Apakah Boleh Shalat Merenggangkan Shaf Satu Meter di Musim Wabah?

Terkait hal ini ada perbedaan pendapat dan fatwa ulama kontemporer di zaman ini. Ada ulama yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan.

Dalam hal ini kita berlapang-lapang menerima perbedaan pendapat ini. Dasar perbedaan mereka yaitu

1. Apakah merapatkan shaf hukumnya sunnah atau wajib?

Apabila sunnah, maka hal yang disunnahkan boleh ditinggalkan. Terlebih ada hajat dan udzur

2. Apabila wajib, bolehkan yang wajib ini gugur dengannya udzur?

Ulama yang membolehkan menyatakan yang wajib bisa gugur apabila ada bahaya, sebagaimana shalat di masjidil haram dan masjid Nabawi karena sangat luas (dan ini udzur), terkadang shaf banyak yang tidak menyambung, tapi masih dianggap shalat berjamaah dan bagian dari shalat berjamaah

Terlebih udzurnya adalah bahaya, dalam hadits:

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

Tidak boleh membahayakan diri sendiri atau orang lain. (HR. Ahmad)

Banyak mengambil faidah dari tulisan berikut ini!

Penyusun: Raehanul Bahraen

Muslim Afiyah

Inilah Daftar Kasus Jamaah Haji Gagal Berangkat di Indonesia

Pemerintah melalui Kementerian Agama pada Selasa (2/6), telah mengumumkan keputusan tidak memberangkatkan jamaah haji dari Indonesia ke Arab Saudi pada musim haji 2020. Hal tersebut lantaran masih terjadinya pandemi covid-19 dan Arab Saudi yang tak kunjung memutuskan apakah perhelatan haji tahun ini jadi atau tidak.

Namun ternyata, kasus jamaah haji gagal berangkat asal Indonesia tidak hanya terjadi di tahun ini. Meskipun, skalanya tidak sebesar jamaah haji gagal berangkat pada 2020 ini yang sifatnya nasional. Berikut ini adalah beberapa kasus jamaah haji gagal berangkat di Indonesia.


*1456
Rombongan jamaah haji Sultan Aceh, Sultan Manshur Shah. Gagal berangkat karena menunggu kapal yang tidak kunjung tiba

*1477
Rombongan jamaah haji Sultan Aceh, Sultan Alauddin Riayat Shah. Gagal berangkat jarena kapal tidak datang


*1940-1945
Tak ada pengiriman jamaah haji dari Hindia Belanda karena larangan penjajah Belanda dan Jepang akibat perang dunia kedua


*1945-1948

Tak ada pengiriman jamaah haji dari Indonesia secara resmi. Hal ini berdasarka fatwa KH Hasyim Asyari yang mengharamkan pergi haji karena kemerdekaan bangsa terancam direbut kembali oleh penjajah. Fatwa ini menjadi dasar pijakan Menag Fathurrahman Kafrawi untuk mengeluarkan Maklumat Kementerian Agama No. 4/1947 tentang Penghentian Ibadah Haji di Masa Perang.


*1967

a. Yayasan Dana Bantuan dan Tabungan Haji Indonesia (YDBTHI)  gagal memberangkatkan jamaah hajinya karena sistem yang dilakukan tidak seimbang dengan biaya yang harus dikeluarkan yayasan.

b.  Yayasan Al-Ikhlas gagal memberangkatkan ratusan jamaah haji karena tidak berkoordinasi dengan pihak pelayaran ada tahun 1966.

*1970

Yayasan Muawanah Lil Muslimin (Ya Muallim) gagal berangkatkan 1.000 jamaah haji karena belum daftarkan jamaahnya pada PT Arafat sebagai penyelenggara perjalanan haji melalui kapal laut.

*1978

Banyak  jamaah haji yang telah mendaftar dan masuk dalam manifest keberangkatan PT Arafat, namun tak berangkat. Ini karena izin operasionalnya dicabut oleh Departemen Perhubungan.

*1995

Jumlah jamaah haji pada saat itu telah melebih kuota sebanyak 180.000 jamaah. Sehingga, terdapat ribuan jamaah yang terpaksa tidak bisa berangkat dan waktu itu menjadi keresahan nasional. Itulah yang kemudian menghilhami dibangunnya Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat).

