Serial Fiqh Zakat (Bag. 4): Syarat Wajib Zakat (1)

Baca pembahasan sebelumnya Serial Fiqh Zakat (Bag. 3): Hukuman bagi Orang yang Tidak Menunaikan Zakat

Syarat yang berkaitan dengan pemberi zakat (muzakki)

Islam

Zakat diwajibkan kepada setiap muslim.

Dalil dari al-Qur’an

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” [QS. at-Taubah: 103]

Seruan (khithab) dalam perintah berzakat pada ayat di atas ditujukan kepada kaum muslimin, karena merekalah yang akan dibersihkan dan disucikan dengan mengeluarkan zakat. [Al-Muhalla, 4: 4; al-Jaami’ li Ahkaam al-Qur’an, 8: 124]

Dalil dari as-Sunnah

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, 

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ ادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ

“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz radhiallahu ‘anhu ke Yaman, beliau berkata, “Ajaklah mereka kepada syahadah (persaksian) bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah. Jika mereka telah menaatinya, maka beritahukanlah bahwa Allah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam. Dan jika mereka telah menaatinya, maka beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah (zakat) dari harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang faqir mereka.” [HR. al-Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 19. Redaksi di atas adalah redaksi al-Bukhari.]

Nabi menjadikan perintah menunaikan zakat setelah menaati mereka untuk masuk ke dalam Islam. Demikian pula kata ganti (dhamir) pada frasa “أَغْنِيَائِهِمْ” yang berarti adalah orang-orang kaya yang telah menaati mereka dan masuk ke dalam Islam, di mana zakat juga akan dikembalikan kepada orang-orang fakir mereka (kaum muslimin). [Al-Muhalla, 4: 4]

Dalil ijmak

Sejumlah ulama seperti an-Nawawi dan Ibnu Rusyd mengutip adanya ijmak bahwa zakat diwajibkan kepada seorang muslim. [Al-Majmu’, 5: 326;  Bidayah al-Mujtahid, 1: 245]

An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Kewajiban zakat atas setiap orang yang merdeka dan muslim adalah hal yang jelas (zhahih) berdasarkan keumuman dalil al-Quran, as-Sunnah, dan ijmak.” [Al-Majmu’, 5: 326]

Merdeka

Zakat diwajibkan kepada pemilik harta yang merdeka, bukan budak. Hal ini karena jika dia seorang budak, meski terkadang dapat memiliki harta (al-mukatab), kepemilikannya terhadap harta tidaklah sempurna.

Dalil ijmak

An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Kewajiban zakat atas setiap orang yang merdeka dan muslim adalah hal yang jelas (zhahir) berdasarkan keumuman dalil al-Qur’an, as-Sunnah dan ijmak.” [Al-Majmu’, 5: 326]

Ibnu Rusyd mengatakan, “Adapun kepada siapa zakat itu diwajibkan, maka kaum muslimin bersepakat bahwa zakat diwajibkan kepada setiap muslim yang berakal, memiliki harta yang telah mencapai nishab dengan kepemilikan yang sempurna.” [Bidayah al-Mujtahid, 1: 245]

Hukum zakat atas budak

Tidak ada kewajiban zakat pada seorang budak. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama dan sebagian ulama mengklaim ijmak dalam hal ini. [Al-Mughni, 2: 464; Syarh Mukhtashar Khalil, 2: 181]

Ibnu Qudamah mengatakan, “Zakat tidaklah wajib kecuali atas setiap orang yang merdeka, muslim, dan memiliki kepemilikan terhadap harta (obyek zakat) yang sempurna. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama dan kami tidak mengetahui ada yang menyelisihinya selain Atha’ dan Abu Tsaur. Mereka berdua mengatakan seorang budak tetap wajib mengeluarkan zakat hartanya.” [Al-Mughni, 2: 464]

Alasannya adalah:

  • Seorang budak tidak memiliki hak kepemilikan. [Hasyiyah Ibnu Abidin, 2: 259]
  • Zakat menuntut adanya pengalihan hak kepemilikan. Seorang yang tidak memiliki hak kepemilikan tidak mungkin mengalihkannya kepada orang lain. [Tabyin al-Haqaiq, 1: 253]

Hukum zakat atas harta al-mukatab

Al-Mukatab adalah budak yang pembebasan dirinya ditetapkan dengan suatu harga tertentu. Apabila budak tersebut bekerja dan menebus dirinya dengan harga tersebut, maka dia dibebaskan. [Aniis al-Fuqaha, 1: 61]

Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan, “al-Mukatab adalah para budak yang membeli kebebasan diri dari pemilik mereka. Kata al-mukatab berasal dari kata al-kitabah, karena dalam perjanjian tercantum tulisan (al-kitabah) antara pemilik dan budak.” [asy-Syarh al-Mumti’, 6: 229]

Zakat tidaklah diwajibkan atas harta al-mukatab. Ulama madzhab yang empat bersepakat akan hal ini. Sebagian ulama mengklaim adanya ijmak. [Badai’ ash-Shanai’, 2: 6; Hasyiyah ad-Dasuqi, 1: 431; al-Majmu’, 5: 326; al-Inshaf, 3: 7; Al-Mughni, 10: 415]

Ibnu Qudamah mengatakan, “Kesimpulan, tidak ada zakat yang diwajibkan kepada al-mukatab tanpa ada perselisihan pendapat sependek pengetahuan kami.” [Al-Mughni, 10: 415]

Alasan mengapa al-mukatab tidak diwajibkan mengeluarkan zakat adalah karena statusnya adalah budak, maka kepemilikannya terhadap harta tidak sempurna. Karena itu tidak ada kewajiban zakat atas dirinya hingga dibebaskan. [Al-Ijma’, hlm. 47; al-Mughni, 2: 464]

Apakah muzakki dipersyaratkan harus berakal dan dewasa (baligh)?

Berakal dan dewasa bukanlah syarat wajib zakat. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama. [Al-Kaafi fi Fiqhi Ahli al-Madinah, 1: 284; Tuhfah al-Muhtaj, 3: 330; al-Mughni, 2: 464]

Dalil al-Qur’an

Allah Ta’ala berfirman,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” [QS. at-Taubah: 103]

Firman Allah di atas berlaku umum kepada setiap anak kecil dan dewasa, berakal dan gila. [Al-Muhalla, 4: 4]

Dalil as-Sunnah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz,

فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ

“Maka beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah (zakat) dari harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang faqir mereka.” [HR. al-Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 19. Redaksi di atas adalah redaksi al-Bukhari.]

