Menghadapi Takdir dengan Takdir

Pertanyaan:

Bagaimana sikap seorang muslim dalam menerima takdir Allah terhadap wabah Corona sekarang ini?

Jawaban:

Terjadinya wabah Covid-19 telah ditakdirkan Allah Ta’ala, jauh sebelum adanya alam semesta. Itulah keyakinan yang musti dimiliki setiap muslim. Sebagai konsekuensi kepercayaannya terhadap rukun iman keenam.

Tentu di balik seluruh takdir Allah pasti ada hikmah kebaikannya. Sebab Allah adalah al-Hakim. Yang Maha Bijaksana. Insya Allah di lain kesempatan, penulis akan berupaya mengulas sebagian hikmah tersebut.

Jadi, kita wajib meyakini bahwa wabah Covid-19 adalah takdir Allah. Namun keyakinan tersebut tidak lantas membuat kita pasrah dan duduk berpangku tangan. Tidak ngapa-ngapain.

Justru sikap yang benar adalah kita harus berupaya menghadapi takdir ini dengan takdir Allah yang lainnya. Yaitu doa! Ya, kita harus berdoa. Yang menakdirkan hamba untuk berdoa, adalah Allah. Sehingga ketika terjadi musibah, lantas kita berdoa, sejatinya kita sedang menghadapi takdir dengan takdir.

Dahsyatnya Kekuatan Doa

Esok ada beberapa kemungkinan kelanjutan wabah ini. Bisa jadi akan semakin parah. Na’udzu billah min dzalik. 

Atau bisa jadi akan segera berakhir. Dan inilah yang kita harapkan. 

Dari dua kemungkinan itu, hanya Allah yang tahu, mana yang bakal terjadi.

Pun demikian, kita tetap harus berupaya untuk berdoa meminta keselamatan.

Apakah doa efektif? Tentu! Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَرُدُّ القَضَاءَ إِلاَّ الدُّعَاءُ

“Tidak ada hal yang bisa menolak takdir, kecuali doa”. (HR. Tirmidzi dan beliau menyatakan hadits ini hasan gharib)

Doa sangat efektif untuk mencegah sesuatu yang belum terjadi. Maupun untuk menangani sesuatu yang telah terjadi.

Doa bisa menghindarkan seseorang dari terpapar virus Covid-19. Juga bisa menyembuhkan orang yang telah positif mengidap penyakit tersebut.

Bukankah virus super kecil itu adalah makhluk ciptaan Allah? Yang tentu berada di bawah kendali-Nya. Apapun yang dikehendaki-Nya pasti terjadi. Begitu pula sebaliknya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan,

الدُّعَاءَ يَنْفَعُ مِمَّا نَزَلَ وَمِمَّا لَمْ يَنْزِلْ، فَعَلَيْكُمْ بِالدُّعَاءِ عِبَادَ اللَّهِ.

“Doa itu bermanfaat untuk menangani sesuatu yang sudah terjadi maupun yang belum terjadi. Wahai para hamba Allah, berdoalah!”. (HR. Ahmad. Isnad hadits ini dinilai sahih oleh al-Hakim)

Berdoa Yuk!

Ikuti arahan para ahli untuk melakukan hal-hal yang bersifat upaya preventif. Rajin cuci tangan menggunakan sabun. Berusaha banyak tinggal di rumah. Mengenakan masker saat harus keluar rumah. Melakukan social distancing. Serta tips-tips lainnya.

Namun ingat, upaya lahiriah saja tidak cukup! Sebab virus itu tidak terlihat mata telanjang. Bisa menembus batas-batas yang tidak kita prediksikan.

Maka solusi jitunya adalah iringi upaya lahiriah dengan menggencarkan doa. Bukankah di redaksi dzikir pagi-petang banyak doa permohonan keselamatan? Nunggu apa lagi? Ayo rutinkan!

Pesantren Tunas Ilmu, Kedungwuluh, Purbalingga, Selasa, 29 Rajab 1441 / 24 Maret 2020

Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A.

KONSULTASI SYARIAH

Muharram

Asal penamaan

Nama “Muharram” berasal dari kata “haram” yang artinya ‘suci’ atau ‘terlarang’. Dinamakan “Muharram” karena bulan ini termasuk salah satu bulan suci. (http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=27755)

Keutamaan bulan Muharram

1. Termasuk empat bulan haram (suci).

Allah berfirman,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ

مِنْهَا أرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ

Sesungguhnya, bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus ….” (QS. At-Taubah:36)

Keterangan:

  1. Yang dimaksud “empat bulan haram” adalah bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram (tiga bulan ini berurutan), dan Rajab.
  2.  Disebut “bulan haram” karena bulan ini dimuliakan masyarakat Arab, sejak zaman jahiliah sampai zaman Islam. Pada bulan-bulan haram, tidak boleh ada peperangan.
  3. Az-Zuhri mengatakan, “Dahulu, para sahabat menghormati syahrul hurum.” (HR. Abdur Razaq)

2. Dari Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya, zaman berputar sebagaimana ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Dalam satu tahun, ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci); tiga bulan berurutan: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, kemudian bulan Rajab suku Mudhar–antara Jumadi Tsani dan Sya’ban–.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

3. Dinamakan “syahrullah” (bulan Allah).

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik puasa setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim)

Keterangan:

  1. Imam An-Nawawi mengatakan, “Hadis ini menunjukkan bahwa Muharram adalah bulan yang paling mulia untuk melaksanakan puasa sunah.” (Syarah Shahih Muslim, 8:55)
  2. As-Suyuthi mengatakan, “Dinamakan ‘syahrullah‘–sementara bulan yang lain tidak mendapat gelar ini–karena nama bulan ini (yaitu) ‘Al-Muharram’ adalah nama islami. Berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Nama-nama bulan lainnya sudah ada di zaman jahiliah. Sementara dahulu, orang jahiliah menyebut bulan Muharram ini dengan nama ‘Shafar Awwal’. Kemudian, ketika Islam datang, Allah mengganti nama bulan ini dengan ‘Al-Muharram’, sehingga Allah menyandarkan nama bulan ini kepada dirinya (syahrullah)”. (Syarah Suyuthi ‘Ala Shahih Muslim, 3:252)

4. Bulan ini juga sering dinamakan “syahrullah al-asham” (bulan Allah yang sunyi). Dinamakan demikian karena sangat terhormatnya bulan ini, sehingga tidak boleh ada sedikit pun riak dan konflik di bulan ini.

5. Ada satu hari yang sangat dimuliakan oleh para umat beragama; hari itu adalah hari ‘Asyura. Orang Yahudi memuliakan hari ini karena hari ‘Asyura adalah hari kemenangan Musa bersama Bani Israil dari penjajahan Fir’aun dan bala tentaranya. Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau menceritakan, “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa di hari ‘Asyura. Beliau bertanya, ‘Hari apa ini?’ Mereka menjawab, ‘Hari yang baik; hari di saat Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan pasukan Fir’aun, sehingga Musa pun berpuasa pada hari ini sebagai bentuk syukur kepada Allah.’ Akhirnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Kami (kaum muslimin) lebih layak menghormati Musa daripada kalian.’ Kemudian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa.” (HR. Al-Bukhari)

6. Para ulama menyatakan bahwa bulan Muharram adalah adalah bulan yang paling mulia setelah Ramadhan

Hasan Al-Bashri mengatakan, “Allah membuka awal tahun dengan bulan haram (Muharram) dan menjadikan akhir tahun dengan bulan haram (Dzulhijjah). Tidak ada bulan dalam setahun, setelah bulan Ramadhan, yang lebih mulia di sisi Allah dibandingkan bulan Muharram.” (Lathaiful Ma’arif, hlm. 67)

Hadis Dhaif Seputar Muharram

1. “Barang siapa yang berpuasa selama sembilan hari pertama di bulan Muharram maka Allah akan bangunkan untuknya satu kubah di udara, yang memiliki empat pintu, yang tiap pintunya berjarak satu mil.” (Hadis palsu, sebagaimana keterangan Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu’at, 2:199 dan Asy-Syaukani dalam Al-Fawaid Al-Majmu’ah, hlm. 45)

2. “Barang siapa yang berpuasa di hari terakhir bulan Dzulhijjah dan hari pertama bulan Muharram, berarti dia telah mengakhiri pengujung tahun dan mengawali tahun baru dengan puasa. Allah jadikan puasanya ini sebagai kafarah selama lima tahun.” (Hadis dusta, karena pada sanadnya terdapat dua pendusta, sebagaimana keterangan Asy-Syaukani dalam Al-Fawaid Al-Majmu’ah, hlm. 45)

