Mengenali Dukhan Tanda Kiamat Besar

Mengenali Dukhan Tanda Kiamat Besar

Secara bahasa dukhon bermakna asap. Lantas dukhon yang bagaimana yang menjadi salahsatu tanda kiamat? Apakah asap meteor seperti kata seorang penceramah akhir zaman? Atau asap gunung meletus atau asap yang bagaimana?

Pembicaraan Mengenai Hari Kiamat

Ketika sahabat Hudzaifah bin Usaid dan sejumlah sahabat lainnya, sedang ngobrol tentang hari kiamat, Nabi ﷺ datang mendekati mereka, kemudian menanyakan,

ﻣﺎ ﺗﺬﻛﺮﻭﻥ؟

Sedang mengingat apa kalian?”

ﻧﺬﻛﺮ اﻟﺴﺎﻋﺔ

“Kami sedang bersama mengingat tentang hari kiamat…” Jawab Hudzaifah.

Mengingat tema yang sedang diobrolkan tentang kiamat, ini menjadi mementum yang pas bagi Nabi ﷺ menyampaikan ilmu tentang hari kiamat. Beliau bersabda,

ﺇﻧﻬﺎ ﻟﻦ ﺗﻘﻮﻡ ﺣﺘﻰ ﺗﺮﻭا ﻗﺒﻠﻬﺎ ﻋﺸﺮ ﺁﻳﺎﺕ، ﻓﺬﻛﺮ اﻟﺪﺧﺎﻥ، ﻭاﻟﺪﺟﺎﻝ، ﻭاﻟﺪاﺑﺔ، ﻭﻃﻠﻮﻉ اﻟﺸﻤﺲ ﻣﻦ ﻣﻐﺮﺑﻬﺎ، ﻭﻧﺰﻭﻝ ﻋﻴﺴﻰ ﺑﻦ ﻣﺮﻳﻢ، ﻭﻳﺄﺟﻮﺝ ﻭﻣﺄﺟﻮﺝ، ﻭﺛﻼﺛﺔ ﺧﺴﻮﻑ، ﺧﺴﻒ ﺑﺎﻟﻤﺸﺮﻕ، ﻭﺧﺴﻒ ﺑﺎﻟﻤﻐﺮﺏ، ﻭﺧﺴﻒ ﺑﺠﺰﻳﺮﺓ اﻟﻌﺮﺏ، ﻭﺁﺧﺮ ﺫﻟﻚ ﻧﺎﺭ ﺗﻄﺮﺩ اﻟﻨﺎﺱ ﺇﻟﻰ ﻣﺤﺸﺮﻫﻢ

Kalian tidak akan pernah melihat hari kiamat sehingga kalian melihat 10 pertandanya. Yaitu munculnya Dukhon (asap), Dajjal, dabbah, terbitnya matahari dari barat, turunnya Nabi Isa bin Maryam, Yajuj Majuj, tiga musibah terbenamnya tanah yaitu di tanah Timur, di tanah barat dan di Jazirah Arab dan akhir dari pertanda kiamat tersebut adalah terdapat api yang menggiring umat manusia pada tempat di mereka bangkitkan”. (HR. Muslim)

Hadis inilah penafsir atau penjelas untuk ayat,

فَٱرۡتَقِبۡ يَوۡمَ تَأۡتِي ٱلسَّمَآءُ بِدُخَانٖ مُّبِينٖ
يَغۡشَى ٱلنَّاسَۖ هَٰذَا عَذَابٌ أَلِيمٞ

Maka tunggulah pada hari ketika langit membawa kabut yang tampak jelas. yang meliputi manusia. Inilah azab yang pedih. (QS. Ad-Dukhan: 10 – 11)

(Lihat penjelasannya di Tafsir Ibnu Katsir 7/245- 247, Tafsir Qurtubi 19/105-107)

Secara bahasa dukhon bermakna asap. Lantas dukhon yang bagaimana yang menjadi salahsatu tanda kiamat? Apakah asap meteor seperti kata seorang penceramah akhir zaman? Atau asap gunung meletus atau asap yang bagaimana?

Mari kita bahas di sini pada pembaca yang dimuliakan Allah…

Perbedaan Pendapat Ulama

Ada perbedaan pendapat ulama tentang dukhon yang dimaksud :

Pertama, kabut yang menimpa kaum Quraisy.

Yaitu kabut yang terjadi saat mereka ditimpa kekeringan dan kelaparan, karena doa Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, disebabkan kesombongan mereka kepada ajaran Allah. Ketika mereka melihat ke langit, tergambar di mata mereka seakan berkabut, akibat lapar yang sangat.

Pendapat ini dipilih oleh sahabat Ibnu Mas’ud. Kemudian diikuti oleh sejumlah ulama. (Tafsir Ibnu Katsir 7/247)

Dinilai kuat oleh Imam Ibnu Jarir At-Thobari.

Imam Bukhari menyebutkan riwayat sahabat Ibnu Mas’ud tentang ini. Ketika seorang dari Kindah berbicara tentang dukhon, “Nanti di hari kiamat akan muncul dukhon yang akan menulikan pendengaran orang-orang munafik dan membutakan mata mereka.”

Mendengar ucapan ini, sahabat Ibnu Mas’ud marah,

” من علم فليقل، ومن لم يعلم؛ فليقل : الله أعلم؛ فإن من العلم أن يقول لما لا يعلم: لا أعلم؛ فإن الله قال لنبيه : ” قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنْ الْمُتَكَلِّفِينَ (86) ”  [ص: 86] وإن قريشًا أبطؤوا عن الإسلام، فدعا عليهم النبي صلى الله عليه وسلم فقال : ” اللهم أعني عليهم بسبع كسبع يوسف “، فأخذتهم سنة حتى هلكوا فيها، وأكلوا الميتة والعظام، ويرى الرجل ما بين السماء والأرض كهيئة الدُّخان.

“Siapa yang tahu ilmunya, silahkan bicara. Namun siapa tidak tahu, maka katakan saja “Allahua’lam (Allah lebih yang tahu)”. Karena Allah pernah berfirman kepada NabiNya,

قُلۡ مَآ أَسۡـَٔلُكُمۡ عَلَيۡهِ مِنۡ أَجۡرٖ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلۡمُتَكَلِّفِينَ

Katakanlah (Muhammad), “Aku tidak meminta imbalan sedikit pun kepadamu atasnya (dakwahku); dan aku bukanlah termasuk orang yang mengada-ada. (QS. Shad : 86)

Dahulu orang-orang Quraisy lambat menerima Islam. Lantas Nabi ﷺ mendoakan keburukan untuk mereka.

“Ya Allah tolonglah aku atas perlawanan mereka dengan masa paceklik yang pernah menimpa Nabi Yusuf.”

Akibat doa ini, mereka ditimpa kekeringan dan kelaparan selama satu tahun. Sampai membinasakan mereka. Mereka sampai memakan bangkai dan tulang belulang. Orang-orang ketika itu, memandangi langit seperti kabut.”

Kesimpulannya menurut pendapat ini, dukhon adalah asap berupa khayalan di pandangan mata saja. Bukan asap yang nyata.

Kedua, asap tanda kiamat yang akan muncul mendekati kiamat.