Frasa “أَغْنِيَائِهِمْ” mencakup anak kecil dan orang gila, sebagaimana hal yang sama berlaku pada lafadz “فُقَرَائِهِمْ”. Artinya, sebagaimana zakat itu dibagikan kepada kaum muslimin, baik yang masih kecil maupun yang telah dewasa, demikian pula zakat diambil dari harta kaum muslimin, baik yang masih kecil maupun yang telah dewasa. [Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, 9: 411]

Dalil atsar

Dari al-Qasim bin Muhammad, dia berkata,

كانت عائشةُ رَضِيَ اللهُ عنْهَا تَلِيني أنا وأخًا لي يتيمينِ في حِجْرِها، فكانت تُخرِجُ مِن أموالِنا الزَّكاةَ

“Aku dan saudaraku adalah yatim, dan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang mengasuh kami dan beliau mengeluarkan zakat dari harta kami.” [HR. Malik dalam al-Muwaththa’ 2: 353]

Dalil aqli

  • Zakat diserahkan agar pemberi zakat (muzakki) memperoleh pahala dan agar kalangan fakir memperoleh kenyamanan. Dan anak kecil maupun orang gila termasuk keduanya, yaitu kalangan yang membutuhkan pahala dan juga kenyamanan. Karena itulah, keduanya tetap diwajibkan untuk menafkahi keluarga dan kerabat; serta mereka wajib membebaskan sang ayah apabila misalnya dia  berstatus budak yang berada dalam kepemilikan mereka. dengan begitu, zakat tetap diwajibkan atas harta mereka. [Al-Majmu’, 5: 329]
  • Kewajiban zakat atas harta keduanya dianalogikan dengan status harta mereka yang tetap wajib dikeluarkan untuk menafkahi dan membayar ganti rugi (denda). [Al-Majmu’, 5: 330]
  • Zakat adalah hak fakir yang ada pada harta orang kaya, sehingga kewajiban untuk memenuhinya bersifat setara dan berlaku baik pada mukallaf maupun non-mukallaf (misal anak kecil dan orang gila). [Nihayah al-Muhtaj, 3: 128; asy-Syarh al-Mumti’, 6: 23]

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55163-serial-fiqh-zakat-bag-4-syarat-wajib-zakat-1.html

Membaca Makna Kata Penderitaan dalam Ayat-Ayat Alquran

Penderitaan dalam Alquran merupakan lawan dari kata bahagia.

Kata menderita dalam Alquran berasal dari bentuk kata kerja dahulu syaqiya dan kata kerja kekinian yasyqa. Bentuk kata bendanya adalah syaqawah, syaqan, syaqwah, dan syiqwah.

Ensiklopedia Alquran; Kajian Kosakata, terbitan Lentera Hati, memaparkan seorang alim, Raghib al-Isfahani, mengartikan kata ini sebagai lawan kata sa’adah (kebahagiaan). Seperti halnya kebahagiaan, penderitaan juga bersifat duniawi seperti keburukan atau penderitaan yang terjadi sekarang dan ukhrawi (yang bersifat akhirat), seperti penderitaan yang terjadi nanti.

Alquran  menggunakan istilah syaqiya dalam berbagai perubahan bentuk, seperti dalam surah Hud (11) ayat 106. Allah SWT menjelaskan orang celaka yaitu mereka yang merusak akidahnya. Mereka akan menderita. Mereka yang mengikuti orang-orang sesat maka akan bergelimang dosa.

Mereka dimasukkan kedalam neraka dan merasakan siksaan dahsyat, hingga merintih, seperti keledai mengembus dan mengisap napasnya disertai rintihan keras. Mereka adalah orang-orang yang tidak mendapatkan rezeki. Dalam pandangan lain, mereka adalah orang yang disiksa.

Ayat ini merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya dalam surat yang sama. Allah akan membagi manusia di akhirat menjadi dua kelompok. Pertama adalah mereka yang celaka. Kedua adalah yang bahagia.

Kata yasyqa, terdapat di surat Thaha (20) ayat 2. ”Ma anzalna ‘alaikal qurana litasyqa, kami tidak menurunkan Alquran ini kepadamu agar kamu menjadi susah.”

Ayat ini diturunkan Allah sebagai jawaban kepada orang-orang musyrik yang berkata kepada Rasulullah, tatkala mereka melihat Rasul begitu tekun dan sungguh-sungguh dalam beribadah. “Hai Muhammad, sesungguhnya Alquran ini diturunkan kepadamu hanya untuk menyulitkanmu.” Ayat itu membuktikan Alquran tidak untuk menyulitkan orang. Hal sama dijelaskan dalam surat Al A’raf [7] ayat 2.

Kata litasyqa memiliki beberapa penafsiran. Pertama, artinya bersusah payah dengan begadang atau bangun di tengah malam untuk melaksanakan shalat malam. 

Kedua, kata litasyqa dalam ayat Alquran digunakan sebagai jawaban bagi orang-orang musyrik ketika mereka berkata kepada Rasulullah bahwa Rasul akan merasa kesulitan dengan diturunkannya Alquran. Ketiga, Allah melarang Muhammad agar tidak menyulitkan dirinya dengan bersedih hati dan merasa kasihan atas kekufuran kaumnya.

Cendekiawan Muslim, Syed Muhammad Naquib al-Attas, dalam bukunya, Prolegomena to The Metaphysic of Islam, menjelaskan, ketika seseorang tidak mengambil petunjuk Tuhan, maka pasti menderita meskipun secara kasat mata terlihat bahagia.

Begitu pula sebaliknya, jika manusia mengambil petunjuk Tuhan dalam menjalani kehidupannya, maka lapisan dasar kehidupannya merupakan kebahagiaan walaupun secara lahir terlihat menderita. Penderitaan tersebut pada orang yang mengambil petunjuk hanya akan bermakna bala, yaitu ujian terhadap diri orang tersebut, bukan syaqawah.

Al Attas mencontohkan bagaimana Allah menjelaskan penderitaan. Alquran menghubungkan bagaimana Adam digoda setan untuk memakan buah khuldi. Allah sudah menegaskan untuk tidak mendekati apalagi memakan buah itu. Namun, Adam tetap saja memakannya.

Adam dan istrinya sadar akan kesalahan mereka. Tidak seperti setan, Adam dan Hawa mengakui dosa mereka, diisi dengan penyesalan mendalam pada ketidakadilan mereka pada diri mereka sendiri dan meminta rahmat serta ampunan Tuhan.

Mereka berdua dimaafkan, tetapi diturunkan bersama setan ke dunia ini untuk hidup, mengabdi kepada Allah. Mereka juga akan mengalami cobaan dan kesengsaraan. Tuhan meyakinkan Adam dan keturunannya, hidayah akan datang dan siapa pun yang mengikuti itu tidak akan tersesat maupun jatuh pada penderitaan. 

