Ustadz Dasad Latif menjelaskan ciri-ciri orang yang berlimu.
Seorang mahasiswa Muslim harus mampu menyeimbangkan antara belajar untuk dunia dan akhirat. Hal ini bertujuan agar mahasiswa Muslim tersebut tidak hanya mementingkan kariernya, tapi perannya dalam masyarakat.
Peran mereka dalam masyarakat yakni dengan berkontribusi mewujudkan Islam yang rahmatan lil alamin, atau menyebarkan agama Islam dengan baik. Sehingga, terjadi keharmonisan di tengah-tengah masyarakat.
Pendakwah dan Dosen Universitas Hasanuddin, Makassar, Ustadz Das’ad Latif mengatakan, mahasiswa memang harus mempelajari ilmu pengetahuan. Namun, yang terbaik harus bisa mengimbangi antara belajar untuk kuliah dengan untuk agama.
Ia menilai, dalam menuntut ilmu harus selalu dengan niat yang baik, dengan tujuan untuk mendapat ridha Allah SWT. Rasulullah SAW, kata Das’ad, sudah pula memerintahkan kita mempelajari keduanya agar selamat dunia dan akhirat.
Das’ad menegaskan, keduanya sama-sama memiliki nilai manfaat yang baik. Maka itu, ia mengingatkan, menjadi mahasiswa sebuah perguruan tinggi Islam merupakan kesempatan besar bisa belajar dunia maupun akhirat.
“Kita harus bisa mengimbanginya dengan membuat skala prioritas,” kata Das’ad ketika menjadi pembicara Pesona Ta’aruf (Pesta) mahasiswa/mahasiswi baru Universitas Islam Indonesia (UII) tahun ajaran 2020/2021 secara daring.
Ia mengutip Ali bin Abi Thalib soal pentingnya ilmu. Banyaknya harta benda belum tentu membuat kita selamat di akhirat, tapi banyaknya ilmu membuat kita akan lebih dijamin selamat di dunia sekaligus di akhirat nantinya.
Untuk mudah memahami ilmu, ia menegaskan, yang pertama tidak boleh sombong. Hal ini sesuai dengan tujuan Islam rahmatan lil alamin yaitu bisa diterima dengan baik semua orang, dan adanya sombong membuat orang lain tidak nyaman.
“Dan, cenderung menolak. Orang berilmu tidaklah boleh sombong, ciri orang yang sombong tidak mau menerima atau mendengar pendapat orang lain,” ujar Ustadz Das’ad.
Selain itu, lanjut Das’ad, kita harus memiliki tutur kata yang baik dalam menyampaikan ilmu ke orang lain, mempersatukan persaudaraan dengan sesama masyarakat, berbakti ke orang tua, mendirikan sholat dan memperbanyak doa.
“Maksimalkan belajar dengan memperhatikan guru-guru, membaca buku sebanyak-banyaknya, beribadah dengan baik, patuh kepada orang tua dan usahakan doa pada sepertiga malam,” kata Das’ad, menutup.
Fatwa Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan
Pertanyaan:
Apa pendapat Engkau tentang sebagian pemuda yang membicarakan pemerintah di majelis-majelis mereka di negeri ini dengan celaan dan makian (hujatan) kepada pemerintah?
Jawaban:
Pembicaraan semacam itu sudah diketahui kalau merupakan kebatilan. Mereka itu bisa jadi memang menginginkan keburukan, atau mereka terpengaruh orang lain, yaitu para penceramah yang menyesatkan yang menginginkan tercabutnya nikmat keamanan yang kita rasakan (di negeri ini).
Kita, segala puji milik Allah Ta’ala, memiliki kepercayaan kepada pemerintah kita. Kita pun yakin dengan manhaj yang kita tempuh ini. Akan tetapi, bukanlah artinya bahwa kita sudah sempurna, tidak memiliki kekurangan dan kesalahan. Bahkan (yang benar) kita masih memiliki kekurangan. Akan tetapi, kita selalu berusaha menempuh jalan untuk memperbaiki dan mengoreksi kesalahan-kesalahan tersebut, insyaa Allah, dengan metode syar’i.
Di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, didapati orang yang mencuri, berzina, juga didapati orang yang meminum khamr. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menegakkan hukuman hadd kepada mereka.
Kita sekarang ini, segala puji bagi Allah Ta’ala, pun menegakkan hukuman hadd bagi orang yang jelas dan terbukti berhak mendapatkan hukuman hadd. Kita tegakkan hukuman qishas kepada para pelaku pembunuhan. Hal ini, segala puji bagi Allah Ta’ala, adalah kebaikan, meskipun masih terdapat kekurangan. Kekurangan itu pasti akan selalu ada, karena hal itu adalah bagian dari tabiat manusia.
Kita berharap kepada Allah Ta’ala untuk memperbaiki kondisi kita, memberikan pertolongan kepada kita, membimbing langkah-langkah kita, dan menyempurnakan kekurangan-kekurangan kita dengan ampunannya.