Pendapat ini dipegang oleh Ibnu Abbas dan sebagian sahabat dan taabi’in.

Dari Ibnu Abi Mulaikah, dia berkata, “Suatu hari, aku menemui Ibnu Abbas di waktu pagi. Dia berkata,

ما نمت الليلة حتى أصبحت

“Aku tidak tidur tadi malam hingga subuh.”

Aku bertanya, “Mengapa?”

Beliau bercerita,

طلع الكوكب ذو الذنب، فخشيت أن يكون الدُّخان قد طرق، فما نمت حتى أصبحت

“Bintang berekor telah terbit. Aku khawatir dukhan telah muncul. Ini yang membuatku tidak bisa tidur hingga subuh.” (HR. Hakim)

Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan status riwayat di atas sebagai riwayat yang shahih,

وهذا إسنادُ صحيح إلى ابن عباس حبر الأمة، وترجمان القرآن، وهكذا قول من وافقه من الصحابة والتابعين أجمعين، مع الأحاديث المرفوعة من الصحاح والحسان وغيرها

“Ini adalah sanad yang shahih sampai kepada Ibnu Abas tintanya umat, penerjemah Al-Qur`an. pendapat ini juga disepakati oleh sejumlah sahabat dan tabi’in. Didukung oleh hadits-hadits shahih maupun hasan dan lainnya.” (Tafsir Ibnu Katsir 7/249)

Pendapat yang Rajih

Wallahua’lam, pendapat yang kuat adalah pendapat kedua. Dukhon adalah asap yang akan muncul sebelum tiba hari kiamat, sebagai tanda kiamat besar. Alasannya adalah berikut :

[1] firman Allah ta’ala,

يَغۡشَى ٱلنَّاسَۖ هَٰذَا عَذَابٌ أَلِيمٞ

Kabut itu meliputi seluruh manusia. Inilah azab yang pedih.” (QS. Ad-Dukhon: 11)

Allah mengabarkan dalam ayat ini, kabut tersebut akan meliputi seluruh manusia. Jika kabut itu hanya menimpa kaum Quraisy, maka tidak disebut meliputi seluruh manusia. Karena hanya menimpa sekelompok orang saja.

Sebagaimana keterangan dari Imam Ibnu Katsir rahimahullah,

يَغْشَى النَّاسَ ” أي : يتغشَّاهم ويعمُّهم، ولو كان أمرًا خياليًا يخصُّ أهل مكة المشركين؛ لما قيل فيه : “يَغْشَى النَّاسَ

Kabut itu meliputi manusia.” Maksudnya meliputi seluruh mereka dan menimpa manusia pada umumnya. Kalau seandainya yang dimaksud dukhon itu hanyalah asap khayalan yang menimpa kaum musyrikin penduduk Makkah saja, maka tentu tidak akan disebut meliputi manusia. (Tafsir Ibnu Katsir 7/249-250)

[2] Nabi ﷺ menyebut dukhon sebagai tanda kiamat besar.

ﺇﻧﻬﺎ ﻟﻦ ﺗﻘﻮﻡ ﺣﺘﻰ ﺗﺮﻭا ﻗﺒﻠﻬﺎ ﻋﺸﺮ ﺁﻳﺎﺕ، ﻓﺬﻛﺮ اﻟﺪﺧﺎﻥ، ﻭاﻟﺪﺟﺎﻝ، ﻭاﻟﺪاﺑﺔ، ﻭﻃﻠﻮﻉ اﻟﺸﻤﺲ ﻣﻦ ﻣﻐﺮﺑﻬﺎ، ﻭﻧﺰﻭﻝ ﻋﻴﺴﻰ ﺑﻦ ﻣﺮﻳﻢ، ﻭﻳﺄﺟﻮﺝ ﻭﻣﺄﺟﻮﺝ، ﻭﺛﻼﺛﺔ ﺧﺴﻮﻑ، ﺧﺴﻒ ﺑﺎﻟﻤﺸﺮﻕ، ﻭﺧﺴﻒ ﺑﺎﻟﻤﻐﺮﺏ، ﻭﺧﺴﻒ ﺑﺠﺰﻳﺮﺓ اﻟﻌﺮﺏ، ﻭﺁﺧﺮ ﺫﻟﻚ ﻧﺎﺭ ﺗﻄﺮﺩ اﻟﻨﺎﺱ ﺇﻟﻰ ﻣﺤﺸﺮﻫﻢ

“Kalian tidak akan pernah melihat hari kiamat sehingga kalian melihat 10 pertandanya. Yaitu munculnya dukhon (asap), Dajjal, dabbah, terbitnya matahari dari barat, turunnya Nabi Isa bin Maryam, Yajuj Majuj, tiga musibah terbenamnya tanah yaitu di tanah Timur, di tanah barat dan di Jazirah Arab dan akhir dari pertanda kiamat tersebut adalah terdapat api yang menggiring umat manusia pada tempat di mereka bangkitkan”. (HR. Muslim)

Menunjukkan kemunculan dukhon, terjadi saat mendekati Kiamat.

[3] dalam Al-Qur’an diterangkan, bahwa asap tersebut berupa asap yang nyata, bukan sekedar khayalan.

فَٱرۡتَقِبۡ يَوۡمَ تَأۡتِي ٱلسَّمَآءُ بِدُخَانٖ مُّبِينٖ

Maka tunggulah pada hari ketika langit membawa kabut yang tampak jelas. (QS. Ad-Dukhan: 10)

[4] hadis tentang kisah Ibnu Shoyyad.

Dalam Shahih Bukhori dan Shahih Muslim disebutkan kisah Rasulullah ﷺ dengan seorang dukun beragama Yahudi bernama Ibnu Shoyyad. Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda,

إني خبأت لك خبئًا

“Sesungguhnya aku menyembunyikan sesuatu untukmu.”

Ibnu Shoyyad menanggapi,

هو الدُّخ

“Yang Anda sembunyikan adalah dukh (asap).”

Beliau bersabda,

اخسأ؛ فلن تعدو قدرك

Tetaplah di tempatmu. Kamu tidak akan melampaui batasmu.

Kemudian Nabi ﷺ membacakan ayat,

فَٱرۡتَقِبۡ يَوۡمَ تَأۡتِي ٱلسَّمَآءُ بِدُخَانٖ مُّبِينٖ

Maka tunggulah pada hari ketika langit membawa kabut yang tampak jelas. (QS. Ad-Dukhan: 10)

(HR. Muttafaqun ‘Alaihi).

Dijelaskan oleh hadis serta ayat yang dibaca oleh Nabi di atas, bahwa tanda kiamat berupa dukhon masih ditunggu. Ini menunjukkan tanda ini belum tiba di saat Nabi bersabda ini. Lebih-lebih lagi, kisah ini terjadi setelah hijrahnya Nabi ke kota Madinah. Ini menunjukkan bahwa pendapat pertama di atas, kurang tepat.