KHAZANAH REPUBLIKA


Nabi Muhammad Larang Bernafas di dalam Gelas, Ini Manfaatnya

Nabi Muhammad SAW telah mencontohkan kepada umatnya tentang langkah-langkah menjaga kesehatan. Salah satunya adalah tentang cara meminum Nabi.

Di mana, dalam meminum air, Nabi melarang minum dari bagian mulut gelas yang retak.  Dalam Sunan Abu Dawud diriwayatkan hadits dari Abu Said Al Khudri bahwa ia menceritakan:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الشُّرْبِ مِنْ ثُلْمَةِ الْقَدَحِ وَأَنْ يُنْفَخَ فِي الشَّرَابِ

“Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah melarang perbuatan minum dari bagian gelas yang retak, dan beliau juga melarang bernafas dalam air minum.”

Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya yang berjudul Ath-Thibb an-Nabawi, ini termasuk di antara etika yang diajarkan demi kemaslahatan orang yang minum. Karena, risikonya adalah menimbulkan bau busuk pada air minum yang tidak disukai orang lain.

Terutama sekali orang yang bau mulutnya mengalami perubahan buruk. Intinya, secara umum nafas orang yang minum akan tercampur ke dalam air tersebut.

KHAZANAH REPUBLIKA

Syukur Nikmat

Allah SWT memerintahkan kepada umat Islam agar selalu bersyukur.

Syukur nikmat berarti berterima kasih dan memuji kepada yang telah memberi kenikmatan atau kebaikan. Orang yang bersyukur kepada Allah SWT berarti orang yang berterima kasih kepada-Nya dengan memuji-Nya atas kenikmatan yang telah diterima dari-Nya.

Syukur harus dilakukan dengan tiga hal, yaitu lisan, hati, dan anggota badan sebagaimana iman. Orang yang bersyukur kepada Allah SWT atas kenikmatan yang diterima maka ia harus mengakui kenikmatan itu dalam hatinya, kemudian lisannya mengucapkan kalimat hamdalah atau memberitahukannya kepada orang lain. (QS adh-Dhuha [93]:11). Dan, anggota badannya tergerak untuk lebih taat kepada Allah SWT dan memberikan sebagian kenikmatan itu kepada orang lain yang membutuhkan.

Dalam Alquran, Allah SWT memerintahkan kepada umat Islam agar selalu bersyukur kepada-Nya. “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS al-Baqarah [2]:152).

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah.” (QS al-Baqarah [2]:172).

Allah juga menegaskan, orang yang bersyukur kepada-Nya sebenarnya tidak akan berpengaruh sama sekali kepada Allah karena Allah Maha Kaya yang tidak butuh kepada siapa pun, tapi hasil syukur akan kembali kepada dirinya sendiri, begitu juga sebaliknya, orang yang kafir (tidak mau bersyukur), akibatnya akan kembali kepadanya. (QS al-Naml [27]: 40).

Bersyukur kepada Allah adalah sifat yang sangat terpuji dan orang yang bersyukur akan memperoleh hikmah yang banyak. Pertama, Allah akan melipatgandakan nikmat-Nya kepada orang yang mau bersyukur kepada-Nya. Sebaliknya, Allah akan memberikan azab-Nya yang sangat pedih kepada orang yang tidak mau bersyukur kepada-Nya. “Dan, (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.’” (QS Ibrahim [14]:7)

Kedua, Allah berjanji akan memberikan balasan kepada orang yang bersyukur. “Dan, Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS Ali ‘Imran [3]:144).

Ketiga, Orang yang selalu bersyukur akan mendapatkan surga yang penuh dengan segala kenikmatan. Orang yang selalu bersyukur dalam keadaan apa pun, baik mendapat nikmat maupun musibah, dialah yang nantinya akan mendapatkan kenikmatan yang hakiki di surga.

Syukur nikmat merupakan sifat mulia yang harus dibiasakan sehingga menjadi karakter kita semua. Hanya dengan bersyukurlah, manusia akan dihargai oleh Allah dan juga oleh orang lain, sebaliknya tanpa syukur manusia tidak akan mendapatkan penghargaan dari orang lain, apalagi dari Allah SWT.

Karena itulah, marilah kita selalu bersyukur kepada Allah atas semua kenikmatan yang telah diberikan kepada kita semua. Semoga Allah selalu memberikan kekuatan dan hidayah-Nya kepada kita semua sehingga kita menjadi hamba-hamba-Nya yang pandai bersyukur kepada-Nya. Wallahu a’lam. 

Oleh Ahmad Agus Fitriawan

KHAZANAH REPUBLIKA

Bagaimana Cara Bangun Shalat Tahajud? Ini Kiat Sederhana

Bangun malam untuk shalat tahajud membutuhkan komitmen.

Tak mudah memang membiasakan diri bangun pada malam hari. Butuh komitmen dan konsistensi untuk menghidupkan malam dengan beribadah. Pendiri sekaligus pengasuh Ar Rahman Quranic Learning Islamic Center Ustaz Bachtiar Nasir Lc Mpd berbagi sejumlah kiat agar mudah terbangun untuk menunaikan shalat Malam.

Pertama, mantapkan niat. Kedua, tanamkan kesungguhan untuk bangun dan ketiga, meminta kepada Allah agar kita bisa dipilih menjadi salah satu hamba-Nya yang bangun. “Ingat bahwa saat tidur manusia diikat oleh tiga ikatan dan kita harus melepas ikatan itu,” ujarnya

Pada malam hari, tuturnya, saat manusia terlelap sesungguhnya mereka diikat oleh tiga ikatan. Ikatan-ikatan itu akan lepas saat kita terbangun. Saat kita menyebut nama Allah, ikatan pertama lepas. Saat kita bangun dan berwudhu, ikatan kedua lepas. Saat kita mendirikan shalat, ikatan ketiga terlepas.

Sesungguhnya, hati yang lalai, keras, dan terlalu banyak nafsu juga menjadi penyebab sulitnya manusia terbangun saat malam, ungkapnya. Alasan-alasan lain secara fisik, termasuk terlalu lelah bekerja, kebanyakan makan, terlambat tidur, atau mungkin kamar yang ditempatinya tidur terlalu nyaman. Maka dari itu, Rasulullah SAW sering kali menjauhi kenikmatan agar lambungnya menjauh dari kasur.

Seyogianya, katanya, bergaullah dengan sesama Muslim dalam menyebarkan kebaikan dan ajakan shalat Malam. Sebarkan pengetahuan agar mereka mengerti makna yang terkandung dalam Surah adz-Dzariyat ayat 17 dan 18. Bergabunglah dalam komunitas, seperti Tahajud Call. Ini sebagai upaya mengajak Muslim lain beribadah malam. Rasulullah sendiri memulai dalam lingkungan keluarganya dahulu dan membujuk anak-anaknya.