*2004

Hal serupa terjadi lagi pada 2004 ketika Pemerintah RI meminta tambahan kuota kepada Pemerintah Arab Saudi sebanyak 30 ribu jamaah. Sayangnya, pemerintah terlanjur mengumumkan dan mempersiapkan tambahan kuota tersebut. Padahal, Pemerintah Arab Saudi belum mengabulkan. Hal tersebut cukup menghebohkan, sehingga penyelenggaraan haji kala itu dikritik dan mendapat catatan dari masyarakat. Sebanyak 30 ribu jamaah haji tidak jadi berangkat dan diprioritaskan pada tahun berikutnya.

*2020

Kementerian Agama memutuskan tidak memberangkatkan 221 ribu jamaah haji yang siap berangkat. Ini lantaran masih terjadinya pandemi covid-19 yang membuat Arab Saudi tak kunjung memutuskan nasib penyelenggaraan haji. Sehingga, persiapan yang dilakukan Kemenag RI untuk melayani jamaaj habi tak akan terkejar.

photo
infografis deretan kasus jamaah haji gagal berangkat di Indonesia. – (Republika)



Sumber: Haji Dari Masa ke Masa (2012) / Kemenag

IHRAM

Niat Calon Jamaah Haji 2020 Sudah Dicatat Allah

Kesedihan meliputi calon jamaah haji Indonesia yang gagal berangkat pada tahun ini. Hal tersebut lantaran pemerintah memutuskan tidak mengirimkan jamaah haji akibat masih terjadinya pandemi covid-19 dan belum adanya kepastian dari Arab Saudi soal penyelenggaraan ibadah haji.

Namun, meski calon jamaah haji yang dinyatakan berhak berangkat pada tahun ini, insya Allah niat hajinya sudah dicatat Allah. Maulana Muhammad Zakariyya Al Khandahlawi dalam kitab Fadhilah Haji mengutip sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Disebutkan “Sesungguhnya Allah mencatat berbagai kejelekan dan kebaikan lalu Dia menjelaskannya. Barangsiapa yang bertekad untuk melakukan kebaikan lantas tidak bisa terlaksana, maka Allah catat baginya satu kebaikan yang sempurna. Jika ia bertekad lantas bisa ia penuhi dengan melakukannya, maka Allah mencatat baginya 10 kebaikan hingga 700 kali lipatnya sampai lipatan yang banyak.”

Maulana Zakariyya juga mengutip pernyataan, Sa’id bin Al Musayyib, seorang ulama yang termasuk golongan tabi’in berkata, “Barangsiapa bertekad melaksanakan shalat, puasa, haji, umroh atau berjihad, lantas ia terhalangi melakukannya, maka Allah akan mencatat apa yang ia niatkan.”

Ketua Pimpinan Wilayah (PW) Muhammadiyah Sumatra Barat, Shofwan Karim juga berpendapat, niatan dari calon haji untuk menunaikan rukun Islam keenam sudah dicatat oleh Allah SWT walaupun pelaksanaan haji harus tertunda dulu.

“Niat mereka (calon jamaah haji) sudah sampai. Allah akan memberikan ganjaran bagi mereka yang sudah berniat. Kondisi sekarang sudah di luar kemampuan kita sebagai manusia. Mudah-mudahan tahun depan sudah bisa naik haji,” kata Shofwan kepada Republika beberapa hari lalu.

IHRAM

Shalat Berjamaah dan Jumat Ketika Ada Wabah

[Rubrik: Sekedar Sharing]

Ada banyak pendapat ulama dan fatwa yang membolehkan untuk tidak melaksanakan shalat berjamaah dan shalat jumat apabila ada wabah yang cepat menular di suatu tempat, bahkan sejarahnya disebutkan oleh Az-Zahabi bahwa dahulu masjid di Mesir dan Andulusia pernah ditutup dan dikosongkan karena wabah pada tahun 448 H.

Pemerintah Indonesia dan MUI mengeluarkan “himbaun” bukan suatu keharusan, sehingga keputusan shalat berjamaah atau tidak dikembalikan pada daerah masing-masing dan kebijakan masing-masing sesuai dengan pertimbangan kepala daerah setempat, para ustadz dan ahli medis setempat.