Adapun menjadikan kesalahan dan ketergelinciran penguasa sebagai jalan untuk mencela penguasa, atau untuk membeicarakan (keburukan) mereka, atau agar rakyat menjadi benci dengan penguasa, maka hal ini bukanlah jalan salaf ahlus sunnah wal jama’ah. [1]
Ahlus sunnah wal jama’ah itu memiliki semangat untuk menaati pemerintah, agar rakyat (masyarakat) mencintai penguasa mereka, agar terwujud persatuan (di bawah penguasa yang sah). Inilah yang diinginkan oleh manhaj salaf.
Membicarakan (keburukan) penguasa itu termasuk dalam ghibah dan namimah (adu domba), dan kedua perkara tersebut termasuk perkara haram terbesar setelah kemusyrikan. Lebih-lebih jika ghibah tersebut ditujukan kepada ulama dan pemerintah, maka itu lebih-lebih lagi. Hal ini karena dampak buruk yang akan ditimbulkannya, berupa tercerai-berainya persatuan, buruk sangka (su’uzhan) kepada penguasa, dan juga menimbulkan rasa putus asa di tengah-tengah masyarakat. [2]
Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki adab dan akhlak yang luhur berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang bolehkah mencintai ulama dan habaib dengan memajang foto mereka? Silahkan membaca.
Semoga AllahAzza wa Jalla selalu menjaga Ustadz & keluarga.
Saya mau tanya Ustadz, jika kita menggunakan foto ulama atau foto habaib dijadikan profil wa atau profil sosmed apakah boleh? Kalau dijadikan wallpaper hp atau wallpaper komputer/laptop apakah boleh atau tidak? mohon penjelasannya Ustadz, Syukron Ustadz.
Alhamdulillāh Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du
Orang yahudi dan nasrani memvisualisasi (menggambarkan) para tokoh sebagai bentuk pernghormatan kepada tokoh mereka. Tujuan ini tak bisa lepas dari mengenang kesalehan dan jasa yang ditorehkan, baik itu dengan gambar nabi, ulama, orang shaleh, atau pun tokoh yang menjadi panutan mereka. Sampai bayi Nabi Isa bersama ibunda Maryam, mereka buat patungnya, mereka lukis gambarnya dan dibuat di ornamen-ornamen hiasan di dinding suatu bangunan, bahkan sampai dibuat kaca dan gantungan kunci sekalipun, anda akan menjumpainya.
Oleh karena itu, ketika beberapa istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti Maimunah dan Ummu Salamah yang pernah berhijrah ke Habasyah (Ethyopia) ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masih di Mekah.
Sepulangnya mereka dari Habasyah, dan mereka telah menjadi istri dari RasulullahShallallahu ‘alaihi wasallam, lalu mereka pun bercerita kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai gereja yang mereka lihat di Habasyah. Di sana ada gereja Mariyah. Ummu Salamah bercerita, di dalam gereja itu ada banyak gambar-gambar tokoh nasrani.
Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menimpali dengan sabdanya,
“Mereka adalah sekelompok masyarakat yang apabila ada orang soleh di antara mereka yang meninggal, maka mereka akan membangun masjid di dekat kuburannya dan menggambar wajah orang soleh itu. Merekalah makhluk paling jelek di hadapan Allah.” (HR. Bukhari, no. 434, Ahmad, no. 24984 dan lainnya).
Hadis di atas memberi pelajaran yang sangat berharga kepada kita, bahwa cara penghormatan tokoh agama, orang soleh seperti yang dilakukan oleh orang nasrani, dengan memajang gambar dan foto tokohnya, adalah tindakan tercela. Karena ini sebab terbesar orang melakukan kultus.
Zaman pun berubah, di era digital ini, kata orang industri zaman 4.0, data yang ada adalah kebanyakan kasus foto ulama, kiay, ustadz yang dikagumi banyak berseliweran dan dipajang di media sosial sebagai profil WA (WhatsApp), di wallpaper komputer/laptop atau pun platform media sosmed lainnya oleh para ‘fans’ dan pendukungnya, semua hal ini adalah menyelisihi adab Islam, dan sebaliknya sangat dekat dengan ajaran dan tasyabbuh dengan orang-orang nasrani, oleh karenanya memajang foto ulama, atau tokoh habaib atau pun foto lainnya di media sosial adalah terlarang menurut pendapat terkuat.
Wallahu Ta’ala A’lam.
Logika Sehat
Setiap muslim yang lurus fitrahnya meyakini bahwa manusia yang paling dicintai sahabat adalah Nabi Allah, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sahabat ada yang dulunya pandai menggambar. Namun tidak kita jumpai satupun diantara mereka yang membuat reka wajah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, untuk dipajang di masjid nabawi atau di rumah mereka masing-masing. Tidak sekalipun anjuran dan keutamaannya datang dari riwayat palsu, apatah lagi riwayat yang shahih.
Walaupun kita sangat yakin, mereka tidak mungkin sampai menyembah gambar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Tauhid Dan Iman mereka jauh lebih kuat dibandingkan tauhid kita.
Cara menghormati ulama atau tokoh adalah dengan mendoakan mereka dan melestarikan ajaran dan nasehat bimbingan yang mereka bawa. Bukan dengan menggambar mereka, memajang foto mereka sebagai profil di medsos atau wallpaper di komputer, apatah lagi perbuatan tersebut tidak mendapatkan izin mereka. Apakah mereka mau??? Ulama yang lurus akan menjawab, ‘tentu tidak’.