3. “Sesungguhnya, Allah mewajibkan Bani Israil berpuasa sehari dalam setahun, yaitu hari ‘Asyura, yaitu hari kesepuluh bulan Muharram. Oleh karenanya, berpuasalah kalian di bulan Muharram dan berilah kelonggaran (makan enak dan pakaian baru) untuk keluarga kalian, karena inilah hari di saat Allah menerima tobat Adam ‘alaihis salam ….” (Al-Fawaid Al-Majmu’ah, hlm. 46)

4. “Barang siapa yang berpuasa sehari di bulan Muharram, maka untuk satu hari puasa, dia mendapat pahala puasa tiga puluh hari.” (Hadis palsu, sebagaimana keterangan Al-Albani dalam Silsilah Hadis Dhaif, no. 412)

5. “Bulan yang paling mulia adalah Al-Muharram.” (Hadis dhaif, sebagaimana keterangan Al-Albani dalam Dha’if Al-Jami’ Ash-Shagir, no. 1805)

6. “Pemimpin umat manusia: Adam, pemimpin bangsa Arab: Muhammad, pemimpin bangsa Romawi: Shuhaib Ar-Rumi, pemimpin bangsa Persia: Salman Al-Farisi, pemimpin bangsa Habasyah: Bilal bin Rabah, pemimpin gunung: Gunung Sina, pemimpin pohon: bidara, pemimpin bulan: Muharram, pemimpin hari: hari Jumat ….” (Hadis palsu, sebagaimana keterangan Al-Albani dalam Dha’if Al-Jami’ Ash-Shagir, no. 7069)

Amalan sunah di bulan Muharram

1. Memperbanyak puasa selama bulan Muharram.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik puasa setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim)

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau mengatakan, “Saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih satu hari untuk puasa yang lebih beliau unggulkan daripada yang lainnya, kecuali puasa hari ‘Asyura dan puasa bulan Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

2. Puasa ‘Asyura (puasa tanggal 10 Muharram).

Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Dahulu, hari ‘Asyura dijadikan orang Yahudi sebagai hari raya. Kemudian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Berpuasalah kalian!’” (HR. Al-Bukhari)

Dari Abu Qatadah Al-Anshari radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa ‘Asyura, kemudian beliau menjawab, “Puasa ‘Asyura menjadi penebus dosa setahun yang telah lewat.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau mengatakan, “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Madinah, orang-orang Yahudi sedang berpuasa ‘Asyura. Mereka mengatakan, ‘Ini adalah hari di saat Musa menang melawan Fir’aun.’ Kemudian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat, ‘Kalian lebih berhak terhadap Musa daripada mereka (orang Yahudi). Karena itu, berpuasalah!’” (HR. Al-Bukhari)

Keterangan:

Puasa ‘Asyura merupakan kewajiban puasa pertama dalam Islam, sebelum Ramadhan. Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz radhiallahu ‘anha, beliau mengatakan, “Suatu ketika, di pagi hari ‘Asyura, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang untuk mendatangi salah satu kampung penduduk Madinah untuk menyampaikan pesan, ‘Barang siapa yang di pagi hari sudah makan maka hendaknya dia puasa sampai magrib, dan barang siapa yang sudah berpuasa maka hendaknya dia lanjutkan puasanya.’” Rubayyi’ mengatakan, “Kemudian, setelah itu, kami berpuasa dan kami mengajak anak-anak untuk berpuasa. Kami buatkan mainan dari kain untuk mereka. Jika ada yang menangis meminta makanan, kami memberikan mainan itu. Begitu seterusnya, sampai datang waktu berbuka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Setelah Allah mewajibkan puasa Ramadhan, puasa ‘Asyura menjadi puasa sunah. Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan, “Dahulu, hari ‘Asyura dijadikan sebagai hari berpuasa orang Quraisy di masa jahiliah. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melaksanakan puasa ‘Asyura dan memerintahkan sahabat untuk berpuasa. Setelah Allah mewajibkan puasa Ramadhan, beliau meninggalkan hari ‘Asyura. Barang siapa yang ingin berpuasa ‘Asyura maka dia boleh berpuasa; barangsiapa yang tidak ingin berpuasa ‘Asyura maka dia boleh tidak berpuasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

3. Puasa Tasu’a (puasa tanggal 9 Muharram).

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan puasa ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, ada sahabat yang berkata. “Wahai Rasulullah, sesungguhnya hari ‘Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nasrani.” Kemudian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahun depan, kita akan berpuasa di tanggal sembilan.” Namun, belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah diwafatkan. (HR. Al-Bukhari)

Keterangan:

Ada pendapat yang mengatakan bahwa dianjurkan melaksanakan puasa tanggal 11 Muharram, setelah puasa ‘Asyura. Pendapat ini berdasarkan hadis, “Berpuasalah (di) hari ‘Asyura dan janganlah sama dengan orang Yahudi. Berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.” (HR. Ahmad dan Al-Bazzar). Namun, sanad hadis ini dhaif, sebagaimana keterangan Al-Albani dan Syekh Syu’aib Al-Arnauth. Oleh karena itu, yang lebih tepat, puasa satu hari setelah ‘Asyura itu tidak disyariatkan. Sebagai gantinya adalah puasa sehari sebelumnya.

Imam Ahmad mengatakan bahwa jika awal bulan Muharram tidak jelas maka sebaiknya berpuasa tiga hari: (tanggal 9, 10, dan 11 Muharram). Beliau mempraktikkan hal itu agar lebih yakin untuk mendapatkan puasa tanggal 9 dan 10. (Al-Mughni, 3:174; diambil dari Al-Bida’ Al-Hauliyah, hlm. 52)

4. Puasa tiga hari setiap bulan (puasa Yaumul Bidh).

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Kekasihku (Rasulullah)–shallallahu ‘alaihi wa sallam–berwasiat kepadaku dengan tiga hal: puasa tiga hari setiap bulan, dua rakaat salat dhuha, dan witir sebelum tidur.” (HR. Al-Bukhari)

Bid’ahbid’ah di bulan Muharram

Ada banyak bid’ah yang dilakukan kaum muslimin terkait bulan Muharram, baik dalam masalah akidah dan keyakinan, maupun amal harian. Berikut ini adalah beberapa amal bid’ah di sekitar kita, terkait bulan Muharram:

Pertama: Keyakinan bahwa bulan Muharram adalah bulan sial.

Dalam bahasa Jawa, bulan Muharram sering disebut dengan “bulan syura (suro)”. Sebagian masyarakat Jawa berkeyakinan bahwa bulan syura (suro) adalah “bulan sial”. Mereka diimbau untuk tidak mengadakan kegiatan apa pun ketika bulan syura (suro). Barang siapa yang berani mengadakan kegiatan di bulan syura (suro), maka: awas, itu alamat ciloko (celaka)!

Pada hakikatnya, keyakinan ini adalah keyakinan syirik, karena berkeyakinan sial terhadap sesuatu tanpa dalil adalah termasuk thiyarah, dan thiyarah adalah perbuatan kesyirikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik ….” (HR. Abu Daud dan At-Turmudzi; dan dinilai sahih oleh Al-Albani)

Kedua: Menampakkan kesedihan mendalam di bulan Muharram.

Pada hari ‘Asyura, tergoreskan satu kenangan pahit bagi kaum muslimin, bagi orang yang memuliakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, dan keluarga beliau. Di hari ‘Asyura, Allah memuliakan Husain bin Ali bin Abi Thalib dengan syahadah. Beliau dibantai di tanah Karbala oleh para pengkhianat dari Irak. Sebagai muslim, kita menganggap ini sebagai musibah.

Namun, perlu diketahui, ada musibah yang jauh lebih besar dari itu, berupa munculnya sikap ekstrim sebagian kaum muslimin karena motivasi mengultuskan Husain. Mereka menjadikan hari itu sebagai hari berkabung, hari belasungkawa besar-besaran.

Pada sepuluh hari pertama bulan Muharram, di sebagian negara, semua cahaya dimatikan, manusia keluar, anak-anak memenuhi jalan, mereka meneriakkan, “Wahai Husain, wahai Husain ….” Bunyi gendang terdengar di mana-mana. Ada juga yang menusuk dan menyayat tubuhnya dengan pedang, sebagai bentuk bela sungkawa yang mendalam atas kematian Husain. Pada saat yang sama, tokoh mereka berkhotbah menyampaikan kebaikan-kebaikan Husain dan mencela para sahabat lainnya. Mereka mencela Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan.