Diterangkan dalam kitab Al-‘Aqoid As-Salafiyah,

وأما ما فسر به ابن مسعود رضى الله عنه ؛ فإن ذلك من كلامه، والمرفوع مقدم على كل موقوف

“Adapun penafsiran yang disebutkan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu, itu adalah pendapat beliau. Dan hadis Nabi, lebih berhak didahulukan daripada pendapat sahabat.” (Al-‘Aqoid As-Salafiyah Bi Adillatiha An-Naqliyah Wal ‘Aqliyah, 2/469)

Wallahua’lam bis showab.

Ditulis oleh : Ahmad Anshori

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56583-mengenali-dukhan-tanda-kiamat-besar.html

Apa dan Siapa yang Paling Berharga?

BANYAK yang berburu barang-barang berharga yang kalau dimilikinya menjadikan pemiliknya menjadi manusia superkaya. Banyak juga yang berupaya menjadi manusia paling berharga yang biasanya ujung-ujungnya mengantarkan dirinya menjadi pusat perhatian dan pujian. Apakah sesungguhnya yang menentukan sesuatu atau seseorang itu berharga atau tidak?

Emas permata barangkali sudah lumrah dianggap sebagai barang berharga. Namun bagi orang yang akan tenggelam di sungai luas atau di lautan, ban dalam truck jauh adalah lebih berharga dibandingkan emas permata yang dipersembahkan seseorang di saat akan tenggelam itu.

Olahragawan kelas dunia yang selalu tampil memukau di TV mungkin dipandang sangat berharga oleh para fans nya. Namun bagi orang yang sedang sakit, termasuk penggemanya yang sedang sakit, tenaga medis adalah yang paling berharga dan paling diharap. Dari dua contoh di atas tampak sekali bahwa keberhargaan sesuatu itu ditentukan oleh KEBUTUHAN banyak orang akan keberadaan atau kehadirannya.

Bagi orang kampung di atas gunung, mobil mewah bukanlah kendaraan berharga. Kendaraan berharga bagi mereka adalah dokar dengan kuda jantan yang sehat dan kuat. Bagi santri, pemilik beberapa jabatan bukanlah orang yang lebih berharga dibandingkan gurunya yang mengajarkan huruf hijaiyah dan menuntunnya ke jalan yang lurus menuju surga. Semua adalah bergantung pada “siapa membutuhkan apa.”

Nah, sekarang tiba pada satu pertanyaan paling penting untuk kebahagiaan hakiki kita, yakni apakah yang paling kita butuhkan dalam hidup ini? Siapakah yang paling kita butuhkan dalam hidup ini? Sudahkan kita berupaya kuat untuk mendapatkannya dan untuk mendekat kepada yang paling kita butuhkan? Jawaban akan pertanyaan ini merupakan jawaban sesungguhnya atas pertanyaan kita “Apa dan Siapa yang berharga bagi saya dalam hidup ini.”

Kita membutuhkan ridla Allah SWT dan syafaat Rasulullah Muhammad SAW. Dengan ridla Allah dan syafaat Rasulullah, semuanya langsung selesai tanpa ada sedih dan derita Sudahkah kita berbuat untuk menggapai ridlaNya dan syafaatnya? Sudahkah kita mendekat kepada Allah dan mencintai/merindukan Rasulullah. Bulan Ramadhan adalah madrasah ruhani dan apotek jiwa. Mari kita belajar dan mencari obat untuk jiwa kita. Salam, AIM. [*]

INILAH MOZAIK

Rasul Habiskan 10 Terakhir Ramadan dengan Ibadah

BENARKAH selama 10 malam terakhir Ramadan umat Islam dilarang melakukan hubungan badan?

Tidak seperti itu. Allah telah menghalalkan bagi umat Islam untuk melakukan hubungan badan di malam Ramadan. Allah berfirman,

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.” (QS. al-Baqarah: 187).

Dalam ayat di atas, Allah halalkan hubungan badan pada lailatas shiyam []. Kata lailah adalah isim jenis yang menunjukkan makna seluruh malam. Sehingga ayat ini dalil boleh melakukan hubungan badan sepanjang malam puasa ramadhan. Artinya, itu berlaku sampai akhir ramadan.

Kecuali bagi orang itikaf, mereka dilarang melakukan hubungan badan, karena bisa membatalkan itikafnya.

Allah berfirman, “Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beritikaf dalam mesjid.” (QS. al-Baqarah: 187).

Nabi Shallallahu alaihi wa sallam Mengencangkan Ikat Pinggangnya? Menurut keterangan Aisyah Radhiyallahu anha, ketika masuk 10 terakhir ramadan, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam lebih rajin lagi dalam beribadah. Aisyah mengatakan,

“Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ketika masuk 10 terakhir ramadan, beliau mengencangkan sabuknya, menghabiskan malamnya dengan ibadah, dan membangunkan para istrinya (untuk ibadah). (HR. Bukhari 2024).

Ada beberapa keterangan ulama tentang makna keterangan Aisyah Radhiyallahu anha, “mengencangkan sabuknya”,

– Dimaknai secara hakiki. Artinnya, beliau benar-benar mengencangkan sabuknya.

– Dipahami sebagai kalimat kiasan, untuk mengungkapkan dua hal, yakni

– Menjauhi hubungan badan, dan atau menghabiskan waktu untuk fokus ibadah

Mengapa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menjauhi istrinya di 10 malam terakhir Ramadan? Ada yang mengatakan, karena beliau sedang itikaf. Ada juga yang mengatakan, itu terjadi di luar itikaf. Yang kedua ini merupakan pendapat al-Qurthubi. (Fathul Bari, 4/269)

Namun apapun itu, apa yang beliau lakukan bukan dalam rangka melarang umatnya untuk melakukan hubungan badan di 10 malam terakhir ramadan. Namun untuk karena kesungguhan beliau dalam beribadah ketika itu, hingga beliau tinggalkan hubungan badan. Allahu alam.[]

INILAH MOZAIK

Menyegerakan Berbuka, Mengakhirkan Makan Sahur

TIGA akhlak ini kalau kita miliki berarti sudah memiliki tiga akhlak nubuwwah. Ingat, tiga hal tersebut mudah dilakukan. Dari Abu Ad-Darda radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga akhlak nubuwwah: Menyegerakan buka puasa; Mengakhirkan makan sahur; Meletakkan tangan kanan di depan tangan kiri (saat sedekap) dalam shalat.

(HR. Ath-Thabrani dalam Al-Kabir secara marfu dan mawquf. Hadits itu secara mawquf yakni perkataan Abu Ad-Darda- dihukumi shahih. Sedangkan hadits itu secara marfu-sampai pada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dinilai dhaif karena ada perawi yang tidak dikenal biografinya. Hadits tersebut dikeluarkan pula oleh Ath-Thabrani dalam Al-Kabir tanpa menyebutkan bilangan tiga, kesimpulannya perawinya baik)

Beberapa faedah dari hadits di atas yang bisa diambil:

  1. Hadits di atas menunjukkan keutamaan menyegerakan buka puasa, tidak menunda-nundanya hingga gelap malam. Kita dianjurkan berbuka ketika telah nyata tenggelamnya matahari.
  2. Menyegerakan berbuka puasa menunjukkan seseorang bersemangat dan bersegera dalam melakukan kebaikan. Dan memang dalam melakukan kebaikan, kita dituntut untuk bersegera.
  3. Hadits di atas menunjukkan keutamaan mengakhirkan waktu makan sahur, yaitu di akhir malam, dekat dengan terbit fajar Shubuh. Mengakhirkan makan sahur akan membuat seseorang lebih kuat berpuasa. Di samping itu, mengakhirkan makan sahur akan menghindarkan diri dari tidur setelah makan sahur yang sering membuat seseorang luput dari shalat Shubuh yang keutamaannya sangat-sangat luar biasa.
  4. Mengakhirkan makan sahur menunjukkan seseorang mencari sebab untuk melakukan ketaatan pada Allah, yaitu supaya lebih kuat dalam menjalankan puasa.
  5. Hadits di atas juga menunjukkan anjuran saat shalat untuk bersedekap dengan meletakkan tangan kanan di depan tangan kiri.
  6. Meletakkan tangan kanan di depan tangan kiri menunjukkan ketawadhuan seseorang (rendah hati), ketenangan (sakinah), dan kepasrahan pada Allah.

Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat. [Muhammad Abduh Tuasikal]

INILAH MOZAIK

Doa yang Diajarkan Rasulullah pada Malam Lailatul Qadar dan Kandungannya

Bagaimana doa yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam Lailatul Qadar? Bagaimana kandungan doa tersebut?

Doa yang diajarkan Rasulullah pada malam lailatul qadar

Hadits yang membicarakan doa ini adalah sebagai berikut.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَىُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ  قُولِى اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Aku pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu jika saja aku tahu bahwa suatu malam adalah malam lailatul qadar, lantas apa doa yang mesti kuucapkan?” Jawab Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berdoalah: ALLAHUMMA INNAKA ‘AFUWWUN TUHIBBUL ‘AFWA FA’FU ’ANNII (artinya: Ya Allah, Engkau Maha Memberikan Maaf dan Engkau suka memberikan maaf—menghapus kesalahan–, karenanya maafkanlah aku—hapuslah dosa-dosaku–).” (HR. Tirmidzi, no. 3513 dan Ibnu Majah, no. 3850. Abu ‘Isa At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan sahih. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Perbedaan Al-‘Afwu dan Al-Maghfirah

Keduanya kalau mau diterjemahkan hampir sama, yaitu ampunan.

Al-‘afwu ini ada dalam doa:

ALLAHUMMA INNAKA ‘AFUWWUN TUHIBBUL ‘AFWA FA’FU’ANNI (artinya: Ya Allah, Engkau Maha Memberikan Maaf dan Engkau suka memberikan maaf—menghapus kesalahan–, karenanya maafkanlah aku—hapuslah dosa-dosaku–)

Al-maghfirah itu ada dalam kalimat:

ASTAGH-FIRULLAH (artinya: Aku memohon ampunan kepada Allah).

Imam Abu Hamid Al-Ghazali rahimahullah mengatakan,

الْعَفوّ : هُوَ الَّذِي يمحو السَّيِّئَات ، ويتجاوز عَن الْمعاصِي ، وَهُوَ قريب من الغفور ، وَلكنه أبلغ مِنْهُ، فَإِن الغفران يُنبئ عَن السّتْر، وَالْعَفو يُنبئ عَن المحو، والمحو أبلغ من السّتْر

“Al-‘afuwwu (Maha Memberikan Maaf) artinya Allah itu menghapuskan kesalahan-kesalahan dan memaafkan maksiat yang diperbuat. Kata al-‘afuwwu (Maha Memberikan Maaf) dengan kata al-ghafur (Maha Pengampun) hamper semakna, namun makna al-‘afuwwu lebih luar biasa kandungannya. Karena al-ghufraan (pengampunan dosa) yang dimaksud adalah menutupi dosa, sedangkan al-‘afwu yang dimaksud adalah menghapus dosa. Menghapus dosa tentu saja lebih luar biasa kandungan maknanya dibanding dengan menutupi dosa.” (Al-Maqshad Al-Asna, hlm. 140)

Akan tetapi, ada pendapat lainnya yang menyatakan bahwa makna al-maghfirah (mengampuni) lebih luar biasa dibanding al-‘afwu (memaafkan, menghapus). Al-maghfirah bermakna menutupi, menggugurkan hukuman, dan meraih pahala. Sedangkan al-‘afwu tidak berakibat menutupi dosa dan meraih pahala.

Adapun menyatakan bahwa maghfirah (mengampuni) itu berarti memaafkan dosa, namun dosa tersebut masih ada dalam catatan amal; sedangkan ‘afwu (memaafkan, menghapus dosa) berarti memaafkan dosa dan membuat dosa itu terhapus dari catatan amal; pendapat ini tidak berdalil.

Lihat bahasan Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid dalam Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 236863.

Amalan kita masih serba kurang walau kita merasa sudah maksimal dalam beribadah

Ibnu Rajab rahimahullah memberi penjelasan menarik,

و إنما أمر بسؤال العفو في ليلة القدر بعد الإجتهاد في الأعمال فيها و في ليالي العشر لأن العارفين يجتهدون في الأعمال ثم لا يرون لأنفسهم عملا صالحا و لا حالا و لا مقالا فيرجعون إلى سؤال العفو كحال المذنب المقصر

“Sesungguhnya perintah memohon al-‘afwu (pemaafan, penghapusan dosa) pada malam lailatul qadar setelah kita bersungguh-sungguh beramal di dalamnya dan di sepuluh hari terakhir Ramadhan, ini semua agar kita tahu bahwa orang yang arif (cerdas) ketika sungguh-sungguh dalam beramal, ia tidak melihat amalan yang ia lakukan itu sempurna dari sisi amalan, keadaan, maupun ucapan. Karenanya ia meminta kepada Allah al-‘afwu (pemaafan) seperti keadaan seseorang yang berbuat dosa dan merasa penuh kekurangan.”

Yahya bin Mu’adz pernah berkata,

ليس بعارف من لم يكن غاية أمله من الله العفو

“Bukanlah orang yang arif (bijak) jika ia tidak pernah mengharap pemaafan (penghapusan dosa) dari Allah.” (Dinukil dari Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 362-363)

Semoga Allah memberikan kita pengampunan dan pemaafan.

Referensi:

Latha-if Al-Ma’arif. Cetakan pertama, Tahun 1428 H Ibnu Rajab Al-Hambali. Penerbit Al-Maktab Al-Islamy. hlm. 362-363.

Fatawa Al-Islam Sual wa Jawabno. 236863. Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid.


Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/24407-doa-yang-diajarkan-rasulullah-pada-malam-lailatul-qadar-dan-kandungannya.html

Bisakah Meraih Lailatul Qadar di Rumah?

Sebentar lagi kita akan memasuki Al ‘Asyru Al Awakhir (10 hari terakhir) Ramadhan. Dan itu berarti Ramadhan sudah memasuki babak akhir dan akan segera berakhir. Para juara Ramadhan yang berhak disematkan gelar takwa justru akan ditentukan pada sepuluh hari terakhir Ramadhan ini, karena di dalamnya, kata Nabi Muhammad SAW termasuk terjadi Lailatul Qadar.