Kita hendaknya tidak saling mencela, Apabila shalat berjamaah dan jumat diputus tidak ada, kita hormati dan shalat di rumah masing-masing-masing. Apabila hendak shalat berjamaah, maka pastikan agar tidak kita mencegah penyebaran dan penularan. Misalnya, membawa sajadah sendiri, shalat dan khutbah ringkas, bersihkan lantai dan dinding dengan disinfektan, kalau bisa masjid menyediakan hand sanitizer, hindari bersalaman. Apabila sakit hendaknya shalat dirumah saja.

Semoga Allah segera mengangkat wabah dari Indonesia dan rumah

Penyusun: Raehanul Bahraen Artikel www.muslimafyah.com

Shalat Berjamaah di Fase New Normal Wabah

Sering muncul pertanyaan apakah kita tetap shalat berjamaah terkait dengan adanya penerapan konsep new normal wabah covid19. Jawabanya: untuk fatwa, kita kembalikan kepada ustadz setempat yang telah berkonsultasi atau berkoordinasi dengan pemerintah dan dinas kesehatan setempat. 

  1. Ada ustadz setempat yang berfatwa yang boleh shalat berjamaah
  2. Ada ustadz setempat yang berfatwa jangan shalat berjamaah sementara dahulu, bersabar sebentar setelah wabah berakhir kita shalat berjamaah kembali

Kami menekankan pada kata-kata “berkonsultasi”, karena ustadz setempat yang berfatwa perlu mengetahui gambaran kasus yang benar (tashawwur yang benar), sehingga dapat mengeluarkan fatwa yang benar pula. Apabila gambaran kasusnya (tashawwur) tidak tepat, maka fatwa juga tidak tepat. Dalam hal ini bukan ustadznya yang salah, tetapi salah informasi yang masuk atau salah memahami gambaran kasusnya. Inilah maksud dari kaidah fikh,

الْحُكْمَ عَلَى الشَّيْءِ فَرْعٌ عَنْ تَصَوُّرِهِ

Artinya: “Fatwa mengenai hukum tertentu merupakan bagian dari pemahaman orang yang memberi fatwa (terhadap pertanyaan yang disampaikan).”

Misalnya ada pertanyaan: “Ustadz Bagaimana hukum KB (Keluarga berencana) yang diperintahkan membatasi kelahiran?

Tentu sang ustadz akan menjawab: “Hukumnya haram, karena bertentangan dengan anjuran Islam memperbanyak keturunan, tentu dengan memperhatikan nafkah dan pendidikan anak”

Akhirnya menyebarlah fatwa “Hukum KB adalah haram secara mutlak”, padahal gambaran kasus (tashawwur) KB tidaklah demkian. Hukum KB ini dirinci berdasarkan tujuan:

  1. Tahdidun nasl [تحديد النسل] yaitu membatasi kelahiran, ini hukumnya haram
  2. tandzimun nasl  [تنظيم النسل] yaitu mengatur jarak kelahiran, ini hukum boleh bahkan pada beberapa kasus dianjurkan

Fatwanya bisa berbeda-beda setiap tempat, karena setiap tempat kondisinya berbeda-beda dan kebijakan pemerintah setempat berbeda-beda serta data di dinas kesehatan berbeda-beda.

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah menjelaskan bahwa fatwa dan hukum berubah sesuai keadaan ‘urf (kebiasaan) dan mashalahat keadaan saat itu. Beliau berkata

فإن الفتوى تتغير بتغير الزمان والمكان والعوائد والأحوال

“Sesungguhnya fatwa dapat berubah mengikuti perubahan zaman, tempat, adat istiadat dan kondisi.” [I’lamul Muwaqqi’in 6/114]

CATATAN PENTING terhadap kaidah di atas, yang berubah adalah fatwa yang terkait dengan ‘urf dan mashlahat keadaan saat itu, BUKAN dengan hukum syariat yang telah pasti dan tidak berubah sepanjang masa misalnya hukum shalat lima waktu, apapun hukumnya tetap wajib ‘ain.

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid menjelaskan,

التغير في الفتوى ، لا في الحكم الشرعي الثابت بدليله

“Yang berubah adalah fatwa, bukan hukum syariat yang telah tetap dengan dalil”

Sebagai contoh: Fatwa bolehnya makan babi karena darurat dan hanya ada daging babi saat itu, apabila tidak makan bisa mati.

Hukum makan babi adalah haram secara syariat dan tidak akan berubah, tetapi fatwa saat itu dan kondisi saat itu saja hukum makan babi menjadi boleh karena darurat.