Merekalah gerombolan Syi’ah Rafidhah, sekelompok manusia yang membangun agama dan keyakinannya berdasarkan kedustaan tokoh dan pemuka Syiah; manusia yang berakidah sesat. Semoga Allah menjauhkan kita dari kejelekan mereka.

Ketiga: Bergembira di hari ‘Asyura.

Kebalikan dengan kelompok sebelumnya; kelompok ini menjadikan hari ‘Asyura sebagai hari raya dan kegembiraan. Merekalah sekelompok orang yang memproklamirkan diri sebagai musuh Syi’ah Rafidhah. Mereka adalah kelompok Khawarij, yang memiliki prinsip yang bertolak belakang dengan Syiah, dan mereka juga membenci keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Artikel www.yufidia.com

Keutamaan Bulan Muharram

بسم الله الرحمن الرحيم

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم « أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ ». وَفِي رِوَايَةٍ: ( اَلصَّلاَةُ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ )

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah bulan Allah Muharram, dan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam.” Dalam sebuah riwayat disebutkan: “Yaitu shalat di tengah malam.” (HR. Muslim)

Hadis di atas menunjukkan keutamaan puasa Muharram, dan keutamaannya menduduki posisi kedua setelah puasa Ramadhan. Demikian juga menunjukkan keutamaan bulan Muharram karena disebut sebagai bulan Allah.

Bulan Muharram disebut sebagai bulan Allah sebagai bentuk penghormatan terhadap bulan ini, karena Allah tidaklah menyandarkan sesuatu kepada-Nya kecuali karena keistimewaannya, seperti Baitullah (rumah Allah), rasulullah (utusan Allah) dsb.

Telah terjadi kesepakatan di zaman khalifah Umar bin Khathtab bahwa bulan Muharram sebagai bulan pertama tahun Hijriah.

Bulan Muharram adalah salah satu di antara empat bulan haram (yang dihormati). Empat bulan haram tersebut adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya jumlah bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu…” (QS. At Taubah : 36)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ .” رواه البخاري

Setahun ada dua belas bulan, di antaranya ada empat bulan haram; tiga berurutan yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram, sedangkan Rajab Mudhar antara Jumada (Tsaniyah) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari)

Bulan ini dinamakan “Muharram” yang artinya “diharamkan” untuk memperkuat keharamannya melakukan dosa di bulan tersebut. Ibnu Abbas mengatakan dalam menafsirkan ayat “maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan-bulan) itu” :

“(Yakni) di seluruh bulan itu, kemudian Allah mengkhususkan di antara bulan-bulan itu yaitu empat bulan, dijadikan-Nya bulan yang empat itu haram serta dimuliakan-Nya kehormatan bulan-bulan itu. Dia pun menjadikan dosa di bulan haram itu lebih besar dosanya (dibanding bulan lainnya), dan beramal saleh di bulan-bulan itu lebih besar pahalanya.”

Bulan Muharram, Bulan Hijriah bagi umat Islam

Allah Ta’ala menjadikan bulan sebagai tanda-tanda waktu bagi manusia, firman-Nya:

Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.” (QS. Al Baqarah: 189)

Tanda awal dan akhir bulan-bulan tersebut dapat diketahui dengan mudah oleh manusia. Namun sayang, kebanyakan kaum muslimin meninggalkan kalender Hijriah ini dan menggunakan kalender Masehi. Hal ini merupakan tanda kelemahan, kemunduran dan mengekornya kepada non muslim, akibatnya kaum muslimin menjadi jauh dari kalender mereka yang dapat mengingatkan mereka dengan syi’ar agama dan ibadah mereka. Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim ketika memilih kalender, tetap mencari kalender yang di sana menyebutkan bulan-bulan Hijriah agar mereka dapat mengingat syi’ar agamanya. Misalnya mengingatkannya dengan Bulan Ramadhan, bulan Syawwal, bulan hajji, 10 hari pertama bulan Dzulhijjah, puasa ayaamul biidh (tengah bulan; 13, 14 dan 15 setiap bulan), bulan Muharram dengan puasa Tasu’a dan ‘Asyuranya, dsb.

Cara Pelaksanaan Puasa Muharram

Para ulama menjelaskan bahwa hadis yang disebutkan di atas merupakan dorongan untuk memperbanyak puasa di bulan Muharram, namun tidak secara penuh setiap harinya. Hal ini berdasarkan perkataan Aisyah radhiyallahu ‘anha“Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan dan aku tidak pernah melihat puasa yang paling banyak dilakukan Beliau selain di bulan Sya’ban.” (HR. Muslim)

Puasa ‘Asyura (10 Muharram) Dalam Sejarah

Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa kaum Quraisy berpuasa pada hari ‘Asyura di masa jahiliyyah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkannya sampai puasa Ramadhan diwajibkan. Setelah itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

« مَنْ شَاءَ فَلْيَصُمْهُ ، وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ » .

“Barangsiapa yang hendak berpuasa (Asyura), maka silahkan berpuasa dan barangsiapa yang hendak berbuka, maka silahkan berbuka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Berdasarkan hadis ini, hari ‘Asyura adalah hari yang sudah masyhur di zaman jahiliyyah, mereka biasa berpuasa di hari itu dan menjadikannya hari untuk menutup Ka’bah sebagaimana dikatakan Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam riwayat Bukhari. Al Qurthubiy berkata: “Mungkin yang mereka jadikan sandaran melakukan puasa di hari itu adalah syariat Ibrahim dan Isma’il, mereka biasa menyandarkan sesuatu kepada keduanya sebagaimana mereka menyandarkan masalah hajji dan lainnya kepada keduanya…” (al-Mufhim, 3:190)

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan sbb:

قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى ، قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ . “

“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, Beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura, maka Beliau bertanya, “Ada apa hari ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah hari yang baik, inilah hari di mana Allah menyelamatkan Bani Isra’il dari musuh mereka, maka Musa berpuasa di hari ini”, Beliau bersabda, “Aku lebih berhak dengan Musa daripada kalian.“, Beliau kemudian berpuasa di hari itu dan menyuruh para sahabatnya berpuasa.” (HR. Bukhari, Ahmad menambahkan, “Ini adalah hari di mana perahu (Nabi Nuh) berlabuh di bukit Judiy, maka Nabi Nuh berpuasa di hari itu sebagai tanda syukur”)

Puasa hari ‘Asyura ini berdasarkan hadis-hadis yang lain awalnya adalah wajib, namun setelah difardhukan puasa Ramadhan maka hukum puasa ‘Asyura menjadi sunat.

Keutamaan Puasa ‘Asyura

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang puasa ‘Asyura, Beliau menjawab :

يُكَفِّرُ السَّنَةَ اْلمَاِضَيةِ

Menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Puasa hari ‘Arafah akan menghapus dosa dua tahun, hari ‘Asyura satu tahun dan amin seseorang (dalam shalatnya) bertepatan dengan amin malaikat akan menghapuskan dosa-dosanya yang telah lalu…ini semua menghapuskan dosa, yakni jika ada dosa kecil akan dihapusnya, namun jika tidak ada dosa yang kecil maupun yang besar, maka akan dicatat beberapa kebaikan dan ditinggikan derajatnya,…tetapi jika ada satu dosa besar atau lebih dan tidak berhadapan dengan dosa kecil, kita berharap amalan tersebut bisa meringankan dosa-dosa besar.” (al-Majmu’ Juz 6, shaumu yaumi ‘Arafah)

Disyariatkan Pula Puasa Tasu’a (9 Muharram)

Untuk menyelisihi orang-orang Yahudi yang berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja, kita disyariatkan untuk berpuasa pada tanggal sembilan Muharram. Ibnu Abbas berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada tanggal sepuluh dan menyuruh para sahabatnya berpuasa. Para sahabat berkata, “Sesungguhnya hari ini adalah hari yang dimuliakan oleh orang-orang Yahudi”, maka Beliau bersabda:

فَــإِذَا كـَـانَ اْلعَامُ اْلمُقْبِلُ ـ إِنْ شَاءَ اللهُ ـ صُمْنَا الْـيَـوْمَ الـتَّـاسِــعَ

Kalau begitu, jika tiba tahun depan –Insya Allah- kita akan berpuasa pada tanggal sembilannya (yakni dengan tanggal sepuluhnya).” (HR. Muslim).