Ibnu Rajab berkata, “Wahai hamba-hamba Allah, sungguh bulan Ramadhan ini akan segera pergi dan tidaklah tersisa darinya kecuali sedikit. Maka barang siapa telah mengisinya dengan baik, hendaklah menyempurnakannya. Dan siapa yang belum maksimal mengisinya dengan baik, hendaklah ia mengakhirinya dengan (amal-amal) yang baik.”

Ibnul Jauzi berkata, “Sesungguhnya kuda pacu apabila sudah mendekati garis finis, ia akan mengerahkan seluruh tenaganya untuk memenangkan lomba. Maka jangan sampai Anda kalah cerdas dari kuda, karena sesungguhnya amalan itu ditentukan oleh penutupnya. Jika anda belum menyambut Ramadhan dengan baik, paling tidak Anda dapat melepasnya dengan baik.”

Maka, bagi yang ingin meraih sukses Ramadhan dan memperoleh Lailatul Qadar, tidak ada kata lain selain meningkatkan kesungguhan beribadah dan melipatgandakan dalam memproduksi amal salih di sepuluh hari terakhir Ramadhan.

Namun, di tengah pandemi Covid-19, dan guna mencegah penyebaran virus corona, kita semua diperintah untuk di rumah saja, sehingga kita tidak bisa beribadah iktikaf di masjid, padahal iktikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan sangat dianjurkan (sunnah muakkadah). Amalan mulia yang tidak pernah ditinggalkan Rasulullah SAW.

Sebagaimana penuturan Aisyah RA dalam hadits sahih, bahwa Rasulullah selalu iktikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, bahkan pada tahun beliau wafat, beliau iktikaf 20 hari. Apakah kita bisa tetap meraih Lailatul Qadar di rumah, tanpa iktikaf di masjid?

Insya Allah bisa. Iktikaf di Masjid pada malam-malam sepuluh hari terakhir Ramadhan adalah salah satu cara dan langkah yang baik dan potensial menghidupkan malam-malam itu dengan ibadah guna meraih Lailatul Qadar. Namun, iktikaf bukan satu-satunya cara meraih Lailatul Qadar. Sebab, rukun iktikaf itu ada dua; niat taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dan berdiam di masjid.

Maka, dengan berniat dan bertekad untuk iktikaf di masjid, namun karena terhalang wabah virus corona, sehingga kita lakukan di rumah, dan dengan menghidupkan malam-malam sepuluh terakhir Ramadhan dengan beragam ibadah, seperti dengan memperbanyak salat qiyamullail (tahajud), tilawah, sedekah, zikir, dan doa mudah-mudahkan kita tetap mendapatkan pahala iktikaf di masjid.

Sebab, Nabi SAW bersabda, “Maka barangsiapa yang berkeinginan kuat melakukan suatu kebaikan, namun tidak melakukannnya (seperti karena terhalang wabah atau lainnya), Allah akan tetap mencatat di sisi-Nya, sebagai kebaikan yang sempurna.”

Selain itu, masih ada beberapa tips dan langkah lain untuk meraih Lailatul Qadar, di antaranya; pertama, mengenal hakikat Lailatul Qadar. Makna Al Qadr adalah At Ta’zhim, malam yang penuh keagungan dan keistimewaan sehingga orang yang menghidupkannya memiliki keagungan dan keistimewaan. Juga At Tadhyiiq, yaitu dirahasiakan mengetahui kepastian waktunya, atau karena bumi disesaki oleh para malaikat. Diatur pada malam itu semua urusan sepanjang masa.

Adapun keutamaan dan keistimewaan Lailatul Qadar: malam diturunkannya Al Quran; pengagungan Allah terhadapnya dengan firman-Nya; disifati sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan; turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril membawa berkah dan rahmat; penuh keselamatan dan kesejahteraan sehingga setan tidak dapat berbuat keburukan; dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, seperti hidup, mati, rezeki, untung, rugi.

Waktu Lailatul Qadar dirahasiakan oleh Allah agar para hamba-Nya bersungguh-sungguh untuk mencarinya. Hanya saja Nabi SAW memberitakan bahwa kemungkinan besar hal itu terjadi pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Dan lebih besar lagi kemungkinannya di malam-malam ganjil, dan dari malam-malam ganjil itu, malam kedua puluh tujuh lebih besar lagi kemungkinannya, bahkan Ubay bi Ka’ab sampai bersumpah tentang ini.

Namun, semua itu tetap bagian dari tafaa’ul (optimisme). Kemudian sebagian ulama menguatkan bahwa hal ini bisa berganti-ganti tiap tahun. Bagi Rasulullah, langkah ini ditandai dengan turunnya surat Al Qadr. Melalui surat ini Allah mengenalkan kepada Rasul-Nya Lailatul Qadar dan keutamaan-keutamaannya. Karenanya, mengenal hakikat Lailatul Qadar adalah sebuah keniscayaan jika kita ingin keluarga kita menjadi peraih ‘medali’ malam yang lebih baik dari seribu bulan.

Kedua, menata niat dalam menggapai Lailatul Qadar. Ketiga, melipatgandakan kesungguhan dari malam-malam sebelumnya. Keempat, menghidupkan malam-malam itu dengan ibadah. Begitulah yang dilakukan oleh Rasulullah, sebab jika pada 20 hari pertama Ramadhan, beliau masih mencampur salat dan tidur, namun pada 10 hari terakhir Ramadhan beliau menghidupkan mayoritas malamnya dengan ibadah dan menyedikitkan tidur.

Kelima, membangunkan keluarga. Rasulullah SAW memuji suami-istri yang selalu bekerja sama dalam taat kepada Allah sebagaimana sabdanya: “Semoga Allah merahmati suami yang bangun malam menunaikan salat (tahajud) dan membangunkan istrinya. Jika ia enggan, dicipratkan air ke wajahnya. Semoga Allah merahmati istri yang bangun malam menunaikan salat dan membangunkan suaminya. Jika ia enggan, dicipratkan air ke wajahnya.”

Adalah kebiasaan Rasulullah membangunkan istrinya Aisyah jika beliau selesai tahajud dan sebelum mengerjakan salat witir. Dalam riwayat yang sahih diceritakan bahwa Nabi SAW pada malam-malam sepuluh hari terakhir Ramadhan membangunkan keluarganya, seperti suatu malam beliau pernah mengetuk pintu rumah putrinya Fathimah dan suaminya Ali bin Abu Thalib sambil mengatakan: “Tidakkah kalian berdua bangun untuk mengerjakan salat?”

Hal ini juga dilakukan oleh para sahabat. Disebutkan dalam kitab Al Muwaththa’ karya Imam Malik bahwasanya Umar bin Khaththab mengerjakan salat malam (tahajud), begitu memasuki separuh malam baru beliau membangunkan keluarganya untuk menunaikan salat dengan mengatakan kepada mereka: “Salat! Salat!” dan membaca ayat 132 dalam QS Thaahaa yang artinya: “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.”

Keenam, menjauhi istri agar dapat konsentrasi beribadah. Hal ini dilakukan oleh Rasulullah seperti diceritakan oleh Aisyah: “Dahulu Rasululullah shallallahi ‘alaihi wasallam apabila memasuki sepuluh hari terakhir Ramadhan, menghidupkan malam (dengan ibadah), membangunkan keluarganya dan mengikatkan dengan erat sarungnya.”