Dalam kesempatan lain Ibnul Qayyim  menjelaskan bahwa hukum ada dua yaitu yang tidak berubah sepanjang masa dan hukum yang berubah sebagaima kami jelaskan di atas. Beliau berkata,

الأحكام نوعان:

النوع الأول: نوع لا يتغير عن حالة واحدة هو عليها، لا بحسب الأزمنة ولا الأمكنة، ولا اجتهاد الأئمة، كوجوب الواجبات، وتحريم المحرمات، والحدود المقدرة بالشرع على الجرائم ونحو ذلك، فهذه لا يتطرق إليه تغيير، ولا اجتهاد يخالف ما وضع له.

والنوع الثاني: ما يتغير حسب المصلحة له، زماناً ومكاناً وحالاً، كمقادير التعزيرات، وأجناسها، وصفاتها، فإن الشارع ينوع فيها بحسب المصلحة”. انتهى

“Hukum ada dua macam

  1. Hukum tidak berubah dari satu keadaan dan terus-menerus hukumnya seperti itu. Tidak berubah sesuai dengan waktu, tempat dan ijtihad para imama seperti kewajiban hukum yang wajib, keharaman hukum yang haram, hukuman hadd yang telah ditetapkan syariat pada beberapa kejahatan. Hukum ini tidak berubah dan tidak ada ijtihad yang dapat menyelisihi yang telah ditetapkan
  2. Hukum yang berubah sesuai dengan kemashalahatan terkait dengan waktu, tempat dan keadaan seperti kadar hukum ta’zir, jenis dan tata caranya sesuai dengan mashlahat.” [Ighatsatul Lahfan 1/330]

Hukum shalat berjamaah ini telah kami tulis di juga di awal-awal terjadinya wabah covid19 tanggal 20 maret dan penjelasannya masih sama. Silakan baca: Shalat Berjamaah dan Jumat Ketika Ada Wabah, di artikel selanjutnya!

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56875-shalat-berjamaah-di-fase-new-normal-wabah.html

Enam Nasihat Al-Ghazali

Al Ghazali memberikan enam nasihatnya.

Imam al-Gazali (wafat 1111 M) adalah ulama terkemuka dan termasyhur dalam dunia Islam memberi petuah lewat pertanyaan. Ia sangat mumpuni dalam bidang syariah (fikih, kalam, filsafat, dan tasawuf). Karya-karyanya begitu banyak dijadikan rujukan dan memberi inspirasi bagi generasi berikutnya.

Imam al-Ghazali bertanya kepada murid-muridnya akan enam hal biasa, tapi kemudian dijawab dengan luar biasa sebagai sebuah petuah.

Pertama, “Apakah yang paling dekat dengan diri kita?” Murid-muridnya menjawab: “Orang tua, guru, teman dan kerabat.” Sang Imam menghargai jawaban itu meski tidak sesuai harapan. Lalu beliau berkata: “Yang paling dekat adalah kematian.” Sebab, setiap yang bernyawa pasti mati (QS [3]:185, [29]: 57, [21]: 35), tanpa diduga (QS [21]: 34), sudah pasti dan tak bisa dipercepat atau diperlambat (QS [10]: 49, [63]: 11), dan tak bisa dihindari (QS [4]: 78, [62]: 8).

Kedua, “Apakah yang paling jauh dari diri kita?” Murid-muridnya menjawab: “Negeri Cina, Bulan, Matahari, dan Bintang.” Sang Imam berkata: “Yang paling jauh adalah waktu yang telah berlalu.” Waktu tak pernah berhenti hingga akhir masa (kiamat). Jika berlalu, tak pernah kembali. Semenit yang berlalu, lebih jauh dari seribu tahun yang akan datang. Dalam Alquran sedikitnya ada 224 kali dijelaskan tentang waktu, termasuk Allah bersumpah atasnya.

Ketiga, “Apakah yang paling besar di dunia ini?” Ada yang menjawab dengan gunung, Matahari, Bumi, dan lainnya. Al-Ghazali menjawab: “Yang paling besar adalah hawa nafsu.” Manusia bisa bertindak seperti binatang atau bahkan lebih hina karena tidak mampu mengendalikan hawa nafsu. (QS [7]: 179). Kita lihat, pejabat negara, politikus, birokrat, orang tua, guru dan siapa saja tertunduk malu karena tidak mampu mengendalikan hawa nafsu, baik syahwat, kekuasaan, maupun harta benda (korupsi).

