Hukum Gratis Ongkir dan Cashback dari Marketplace Dalam Islam

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki adab dan akhlak yang luhur berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang hukum gratis ongkir dan cashback dari markerplace dalam islam.
Silahkan membaca.


Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allah Azza wa Jalla selalu menjaga Ustadz & keluarga.

Ustadz, saya ingin bertanya, saya dapat voucher gratis ongkir dan cashback dari markerplace, lalu apakah ini masuk dalam perkara riba ustadz?
Syukron.

(Disampaikan oleh Fulanah, Member grup WA BiAS)


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du.

Ada 2 hal yang perlu diperhatikan untuk suatu bonus tertentu bagi pembeli (konsumen) dengan pihak marketplace;

Pertama; Voucher gratis dan Cashback tanpa syarat

Jika voucher gratis dan cashback (potongan harga) tidak mensyaratkan poin tertentu, misalkan tidak harus ada poin ini dulu, tidak harus punya deposit di payshop*e dulu atau deposit di marketplace, tidak harus jadi anggota member dulu, dan syarat lain-lain maka hal ini dibolehkan. ini adalah pendapat terkuat. Karena dikembalikan kepada hukum asal muamalah. Apatah lagi pembeli baru pertama kali melakukan transaksi di marketplace ini.

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah pernah berfatwa tentang potongan harga (cash back) pada jual beli kredit (hutang),

لان هذا عكس الربا فإن الربا يتضمن الزيادة في احد العوضين في مقابلة الاجل وهذا يتضمن براءة ذمته من بعض العوض في مقابلة سقوط الاجل

“Karena kesepakatan ini kebalikan dari riba. Dalam transaksi riba, ada tambahan pembayaran sebagai ganti dari penundaan. Sementara kesepakatan ini (cashback) bentuknya mengurangi beban pembayaran, sebagai ganti dari pengurangan waktu pelunasan.”

Beliau melanjutkan,

فانتفع به كل واحد منهما ولم يكن هنا ربا لا حقيقة ولا لغة ولا عرفا فإن الربا الزيادة وهي منتفية ههنا

“Sehingga masing-masing mendapat manfaat, dan di sana tidak ada riba, baik secara hakiki, bahasa, maupun urf. Karena riba itu tambahan, dan di sini itu tidak ada.”
(lihat penjelasan panjang lebar Imam Ibnul Qoyyim dalam I’lamul Muwaqqi’in, 3/359)

Maka untuk jual beli pada prinsipnya penjual berhak menawarkan barangnya dengan harga sesuai yang dia inginkan. Karena barang yang dia jual adalah milik dia. Dan seseorang berhak untuk memberlakukan barangnya sesuai yang dia inginkan. Sehingga, penjual berhak menurunkan harga, memberi diskon atau potongan kepada konsumennya. Dia juga berhak menetapkan harga yang berbeda untuk konsumennya.

Kedua, Voucher gratis dan Cashback bersyarat khusus

Hanya saja jika voucher gratis dan cashback ini mensyaratkan poin tertentu yaitu berupa konsumen harus melakukan transaksi di marketplace ini sebanyak sekian, sehingga mendapatkan poin tertentu dan berhak klaim voucher, dan juga harus ada deposit (tabungan) di uang digital khusus pembayaran transaksi elektronik yang disyaratkan oleh pihak marketplace bagi pembeli, maka mengambil cashback atau voucher gratis ongkos kirim ini adalah tidak diperbolehkan dan terlarang, karena anda pada hakikatnya telah meminjamkan uang (menabung) di pembayaran elektronik tersebut dengan melakukan akad dengan pihak marketplace, buktinya anda tidak berhak mengklaim voucher gratis dan cashback sebelum mempunyai tabungan deposit di shoppypay atau pembayaran elektronik lainnya yang disyaratkan oleh pihak marketplace, maka inilah riba sebagaimana uang yang disetor (tabung) ke Bank juga akan ada bonus yang menanti akibat transaksi utang piutang tersebut. inilah pendapat yang dipilih oleh jumhur ulama.

Wallahu Ta’ala A’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله
Rabu, 27 Muharram 1442 H / 16 September 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Pikirkan Dirimu, Jangan Sibuk dengan Orang Lain!

Allah Swt Berfirman :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ عَلَيۡكُمۡ أَنفُسَكُمۡۖ لَا يَضُرُّكُم مَّن ضَلَّ إِذَا ٱهۡتَدَيۡتُمۡۚ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jagalah diri kalian sendiri; (karena) orang yang sesat itu tidak akan membahayakan kalian apabila kalian telah mendapat petunjuk.” (QS.Al-Ma’idah:105)

Ayat ini ingin mengajarkan kepada kita untuk fokus pada urusan dan tugas kita masing-masing. Jangan sibuk memperhatikan urusan orang lain, apakah mereka menjalankan tugas atau tidak, apakah mereka menunaikan tanggung jawab atau tidak. Itu bukan urusanmu !

Mengapa demikian ?

Karena kemalasan dan meremehkan tanggung jawab itu mudah menular. Sering ketika kita berhenti di lampu merah, apabila ada yang melanggar biasanya akan di ikuti oleh pengendara lainnya. Kenapa itu terjadi? Karena banyak orang yang fokus kepada perbuatan orang lain dan lupa bahwa tugasnya hanyalah berhenti ketika lampu berubah menjadi merah. Lakukan tugas kita dan jangan pedulikan perbuatan orang lain !

