Dr Syamsuddin Arif: Tempatkan Ibnu Sina dengan Benar

Di mana kedudukan ilmu dan peran kita dibandingkan seorang Ibnu Sina terhadap umat Islam dan manusia keseluruhan?

Sejak beberapa tahun silam beredar kabar berantai melalui media sosial yang menyatakan bahwasanya Ibnu Sina merupakan penganut Syiah, dan kabar lainnya mendakwa Ibnu Sina telah keluar dari Islam karena menghalalkan khamr bagi dirinya.

Atas dasar dua tuduhan tadi, kabar berantai tersebut yang tidak dikenali penulisnya memberi arahan kepada umat Islam untuk menolak peran dan capaian keilmuan Ibnu Sina dalam sejarah Peradaban Islam.

Selain itu juga mendorong umat Islam untuk menanggalkan nama Ibnu Sina pada sekolah, rumah sakit, hingga masjid karena tidak mencerminkan Islam dan mewakili umat Islam.

Salah satu dari sekian banyak kabar berantai yang beredar terkesan lebih moderat dengan menyatakan pengakuannya terhadap capaian keilmuan Ibnu Sina, terutama di bidang kedokteran, sambil menolak capaiannya di bidang filsafat yang dinilai bertentangan dengan Islam.

Berdasarkan penjelasan yang disampaikan oleh Dr. Syamsuddin Arif sebagai ahli filsafat Ibnu Sina yang telah diakui otoritasnya di dunia internasional, diluruskan kesalahpahaman maupun ketidaktahuan terhadap dua persoalan yang dinisbatkan kepada Ibnu Sina. Yakni tentang beraqidah Syiah Ismailiyah dan tentang peminum khamr.

Dalam Kuliah Sehari bertempat di Ruang Sidang 1, Masjid Kampus UGM Yogyakarta, Ahad (29/12/2019), dijelaskan, untuk mengetahui dengan tepat kedua persoalan tadi, maka harus diketahui sejarah hidup Ibnu Sina yang benar, yakni merujuk pada referensi yang otoritatif.

Dr Syamsuddin Arif pada kesempatan bertajuk “Ibn Sina: His Life, Thought, and Legacies” yang diselenggarakan oleh Yayasan Bentala Tamaddun Nusantara itu menjelaskan, referensi yang otoritatif untuk mengetahui sejarah kehidupan Ibnu Sina ialah autobiografi yang ditulis olehnya sendiri dan dikumpulkan oleh murid beliau bernama Al-Juzjani.

Naskah ini telah diperiksa, diberi komentar, dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh William E. Gohlman dengan judul The Life Ibn Sina: A Critical Edition and Annotated Translation yang menampilkan teks berbahasa Arab dan terjemahnya dalam Bahasa Inggris.

Melalui teks yang dirujuk oleh Dr. Syamsuddin Arif, diketahui ketidakbenaran dua tuduhan yang dialamatkan kepada Ibnu Sina. Pertama, dalam autobiografinya, Ibnu Sina menyatakan sebagai berikut:

“My father was one of those who responded to the propagandist of the Egyptians (Fathimiyah – penjelas dari Dr. Syams) and was reckoned among the Ismailiyya. From them, he, as well as my brother, heard the account of the soul and the intellect in the special manner in which they speak about it and know it. Sometimes they used to discuss this among themselves while I was listening to them and understanding what they were saying, but my soul would not accept it, and so they began appealing to me to do it (to accept the Ismaili doctrines)”.

Berdasarkan pengakuan Ibnu Sina dalam autobiografinya, Dr. Syamsuddin Arif menjelaskan bahwa menyatakan Ibnu Sina sebagai penganut Ismailiyah hanya karena keluarganya menganut paham tersebut adalah penalaran yang salah. Contoh saja, belum tentu seorang anak yang dilahirkan di keluarga yang aktif dalam kepengurusan NU akan bergabung pula dalam NU, bahkan bisa jadi justru terlibat secara aktif dalam kepengurusan Muhammadiyah. Kasus yang lain dapat dengan mudah ditemukan hingga titik ekstremnya, seperti seorang kawan saya yang tidak tergabung dalam afiliasi apapun padahal ayahnya seorang pengurus Muhammadiyah dan ibunya pengurus partai politik PKS.

Selain itu, menyatakan bahwa Ibnu Sina adalah penganut Ismailiyah tidak sesuai dengan pernyataan Ibnu Sina yang menolak ajakan untuk menganut paham Ismailiyah. Dalam kondisi seperti ini, pernyataan Ibnu Sina lebih kuat untuk dipegang dibandingkan penilaian yang dilandasi anggapan-anggapan atau pengandaian.

Kedua, tersebarnya kabar bahwasanya Ibnu Sina merupakan peminum khamr dapat dilacak asal usulnya dari teks berikut,

“…..or I became conscious of weakening, I would turn aside to drink a cup of wine, so that my strength would return to me”.

Dr. Syamsuddin Arif menjelaskan, teks di atas merupakan terjemahan yang salah oleh Gohlman karena menerjemahkan ‘sharab’ dengan ‘wine’. Terjemahan yang keliru tersebut, menurut Dr. Syamsuddin bisa jadi dikarenakan latar belakang kehidupan Gohlman di negeri Barat yang lazim meminum wine untuk mengembalikan vitalitas tubuh yang lemah atau lesu.

Sementara itu istilah ‘sharab’, sebagaimana tertulis dalam autobiografi Ibnu Sina seharusnya diterjemahkan dengan minuman secara umum, yang bisa jadi jus atau minumen penyegar tubuh lainnya yang familiar digunakan oleh masyarakat pada ruang dan waktu kehidupan Ibnu Sina untuk menjaga ketahanan tubuh. Sehingga dakwaan bahwasanya Ibnu Sina gemar meminum khamr, bahkan menghalalkan khamr bagi dirinya, mendapatkan rujukannya pada terjemahan yang salah dari kalangan Orientalis, yang tidak sesuai dengan teks yang ditulis oleh Ibnu Sina. Dengan demikian, sudah jelas lebih kuat memegang teks yang berasal dari Ibnu Sina daripada terjemahan yang salah dari Gohlman.

Berangkat dari berbagai tuduhan tidak berdasar yang dialamatkan kepada Ibnu Sina karena tidak dapat diverifikasi kebenarannya, bahkan bertentangan dengan autobiografi yang ditulisnya sendiri, pada akhir perkuliahan, Dr. Syamsuddin Arif menegaskan bahwa kita sebagai umat Islam harus mampu menempatkan Ibnu Sina dengan benar. Ibnu Sina bukanlah Nabi dan Rasul, ia adalah manusia sebagaimana diri kita, hanya saja Ibnu Sina diberi Allah kelebihan ilmu dibandingkan kita.

Oleh karena itu, Ibnu Sina bukanlah pribadi yang maksum, dan sudah pasti memiliki kesalahan-kesalahan, termasuk dalam aspek pemikirannya. Sehingga untuk membandingkan Ibnu Sina bukanlah dengan sosok Nabi dan Rasul yang maksum, tetapi dengan diri kita sendiri. Singkatnya di mana kedudukan ilmu dan peran kita dibandingkan seorang Ibnu Sina terhadap umat Islam dan manusia keseluruhan?* (Andika Saputra)

HIDAYATULLAH

Saatnya Bangkit Menuntut Ilmu!

Ilmu pengetahuan adalah kawan di waktu sendirian, sahabat di waktu sunyi, penunjuk jalan kepada agama

Seiring berkembangnya suatu peradaban pastilah akan diikuti dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Juga sebaliknya, kemunduran suatu peradaban menandakan rubuhnya ilmu pengetahuan. Hal ini adalah niscaya kalau kita mengamati sejarah dari suatu peradaban.

Dewasa ini, ilmu pengetahuan berhasil menggeser agama dari kehidupan umat manusia. Serta dianggap sebagai paling penting dalam menentukan umat manusia. Peradaban Barat hari ini menunjukkan dan mampu menghegemoni bangsa-bangsa lain untuk saling mengejar menggapai ilmu pengetahuan. Pengaruh Barat ini pun diaminkan oleh masyarakat Islam. Tak jarang akhirnya pemuda-pemuda Muslim termakan hasutan dari para pemikir Barat. Bahwa agama menunjukkan keterbelakangan dan kemunduran. Sedangkan ilmu pengetahuan adalah simbol kemajuan.

Mulailah dipertentangkan antara agama dan ilmu pengetahuan. Marxisme menganggap bahwa “agama adalah candu.” Sedangkan Freudisme mengatakan “agama adalah ilusi.” Perkara agama adalah perkara masing-masing individu, tak layak dibawa-bawa ke publik. Pandangan ini menjadikan agama sebagai kambinghitam yang menghambat perkembangan ilmu pengetahuan.

Pertanyaannya, apakah benar bahwa agama hanya menghambat melesatnya ilmu pengetahuan? Saya kira pendapat-pendapat demikian hanya berlaku di Barat dan tidak bisa dipukul rata. Sangkaan seperti itu sangat picik dan tidak ilmiah sama sekali. Terlebih anggapan terhadap agama Islam.

Islam sedari dulu adalah agama yang menghargai ilmu pengetahuan. Bahkan mendorong pemeluknya untuk menuntut ilmu, kalau perlu sampai ke negeri Cina. Tak ada batasannya dalam Islam dalam mencari ilmu. Pekerjaan mencari ilmu dalam Islam sudah disuruh dari sejak dalam buaian hingga ke liang lahat. Dan Islam juga menaikkan derajat orang-orang yang berilmu. Juga menjadi Khalifah Allah di bumi dibutuhkan ilmu. Sebagaimana firman-Nya:

ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ ۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Allah mengangkat orang-orang beriman dari golonganmu dan juga orang-orang yang dikaruniai ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS: Mujadalah: 11).