Ketujuh, mengakhirkan makan sampai sahur. Kedelapan, mandi di antara Maghrib dan Isyak. Kesembilan, berdoa. Sebagai hamba Allah kita hanya berkewajiban berusaha, akhirnya hanya Allah-lah yang menentukan. Namun, Allah menjanjikan bahwa hidayah, taufik dan pertolongan-Nya akan diberikan kepada para hamba-Nya yang bersungguh-sungguh (QS Al ‘Ankabuut: 69).

Karena itu, selain dengan usaha-usaha lahir di atas, kita juga harus melakukan usaha batin, di antaranya dengan berdoa kepada Allah agar kita termasuk orang-orang yang diberikan taufiq untuk menggapai Lailatul Qadar.


Dan selama menghidupkan malam-malam itu dengan salat, tilawah Al Quran, zikir, dan sedekah kita juga banyak memperbanyak doa. Di antara doa yang selalu kita baca di malam-malam itu adalah Allaahumma innaka afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘annii (Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, maka maafkanlah aku).

Dr. Ahmad Kusyairi Suhail, MA dosen FDI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekjen IKADI

DETIK RAMADHAN

Makna Hadits: Sebaik-Baik Kalian adalah yang Mempelajari Alquran dan Mengajarkannya

Meluruskan pemahaman keliru terhadap maksud: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya”

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah,amma ba’du :

Pemahaman yang salah!

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

خيركم من تعلم القرآن وعلمه 

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya”. (HR. Bukhori).

Di antara pemahaman yang salah dalam memahami hadis di atas adalah membatasi golongan manusia yang layak disebut sebagai orang yang mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya hanyalah sebatas orang yang mempelajari dan mengajarkan huruf dan lafadz Al-Qur`an, Tajwid dan ilmu Qiro`ahnya semata!  Ini adalah sebuah keyakinan yang salah!

Akibat dari meyakini pemahaman yang salah tersebut

Ketika seseorang meyakini keyakinan yang salah ini, maka sangat memungkinkan ia akan merasa cukup bila sudah menguasai ilmu Tajwid dan Qiro`ah atau sudah hafal Al-Qur`an,maka bisa jadi ia akan berhenti ataupun malas dari melanjutkan mempelajari tafsir Al-Qur`an, memahami makna dan penjelasan kandungannya, baik berupa aqidah yang shohihah, ibadah, akhlak karimah serta hukum-hukum Syari’at.

Karena ia merasa sudah mengamalkan hadits ini, guna meraih derajat yang terbaik!

Tujuan Al-Qur`an diturunkan

Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah telah menjelaskan :

فالقرآن الكريم نزل لأمور ثلاثة: التعبد بتلاوته، وفهم معانيه والعمل به

“Al-Qur`an itu diturunkan untuk tiga tujuan : beribadah dengan membacanya, memahami makna dan mengamalkannya”

Lihatlah, di sini Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah menunjukkan tiga perkara yang menjadi tujuan diturunkannya Al-Qur`an, tentunya ketiga perkara ini sama-sama pentingnya, sama-sama baiknya, sama-sama menjadi tujuan diturunkannya Al-Qur`an! 

Yang pertama dari tujuan tersebut adalah beribadah kepada Allah dengan membacanya, tentunya membacanya dengan tajwid dan ilmu Qiro`ah,

Kedua,  memahami makna atau tafsirnya,

Ketiga,  mengamalkannya.

Maka -misalnya- ketika seseorang baru meraih salah satu dari tiga perkara itu dengan baik, berarti baru meraih sepertiga dari tujuan diturunkannya Al-Qur`an! Janganlah berhenti sampai di situ saja, teruskan meraih dua perkara yang lainnya.

Makna yang benar dari hadits di atas

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu setelah membawakan hadits di atas,lalu menjelaskan maknanya  :

وتعلم القرآن وتعليمه يتناول تعلم حروفه وتعليمها , وتعلم معانيه وتعليمها 

Mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya mencakup:

  1. Mempelajari dan mengajarkan huruf-hurufnya
  2. Mempelajari dan mengajarkan makna-maknanya

وهو أشرف قسمي تعلمه وتعليمه , فإن المعنى هو المقصود , واللفظ وسيلة إليه ,

Yang terakhir inilah (yaitu no.2, pent.) merupakan jenis mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya yang paling mulia,karena makna Al-Qur`an itulah yang menjadi tujuan yang dimaksud, sedangkan lafadz Al-Qur`an  adalah sarana untuk mencapai maknanya. 

 فتعلم المعنى وتعليمه تعلم الغاية وتعليمها 

Maka  mempelajari dan mengajarkan makna-maknanya (hakekatnya) adalah mempelajari dan mengajarkan tujuan.

وتعلم اللفظ المجرد وتعليمه  تعلم الوسائل وتعليمها

sedangkan mempelajari dan mengajarkan lafadz semata (hakekatnya) adalah mempelajari dan mengajarkan sarana

 وبينهما كما بين الغايات والوسائل “

Dan (perbandingan) diantara keduanya seperti perbandingan antara tujuan dan sarana.

Kesimpulan :

  • Mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya mencakup dua macam sekaligus,yaitu : Lafadz dan maknanya. Berarti kedua-duanya sama-sama pentingnya.
  • Perbandingan keduanya, seperti perbandingan antara tujuan dan sarana. Berarti, jenis yang satu lebih mulia dari yang lainnya.
  • Mempelajari makna-maknanya dan mengajarkan makna-maknanya (tafsirnya) lebih mulia dari mempelajari huruf-hurufnya dan mengajarkan huruf-hurufnya saja (tajwidnya semata).

Oleh karena itu, pantaslah jika dua orang yang masyhur disebut sebagai pakar Tafsir di kalangan Sahabat,yaitu: Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dan selain keduanya, berpandangan bahwa orang yang membaca Al-Qur`an dengan tartil dan mentadabburi (merenungi) maknanya -walaupun sedikit jumlah Ayat Al-Qur`an yang dibacanya- lebih utama daripada orang yang cepat dalam membaca Al-Qur`an, sehingga banyak jumlah Ayat Al-Qur`an yang dibacanya,namun tanpa mentadabburi maknanya.

Di zaman Al-Fudhail rahimahullah pun sudah dijumpai adanya orang yang didalam mengamalkan Al-Qur`an lebih kepada “sebatas membacanya semata”,padahal sesungguhnya mengamalkan Al-Qur`an lebih luas daripada sekedar membacanya saja,karena dalam Al-Qur`an terdapat aqidah, ibadah, mu’amalah dan hukum-hukum Islam yang tertuntut untuk kita amalkan.

 Berkata Al-Fudhail rahimahullah menuturkan fenomena yang beliau lihat di masanya :

إنما نزل القرآن ليعمل به ، فاتخذ الناس قراءته عملا 

“Sesungguhnya Al-Qur`an diturunkan untuk diamalkan, namun ternyata ada saja orang yang menjadikan (sebatas) membacanya sebagai sebuah bentuk pengamalannya”,

Syaikh Abdur Razzaq Al-Badr hafizhahullah setelah membawakan perkataan Al-Fudhail di atas, bertutur :

فأهل القرآن هم العالمون به والعاملون بما فيه، لا بمجرد إقامة الحروف

“Ahlul Qur`an,mereka adalah orang-orang yang mengetahui maknanya dan mengamalkan isinya,bukan hanya sekedar melafadzkan huruf-hurufnya dengan benar.”