Keempat, “Apakah yang paling berat di muka bumi ini?” Muridnya menjawab: “Baja, gulungan besi, gajah, dan lain-lain. Beliau melanjutkan: “Yang paling berat adalah amanah.” Manusia diutus ke muka bumi ini untuk menjadi khalifah (QS [2]: 30) dan diberi amanah memakmurkan alam semesta (QS [11]:61).

Kelima, “Apakah yang paling ringan di dunia ini?” Ada yang menjawab, yang paling ringan adalah kapas, angin, debu dan dedaunan kering. Al-Ghazali menjawab: “Yang paling ringan adalah meninggalkan shalat.” Shalat adalah tiang agama, siapa yang mendirikannya berarti menegakkan agama dan siapa meninggalkan sama dengan ia meruntuhkan agama. (HR Tabrani). Ringan dan mudah meninggalkannya, tapi tidak semudah menjalankannya.

Keenam, “Apakah yang paling tajam di dunia ini?” Dijawab oleh murid-muridnya dengan pedang. Al-Ghazai berkata: “Yang paling tajam adalah lidah.” Pepatah Arab menyebutkan, “Kalau pisau melukai badan, masih ada harapan sembuh. Tapi, jika lidah melukai hati, ke mana obat akan dicari.” Pepatah lain mengatakan: “Seorang bisa mati karena terpeleset lidahnya, tapi tidak akan mati karena terpeleset kakinya.” (Khuluqul Muslim, al-Ghazali, hlm 163). Wallahu a’lam bish-shawab.

Oleh Hasan Basri Tanjung

KHAZANAHREPUBLIKA

Antara Ibadah dan Tawakal

Kali ini kita akan membahas sebuah ayat mulia yang menjadi penutup dalam Surat Hud, yaitu Firman Allah swt :

وَلِلَّهِ غَيۡبُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَإِلَيۡهِ يُرۡجَعُ ٱلۡأَمۡرُ كُلُّهُۥ فَٱعۡبُدۡهُ وَتَوَكَّلۡ عَلَيۡهِۚ وَمَا رَبُّكَ بِغَٰفِلٍ عَمَّا تَعۡمَلُونَ

“Dan milik Allah meliputi rahasia langit dan bumi dan kepada-Nya segala urusan dikembalikan. Maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya. Dan Tuhanmu tidak akan lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS.Hud:123)

Ayat ini mengandung banyak sekali pesan penting yang mencakup urusan akidah, keyakinan dan syariat.

Mari kita berhenti pada beberapa poin penting berikut ini :

(1). Ingatlah selalu bahwa seluruh langit dan bumi beserta semua yang ada didalamnya ada dibawah kekuasaan Allah swt. Dan tidak ada sedikit pun yang terlepas dari Pengetahuan dan Ilmu Allah swt.

وَلِلَّهِ غَيۡبُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ

“Dan milik Allah meliputi rahasia langit dan bumi…”

(2). Dia lah Sang Pencipta dan Pengatur segala urusan di jagat raya ini.

Maka ingatlah selalu bahwa tiada amalan yang akan berarti apabila tidak engkau niatkan untuk meraih keridhoan Allah dan untuk mendapat keselamatan di Hari Kiamat. Karena di hari itu tidak akan ada jalan perlindungan kecuali dengan kembali kepada Allah.

Ingatlah selalu bahwa semua kenikmatan yang kau punya adalah pemberian Allah dan semua kemampuan yang kau miliki adalah anugerah dari-Nya.

وَإِلَيۡهِ يُرۡجَعُ ٱلۡأَمۡرُ كُلُّهُ

“Dan kepada-Nya segala urusan dikembalikan…”

(3). Poin yang tak kalah penting adalah bahwa kita diperintahkan untuk fokus dalam menyembah hanya kepada Allah, tidak kepada selain-Nya. Karena hanya Dia lah yang pantas untuk disembah.

فَٱعۡبُدۡهُ وَتَوَكَّلۡ عَلَيۡهِۚ

“Maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya…”

Adapun digabungkannya perintah ibadah dan tawakkal adalah bukti bahwa ibadah tidak akan bisa konsisten tanpa adanya rasa pasrah dan tawakal kepada Allah swt.

(4). Ayat ini di akhiri dengan Firman-Nya :

وَمَا رَبُّكَ بِغَٰفِلٍ عَمَّا تَعۡمَلُونَ

“Dan Tuhanmu tidak akan lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.”