Ia mengisahkan kisah dari salaf. Imam Syafii memenuhi undangan Imam Ahmad atas nama anak perempuannya. Pencetus mazhab Syafii itu pun menginap di kediaman sahibnya tersebut. Anak perempuan Ahmad bin Hanbal menanyakan dua hal sebelum sang tamu itu pulang keesokan harinya. Pertama, tamunya itu makan banyak, padahal ia terkenal zuhud. Kedua, mengapa hanya shalat Malam dua rakaat?  

Jawaban pertama, Syafii menunturkan jika bertamu ke rumah orang saleh maka makanannya seperti obat. Kedua, saat malam tadi, begitu ia selesai shalam malam, satu potongan ayat yang ia baca menginspirasinya membuat 13 rumusan usul fikih. Tanpa sadar, ia menulis hingga Subuh.

Intinya, cerita ini menunjukkan betapa dekatnya jarak antara Allah dan hamba-Nya jika ia melaksanakan shalat Malam dan berdoa. Allah SWT langsung mewujudkannya.

Buktikan bahwa mereka yang menafkahkan penghasilannya dengan sedekah dan infak merupakan orang yang shalat Malamnya teraplikasikan dengan baik dalam kehidupan sehari-harinya.

Orang yang sering terbangun saat malam pun tak lantas bermalas-malasan saat siang, tapi tampak seperti memiliki semangat para penunggang kuda.

KHAZANAH REPUBLIKA

Wabah Virus Corona, Pasangan Muslim Ini Gratiskan Dagangannya untuk Lansia

Virus corona telah mengambil banyak nyawa dan menginfeksi manusia. Alih-alih membantu, sebagian orang  justru meningkatkan harga masker dan keperluan medis lainnya di tengah situasi wabah.

Namun berkat ajaran Islam yang telah menunjukkan pada Muslim jalan yang benar. Sepasang suami istri di Skotlandia menyediakan masker gratis dan rela menanggung kerugian atas dagangan di tokonya. Tindakan cinta dan kemurahan hati mereka viral di media sosial.

keduanya adalah sepasang suami istri Asiyah Javed-Jawad. Pasangan Muslim ini merupakan pemilik sebuah toko sudut di Skotlandia. Mereka mengumpulkan paket-paket bantuan untuk pasien virus Corona, khususnya lansia dan orang-orang yang membutuhkan. Mereka mengirimkannya ke desa mereka secara gratis.

Asiyah Javed (34) sudah menyediakan gel tangan di Kasir sebelum virus corona mencapai Skotlandia. Tetapi pada hari Sabtu (7/3/2020), dia dan suaminya Jawad (35), memutuskan sudah waktunya untuk membantu pembeli tua setelah memikirkan bagaimana almarhum kakek neneknya berjuang.

“Kami telah memberikan 500 tas. Pada hari Sabtu saya keluar, dan saya bertemu dengan seorang wanita tua, dia menangis karena dia pergi ke supermarket dan tidak ada pencuci tangan. Saya merasa itu tidak adil untuk orang tua, beberapa tidak bisa keluar rumah. Kami mengirimkan 30 paket ke panti jompo di mana ada 30 orang yang tinggal, dan kami punya beberapa ratus lagi di toko. Beberapa orang meminta agar dikirimkan karena sudah tua, atau dinonaktifkan, atau tidak punya kendaraan. Kami hanya berusaha membantu orang yang tidak bisa keluar rumah,” cerita ibu dari tiga orang anak itu.

Dia mengatakan gerakan itu telah memprovokasi ejekan dari beberapa orang.

“Pembeli lain menyebut kami bodoh, dan mengatakan ‘mengapa Anda memberi mereka secara gratis?’ Tetapi uang bukanlah segalanya, akan ada peluang untuk menghasilkan uang di masa depan. Saya mulai menimbun gel tangan ketika saya mendengar tentang virus corona, dari uang tunai dan barang bawaan. Orang-orang mengira saya akan menjualnya, tetapi saya memikirkan hal ini. Saya pikir ‘saatnya memberi sekarang’, bukan ketika virus corona ada di sini. Anda tidak ingin memberi mereka ketika orang sudah memiliki virus. Pemilik toko lain membeli mereka untuk dijual, kami membeli mereka untuk diberikan,” tutur Asiyah.

Sebelumnya, Asiyah dan suaminya juga memberikan susu gratis kepada orang-orang tua selama Beast from the East, pada musim semi 2018.

“Kakek-nenek saya sudah meninggal, tetapi kita masih memikirkan mereka ketika kita melihat semua ini. Kami menghabiskan banyak waktu bersama kakek-nenek kami dan kami merasa bahwa jika mereka masih hidup, kami tidak ingin mereka berjuang. Kami mencoba membantu orang tua, jika mereka masih muda mereka akan pergi ke supermarket tetapi beberapa dari mereka tidak bisa karena mereka sudah tua. Kami mengalami kerugian, masing-masing tas berharga £2. Orang lain menaikkan harga tetapi kami memberikannya secara gratis,” tutur Asiyah.

Menurut Islam, kita tidak diperbolehkan menaikkan harga setiap kali epidemi menyebar di masyarakat. Ini sangat dilarang dalam Islam dan bertentangan dengan ajaran Islam. Selain itu, disarankan untuk membantu tanpa membedakan antara Muslim dan Non-Muslim. Pasangan ini telah menerapkan ajaran tersebut dengan baik. []

SUMBER: ISLAMTICS

ISLAM POS


Tata Cara Shalat Orang Yang Sakit

Agama Islam penuh dengan kemudahan. Semua yang diperintahkan dalam Islam disesuaikan dengan kemampuan hamba. Allah Ta’ala berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Maka bertakwalah kamu kepada Allah semaksimal kemampuanmu” (QS. At Taghabun: 16).

Termasuk dalam ibadah shalat, ibadah yang paling agung dalam Islam. Terdapat banyak kemudahan dan keringanan di dalamnya. Dalam kesempatan kali ini akan dibahas mengenai kemudahan dan keringanan shalat bagi orang sakit.

Orang Yang Sakit Tetap Wajib Shalat

Shalat diwajibkan kepada semua Muslim yang baligh dan berakal. Merekalah mukallaf, orang yang terkena beban syariat. Yang dibolehkan untuk meninggalkan shalat adalah orang yang bukan mukallaf, yaitu anak yang belum baligh dan orang yang tidak berakal. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

رُفعَ القلمُ عن ثلاثةٍ : عن النائمِ حتى يستيقظَ ، وعن الصبيِّ حتى يحتلمَ ، وعن المجنونِ حتى يعقِلَ

Pena (catatan amal) diangkat dari tiga jenis orang: orang yang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia baligh, dan orang gila hingga ia berakal” (HR. An Nasa-i no. 7307, Abu Daud no. 4403, Ibnu Hibban no. 143, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 3513).