Selama kita berada di jalan yang di Ridhoi Allah maka teruslah berjalan, lakukan tugas kita dan jangan sibuk mengintip tugas orang lain apakah selesai atau tidak, bagaimana hasilnya, itu semua tidak penting ! Karena setiap manusia bertanggung jawab atas dirinya masing-masing. Kita tidak akan ditanya tentang tugas orang lain.

Maka dari itu berbuat baiklah. Layani orang sekitarmu dengan kebaikan yang mengundang Keridhoan Allah. Bahagiakan mereka walau hanya dengan senyum dan sapa.

Jangan terlalu sibuk mengurusi hidup orang lain. Karena bayanganmu saja akan meninggalkanmu di tempat-tempat yang gelap.

Lalu bagaimana dengan perintah Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar?

Nah disinilah pentingnya keseimbangan dalam Islam. Kita fokus pada urusan kita bukan berarti menjadi egois dan tidak memikirkan orang lain. Fokuslah dengan tugas dalam hidupmu dan jangan menjadi lemah karena orang lain tidak menjalankan tugasnya.

Tegurlah saudaramu atas dasar kecintaanmu kepadanya, karena Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar harus tetap berjalan sesuai syarat-syaratnya.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Kapan Pandemi Ini Berakhir?

Pertanyaan “kapan pandemi berakhir” mungkin salah satu hal yang selalu terngiang dalam benak kita. Sejak awal pandemi, seringkali kami mendapatkan pertanyaan semacam ini, entah itu ibu-ibu yang khawatir bagaimanakah anaknya bersekolah; atau para pekerja (pelaku usaha) sektor ekonomi yang khawatir dengan dampak pandemi; atau bahkan rekan sejawat yang juga mempertanyakan sampai kapan kita berada dalam kondisi semacam ini (memakai APD lengkap yang sangat merepotkan).

Berbagai analisis dan prediksi dikemukakan oleh para ahli di bidang ini. Berbagai macam upaya dilakukan untuk menghentikan pandemi ini. Meskipun demikian, sampai hampir tujuh bulan kita melewati hari demi hari pandemi ini, tampaknya belum ada tanda-tanda kapan pandemi ini berakhir.

Bahkan sebaliknya, kita dapati jumlah kasus yang semakin meningkat, jumlah kematian yang semakin bertambah dari hari ke hari, termasuk kematian para tenaga medis, baik itu dokter umum, dokter spesialis, guru besar (profesor), perawat, dan yang lainnya. 

Sebagai seorang muslim, yang beriman kepada Allah Ta’ala, sudah selayaknya kita selalu introspeksi diri, mengapa musibah ini terus berlangsung? Setidaknya, ada dua hal yang patut kita jadikan sebagai bahan renungan dalam kesempatan kali ini:

Setiap musibah adalah karena dosa dan kesalahan kita, seberapa sungguh-sungguh kita istighfar dan taubat?

Allah Ta’ala berfirman,

وَما أَصابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِما كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا عَنْ كَثِيرٍ

“Dan segala musibah yang menimpa kalian adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian. Dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan kalian).” (QS. Asy-Syuuraa: 30)

Betul, ilmu pengetahuan (sains) menjelaskan pandemi ini disebabkan oleh virus (SARS-CoV-2) dengan karakter tertentu yang muncul secara alamiah (natural evolution). Kemudian menular dengan cara tertentu pula (droplet, airborne, dan seterusnya). Ini adalah penjelasan dari sisi sains (biologi).

Akan tetapi, kita sebagai orang yang beriman, harus merenungi musibah ini berdasarkan firman Allah Ta’ala di atas. Bahwa setiap musibah yang Allah Ta’ala turunkan, disebabkan oleh dosa dan kesalahan kita sendiri. Sejak awal pandemi, seberapa kesungguhan kita untuk istighfar dan taubat atas dosa dan kesalahan kita sebelumnya? Atau justru kita semakin menambah maksiat kepada Allah Ta’ala di tengah-tengah situasi pandemi ini? 

Oleh karena itu, satu nasihat penting yang hendaknya kita selalu ingat adalah ungkapan,

ما نزل بلاء إلا بذنب ولارفع إلا بتوبة

“Tidaklah musibah itu turun (terjadi), kecuali karena dosa. Dan tidaklah akan diangkat, kecuali dengan taubat.”  

Mengapa kita menunda-nunda taubat di tengah musibah semacam ini, padahal Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk segera bertaubat? Allah Ta’ala mengatakan,

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.” (QS. An-Nuur [24]: 31)

Sekali lagi, hendaknya kita renungkan dengan sungguh-sungguh, seberapa serius kita bertaubat kepada Allah Ta’ala sejak awal pandemi?

Jangan-jangan kita lebih bertawakkal kepada sebab (usaha lahiriyyah), bukan kepada Allah Ta’ala?

Hal lain yang juga patut kita renungkan adalah, jangan-jangan selama ini kita lebih bersandar kepada sebab (usaha) yang kita lakukan secara lahiriyyah? Dan kita melupakan pencipta sebab sesungguhnya, yaitu Allah Ta’ala? 

Kita lebih bersandar kepada usaha kita sendiri, semisal cuci tangan, memakai masker, menjaga jarak (social dan physical distancing), dan usaha-usaha sejenis itu. Lalu kita pun merasa aman, kemudian lupa menyandarkan hati kita kepada Allah Ta’ala. 