Namun belum tiba tahun berikutnya, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah wafat.

Jika tidak sempat tanggal sembilannya, maka bisa tanggal sepuluh dengan sebelasnya untuk menyelisihi orang-orang Yahudi.

Pelajaran:

“Bagaimanakah jika hari ‘Asyura (10 Muharram) bertepatan dengan hari Jumat atau hari Sabtu?”

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan tentang larangan puasa pada hari sabtu, ia berkata:

“Perlu diketahui bahwa puasa pada hari sabtu memiliki beberapa keadaan:

Keadaan pertama, bertepatan dengan kewajibannya seperti puasa Ramadhan, qadha’nya atau puasa kaffarat, puasa pengganti hadyu pada hajji tamattu’ dsb., maka hal ini tidak mengapa selama tidak mengkhusukan puasa sabtu dengan anggapan bahwa hari sabtu memiliki keistimewaan.

Keadaan keduajikaia melakukan puasa sebelumnya yaitu pada hari Jumat, maka hal ini tidak mengapa; karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada salah seorang Ummul mukminin yang ketika itu berpuasa pada hari Jumat, “Apakah kemarin kamu berpuasa?” ia menjawab, “Tidak”, lalu Beliau bertanya lagi, “Apakah kamu besok berpuasa?” ia menjawab, “Tidak” maka Beliau bersabda, “Kalau begitu, berbukalah.” Kata-kata “Apakah kamu besok berpuasa?” menunjukkan bolehnya berpuasa (pada hari Sabtu) jika bersama dengan hari Jumat.

Keadaan ketiga, (hari sabtu) bertepatan dengan hari-hari yang disyariatkan puasa seperti ayyamul biidh (13, 14 dan 15 Dzulhijjah), hari ‘Arafah, hari ‘Asyura, enam hari di bulan Syawwal bagi yang puasa Ramadhan dan sembilan Dzulhijjah maka tidak mengapa (puasa pada hari sabtu), karena ia lakukan puasa bukan karena hari Sabtunya tetapi karena bertepatan dengan hari-hari yang disyariatkan puasa.

Keadaan keempat, Bertepatan dengan kebiasaannya, seperti ia biasa sehari puasa dan sehari berbuka, lalu ternyata hari puasanya bertepatan pada hari sabtu maka hal ini pun tidak mengapa sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang puasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan yang dilarang Beliau kecuali bagi orang yang memiliki kebiasaan puasa maka tidak dilarang, ini pun sama.

Keadaan keenam, mengkhususkan hari sabtu untuk berpuasa, sehingga ia puasa hanya hari itu, maka inilah letak terlarangnya jika hadis tentang larangannya shahih.”

Faedah:

Imam Tirmidzi setelah membawakan hadis larangan puasa pada hari Sabtu berkata, “Makna dimakruhkannya dalam (hadis) ini adalah jika seorang mengkhususkan puasa hari Sabtu, karena orang-orang Yahudi memuliakan hari Sabtu.”

Tingkatan puasa Muharram

Ahli ilmu menyebutkan bahwa urutan puasa Muharram yang paling utama adalah sbb:

1. Tanggal 9, 10 dan 11 Muharram.

Ada hadis yang menerangkan berpuasa sebelum dan sesudah tanggal sepuluh, namun hadisnya dha’if. Sehingga tidak bisa dijadikan pegangan, akan tetapi karena bulan Muharram sebagaimana diterangkan adalah bulan yang paling baik untuk dilakukan puasa sunat, sehingga jika seseorang melakukannya maka ia telah melaksanakan anjuran memperbanyak puasa di bulan itu. Imam Ahmad berkata: “Barangsiapa yang ingin berpuasa ‘Asyura, maka hendaknya ia berpuasa pada tanggal sembilan dan sepuluh, kecuali jika bulan itu masih musykil sehingga ia mengerjakannya tiga hari; Ibnu Sirin mengatakan seperti itu.”

2. Tanggal 9 dan 10 Muharram.

3. Tanggal 9 dan 10 atau 10 dan 11 Muharram.

4. Hanya tanggal 10 saja. Di antara ulama ada yang memakruhkannya. Namun yang lain mengatakan tidak makruh. Namun yang tampak adalah bahwa berpuasa hanya tanggal sepuluh saja hukumnya makruh bagi mereka yang masih sanggup menggabung dengan hari lainnya (tanggal 9 atau 11-nya). Tetapi yang demikian tidaklah menghilangkan pahala bagi yang melakukannya, bahkan ia tetap memperoleh pahala insya Allah.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid berkata: “Oleh karena itu, puasa ‘Asyura ada beberapa tingkatan, paling rendahnya adalah hanya tanggal sepuluh saja dan yang paling atasnya adalah berpuasa tanggal sembilan dan sepuluh, namun semakin banyak puasa di bulan Muharram tentu lebih utama dan lebih baik.”

Bid’ah-bid’ah di Bulan Muharram

Dalam menyambut hari ‘Asyura ada dua golongan yang menyimpang seperti di bawah ini:

1. Golongan yang menyerupai orang yahudi, di mana mereka menjadikan hari ‘Asyura sebagai hari raya, ditampakkan pada hari itu syi’ar-syi’ar kemeriahan seperti memakai celak, membagi nafkah kepada keluarga dan kerabat, memasak makanan di luar kebiasaannya dsb.

2. Golongan yang menjadikan hari ‘Asyura sebagai hari kesedihan dan hari meratap karena terbunuhnya Husain bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma, di mana pada hari itu ditampakkan syi’ar-syi’ar jahiliyyah seperti menampar pipi, merobek baju, memukul dada, menyakiti diri dan melantunkan nyanyian-nyanyian kesedihan dsb.

Kedua golongan di atas menyelisihi sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; menyelisihi ajaran Islam. Beruntunglah Ahlussunnah, di mana mereka mengerjakan perintah Nabi mereka shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tidak menyerupai orang-orang Yahudi dan menjauhi perkara bid’ah yang diserukan oleh setan. Falillahil hamdu wal minnah.

Oleh: Marwan bin Musa

Artikel www.Yufidia.com

Maraaji’: Fadhlu Syahrillah Al Muharram (M. bin Shalih Al Munajjid), Ahaadits ‘asyri Dzilhijjah (Abdullah bin Shalih Al Fauzan), dll.

Jumlah Para Nabi dan Rasul

Iman kepada para Nabi dan Rasul merupakan salah satu landasan keimanan. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ عَلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَالنَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

“Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nya-lah kami menyerahkan diri”” (QS. Al Imran: 84).

Orang yang tidak mengimani para Nabi dan Rasul, maka ia tersesat sangat jauh dari jalan yang lurus. Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya” (QS. An Nisa: 136).

Perbedaan Nabi dan Rasul

Nabi berasal dari kata an naba’ (النبأ) yang artinya: kabar. Secara istilah, Nabi artinya orang yang diberi wahyu oleh Allah. Sebagaimana kata an naba’ ini digunakan oleh Nabi untuk menyebutkan wahyu dari Allah, disebutkan dalam Al Qur’an :

فَلَمَّا نَبَّأَهَا بِهِ قَالَتْ مَنْ أَنْبَأَكَ هَذَا قَالَ نَبَّأَنِيَ الْعَلِيمُ

“Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah) lalu (Hafsah) bertanya: “Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?” Nabi menjawab: “Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”” (QS. At Tahrim: 3).

Sedangkan Rasul berasal dari kata al irsal

(الإرسال) yang artinya pengutusan seseorang untuk suatu tujuan. Secara istilah, Rasul adalah orang yang diutus oleh Allah dengan membawa risalah (pesan) tertentu, dan diperintahkan untuk menyampaikannya kepada manusia dan manusia diperintahkan untuk mengikuti dia.

Sebagian ulama berpendapat bahwa istilah Nabi dan Rasul tidak ada bedanya, namun ini adalah pendapat yang lemah. Karena banyak dalil dan fakta yang menunjukkan bahwa ada perbedaan antara Nabi dan Rasul. Dan setiap Rasul adalah Nabi, namun tidak setiap Nabi itu Rasul.

Sebagian ulama juga berpendapat bahwa perbedaan antara Nabi dan Rasul adalah bahwa Nabi diberi wahyu namun tidak diperintahkan untuk menyampaikannya. Sedangkan Rasul  diperintahkan untuk menyampaikannya. Ini juga pendapat yang kurang tepat, karena beberapa poin:

Pertama, dalam surat Al Hajj ayat 52, Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ وَلَا نَبِيٍّ

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi…”

Di sini Allah menggandengkan pengutusan Rasul dan Nabi dalam masalah al irsal. Menunjukkan bahwa Nabi juga diperintahkan untuk menyampaikan.