هَلْ يَسْتَوِى ٱلَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ

“Katakanlah, Adakah sama orang-orang yang berilmu pengetahuan dan orang-orang yang tidak berilmu pengetahuan.” (QS: Az Zumar: 9).

Imam Al Ghazali dan Ilmu Pengatahuan

Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam Al Ghazali mengatakan bahwa tubuh memerlukan makanan agar tidak sakit. Sedangkan seseorang yang sunyi dari ilmu, maka hatinya boleh dinamakan sakit dan kematiannya sudah dapat dipastikan.

Bahkan dalam Islam mencari ilmu itu adalah perkara yang diwajibkan. Sebagaiman perkataan nabi Muhammad ﷺ, “mencari ilmu pengetahuan adalah wajib atas setiap orang Muslim.”

Nabi ﷺ juga bersabda: “Niscayalah andaikata engkau berangkat kemudian engkau belajar satu bab dari ilmu pengetahuan, maka hal itu adalah lebih baik dari pada kamu shalat seratus rakaat.”

Nyatalah seterang-terangnya bahwa sangkaan agama menghambat laju ilmu pengetahuan itu adalah salah dan tidak berdasar sama sekali. Bahkan Islam sangat menentang keras orang-orang yang membawa berita tidak benar, taklid dan fanatik. Yusuf Qardhawi dalam bukunya Ilmu Pengetahuan Dalam Perspektif Islam menyebutkan bahwa Islam menolak dengan tegas terhadap sesuatu apa pun yang tidak didukung oleh bukti-bukti tidak valid, sikap mengikuti suatu faham atau pemikiran yang sifatnya membabi buta dan mengecam terhadap asumsi dan keinginan yang semata-mata dilandasi hawa nafsu.

Hujjatul Islam Imam Al Ghazali telah menerangkan pentingnya ilmu dalam membangun peradaban manusia. Karena Islam dibangun di atas ilmu. Dalam Ihya Ulumuddin, Imam Al Ghazali mengutip perkataan Mu’adz perihal persoalan ilmu pengetahuan. Berkatalah Mu’adz bahwasanya, “Ilmu pengetahuan adalah kawan di waktu sendirian, sahabat di waktu sunyi, penunjuk jalan kepada agama, pendorong ketabahan disaat dalam kekurangan dan kesukaran. Ilmu pengetahuan adalah pemimpin segala amalan dan amalan itu hanyalah sebagai pengikutnya belaka. Yang diilhami dan dikaruniai ilmu adalah benar-benar orang yang berbahagia dan yang terhalang atau tidak diberi ilmu adalah benar-benar celaka.”

Daya dorong Islam kepada umatnya untuk mencari ilmu pengetahuan sangatlah besar. Karena tanpa ilmu akan salahlah dalam memahami agama ini. Tanpa ilmu banyaklah orang-orang yang akan jatuh tersesat di lembah kegelapan. Adalah sifat Islam membawa manusia keluar dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Dari kebodohan menuju kepandaian. Dan tidaklah semata itu semua bisa didapat kecuali dengan ilmu pengetahuan.

Ibnu Khaldun

Ibnu Khaldun (w. 808 H/1406 M), salah seorang ilmuwan Islam yang menurut yang sangat cemerlang dan termasuk yang paling dihargai oleh dunia intelektual modern juga memberikan perhatian terhadap bangunan ilmu pengetahuan di dalam Islam. Ibnu Khaldun yang hidup disaat mulai hancurnya peradaban Islam dan bersentuhan langsung dengan kembali bangkitnya bangsa Barat memberikan gambaran yang jelas bagaimana ilmu pengetahuan menentukan masa depan sebuah peradaban.

Menurut Ibnu Khaldun dalam karangannya Muqaddimah, kemunduran dan kehancuran yang diderita oleh peradaban Islam diikuti dengan berkurangnya keahlian dan bahkan lenyap sama sekali. Maksud Ibnu Khaldun yang lenyap sama sekali adalah pengajaran ilmu pengetahuan.

Hal ini didukung bukti sejarah yang Ibnu Khaldun saksikan sendiri. “Qairuwan dan Cordova” kata Ibnu Khaldun “merupakan simbol pencapaian peradaban Maghrib dan Andalusia.” Selanjutnya Ibnu Khaldun mengatakan, “peradaban kedua wilayah itu telah mencapai kemajuan pesat, di mana dalam kedua wilayah tersebut berbagai ilmu pengetahuan dan keahlian berkembang pesat dan pengajaran sangat kuat untuk mempertahankan masa kejayaan dan peradabannya.”

Namun ketika pengajaran itu berhenti, kedua wilayah tersebut mengalami kemunduran. Menurut Ibnu Khaldun lagi, “ketika bangunan peradaban mengalami kemunduran dan kemakmuran penduduknya menyusut, maka bentangan peradaban itu pun menggulung secara total yang diiringi dengan hilangnya ilmu pengetahuan dan pengajaran, yang lalu berpindah ke negeri-negeri lainnya.”

Setelah Andalusia runtuh, ilmu pengetahuan dan peradaban sekaligus berpindah ke wilayah lain. Tercatat dalam sejarah, Baghdad, Basrah, dan Kufah pernah menjadi wilayah-wilayah yang merupakan tambang ilmu pengetahuan. Namun akibat agresi bangsa Mongol dan kelengahan kaum Muslimin, peradaban itu hancur tak tersisa. Dan segalanya mulai berpindah, Turki menjadi tempat bersemai kembalinya ilmu pengetahuan.

Melihat dari kacamata sejarah kita bisa melihat bagaimana ilmu pengetahuan begitu serasi dengan agama. Ilmu pengetahuan memiliki peranan penting dalam menjelaskan perlunya agama bagi kehidupan masyarakat. Sedangkan agama menuntun ilmu pengetahuan supaya tidak menyeleweng dari garis demarkasi yang telah ditetapkan Allah. Hubungan harmonis ini selalu dijaga oleh Islam.

Kita cukup setuju dengan ucapan Einstein yang mengatakan bahwa ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu sesat.  Al Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin mengutip perkataan Al Hasan rahimahullah berkata: Andaikata tidak ada para alim ulama, pastilah manusia seluruhnya akan menjadi sebagai binatang. Maksud dari perkataan ini menurut Al Ghazali ialah dengan sebab adanya pelajaran yang mereka berikan itu, lalu seluruh manusia dapat keluar dari batas pengertian kebinatangan dan memasuk batas kemanusiaan.

Saya kira kalau kita ingin maju dan bangkit kembali janganlah meniru Barat secara membabi buta. Tetapi alangkah baiknya untuk mendalami kembali hakikat agama ini diturunkan. Lalu maju dengan membawa agama di sanubari bersamaan dengan ilmu pengetahuan yang baik. Sehingga kita tidak lagi inferior dan rendah diri di hadapan kaum musyrik. Janganlah mau kita tundukkan kepala ini selain ditundukkan kepada Allah pencipta segala semesta, Yang Maha Digdaya terhadap segala sesuatu.

Maka sambutlah seruan ini wahai pemuda-pemuda Muslim!*

Oleh: Hamdi Ibrahim

HIDAYATULLAH

Bagaimana Cara Memiliki Jiwa Yang Tenang?

Allah swt Berfirman :

يَٰٓأَيَّتُهَا ٱلنَّفۡسُ ٱلۡمُطۡمَئِنَّةُ – ٱرۡجِعِيٓ إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةٗ مَّرۡضِيَّةٗ – فَٱدۡخُلِي فِي عِبَٰدِي – وَٱدۡخُلِي جَنَّتِي

“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS.Al-Fajr:27)

Bila anda ingin memiliki hati yang tenang yang damai, Allah swt telah memberikan jalur dan step-step yang harus di lalui.

Step 1

ٱرۡجِعِيٓ

“Kembalilah…”

Untuk meraih kehidupan yang tenang dan hati yang damai, langkah pertama adalah membangun kesadaran. Kesadaran seperti apa yang harus dibangun?

Kesadaran bahwa kita dari Allah dan pasti akan kembali kepada-Nya !

إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيۡهِ رَٰجِعُونَ

“Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).” (QS.Al-Baqarah:156)

Step 2

رَاضِيَةٗ مَّرۡضِيَّةٗ

“Dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya.”

Kembali kepada Allah artinya kita menjadi hamba yang rela terhadap semua aturan dan ketentuan-Nya sehingga Allah pun rela kepada kita.

Dari sinilah kita dapat memahami tujuan penciptaan dalam Firman-Nya :

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS.Adz-Dzariyat:56)

Bila kita simpulkan, ibadah itu memiliki dua hasil yang sangat penting, yaitu :

1. Beribadah (menyembah) dengan arti yang sebenarnya membawa kita menjadi hamba yang selalu menerima dan rela atas segala ketentuan Allah.

2. Ketika kita telah rela dengan ketentuan Allah, aturan Allah dan semua keputusan-Nya maka Allah pun akan rela terhadap kita. Karena kemurkaan Allah hanya bagi mereka yang berpaling dari Allah dan melawan ketentuan-Nya.

Jadi hasil dari kerelaanmu atas semua ketentuan Allah adalah kerelaan Allah atasmu !