Padahal, Allah adalah Dzat Yang Maha kuasa, Allah-lah yang mentakdirkan apakah sebab atau usaha kita itu akan bisa mendatangkan manfaat yang kita inginkan? Inilah dua unsur tawakkal, yaitu (1) melakukan usaha lahiriyyah dan (2) menyandarkan hati kepada Allah Ta’ala. Jika dia hanya melakukan nomor 1, tanpa nomor 2, berarti ada cacat dalam tauhidnya. Adapun jika hanya melakukan nomor 2, tanpa nomor 1, berarti dia telah kehilangan akal sehat.

Ada seorang sahabat yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, apakah saya ikat unta saya, lalu tawakkal kepada Allah ataukah saya lepas saja sambil bertawakkal kepada-Nya?” 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

إِعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ

“Ikatlah dulu untamu itu, baru Engkau bertawakal!” (HR. At-Tirmidzi no. 2517, hasan)

Cuci tangan, jaga jarak, dan memakai masker itu bagaikan “mengikat unta” dalam hadits di atas. Namun, jangan lupakan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikutnya, yaitu,

وَتَوَكَّلْ

“Dan bertawakkal-lah!”

Artinya, sandarkanlah dirimu kepada Allah Ta’ala.

Orang yang hanya bersandar sebab (usaha lahiriyyah), kemudian lupa menyerahkan dirinya kepada Allah Ta’ala, adalah orang-orang yang kurang sempurna tauhidnya. Tauhidnya telah ternoda, karena dia lebih bersandar kepada dirinya sendiri, bukan kepada Allah Ta’ala. 

Sekali lagi, di tengah-tengah pandemi ini, kita pun merenungkan kembali, sudah benarkah tawakkal kita kepada Allah Ta’ala?

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Inilah Cara Musuh Menghancurkan Kaum Muslimin!

Allah Swt Berfirman :

وَلَا تَلۡبِسُواْ ٱلۡحَقَّ بِٱلۡبَٰطِلِ وَتَكۡتُمُواْ ٱلۡحَقَّ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ

“Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya.” (QS.Al-Baqarah:42)

Ayat ini ingin menjelaskan kepada kita bahwa bangsa Yahudi dan musuh-musuh Islam memiliki dua cara untuk merusak agama Islam, yaitu :

1. Mencampur adukkan kebenaran dengan kebatilan.

2. Menyembunyikan hakikat kebenaran yang sebenarnya.

(1). Bagaimana cara mereka mencampur adukkan kebenaran dengan kebatilan?

Mereka benar-benar bekerja keras untuk merusak Islam dari semua sisi. Dan salah satu caranya adalah dengan melakukan provokasi tentang ajaran Islam dengan syubhat-syubhat yang membuat orang ragu. Misalnya Islam dianggap agama yang kejam karena ada hukuman mati di dalamnya. Dan hal-hal lain yang membuat orang menjadi ragu dengan kebenaran Islam.

Kedua, mereka berusaha merubah wajah Islam dari yang sebenarnya. Wajah Islam yang ramah di buat seakan penuh amarah. Wajah Islam yang santun di buat seakan tak punya belas kasih. Wajah Islam yang penuh rahmat di buat seakan kasar dan jahat. Begitulah mereka berupaya sepanjang waktu untuk menciptakan kelompok-kelompok extrimis yang merubah wajah Islam yang hakiki. Cara ini juga sangat efektik untuk mencampur adukkan kebenaran Islam dengan cara-cara yang batil.

Ketiga, mereka berusaha untuk menghapuskan ajaran-ajaran Islam yang damai dan selalu berupaya menggiring opini masyarakat agar fokus pada hal-hal tertentu saja.

(2). Karena itulah, upaya untuk mencampur adukkan kebenaran Islam dengan kebatilan akan terus dilakukan dengan tujuan untuk menyembunyikan hakikat sebenarnya dari Islam itu sendiri.

Dan hal ini tidak hanya dilakukan oleh musuh Islam yang nyata seperti Zionis dan antek-anteknya. Tapi ini semua juga sudah mengakar pada jiwa orang-orang munafik di tengah kaum muslimin.

Karenanya, bila kita menemukan ada dari kaum muslimin yang suka membawa-bawa tentang syubhat yang di tebarkan di tengah orang awam, membawa perpecahan dan permusuhan dan menampakkan wajah Islam yang indah dengan wajah yang penuh kekejaman, maka bisa dipastikan mereka disadari atau tidak adalah antek-antek musuh Islam dan setidaknya menyerupai sifat-sifat musuh Islam, walaupun mereka mengklaim dirinya paling beriman.

Semoga bermanfaat …

KHAZANAH ALQURAN

Takut pada Kematian Buat Lebih Dekat dengan Allah

Kita perlu mengingat kematian agar tetap fokus pada tujuan hidup.

Duduk di hadapan dokter dengan perasaan runtuh. Dokter memvonis kanker payudara di usiaku 34 tahun dengan seorang bayi berumur 16 minggu.

“Apakah saya akan mati?” itulah pertanyaan pertama yang keluar dari mulutku.

“Tidak hari ini atau besok,” jawabnya. Jawaban yang menyebalkan, pikirku saat itu dan saya berpikir untuk melarikan diri saat itu.