Wallahu Ta’ala A’lam.
Dijawab dengan ringkas oleh: Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله Senin, 26 Muharram 1442 H / 15 September 2020 M
Kali ini kita akan merenungkan sebuah ayat yang langsung menyentuh pada masalah yang seringkali membuat hati ini gelisah.
Tak jarang manusia merasa sedih dan menyesal ketika ada orang lain yang tidak suka padanya. Hal ini terus mengganggu pikirannya hingga ia rela melakukan apapun agar di sukai oleh orang lain.
Sadarilah bahwa setiap engkau berjalan di jalan kebenaran dan menyerukan kebenaran pasti disana banyak orang yang tidak menyukaimu. Karena itu para Nabi saja yang memiliki akhlak yang sempurna tidak bisa menjadikan semua manusia menyukainya, apalagi kita yang serba kurang ini?
“Begitulah, bagi setiap nabi, telah Kami adakan musuh dari orang-orang yang berdosa.” (QS.Al-Furqan:31)
Maka buanglah semua rasa penyesalan dari hatimu bila ada orang lain yang tidak suka padamu. Dan jangan sampai kau rendahkan dirimu demi meraih simpati mereka !
Karena mustahil engkau akan mendapatkan kerelaan semua manusia, karena sebagian besar dari mereka tidak akan menyukaimu kecuali engkau mau bergabung di jalan kebatilan bersama mereka.
“Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongannya, padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS.An-Naml:14)
Seringkali kita merasa aneh dan lucu ketika melihat pola pikir orang yang congkak dan sombong. Mereka mengingkari kebenaran walaupun ia meyakini dan menyaksikan secara jelas bahwa hal itu memang sebuah kebenaran.
Masalahnya sebenarnya simpel, mereka mengingkari kebenaran karena tidak mau berada di bawah siapapun, tidak mau di dahului oleh kelompok lain dan tidak rela mendapatkan perintah dari siapapun.
Dan orang-orang yang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman, “Sekiranya Al-Qur’an itu sesuatu yang baik, tentu mereka tidak pantas mendahului kami (beriman) kepadanya.” Tetapi karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata, “Ini adalah dusta yang lama.” (QS.Al-Ahqaf:11)
Coba bayangkan begitu jahatnya kesombongan yang bersarang di dalam hati. Kebenaran yang gamblang di depan mata rela dia tinggalkan demi gengsi sesaat. Cahaya kebenaran sebenarnya telah tertanam dalam hati mereka namun terkubur oleh hawa nafsu dan kesombongan.
Setiap kali bukti kebenaran itu datang, maka lisan mereka dengan cepat mencerca dan menyerang bukti-bukti tersebut walau sebenarnya hati mereka meyakini akan kebenarannya. Sungguh betapa meruginya mereka menjual kebenaran demi gengsi dan kesombongan diri semata.
Karena itu, pelanggaran pertama yang dilakukan oleh Iblis ketika menolak kebenaran hanya disebabkan oleh kesombongan.
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam!” Maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir. (QS.Al-Baqarah:34)
Semoga kita terhindar dari penyakit-penyakit hati yang menjauhkan dari kebenaran.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an menjelaskan sebagai berikut:
“Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Rabbmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat. Dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Nuh: 10-12)
Nabi Nuh ‘alaihi salam memberikan nasihat kepada kaumnya agar beristighfar kepada Allah. Mengapa Nabi Nuh memberikan nasihat seperti itu? Karena kaumnya pada saat itu banyak berbuat maksiat dan kafir kepada Allah, sehingga Dia tidak menurunkan hujan dalam jangka waktu sangat lama. Bahkan, kemarau saat itu sampai menyebabkan para wanita kaum Nabi Nuh menjadi mandul.
Mereka pun mendatangi Nabi Nuh untuk meminta saran tentang apa yang harus mereka kerjakan. Nabi Nuh akhirnya memberikan nasihat agar mereka beristighfar kepada Allah dari kemusyrikan, kemaksiatan, dan kekafiran mereka.
Imam al-Qusyairi mengatakan di dalam tafsirnya: “Sesungguhnya istighfar adalah mengetuk pintu-pintu nikmat (rezeki). Barangsiapa yang di dalam dirinya terdapat rasa butuh kepada Allah, maka dirinya tidak akan bisa sampai kepada-Nya, kecuali dengan mengajukan istighfar sebagai pembukanya.”
Hasan al-Bashri pernah didatangi oleh tiga orang tamu. Yang pertama datang mengeluh karena tidak memiliki harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Tamu kedua mengeluh karena desanya ditimpa paceklik dan tamu ketiga mengeluh karena tidak kunjung diberikan keturunan.
Hasan al-Bashri menyuruh ketiga-tiganya memperbanyak istighfar. Ketika beliau ditanya, “Wahai Hasan, tiga orang datang kepadamu mengeluhkan permasalahan yang berbeda, mengapa engkau menyuruh mereka dengan hal yang sama, yaitu istighfar?” Hasan al-Bashri kemudian membaca ayat di atas.