فَٱدۡخُلِي فِي عِبَٰدِي – وَٱدۡخُلِي جَنَّتِي

“Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.”

Ayat ini menjelaskan bahwa pemilik hati yang tenang adalah hamba yang telah memposisikan dirinya sebagai layaknya seorang hamba sahaya.

Dan jiwa yang tenang akan meraih dua derajat mulia berikut ini.

(1). Masuk dalam golongan hamba-hamba Allah yang didalamnya ada ruh-ruh suci para Nabi dan para Auliya’. Yang Allah kucurkan untuk mereka kenikmatan yanh tak terbatas.

وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُوْلَٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّـۧنَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَآءِ وَٱلصَّٰلِحِينَۚ وَحَسُنَ أُوْلَٰٓئِكَ رَفِيقٗا

“Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pencinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS.An-Nisa’:69)

(2). Masuk kedalam surga Allah swt dan berbagai kenikmatan yang tak terhingga didalamnya.

Sebagai tambahan, pada ayat di atas Allah menambahkan kata “Surga-Ku” sebagai kemuliaan sendiri karena Allah menggandengkan surga dengan Dzat-Nya yang agung. Dan tidak disebut “Surga-Ku” kecuali hanya dalam ayat ini.

Maka poin utamanya adalah bila anda ingin meraih jiwa yang tenang dan damai, maka jadilah hamba yang rela dan menerima semua ketentuan Allah swt.

Semoga Bermanfaat..

KHAZANAH ALQURAN

4 Sikap Manusia Menghadapi Musibah, Bagaimana Kita?

ADA empat kelompok manusia dalam mensikapi setiap musibah dan cobaan hidup di dunia, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah di dalam kitabnya, ‘Uddatus Shobirin wa Dzakhiratus Syakirin (Bekal orang-orang sabar dan Perbendaharaan orang-orang yang bersyukur). Keempat kelompok itu adalah;

Pertama; kelompok orang-orang yang lemah

Yaitu orang-orang yang selalu berkeluh kesah terhadap setiap keadaan. Dia selalu mengadu namun bukan kepada Allah tempat mengadu melainkan kepada sesama manusia. Ia selalu meratapi hari-hari bahkan tidak jarang ia bertindak diluar batas untuk melampiaskan amarah atas takdir buruk yang ia terima. Ia selalu mengeluh kepada semua orang. Padahal dengan banyak mengeluh bukannya orang akan simpati malah akan menjauh. Dan juga dengan banyak mengeluh persoalan bukannya kelar malah bertanmbah rumit.

Sikap ini adalah sikap orang-orang yang lemah imannya, lemah akalnya dan agamanya.

Kedua; kelompok orang-orang yang bersabar

Sabar atas musibah dengan cara menahan diri dari melakukan hal-hal yang mengundang amarah Allah Subhanahu Wata’ala. Menahan lisan dari berucap kata yang tidak disukai Allah. Mencegah perbuatan dari perkara yang dimurkai Allah.

Orang yang sabar dalam menghadapi musibah senantiasa berdoa agar Allah menyingkirkan dan meringankan musibah yang menimpanya dan berharap pahala yang ada padanya, di saat yang sama ia mengambil sebab dan upaya agar musibah itu berlalu darinya.

Dari Abdurrahman bin Abu Laila, dari Shuhaib berkata; Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda:

عَجَبًا ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ

“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya.” (HR: Muslim)

Setiap mukmin akan selalu mendapat ujian. Dan Allah tidak akan memberi beban kecuali sesuai kemampuannya.

Dalam al-Qur’an, Allah berfirman:

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَا‌ۚ

“Tidaklah Allah membebani seseorang kecuali sebatas kemampuannya.” [QS. al-Baqarah: 286].

Ketiga; kelompok orang-orang yang ridho

Yaitu mereka yang berlapang dada ketika musibah menimpanya. Orang yang ridho atas musibah sangat menyadari bahwa semua yang terjadi atas kehendak Allah. Baginya, ketika ditimpa musibah seolah-olah dia tidak merasa mendapat musibah. Derajat ridho atas musibah tentu lebih tinggi tingkatannya dari sikap sabar.

Keempat; kelompok orang yang bersyukur

Aneh kedengarannya, ditimpa musibah kok malah bersyukur. Ditimpa musibah kok malah berterima kasih.  Ya memang demikian keadaannya kelompok keempat ini. Baginya musibah adalah sesuatu yang ‘mengasyikkan’. Dia seakan menikmati ‘memadu kasih’ dengan Tuhannya di saat tertimpa musibah yang bagaimanapun bentuknya.

Malah, kalau bisa dia berharap agar musibah itu tidak lekas hilang darinya. Yang menempati derajat ini adalah para nabi dan rasul, wali-wali Allah, orang-orang yang memiliki keimanan dan ketakwaan yang mendalam seperti yang pernah saya tuliskan dalam kisah Abu Qilabah al Jarmi, seorang tabi’in yang diuji oleh Allah Subhanahu Wata’ala dengan penderitaan yang luar biasa, buntung kedua tangan dan kakinya, buta matanya, hampir tidak berfungsi pendengarannya, ditambah lagi kematian anak satu-satunya yang selalu merawatnya.

“Dan ingatlah ketika Tuhanmu sekalian memaklumkan; sungguh apabila kamu telah bersyukur, pasti akan Aku tambah nikmat kepadamu; tetapi apabila kamu kufur, adzab-Ku amatlah pedih” [QS. Ibrahim: 7]

Sahabat, kalau kita yang diuji oleh Allah Subhanahu Wata’ala dan diberinya musibah, kira-kira masuk kelompok yang mana kita?

Apakah kita masuk  kelompok pertama? Na’udzubillah, berarti kita masuk kelompok orang yang imannya bermasalah.

Kelompok kedua? Ya, paling tidak kedalam kelompok inilah sikap kita; bersabar atas musibah. Ini adalah sikap wajib bagi seorang mukmin.

Ingatlan pesan al-Quran,  “Fa inna ma’al ‘ushri yusra, inna ma’al ‘ushri yusra.” (maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sungguh bersama kesulitan ada kemudahan) [QS. as-Syarh: 5 – 6].Amin.*/Imron Mahmud

HIDAYATULLAH

Apakah Berdosa Mengambil Keuntungan Hingga 1000%?

Adakah batasan keuntungan saat berdagang? Bisakah keuntungan hingga 10 kali lipat dari modal (1000%)?

Pertanyaan:

“Ustadz mau tanya. Kalau saya jual barang dan ambil keuntungan lebih dari 200% untuk barang-barang tertentu dan untuk parts yang toko lain tidak punya. Bagaimana hukumnya?

Misal saya beli baut harga 750 dan saya jual 4.500.

Atau saya jual karburator 2.750.000, tetapi beberapa tahun yang lalu saya beli cuma 750.000 karena pas ada campaign.

Masalahnya saya takut dosa kalau ambil untung kebanyakan, meski pelanggan tidak protes karena mereka yakin di tempat saya semua jaminan asli.”

Jawaban:

Pertanyaan di atas akan dijawab dalam dua poin berikut.

PERTAMA: BATASAN KEUNTUNGAN DALAM BERDAGANG

Islam membolehkan seseorang penjual mengambil keuntungan sekalipun mencapai 100% dari modal atau bahkan lebih dengan syarat tidak ada ghisyy (penipuan harga maupun barang).

Berikut adalah dalil-dalil yang menunjukkan bahwa keuntungan itu tidak dibatasi.

Dalil pertama:

Dalam jual beli yang penting saling rida. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. An-Nisaa’: 29)

Pada dasarnya kaidah-kaidah agama tidak mengikat para pedagang dalam kewenangan jual beli harta mereka selagi sesuai dengan ketentuan-ketentuan umum dalam syariat.

Dalil kedua:

عَنْ عُرْوَةَ – يَعْنِى ابْنَ أَبِى الْجَعْدِ الْبَارِقِىِّ – قَالَ أَعْطَاهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- دِينَارًا يَشْتَرِى بِهِ أُضْحِيَةً أَوْ شَاةً فَاشْتَرَى شَاتَيْنِ فَبَاعَ إِحْدَاهُمَا بِدِينَارٍ فَأَتَاهُ بِشَاةٍ وَدِينَارٍ فَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ فِى بَيْعِهِ فَكَانَ لَوِ اشْتَرَى تُرَابًا لَرَبِحَ فِيهِ

Dari ‘Urwah, yaitu Ibnu Abil Ja’di Al-Bariqiy, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberinya satu dinar untuk membeli satu hewan qurban (udhiyah) atau membeli satu kambing. Lantas ia pun membeli dua kambing. Di antara keduanya, ia jual lagi dan mendapatkan satu dinar. Kemudian ia pun mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa satu kambing dan satu dinar. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakannya dengan keberkahan dalam jualannya, yaitu seandainya ia membeli debu (yang asalnya tidak berharga sekali pun, -pen), maka ia pun bisa mendapatkan keuntungan di dalamnya. (HR. Abu Daud, no. 3384 dan Tirmidzi, no. 1258. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Dalil ketiga:

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari bahwa Zubair bin Awwam radhiyallahu ‘anhu semasa hidupnya membeli sebidang tanah di pinggiran kota Madinah seharga 170.000 keping uang emas. Setelah ia wafat, tanah itu dijual oleh anaknya, yaitu Abdullah seharga 1.600.000 dinar. Keuntungan yang diambil oleh Abdullah dalam penjualan ini hampir mencapai 1000%.