Akhir ayat ini menunjukkan bahwa semua amal yang kita lakukan tidak pernah terlewat sedikit pun dari perhatian Allah swt. Tidak ada setitik pun amal yang tak tercatat. Tidak ada kebaikan yang sia-sia dan tiada dosa yang terlupakan.

Karenanya mari kita jadikan ayat ini sebagai pegangan hidup bahwa segala sesuatu ada yang mengatur, semuanya kembali kepada Allah. Maka selayaknya hamba yang tak memiliki apa-apa tugas kita adalah menyembah, beribadah, berusaha dan bertawakal. Karena setiap langkah dan hembusan nafas kita memiliki nilai di sisi Allah swt.

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Manfaatkan Penundaan Haji untuk Maksimalkan Manasik

Penundaan haji bisa dimanfaatkan untuk mematangkan manasik.

Pengamat Haji dan Umroh Ade Marfuddin menilai penundaan pelaksanaan ibadah haji 2020 memiliki hikmah. Salah satunya persiapan pembekalan ibadah atau manasik yang lebih matang. “Dengan rentang waktu satu tahun penundaan haji, pembinaan (manasik) ini menjadi penting. Dalam masa tunggu ini ruh ibadah jangan sampai luntur,” ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (3/6).

Pemerintah melalui Kementerian Agama disebut harus memanfaatkan waktu yang ada untuk memberikan bimbingan manasik yang maksimal kepada jamaah haji. Dengan jangka waktu satu tahun, pengetahuan manasik haji harus diperkuat dan lebih didalami oleh jamaah.

Sebelum melaksanakan ibadah haji, jamaah diharap sudah paham betul esensi dan simbol-simbol ibadah. Mereka yang berangkat melaksanakan ibadah haji 2021 nanti sudah harus betul-betul memahami dan memaknai kemandiriannya dari sisi ibadah.

“Nanti, tidak ada lagi, misal, jamaah yang kebalik tawafnya. Tidak ada lagi yang tidak tuntas melaksanakan sa’i. Masa tunggu ini cukup panjang, harus dimanfaatkan dengan optimal dan semaksimal mungkin. Ini hikmah yang bisa diambil,” ujarnya.

Pemerintah juga disebut dapat membuat skema manasik yang lebih komprehensif. Di satu sisi, jamaah juga menyadari hal ini sebagai masa untuk menggali pengetahuan tentang manasik.

Nantinya ketika berangkat, dengan persiapan yang sudah dilakukan selama ini, jamaah Indonesia menjadi rombongan yang memahami makna spiritual dan filosofis ibadah haji.

Terkait pengelolaan dana haji, mengutip pernyataan dari Kementerian Agama, ia menyebut dua skema sudah disiapkan. Salah satunya adalah pengembalian biaya pelunasan jamaah.

Untuk proses ini, Ade berharap sebaiknya dipermudah dan tidak dipersulit. Aspek ini dinilai penting karena uang tersebut adalah milik jamaah.

“Bagi jamaah yang memerlukan dana itu, silakan diproses. Tapi bukan berarti mereka yang menarik dananya lantas berarti membatalkan keberangkatan. Mereka tetap menjadi prioritas,” kata dia.

Dia mengingatkan jangan sampai ada kesan di masyarakat dengan mengambil uang pelunasan, status calon hajinya tahun depan berarti mundur atau harus antre ulang. Kalaupun nantinya jamaah tidak mengambil uang pelunasannya, lantas oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) ada akad akan dikelola, maka BPKH tidak boleh menutup diri dan harus transparan.

“Misal dana ini akan diinvestasikan untuk sektor syariah, atau sukuk syariah, hasilnya akan disalurkan ke virtual akun jamaah. Hasilnya bukan lagi ke dana optimalisasi. Hal-hal seperti ini harus diperjelas,” ujarnya.

Ade pun menegaskan jika uang tersebut adalah uang titipan jamaah kepada BPKH untuk dikelola selama satu tahun, sampai musim haji berikutnya.

IHRAM

Puasa Syawal Digabungkan Senin-Kamis Kenapa tidak?

ADA yang bertanya, bolehkah menggabungkan niat puasa syawal dengan puasa senin-kamis ?