Banyak kejadian yang juga disaksikan dan dialami oleh Imam Fakhruddin ar-Razi pada zamannya tentang istighfar sebagai kunci pembuka pintu rezeki. Kita di zaman sekarang juga dapat menyaksikan dan merasakannya.Ketika kita merasakan harta kita sedikit tersendat, barangkali istighfar kita juga kurang. Saat terjadi paceklik harta di dalam rumah tangga kita, maka salah satu hal terpenting yang harus dilakukan adalah memperbanyak istighfar kepada Allah. Jangan-jangan banyak dosa dan kemaksiatan yang menyumbat pintu rezeki dari Allah.
Di saat Khalifah Umar bin Khaththab radiyallahu anhu meminta rezeki dengan turunnya hujan, maka tidak banyak yang beliau lakukan. Umar hanya keluar dari rumahnya, lalu memperbanyak istighfar bersama umat Islam. Tak ada lainnya yang beliau baca.
Sungguh, kita boleh percaya atau tidak dengan kisah dan cerita di zaman dahulu. Tapi itulah kisah yang diceritakan oleh para ulama di dalam kitab-kitabnya ketika menafsirkan firman Allah di atas. Memang, yang diminta pada waktu itu bukanlah bantuan dari pemerintah berupa bantuan langsung tunai, uang SPP anak-anak kita, atau subsidi sembako untuk menurunkan harga kebutuhan bahan pokok. Para ulama dahulu dan para sahabat tidak meminta agar perusahaannya mendapatkan investasi yang lebih banyak. Tidak pula meminta bertambahnya tender yang dimenangkan. Mereka hanya meminta hujan.
Untuk kehidupan di zaman itu, hujan adalah sumber rezeki dan kehidupan. Sebab, kebanyakan mereka mengandalkan rezeki dari bercocok tanam.
Apakah sebagai karyawan, Anda sering mengalami keterlambatan gaji? Pemotongan gaji yang berlebihan? Apakah demonstrasi menjadi solusi? Bisa jadi itu perlu dilakukan, tapi cara terbaik sebagai pembuka pintu rezeki adalah beristighfar sebanyak-banyaknya. Yakinlah dengan firman Allah di atas. Dengan izin Allah, rezeki harta akan segera diberikan.
Atau Anda seorang direktur perusahaan atau pemegang saham dan aset perusahaan? Anda baru saja mendapatkan telepon kalau perusahaan Fulan membatalkan kontraknya dengan perusahaan Anda, sehingga mengalami kerugian yang sangat besar? Karyawan Anda berdemonstrasi karena menuntut upah yang tidak mampu dibayar perusahaan? Cobalah meyakinkan diri, lalu beristighfar kepada Allah sebanyak-banyaknya, niscaya Dia akan segera membukakan pintu dan jalan keluar dari masalah tersebut.
Al-Qur’an juga memberikan penjelasan tentang istighfar sebagai kunci pembuka pintu-pintu rezeki di dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala berikut ini:
“Dan (dia berkata): “Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Rabbmu, lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa.” (Hud: 52)
Ibnu Katsir di dalam tafsirnya mengatakan: “Nabi Hud alaihi salam memerintahkan kaumnya untuk beristighfar (memohon ampunan kepada Allah) agar dosa mereka dihapus Allah dan permintaan ampun mereka diterima di sisi-Nya. Barangsiapa memiliki sifat ‘pemohon ampun’, al-mustaghfir, maka Allah akan memudahkan rezeki untuknya, melancarkan urusannya, dan menjaganya.”Al-Qur’an juga memberikan arahannya kepada kita saat pintu rezeki seakan tertutup di hadapan kita, yaitu agar kita menghadapinya dan berusaha membukanya dengan kunci pintu rezeki, berupa istighfar kepada Allah. Al-Qur’ an menyatakan:
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabbmu dan bertobat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberikan kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari Kiamat.” (Hud: 3)
Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “Dia akan memberikan kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu” adalah Allah akan memberikan rezeki dan kelapangan kepada kalian. Sedangkan Imam al-Qurthubi mengatakan: “Balasan-balasan itu adalah buah dari istighfar dan tobat. Allah akan memberikan kelapangan rezeki dan kenikmatan kehidupan kepada orang-orang yang beristighfar kepada-Nya.”*Nur Faizin, dari bukunya Rezeki Al-Qur’an-Solusi Al-Qur’an untuk Yang Seret Rezeki.
“Dosa zina yang paling ngeri adalah zina yang dilakukan terus menerus. Contohnya adalah seorang suami yang sudah menjatuhkan cerai tiga kepada isterinya namun dia tetap ngotot berhubungan badan, hubungan badan yang nilainya haram. Suami ini tidak mau mengakui telah bercerai dengan isterinya di hadapan publik karena khawatir malu.” (Tanbih al-Ghafilin hlm 339)
Cerai secara agama itu terletak pada lisan suami.
Cerai itu solusi permasalahan rumah tangga yang tidak menemukan titik temu keharmonisan, bukan sarana untuk menghukum atau mendidik isteri.
Tidak ada seorang suami menjatuhkan cerai atau seorang isteri meminta cerai melainkan dilandasi emosi terlebih dahulu.
Andai cerai dalam kondisi emosi tidak sah maka tidak akan pernah ada cerai yang sah di dunia ini.