Kesimpulannya:

  1. Tidak ada batasan maksimal persentase laba dari penjualan yang harus ditaati oleh para pedagang. Persentase laba diserahkan kepada kondisi perniagaan, pedagang, dan barang dengan tidak melupakan adab Islami, seperti: qanaah (merasa cukup), belas kasihan, dan tidak tamak.
  2. Sangat banyak dalil-dalil yang mewajibkan sebuah transaksi terbebas dari ghisysy (penipuan), rekayasa barang, rekayasa harga, dan rekayasa laba, serta terbebas dari menimbun barang yang menzalimi kepentingan umum maupun khusus.

KEDUA: MENYIMPAN BARANG UNTUK DIJUAL PADA SAAT HARGA NAIK, APAKAH TERMASUK IHTIKAR (MENIMBUN)?

Para ulama sepakat bahwa ihtikar itu dilarang karena merugikan khalayak ramai. Itulah yang dimaksudkan dalam hadits berikut.

Dari Ma’mar bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


لاَ يَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ

Tidak boleh menimbun barang, jika tidak, maka ia termasuk orang yang berdosa.” (HR. Muslim, no. 1605).

Namun, jika seorang pedagang membeli barang pada saat murah, lalu disimpan hingga harga naik dan dijual pada saat itu sesuai dengan harga pasar, aksi ini tidak termasuk ihtikar dengan catatan: (1) tidak merugikan orang banyak, (2) tidak merusak harga pasar, (3) barang masih dijual pedagang lain.

Dalam Takmilat Al-Majmu’ dijelaskan, “Ihtikar yang diharamkan, yaitu: membeli barang pada saat harga naik dan ditimbun agar harganya lebih tinggi lagi. Adapun jika membeli barang pada saat harga murah (musim panen) lalu ditahan hingga harga naik dan dijual saat itu, tidaklah diharamkan.”

Mengenai harga jual yang lebih tinggi daripada harga saat dibeli adalah logis karena ada biaya operasional penyimpanan barang hingga saat barang dijual. Ini juga merupakan salah satu siasat dagang yang dibolehkan.

Kesimpulannya, menjual dengan keuntungan 10 kali lipat (1000%) dibolehkan. Saat membeli dengan harga murah lalu dijual dengan harga berlipat-lipat juga dibolehkan.

Referensi:

Harta Haram Muamalat Kontemporer. Cetakan ke-22, Juli 2019. Dr. Erwandi Tarmizi, M.A. Penerbit P.T. Berkat Mulia Insani. Hlm. 173-174 dan 195-196.


Oleh: Al-Faqir Ilallah, Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/24702-apakah-berdosa-mengambil-keuntungan-hingga-1000.html

Argumen Pembatalan Haji

Pada hari Selasa, 2 Juni 2020, Menteri Agama RI, Fachrul Razi, menyampaikan keputusan Pemerintah untuk tidak memberangkatkan jemaah Indonesia pada musim haji 1441 H/2020M. Keputusannya itu secara tertulis tertuang dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 494 tahun 2020 tentang Pembatalan Keberangkatan Jemaah Haji pada Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1441H/2020 M.

Tentu ini merupakan keputusan yang sangat pahit untuk diambil, tetapi memang itu adalah yang paling tepat. Keputusan Menteri Agama lalu disambut secara positif oleh berbagai kalangan, tak terkecuali oleh sejumlah organisasi masyarakat muslim besar di negeri ini, seperti Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pengurus Pusat Muhammadiyah (PP Muhammadiyah), dan Majelis Ulama Indonesia Pusat (MUI Pusat). Bahkan, tidak hanya dari organisasi masyarakat muslim, sejumlah organisasi lintas agama pun memberikan apresiasi atas keputusan itu. 

Menurut hemat penulis, keputusan Menteri Agama itu memang tepat untuk diambil. Meski ini berkonsekuensi pada semakin bertambahnya masa tunggu jemaah haji, tetapi keputusan ini memang harus segera diambil. Sekurang-kurangnya terdapat empat argumen yang membenarkan keputusan ini, yakni argumentasi syariat, regulasi, sejarah, dan pertimbangan teknis operasional.

Syariat

Setidaknya, terdapat dua hal mendasar dari Syariat Islam yang membenarkan keputusan ini. Pertama, dari aspek maqashid al-syariah atau maksud ditetapkannya syariat Islam. 

Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Syatibi yang biasa dikenal dengan Imam Al-Syatibi, filosof hukum Islam dari Spanyol yang bermazhab Maliki, merupakan tokoh utama yang mengembangkan perspektif Maqashid Syariah ini. Menurutnya, ditetapkannya suatu hukum adalah untuk kemaslahatan manusia. 

Teks-teks dalam ajaran Islam menunjukkan, bahwa sebuah syariat itu disebabkan karena adanya illat (faktor penyebab ditetapkannya sebuah hukum). Dalam pandangan Al-Syatibi, ternyata illat hukum itu bermuara kepada kemaslahatan manusia sendiri, baik secara global (baca Q.S. Al-Anbiya: 107) maupun secara parsial (baca Q.S. Al-Maidah: 6). Oleh karenanya, kemaslahatan manusia menjadi dasar pijakan sebuah hukum.

Menurut Al-Syatibi, ajaran Islam sesungguhnya berorientasi pada lima kebutuhan dasar (al-dlaruriyat al-khamsah), yakni hifzh al-din (menjaga agama), hifzh al-nafs (menjaga jiwa), hifzh al-‘aql (menjaga nalar), hifzh al-nasl (menjaga keturunan), dan hifzh al-mal (menjaga harta benda).

Di tingkat implementasinya, kelima kebutuhan dasar ini akan dikategorisasikan menjadi dlaruriyah (primer), hajiyat (sekunder), dan tahsiniyah (tertier). Bisa jadi, bentuk ritualitas ibadah pada kondisi tertentu menjadi dlaruriyah (primer), tetapi dalam kondisi yang berbeda menjadi hajiyat (sekunder), karena mempertimbangkan fakta lokalitas dan pertimbangan implementasinya dari kelima kebutuhan dasar (al-dlaruriyat al-khamsah) tersebut.

Dalam konteks ibadah haji tahun 2020 M/1441 H, perspektif Maqashid Al-Syariah Al-Syatibi penting untuk dijadikan analisa. Ibadah haji ini merupakan perintah Allah SWT, sebagaimana dinyatakan dalam QS.Ali Imran: 97, dan ia merupakan bagian dari prinsip menjaga agama (hifzh al-din). Akan tetapi, pada aspek implementasinya di tengah situasi wabah pandemi coronavirus disease 2019 (Covid-19), ternyata pelaksanaan ibadah haji di tahun 2020 sangat potensial bertentangan dengan kesehatan dan keselamatan jemaah. Tentu, kesehatan dan keselamatan atas jiwa manusia sebagai dari menjaga jiwa (hifzh al-nafs) menjadi kebutuhan yang harus diprioritaskan (dlaruriyah) dibanding dengan pelaksanaan ibadah haji itu sendiri. 

Di antara kaidah ushuliyah (kaidah yang dijadikan panduan dalam merumuskan hukum islam) menyebutkan bahwa hukum Islam harus dibangun atas prinsip La dharara wa La dhirara, tidak memudaratkan dan tidak pula dimudaratkan, atau tidak menularkan dan tidak pula tertularkan suatu penyakit. Dalam konteks pandemi saat ini, jemaah haji berpotensi akan tertular maupun menularkan covid-19 dari atau kepada jemaah lainnya. 

Pada aspek ini, kita menjadi mafhum atas alasan yang dikemukakan oleh Menteri Agama, sebagaimana yang dinyatakan dalam website resmi Kementerian Agama RI, yang mengutamakan keselamatan jemaah dengan membatalkan keberangkatan haji 1441H/2020M.

Menurut Menteri yang berpangkat Jenderal itu, selain mampu secara ekonomi dan fisik, kesehatan, keselamatan, dan keamanaan jemaah haji harus dijamin dan diutamakan, sejak dari embarkasi atau debarkasi, dalam perjalanan, dan juga saat di Arab Saudi.

Kedua, dari aspek fiqh, syarat wajib ibadah haji sekurang-kurangnya meliputi lima hal, yakni Islam, berakal, baligh, merdeka, dan mampu (istitha’ah). Khusus aspek mampu (istitha’ah) dalam ibadah haji itu setidaknya meliputi mampu secara ekonomi, mampu secara fisik, dan kemampuan dalam perjalanan yang diwujudkan dalam bentuk aman selama perjalanan. 

Dalam konteks keamanan dalam perjalanan ibadah haji di tengah pandemik covid-19, tentu ini menjadi pertanyaan sendiri. Pasalnya, Covid-19 yang kini tengah melanda lebih dari 200 (dua ratus) negara dan lebih dari 6,4 juta kasus itu sangat mengancam keselamatan dalam perjalanan ibadah haji. Dengan demikian, menurut hemat penulis, andai tanpa adanya keputusan pemerintah pun, masyarakat muslim Indonesia tidak memenuhi syarat wajibnya perjalanan ibadah haji itu sendiri, karena tidak amannya dalam perjalanan.

Regulasi

Meski negeri ini secara formal bukanlah negara agama, tetapi hampir seluruh kepentingan umat beragama telah diberikan regulasi dan fasilitas yang memadai oleh pemerintah, tak terkecuali dalam penyelenggaraan ibadah haji. Dengan adanya regulasi ini, pemerintah berkewajiban untuk melindungi serta memberikan fasilitas yang cukup dalam penyelenggaraan ibadah haji.

Melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah yang telah disahkan pada 26 April 2019, kedudukan ibadah haji demikian kuat. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 ini merupakan penyempurnaan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji yang ditetapkan pada tanggal 28 April 2008 sebelumnya. Dalam bagian keempat paragraf kedelapan pasal 41 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019, Menteri Agama dinyatakan “Bertanggung jawab memberikan perlindungan kepada jemaah haji dan petugas haji sebelum, selama, dan setelah Jemaah haji dan petugas haji melaksanakan ibadah haji”. 

Amanah ini tentu menjadi kewenangan Menteri Agama untuk memastikan perlindungan bagi seluruh warga negara yang menunaikan ibadah haji. Akan tetapi, dalam situasi Covid-19 ini, perlindungan warga negara yang menunaikan ibadah haji tidak ada yang mampu melakukan jaminan itu. Sebab, sebagaimana dimafhumi, berbagai sebab dan kondisi orang yang terkena covid-19 memiliki dimensi yang cukup beragam. 

Misalnya, mereka yang memiliki imunitas tinggi, sehingga meskipun terpapar Covid-19 tetapi tergolong orang tanpa gejala (OTG), dalam waktu bersamaan justru dapat menularkan virus kepada orang lain yang memiliki daya imunitas lemah. 

Oleh karenanya, Menteri Agama sebagai penanggung jawab dalam pelaksanaan ibadah haji ini, ia memiliki otoritas dalam memutuskan penundaan keberangkatan jemaah. Hal ini secara konkret diwujudkan dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 494 tahun 2020 tentang Pembatalan Keberangkatan Jemaah Haji pada Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1441H/2020 M.

Selain atas dasar Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, Menteri Agama selaku unsur pemerintah wajib turut serta dalam penanggulangan wabah. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular, terutama dalam Pasal 10, yang menyatakan “Pemerintah bertanggung jawab untuk melaksanakan upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)”. Jika merujuk pada tersebut, di antara upaya penanggulangan itu adalah melakukan upaya penanggulangan lainnya.

Menag mewujudkan upaya penanggulangan lainnya tersebut dengan tidak memberangkatkan jemaah haji guna mengurangi risiko penyebaran wabah Covid-19 . Sebaliknya, jika Menag tetap melakukan pemberangkatan jemaah haji, maka ia dinilai berpotensi turut serta menyebarkan wabah.

Sejarah

Sejatinya, pembatalan pemberangkatan ibadah haji baik dalam konteks Indonesia maupun di Arab Saudi sendiri, kali ini bukanlah yang pertama kalinya. Telah ada preseden dan kejadian serupa yang mendahuluinya. Dalam konteks negara Indonesia pasca merdeka, pada tahun 1947, Menteri Agama Fathurrahman Kafrawi, mengeluarkan Maklumat Kementerian Agama Nomor 4 Tahun 1947 tentang Penghentian Ibadah Haji di Masa Perang. Keputusan Menteri Agama saat itu didorong oleh pernyataan Hadratusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari, pada tanggal 20 April 1946, yang disampaikan dalam orasinya melalui Radio bahwa berangkat haji tahun itu hukumnya haram karena kemerdekaan bangsa sedang terancam direbut kembali oleh penjajah Belanda, dan perjalanannya tidak aman. Ancaman penjajah Belanda, sebagai salah satu unsur penting indikator istatha’ah dalam wujud keamanan perjalanan, dijadikan dasar atas pembatalan ibadah haji.

Pemerintah Indonesia bukanlah yang pertama memutuskan pembatalan keberangkan jemaah haji untuk tahun 2020 M/1441 H. Sebelumnya pada akhir Maret 2020, Pemerintah Mesir melalui Kementerian Wakaf meminta warganya untuk menunda niat haji tahun ini, karena anggaran negara untuk haji dialihkan untuk penanganan Covid-19. 

Dari sisi sejarah ibadah haji di tanah suci, pembatalan ibadah haji juga telah beberapa kali dilakukan. Merujuk tulisan Oman Fathurrahman, guru besar UIN Jakarta sekaligus juru bicara Kementerian Agama RI, musim haji tahun 749 H/1348-1349 M dibatalkan karena terjadi wabah di Mekah yang menyebabkan sejumlah besar jemaah haji meninggal dunia.

Pada tahun 1865 M, rute perjalanan ibadah haji ke dan dari Mekkah/Madinah menjadi kluster penyebaran wabah kolera yang amat mengerikan hingga korban sebanyak 15.000 jemaah haji meninggal akibat wabah tersebut. Bahkan, pada November 2009, WHO mencatat sebanyak 17.000 korban jemaah haji akibat flu A H1N1. 

Berdasarkan data-data ini, kita semua semakin yakin bahwa sebuah wabah itu dapat menimpa kepada siapapun. Ia tidak memandang agama, negara, dan sedang melakukan aktivitas apapun. Umat Islam yang sedang menunaikan ibadah haji pun bisa menjadi bagian dari korban atas terjadinya wabah itu. Demikian halnya dengan wabah Covid-19, ia juga berpotensi akan menimpa siapapun, termasuk kepada jamaah haji jika ia melaksanakannya.

Teknis Operasional

Argumen keempat atas dimakluminya pembatalan keberangkatan jemaah haji adalah dari sisi teknis-operasional pelaksanaan ibadah haji. Sebagaimana dimaklumi, Pemerintah Arab Saudi hingga tanggal 1 Juni 2020 belum memberikan kepastian tentang pelaksanaan ibadah haji untuk tahun 2020 M/1441 H. Sementara, pemerintah Indonesia dengan jumlah jemaah yang demikian besar, direncanakan seharusnya sudah menerbangkan kelompok terbang (kloter) pertama pada 26 Juni 2020 menuju Madinah. Artinya, hanya terdapat rentang selama 25 hari saja sejak 1 Juni 2020.

Sementara, proses penerbitan visa, sewa perbangan, sewa hotel, pemesanan makanan, dan lain-lain belum dipastikan, sebab belum adanya kepastian dari Pemerintah Saudi sendiri. Bahkan, andaipun hal tersebut telah dilakukan, dalam situasi Covid-19 ini, diperlukan waktu 28 (dua puluh delapan) hari untuk masa karantina sesuai protokol kesehatan, yakni 14 hari karantina di embarkasi di Indonesia, dan 14 hari karantika di demarkasi di Saudi Arabia. 

Melihat waktu yang tidak memungkinkan ini, tentu menjadi persoalan tersendiri yang memiliki dampak mudarat yang lebih besar jika ibadah haji tetap dilaksanakan.

Kerumitan secara teknis penyelenggaraan ibadah haji memang bukanlah hal yang mudah. Tidak semua hal-hal teknis penyelenggaraan ibadah haji sepenuhnya menjadi otoritas pemerintah Indonesia, tetapi sebagian besar memang sangat tergantung dari otoritas Pemerintah Saudi Arabia. Ketika jemaah itu sudah berada di tanah suci, Makkah Madinah, dan beberapa tempat di Saudi Arabia, maka tentu jemaah haji telah terikat dengan ketentuan-ketentuan yang diberlakukan oleh pemerintah Arab Saudi. Apalagi dengan persoalan sewa hotel, persediaan makan, tenda di Arafah dan Mina, visa haji dan penerbangan, serta hal-hal teknis lainnya, itu semua sangatlah rumit dan sama sekali tidak sederhana.

Belum lagi dari aspek jumlah pembiayaan yang harus dikeluarkan. Dari sisi penerbangan, misalnya, jumlah satu kloter yang biasanya diisi oleh sekitar 400 jemaah, oleh karena harus mengikuti ketentuan jaga jarak (physical distancing), maka hanya dapat diisi oleh separuhnya saja, yakni sekitar 200 (dua ratus) jemaah. Belum lagi, jumlah jemaah untuk setiap kamar, maka tentu dibutuhkan banyak kamar dan hotel yang harus disiapkan. Jumlah pembiayaan yang digunakan untuk penerbangan dan hotel, menurut hemat penulis, akan menimbulkan biaya yang jauh lebih besar; tentu ini juga akan menjadi perhatian kita semua. 

Inti dari semuanya, mulai dari aspek syariat hingga aspek teknis operasionalnya, jika ibadah haji tetap dilaksanakan memang cenderung menyulitkan dan tidak mudah untuk dilaksanakan. Oleh karenanya, keputusan Menteri Agama untuk membatalkan perjalanan ibadah haji ini sungguh sangatlah tepat.

Demikian, semoga manfaat.

Dr. Hj. Mesraini, SH. M.Ag

Dosen Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

KEMENAG RI

Utang Puasa Selama 200 Hari

Pertanyaan:

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ditanya:

Seorang wanita berusia lima puluh tahun tengah menderita diabetes (penyakit gula), sementara puasa baginya adalah suatu hal yang sangat memberatkan karena kondisinya yang seperti itu. Kendati demikian ia tetap berpuasa pada bulan Ramadhan, hanya saja ia tidak tahu bahwa hari-hari haidhnya selama beberapa tahun lalu itu, maka ia harus meng-qadha puasa selama dua ratus hari, bagaimanakah hukumnya yang dua ratus hari ini, sebab kini ia sedang sakit? Apakah Allah mengampuni apa yang telah lalu itu, ataukah ia tetap harus berpuasa dan memberi makan orang yang berpuasa? Apakah mesti memberi makan kepada orang yang berpuasa, atau memberi makan kepada sembarang orang miskin?