Kedua: tidak menyampaikan wahyu merupakan bentuk menyembunyikan ilmu. Allah tidak menurunkan wahyu agar menjadi petunjuk bagi manusia, bukan untuk disembunyikan.

Ketiga: disebutkan dalam hadits yang shahih bahwa ada Nabi yang memiliki satu pengikut, ada yang memiliki dua pengikut, ada yang memiliki belasan pengikut dan ada yang tidak memiliki pengikut. Ini menunjukkan mereka menyampaikan wahyu kepada kaumnya, sehingga terlihat ada perbedaan jumlah pengikut. Andai mereka tidak menyampaikan, tentunya keumuman mereka tidak punya pengikut.

Maka Nabi dan Rasul keduanya diberi wahyu dan diperintahkan untuk menyampaikan dan berdakwah kepada kaumnya.

Oleh karena itu, perbedaan antara Nabi dan Rasul yang tepat adalah bahwa Rasul diutus oleh Allah dengan membawa syari’at yang baru, sedangkan Nabi diutus oleh namun tidak membawa syari’at yang baru melainkan menjalan dan mendakwah syariat yang dibawa Rasul sebelumnya (Diringkas dari Al Madkhal ila Dirasatil Aqidah Al Islamiyah, karya Syaikh Umar Sulaiman Al Asyqar, hal 92-64).

Jumlah Pra Nabi dan Rasul

Terdapat beberapa hadits yang menyebutkan jumlah Nabi dan Rasul. Dari Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, ia berkata:

قلتُ : يا رسولَ اللهِ ! أيُّ الأنبياءِ كان أولُ ؟ ! قال : آدمُ، قلتُ : يا رسولَ اللهِ ! ونبيٌّ كان ؟ ! قال : نعم نبيٌّ مُكلَّمٌ، قلتُ : يا رسولَ اللهِ : كم المرسلونَ ؟ ! قال : ثلاثُ مئةٍ وبضعةَ عشرَ ؛ جمًّا غفيرًا

“Aku bertanya: wahai Rasulullah, siapa Nabi pertama? Rasulullah menjawab: Adam. Aku bertanya: wahai Rasulullah, apakah beliau (Adam) seorang Nabi? Rasulullah menjawab: benar, ia seorang Nabi yang diajak bicara oleh Allah. Aku bertanya: wahai Rasulullah, ada berapa jumlah para Rasul? Rasulullah menjawab: 300 sekian belas, mereka sangat banyak” (HR. Ahmad no.21586, Al Hakim [2/652], Al Baihaqi no.18166. Dishahihkan Ahmad Syakir dalam Umdatut Tafsir [1/309] dan Al Albani dalam Takhrij Al Misykah no.5669. Dan sebagian ulama mendhaifkan hadits ini).

Dalam riwayat lain dari Abu Dzar juga:

قلت : يَا رَسُولَ اللَّهِ كَمِ الْأَنْبِيَاءُ ؟ قَالَ: ( مِائَةُ أَلْفٍ وَعِشْرُونَ أَلْفًا)، قُلْتُ :يَا رَسُولَ اللَّهِ كَمِ الرُّسُلُ مِنْ ذَلِكَ؟ قَالَ : (ثَلَاثُ مِائَةٍ وَثَلَاثَةَ عَشَرَ جَمًّا غَفِيرًا)

“Aku berkata: wahai Rasulullah, ada berapa jumlah Nabi? Rasulullah menjawab: Nabi ada 120.000 orang. Aku berkata: wahai Rasulullah, ada berapa jumlah Rasul? Rasulullah menjawab: Rasul ada 313 orang, mereka sangat banyak” (HR. Ibnu Hibban no.361, didhaifkan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Tahqiq Shahih Ibnu Hibban [2/79]).

Dalam riwayat lain dari Abu Umamah radhiallahu ‘anhu,

قُلتُ: يا رسولَ اللهِ، كم وَفَّى عِدَّةُ الأنبياءِ؟ قال: مِئةُ ألْفٍ وأربعةٌ وعشرونَ ألْفًا، الرُّسُلُ مِن ذلك ثلاثُ مِئةٍ وخَمسةَ عَشَرَ جَمًّا غَفيرًا

“Aku berkata: wahai Rasulullah, ada berapa jumlah Nabi? Rasulullah menjawab: Nabi ada 124.000 orang dan di antara mereka ada para Rasul sebanyak 315 orang, mereka sangat banyak” (HR. Ahmad no.22342, didhaifkan Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah [2/140]).

Dan ada hadits-hadits lainnya yang tidak lepas dari kelemahan.

Andaikan hadits Abu Dzar dalam Musnad Ahmad di atas shahih – sebagaimana dishahihkan oleh sebagian ulama- maka dapat menguatkan hadits Abu Umamah.

Dan menurut sebagian ulama, tidak ada hadits shahih sama sekali mengenai jumlah para Nabi dan Rasul. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:

وهذا الذي ذكره أحمد ، وذكره محمد بن نصر ، وغيرهما ، يبين أنهم لم يعلموا عدد الكتب والرسل ، وأن حديث أبي ذر في ذلك لم يثبت عندهم

“Ini pendapat yang disebutkan Imam Ahmad, Muhammad bin Nashr dan ulama lainnya. Mereka menjelaskan bahwa tidak diketahui berapa berapa jumlah kitab dan berapa jumlah Rasul. Dan hadits Abu Dzar dalam hal ini tidak shahih menurut mereka” (Majmu’ Al Fatawa, 7/409).

Al Lajnah Ad Daimah ketika ditanya tentang jumlah Nabi dan Rasul, mereka mengatakan:

لا يعلم عددهم إلا الله

“Tidak ada yang mengetahui jumlah mereka kecuali Allah” (Fatawa al Lajnah, 3/256).

Namun andai kita kompromikan pendapat-pendapat yang ada maka insyaAllah bisa kita katakan jumlah Rasul ada sekitar 300 sekian orang tanpa memastikan berapa, dan jumlah Nabi ada sekitar 120.000 orang tanpa memastikan berapa.

Yang jelas, jumlah mereka sangat banyak. Sebagaimana Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan:

فلا يعلم عددهم إلا الله سبحانه وتعالى ، لكنهم جم غفير ، قص الله علينا أخبار بعضهم ولم يقص علينا أخبار البعض الآخر ، لحكمته البالغة جل وعلا

“Tidak diketahui berapa jumlah mereka kecuali oleh Allah subhanahu ta ta’ala. Namun jumlah mereka sangat banyak. Ada sebagian mereka yang Allah kisahkan kepada kita kabarnya, dan ada yang tidak dikisahkan kepada kita. Karena suatu hikmah yang besar dari Allah jalla wa ‘ala” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 2/66-67).

Sedangkan 25 Nabi yang kita ketahui, itulah nama-nama Nabi yang disebutkan di dalam Al Qur’an. Bukan jumlah seluruh Nabi. Adapun jumlah seluruh Nabi itu banyak sekali, sekitar 120.000 orang.

Dan yang luar biasanya, seluruh Nabi dan Rasul yang banyak tersebut, semuanya mendakwahkan tauhid dan tauhid adalah inti dakwahnya. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلاَّ نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Ilah (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah Aku olehmu sekalian” (QS. Al-Anbiya: 25).

Allah Ta’ala juga berfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut’” (QS. An-Nahl: 36).

Wallahu a’lam, semoga yang sedikit ini bisa memberikan banyak faedah. Allahu waliyyut taufiq was sadaad.

___

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Untukmu yang Harus Keluar Rumah

Untukmu yang harus keluar rumah, untuk mencari nafkah, jangan sampai lupa:

  1. Membaca zikir keluar rumah

بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِالله

BISMILLAAHI TAWAKKALTU ‘ALALLAAH LAA HAULA WALAA QUWWATA ILLA BILLAAH

Artinya:

“Dengan nama Allah (aku keluar), aku bertawakkal kepada-Nya, tidak ada daya dan kekuatan kecuali karena pertolongan Allah.”

Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda, “Barangsiapa membaca zikir ini saat keluar rumah, maka dia akan diberikan petunjuk, dicukupi kebutuhannya, dan akan dilindungi (dari bahaya apapun).” (HR. Abu Dawud)

  1. Membaca doa singgah di suatu tempat

أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقْ

A-’UUDZU BIKALIMAATILLAAHIT TAAM-MAATI MIN SYARRI MAA KHOLAQ

Artinya:

“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari keburukan mahluk.”

Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda: “Barangsiapa yang singgah di suatu tempat, dan dia baca zikir ini, maka tidak ada sesuatu pun yang bisa membahayakannya, sampai dia meninggalkan tempat itu.” (HR. Muslim)

  1. Membaca surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas setiap pagi dan petang sebanyak 3 kali

Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda: “Bacalah Al-Ikhlas dan Al-Mu’awwidzatain (Al-Falaq & An-Nas), saat pagi dan sore, sebanyak 3 kali, itu akan melindungimu dari segala sesuatu.” (HR. Abu Dawud)

  1. Membaca zikir saat melihat orang terkena musibah

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي عَافَانِي مِمَّا ابْتَلَاكَ بِهِ وَفَضَّلَنِي عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيلًا

ALHAMDULILLAAHIL-LADZII ‘AAFAANII MIMMAB TALAAKِِِِِِA BIHI WA FADH-DHOLANII ‘ALAA KATSIIRIN MIMMAN KHOLAQO TAFDHIILAA

“Segala puji bagi Allah yang telah menghindarkanku dari musibah yang menimpamu, serta memberikan kelebihan kepadaku atas sekian banyak ciptaan-Nya.”

Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda, “Barangsiapa melihat orang yang terkena musibah, kemudian membaca zikir ini, maka dia akan diselamatkan dari musibah itu.” (HR. At-Tirmidzi)

  1. Bersedekah semampunya walaupun hanya sedikit

Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda, “Bahwa sedekah bisa menolak kematian yang buruk.” (HR. At-Tirmidzi)

Jangan khawatir hartamu berkurang, justru dengan sedekah itu Allah akan menjadikan rezeki dan hartamu semakin lapang.

  1. Melakukan upaya kauni yang bisa menyelamatkan diri dari musibah

Melakukan usaha lahir (sebab kauni) yang bisa menjaga dan menyelamatkan diri dari bala’ dan musibah. Sebagaimana arahan ahli kesehatan ketika wabah Corona Covid-19 ini, yaitu memakai masker, cuci tangan, menjaga jarak fisik 1 – 2 meter, makan yang bergizi, istirahat yang cukup, berjemur di bawah sinar matahari pagi, dan lain-lain.

  1. Bertawakkal kepada Allah

Bertawakkal kepada Allah setelah melakukan semua usaha di atas. Serahkan semuanya kepada Allah. Allah lah sebaik-baik penjaga dan penyelamat kita. Allah lah yang paling menyayangi para hamba-Nya yang patuh dan taat kepada-Nya.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Bertawakkallah kalian hanya kepada Allah, jika kalian benar beriman.” (QS. Al-Ma’idah: 23)

Semoga Allah menjaga dan menyelamatkan kita semua, dari bala’ dan musibah yang ada. Aamiin..

Penulis: Ustadz Dr. Musyaffa Addariny

KONSULTASI SYARIAH

Wabah Corona Momentum Berjuang Bersama

Corona bukan alasan untuk saling mencela, namun momentum untuk berjuang bersama. Hentikan menghujat, mengkambing hitamkan, atau melampiaskan kecewa kepada siapapun.

Anda mencela atau menumpahkan kesalahan kepada manusia, siapapun dia tidak akan menjadikan Anda kebal dari virus Corona.

Anda sibuk menganalisa tentang siapa lalai atau siapa salah hanya membuang waktu dan energi yang seharusnya Anda curahkan untuk berbenah dan mempersiapkan diri menghadapi atau menanggulangi wabah yang terlanjur terjadi.

Anda menumpahkan harapan kepada sesama manusia, sampaipun dia adalah penguasa atau pengusaha atau tabib atau dokter hanya akan membuahkan kecewa dan berujung putus asa. Hanya Allah Ta’ala yang tiada pernah mengecewakan hamba yang menggantungkan harapan kepada-Nya.

Segera bulatkan tekad untuk mendekat kepada Sang Penguasa dunia dan akhirat, yaitu Allah Ta’ala.

Segera ambil tindakan yang bisa anda lakukan:

  1. Tempuh hidup sehat
  2. Tenangkan batin anda hindari kepanikan
  3. Hindari segala hal yang berpotensi menjadi media penularan
  4. Batasi travelling
  5. Sinergi dengan pihak pihak terkait bila mengalami atau menduga ada gangguan kesehatan yang menandakan ancaman Corona
  6. Makanlah makanan yang halal karena makanan haram menghilangkan keberkahan hidup dan membuka pintu petaka
  7. Jauhi dosa dan maksiat yang menambah anda bertambah jauh dari rahmat dan dekat dengan laknat
  8. Perbanyak istighfar
  9. Lipat gandakan doa dan ibadah kepada Allah Ta’ala yang menjadikan rahmat-Nya bertambah dekat

اللَّهُمَّ جَنِّبْنِي مُنْكَرَاتِ الأَخْلاَقِ وَالأَعْمَالِ وَالأَهْوَاءِ وَالأَدْوَاءِ

ALLAHUMMA JANNIBNII MUNKAROOTIL-AKHLAAQI WAL-A’MAALI WAL-AHWAA-I WAL-ADWAA-I

“Ya Allِah, jauhkanlah aku dari akhlak, amal perbuatan, hawa nafsu dan penyakit yang buruk.” (HR.  At-Tirmidzi)

  1. Asahlah keimanan kepada takdir, bahwa apapun yang terjadi telah ditakdirkan sebelum Allah menciptakan langit dan bumi

Ditegaskan dalam hadits:

‎احفظ الله تجده أمامك، تعرّف إلى الله في الرخاء يعرفك في الشدة، واعلم أن ما أخطأك لم يكن ليصيبَك، وما أصابك لم يكن ليخطئَك

“Jagalah Allah, maka kamu akan mendapati Allah di hadapanmu (selalu bersamamu dan menolongmu), dekatkanlah (dirimu) pada Allah di saat (kamu dalam keadaan) lapang (senang), supaya Allah mengenali (menolong)mu di saat (kamu dalam keadaan) susah (sempit), dan ketahuilah, bahwa segala sesuatu (yang telah Allah Ta’ala tetapkan) tidak akan menimpamu, maka semua itu (pasti) tidak akan menimpamu, dan segala sesuatu (yang telah Allah Ta’ala tetapkan) akan menimpamu, maka semua itu (pasti) akan menimpamu, dan ketahuilah, sesungguhnya pertolongan (dari Allah Ta’ala) itu selalu menyertai kesabaran, dan jalan keluar (dari kesulitan) selalu menyertai kesulitan, dan kemudahan selalu menyertai kesusahan.”

  1. Bila anda menyaksikan pengidap Corona, segera ucapkan secara lirih doa berikut:

الحمد لله الذي عافاني مما ابتلاك به و فضلني على كثير ممن خلق تفضيلا

ALHAMDULILLAAHIL-LADZII ‘AAFAANII MIMMAB TALAAKِِِِِِA BIHI WA FADH-DHOLANII ‘ALAA KATSIIRIN MIMMAN KHOLAQO TAFDHIILAA

“Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan aku dari apa yang menimpamu dan memberikan keutamaan kepadaku atas banyak dari mahluk (lainnya) yang Dia ciptakan.” (HR. At-Tirmidzi)

Semoga bermanfaat dan menambah semangat.

Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri

KONSULTASI SYARIAH

Pesan Rasulullah SAW, Penjamin Surga Itu Ada di Sebelah Kita

Rasulullah SAW menyatakan pentingnya menjaga hak-hak tetangga kita.

Sejak manusia belum terlahir hingga setelah meninggal, pasti butuh kehadiran orang lain. Sangat tidak tepat bila kita menjadi egois, mementingkan diri sendiri. Dalam posisi seperti inilah arti penting tetangga sebagai orang yang dekat dengan kita.

Terkadang kedudukan tetangga jauh lebih penting daripada saudara, karena merekalah pihak pertama yang kita mintai pertolongan saat dalam posisi bahaya. Demikian pentingnya tetangga, hingga Rasulullah SAW pernah menyebutkan, kualitas keimanan seseorang, salah satu tolak ukurnya adalah sejauh mana ia mampu berbuat baik kepada tetangganya.

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya.” (HR Bukhari dan Muslim). 