Setelah cerai atau talak ketiga, isteri resmi jadi orang lain. Hubungan biologis setelah terjadi talak ketiga adalah zina.
Sehebat apapun pertengkaran, suami wajib mengunci lisannya agar tidak mengeluarkan kalimat talak. Kalimat yang hanya akan disesali sepanjang hayat.
Ilustrasi cerai atau talak ketiga adalah sebagai berikut:
Setelah berumah tangga 5 tahun, suami isteri bertengkar. Isteri minta cerai. Suami bilang, “Kupenuhi permintaanmu. Kuceraikan dirimu”. Ini cerai satu. Setelah kejadian ini, suami isteri ini baikan lagi. Suami lantas merujuk isterinya.
Di tahun ke-10 rumah tangga, kembali terjadi cekcok. Saat emosi suami mengatakan, “Kujatuhkan talak kepadamu”. Ini talak dua atau talak kedua. Setelah ini, keduanya berdamai. Suami lantas merujuk isterinya.
Di tahun ke-15 pernikahan terjadi kembali keributan dan perang mulut. Saat itu suami berkata kepada isterinya, Sana, kembali ke rumah ayah ibumu. Telah kububarkan rumah tangga kita”. Ini cerai tiga atau cerai ketiga.
Setelah cerai tiga, isteri tidak boleh dirujuk. Dengan jatuh cerai tiga, otomatis isteri tidak lagi berstatus isteri dan resmi jadi orang lain.
Semoga Allah jadikan rumah tangga penulis dan semua pembaca tulisan ini keluarga penuh ketenangan, cinta dan kasih sayang, kumpul bareng di dunia dan di surga. Aamiin.
Terdapat 4 fondasi utama syahadat menurut Imam Al-Ghazali
Bagi setiap orang yang ingin memeluk Islam, maka wajib mengucapkan dua kalimat syahadat, yaitu:
أشهد أن لا إله إلا الله، وأشهد أن محمدا رسول الله Asyhadualla ilaha Illallah wa Asyhadunn Muhammadar Rasulullah.
Di dalam kalimat kesaksian itu terdapat beberapa penegasan. Dalam kitab Imam Al-Ghazali “Raudhatu ath-Thalibin wa ‘Umdatu as-Salikin” dijelaskan, secara ringkas dua kalimat syahadat mengandung penegasan tentang Dzat Allah, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, dan kebenaran Rasulullah SAW.
Selain itu, di dalamnya juga terkandung empat fondasi bangunan iman. Fondasi pertama, mengenal Allah, yang meliputi sepuluh prinsip, yaitu: ilmu (pengetahuan) tentang wujud Allah, sifat qidam dan baqa’-Nya, dan bahwa dia bukan substansi, materi, maupun aksiden. Dia tidak terbatasi oleh suatu arah, tidak menetap pada sebuah tempat, dan Dia Mahamelihat dan Mahasaesa.
Fondasi kedua, yaitu mengenal sifat-sifat Allah SWT yang terdiri atas sepuluh prinsip, yaitu mengenali bahwa Allah itu Hidup, Mahamengetahui, Mahakuasa, Mahaberkehendak, Mahamendengar, Mahamelihat, Mahaberbicara, Mahabenar dalam menyampaikan berita, suci dari hal-hal baru, dan sifat-sifat-Nya adalah kadim.
Fondasi ketiga, mengenali perbuatan-perbuatan Allah SWT yang berkisar atas sepuluh prinsip, yaitu perbuatan-perbuatan hamba adalah ciptaan Allah, akibat kehendak-Nya, perbuatan-perbuatan itu merupakan sesuatu yang diupayakan (muktasab).
Kemudian, Dia juga merupakan pemberi agnugerah kepada makhluk, Dia berhak memberi beban syariat (taklif) di luar kemampuan, Dia boleh menyakiti makhluk, Dia tidak wajib memperhatikan hal yang lebih maslahat, tidak ada kewajiban kecuali atas dasar syariat, pengutusan para nabi adalah perkara ja’iz (boleh), dan kenabian Muhammad Saw yang didukung berbagai mukjizat merupakan kepastian.
Fondasi keempat, perkara yang hanya didengar (samiyyat) mencakup sepuluh prinsip, yaitu hari pengumpulan makhluk (hasyr), hari kebangkitan (nasyr), azab kubur, pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir, shirat, penciptaan surga dan neraka, dan hukum-hukum imamah.
Saya telah memperoleh ijazah perpajakan dan saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepada Anda terkait hukum bekerja di instansi perpajakan.
Pertama, apakah saya boleh bekerja di instansi perpajakan dan apakah secara syar’i bekerja di sana hukumnya halal?
Kedua, apakah mewajibkan pajak di samping zakat diperbolehkan di negara Islam?
Ketiga, apabila bekerja di instansi perpajakan diperbolehkan, maka bagaimana memahami hadits yang mencela pajak dan pemungutnya?
Saya berharap Anda dapat menghilangkan kegalauan saya dalam permasalahan ini. Semoga Allah membalas anda dengan kebaikan. Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.