Jawaban:

Jika keadaannya seperti yang digambarkan oleh penanya, yaitu puasa akan membahayakan dirinya karena usianya yang telah lanjut atau karena penyakit yang dideritanya, maka ia harus memberi makan kepada seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya sebanyak hari tersebut. Begitu juga dengan puasapuasa yang akan datang jika berpuasa itu menyulitkan baginya dan tidak ada harapan untuk keluar dari kesulitannya itu, yaitu harus memberi makan kepada seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya (Durus wa Fatawa al-Haram al-Makki, Ibnu Utsaimin, 3/64).

Sumber: Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Jilid 1, Darul Haq, Cetakan VI, 2010

Read more https://konsultasisyariah.com/2382-utang-puasa.html

Hukum Sholat Jama’ah di Wilayah Zona Hijau Saat Wabah Covid19

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan ustadz saya mau tanya lagi
Ini kan Alhamdulillah di tempat saya kota Tegal yg sebelum nya zona merah sudah menjadi zona hijau corona namun di daerah sekitar kota Tegal seperti kabupaten Tegal brebes pemalang masih zona merah seperti yg di katakan pak gubernur ganjar pranowo. Apakah dengan demikian saya yg tinggal di kota Tegal yg sudah zona hijau. Diwajibkan kembali untuk sholat berjamaah si masjid?

Sdr. Yusuf, di Tegal.

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.

Bismillah walhamdulillah was sholaatu wassalam’ala Rasulillah wa ba’du.

Pertama, kekhawatiran tertular penyakit, adalah uzur yang diakui oleh syari’at Islam.

Di dalam kitab Al-Inshof, Imam Al-Mardawi rahimahullah menerangkan,

وَيُعْذَرُ فِي تَرْكِ الْجُمُعَةِ وَالْجَمَاعَةِ الْمَرِيضُ بِلَا نِزَاعٍ، وَيُعْذَرُ أَيْضًا فِي تَرْكِهِمَا لِخَوْفِ حُدُوثِ الْمَرَضِ

“Orang yang sakit, beruzur boleh tidak melaksanakan sholat Jumat dan sholat jama’ah di masjid. Tak ada perselisihan ulama tentang ini. Demikian pula bagi orang yang takut/khawatir tertular penyakit, juga diberi uzur tidak melaksanakan sholat Jum’at dan sholat jama’ah. (Lihat : Al-Inshof fi Ma’rifatir Rojih minal Khilaf, 2/300)

Oleh karenanya, selama di sebuah wilayah masih ada kekhawatiran tertular virus COVID-19, maka uzur tidak melaksanakan sholat Jum’at dan jama’ah di masjid, masih berlaku.

Meskipun wilayah tersebut telah berstatus zona hijau. Karena zona hijau saat ini, belum bisa dijadikan referensi meyakinkan amannya sebuah wilayah dari penularan virus ini. Hal ini karena:

– Banyaknya OTG (Orang Tanpa Gejala)
Besar kemungkinan banyak OTG yang tidak terdata.

– Ruang gerak masyarakat yang sulit dibatasi. Bahkan di wilayah yang diberlakukan PSBB pun masih banyak masyarakat membandel nekat keluyuran.

– Banyaknya masyarakat yang tidak komitmen dengan protokol pencegahan COVID-19.

– Keterbatasan alat kesehatan dan ketersediaan tenaga medis.

– Daya tampung RS di suatu wilayah juga menjadi pertimbangan.

Oleh karena itu, zona hijau tidak bisa semata-semata menjadi acuan gugurnya uzur tersebut, sampai benar-benar bisa dipastikan aman.

Kalau yang zona merah dan zona kuning, sudah jelas uzur tetap berlaku tanpa perlu pembahasan di sini.

Kedua, surat edaran Menteri Agama.

Alhamdulillah pemerintah dalam hal ini diwakili Menteri Agama, telah menerbitkan surat edaran panduan penyelenggaraan kegiatan keagamaan di rumah ibadah di masa Pandemi (*kami cantumkan di akhir tulisan). Ini bisa menjadi dasar pelaksanaan ibadah Jumat atau sholat jama’ah di masjid. Seraya tetap bertawakal kepada Allah.

Karena ketaatan kepada Ulil Amri, juga syariat yang diperintahkan Allah kepada umat Islam, selama keputusan tidak bertentangan dengan norma agama Islam. Dalilnya adalah firman Allah,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ

Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. (QS. An-Nisa’: 59)

Dan sabda Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam,

إِنَّهُ لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Khaliq.” (HR. Ahmad, shahih)

Dasar keputusan Menteri Agama, tidak lepas dari alasan di poin pertama, yaitu kekhawatiran tertular penyakit adalah uzur tidak jama’ah. Sehingga, wallahua’lam, keputusan tersebut tidak keluar dari norma agama, alhamdulillah.

Jika kita baca aturan yang pemerintah tetapkan sebagai panduan ibadah di masa Pandemi, menunjukkan adanya upaya menghilangkan kekhawatiran tersebut. Sementara kaidah fikih mengatakan,

الحكم يدور مع علته وجودا و عدما

“Ada dan tidaknya suatu hukum, bergantung pada ada dan tidaknya illat (alasan) hukum.”

Artinya, selama masih ada kekhawatiran, maka hukum berupa uzur tidak jama’ah di masjid masih berlaku. Selama kekhawatiran itu tidak ada, maka uzur tidak jama’ah di masjid berubah menjadi tidak berlaku.

Ketiga, taat Ulil Amri secara utuh.

Tidak cukup sekedar semata-mata mendengar judul berita, wacana “New Normal” atau warta “Pemerintah Sudah Membolehkan Pelaksanaan Ibadah di Rumah Ibadah”, kemudian dijadikan dasar membuka masjid untuk sholat jama’ah dan Jumat, tanpa membaca dan menerapkan detail aturan-aturan yang ditetapkan pemerintah.

Jika dasarnya adalah taat kepada Ulil Amri, maka silahkan laksanakan taat itu secara utuh.

Kami yakin, pemerintah kita tidak akan mengizinkan masjid membuka sholat jama’ah atau Jumat, tanpa menjalankan protokol pencegahan COVID-19 untuk rumah ibadah. Sehingga membuka masjid untuk sholat jama’ah dan Jumat, tanpa menjalankan aturan yang berlaku, tidak disebut sebagai amal sholih taat Ulil Amri. Lebih tepat disebut melanggar daripada taat.

Bagi masyarakat yang ingin membuka kembali masjidnya, harus siap melaksanakan aturan-aturan yang ditetapkan Kemenag berikut ini:

1. Rumah ibadah yang dibenarkan untuk menyelenggarakan kegiatan berjamaah/kolektif adalah yang berdasarkan fakta lapangan serta angka R-Naught/RO dan angka Effective Reproduction Number/Rt, berada di kawasan/lingkungan yang aman dari COVID-19.

Hal itu ditunjukkan dengan Surat Keterangan Rumah Ibadah Aman COVID-19 dari Ketua Gugus Tugas Provinsi/Kabupaten/Kota/Kecamatan sesuai tingkatan rumah ibadah dimaksud, setelah berkoordinasi dengan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah setempat bersama Majelis-majelis Agama dan instansi terkait di daerah masing-masing. Surat Keterangan akan dicabut bila dalam perkembangannya timbul kasus penularan di lingkungan rumah ibadah tersebut atau ditemukan ketidaktaatan terhadap protokol yang telah ditetapkan.

2. Pengurus rumah ibadah mengajukan permohonan surat keterangan bahwa kawasan/lingkungan rumah ibadahnya aman dari COVID-19 secara berjenjang kepada Ketua Gugus Kecamatan/ Kabupaten/Kota/Provinsi sesuai tingkatan rumah ibadahnya.

3. Rumah ibadah yang berkapasitas daya tampung besar dan mayoritas jemaah atau penggunanya dari luar kawasan/lingkungannya, dapat
mengajukan surat keterangan aman COVID-19 langsung kepada pimpinan daerah sesuai tingkatan rumah ibadah tersebut.

4. Kewajiban pengurus atau penanggung jawab rumah ibadah:

  • a. Menyiapkan petugas untuk mengawasi penerapan protokol kesehatan di rumah ibadah.
  • b. Melakukan pembersihan dan desinfeksi berkala.
  • c. Membatasi jumlah pintu/jalur keluar masuk rumah ibadah untuk pengawasan protokol kesehatan.
  • d. Menyediakan fasilitas cuci tangan, sabun, atau hand sanitizer di pintu keluar masuk rumah ibadah.
  • e. Menyediakan alat pengecekan suhu di pintu dan tidak membolehkan jamaah dengan suhu tubuh lebih dari 37,5 derajat Celcius masuk rumah ibadah.
  • f. Menerapkan pembatasan jarak minimal satu meter.
  • g. Melakukan pengaturan jumlah jemaah/pengguna rumah ibadah yang berkumpul dalam waktu bersamaan.
  • h. Mempersingkat waktu pelaksanaan tanpa mengurangi kesempurnaan beribadah.
  • i. Memasang himbauan penerapan protokol kesehatan di area rumah ibadah pada tempat-tempat yang mudah terlihat.
  • j. Membuat surat pernyataan kesiapan menerapkan protokol kesehatan yang telah ditentukan.
  • k. Memberlakukan penerapan protokol kesehatan secara khusus bagi jamaah dari luar lingkungan rumah ibadah.