Demikian juga yang dibolehkan untuk meninggalkan shalat adalah wanita haid dan nifas. Ibunda ‘Aisyah radhiallahu’anha pernah ditanya,

أَتَجْزِى إِحْدَانَا صَلاَتَهَا إِذَا طَهُرَتْ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ كُنَّا نَحِيضُ مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَلاَ يَأْمُرُنَا بِهِ

Apakah kami perlu mengganti shalat kami ketika sudah suci?” ‘Aisyah menjawab, “Apakah engkau seorang wanita Haruriyah (Khawarij)? Dahulu kami mengalami haid di masa Nabi shallallahu‘alaihi wasallam, namun beliau tidak memerintahkan kami untuk menggantinya” (HR. Al Bukhari no. 321).

Ummu Salamah radhiallahu’anha juga mengatakan:

كانت النفساء تجلس على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم أربعين يوما

Dahulu wanita yang sedang nifas di masa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam duduk (tidak shalat) selama 40 hari” (HR. Ibnu Majah no. 530, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah).

Maka kita lihat ternyata orang sakit tidak dikecualikan. Sehingga tidak ada udzur untuk meninggalkan shalat selama ia baligh, berakal, tidak haid, dan tidak nifas.

Keringanan-Keringanan Bagi Orang Yang Sakit

1. Dibolehkan untuk tidak shalat berjamaah di masjid

Shalat berjama’ah wajib bagi lelaki. Namun dibolehkan bagi lelaki untuk tidak menghadiri shalat jama’ah di masjid lalu ia shalat di rumahnya jika ada masyaqqah (kesulitan) seperti sakit, hujan, adanya angin, udara sangat dingin atau semacamnya.

Dari Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhuma:

كَانَ يَأْمُرُ مُؤَذِّنًا يُؤَذِّنُ ، ثُمَّ يَقُولُ عَلَى إِثْرِهِ ‏‏: ” أَلَا صَلُّوا فِي ‏‏الرِّحَالِ ‏” فِي اللَّيْلَةِ الْبَارِدَةِ أَوْ الْمَطِيرَةِ فِي السَّفَرِ

Dahulu Nabi memerintahkan muadzin beradzan lalu di akhirnya ditambahkan lafadz /shalluu fii rihaalikum/ (shalatlah di rumah-rumah kalian) ketika malam sangat dingin atau hujan dalam safar” (HR. Bukhari no. 616, Muslim no. 699).

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, ia berkata:

خرجنا مع رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ في سفرٍ . فمُطِرْنا . فقال ” ليُصلِّ من شاء منكم في رَحْلِه “

Kami pernah safar bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, lalu turunlah hujan. Beliau besabda: ‘bagi kalian yang ingin shalat di rumah dipersilakan‘” (HR. Muslim no. 698).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:

صلوا في بيوتكم إذا كان فيه مشقة على الناس من جهة المطر أو الزلق في الأسواق

“Shalatlah di rumah-rumah kalian, maksudnya jika ada masyaqqah (kesulitan) yang dirasakan orang-orang, semisal karena hujan, atau jalan yang licin.”[1]

Dan kondisi sakit terkadang  menimbulkan masyaqqah untuk pergi ke masjid. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pun ketika beliau sakit parah, beliau tidak shalat di masjid, padahal beliau yang biasa mengimami orang-orang. Beliau memerintahkan Abu Bakar untuk menggantikan posisi beliau sebagai imam. ‘Aisyah radhiallahu’anha berkata:

أن رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم قال في مرَضِه : ( مُروا أبا بكرٍ يصلِّي بالناسِ )

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika sakit beliau bersabda: perintahkan Abu Bakar untuk shalat (mengimami) orang-orang” (HR. Bukhari no. 7303).

Ibnu Abbas radhiallahu’anhu mengatakan:

لقد رَأيتُنا وما يتخلَّفُ عن الصَّلاةِ إلا منافقٌ قد عُلِمَ نفاقُهُ أو مريضٌ

Aku melihat bahwa kami (para sahabat) memandang orang yang tidak shalat berjama’ah sebagai orang munafik, atau sedang sakit” (HR. Muslim no. 654).

Dalil-dalil ini menunjukkan bolehnya orang yang sakit untuk tidak menghadiri shalat jama’ah.

2. Dibolehkan menjamak shalat

Menjamak shalat dibolehkan secara umum ketika ada masyaqqah (kesulitan). Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu beliau mengatakan:

جمع رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ بين الظهرِ والعصرِ ، والمغربِ والعشاءِ بالمدينةِ من غيرِ خوفٍ ولا مطرٍ

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjamak shalat Zhuhur dan shalat Ashar, dan menjamak shalat Maghrib dan Isya, di Madinah padahal tidak sedang dalam ketakutan dan tidak hujan” (HR. Muslim no. 705).

Para ulama mengatakan alasan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menjamak karena ada masyaqqah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:

والقصر سببه السفر خاصة ، لا يجوز في غير السفر. وأما الجمع فسببه الحاجة والعذر

Dibolehkannya men-qashar shalat hanya ketika safar secara khusus, tidak boleh dilakukan pada selain safar. Adapun menjamak shalat, dibolehkan ketika ada kebutuhan dan udzur” (Majmu’ Al Fatawa, 22/293).

Maka, orang yang sakit jika sakitnya membuat ia kesulitan untuk shalat pada waktunya masing-masing, dibolehkan baginya untuk menjamak shalat.

3. Dibolehkan shalat sambil duduk jika tidak mampu berdiri

4. Dibolehkan shalat sambil berbaring jika tidak mampu duduk

Jika orang yang sakit masih sanggup berdiri tanpa kesulitan, maka waijb baginya untuk berdiri. Karena berdiri adalah rukun shalat. Shalat menjadi tidak sah jika ditinggalkan. Dalil bahwa berdiri adalah rukun shalat adalah hadits yang dikenal sebagai hadits al musi’ shalatuhu, yaitu tentang seorang shahabat yang belum paham cara shalat, hingga setelah ia shalat Nabi bersabda kepadanya:

ارجِعْ فَصَلِّ فإنك لم تُصلِّ

Ulangi lagi, karena engkau belum shalat

Menunjukkan shalat yang ia lakukan tidak sah sehingga tidak teranggap sudah menunaikan shalat. Kemudian Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengajarkan shalat yang benar kepadanya dengan bersabda:

إذا قُمتَ إلى الصَّلاةِ فأسْبِغ الوُضُوءَ، ثم اسْتقبل القِبْلةَ فكبِّر…

Jika engkau berdiri untuk shalat, ambilah wudhu lalu menghadap kiblat dan bertakbirlah…” (HR. Bukhari 757, Muslim 397).