Jawaban Syaikh Muhammad ‘Ali Farkus –hafizhahullah– :
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على محمد وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، أمّا بعد
Sebelum masuk ke dalam jawaban pertanyaan di atas, kita perlu membedakan antara dua jenis pajak yang dinamakan oleh sebagian ahli fikih dari kalangan Malikiyah dengan “al-wazha-if” atau “al-kharraj“; dan di kalangan ulama Hanafiyah dinamakan dengan “an-nawa-ib“, yaitu pengganti pajak perorangan dari Sulthan; sedangkan di sebagian ulama Hanabilah dinamakan dengan “al-kalf as-sulthaniyah“, kedua jenis pajak ini terbagi menjadi :
Pajak yang diambil secara ‘adil dan memenuhi berbagai syaratnya.
Pajak yang diambil secara zhalim dan melampaui batas.
Pajak yang diwajibkan oleh penguasa muslim karena keadaan darurat untuk memenuhi kebutuhan negara atau untuk mencegah kerugian yang menimpa, sedangkan perbendaharaan negara tidak cukup dan tidak dapat menutupi biaya kebutuhan tersebut, maka dalam kondisi demikian ulama telah memfatwakan bolehnya menetapkan pajak atas orang-orang kaya dalam rangka menerapkan mashalih al-mursalah dan berdasarkan kaidah “tafwit adnaa al-mashlahatain tahshilan li a’laahuma” (sengaja tidak mengambil mashlahat yang lebih kecil dalam rangka memperoleh mashalat yang lebih besar) dan “yatahammalu adl-dlarar al-khaas li daf’i dlararin ‘aam” (menanggung kerugian yang lebih ringan dalam rangka menolak kerugian yang lebih besar).
Pendapat ini juga didukung oleh Abu Hamid al-Ghazali dalam al-Mustashfa dan asy-Syatibhi dalam al-I’tisham ketika mengemukakan bahwa jika kas Bait al-Maal kosong sedangkan kebutuhan pasukan bertambah, maka imam boleh menetapkan retribusi yang sesuai atas orang-orang kaya. Sudah diketahui bahwa berjihad dengan harta diwajibkan kepada kaum muslimin dan merupakan kewajiban yang lain di samping kewajiban zakat. Allah ta’ala berfirman,
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar [Al Hujuraat: 15]
Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui [At Taubah: 41].
(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui [Ash Shaff: 11].
Dengan demikian, salah satu hak penguasa kaum muslimin adalah menetapkan berapa besaran beban berjihad dengan harta kepada setiap orang yang mampu. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh pengarang Ghiyats al-Umam dan juga pendapat An Nawawi dan ulama Syafi’iyah yang lain, dimana mereka merajihkan pendapat bahwa kalangan kaya dari kaum muslimin berkewajiban membantu kaum muslimin dengan harta selain zakat.
Termasuk dari apa yang kami sebutkan, (pungutan dari) berbagai fasilitas umum yang bermanfaat bagi seluruh individu masyarakat, yaitu (yang memberikan) manfaat kepada seluruh masyarakat dan perlindungan mereka dari segi keamanan (militer) dan ekonomi yang tentunya membutuhkan biaya (harta) untuk merealisasikannya sementara hasil dari zakat tidak mencukupi. Bahkan, apabila dakwah kepada Allah dan penyampaian risalah-Nya membutuhkan dana, (maka kewajiban pajak dapat diterapkan untuk memenuhi keperluan itu), karena merealisasikan hal tersebut merupakan kewajiban bagi tokoh kaum muslimin dan biasanya seluruh hal itu tidak dapat terpenuhi dengan hanya mengandalkan zakat. Kewajiban tersebut hanya bisa terealisasi dengan penetapan pajak di luar kewajiban zakat. Oleh karena itu, kewajiban ini ditopang kaidah “maa laa yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajib“, sesuatu dimana sebuah kewajiban tidak sempurna kecuali denganya, maka sesuatu itu bersifat wajib.
Kemudian, setiap individu yang memanfaatkan fasilitas umum yang telah disediakan oleh pemerintah Islam untuk dimanfaatkan dan untuk kemaslahatan individu, maka sebaliknya sudah menjadi kewajiban setiap individu untuk memberi kompensasi dalam rangka mengamalkan prinsip “al-ghurm bi al-ghunm”, tanggungan kewajiban seimbang dengan manfaat yang diambil. Namun, ketetapan ini terikat dengan sejumlah syarat, yaitu :
Bait al-maal mengalami kekosongan dan kebutuhan negara untuk menarik pajak memang sangat dibutuhkan sementara sumber pemasukan negara yang lain untuk memenuhi kebutuhan tersebut tidak ada.
Pajak yang ditarik wajib dialokasikan untuk berbagai kepentingan umat dengan cara yang adil.
Bermusyawarah dengan ahlu ar-ra’yi dan anggota syura dalam menentukan berbagai kebutuhan negara yang membutuhkan dana tunai dan batas maksimal sumber keuangan negara dalam memenuhi kebutuhan tersebut disertai pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian dana tersebut dengan cara yang sejalan dengan syari’at.