5. Kewajiban masyarakat yang akan melaksanakan kegiatan di rumah ibadah:

  • a. Jamaah dalam kondisi sehat.
  • b. Meyakini rumah ibadah yang digunakan memiliki Surat Keterangan aman COVID-19 dari pihak yang berwenang.
  • c. Menggunakan masker/masker wajah sejak keluar rumah dan selama berada di area rumah ibadah.
  • d. Menjaga kebersihan tangan dengan sering mencuci tangan menggunakan sabun atau hand sanitizer.
  • e. Menghindari kontak fisik seperti bersalaman atau berpelukan.
  • f. Menjaga jarak antar jamaah minimal satu meter.
  • g. Menghindari berdiam lama di rumah ibadah atau berkumpul di area rumah ibadah selain untuk ibadah wajib.
  • h. Melarang beribadah di rumah ibadah bagi anak-anak dan warga lanjut usia yang rentan tertular penyakit, serta orang dengan sakit bawaan yang berisiko tinggi terhadap COVID-19.
  • i. Ikut peduli terhadap penerapan pelaksanaan protokol kesehatan di rumah ibadah sesuai dengan ketentuan.

6. Penerapan fungsi sosial rumah ibadah meliputi kegiatan pertemuan masyarakat, misal akad pernikahan/perkawinan, tetap mengacu pada ketentuan di atas dengan tambahan ketentuan sebagai berikut:

  • a. Memastikan semua peserta yang hadir dalam kondisi sehat dan negatif COVID-19.
  • b. Membatasi jumlah peserta yang hadir maksimal 2O% (dua puluh persen) dari kapasitas ruang dan tidak boleh lebih dari 30 orang.
  • c. Pertemuan dilaksanakan dengan waktu seefisien mungkin.

(Sumber : Surat Edaran Menteri Agama RI, Nomor : SE 15 Tahun 2020)

Jika siap melaksanakan aturan di atas, maka silahkan dibuka masjidnya dan berargumen dengan taat kepada Ulil Amri. Namun jika belum siap, mari berpindah pada argument taat Ulil Amri dalam judul yang berbeda. Tetap beribadah di rumah aja dulu.

Demikian. Wallahua’lam bis showab.

******

Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshori, Lc
(Pengajar di PP Hamalatul Qur’an Yogyakarta dan Pengasuh Situs thehumairo.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/36419-hukum-sholat-jamaah-di-wilayah-zona-hijau-saat-wabah-covid19.html

Bacaan Istighfar, Arti dan 10 Keutamaan yang Luar Biasa

Istighfar adalah memohon maghfirah (ampunan) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apa saja keutamaan dan bagaimana bacaan serta artinya? Berikut ini pembahasannya.

Tiada manusia yang bebas dari dosa. Kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang ma’shum, senantiasa dipelihara Allah dari dosa dan kesalahan. Allah mengajarkan kepada manusia untuk beristighfar sebagai salah satu bentuk taubat. Memohon ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Keutamaan Istighfar

Begitu banyak keutamaan istighfar yang bisa kita dapatkan dalam Al Quran dan hadits. Para ulama pun menyebutkannya dalam kitab-kitab fadhilah amal. Misalnya Imam Nawawi dalam Al Adzkar dan Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib.

1. Mendapat ampunan Allah

Siapa yang sungguh-sungguh memohon ampun kepada Allah, dia akan mendapat ampunan-Nya. Maka ketika kita terpeleset dalam dosa, segeralah beristighfar, memohon ampun kepada-Nya.

وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا

Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An Nisa: 110)

إِنَّ الشَّيْطَانَ قَالَ وَعِزَّتِكَ يَا رَبِّ لاَ أَبْرَحُ أُغْوِى عِبَادَكَ مَا دَامَتْ أَرْوَاحُهُمْ فِى أَجْسَادِهِمْ. قَالَ الرَّبُّ وَعِزَّتِى وَجَلاَلِى لاَ أَزَالُ أَغْفِرُ لَهُمْ مَا اسْتَغْفَرُونِى

Sesungguhnya syetan berkata, “Demi kemuliaan-Mu, aku akan selalu menyesatkan hamba-hamba-Mu selama ruh mereka ada dalam jasad mereka.” Lalu Allah berfirman, “Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, Aku akan selalu mengampuni mereka selama mereka memohon ampunan kepada-Ku.” (HR. Ahmad dan Hakim; hasan)

Dengan memperbanyak istighfar, sungguh-sungguh memohon ampun dan bertaubat kepada Allah, dosa sebanyak apa pun akan diampuni-Nya. Meskipun setinggi awan di langit maupun sebanyak buih di lautan.

قَالَ اللَّهُ يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِى وَرَجَوْتَنِى غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ وَلاَ أُبَالِى يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِى غَفَرْتُ لَكَ وَلاَ أُبَالِى

Allah berfirman, “Wahai anak Adam, sesungguhnya kamu memohon dan berharap kepada-Ku, niscaya Aku mengampunimu betapapun banyaknya (dosa) yang ada pada dirimu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, sekiranya dosa-dosamu mencapai awan di langit lalu kamu memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku mengampunimu dan Aku tidak peduli.” (HR. Tirmidzi; hasan lighairihi)

2. Mendapatkan rahmat Allah

Dengan banyak beristighfar, seseorang akan mendapatkan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabadikan doa Nabi Salih ‘alaihis salam:

قَالَ يَاقَوْمِ لِمَ تَسْتَعْجِلُونَ بِالسَّيِّئَةِ قَبْلَ الْحَسَنَةِ لَوْلَا تَسْتَغْفِرُونَ اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Dia (Shalih) berkata, “Hai kaumku, mengapa kalian meminta disegerakan suatu keburukan sebelum kebaikan? Mengapakah kalian tidak memohon ampun kepada Allah supaya kalian mendapatkan rahmat.” (QS An-Naml : 46)

3. Mendapat keberuntungan

Orang yang banyak beristighfar, ia akan mendapatkan keberuntungan. Terutama keberuntungan di akhirat. Begitu catatan amalnya banyak istighfar, yang didapatkan adalah keberuntungan demi keberuntungan di fase berikutnya hingga menuju surga.

طُوبَى لِمَنْ وَجَدَ فِى صَحِيفَتِهِ اسْتِغْفَارًا كَثِيرًا

“Beruntunglah orang yang di dalam catatan amalnya terdapat istighfar yang banyak.” (HR. Ibnu Majah; shahih)

4. Mendapat kebahagiaan

Pada yaumul hisab, ketika semua orang mendapatkan catatan amalnya, mereka ketakutan saat melihat keburukan demi keburukan yang telah dikerjakannya tercatat rapi dalam buku itu. Namun bagi orang yang banyak beristighfar, ia justru bergembira pada hari itu.

مَنْ أَحَبَّ أَنْ تَسُرَّهُ صَحِيْفَتُهُ فَلْيُكْثِرْ فِيْهَا مِنَ الْاِسْتِغْفَارِ

“Barangsiapa yang ingin catatan amalnya menyenangkannya, maka perbanyaklah istighfar.” (HR. Baihaqi; hasan)

5. Hujan dan keberkahan langit

Istighfar juga mendatangkan keberkahan langit, di antaranya dalam bentuk hujan. Sebagaimana Nabi Nuh ‘alaihi salam mengajarkan kepada umatnya.

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا . يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا

maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat. (QS. Nuh: 10-11)

Ibnu Katsir rahimahullan menjelaskan dalam tafsirnya, karena kandungan ayat ini, Surat Nuh disunnahkan dibaca saat Shalat Istisqa’.

6. Membuka pintu rezeki

Dengan banyak beristighfar, Allah membukakan pintu rezeki. Sehingga orang yang banyak beristighfar, mudah saja bagi Allah untuk membuatnya kaya.

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا . يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا

dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai. (QS. Nuh: 12)

“Nuh menghubungkan istighfar dengan rezeki-rezeki ini,” kata Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zilalil Qur’an. “Pada beberapa tempat dalam Al Qur’an juga disebutkan secara berulang-ulang kaitan kebaikan hati dan istiqamahnya pada petunjuk Allah dengan kemudahan rezeki dan kemakmuran.”

7. Mendapatkan keturunan

Dalam Surat Nuh ayat 12 tersebut, keutamaan istighfar bukan hanya Allah membanyakkan harta tetapi juga membanyakkan anak-anak. Maka orang yang banyak beristighfar, Allah mudahkan mendapatkan keturunan meskipun sudah bertahun-tahun seorang istri tidak hamil.

Keutamaan ini dipahami banyak ulama sehingga mereka menganjurkan orang yang ingin punya anak agar banyak beristighfar. Demikian pula ketika ada seseorang mengadu kepada Hasan Al Basri karena sudah lama menikah tapi belum punya anak. Lalu Hasan Al Basri menasehatkan, “Beristighfarlah kepada Allah”.

8. Keberkahan bumi

Selain keberkahan langit dengan diturunkannya hujan yang lebat dan bermanfaat, istighfar juga mendatangkan keberkahan bumi. Di antaranya dengan suburnya kebun-kebun dan mengalirnya air di sungai-sungai.

“Semuanya itu dengan syarat apabila kamu bertaubat kepada Allah dan memohon ampun serta taat kepada-Nya. Maka Dia akan memperbanyak rezeki kalian dan menyirami kalian dengan keberkahan dari langit dan menumbuhkan bagi kalian keberkahan bumi,” terang Ibnu Katsir dalam Tafsirnya.