Dilihat dari latar belakang disyariatkannya ibadah, para ulama membagi ibadah menjadi dua. Pertama, ibadah yang maqsudah li dzatiha, artinya keberadaan ibadah merupakan tujuan utama disyariatkannya ibadah tersebut. Sehingga ibadah ini harus ada secara khusus. Semua ibadah wajib, salat wajib, puasa wajib, dst, masuk jenis pertama ini. Termasuk juga ibadah yang disyariatkan secara khusus, seperti salat witir, salat duha, dst.

Termasuk jenis ibadah ini adalah ibadah yang menjadi tabi (pengiring) ibadah yang lain. Seperti salat rawatib. Dan sebagian ulama memasukkan puasa 6 hari bulan syawal termasuk dalam kategori ini.

Kedua, kebalikan dari yang pertama, ibadah yang laisa maqsudah li dzatiha, artinya keberadaan ibadah itu bukan merupakan tujuan utama disyariatkannya ibadah tersebut. Tujuan utamanya adalah yang penting amalan itu ada di kesempatan tersebut, apapun bentuknya.

Satu-satunya cara untuk bisa mengetahui apakah ibadah ini termasuk maqsudah li dzatiha ataukah laisa maqsudah li dzatiha, adalah dengan memahami latar belakang dari dalil masing-masing ibadah.(Liqa al-Bab al-Maftuh, Ibnu Utsaimin, volume 19, no. 51).

Kita akan lihat contoh yang diberikan ulama untuk lebih mudah memahaminya.

Contoh pertama, salat tahiyatul masjid.Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Apabila kalian masuk masjid, jangan duduk sampai salat 2 rakaat.”(HR. Bukhari 1163)

Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyarankan agar kita salat 2 rakaat setiap kali masuk masjid sebelum duduk. Artinya, yang penting jangan langsung duduk, tapi salat dulu. Tidak harus salat khusus tahyatul masjid. Bisa juga salat qabliyah atau salat sunah lainnya. Meskipun boleh saja jika kita salat khusus tahiyatul masjid.

Dari sini, salat keberadaan ibadah salat tahiyatul masjid itu bukan merupakan tujuan utama. Tapi yang penting ada amal, yaitu salat 2 rakaat ketika masuk masjid. Apapun bentuk salat itu.

Contoh kedua, puasa Senin-Kamis. Ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam ditanya mengapa beliau rajib puasa Senin Kamis, beliau mengatakan,

“Di dua hari ini (senin kamis), amalan dilaporkan kepada Allah, Rab semesta alam. Dan saya ingin ketika amalku dilaporkan, saya dalam kondisi puasa. (HR. Ahmad 21753, Nasai 2358, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Dalam hadis ini, siapapun yang melakukan puasa di hari senin atau kamis, apapun bentuk puasanya, dia mendapatkan keutamaan sebagaimana hadis di atas. Amalnya dilaporkan kepada Allah, dalam kondisi dia berpuasa. Baik ketika itu dia sedang puasa wajib, atau puasa sunah lainnya. Meskipun boleh saja ketika dia melakukan puasa khusus di hari senin atau kamis.

Menggabungkan Niat Dua Ibadah

Para ulama menyebutnya “at-Tasyrik fin Niyah” atau “Tadakhul an-Niyah” (menggabungkan niat). Terdapat kaidah yang diberikan para ulama dalam masalah menggabungkan niat,

“Jika ada dua ibadah yang sejenis, yang satu maqsudah li dzatiha dan satunya laisa maqsudah li dzatiha, maka dua ibadah ini memungkinkan untuk digabungkan. (Asyru Masail fi Shaum Sitt min Syawal, Dr. Abdul Aziz ar-Rais, hlm. 17).

Dari kaidah di atas, beberapa amal bisa digabungkan niatnya jika terpenuhi 2 syarat,

Pertama, amal itu jenisnya sama. Salat dengan salat, atau puasa dengan puasa. Kedua, ibadah yang maqsudah li dzatiha tidak boleh lebih dari satu. Karena tidak boleh menggabungkan dua ibadah yang sama-sama maqsudah li dzatiha.

Dari keterangan di atas, puasa syawal termasuk ibadah maqsudah li dzatiha sementara senin-kamis laisa maqsudah li dzatiha. Sehingga niat keduanya memungkinkan untuk digabungkan. Dan insyaaAllah mendapatkan pahala puasa syawal dan puasa senin-kamis.