Bahkan berbuat baik kepada tetangga merupakan salah satu penjamin seseorang bisa masuk surga. 

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

“Tidak masuk surga seseorang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya.” (HR Bukhari dan Muslim). 

يا رسولَ اللهِ، إنَّ فُلانةَ يُذكَرُ مِن كَثرَةِ صَلاتِها، وصيامِها، وصَدَقتِها، غَيرَ أنَّها تُؤذي جيرانَها بلِسانِها. قال: هي في النَّارِ. قال: يا رسولَ اللهِ؛ فإنَّ فُلانةَ يُذكَرُ مِن قِلَّةِ صيامِها، وصَدَقتِها، وصلاتِها، وإنَّها تصَدَّقُ بالأثوارِ مِنَ الأقِطِ، ولا تُؤذي جيرانَها بلِسانِها. قال: هي في الجنَّةِ.

Seseorang berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya fulanah banyak melakukan sholat, sedekah, dan puasa. Hanya saja ia menyakiti tetangga dengan lisannya.”

Rasulullah SAW bersabda, “Seseorang diceritakan sedikit melakukan puasa dan sholat, tapi ia bersedekah dengan beberapa potong keju dan tidak menyakiti tetangganya, maka wanita ini ada di dalam surga.” (HR Ahmad, Ibnu Hibban, dan Hakim). Untuk itu, mulailah berbuat baik kepada tetangga kita. 

خَيْرُ الأَصْحَابِ عِنْدَ اللَّهِ خَيْرُهُمْ لِصَاحِبِهِ وَخَيْرُ الْجِيرَانِ عِنْدَ اللَّهِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ

“Sebaik-baik teman di sisi Allah adalah orang yang paling baik di antara mereka terhadap temannya. Dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah adalah orang yang paling baik di antara mereka terhadap tetangganya.” (HR Tirmidzi).

Berbuat baik kepada tetangga bisa diwujudkan seperti berbahagia ketika tetangga mendapat karunia dan ikut bersedih (berempati) bila mendapat musibah, sehingga melahirkan sikap saling membantu; berpikir positif terhadap yang dilakukan tetangga dan jangan berprasangka negatif; bila kita punya kelebihan rezeki, hendaklah berbagi dengan tetangga.

Rasulullah SAW menganjurkan untuk saling memberi hadiah, karena itu akan melahirkan kecintaan di antara sesama. Bahkan saat orang lain berbuat keburukan, kita tidak dianjurkan untuk membalasnya dengan keburukan yang serupa. Hal ini sebagaimana wasiat Rasulullah kepada Abu Dzar Al-Ghifari:

إذا طبختَ فأكثِر من المَرقِ ثمَّ انظُر بعضَ أهلِ بيتٍ من جيرانِك فاغرِف لهم منها

“Kalau kamu memasak sayur, maka perbanyaklah kuahnya. Kemudian lihatlah keluarga dari tetanggamu. Dan berilah mereka dengan baik.” (HR Muslim). 

Bukhari pun meriwayatkan: ليسَ المؤمنُ الَّذي يشبَعُ وجارُهُ جائعٌ إلى جنبِهِ “Tidaklah disebut Mukmin orang yang kenyang, sedangkan tetangganya kelaparan.” 

KHAZANAH REPUBLIKA


Hakikat Iman Menurut Buya Hamka dalam Surat Al-Maidah 69

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئُونَ وَالنَّصَارَىٰ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS Al-Maidah: 69)

Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar, juz I halaman 203 cetakan September 1987 terbitan Pustaka Panjimas Jakarta, menjelaskan:  “Sesungguhnya orang-orang yang beriman” (pangkal ayat 69).

Yang dimaksud dengan orang-orang yang beriman di sini adalah orang yang memeluk agama Islam, yang telah menyatakan percaya kepada Nabi Muhammad SAW dan tetaplah menjadi pengikutnya hingga Hari Kiamat.

“Dan orang-orang yang jadi Yahudi dan Nasrani dan Shabiin”, yaitu tiga golongan beragama yang percaya juga kepada Tuhan, tetapi telah dikenal dengan nama-nama yang demikian, “barang siapa yang beriman kepada Allah”. Yaitu mengaku adanya Allah Yang Maha-Esa dengan sebenar-benar pengakuan, mengkuti suruhanNya dan menghentikan larangannya, “dan Hari Kemudian dan beramal shaleh”, yaitu hari akhirat, kepercayaan yang telah tertanam kepada Tuhan dan Hari Kemudian, mereka buktikan pula dengan mempertinggi mutu diri mereka. “Maka untuk mereka adalah ganjaran di sisi Tuhan mereka”. Inilah janjian yang adil dari Tuhan kepada seluruh manusia, tidak pandang dalam agama yang mana mereka hidup atau merk apa yang diletakkan kepada diri mereka, namun mereka masing-masing akan mendapat ganjaran atau pahala di sisi Tuhan, sepadan dengan iman dan amal shalih yang telah mereka kerjakan itu. “Dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berduka cita” (ujung ayat 62) .

Dalam tafsir yang lebih rinci yang tercantum halaman 203-210, Hamka menjelaskan bahwa dalam ayat tersebut terdapat nama dari empat golongan, yaitu: (1) golongan orang beriman, (2) orang-orang yang jadi Yahudi, (3) orang Nasrani dan (4) orang-orang Shabiin. Golongan pertama adalah orang-orang yang telah terlebih dahulu menyatakan percaya kepada segala ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Kelompok kedua adalah orang-orang yang jadi Yahudi, yakni yang memeluk agama Yahudi.

Demikian juga kelompok ketiga, sering dihubungkan dengan tempat kelahiran Isa Al Masih, yaitu kampung Nazaret atau disebut juga Nasiroh. Dan kelompok keempat yaitu Shabiin, yakni orang yang berpindah-pindah dari agama asalnya.

Dalam ayat tersebut, kata Hamka, keempat golongan tersebut dikumpulkan menjadi satu, bahwa mereka semua akan mendapatkan ganjaran dari Allah, terbebas dari rasa ketakutan dan duka cita, apabila benar-benar mereka beriman kepada Allah, Hari Akhir, dan beramal saleh.

Menurut Buya Hamka, ayat ini dakwah kepada penegakan nilai-nilai agama sebagai hakikat beragama. Beragama bukan sekadar klaim kebenaran melalui mulut dan tidak dibuktikan dengan keyakinan yang kokoh dan perbuatan amal saleh.

Selanjutnya ayat ini menerangkan tentang keimanan kepada Allah dan Hari Akhir. Iman kepada Allah, meniscayakan keimanan kepada wahyu-wahyu yang diturunkan Allah kepada para rasul-Nya, tidak membeda-bedakan di antara satu Rasul dengan Rasul yang lain, percaya kepada keempat kitab yang telah diturunkan Allah. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Sikap Terhadap Pencela Allah, Pencela Nabi Atau Pencela Islam

Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah

Hukum mencela Allah, mencela Rasulullah atau mencela Islam

Soal:

Apa hukum mencela Allah atau mencela Rasul-Nya, atau merendahkan keduanya? Dan apa hukum menentang satu saja dari perintah yang Allah wajibkan? Atau menghalalkan apa yang Allah haramkan? Mohon jelaskan kepada kami, karena banyak sekali hal ini terjadi di tengah masyarakat.

Syaikh menjawab:

Semua orang yang mencela Allah subhanahu wa ta’ala, apapun bentuk celaannya, atau mencela Rasulullah Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, atau para Rasul yang lainnya, apapun bentuk celaannya, atau mencela Islam, atau merendahkan Allah atau Rasul-Nya, maka ia kafir dan murtad dari Islam. Walaupun orang tersebut mengaku Muslim. Ulama ijma’ (sepakat) akan hal ini. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ ۝ لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

“Katakanlah: apakah dengan ayat-ayat Allah dan Rasul-Nya, kalian berolok-olok? Tidak perlu minta maaf, kalian telah kafir setelah sebelumnya beriman” (QS. At Taubah: 65-66).

Al Allamah Abul Abbas Ibn Taimiyyah rahimahullah telah berpanjang lebar membahas masalah ini dalam kitab beliau berjudul Ash Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul. Siapa yang ingin mempelajari masalah ini lebih banyak beserta dalil-dalilnya, silakan merujuk pada kitab tersebut. Karena kitab ini agung dan penulisnya juga mulia, serta sangat luas ilmunya, rahimahullah.