Namun jika orang yang sakit kesulitan untuk berdiri dibolehkan baginya untuk shalat sambil duduk, dan jika kesulitan untuk duduk maka sambil berbaring. Dari Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

كانتْ بي بَواسيرُ ، فسأَلتُ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم عنِ الصلاةِ ، فقال : صَلِّ قائمًا ، فإن لم تستَطِع فقاعدًا ، فإن لم تستَطِعْ فعلى جَنبٍ

Aku pernah menderita penyakit bawasir. Maka ku bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengenai bagaimana aku shalat. Beliau bersabda: shalatlah sambil berdiri, jika tidak mampu maka shalatlah sambil duduk, jika tidak mampu maka shalatlah dengan berbaring menyamping” (HR. Al Bukhari, no. 1117).

Dalam riwayat lain disebutkan tambahan:

فإن لم تستطع فمستلقياً

Jika tidak mampu maka berbaring telentang

Tambahan riwayat ini dinisbatkan para ulama kepada An-Nasa`i namun tidak terdapat dalam Sunan An-Nasa`i. Namun para ulama mengamalkan tambahan ini, yaitu ketika orang sakit tidak mampu berbaring menyamping maka boleh berbaring terlentang.

5. Dibolehkan shalat semampunya jika kemampuan terbatas

Jika orang yang sakit sangat terbatas kemampuannya, seperti orang sakit yang hanya bisa berbaring tanpa bisa menggerakkan anggota tubuhnya, namun masih berisyarat dengan kepala, maka ia shalat dengan sekedar gerakan kepala.

Dari Jabir radhiallahu’anhu beliau berkata:

عاد صلى اللهُ عليهِ وسلَّمَ مريضًا فرآه يصلي على وسادةٍ ، فأخذها فرمى بها ، فأخذ عودًا ليصلي عليه ، فأخذه فرمى به ، وقال : صلِّ على الأرضِ إن استطعت ، وإلا فأوم إيماءً ، واجعل سجودَك أخفضَ من ركوعِك

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam suatu kala menjenguk orang yang sedang sakit. Ternyata Rasulullah melihat ia sedang shalat di atas bantal. Kemudian Nabi mengambil bantal tersebut dan menjauhkannya. Ternyata orang tersebut lalu mengambil kayu dan shalat di atas kayu tersebut. Kemudian Nabi mengambil kayu tersebut dan menjauhkannya. Lalu Nabi bersabda: shalatlah di atas tanah jika kamu mampu, jika tidak mampu maka shalatlah dengan imaa` (isyarat kepala). Jadikan kepalamu ketika posisi sujud lebih rendah dari rukukmu“ (HR. Al Baihaqi dalam Al Kubra 2/306, dishahihkan Al Albani dalam Shifatu Shalatin Nabi, 78).

Makna al-imaa` dalam Lisanul Arab disebutkan:

الإيماءُ: الإشارة بالأَعْضاء كالرأْس واليد والعين والحاجب

Al-Imaa` artinya berisyarat dengan anggota tubuh seperti kepala, tangan, mata, dan alis.”

Syaikh Muhammad bin Shalih Al- ‘Utsaimin mengatakan:

فإن كان لا يستطيع الإيماء برأسه في الركوع والسجود أشار في السجود بعينه، فيغمض قليلاً للركوع، ويغمض تغميضاً للسجود

“Jika orang yang sakit tidak sanggup berisyarat dengan kepala untuk rukuk dan sujud maka ia berisyarat dengan matanya. Ia mengedipkan matanya sedikit ketika rukuk dan mengedipkan lebih banyak ketika sujud.” [2]

6. Dibolehkan tidak menghadap kiblat jika tidak mampu dan tidak ada yang membantu

Menghadap kiblat adalah syarat shalat. Orang yang sakit hendaknya berusaha tetap menghadap kiblat sebisa mungkin. Atau ia meminta bantuan orang yang ada disekitarnya untuk menghadapkan ia ke kiblat. Jika semua ini tidak memungkinkan, maka ada kelonggaran baginya untuk tidak menghadap kiblat. Syaikh Shalih Al-Fauzan menyatakan:

والمريض إذا كان على السرير فإنه يجب أن يتجه إلى القبلة إما بنفسه إذا كان يستطيع أو بأن يوجهه أحد إلى القبلة، فإذا لم يستطع استقبال القبلة وليس عنده من يعينه على التوجه إلى القبلة، يخشى من خروج وقت الصلاة فإنه يصلي على حسب حاله

“Orang yang sakit jika ia berada di atas tempat tidur, maka ia tetap wajib menghadap kiblat. Baik menghadap sendiri jika ia mampu atau pun dihadapkan oleh orang lain. Jika ia tidak mampu menghadap kiblat, dan tidak ada orang yang membantunya untuk menghadap kiblat, dan ia khawatir waktu shalat akan habis, maka hendaknya ia shalat sebagaimana sesuai keadaannya”[3]

Tata Cara Shalat Bagi Orang Sakit

Orang yang sakit tentunya memiliki keadaan yang beragam dan bervariasi, sehingga tidak memungkinkan kami merinci tata cara shalat untuk semua keadaan yang mungkin terjadi pada orang sakit. Namun prinsip dasar dalam memahami tata cara orang sakit adalah hendaknya orang sakit berusaha sebisa mungkin menepati tata cara shalat dalam keadaan sempurna, jika tidak mungkin maka mendekati sempurna. Allah Ta’ala berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Maka bertakwalah kamu kepada Allah semaksimal kemampuanmu” (QS. At Taghabun: 16).

Nabi Shallallahu’alahi Wasallam bersabda:

سدِّدوا وقارِبوا

Berbuat luruslah, (atau jika tidak mampu maka) mendekati lurus” (HR. Bukhari no. 6467).

Kaidah fikih yang disepakati ulama:

ما لا يدرك كله لا يترك كله

“Sesuatu yang tidak bisa digapai semuanya, maka tidak ditinggalkan semuanya”

Berikut ini tata cara shalat bagi orang yang kami ringkaskan dari penjelasan Syaikh Sa’ad bin Turki Al-Khatslan[4] dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin [5]:

1. Tata cara shalat orang yang tidak mampu berdiri

Orang yang tidak mampu berdiri, maka shalatnya sambil duduk. Dengan ketentuan sebagai berikut:

  • Yang paling utama adalah dengan cara duduk bersila. Namun jika tidak memungkinkan, maka dengan cara duduk apapun yang mudah untuk dilakukan.
  • Duduk menghadap ke kiblat. Jika tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat maka tidak mengapa.
  • Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam keadaan berdiri. Yaitu tangan di angkat hingga sejajar dengan telinga dan setelah itu tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri.
  • Cara rukuknya dengan membungkukkan badan sedikit, ini merupakan bentuk imaa` sebagaimana dalam hadits Jabir. Kedua telapak tangan di lutut.
  • Cara sujudnya sama sebagaimana sujud biasa jika memungkinkan. Jika tidak memungkinkan maka, dengan membungkukkan badannya lebih banyak dari ketika rukuk.
  • Cara tasyahud dengan meletakkan tangan di lutut dan melakukan tasyahud seperti biasa.