Pajak jenis ini, yang dibagikan secara adil dan dengan cara yang benar telah disebutkan oleh para ahli fikih empat madzhab dengan penamaan yang berbeda-beda sebagaimana hal ini didukung oleh perbuatan ‘Umar in al-Khathab radliallahu ‘anhu di masa kekhalifahannya, dimana beliau mewajibkan pajak sebesar 10% kepada para pedagang ahlu al-harb, sedangkan untuk pedagang ahlu adz-dzimmah sebesar 5%, dan 2,5% bagi pedagang kaum muslimin.
Sedangkan pajak jenis kedua yang diambil secara tidak wajar dan zhalim, maka hal itu tidak lain merupakan bentuk penyitaan sejumlah harta yang diambil dari pemiliknya secara paksa tanpa ada kerelaan darinya. Hal ini menyelisihi prinsip umum syari’at Islam yang terkait dengan harta, yaitu hukum asal dalam permasalahan harta adalah haram diganggu karena berpedoman pada dalil-dalil yang banyak, diantaranya adalah sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لا يحلّ مال امرئ مسلم إلاّ بطيب نفس منه
Tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dari jiwanya[1]
من قتل دون ماله فهو شهيد
Barangsiapa yang terbunuh karena membela hartanya, maka dia syahid[2].
ألا إنّ دماءكم وأموالكم وأعراضكم عليكم حرام
Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta dan kerhormatan-kehormatan kalian adalah haram atas sesama kalian (untuk dilanggar)[3].
Berdasarkan hal ini, maka berbagai hadits, baik yang shahih maupun yang tidak, yang mencela para pemungut pajak dan mengaitkannya dengan siksa yang berat, kesemuanya dibawa kepada makna pajak yang diberlakukan secara tidak wajar dan zhalim, yang diambil dan dialokasikan tanpa hak dan tanpa adanya pengarahan. Hal ini berarti pegawai yang dipekerjakan untuk memungut pajak dipergunakan oleh para raja dan penguasa serta pengikutnya untuk memenuhi kepentingan dan syahwat mereka dengan mengorbankan kaum fakir dan rakyat yang tertindas. Gambaran inilah yang dikatakan oleh adz-Dzahabi dalam al-Kabair dengan komentarnya,
المكاس من أكبر أعوان الظلمة، بل هو من الظلمة أنفسهم، فإنّه يأخذ ما لا يستحق ويعطيه لمن لا يستحق
Pemungut pajak adalah salah satu pendukung tindak kezhaliman, bahkan dia merupakan kezhaliman itu sendiri, karena dia mengambil sesuatu yang bukan haknya dan memberikan kepada orang yang tidak berhak.
Inilah kondisi riil yang tersebar luas di pelosok dunia ketika Islam telah berkembang. Berbagai pajak yang tidak wajar diwajibkan oleh beberapa pemerintahan pada saat ini di tengah-tengah manusia dan atas kaum fakir, khususnya kaum muslimin. Kemudian, pajak tersebut disetorkan kepada para pemimpin, penguasa dan kalangan elit, yang pada umumnya digunakan untuk memenuhi syahwat dan kesenangan mereka dan hal itu tertuang dalam berbagai protokol resmi kenegaraan ketika menerima tamu dari kalangan para raja dan pemimpin. Demikian pula pajak tersebut dialokasikan untuk mendanai berbagai pesta dan festival yang di dalamnya terdapat kemaksiatan dan minuman keras, mempertontonkan aurat, pertunjukan musik dan tari serta kegiatan batil lainnya yang jelas-jelas membutuhkan biaya yang mahal.
Maka, pajak jenis ini seperti yang dinyatakan oleh sebagian ulama bahwa pajak tersebut justru dipungut dari kalangan miskin dan dikembalikan kepada kalangan elit. Hal ini sangat bertolak belakang dengan ruh zakat yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya,
تؤخذ من أغنيائهم و ترد على فقرائهم
Zakat itu diambil dari kalangan elit dan dikembalikan kepada kalangan fakir[4].
Berdasarkan penjelasan di atas, maka seorang muslim yang peduli akan agamanya berkewajiban menjauhi segala bentuk keharaman dan kemaksiatan serta menjauhkan diri dari setiap pekerjaan yang justru akan memperbanyak dosa dan mengotori harta yang dimilikinya. Sebagaimana dia berkewajiban untuk tidak menjadi alat dan perantara untuk memaksa dalam tindak kezhaliman yang digunakan oleh para pelakunya dalam membebani manusia dengan berbagai pungutan harta.
Bahkan, bisa jadi dia termasuk pelaku kezhaliman itu sendiri, karena biasanya seorang yang berserikat dengan para pelaku kezhaliman dan berbagi harta yang haram dengan mereka, (maka hal itu juga merupakan tindak kezhaliman), karena syari’at apabila mengharamkan suatu aktivitas, maka uang yang diperoleh dari aktivitas tersebut juga haram. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قاتل الله اليهود لمّا حرّم عليهم شحومها جملوه ثمّ باعوه فأكلوا ثمنه
Semoga Allah membinasakan Yahudi, karena tatkala Allah mengharamkan lemak bangkai atas mereka, mereka malah mencairkannya, kemudian menjual dan menggunakan uang hasil penjualannya[5].