Rosulullah saw bersabda :
“Ingat Penghancur Kesenangan-kematian,” (at-tirmidzi)

Selama ini saya, Trudi Best (34 tahun) telah gagal mengingat bahwa kematian akan datang. Namun ketika berhadapan langsung dengan kematian itu, ini cukup mengejutkan.

“Saya punya rencana. Ini bukan bagaimana yang saya harapkan, hidup saya berjalan dengan baik. Saya berharap bisa menjadi tua, saya ingin melihat anak-anak saya tumbuh dewasa. Namun tidak ada yang dijamin,” ungkapnya.

“Kehidupan dunia ini hanyalah kenikmatan yang memperdayakan,” (Al-Quran 3: 185 ).

Trudi lalu berujar, bahwa selama ini ia menyibukkan diri dengan pendidikan, karier, pernikahan, dan kehidupan sosial. Melompat dari satu tujuan hidup ke tujuan berikutnya, menghitung pencapaian yang telah diraih. Tapi lupa bagaimana bersyukur atas nikmat itu, dan berpikir bahwa tidak akan selama tinggal di dunia ini.

“Apa yang telah saya persiapkan untuk kehidupan selanjutnya,” ujar Trudi.

Nabi Muhammad saw bersabda :

“Tempat berteduh bagi orang-orang beriman pada Hari Kebangkitan (kiamat) adalah amal pahalannya,” (At-Tirmidzi).

Trudi menuturkan, tidak harus kaya untuk beramal, bahkan senyum pun adalah amal. Jika kita mampu membayar TV kabel, ponsel dan koneksi internet, tentu kita bisa menyisihkan sesuatu untuk beramal.

Amal sambungnya, adalah investasi untuk akhirat nanti. Amal pun tidak melulu dengan uang, bahkan waktu Anda pun adalah amal jika diberikan dengan keikhlasan. Seperti menjadi sukarelawan di masjid, membantu mengajar anak-anak di madrasah, mengunjungi orang tua yang merasa kesepian.

“Setiap perbuatan baik adalah pahala yang akan bersaksi untuk Anda di hari kiamat,” tegas Trudi.

Ia mengakui, memikirkan kematian adalah hal tabu di sebagian besar budaya. Namun, kita perlu mengingat kematian agar tetap fokus pada tujuan hidup.

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku,” (Al-Quran surat Adz-Dzariyat ayat 56).

Trudi kembali mengingat di hari-hari ketika ia divonis kanker. Ia diliputi rasa takut karena tidak memiliki persiapan dan amal yang cukup untuk bertemu Allah SWT.
 
“Apakah saya siap untuk bertemu dengan Allah? Jawabannya jelas, tidak. Apakah saya sudah cukup menyembah Tuhanku? Tidak,” ujar Trudi.

Tapi di saat seperti itulah, saat ia merasa rapuh, Trudi mengaku sangat membutuhkan Allah. Di saat seperti itu, ia menjadi lebih taat, sholat dengan tepat waktu, berdoa dengan lebih khusyu, dan lebih rajin membaca Alquran.

“Pertolongan Allah datang kepadaku. Allah memiliki segalanya di tangan-Nya dan hanya berkat Cinta dan Rahmat-Nya kita dapat bangun dengan sehat dan bugar untuk menghadapi hari berikutnya. Tidak ada keraguan bahwa Dia adalah Tuhan yang laik disembah,” ungkap Trudi.

Setelah diagnosis, tambah Trudi, dunia tampak seperti tempat yang berbeda, seolah-olah penglihatannya telah menajam. Ada begitu banyak keindahan, tidak hanya lingkungan alam yang paling menakjubkan, tapi di pinggiran kota pun keindahan begitu nampak. “Luangkan waktu untuk memperhatikan matahari terbenam, bulan dan bintang, kebaikan di antara manusia,” ungkapnya.

Ada banyak hal ungkap Trudi, yang sering kita anggap remeh. Seperti bangun di pagi hari di tempat tidur yang hangat dan nyaman, makan sarapan yang sehat, menikmati kopi, pergi ke supermarket dan meletakkan makanan di troli, memandikan anak, menidurkannya, lalu memeriksanya, melihat mereka tidur dalam kebahagiaan yang tidak bersalah.

“Ini adalah rutinitas biasa yang biasa, kami tidak memikirkannya, bahkan kami mengeluh tentang hal itu. (Setelah didiagnosis) Saya belajar untuk menikmati hal-hal duniawi, dalam rutinitas sehari-hari,” ucap dia.

Kehidupan terus bergerak, setelah menjalani rangkaian pengobatan, Allah memberikan kesembuhan atas kanker tersebut. Trudi mengaku sangat istimewa  hingga dapat melaluinya dan lebih menghargai hidup.

“Saya memiliki wawasan yang langka, untuk seseorang seusia saya, tentang kerapuhan kesehatan dan realitas kematian. Saya akan terus dipantau secara teratur untuk memastikan bahwa kanker itu tidak muncul kembali,” ucapnya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Nasehatku Untukmu Yang Merawat Orang Tua

Para pembaca Bimbinganislam.com yang baik hati berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang nasehatku untukmu yang merawat orang tua.
Silahkan membaca.


Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allah Azza wa Jalla selalu menjaga Ustadz & keluarga.