Catatan Penting!

  1. Tulisan ini bukanlah dimaksudkan untuk menyudutkan para penghafal Al-Qur’an atau para Qurra` (Ahli Qiro`ah), tanpa diragukan lagi keduanya adalah dua kelompok manusia yang menduduki derajat yang tinggi dalam Islam, namun yang kami maksudkan disini adalah mendudukkan sesuatu pada tempatnya, semua ajaran Islam adalah penting, namun tingkat kepentingannya bertingkat-tingkat! Maka di dalam Islam ada skala prioritas suatu amal peribadatan.
  2. Mempelajari makna ayat-ayat Al-Qur`an yang terdapat dalam kitab-kitab Tafsir, Tauhid, Fikih,dan selainnya serta mengajarkannya, tanpa diragukan lagi, ini termasuk salah satu bagian yang termulia dari kelompok orang yang mempelajari dan mengajarkan Al-Qur`an yang dimaksud dalam hadits di atas, karena hakikatnya, kitab-kitab tentang Tauhid adalah kitab yang mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur`an tentang Tauhid. Kitab-kitab tentang Fikih, hakikatnya adalah kitab-kitab yang  mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur`an tentang Fikih,dan demikian seterusnya.
  3.  Dengan demikian,siapakah sebaik-baik orang diantara kalian? Jawabannya : Orang yang mengumpulkan kedua macam aktivitas mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya.

Semoga Allah menjadikan kita termasuk kedalam barisan orang-orang yang terbaik di masyarakat kita, Aamiin.

Wallahu a’lam.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56281-makna-hadits-sebaik-baik-kalian-adalah-yang-mempelajari-alquran-dan-mengajarkannya.html

Menelan Sisa Makanan Sahur di Sela Gigi saat Puasa

KETIKA seseorang bangun tidur waktu pagi dan dia sedang berpuasa, didapati di mulutnya sisa (makan) sahur. Bagaimana kiranya hukumnya kalau (sisa makanan tersebut) ditelannya?

Tidak diragukan lagi bahwa makan adalah salah satu pembatal puasa. Allah Taala berfirman: “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS Al-Baqarah: 187).

Sebagaimana diketahui oleh umat Islam, bahwa puasa adalah menahan dari makan, minum dan berhubungan badan dan seluruh pembatal (puasa). (Majmu Fatawa Syaikhul Islam, 25/219)

Pengertian makan adalah sampainya sesuatu yang keras (makanan dan semisalnya) ke lambung lewat mulut. (Silahkan lihat Hasyiyah Ibnu Qasim Ala Raudhil Al-Murbi, 3/389)

Tidak disyaratkan dalam makanan ini, harus bermanfaat atau banyak. Kalau sekiranya menelan sesuatu yang tidak bermanfaat (seperti permata) atau menelan sedikit sekali (dari sisa makanan), maka dia telah berbuka dan puasanya rusak.

Menelan sisa makanan yang ada di sela-sela gigi termasuk makan, maka ia dapat merusak puasa. Hal ini kalau orang yang berpuasa menelannya dengan sengaja, yang sekiranya masih memungkinkan baginya untuk mengeluarkannya, namun sengaja dia ditelan.

Adapun, jika tiba-tiba masuk ke tenggorokan dan tertelan, dan tidak memungkinkan baginya untuk mengeluarkannya, maka hal ini tidak mengapa dan puasanya sah. Karena semua pembatal puasa disyaratkan bahwa orang yang berpuasa melakukannya dengan sengaja.

Kalau dilakukan dengan terpaksa tanpa keinginannya maka puasanya sah dan tidak ada apa-apa sedikitpun baginya. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam kitab Al-Mugni, 3/260:

“Barangsiapa yang di waktu paginya mendapatkan makanan di antara giginya, maka tidak akan lepas dari dua kondisi, salah satunya adalah jika sedikit, tidak mungkin diludahkan lalu tertelan, maka hal itu tidak membatalkan (puasa). Karena dia tidak mungkin mencegahnya, seperti air liur. Ibnu Munzir berkata: Para Ahli Ilmu telah sepakat (ijma) dalam masalah ini.

Kedua, jika makanannya banyak dan memungkinkan untuk diludahkan, maka kalau diludahkan tidak membatalkan puasanya. Kalau dia telan dengan sengaja, maka puasanya rusak menurut pendapat mayoritas ulama.

Karena dia telah menelan makanan yang masih memungkin untuk diludahkan berdasarkan pilihannya dan dalam keadaan sadar bahwa dia sedang berpuasa, maka dengan demikian dia dianggap berbuka. Sebagaimana halnya kalau dia memulai makan.”

Kesimpulannya adalah kalau memungkinkan baginya untuk mengeluarkannya dari mulut, namun dia tidak melakukannya dan justru menelannya, maka puasanya rusak. Kalau tertelan tanpa keinginannya, maka puasanya sah dan tidak ada apa-apa baginya. Wallahualam. []

INILAH MOZAIK

Empat Langkah Tadabbur Al-Qur’an

Al-Qur’an itu direnungkan. Kita istilahkan dengan tadabbur, dalam KBBI disebut dengan tadabur. Tadabbur ini penting karena dengan tadabbur, kita akan bisa mengambil pelajaran-pelajaran penting hingga Al-Qur’an bisa diamalkan isinya. Ini keadaannya berbeda sekali jika kita hanya membaca Al-Qur’an atau menghafalkannya, tanpa memahami arti, memahami tafsirannya, hingga tadabbur.

Berikut adalah ayat-ayat yang mendorong kita untuk tadabbur Al-Qur’an.

Ayat pertama:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An-Nisaa’: 82)

Ayat kedua:

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (QS. Shad: 29)

Ayat ketiga:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad: 24)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Memahami Al-Qur’an dan merenungkannya akan membuahkan iman. Adapun jika Al-Qur’an cuma sekadar dibaca tanpa ada pemahaman dan perenungan (tadabbur), itu bisa pula dilakukan oleh orang fajir (ahli maksiat) dan munafik, di samping dilakukan oleh pelaku kebaikan dan orang beriman.” (Zaad Al-Ma’ad, 1:327)

Bagaimana cara tadabbur?

Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan, “Apabila engkau ingin memetik manfaat dari Al-Qur’an, maka fokuskan hatimu saat membaca dan mendengarkannya. Pasang baik-baik telingamu dan posisikanlah diri seperti posisi orang yang diajak bicara langsung oleh Dzat yang memfirmankannya. Al-Qur’an ini makin sempurna pengaruhnya bergantung pada faktor pemberi pengaruh yang efektif, tempat yang kondusif, terpenuhinya syarat, terwujudnya pengaruh, dan ketiadaan faktor yang menghalanginya. Semua ini telah terkandung dalam firman Allah,

إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qaf: 37).

Dari awal surah Qaf hingga ayat ke-37 ini namanya faktor pemberi pengaruh.