2. Tata cara shalat orang yang tidak mampu duduk

Orang yang tidak mampu berdiri dan tidak mampu duduk, maka shalatnya sambil berbaring. Shalat sambil berbaring ada dua macam:

a. ‘ala janbin (berbaring menyamping)

Ini yang lebih utama jika memungkinkan. Tata caranya:

  • Berbaring menyamping ke kanan dan ke arah kiblat jika memungkinkan. Jika tidak bisa menyamping ke kanan maka menyamping ke kiri namun tetap ke arah kiblat. Jika tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat maka tidak mengapa.
  • Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam keadaan berdiri. Yaitu tangan di angkat hingga sejajar dengan telinga dan setelah itu tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri.
  • Cara rukuknya dengan menundukkan kepala sedikit, ini merupakan bentuk imaa` sebagaimana dalam hadits Jabir. Kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
  • Cara sujudnya dengan menundukkan kepala lebih banyak dari ketika rukuk. Kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
  • Cara tasyahud dengan meluruskan tangan ke arah lutut namun jari telunjuk tetap berisyarat ke arah kiblat.

b. mustalqiyan (telentang)

Jika tidak mampu berbaring ‘ala janbin, maka mustalqiyan. Tata caranya:

  • Berbaring telentang dengan kaki menghadap kiblat. Yang utama, kepala diangkat sedikit dengan ganjalan seperti bantal atau semisalnya sehingga wajah menghadap kiblat. Jika tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat maka tidak mengapa.
  • Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam keadaan berdiri. Yaitu tangan diangkat hingga sejajar dengan telinga dan setelah itu tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri.
  • Cara rukuknya dengan menundukkan kepala sedikit, ini merupakan bentuk imaa` sebagaimana dalam hadits Jabir. Kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
  • Cara sujudnya dengan menundukkan kepala lebih banyak dari ketika rukuk. Kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
  • Cara tasyahud dengan meluruskan tangan ke arah lutut namun jari telunjuk tetap berisyarat ke arah kiblat.

3. Tata cara shalat orang yang tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya (lumpuh total)

Jika tidak mampu menggerakan anggota tubuhnya namun bisa menggerakkan mata, maka shalatnya dengan gerakan mata. Karena ini masih termasuk makna al-imaa`. Ia kedipkan matanya sedikit ketika takbir dan rukuk, dan ia kedipkan banyak untuk sujud. Disertai dengan gerakan lisan ketika membaca bacaan-bacaan shalat. Jika lisan tidak mampu digerakkan, maka bacaan-bacaan shalat pun dibaca dalam hati.

Jika tidak mampu menggerakan anggota tubuhnya sama sekali namun masih sadar, maka shalatnya dengan hatinya. Yaitu ia membayangkan dalam hatinya gerakan-gerakan shalat yang ia kerjakan disertai dengan gerakan lisan ketika membaca bacaan-bacaan shalat. Jika lisan tidak mampu digerakkan, maka bacaan-bacaan shalat pun dibaca dalam hati.

Demikian, semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan ‘afiyah dan salamah kepada pembaca sekalian, dan semoga Allah senantiasa menolong kita untuk tetap dapat beribadah dalam kondisi sakit. Wallahu waliyyu dzalika wal qadiru ‘alaihi.

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/37763-tata-cara-shalat-orang-yang-sakit.html

Fatwa Ulama: Apakah Orang Sakit Boleh Meninggalkan Shalat?

Fatwa Syaikh Shalih Al Fauzan

Soal:

Seseorang tidak shalat selama dua tahun setengah karena lumpuh yang dideritanya selama jangka waktu tersebut. Kemudian setelah itu ia dapat duduk dan melakukan sebagian gerakan yang mudah sehingga dapat kembali melakukan rutinitas shalat, dan puasa sesuai dengan kemampuan. Akan tetapi ia menderita selama dua tahun setengah karena meninggalkan shalat dan puasa selama rentang waktu tersebut dan ia tidak mampu untuk mengqadha’nya. Oleh karenanya amalan apa dan apa yang wajib atasnya?

Jawab:

Seseorang yang sakit shalat sesuai dengan kondisinya, yaitu dengan berdiri jika mampu atau duduk atau berbaring atau dengan isyarat lisan sementara kedua kakinya menghadap kiblat dengan memberi isyarat ruku’ dan sujud. Maka, meninggalkan shalat selama sakit adalah sebuah kesalahan bagi anda. Selama akal anda sehat dan masih bisa berpikir maka sesungguhnya anda wajib shalat sesuai dengan kedaan anda

{لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا‏}

Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya” (QS. Al Baqarah: 286).

Intinya, seseorang yang sakit boleh tidak meninggalkan shalat selama akalnya masih ada dan pikirannya sehat. Ia hendaknya shalat sesuai dengan kondisinya saat itu. Oleh karena itu, wajib atas anda untuk mengqadha shalat-shalat yang anda tinggalkan disertai taubat kepada Allah.

Sumber: http://islamancient.com/play.php?catsmktba=18822

***

Penerjemah: Andi Ihsan

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/26905-fatwa-ulama-apakah-orang-sakit-boleh-meninggalkan-shalat.html

Saatnya Kita Mengenal Nama Allah “asy-Syaafiy”

Di antara nama dari nama-nama Allah yang paling baik adalah الشافي (asy-Syaafiy), yang biasa diartikan “Maha menyembuhkan”. Mengilmuinya dengan benar, dapat menjadikan seseorang lebih mengenal Rabb-nya Ta’ala, dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari; khususnya dewasa ini yang banyak tersebar penyakit, dan membutuhkan penyembuhan. Berikut ini, sedikit pembahasan-pembahasan terkait dengan nama tersebut. 

Dalil Penetapan Nama “asy-Syaafiy”

Terdapat hadis dalam ash-Shahihain dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anhaa, bahwasanya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa meminta perlindungan kepada Allah untuk sebagian keluarganya, dengan mengusapkan tangan kanan beliau, sambil berdoa, 

اللهم رب الناس، أذهب الباس، واشفه وأنت الشافي، لا شفاء إلا شفاؤك، شفاء لا يغادر سقماً

Yaa Allah, Rabb seluruh manusia. Hilangkanlah penyakit ini, dan sembuhkanlah dia. Dan Engkaulah asy-Syaafiy, yang tidak ada kesembuhan melainkan hanya kesembuhan dari-Mu. (Sembuhkanlah dia) dengan kesembuhan yang tidak meninggalkan sedikitpun penyakit.” (HR. Bukhari 5351, dan Muslim 2191)

Makna “asy-Syaafiy”

Syaikh ‘Abdurrazzaaq bin ‘Abdul Muhsin al-Badr hafidzahullaah berkata,

ومعنى الشافي: الذي منه الشفاء، شفاء الصدور من الشبه والشكوك والحسد والحقد وغير ذلك من أمراض القلوب، وشفاء الأبدان من الأسقام والآفات، ولا يقدر على ذلك غيره، فلا شفاء إلا شفاؤه، ولا شافي إلا هو، كما قال إبراهيم الخليل عليه السلام: (وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ) [الشعراء: 180]، أي: هو وحده المتفرِّد بالشفاء لا شريك له

“Makna asy-Syaafiy adalah Dzat yang hanya dari-Nya segala kesembuhan. Baik berupa kesembuhan pada dada (hati) berupa syubhat, keraguan, hasad, kebencian, dan selainnya dari penyakit-penyakit hati; maupun kesembuhan pada badan berupa penyakit-penyakit dan cacat-cacat (di badan). Tidak ada yang mampu menyembuhkan kecuali Dia. Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Nya. Tidak ada penyembuh kecuali Dia. 

Hal ini sebagaimana ucapan Nabi Ibrahim al-Khaliil ‘alaihissalaam (yang Allah sebutkan dalam al-Quran),

وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ

(Apabila saya sakit, maka Dialah yang menyembuhkanku.)” 

Yaitu, hanya Dialah yang esa dalam kesembuhan, tidak ada sekutu pada-Nya.”

Kemudian beliau hafidzahullaah melanjutkan,

ولذ أوجب على كل مكلف أن يعتقد عقيدة جازمة أنه لا شافي إلا الله، وقد بين ذلك النبي صلى الله عليه وسلم بقوله: “لا شافي إلا أنت”

“Oleh karena itu, wajib atas setiap mukallaf untuk meyakini dengan keyakinan yang pasti (tanpa ada keraguan sedikitpun) bahwasanya tidak ada Penyembuh kecuali Allah. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan hal ini dalam sabdanya, “Tidak ada penyembuh kecuali Engkau.”  (Fiqhul Asmaail Husnaa hal. 321)

Bertawassul dengan Keesaan Allah dalam Mencari Kesembuhan

Di antara wasilah kepada Allah, dalam mencari kesembuhan dari penyakit adalah bertawassul kepada-Nya dengan keesaan rububiyyah-Nya. Dan sesungguhnya kesembuhan di tangan-Nya saja, dan tidak ada kesembuhan pada siapapun kecuali dengan izin-Nya. Segala urusan dan penciptaan merupakan hak Allah saja. Segala sesuatu adalah dengan pengaturan-Nya. Apa saja yang Dia kehendaki pasti terjadi; dan apa saja yang tidak Dia kehendaki, pasti tidak akan terjadi. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan Allah.

Hal ini berdasarkan pada hadis di awal pembahasan, dimana Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertawassul dengan rububiyah Allah sebelum memulai permintaan kesembuhan, dengan sabdanya,

اللهم رب الناس

Ya Allah, Rabb seluruh manusia.” (lihat selengkapnya di kitab Fiqhul Asmaail Husnaa hal. 322)

Perintah untuk Berobat

Keyakinan dan keimanan seorang hamba bahwasanya penyembuh hanyalah Allah saja, dan kesembuhan di tangan-Nya; bukanlah penghalang dari menempuh sebab-sebab yang bermanfaat, dengan berobat dan mencari kesembuhan, dan mengkonsumsi obat-obatan yang bermanfaat. Terdapat banyak hadis-hadis tentang perintah untuk berobat, dan penyebutan macam-macam obat-obatan yang bermanfaat. Hal itu tidak meniadakan tawakal kepada Allah, dan keyakinan bahwasanya kesembuhan di tangan-Nya.

Imam Bukhari telah meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya, dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

ما أنزل الله من داء إلا أنزل له شفاء

“Tidaklah Allah menurunkan penyakit apapun, kecuali Dia telah menurunkan baginya obat.” (HR. Bukhari 5354)

Dan dalam al-Musnad (Imam Ahmad), dari Usamah bin Syariik radhiyallaahu ‘anhu, dia mengatakan bahwasanya Rasulullah bersabda, 

إن الله لم ينزل داء إلا أنزل له شفاء، علمه من علمه، وجهله من جهله

Sungguh, tidaklah Allah menurunkan penyakit, kecuali Dia menurunkan baginya obat. Sebagian orang mengetahui obat tersebut, dan sebagian lainnya tidak mengetahuinya.” (HR. Ahmad 4: 278, Abu Dawud 3855, Ibnu Hibban 486, al-Hakim 1: 121, dan selain mereka; dengan sanad yang shahih)

Kita memohon kepada Allah yang Maha Mulia, Rabb seluruh manusia, Penghilang penyakit. Maha Menyembuhkan, yang tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Nya; supaya Dia menyembuhkan orang-orang yang sakit di antara kita, dan orang-orang yang sakit dari kaum muslimin seluruhnya. 

***

Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55203-saatnya-kita-mengenal-nama-allah-asy-syaafiy.html

Kemenag Tunggu Kebijakan Saudi Terkait Haji

Kasubdit Kepala Subdirektorat Perizinan, Akreditasi, dan Bina Penyelenggara Ibadah Haji Khusus Kemenag Mulyo Widodo mengatakan belum ada kebijakan khusus untuk jamaah haji khusus terkait penyebaran virus corona.

“Kami masih menunggu keputusan dari Saudi terkait kebijakan lainnya untuk perjalanan haji dan adanya virus corona ini,” ujar dia kepada Republika.co.id, Ahad (15/3).

Kemenag hanya mengimbau jamaah haji khusus selalu menjaga kesehatan terutama dari tertularnya virus corona. Kemenag telah menyurati seluruh Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) dan Bank Penerima Setoran Biaya Penyelenggaran Ibadan Haji (BPS-BPIH) untuk menyampaikan kepada jamaah haji khusus tetap melakukan pelunasan BPIH Khusus sesuai dengan waktu yang telah ditentukan meski masih diberlakukannya penghentian sementara ibadah umrah dan ziarah ke Arab Saudi.

Kemenag saat ini masih menunggu informasi lebih lanjut dari Pemerintah Kerajaan Arab Saudi tentang kebijakan pencabutan penghentian sementara ibadah umrah dan ziarah. Jadwal pelaksanaan pelunasan BPIH Khusus ini tahap pertama berlangsung mulai 16 hingga 27 Maret 2020. Tahap kedua mulai 14 sampai 22 Maret 2020. Pelunasan bagi petugas PIHK dilakukan 11-15 Maret 2020.

IHRAM