Ada hal yang ingin saya tanya perihal rumah tangga, saya saat ini tinggal bersama istri dan kedua orang tua saya, yang mana orang tua (bapak) usianya sudah sangat tua, dan yang saya khawatirkan karena anak satu satunya saya ingin sekali dekat dengan mereka dan berharap istri saya bisa merawat keduanya.
Tapi di satu sisi istri saya sering sekali komplain ke saya perihal ibu saya yang cuek terhadap suami (bapak) dan istri sering kali komplain sikap ibu yang memang cuek terhadap menantunya, apa yang saya harus lakukan ustadz?

Apakah saya salah saya ingin merawat kedua orang tua saya atau saya harus ngontrak tinggal berdua dengan istri saya sedangkan di rumah orang tua tidak ada anak lagi?
Mohon masukannya.

(Disampaikan oleh Fulan, Member grup WA BiAS)


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du

Nasehatku Untukmu Yang Merawat Orang Tua

1. Tetap tinggal dengan orang tua yang sudah sepuh dan tidak ada lagi orang yang merawatnya, karena Allah Ta’ala berfirman:

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا * وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ

Artinya: “Dan Allah telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah kepada selain-Nya, dan hendaknya kamu berbuat baik kepada orangtuamu. Jika salah seorang diantara keduanya atau dua-duanya hidup sampai usianya lanjut berada di sisimu, maka janganlah sekali-kali mengatakan kepada mereka ucapan “ah”, dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka ucapan yang mulia # Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang, ”
(Surat Al-Isra’ : 23 – 24).

Potongan ayat yang kami tebalkan hurufnya terdapat isyarat bahwa orang tua itu, ketika memasuki usia senja, tempat tinggalnya tidak jauh-jauh dari anaknya. Betapa banyak kisah dan peristiwa ini berulang, ketika sang anak memasukan orang tuanya di panti jompo, kelak anaknya ini mendapat kehidupan yang serupa atau minimal kehidupan akhir masa tuanya (kalau diberikan umur yang panjang) tidak berjalan baik alias su’ul khotimah.

2. Pahamkan kepada istri anda dengan cara terbaik bahwa ikut merawat ayah mertua ini bersama sang suami termasuk amalan yang termulia dan salah satu tiket pintu surga.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

رَغِمَ أَنْفُهُ ، ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ،ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ “. قِيلَ : مَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : ” مَنْ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ، أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا، ثُمَّ لَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ

Artinya: ”Celaka seseorang itu(diulang tiga kali).”
Sahabat bertanya: “Siapa yang celaka wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab: “Orang yang mendapati salah satu orang tuanya atau dua-duanya dalam keadaan tua, kemudian (anak tersebut) tidak masuk surga”.
(HR Muslim, no. 2551)

3. Ajarkan kesabaran yang hakiki kepada istri, bahwa anda juga adalah seorang Ibu (jika punya anak) kelak akan mengalami penuaan, sering kali sang ibu ingin dimanjakan dengan tidak bekerja, santai, dan ingin menantu dan anaknya lah yang memenuhi semua kebutuhannya di hari tua, sembari terus mendoakan kebaikan untuknya dan memberikan penjelasan terbaik dengan santun bahwa tugas merawat ayah adalah tugas ibu juga sebagai seorang istri, walaupun kulit tak sekencang dulu lagi.

Maafkanlah kesalahan ibu dan bapakmu yang awam ini (mertua) yang sudah mulai pikun dan telah lemah tulangnya, doakan selalu kebaikan untuknya di dunia dan akhirat, semoga menjadi ibu yang sholehah dan ayah yang peduli dan bertanggung jawab, selama hayat masih di kandung badan, tiket pintu surga ini (merawat orang tua) masih selalu terbuka, jangan sia-siakan baktimu. Baarakallah fiikum.

Doa kami semoga meraih pahala yang agung dengan berbakti kepada orang tua dan menjadi simpanan amal shaleh di hari tua kelak di dunia ini, dan kehidupan abadi selanjutnya selama-lamanya di akhirat.

Ya Allah Yang Maha Pengasih Dan Maha Pengampun, ampunilah dosa kami, dan dosa orang tua kami, sayangilah keduanya sebagaimana mereka telah merawat dan membimbingku ketika aku masih kecil. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengabulkan Doa.

Wallahu Ta’ala A’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله
Senin, 12 Muharram 1442 H / 31 Agustus 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Tempat Sholat Terbaik bagi Muslimah

Berjamaah memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan sholat seorang diri, terlebih jika dilakukan di masjid. Namun bagi wanita, lebih dianjurkan sholat berjamaah di rumah dibandingkan di masjid. 

Dikisahkan oleh Ummu Humaid RA, istri Abu Humaid As-Sa’idi RA, bahwa dia pernah datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, “wahai Rasulullah sungguh saya senang sholat bersamamu.” Rasulullah menjawab, “Aku sudah tahu itu, dan sholatmu di bagian dalam rumahmu lebih baik bagimu dari sholat di kamar depan. Sholatmu di kamar depan lebih baik bagimu daripada sholat di kediaman keluarga besarmu. 

Sholatmu di kediaman keluarga besarmu lebih baik daripada sholat di masjid kaummu (perempuan), dan sholatmu di masjid kaummu lebih baik dari sholat di masjidku.” Menurut hadits yang diriwayatkan Ahmad ini, setelah bertemu dengan Rasulullah, Ummu Humaid pun memerintahkan agar dibangunkan masjid dibagikan rumahnya yang paling dalam dan paling gelap dan dia sholat disana hingga bertemu Allah (wafat). (HR. Ahmad). 