Demikian juga hukum bagi orang yang menentang satu saja dari perintah yang Allah wajibkan, atau menghalalkan apa yang Allah haramkan yang termasuk perkara ma’lum minad diin bid dharurah (perkara yang secara gamblang diketahui oleh orang Muslim). Seperti menentang wajibnya shalat, menentang wajibnya zakat, menentang wajibnya puasa Ramadhan, menentang wajibnya haji bagi orang yang mampu, menentang wajibnya berbakti kepada orang tua, dan semisalnya, atau menghalalkan minum khamr, menghalalkan durhaka kepada orang tua, menghalalkan harta dan darah orang lain tanpa hak, menghalalkan riba, dan semisalnya, yang termasuk perkara  ma’lum minad diin bid dharurah, berdasarkan ijma ulama ia kafir murtad dari Islam, walaupun mengaku Muslim.

Para ulama telah berpanjang lebar dalam pembatal-pembatal keislaman ini, khususnya dalam bab tentang murtad. Mereka telah menjelaskan dalil-dalilnya. Siapa yang ingin mempelajarinya lebih lanjut, silakan merujuk kepada kitab-kitab para ulama dalam bab ini. Baik ulama dari kalangan Hanabilah, Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanafiyyah dan yang selain mereka. InsyaAllah akan didapatkan penjelasan yang memuaskan dari kitab-kitab mereka.

Dan tidak boleh memberikan udzur bil jahl kepada mereka. Karena ini perkara-perkara yang sudah gamblang diketahui oleh kaum Muslimin. Dan hukumnya sudah jelas dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam.

Wallahu waliyyut taufiq, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa aalihi wasallam.

(Majmu Fatawa wal Maqalat Mutanawwi’ah, 7/45).

Sikap terhadap pencela agama

Soal:

Ketika ada da’i yang mendakwahkan Islam dan mendakwahkan tentang shalat, lalu ketika itu ada orang yang mencela agama dan mencela Rasul serta mencela Allah, bagaimana sikap kita?

Syaikh bertanya: siapa yang mencela?

Penanya:  yang mencela adalah yang didakwahi

Syaikh menjawab: 

Pertama, hendaknya dia dinasehati dan dijelaskan bahwasanya itu perbuatan kufur dan sesat. Orang-orang yang hadir juga hendaknya menasehatinya, berbicara dengannya dan menjelaskan kekeliruannya. 

Jika ia bertaubat, alhamdulillah. Jika tidak, maka diangkat perkaranya kepada pemerintah. Jika pemerintahnya menerapkan syari’at Allah, maka diangkat perkaranya kepada pemerintah. Untuk kasus seperti ini, pelaku harus diberi hukuman, bahkan dipenjara.

Namun jangan langsung serahkan kepada pemerintah, namun nasehati terlebih dahulu. Ajak bicara ia dengan perkataan tegas jika ia terus-menerus melakukan perbuatan batil tersebut. Ancam dia bahwa ia akan dilaporkan kepada ulil amri. Mudah-mudahan ia mau kembali ke jalan yang benar.

Karena mencela agama itu perbuatan riddah (mengeluarkan pelakunya) dari Islam, na’udzubillah. Mencela Rasulullah juga perbuatan riddah dari Islam. Andaikan seseorang mengatakan: “Rasulullah tidak paham masalah seperti ini, tidak tahu masalah ini…”, atau mengatakan: “Rasulullah orang kampung, tidak paham masalah seperti ini dan itu…” ini adalah riddah dari Islam, dan merupakan kufur akbar,  na’udzubillah. 

Atau seseorang mengatakan: “Aturan syariat ini tidak benar…”, “Aturan syariat ini tidak cocok untuk zaman sekarang…”, “Syariat ini itu hanya cocok untuk zaman dulu…”, ini juga riddah,  na’udzubillah.

Sumber: https://bit.ly/2PJZ6YH 

Pencela agama, jika ia shalat apakah dianggap bertaubat?

Soal:

Bagaimana hukum orang yang pernah mencela agama atau mencela Allah? Namun ketika datang waktu shalat, ia pun berwudhu dan shalat wajib. Apakah dengan ia melaksanakan shalat wajib dapat dianggap bahwa ia telah mengumumkan taubatnya?

Syaikh menjawab: 

Mencela agama dan mencela Allah adalah kemurtadan yang besar. Sekali lagi saya katakan, ini kemurtadan yang besar dari Islam. Na’udzubillah.

Yang wajib dilakukan oleh pelakunya adalah bersegera untuk bertaubat, menyesal dan berhenti melakukan perbuatan tersebut. Tidak cukup dengan shalat. Karena shalat belum memenuhi (syarat taubat dari murtad). Namun wajib bertaubat dengan tulus atas perbuatan yang ia lakukan. Dan bertekad untuk tidak mengulang lagi perbuatan tersebut. Karena perbuatan jahat yang ia lakukan ini sangat fatal. Maka tidak boleh bermudah-mudahan dalam perkara ini. Wajib bagi dia untuk taubat dengan segera.

Dan hakikat dari taubat adalah menyesal atas perbuatan yang telah dilakukan, dengan penuh menyesal dan kesedihan yang mendalam karena telah melakukannya. Disertai tekad yang tulus untuk tidak mengulanginya lagi. Dan sebelum ia lakukan ini semua, shalatnya tidaklah sah. Karena shalatnya dianggap sebagai shalat orang yang kafir. Maka wajib untuk bertaubat sebelum ia shalat. 

Sumber: https://bit.ly/2XTfNFF 

***

Penerjemah: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Serba-Serbi Bulan Haram (4)

Di antara keutamaan bulan haram ialah syariat berpuasa di bulan Allah, Muharam. Imam Muslim meriwayatkan hadis di dalam kitab Shahih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ

Puasa yang paling afdhal setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Allah Muharam.” (HR. Muslim no. 1163),

Di samping itu, dianjurkan pula berpuasa Asyura yang mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan bahwa puasa tersebut akan menghapus dosa setahun yang lalu. (Shahih Muslim no. 1162). Itulah hari dimana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya serta menenggelamkan Fir’aun dan bala tentaranya.

Imam al-Qurthubi rahimahullah menyebutkan tafsiran mengenai firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Janganlah kalian menganiaya diri kalian di dalamnya”. Yakni dengan berbuat dosa. Sebab, apabila Allah Ta’ala mengagungkan sesuatu dari satu sisi, maka ia akan memiliki satu kehormatan.

Selanjutnya, jika Allah memuliakannya dari dua aspek atau lebih, maka ia akan mempunyai banyak keutamaan. Oleh karenanya, hukuman akan dilipatgandakan dengan sebab perbuatan buruk, sebagaimana pahala juga akan dilipatgandakan dengan sebab amal shalih.

1. Seseorang yang melakukan ketaatan kepada Allah pada bulan haram di tanah haram tidaklah sama pahalanya dengan orang yang berbuat kebajikan pada selain bulan haram di tanah haram.

2. Demikian pula, seseorang yang beramal shalih pada selain bulan haram di tanah haram tidaklah setara balasannya dengan orang yang mengerjakan kebaikan pada selain bulan haram di selain tanah haram.

Allah Ta’ala telah mengisyaratkan hal tersebut dengan firman-Nya,

يَانِسَاءَ النَّبِيِّ مَنْ يَأْتِ مِنْكُنَّ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ يُضَاعَفْ لَهَا الْعَذَابُ ضِعْفَيْنِ وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا
وَمَنْ يَقْنُتْ مِنْكُنَّ لِلَّهِ وَرَسُولِهِ وَتَعْمَلْ صَالِحًا نُؤْتِهَا أَجْرَهَا مَرَّتَيْنِ وَأَعْتَدْنَا لَهَا رِزْقًا كَرِيمًا

Wahai istri-istri Nabi, barangsiapa di antara kalian melakukan perbuatan keji yang terang-terangan, niscaya akan dilipatgandakan siksaannya 2 kali lipat. Yang demikian itu mudah bagi Allah. Barangsiapa di antara kalian taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta mengerjakan amal shalih, tentu Kami akan memberikan kepadanya pahala 2 kali lipat dan Kami sediakan baginya rezeki yang mulia.” (QS. Al-Ahzab : 30-31)

Segala puji hanya milik Allah Rabb semesta alam. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, dan sahabatnya semuanya.
***
Penulis: Dr. Amin bin Abdillah Asy Syaqawi
Penerjemah: Ummu Fathimah
Diterjemahkan dari https://www.alukah.net/sharia/0/121267/

Artikel Muslimah.or.id