Firman-Nya: Bagi orang yang punya hati, berarti hati yang hidup. Ini representasi dari tempat yang hidup. Sebagaimana disebutkan pula dalam surah,

لِيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا وَيَحِقَّ الْقَوْلُ عَلَى الْكَافِرِينَ

Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah (ketetapan azab) terhadap orang-orang kafir.” (QS. Yasin: 70)

Firman-Nya “atau yang menggunakan pendengarannya”, maksudnya mengarahkan pendengarannya dan memasang indra dengarnya pada apa yang diucapkan padanya. Ini namanya syarat terwujudnya pengaruh.

Firman-Nya “sedang dia menyaksikannya” maksudnya, hatinya menyaksikan, hadir dan tidak ke mana-mana, serta mendengarkan kitab Allah. Orang yang hatinya menyaksikan dan memahami, hatinya tidak lupa maupun lalai. Ini menunjukkan untuk tadabbur Al-Qur’an harus menghilangkan faktor yang menghalangi, yaitu kelalaian dan tidak hadirnya hati dari apa yang diucapkan padanya, dari memperhatikan dan merenungkannya.

Bila ada faktor pengaruh yaitu Al-Qur’an, tempat yang kondusif yaitu hati yang hidup, syarat juga terpenuhi yaitu mendengarkan dengan seksama, faktor penghalang tidak ada yaitu kelalaian dan memahami maksud ucapan, dan berpaling pada sesuatu yang lain, niscaya muncul pengaruh, yaitu kemampuan mengambil manfaat dan mengambil peringatan.” Lihat Al-Fawaid karya Ibnul Qayyim, hlm. 5, 6, 156; dinukil dari Al-Khusyu’ fii Ash-Shalah, hlm. 225-226.

Ringkasnya, langkah untuk tadabbur Al-Qur’an ada empat:

  1. Ada ayat yang dibaca.
  2. Hati kita hidup.
  3. Mendengarkan dengan seksama.
  4. Tidak lalai dan memahami maksud ucapan.

Semoga kita dimudahkan untuk tadabbur Al-Qur’an ayat demi ayat.


Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/24334-empat-langkah-tadabbur-al-quran.html

Lailatul Qadar Waktunya Rahasia, tapi Ini Tanda-Tandanya

Allah SWT merahasiakan kapan Lailatul Qadar itu terjadi.

Allah SWT pemilik segala waktu merahasiakan kapan tepatnya malam istimewa yakni Lailatur Qadar. Meski demikian Allah SWT melalui Rasul-Nya memberikan beberapa tanda datangnya malam mulia itu.  

Ustadz Ahmad, Lc MA dalam bukunya “Jaminan Mendapat Lailatul Qadar” mengatakan di antara tanda seorang hamba mendapatkan Lailatul Qadar adalah merasakan kelezatan ibadah pada malam harinya. Rasulullah SAW mengabarkan malam tersebut datang pada malam-malam ganjil Ramadhan. 

“Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa ciri Lailatul Qadar adalah bila orang-orang yang beribadah pada malam tersebut merasakan lezatnya ibadah, ketenangan hati dan kenikmatan bermunajat kepada Rabb-nya tidak seperti malam-malam lainnya,” kata Ustadz Ahmad. 

Namun, dari sekian banyak riwayat yang menunjukkan bahwa malam Lailatul Qadar ini mempunyai tanda dan alamat yang bisa diketahui dan dirasakan, tidak berarti bahwa setiap orang dapat mengatahui dan merasakannya.

Menurut dia,  seorang Muslim yang menghidupkan malam-malam Ramadhannya, memungkinkan baginya mendapatkan Lailatul Qadar itu tanpa dia ketahui tanda malam mulia tersebut.  

Dia mengutip Imam Ath Thabari, bahwa mengetahui tanda Lailatul Qadar itu bukan sesuatu yang pasti dan dapat dirasakan semua orang yang menghidupkan malam tersebut. 

“Itu (tanda-tanda Lailatul Qadar) tidak mesti, seorang Muslim bisa saja mendapatkan malam mulia tersebut dan ia tidak melihat atau mendengar sesuatu dari tanda-tanda itu,” katanya.

Tanda lainnya, yaitu udara dan suasana pagi yang tenang. Ibnu Abbas RA berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Lailatul Qadar adalah malam tenteram dan tenang, tidak terlalu panas dan tidak pula terlalu dingin, esok paginya sang surya terbit dengan sinar lemah berwarna merah.” 

Cahaya mentari redup menjadi tanda Qadar dan hal ini sesuai hadits Nabi yang menginformasikan ciri malam Qadar adalah bila ada cahaya mentari lemah, cerah tak bersinar kuat keesokannya. 

Dasarnya dari hadits Ubay bin Ka’ab radliyallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda. “Keesokan hari Lailatul Qadar matahari terbit hingga tinggi tanpa sinar bak nampan.” (HR Muslim).

Tanda Qadar juga terkadang terbawa dalam mimpi seperti yang dialami sebagian sahabat Nabi. Dari sahabat Ibnu Umar RA bahwa beberapa orang dari sahabat Nabi SAW diperlihatkan Lailatul Qadar dalam mimpi (oleh Allah SWT) pada tujuh malam terakhir (Ramadhan) kemudian Rasulullah 

SAW berkata, ”Aku melihat bahwa mimpi kalian (tentang Lailatul Qadar) terjadi pada tujuh malam terakhir. Maka barang siapa yang mau mencarinya maka carilah pada tujuh malam terakhir.” (HR Muslim). 

Tanda lainya di mana bulan tampak separuh bulatan. Ada juga yang menyebutkan bahwa malam itu bulan 

nampak separuh bulatan, sebagaimana hadits berikut ini. 

Abu Hurairah radliyallahuanhu berkata, ”Kami pernah berdiskusi tentang Lailatul Qadar di sisi Rasulullah SAW, beliau berkata, “Siapakah dari kalian yang masih ingat tatkala bulan muncul, yang  berukuran separuh nampan.” (HR Muslim).

Ciri yang lain dari Lailatul Qadar adalah malam itu terang, tidak panas, tidak dingin, tidak ada awan, tidak hujan, tidak ada angin kencang dan tidak ada yang dilempar pada malam itu dengan bintang (lemparan meteor bagi setan). 

Dasarnya adalah hadits Ubadah bin Shamit radhiyallahuanhu berikut ini. “Malam itu adalah malam cerah, terang, seolah-olah ada bulan, malam yang tenang dan tenteram, tidak dingin dan tidak pula panas. Pada malam itu tidak 

dihalalkan dilemparnya bintang, sampai pagi harinya. Dan sesungguhnya, tanda Lailatul Qadr adalah, matahari di pagi harinya terbit dengan indah, tidak bersinar kuat, seperti bulan purnama, dan tidak pula dihalalkan bagi setan untuk keluar bersama matahari pagi itu.” (HR  Ahmad) 

“Lailatu Qadar adalah malam yang terang, tidak panas, tidak dingin, tidak ada awan, tidak hujan, tidak ada angin kencang dan tidak ada yang dilempar pada malam itu dengan bintang (lemparan meteor bagi setan).” (HR Ath Thabrani).

KHAZANAH REPUBLIKA