Selain itu, saat melakukan sholat berjamaah, terdapat beberapa ketentuan dalam pengaturan barisannya (shaf). Saat berjamaah, barisan yang paling baik bagi kaum Muslim adalah barisan terdepan. Sedangkan sebaik-baiknya shaf bagi para Muslimah adalah shaf paling belakang. Ketentuan tersebut telah dijelaskan langsung oleh Rasulullah SAW melalui hadits yang diriwayatkan Bukhari. 

Dalam hadits tersebut Rasulullah bersabda, “Sebaik-baiknya barisan laki-laki adalah di depan, dan sejelek-jeleknya adalah di belakang. Dan sebaik-baiknya barisan wanita adalah di belakang dan sejelek-jeleknya adalah di depan,” (HR. Bukhari).

Adapun ketentuan lain dalam berjamaah, jika terdapat makmum pria, maka runtutan barisannya adalah laki-laki di belakang imam, kemudian anak-anak laki-laki, baru setelahnya diisi oleh barisan perempuan (paling belakang). Menurut sebagian pendapat, ketentuan barisan ini dapat lebih menjaga kekhusyukan saat menunaikan sholat berjamaah. 

IHRAM


Kemenag Minta Jamaah Haji Kedepankan Istitha’ah Secara Utuh

Kementerian Agama (Kemenag) meminta jamaah haji tidak mengutamakan istitha’ah dari satu sisi saja. Istilah istitha’ah atau mampu harus dikedepankan secara utuh.

“Jamaah jangan terpaku istitha’ah kesehatan saja, tetapi juga harus kedepankan istitha’ah secara utuh,” kata Direktur Bina Haji Kementerian Agama, Khoirizi H. Dasir, dalam keterangan yang didapat Republika.co.id, Selasa (15/9).

Saat mengisi webinar dengan tema “Meraih Kesempurnaan Ibadah Haji serta Tips Menjaga Kesehatan Jemaah Haji”, ia menyebut jamaah haji banyak yang masih mengutamakan istitha’ah kesehatannya saja. Sementara, terdapat pula istitha’ah perjalanan, istitha’ah materi, dan istitha’ah ibadah.

Dalam penyelenggaraan haji tahun ini, Khoirizi menyebut keberangkatannya memang ditunda. Untuk keputusan tersebut, ia meminta jamaah haji berpikir positif.

“Penundaan keberangkatan haji ini, jamaah harus positive thinking. Dengan adanya penundaan ini, jamaah haji bisa memperdalam ilmu manasiknya,” ujarnya.

Kabid Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kanwil kemenag Banten, Machdum Bachtiar, mengatakan istitha’ah dengan kesehatan haji memang satu hal yang tidak dapat dipisahkan. Kedua hal ini harus dimiliki jamaah haji.

Makna istitha’ah sendiri, menurut dia banyak macamnya. Ada istitha’ah maliyah (harta), istitha’ah badaniyah (fisik), istitha’ah amniah (keamanan) dan istitha’ah kesehatan.

“Untuk berhaji, seorang Muslim harus mampu dalam segi fisik (istitha’ah badaniyah), materi (istitha’ah maliyah) dan keamanan (istitha’ah amniyah). Mampu secara materi, keamanan, dan kesehatan,” ujar Machdum.

IHRAM



Merantaulah…

Safar, merantau, adalah berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain untuk merealisasikan satu tujuan tertentu. Bisa saja seseorang safar untuk tujuan study, bisnis, menyambung hubungan kekeluargaan, atau hanya sekedar menghibur diri berlepas dari kepenatan kesibukan kerja.

Safar, merantau, termasuk kegiatan penting yang sudah digeluti oleh manusia semenjak keberadaan mereka di muka bumi ini. Bahkan kalau kita lihat, safar dan bepergian telah dipraktekkan oleh orang-orang terdahulu, dengan banyak motivasi dan tujuan sebagaimana yang disebutkan di atas.

Kita ambil contoh nabi Musa alaihissalam misalnya, beliau melakukan safar yang sangat panjang dengan tujuan menuntut ilmu kepada Khidr alaihissalaam, Allah menyebutkan sedikit kisah Musa dalam al-Quran:

وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِفَتَىٰهُ لَآ أَبْرَحُ حَتَّىٰٓ أَبْلُغَ مَجْمَعَ ٱلْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِىَ حُقُبًا

“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun”.
(QS Al-Kahf: 60)

Dalam kitab al-Tafsir al-Muyassar dikatakan:

واذكر حين قال موسى لخادمه يوشع بن نون: لا أزال أتابع السير حتى أصل إلى ملتقى البحرين، أو أسير زمنًا طويلا حتى أصل إلى العبد الصالح؛ لأتعلم منه ما ليس عندي من العلم

“Dan ingatlah ketika musa berkata kepada pelayannya, Yusya’ bin Nun, ”aku akan tetap meneruskan perjalananku hingga aku sampai pada tempat pertemuan dua lautan. atau aku akan terus berjalan dalam waktu yang lama hingga berjumpa dengan orang yang shalih (Khidr) itu untuk aku timba darinya ilmu yang tidak aku miliki”.
(Al-Tafsir al-Muyassar hal:300)