Dari Umar bin Khatab radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat dan seseorang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan.” (Muttafaq alaih)

Karena dia menggabungkan kedua niat ibadah itu, mendapatkan pahala sesuai dengan apa yang dia niatkan. Allahu alam. []

Sumber konsultasi syariah (dijawab oleh Ustaz Ammi Nur Baits)

INILAH MOZAIK

Memahami Makna Sabar

Sabar memiliki arti yang luas.

Mengutip Ensiklopedi Tasawuf Imam Ghazali karya Luqman Junaedi, sabar memiliki arti yang cukup luas. Sabar tidak hanya dilakukan ketika seseorang tertimpa musibah. Tetapi, apa pun pekerjaan yang dilakukan dan diterima harus dibarengi dengan sikap sabar.

Sabar bisa berarti dapat menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam. Menahan diri dalam keadaan lapang dan keadaan sempit dan dari hawa nafsu yang menggoyahkan iman.

Sabar adalah salah satu tingkatan maqamat yang harus dilalui oleh setiap manusia yang beriman. Manusia yang ingin berada dalam jalan Allah SWT akan melalui jalan tersebut dengan sabar.

Masih dalam buku yang sama, menurut Sahla, sabar adalah mengharapkan kebahagian dari Allah dan sesuatu yang paling mulia juga utama. Menurut sufi lain, sabar adalah berlaku sabar dengan kesabaran dengan artian tidak mencari kebahagiaan dan kesenangan dalam bersabar.

Sedangkan, menurut pendapat Abu Ismail al Harawi dalam Kitab Manazil as- Sairin, sabar adalah menahan diri dari hal-hal yang tidak disenangi dan menahan lisan agar tidak mengeluh dan sabar yang paling lemah adalah sabar karena Allah.

Meski demikian, Ibnu Taimiyah mengatakan sabar dalam menghadapi musibah merupakan sikap sabar yang paling mendominasi. Jika seseorang memiliki stres, risih, resah, dan susah maka sebaik-baiknya senjata adalah bersabar

Saking pentingnya sikap sabar bagi setiap manusia, Allah menyebut kata sabar dalam Alquran sebanyak 70 kali. Sedangkan, ungkapan Allah yang khusus diperuntukkan bagi mereka yang bersabar tertuang setidaknya melalui 16 ayat Alquran yang berbeda-beda.

Di antaranya, surah al-Baqarah ayat 45. Allah meminta segenap hamba-Nya agar menjadikan shalat dan sabar sebagai media pelipur lara. “Dan mohonlah pertolongan terhadap Allah SWT dengan sabar dan shalat.”

Dari 16 ayat tersebut, tersarikan segudang hikmah dan manfaat bersabar. Hikmah  bersabar tersebut, antara lain, Allah memuji orang sabar sebagai golongan orang yang beriman dan bertakwa. Kemudian, orang yang tidak dapat bersabar merupakan orang yang lemah dan bersedih.

Allah mencintai orang-orang yang bersabar, Dia akan selalu dekat dengan orang yang bersabar, memberikan kebahagiaan pada orang-orang yang bersabar, serta Allah akan memberikan pahala dan ganjaran yang tanpa batas bagi orang-orang yang bersabar.

Selain itu, sabar bisa dikategorisasikan secara garis besar ketiga bagian yang utama, yaitu pertama, sabar karena pertolongan Allah. Artinya, seseorang mengetahui kesabaran karena pertolongan-Nya. Dan, Allahlah yang menganugerahkan kesabaran kepada hamba-Nya.

Kedua, sabar untuk Allah SWT. Maknanya, pendorong umat untuk bersabar adalah karena cinta pada-Nya. Penuh harap dan mendekat dengan berbagai ragam ketaatan kepada-Nya. Bukan hanya untuk memperlihatkan jiwa yang kuat dan ketabahan terhadap manusia lain ataupun tujuan lain.

Ketiga, sabar beserta Allah. Yakni, sabar yang dilakukan sesuai dengan hukum-hukum Allah. Sehingga, dia dapat menegakkan hukum Allah sekuat tenaga, pikiran, dan hatinya.

Terkait hukum bersikap wajar, tapi berdasarkan konsensus ulama, hukumnya wajib. Karena pada hakikatnya, menurut Islam, iman seseorang terbagi dua bagian, separuhnya terdapat kesabaran dan sebagiannya lagi terkandung rasa syukur.

KHAZANAH REPUBLIKA