengalami kesulitan di Makkah yang pada saat itu hanyalah padang pasir.

Masih banyak lagi simbol dalam haji yang menarik untuk didalami. Semuanya adalah renungan agar Muslim senantiasa menjaga kedekatannya kepada Allah. 

Oleh: Erdy Nasrul

IHRAM

Bisakah Habbatus Sauda dan Madu Mencegah & Mengobati Wabah?

Benarkah Habbatus Sauda dan Madu Bisa Mencegah dan Mengobati Wabah?

Jawabnya tentu bisa, akan tetapi untuk bisa menjadi obat perlu konsep thibbun nabawi yang benar.

Salah satunya adalah harus sesuai dosis dan indikasinya. Jadi yang diperlukan sekarang adalah berapa dosis dan campuran yang tepat untuk mencegah dan mengobati wabah tersebut.

Pentingnya dosis dan indikasi dijelaskan oleh ibnul qayyim berdasarkan hadits orang yang datang kepada Nabi shallallahu’alahi wa sallam mengadu bahwa saudaranya kena diare, kemudian disarankan agar minum madu, ia datang berulang-ulang kali dan akhirnya sembuh.

Berikut haditsnya:

أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَخِي يَشْتَكِي بَطْنَهُ. فَقَالَ: اِسْقِهِ عَسَلاً. ثُمَّ أَتَاهُ الثَّانِيَة فَقَالَ: اسْقِهِ عَسَلاً. ثُمَّ أَتَاهُ الثَّالِثَة فَقَالَ: اسْقِهِ عَسَلاً. ثُمَّ أَتَاهُ فَقَالَ: فَعَلْتُ. فَقَالَ: صَدَقَ اللهُ وَكَذَبَ بَطْنُ أَخِيْكَ، اسْقِهِ عَسْلاً. فَسَقَاهُ فَبَرَأَ

“Ada seseorang menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata: ‘Saudaraku mengeluhkan sakit pada perutnya (dalam riwayat lainnya: sakit diare).’

Nabi berkata: ‘Minumkan ia madu.’

Kemudian orang itu datang untuk kedua kalinya,

Nabi berkata: ‘Minumkan ia madu.’

Orang itu datang lagi pada kali yang ketiga,

Nabi tetap berkata: ‘Minumkan ia madu.’ Setelah itu, orang itu datang lagi dan menyatakan: ‘Aku telah melakukannya (namun belum sembuh juga malah bertambah mencret).’

Nabi bersabda: ‘Allah Maha Benar dan perut saudaramu itu dusta. Minumkan lagi madu.’

Orang itu meminumkannya lagi, maka saudaranya pun sembuh.”(HR. Bukhari & Muslim) 

Hadits ini dijelaskan oleh seorang Dokter dan ulama besar Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah. Beliau menekankan perlunya dosis dan sesuai dengan penyakitnya (indikasi). Beliau berkata,

وفي تكرار سقيه للعسل معنىً طبي بديع وهو: أن الدواء يجب أن يكون له مقدار وكمية بحسب حال الداء 

“Memberikan minum madu dengan berulang kali menunjukkan mengenai ilmu kedokteran yaitu obat harus sesuai dosis  dan jumlahnya sesuai dengan keadaan penyakitnya. [Thibbun Nabawi hal 29, Darul Hilal]

Demikian juga penjelasan Ibnu hajar Al-Asqalani rahimahullahu, beliau berkata,

فقد اتفق الأطباء على أن المرض الواحد يختلف علاجه باختلاف السن والعادة والزمان والغذاء المألوف والتدبير وقوة الطبيعة…لأن الدواء يجب أن يكون له مقدار وكمية بحسب الداء إن قصر عنه لم يدفعه بالكلية وإن جاوزه أو هي القوة وأحدث ضررا آخر

“Seluruh tabib telah sepakat bahwa pengobatan suatu penyakit berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan umur, kebiasaan, waktu, jenis makanan yang biasa dikonsumsi, kedisiplinan dan daya tahan fisik…karena obat harus sesuai kadar dan jumlahnya dengan penyakit, jika dosisnya berkurang maka tidak bisa menyembuhkan dengan total dan jika dosisnya berlebih dapat menimbulkan bahaya yang lain.” [Fathul Baari  10/169-170, Darul Ma’rifah]

Penjelasan Ibnu Hajar Al-Asqalani sejalan dengan ilmu kedokteran saat ini. Dalam kedokteran modern dikenal ungkapan,

“ All substances are poison. There is none that is not poison, the right dose and indication deferentiate a poison and a remedy” 

“Semua zat adalah (berpotensi menjadi) racun. Tidak ada yang tidak (berpotensi menjadi)racun. Dosis dan indikasi yang tepat membedakannya apakah ia racun atau obat” [Toksikologi hal. 4, Bag Farmakologi dan Toksikologi UGM, 2006]

Perlu diketahui bahwa satu penyakit atau satu wabah berbeda-beda dosisnya, tidak bisa dipukul rata, misalnya pada anak, pada dewasa, pada daerah ini dan kondisi seperti itu. Lalu, bagaimana dosis yang benar? Ini butuh ilmu para pakar thibbun nabawi dan thabib yang berpengalaman, kita berharap mereka segera menemnukan dosis yang tepat. Atau melalui penelitian ilmiah yang menyingkirkan semua faktor kebetulan. Penelitian akan dosis dan indikasi ini tidak bisa segera, bisa jadi butuh waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun. 

Hendaknya tidak sembarangan mengklaim “ini obat nya” perlu diuji dahulu dan lihat dahulu (direview) oleh pakar dan ahli yang lainnya, bukan hanya klaim sepihak dari satu sisi saja. Inilah ilmu EBM (Evident Based Medicine) yang konsepnya ditemukan oleh Ar-Razi. Apabila semua orang bisa mengklaim “ini obatnya” tentu tidak bisa dijamin kebenaranNya. Apabila obat itu hanya klaim semata dan tidak menyembuhkan bahkan membahayakan, maka ia telah melakukan malpraktek dan wajib bertanggung jawab.

Perhatikan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:

مَنْ تَطَبَّبَ وَلَمْ يُعْلَمْ مِنْهُ طِبٌّ قَبْلَ ذَلِكَ فَهُوَ ضَامِنٌ

“Barang siapa yang melakukan pengobatan dan dia tidak mengetahui ilmunya sebelum itu maka dia yang bertanggung jawab.”[HR. An-Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah dan yang  lain]

 Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu menjelaskan,

أنه لا يحل لأحد أن يتعاطى صناعة من الصناعات وهو لا يحسنها ، سواء كان طبا أو غيره ، وأن من تجرأ على ذلك ، فهو آثم . وما ترتب على عمله من تلف نفس أو عضو أو نحوهما ، فهو ضامن له

“Tidak boleh bagi seseorang melakukan suatu praktek pekerjaan dimana ia tidak mumpuni dalam hal tersebut. Demikian juga dengan praktek kedokteran dan lainnya. Barangsiapa lancang melanggar maka ia berdosa. Dan apa yang ditimbulkan dari perbuatannya berupa hilangnya nyawa dan kerusakan anggota tubuh atau sejenisnya, maka ia harus bertanggung jawab.”[Bahjah Qulubil Abrar hal. 155, Dar Kutub Al-‘Ilmiyah]

Demikian semoga bermanfaat. Kita doakan semoga para pakar thibbun nabawi menemukan dosis dan indikasi yang tepat, serta para ilmuan segera bisa menemukan vaksin untuk penyakit dan wabah yang ada 

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55406-bisakah-habbatus-sauda-dan-madu-mencegah-mengobati-wabah.html