Dalam sampel yang lain terkadang orang melakukan perjalanan jauh dengan tujuan untuk berbisnis, dagang, untuk memenuhi kehidupan hidupnya, seperti kebiasaan orang Qurays yang melakukan perjalanan dagang yang panjang di kala syita (musim dingin) dan di kala soif (musim panas), kisah ini Allah abadikan dalam al-Quran:

لِاِيۡلٰفِ قُرَيۡشٍۙ*اٖلٰفِهِمۡ رِحۡلَةَ الشِّتَآءِ وَالصَّيۡفِ‌ۚ

“Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas”.
(QS Al-Quroys: 1-2)

Al-Syaikh Abdurrahman ibn Nashir al-Sa’dy mengatakan dalam tafsir beliau:

رحلتهم في الشتاء لليمن، والصيف للشام، لأجل التجارة والمكاسب

“Rihlah/perjalanan mereka (orang-orang Quroys) di musim dingin menuju yaman, dan di musim panas menuju syam bertujuan untuk berniaga dan mencari penghasilan”.
(Taisiru al-Karimi al-Rahman juz:1 hal: 935)

Begitulah beberapa contoh ringkas kebiasaan orang terdahulu untuk bersafar, ada yang berniat untuk belajar, ada yang bertujuan untuk berbisnis, dan tentunya ada landasan yang lain untuk bersafar.

Adapun manfaat khusus seorang bersafar dan merantau, dijelaskan secara tersendiri oleh Imam al-Syafii dalam syairnya:

تغرب عن الأوطان في طلب العلا # وسافر ففي السفار خمس فوائد

تَفَرُّجُ هم واكتساب معيشة # وعلم وآداب وصحبة ماجد

“Pergilah dari kampung halaman untuk mencari kemuliaan # merantaulah! Karena merantau memiliki 5 faidah”.
“1.Hilangnya kegalauan, 2.mendapat pekerjaan untuk biaya hidup # 3.mereguk ilmu pengetahuan, 4.belajar tata karma dan 5.memperoleh banyak sahabat”.
(Diwan al-Imam al-Syafii 41)

5 faidah yang didapatkan oleh orang yang merantau menurut al-Imam al-Syafii kurang lebih maksudnya demikian:

1.Menghilangkan kegalauan
Kenapa galau? Karena orang yang menetap di satu tempat saja, tidak melakukan bepergian, lama kelamaan ia akan merasa futur dan diliputi kebosanan, tak ada tantangan hidup, yang dihadapi itu-itu saja tanpa ada variasi, ini keadaan yang didapati oleh orang-orang yang stay di satu tempat saja. Jika ia berani untuk merantau, safar, maka lingkungan yang ia hadapi akan berubah, pemandangan akan berganti, maka ketika itu mulai hilanglah kegalauan dan kebosanan hidupnya.

2.Safar untuk mencari penghidupan
Seseorang yang merasa rezekinya sempit di suatu daerah, dianjurkan baginya untuk merantau di tempat lain untuk mencari rezeki, Allah berfirman:

هُوَ ٱلَّذِى جَعَلَ لَكُمُ ٱلْأَرْضَ ذَلُولًا فَٱمْشُوا۟ فِى مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا۟ مِن رِّزْقِهِۦ ۖ

“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya”.
(Al-Mulk: 15)

Betapa banyak contoh orang yang rezekinya sempit di daerah tertentu, kemudian ia memberanikan diri untuk merantau, kemudian Allah bukakan banyak pintu rezeki di tempat lain.

3.Untuk mencari ilmu
Para pendahulu kita yang solih dari kalangan para Nabi dan orang-orang solih yang kita teladani, mereka melakukan perantauan untuk menuntut ilmu, bahkan terkadang menempuh perjalanan yang sangat-sangat jauh hanya untuk mendengar satu hadist saja, seperti perjalanan Musa ketika ingin bertemu Khidr alaihimassalaam untuk belajar, Imam al-Syafii yang melakukan perjalanan dari Makkah ke Madinah, ke Yaman, kemudian ke Iraq, sampai kemudian ke Mesir, atau ulama-ulama yang lain seperti al-Bukhari, Muslim dan yang lainnya, kisah-kisah mereka banyak termaktub dalam karangan-karangan ulama baik yang klasik maupun yang kontemporer.

4.Belajar adab dan tatakrama
Seorang perantau yang berakal mereka bersemangat merantau untuk menemui orang-orang baik, para ulama, para ahli di bidang keilmuan dengan tujuan untuk mengeruk ilmu mereka, meneguk adab dan tatakrama dari mereka, meneladani akhlak mereka untuk menyempurnakan kepribadian, kemudian dengannya ilmu, adab dan akhlak yang sudah didapat akan dishare kepada yang lain, dengan ini menjadi baiklah masyarakat, masyarakat yang kaya dengan tatakrama dan kepribadian yang mulia.

5.Safar untuk memperoleh sahabat yang baik
Hal ini dipersaksikan oleh indra kita dan realita masyarakat, seorang yang merantau dan mempergauli orang-orang yang mulia lagi berilmu, mereka akan mendengarkan perkataan-perkataan baik mereka, orang-orang yang berkerumun disitu juga semua adalah orang-orang yang baik, mereka sama-sama belajar ilmu, adab dan akhlak, dengannya kita akan mendapatkan ganti berupa sahabat-sahabat mulia, satu sisi kita merantau meninggalkan sanak kerabat di tempat asal kita, sisi yang lain kita mendapat ganti kawan-kawan yang baik.

Al-Imam al-Syafii mengatakan dalam syairnya:

سافرْ تجد عوضاً عمَّن تفارقهُ
وانْصَبْ فَإنَّ لَذِيذَ الْعَيْشِ فِي النَّصَبِ

“Safarlah, engkau akan menemukan pengganti orang-orang yang engkau tinggalkan. Berpeluhlah engkau dalam usaha dan upaya, karena nikmatnya kehidupan baru terasa setelah engkau merasakan payah dan peluh dalam berusaha.

إني رأيتُ وقوفَ الماء يفسدهُ
إِنْ سَاحَ طَابَ وَإنْ لَمْ يَجْرِ لَمْ يَطِبِ

Sungguh aku melihat, air yang tergenang dalam diamnya, justru akan tercemar. Jika saja air tersebut mengalir, tentu ia akan baik dan menyegarkan. jika ia tidak bergerak dan mengalir maka ia akan rusak.

والأسدُ لولا فراقُ الأرض ما افترست والسَّهمُ لولا فراقُ القوسِ لم يصب

Seekor singa, andai tidak meninggalkan sarangnya, niscaya ia tidak akan mampu berburu. Anak panah, andai tidak melesat meninggalkan busurnya, maka jangan pernah bermimpi akan mengenai sasaran.

والشمس لو وقفت في الفلكِ دائمة
لَمَلَّهَا النَّاسُ مِنْ عُجْمٍ وَمِنَ عَرَبِ

Sang mentari, andai selalu terpaku di ufuk, niscaya ia akan dicela oleh segenap ras manusia, dari ras arabia, tidak terkecuali selain mereka.

والتبر كالترب ملقى في أماكنه
والعودُ في أرضه نوعاً من الحطب

Dan bijih emas yang masih terkubur di bebatuan, hanyalah sebongkah batu tak berharga, yang terbengkalai di tempat asalnya. Demikian halnya dengan gaharu di belantara hutan, hanya sebatang kayu, sama seperti kayu biasa lainnya.

إن تغرَّب هذا عزَّ مطلبهُ
وإنْ تَغَرَّبَ ذَاكَ عَزَّ كالذَّهَب

Andai saja gaharu tersebut keluar dari belantara hutan, ia adalah parfum yang bernilai tinggi. Dan andaikata bijih itu keluar dari tempatnya, ia akan menjadi emas yang berharga.
(Diwan al-Imam al-Syafii 26-27)

Demikian sedikit motivasi untuk merantau, jika kita ingin mendapat kelonggaran rezeki, perubahan keadaan ekonomi, bertambahnya ilmu dan pengalaman, bertambahnya kawan-kawan solih, hilangnya rasa bosan dan gabut, merantaulah, bersafarlah, jika semua itu didasari dengan niat yang baik dan benar, Allah akan bukakan berbagai pintu kebaikan kepada anda.

Wallahu a’lam

Disusun oleh:
Ustadz Setiawan Tugiyono, M.H.I حفظه الله

BIMBINGAN ISLAM

Kapan Riya’ dan Sum’ah Menjadi Syirik Besar?

Beramal dengan ikhlas merupakan suatu hal yang selalu dituntut oleh Allah Ta’ala. Hal ini karena sebuah amal harus bersih dari riya’ atau sum’ah.

Sum’ah merupakan perbuatan menonjolkan ibadah agar didengar oleh orang atau menyebutkan amal yang dikerjakan agar orang-orang memujinya. Seperti seseorang yang melakukan suatu amalan di malam hari, lalu di pagi atau siang harinya, dia ceritakan kepada teman-temannya.

Jadi, perbedaan antara riya’ dengan sum’ah adalah bahwa riya’ itu berkaitan dengan ibadah yang ingin diliat orang. Adapun sum’ah berkaitan dengan ibadah yang ingin didengarkan orang.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ، وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ

“Siapa yang memperdengarkan amalanya (kepada orang lain), Allah akan memperdengarkan (bahwa amal tersebut bukan untuk Allah). Dan siapa saja yang ingin mempertontonkan amalnya, maka Allah akan mempertontonkan aibnya (bahwa amalan tersebut bukan untuk Allah). (HR. Bukhari)

Dan dua penyakit tersebut dihukumi syirik kecil. Sebagaiamana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ ” قَالُوا: وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: ” الرِّيَاءُ،

“Sesungguhnya yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah syirik kecil.”

Para sahabat bertanya, “Apa itu syirik kecil, wahai Rasulullah?”

Rasulullah menjawab, “Riya.” (HR. Ahmad)

Lalu, kapan dua syirik kecil ini dapat menjadi syirik besar?

Yaitu dengan tiga hal,

Pertama, jika dia tidak akan pernah melakukan ibadah, kecuali dengan praktek riya. atau sum’ah. Dia sembunyikan kufurnya, dan dia perlihatkan imannya. Ini yang dikatakan riya’ murni, tidak terbayangkan ada pada seseorang yang mempunyai iman melakukannya, karena riya atau sum’ah murni ini biasanya dipraktekan oleh para munafik.

Kedua, mayoritas amalannya berjalan di atas riya atau sum’ah.

Ketiga, keinginan pelaku dalam amalannya adalah dunia, tidak pernah mengharapkan wajah Allah atau balasan di akhirat.

Semoga Allah membebaskan kita dari syirik besar dan kecil.

***

Penulis: Muhammad Halid Syarie, Lc.

Artikel: Muslim.Or.Id