Adapun penetapan pajak di samping zakat, apabila tidak ditemukan sumber keuangan untuk memenuhi suatu kebutuhan negara kecuali dengan adanya penetapan pajak, maka boleh memungut pajak bahkan hal itu menjadi wajib dengan syarat kas Bait al-Maal (kas negara) kosong, dialokasikan dan didistribusikan dengan benar dan ‘adil berdasarkan penjelasan di atas mengenai pajak yang ‘adil dan tindakan ‘Umar ibn al-Khaththab radliallahu ‘anhu yang mendukung hal tersebut.
Inilah yang nampak bagiku dalam permasalahan ini. Apabila benar, maka hal itu berasal dari Allah dan jika keliru, maka hal itu berasal dari diriku. Saya memohon kepada Allah untuk meneguhkan langkah kita, menjauhkan kita dari kesesatan, memberi taufik kepada kita untuk mengerjakan amalan yang mengandung kebaikan di dunia dan akhirat, serta menjadikan diri kita sebagai sarana dalam memperbaiki manusia dan negara. Sesungguhnya Dia-lah yang Mahamenguasai dan Mahaberupaya atas hal itu.
وآخر دعوانا أن الحمد لله ربّ العالمين؛ وصلّى الله على محمّد وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين وسلم تسليما
Dalam koperasi simpan pinjam, kita mengenal istilah SHU (Sisa Hasil Usaha). Apakah SHU dari koperasi seperti itu halal dimanfaatkan?
Apa itu SHU?
SHU koperasi adalah pendapatan koperasi yang diperoleh dalam satu tahun buku dikurang dengan biaya, penyusutan, dan kewajiban lain termasuk pajak dalam tahun buku yang bersangkutan.
Adapun perlakuan terhadap SHU adalah sisa hasil usaha setelah dikurangi dana cadangan, dibagikan kepada anggota sebanding dengan jasa usaha yang dilakukan oleh masing-masing anggota dengan koperasi, serta digunakan untuk pendidikan perkoperasian dan keperluan lain dari koperasi, sesuai dengan keputusan rapat anggota.
SHU dari Simpan Pinjam
Yang kita kritisi adalah sisa hasil usaha dari simpan pinjam.
Jika anggota atau pihak lain yang mengajukan pinjaman pada koperasi, lalu dikenai tambahan dari utang tersebut, ini hakekatnya adalah riba. Karena kaedah yang perlu kita ingat, setiap utang piutang yang ditarik keuntungan, maka itu adalah riba. Dan riba dihukumi haram.
Dalam hadits disebutkan,
كل قرض جر منفعة فهو حرام
“Setiap utang piutang yang di dalamnya ada keuntungan, maka itu dihukumi haram.” Hadits ini adalah hadits dho’if sebagaimana Syaikh Al Albani menyebut dalam Dho’iful Jami’ no. 4244. Namun berdasarkan kata sepakat para ulama -sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Mundzir-, perkataan di atas benar adanya.
“Setiap utang yang dipersyaratkan ada tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para ulama.” (Al Mughni, 6: 436)
Kemudian Ibnu Qudamah membawakan perkataan berikut ini,
“Ibnul Mundzir berkata, “Para ulama sepakat bahwa jika orang yang memberikan pinjaman memberikan syarat kepada yang meminjam supaya memberikan tambahan atau hadiah, lalu transaksinya terjadi demikian, maka tambahan tersebut adalah riba.”
Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Abbas bahwasanya mereka melarang dari utang piutang yang ditarik keuntungan karena utang piutang adalah bersifat sosial dan ingin cari pahala. Jika di dalamnya disengaja mencari keuntungan, maka sudah keluar dari konteks tujuannya. Tambahan tersebut bisa jadi tambahan dana atau manfaat.” Lihat Al Mughni, 6: 436.
Jadi walaupun dinamakan sisa hasil usaha, namun kalau hakikatnya adalah riba, maka hukumnya jelas haram.
Perhatikan Hakekat
Seorang muslim harus cerdas melihat hakikat suatu transaksi, yaitu apa yang sebenarnya terjadi, bukan hanya melihat istilah atau nama. Karena istilah dan embel-embel syar’i kadang menipu. Dikatakan bagi hasil atau sisa hasil usaha, namun kalau ditilik, yang nyata itu adalah riba. Karena di dalamnya yang terjadi adalah utang-piutang (bukan jual beli) dan ditarik keuntungan. Itulah riba.
Adapun jika pendapatan koperasi bercampur antara hasil usaha riil dengan simpan pinjam, maka pendapat seperti itu harus dipisahkan. Yang haram tersebut mesti dibersihkan dengan disalurkan pada kemaslahatan kaum muslimin, bukan dimanfaatkan oleh anggota secara pribadi. Tentu saja SHU seperti itu mesti dihapus dan hendaklah semakin bertakwa pada Allah dengan meninggalkan yang haram.
Ancaman Bagi Para Rentenir
Jika koperasi menarik keuntungan dari simpan pinjam, maka hakekatnya koperasi hanyalah sebagai rentenir, namun berkedok usaha resmi. Rentenir ini terkena ancaman laknat dalam hadits,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1598).
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits di atas bisa disimpulkan mengenai haramnya saling menolong dalam kebatilan.” (Syarh Shahih Muslim, 11: 23).