“Sehingga bumi menjadi subur menumbuhkan tetanamannya dan menyuburkan bagi kalian air susu ternak kalian dan memberimu banyak harta dan anak-anak dan menjadikan bagi kalian kebun-kebun yang di dalamnya terdapat berbagai macam buah-buahan dan di tengah-tengahnya dibelahkan sungai-sungai yang mengalir.”

9. Ditambah kekuatannya

Orang yang banyak beristighfar, akan ditambah kekuatannya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً إِلَى قُوَّتِكُمْ وَلَا تَتَوَلَّوْا مُجْرِمِينَ

“Dan (dia berkata): ‘Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa,’” (QS. Hud: 52).

10. Dikabulkan doanya

Keutamaan istighfar berikutnya adalah, orang yang banyak beristighfar akan dikabulkan doanya. Bukankah yang menghalangi terkabulnya doa adalah dosa dan kemaksiatan? Sementara dosa-dosa itu terhapus dengan istighfar.

Banyak kisah para ulama mengenai terkabulnya doa orang yang banyak beristighfar ini. Bahkan kadang cara pengabulannya unik dan tak disangka-sangka. Seperti seorang laki-laki yang banyak beristighfar, semua doanya dikabulkan kecuali satu yakni bertemu Imam Ahmad.

Imam Ahmad yang mendengar langsung dari orang di depannya itu terperanjat. “Berarti aku kemalaman di desa ini, lalu diusir dari masjid dan menumpang di rumahmu merupakan cara Allah mengabulkan doamu. Akulah Ahmad bin Hanbal,” kata beliau kepada laki-laki tadi.

Baca juga: Ayat Kursi

Bacaan Istighfar dan Artinya

Banyak bacaan istighfar yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau sendiri beristighfar minimal 70 kali dalam sehari semalam, bahkan dalam riwayat yang lain disebutkan minimal 100 kali. Padahal dosa-dosa beliau telah dijamin diampuni Allah baik yang telah lalu maupun yang akan datang.

1. Istighfar singkat

Sebagaimana disebutkan dalam Shahih Muslim, Rasulullah biasa membaca istighfar singkat ini tiga kali setelah sholat.

أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ

(Astaghfirullah)

Artinya: Aku memohon ampun kepada Allah.

Ada pula yang lebih panjang sedikit tapi tetap tergolong singkat.

أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ الْعَظِيمَ

(Astaghfirullahal ‘adhiim)

Artinya: Aku memohon ampun kepada Allah yang Maha Agung.

2. Penghapus dosa sebanyak buih

Bacaan istighfar ini lebih panjang dengan keutamaan yang luar biasa. Yakni menghapus dosa meskipun dosanya sebanyak buih di lautan. Bahkan kalaupun pernah lari dari peperangan, sebagaimana diriwayatkan Imam Abu Dawud.

أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ الَّذِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَىُّ الْقَيُّومُ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ

(Astaghfirullah alladzii laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyuumu wa atuubu ilaih)

Artinya: Aku memohon ampun kepada Allah. Yang tidak ada ilah kecuali Dia yang Maha Hidup lagi terus menerus Mengurus makhluknya. Dan aku bertaubat kepada-Nya.

bacaan istighfar

Dalam riwayat Tirmidzi ada tambahan al adhiim sehingga menjadi:

أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ الْعَظِيمَ الَّذِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَىُّ الْقَيُّومُ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ

(Astaghfirullahal ‘adhiim alladzii laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyuumu wa atuubu ilaih)

Artinya: Aku memohon ampun kepada Allah yang Maha Agung. Yang tidak ada ilah kecuali Dia yang Maha Hidup lagi terus menerus Mengurus makhluknya. Dan aku bertaubat kepada-Nya.

3. Astaghfirullah wa atubu ilaih

Disebutkan Bunda Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, bacaan istighfar ini sering dibaca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau juga membacanya pada saat Fathu Makkah.

سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ

(Subhaanallahi wabihamdih astaghfirullah wa atuubu ilaih)

Artinya: Maha Suci Allah dan dengan memuji-Nya, aku memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya.

Istighfar astaghfirullah wa atuubu ilaihi inilah yang paling sering dibaca Rasulullah. Minimal 70 kali dalam sehari semalam.

4. Sayyidul istighfar

Sayyidul istighfar ini sangat istimewa. Memang lafadznya lebih panjang daripada bacaan lainnya, tetapi ia sangat ringan jika dibandingkan keutamannya yang luar biasa.

Rasulullah mensabdakan, siapa yang membacanya di siang hari dengan yakin kemudian ia meninggal di hari itu, maka ia termasuk penghuni surga. Siapa yang membacanya di malam hari dengan yakin kemudian ia meningga di malam itu, maka ia juga termasuk penghuni surga.

اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّى ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ ، خَلَقْتَنِى وَأَنَا عَبْدُكَ ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ ، أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَىَّ وَأَبُوءُ بِذَنْبِى ، اغْفِرْ لِى ، فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ

Artinya: Ya Allah, Engkau Tuhanku, tidak ada Tuhan selain Engkau, Engkau Yang telah menciptakanku dan aku adalah hamba-Mu. Aku berusaha semampuku untuk selalu berada dalam pemeliharaan dan janji-Mu. Aku berlindung kepada-Mu dari akibat buruk perbuatanku. Aku akui nikmat-Mu atas diriku dan aku juga mengakui betapa besarnya kesalahanku. Maka ampunilah aku. Sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.

sayyidul istighfar

Waktu Terbaik dan Berapa Banyak Membacanya

Kapan waktu terbaik membaca istighfar dan berapa banyak membacanya? Pada intinya, kita dianjurkan untuk banyak beristighfar.

Berapa banyak bilangannya? Rasulullah mencontohkan, beliau beristighfar minimal 70 kali dalam sehari semalam, bahkan dalam riwayat yang lain disebutkan minimal 100 kali. Padahal dosa-dosa beliau telah dijamin diampuni Allah baik yang telah lalu maupun yang akan datang.

Mestinya kita yang banyak dosa dan tidak ada jaminan diampuni, lebih banyak lagi beristighfar. Para ulama telah memberikan keteladanan yang baik. Mereka bisa beristighfar ribuan kali dalam sehari semalam.

Kapan waktu terbaik beristighfar? Pertama, setelah sholat. Khusus untuk dzikir dan doa setelah sholat, Rasulullah mencontohkan beristighfar tiga kali.

Kedua, pagi dan petang. Rasulullah mencontohkan untuk membaca sayyidul istighfar dalam dzikir pagi dan petang. Ini pula yang diamalkan banyak ulama, termasuk dalam Al Ma’tsurat yang disusun Hasan Al Banna.

Ketiga, waktu sahur. Sebagaimana firman Allah: “(yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) dan yang memohon ampun di waktu sahur.” (QS. Ali Imran: 17)

Keempat, setelah menyadari telah berbuat dosa. Membaca istighfar di waktu ini harus lebih bersungguh-sungguh karena merupakan bentuk kesungguhan taubat.

Kelima, ketika menutup majelis. Yakni beristighfar dengan membaca doa kafaratul majlis.

Keenam, di waktu-waktu lainnya. Sebagaimana nasehat Hasan Al Basri: “Perbanyaklah istighfar di rumah kalian, di meja makan kalian, di jalan-jalan kalian, di pasar dan di majlis-majlis kalian. Sungguh kalian itu tidak tahu kapankah ampunan Allah turun.”

Demikian pembahasan tentang istighfar mulai dari keutamaan, bacaan hingga waktu terbaik. Semoga Allah memudahkan kita untuk mengamalkannya sehingga mendapat ampunan dari Allah dan keutamaan lainnya. Wallahu a’lam bish shawab.

[Muchlisin BK/BersamaDakwah]






Tanda-tanda Cinta Allah kepada Kita

KALAU sudah mulai santai dan tak terlalu sibuk, mari kita evaluasi diri kita dengan bertanya kepada diri kita sendiri satu pertanyaan saja: “Apakah kita termasuk orang yang dicintai Allah?” Kira-kira apa jawaban kita dan apa ukurannya? Tak usah bingung dalam menjawabnya, saya sampaikan satu pedoman kecil sebagai jawaban dasarnya.

Abu Abdillah al-Saji menceritakan bahwa ada orang yang bekata kepadanya: “Ketahuilah bahwa salah satu tanda atau indikasi Anda adalah dicintai Allah adalah jika bertambahnya amal kebaikan untuk akhiratmu itu lebih membahagiakan hatimu ketimbang bertambahnya harta duniamu.”

Dua hal yang perlu ditanyakan pada diri kita: pertama, apakah amal kebaikan kita untuk akhirat kita bertambah atau bahkan mengurang jika dibandingkan dengan sebelum-sebelumnya?; jika jawabannya iya, maka masuklah pada pertanyaan kedua yakni apakah kita bahagia atau merasa terpaksa dalam melakukan amal kebaikan untuk akhirat kita?

Ada banyak orang yang bersorak dan berpesta pora karena telah berhasil menduduki jabatan penting atau berhasil mendapatkan keuntungan duniawi yang luar biasa. Pernahkah Anda melihat ada kebahagiaan besar yang luar biasa karena telah bisa berpuasa dan shalat tarawih serta beramal baik lainnya di bulan Ramadlan? Sekedar renungan saja. Semoga kita dalam ampunan dan bimbingan Allah. Salam, AIM. [*]

Oleh KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK