Masjidil Haram mengharuskan jamaah umrah taati semua protokol kesehatan.
Layanan kepada jamaah umrah begitu diperhatikan pemerintah Arab Saudi demi untuk mencegah munculnya klaster baru karena umrah mulai 4 Oktober lalu mulai dibuka kembali. Imbasna, kini untuk masuk ke Masjidil Haram bukanlah hal mudah. Semuanya harus melalui izin dan ditentukan waktunya. Syarat kesehatan lain pun dikenakan kepada para jamaah umrah, sekalipun itu warga Makkah.
Hingga hari ini, setidaknya 4.000 pekerja telah dipekerjakan, 100.000 masker wajah disediakan dan 9.000 sajadah yang telah dibersihkan telah disediakan pada musim Umrah ini. “Tujuannya untuk memastikan kesehatan dan keselamatan jamaah di tengah pandemi virus corona yang sedang berlangsung, Ini menurut pihak berwenang di Makkah,” kata Ketua UmumPerhimpunan Pengusaha Travel Haji dan Umrah (Himpuh), Baluki Ahmad, seraya mengutip pemberitaan berbagai media Arab Saudi dan laporan langsung dari ‘mukimin’ Makkah kepadanya, Ahad (18/10).
Baluki mengatakan sikap sangat cermat dan hati-hati itu dilakukan karena pemerintah Arab Saudi tak ingin terkena fitnah bila ajang ibadah umrah dituding sebagai salah satu pusat klaster baru Covid-19 dari publik dunia. “Mereka jelas tak ingin kecolongan sehingga membuat pelayanan kepada jamas umrah dibuat seketat mungkin, baik itu dari segi pengauran waktu hingga tata cara pelaksanaanya.”
‘’Bila haji tahun ini jamaah haji dintasi hanya sampai 10 ribu orang.maka jamaah umrah pun begitu. Dalam sehari jamaah umrah yang bisa masuk Masjidil Haram hanya 6.000 orang saja,’’ ujarnya.
Sering dengan pengetatan umrah itu, melalui laman kantor berita Arab Saudi, Al Arabiya, diketahui bila pihak Presidensi Umum Masjidil Haram dan Urusan Masjid Suci Nabawi mengatakan telah mempekerjakan 4.000 pekerja yang dilengkapi dengan teknologi terbaru dan bahan ramah lingkungan untuk memastikan umrah yang aman dan sehat.
Dr. Abdul-Rahman bin Abdulaziz al-Sudais, kepala Presidensi Umum Masjidil Haram dan Urusan Masjid Suci Nabi, mengatakan bahwa 9.000 sajadah yang telah dibersihkan dan telah didistribusikan di halaman dua Masjid Suci, yakni Masjidil Haram dan Nabawi.
Selain itu ketentuan jaga jarak dilakukan secara ketat. Jarak dua meter telah ditempatkan di antara setiap sajadah dan tiga meter antara setiap baris selama sholat. Aturan ini dilaksanakan sebagai bagian dari ketentuan guna mematuhi pedoman keselamatan melaksanakan ibadah umrah di tengah pandemi virus corona.
Presidensi Umum Masjidil Haram dan Urusan Masjid Suci Nabawi pun menyatakan telah menyediakan beberapa pemberitahuan melalui situs inernet di Masjidil Haram untuk meningkatkan kesadaran, memberikan petunjuk dan menekankan pentingnya social distancing (jaga jarak). Mereka juga membagikan masker, pembersih, dan hadiah kepada para setiap jamaah umroh. Dan bila dibandingkan dengan hari biasa kapasitas Masjidil Haram dibatasi hanya sampai 30 persen saja.
“Di Masjidil Haram kini juga disediakan 100.000 masker, 2.000 hand sanitizer, dan bingkisan yang berisi tisu desinfektan, masker dan sajadah juga disediakan. Dan jamaah pun diminta mentaatinya dengan serius,’’ Direktur Jenderal Bina Sosial Kepresidenan Janadi Madkhali
Terkadang seorang muslim bingung mencari solusi tentang masalah moral dan akhlak masyarakat. Padahal dengan merenungi dan mengaplikasikan ajaran Al-Qur’an, mereka dapat mengatasi berbagai persoalan besar dalam tubuh umat ini.
Dengan merenungkan dan mendalami makna ayat-ayat Al-Qur’an maka kita akan temukan ajaran akhlak, kasih dan cinta yang begitu dalam dan luas.
Berikut ini adalah sekelumit ayat-ayat tentang moral dan akhlak dalam Al-Qur’an :
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar.” (QS.at-Taubah:119)
5. Istiqomah
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَن تَابَ مَعَكَ
“Maka tetaplah engkau (Muhammad) (di jalan yang benar), sebagaimana telah diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang bertobat bersamamu.” (QS.Huud:112)
“Dan Tuhan-mu telah Memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua.” (QS.al-Isra’:23)
Mari sediakan sedikit waktu kita untuk merenungi ayat-ayat suci Al-Qur’an. Karena setiap ayatnya memberi petunjuk dan solusi untuk berbagai masalah kehidupan.
Semoga kita termasuk orang-orang yang perhatian dan peduli untuk mengamalkan pesan suci Al-Qur’an.
“Bersabarlah atas apa yang mereka katakan; dan ingatlah akan hamba Kami Dawud yang mempunyai kekuatan; sungguh dia sangat taat (kepada Allah). Sungguh, Kamilah yang menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia (Dawud) pada waktu petang dan pagi.” (QS.Shad:17)
“Dan Kami memberikan pengertian kepada Sulaiman (tentang hukum yang lebih tepat); dan kepada masing-masing Kami berikan hikmah dan ilmu.” (QS.Al-Anbiya’:79)
“Mereka (para jin itu) bekerja untuk Sulaiman sesuai dengan apa yang dikehendakinya di antaranya (membuat) gedung-gedung yang tinggi, pahatan-pahatan, piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk-periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah wahai keluarga Dawud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (QS.Saba’:13)
4. Mengerjakan sesuatu dengan cara yang pas dan teknik yang detail.
“(yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah kebajikan. Sungguh, Aku Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS.Saba’:11)
(Allah berfirman), “Wahai Dawud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah.” (QS.Shad:26)
Itulah beberapa pondasi dan dasar dari pemerintahan Nabi Daud as dan Nabi Sulaiman as.
Arbain Nawawi (الأربعين النووية) adalah kumpulan hadits yang disusun oleh Imam An Nawawi rahimahullah. Jumlahnya hanya 42 hadits, tetapi merupakan hadits-hadits pilihan, mengandung pokok-pokok ajaran Islam.
Berikut ini hadits Arbain Nawawi ke-11 beserta penjelasan dan fiqih atau kandungan hadits. Juga disertai video penjelasan.
Dari Abu Muhammad Hasan bin Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhuma, cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kesayangan beliau. Ia berkata, “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: Tinggalkan apa yang meragukanmu dan kerjakan apa yang tidak meragukanmu.”
(HR. Tirmidzi dan An Nasa’i, dan Tirmidzi mengatakan: hadits hasan shahih)
Penjelasan Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Hasan bin Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhuma. Beliau adalah cucu (سبط) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Disebut sibth, karena merupakan cucu dari garis keturunan perempuan, yakni Fatimah radhiyallahu ‘anha. Dalam bahasa Arab, ada pula istilah hafiid (حفيد) untuk menunjukkan cucu dari garis keturunan laki-laki.
Raihaanah (ريحانة) artinya adalah wewangian atau parfum. Dalam konteks hadits ini, yang paling tepat adalah kesayangan. Hasan merupakan cucu kesayangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Pernah suatu hari ketika Rasulullah sedang berkhutbah di depan para sahabat, Hasan datang kepada beliau. Lantas beliau bersabda:
Putraku ini adalah seorang sayyid (pemimpin). Dan semoga Allah mendamaikan dengannya, dua golongan besar dari kaum muslimin. (HR. Bukhari)
Kelak hadits ini benar-benar terbukti. Dan hadits Rasulullah memang selalu benar. Hasan tumbuh menjadi seorang pemimpin berjiwa besar. Meskipun banyak orang membaiatnya menjadi khalifah setelah ayahnya wafat, ia kemudian mengalah memberikan jabatan khalifah kepada Muawiyah yang juga dibaiat oleh pendukungnya. Maka kaum muslimin yang tadinya berselisih, akhirnya brdamai. Umat Islam terhindar dari perpecahan yang lebih besar.
Da’ (دع) artinya adalah tinggalkan. Jangan lakukan. Yariibuk (يريبك) artinya adalah yang meragukan. Yakni sesuatu yang meragukan, sama-samar, tidak jelas, termasuk hal-hal yang tidak halal, hal-hal haram yang pasti membuat ragu-ragu jika diambil atau dilakukan.
Hadits ini pendek tetapi maknanya dalam dan mengandung pelajaran yang sangat luas. Para ulama mengistilahkan dengan jawami’ul kalim (جوامع الكلم) yakni kalimat yang singkat dan padat.
Sering kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan nasehat singkat, jawami’ul kalim. Selain hadits ini, misalnya ketika Abu Darda’ dan sahabat lain minta nasehat, beliau menjawab dengan singkat: laa taghdhab (لا تغضب) yang artinya jangan marah.
Meskipun singkat, hadits ini jika dijelaskan bisa menjadi kitab yang berjilid-jilid. Sebab maknanya sangat dalam dan kandungannya sangat luas. Dari hadits ini juga lahir kaidah fiqih.
Kandungan Hadits dan Pelajaran Penting
Hadits ini memiliki kandungan yang luas dan banyak pelajaran penting. Terutama tentang tarkusy syubuhat (ترك الشبهات), meninggalkan syubhat.
“Ini kaidah yang sangat penting dan dasar dari sikap wara’ yang merupakan poros dari ketaqwaan, penyelamat dari keraguan dan ketidakjelasan yang menghalangi cahaya keyakinan,” kata Ibnu Hajar Al Haitsami rahimahullah.
Berikut ini lima poin utama kandungan hadits Arbain Nawawi ke-11:
1. Meninggalkan Syubhat
Ini adalah kandungan utama hadits tersebut. Rasulullah menganjurkan untuk meninggalkan yang meragukan. Hal utama yang meragukan adalah syubhat. Sebab syubhat, hal-hal yang samar dan tidak jelas, membuat orang ragu-ragu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam sebuah hadits yang juga dimasukkan Imam Nawawi pada Arbain Nawawi hadits keenam:
“Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat -yang masih samar- yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syubhat ini bisa berupa makanan, bisa pula berupa perbuatan. Ada makanan yang jelas halal, baik secara dzat maupun dari cara memperolehnya. Ada pula yang jelas haram. Namun di antaranya ada yang syubhat. Yang syubhat tentu meragukan, maka tinggalkanlah.
Demikian pula perbuatan atau pekerjaan. Ada yang jelas halal, ada yang jelas haram. Di antara keduanya ada yang syubhat. Yang syubhat tentu meragukan, maka tinggalkanlah.
Sungguh telah ada teladan terbaik dari para sahabat Nabi dan tabi’in tentang meninggalkan syubhat. Abu Dzar al Ghifari radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Kesempurnaan taqwa adalah meninggalkan beberapa hal yang halal karena takut hal itu haram.”
Ibrahim bin Adham tidak mau minum air zamzam karena timba yang saat itu digunakan adalah timba milik penguasa.Yazid bin Zurai’ tidak mau mengambil warisan ayahnya karena sang ayah adalah pegawai pemerintah. Khawatir ada harta negara yang terbawa.
2. Diawali dengan Meninggalkan yang Haram
Untuk bisa mencapai derajat meninggalkan yang syubhat, seorang muslim harus meninggalkan yang haram terlebih dahulu. Jika ia bisa meninggalkan yang haram, ia akan bisa meninggalkan yang syubhat. Namun jika tidak bisa meninggalkan yang haram, tidak mungkin ia bisa meninggalkan yang syubhat. Sebab keduanya bagaikan anak tangga. Meninggalkan syubhat adalah level berikutnya setelah meninggalkan yang haram.
“Orang yang meninggalkan syubhat adalah orang yang telah istiqomah melaksanakan yang halal dan meninggalkan semua yang haram. Takkan bisa meninggalkan syubhat kecuali orang yang telah meninggalkan yang haram,” terang Syaikh Mushtafa Dieb Al Bugha dan Syaikh Muhyiddin Mistu dalam Al Wafi.
Saat penduduk Irak bertanya tentang hukum darah nyamuk, Ibnu Umar menjawab, “Kalian bertanya tentang darah nyamuk, padahal kalian telah membunuh Husein!”
Ibnu Umar tidak meremehkan fiqih, tetapi beliau paham fiqih awlawiyat (fiqih prioritas). Bagaimana mungkin mereka bertanya tentang sesuatu yang kecil, sementara mereka tidak meninggalkan dosa besar.
Contoh-contoh meninggalkan syubhat dengan diawali dengan meninggalkan yang haram bisa disimak pada Video Hadits Arbain Nawawi ke-11.
3. Syubhat Ditinggalkan, Hati pun Tenang
Jika ingin hidup tentang dan damai, tinggalkanlah syubhat dan hal-hal yang meragukan. Kerjakan hal-hal yang engkau yakini, hal-hal yang tidak meragukan.
“Tinggalkan apa yang meragukanmu dan kerjakan apa yang tidak meragukanmu. Karena sesungguhnya kejujuran mendatangkan ketenangan dan sesungguhnya kebohongan mendatangkan kegelisahan.” (HR. Tirmidzi)
Dalam hadits ini, Rasulullah mengisyaratkan bahwa kejujuran adalah hal yang tidak meragukan. Dan ia mendatangkan ketenangan hati. Sebaliknya, kebohongan adalah hal yang meragukan dan membuat hati gelisah.
Maka jujurlah kapan pun, di mana pun sebagai apa pun. Suami yang jujur kepada istrinya, hatinya tenang. Demikian pula istri yang jujur kepada suaminya, hatinya juga tenang.
Anak yang jujur kepada orang tuanya, hatinya tenang. Demikian pula ornag tua yang jujur kepada anaknya, hatinya juga tenang.
Bawahan yang jujur kepada atasan, hatinya tenang. Demikian pula atasan yang jujur kepada bawahan, hatinya juga tenang. Pun pemimpin yang jujur kepada rakyatnya, hatinya juga tenang.
“Sesuatu yang halal, kebenaran dan kejujuran akan melahirkan kedamaian dan keridhaan,” demikian tertulis dalam Al Wafi. “Sedangkan sesuatu yang haram, kebatilan dan dusta akan melahirkan gundah dan kebencian.”
4. Keyakinan Tak Bisa Dikalahkan Keraguan
Dari hadits yang singkat ini, lahir kaidah fiqih:
اليَقِيْنُ لَا يَزُوْلُ بِالَّشكِّ
“Keyakinan tak bisa dikalahkan keraguan.”
Pernah seseorang bertanya kepada Rasulullah, bagaimana seseorang yang merasakan sesuatu saat shalat. Ia ragu-ragu apakah ia buang angin hingga shalatnya batal atau tidak. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Jangan hiraukan hingga ia mendengar suara buang angin atau mendapati baunya.” (HR. Bukhari)
Ini berlaku pada banyak hal. Misalnya seseorang yang telah berwudhu lalu ia ragu apakah sudah buang angin atau belum. Maka hukumnya ia suci sebab itu yang yakin. Sedangkan batal atau tidak, itu meragukan. Sehingga tidak perlu wudhu lagi.
Contoh lain, seseorang yang shalat Dzuhur. Di tengah-tengah shalat ia ragu apakah ia sedang berada pada rakaat ketiga atau keempat. Maka yang yakin pasti adalah rakaat ketiga. Karenanya ia menambah satu rakaat lagi kemudian sujud sahwi sebelum salam. Jika shalatnya benar empat rakaat, maka sujud sahwi itu menjadi penyempurna. Jika shalatnya ternyata lima rakaat, maka yang satu rakaat menjadi tambahan pahala baginya.
5. Jangan Jadi Peragu
Islam mengajarkan umatnya agar jangan menjadi meragu. Maka kerjakan hal-hal yang diyakini. Yakni kebenaran, sesuatu yang halal, yang jelas dan jujur.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Surat Ali Imran ayat 60:
“Perkara yang benar adalah yang datang dari Tuhan-mu. Maka jangan sekali-kali engkau menjadi dari orang-orang yang ragu-ragu.” (QS. Ali Imran: 60)
Ketika menjelaskan hadits ini, Syaikh Mushtafa Dieb Al Bugha dan Syaikh Muhyiddin Mistu menjelaskan, “Hadits ini merupakan isyarat agar kita menerapkan hukum dan menjalankan semua permasalahan dalam kehidupan atas dasar keyakinan dan bukan keragu-raguan.”
Maka para pemimpin dan pengambil kejibakan, mulai dari kepala keluarga, kepala daerah hingga kepala negara, jangan menjadi peragu dan jangan melakukan hal yang meragukan. Termasuk juga hakim dan pembuat undang-undang (legislatif). Putuskan hal yang benar, berdasarkan kebenaran dan kejujuran.
Video Hadits Arbain Nawawi ke-11
Dalam video ini, ada beberapa penjelasan dan contoh yang tidak masuk dalam artikel ini. Di antaranya bagaimana Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu menjadi pemimpin yang tenang dan tidak pernah takut dimusuhi rakyatnya karena telah berbuat adil dan jujur. Contoh kekinian bagaimana PNS meninggalkan syubhat, dan lain-lain.
Demikian penjelasan hadits arbain nawawi ke-11 disertai kandungan hadits dan video. Semoga Allah memudahkan kita meninggalkan syubhat dan hal-hal yang meragukan. Wallahu ‘alam bish shawab. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]
Kementerian Haji dan Umrah, bekerja sama dengan pihak berwenang terkait, mulai melaksanakan tahap kedua dari dimulainya kembali umrah dan kunjungan secara bertahap, karena menerima peserta Umrah (warga dan warga) dari di dalam Kerajaan, sementara itu akan menerima jamaah pada Sholat Al-Fajr (sholat subuh), pada hari Ahad 18 Oktober 2020.
Dilansir dari Saudi Agency Press, Sabtu (18/10), tahap kedua memungkinkan memperoleh empat jenis izin, yaitu melakukan ritual umroh, melakukan sholat di dalam Al-Rawdah Al-Sharifah (area antara makam Nabi Muhammad dan mimbar), melakukan sholat di dalam Masjid Nabi Muhammad (alaihissalam). Dia) dan salam Nabi (SAW) dan para sahabatnya.
Hal ini terjadi dalam pelaksanaan arahan kerajaan untuk secara bertahap memungkinkan pelaksanaan umroh dan kunjungan menurut empat tahap, sambil mengambil tindakan pencegahan kesehatan yang diperlukan sebagai tanggapan atas aspirasi banyak Muslim di dalam Kerajaan atau di luar negeri untuk melakukan ritual umrah dan kunjungan.
Menurut rencana eksekutif yang dibuat oleh instansi pemerintah, tahap kedua dimulainya kembali umroh dan kunjungan akan menyaksikan jumlah yang lebih besar dari pada tahap pertama, dengan maksimal 15.000 umat umrah dan 40.000 jamaah per hari, sebagai warga negara dan penduduk. diperbolehkan untuk melakukan umrah sebesar 75% dari kapasitas yang diperhitungkan dengan memperhatikan tindakan pencegahan kesehatan di seluruh Masjidil Haram, dan setiap kelompok akan diberikan waktu 3 jam hanya untuk menyelesaikan ritual umrah, dan mereka juga akan diizinkan untuk sholat di Al-Rawadah Al-Sharifah, di dalam Masjid Nabi Muhammad (SAW) dan menyapa Nabi dan para sahabatnya dengan 75% dari kapasitas yang memperhitungkan tindakan pencegahan kesehatan di Al-Rawadah Al-Sharifah Masjid Nabawi.
Belajar Ilmu agama tidaklah sama dengan belajar disiplin ilmu yang lain. Setiap hamba yang kewajibannya mengabdi kepada Sang Penciptanya, dituntut untuk belajar apa-apa yang menjadi fardhu ‘ain bagi dirinya, tidak boleh tidak. Dia harus mempelajari ilmu syar’i yang hukumnya wajib, memahaminya, dan mengamalkannya. Dan Orang yang secara khusus menghabiskan waktu mempelajari dan menelaah ilmu agama, disebut alim. Kelak dia akan menjadi guru bagi generasi penerus selanjutnya.
Dahulu Al-Hasan bin Ali berkata kepada puteranya, “Apabila engkau bermajelis dengan orang-orang yang berilmu maka bersemangatlah untuk mendengar ketimbang berbicara. Belajarlah mendengar yang baik sebagaimana engkau belajar berbicara. Janganlah engkau memutus pembicaraan orang.” (lihat Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih, 2/148 dalam riwayat lain disebutkan dari Al-Hasan Al-Bashri).
Ajaran Islam yang mulia mengajarkan etika dan adab
Bagaimana seharusnya seorang murid bersikap terhadap gurunya. Budi pekerti yang luhur ini senantiasa diajarkan oleh para ulama setiap zaman kepada para penuntut ilmu, bahkan telah tetap arahan dan nesehat dari Nabi yang penuh kasih sayang, dimana beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
“Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti hak ulama” (HR. Ahmad, no. 22755, dari sahabat ‘Ubadah Bin Shamit dan dishahihkan ahli hadits Al Albani dalam Shahih Al Jami).
Urgensi Seorang Guru
Seorang guru sangat berperan besar dalam penyebaran ilmu, apalagi jika yang disebarkan adalah ilmu agama yang mulia ini. Para pewaris nabi begitu julukan mereka para pemegang kemulian ilmu agama. Tinggi kedudukan mereka di hadapan Allah Ta’ala Yang Maha Kuasa.
“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanya mewariskan ilmu, maka siapa yang mengambilnya berarti ia telah mengambil bagian yang banyak” (HR. at-Tirmidzi, no. 2682, dan lainnya. Ahli hadits syaikh Al-Albani mengatakan sanadnya hasan dalam Shahih at-Targhib wat Tarhib, 1/139).
Jika seorang murid atau penuntut ilmu berakhlak buruk kepada gurunya maka akan menimbulkan dampak yang buruk pula, hilangnya berkah dari ilmu yang didapat, tidak dapat mengamalkan ilmunya, atau tidak dapat menyebarkan ilmunya. Itu semua contoh dari dampak buruk.”
Maka bagaimanakah seorang penuntut ilmu harus bersikap? Seperti apakah adab yang baik kepada seorang guru? Berikut ini, kami nukilkan dari para ahli ilmu, beberapa sikap yang luhur dan cara beradab terhadap guru.
1. Memilih Guru Terbaik
Mengapa harus memilih guru terbaik? Karena adabmu yang mulia berhak untuk diberikan kepada ahlinya, bukan sembarangan orang, bukan sekedar bermanhaj dan beraqidah Salaf tetapi dia juga cakap menguasai ilmunya.
Seorang ulama tabi’in Muhammad bin Sirin rahimahullah berwasiat:
“Ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kamu mengambil agama kamu.” (lihat Al-‘Ilal, karya Ibnu Rojab, 1/355).
Imam Malik bin Anas rahimahullah pernah menasihatkan, “Ilmu tidak diambil dari seorang Syaikh yang memiliki keutamaan, kesholihan serta banyak ibadah namun dia tidak memahami apa yang diucapkan (bukan ahlinya).” (Tadribur Rowi 1/43)
Meski keahlian orang bertingkat-tingkat namun setidaknya diketahui pengalaman belajar gurunya, atau diketahui ada rekomendasi dari orang alim terhadap gurunya tersebut. Karena para Ulama mengingatkan, “Banyak orang yang diberi ilmu namun tidak dianugerahi pemahaman.” Yakni tahu dalil akan tetapi tidak paham istidlal (pendalilan).
2. Rendah Hati Dengan Memuliakan
Para Salaf, suri tauladan untuk manusia setelahnya telah memberikan contoh dalam penghormatan terhadap seorang guru. Sahabat Abdullah Bin Abbas radhiallahu ‘anhuma seorang sahabat yang ‘alim, mufasir Quran umat ini, seorang dari Ahli Bait Nabi pernah menuntun tali kendaraan Zaid bin Tsabit al-Anshari radhiallahu ‘anhu dan berkata,
هكذا أمرنا أن نفعل بعلمائنا
“Seperti inilah kami diperintahkan untuk memperlakukan para ulama kami”. (lihat kisahnya dalam Tarikh Ibnu Asakir, 19/326).
Bahkan cara pemuliaan para sahabat kepada sang guru, di madrasah kenabian sangat menakjubkan. Kerendahan hati mereka diceritakan oleh sahabat mulia Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu ‘anhu, beliau menuturkan,
كنا جلوساً في المسجد إذ خرج رسول الله فجلس إلينا فكأن على رؤوسنا الطير لا يتكلم أحد منا
“Saat kami sedang duduk-duduk di masjid, maka keluarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian duduk di hadapan kami. Maka seakan-akan di atas kepala kami terdapat burung. Tak satu pun dari kami yang berbicara”. (HR. Ahmad, no. 11289, dan lainnya, dinilai shahih oleh Syaikh Syu’aib Al Arnaut).
Alangkah mulianya akhlak mereka, para suri tauladan kaum muslimin, tidaklah heran mengapa mereka menjadi ulama besar di umat ini, sungguh keberkahan ilmu mereka buah dari akhlak mulia terhadap para gurunya.
3. Bersabar
Manusia pasti pernah berbuat dosa, sebaik apapun agamanya, sebaik apapun amalnya nya, sebanyak apapun ilmunya, selembut apapun perangainya, tetap ada kekurangannya. Tetap bersabarlah bersama mereka dan jangan berpaling darinya.
Dan termasuk bersabar yang terbaik adalah bersabar bersama para guru kita ahli ilmu untuk menimba ilmu dari mereka.
“Bersabarlah terhadap kerasnya sikap seorang guru, Sesungguhnya gagalnya mempelajari ilmu karena memusuhinya”
4. Memperhatikan Sikap Ketika Berinteraksi
Mulai dari sikap ketika hadir di majelis ilmu, cara duduk, gaya bertanya, tata cara berbicara, bahkan ketika ada sebuah masalah, dimana murid berbeda pandangan dengan sang guru, dan bagaimana menyikapinya dengan benar.
Imam Ibnu Jama’ah rahimahullah, Seorang alim di zamannya pernah berpesan; “Seorang penuntut ilmu hendaknya melihat gurunya dengan pandangan penuh kehormatan dan percaya kepada gurunya dengan derajat kesempurnaan, karena hal itu lebih dekat pada nilai manfaat. Sebagian salaf terbiasa apabila menghadap kepada gurunya kemudian bersedekah terlebih dahulu dan berdo’a,
اللهم استر عيب شيخي عني ولا تذهب بركة علمه مني
‘Ya Allah tutuplah aib guruku dariku dan janganlah hilangkan keberkahan ilmunya dariku’…
Seorang penuntut ilmu hendaknya ta’at kepada gurunya dalam segala urusan dan tidak berselisih paham dengan pendapat gurunya, bahkan ia bersama gurunya seperti pasien di hadapan seorang dokter yang terampil, ia bermusyawarah tentang apa yang ia maksud dan memilih yang terbaik atas keridhaan gurunya. Hendaknya ia melebih-lebihkan dalam menghormati gurunya dalam bentuk taqarrub kepada Allah Ta’ala dengan ber-khidmah kepada gurunya. Dan ia mengetahui bahwa kerendahannya kepada gurunya itu merupakan kemuliaan, ketundukannya kepada gurunya merupakan kebanggaan, dan ke-tawadhuaannya kepada gurunya itu merupakan keluhuran” (lihat kitab Tadzkirah al-Sami wa al-Mutakallim, Hal. 97- 98).
5. Berdoa
Mendo’akan guru yang telah mengajarkan ilmu agama merupakan bagian dari adab penuntut ilmu. Dalam sebuah hadits dari sahabat mulia Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Dan barangsiapa berbuat baik kepada kalian maka balaslah kebaikannya. Jika kamu tidak mampu (membalas kebaikannya), maka doakanlah dia hingga engkau memandang telah mencukupi untuk membalas dengan balasan yang setimpal.” (HR. Bukhari dalam Al-Adabul Mufrod no. 216).
Dahulu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah berkata (artinya), “… dan bagi seorang pelajar hendaknya ia mengetahui kehormatan gurunya dan berterima kasih atas kebaikannya kepada dirinya. Karena sesungguhnya orang yang tidak berterima kasih kepada manusia hakekatnya ia tidak bersyukur kepada Allah, dan (hendaknya) ia tidak mengabaikan haknya dan tidak mengingkari kebaikannya.” (lihat Majmu’ Fatawa, 28/17)
Sehingga, marilah kita berterima kasih kepada para guru kita dengan membalas kebaikan mereka, atau setidaknya mendo’akan kebaikan untuk mereka. Semoga Allah menjadikan ilmu yang telah mereka ajarkan kepada kita sebagai amal shalih yang terus mengalir pahalanya, dan (semoga mereka) diberi keistiqomahan hingga bertemu dengan Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, serta moga-moga kita mendapatkan keberkahan dari ilmu yang telah dipelajari dengan senantiasa menjaga adab seorang penuntut ilmu terhadap gurunya. Aamiin Ya Rabb.
Wallahu Ta’ala A’lam.
Disusun oleh: Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله Senin, 24 Shafar 1442 H / 12 Oktober 2020 M
SORE kemarin saya keliling ke pondok putera dan puteri. Mereka sedang sibuk menambah hapalan al-Qur’annya. Sebagian sibuk menambah setoran hapalannya dan sebagian lagi sibuk tahsin, memperbaiki kefasihan bacaannya. Tak terasa air mata menetes haru, teringatlah saya pada kitab yang saya baca semalam.
Kitab yang saya baca semalam panjang lebar berbicara kemuliaan al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai kalam Allah, Tuhan Yang Mahakuasa, sungguh menempati nilai kemuliaan tertinggi. Semua yang dekat dan akrab dengan al-Qur’an maka pastilah mulia. Semua yang menghina dan mencemoohnya maka pasti terhina. Sejarah banyak memberikan bukti untuk ini.
Bulan Ramadlan menjadi bulan termulia karena di bulan ini al-Qur’an diturunkan. Lailatul Qadar menjadi malam mulia yang diburu manusia beriman adalah karena di malam ini al-Qur’an diturunkan. Malaikat Jibril menjadi malaikat pilihan karena Malaikat Jibrillah yang bertugas membawa wahyu al-Qur’an. Nabi Muhammad menjadi tuan dari segala nabi dan rasul salah satunya adalah juga karena beliau penerima al-Qur’an. Semua yang erat akrab bersentuhan dengan al-Qur’an menjadi bernilai, mulia, dan pilihan.
Semoga anak-anak santri tahfidz ini selalu dijaga oleh Allah dengan keberkahan al-Qur’an. Semoga semua wali santri diberikan ketenangan dan kebahagiaan hati. Semoga pondok pesantren kita ini dilindungi dan diberkahi Allah. Semoga semua yang berperan dalam membangun dan mengembangkan pondok ini mendapatkan keberkahan al-Qur’an. Salam, Ahmad Imam Mawardi, Pengasuh Pondok Pesantren Kota Alif Laam Miim Surabaya. [*]
Belakangan ini demonstrasi sudah bisa dikatakan sangat lumrah di negara kita. Banyak orang mengatakan bahwa “demonstrasi” adalah bagian dari amar makruf nahi munkar, sehingga seolah-olah menjadi hal yang harus dilakukan. Namun kita harus melihat dari kacamata syar’i apakah benar demonstrasi yang dinamakan oleh pemujanya sebagai metode amar ma’ruf nahi munkar merupakan manhaj (cara beragama) Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, ataukah sesuatu yang harus diluruskan? Dan ketahuilah, tidaklah nama yang indah itu akan merubah hakikat sesuatu yang buruk, walau dibumbui dengan label Islami.
Metode Nabi Dalam Ber-Amar Ma’ruf
Rasulullah bersabda, “Agama adalah nasihat” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin serta orang-orang awamnya.” (HR. Muslim no.55) Perhatikanlah saudaraku, agama kita mensyariatkan untuk memberi nasihat. Namun tidaklah nasihat tersebut disampaikan kecuali dengan cara yang baik, tidak dengan membuka aib penguasa. Simaklah baik-baik sabda Rasulullah shallollahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang hendak menasihati pemerintah dengan suatu perkara maka janganlah ia tampakkan di khalayak ramai. Akan tetapi hendaklah ia mengambil tangan penguasa (raja) dengan empat mata. Jika ia menerima maka itu (yang diinginkan) dan kalau tidak, maka sungguh ia telah menyampaikan nasihat kepadanya. Dosa bagi dia dan pahala baginya (orang yang menasihati)” (Shahih, riwayat Ahmad, Al Haitsami dan Ibnu Abi Ashim) Saudaraku, apakah seseorang dapat menerima saranmu dengan baik jika engkau jelek-jelekkan serta kau umbar aibnya di depan umum? Bagaimana jika kejengkelan hatinya telah mendahului nasihatmu?
Jatuh Dalam Riba yang Paling Mengerikan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya riba yang paling mengerikan adalah mencemarkan kehormatan seorang muslim tanpa alasan” (Shahih, riwayat Abu Dawud dan Ahmad). Kehormatan seorang muslim adalah haram, sedangkan dalam demonstrasi ini tidak jarang akan engkau temukan berbagai macam pelecehan kehormatan seorang muslim dengan mencelanya.
Fitnah Wanita dan Ikhtilath
Hampir di setiap gerakan massa diwarnai dengan hadirnya kaum wanita di jalan-jalan. Hal ini jelas bertentangan dengan syariat islam, karena Allah melarang wanita untuk keluar dari rumahnya kecuali dengan alasan yang syar’i. Selain itu, hal ini akan menimbulkan ikhtilath (campur baur) antara pria dan wanita yang bukan mahramnya secara terang-terangan! Maka cukuplah sabda Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini bagi mereka. Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, Rasulullah bersabda, “Tinggalkanlah olehmu bercampur baur dengan kaum wanita!” (HR. Bukhari).
Tasyabbuh (Meniru) Dengan Kaum Kuffar
Demonstrasi adalah produk barat yang jelas-jelas menganut sistem kuffar. Maka tidak pantas bagi seorang muslim untuk memasang label ‘islami’ karena memang Islam tidak mengajarkan cara seperti ini. Atau bahkan meyakininya sebagai metode dakwah yang islami. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa meniru suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud).
Ketahuilah sidang pembaca yang budiman, sesungguhnya Islam tidak akan menang dengan cara yang menyelisihi syariat, namun Islam akan menang dengan cara yang benar yang dibangun di atas aqidah yang benar, dan jalan yang telah ditunjukkan Nabi Muhammad. Maka sesungguhnya kebahagiaan dan keselamatan adalah dengan mengikuti Rasul, bukan dengan menyelisihi beliau.
“Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya.” (QS.Al-Anfal:24)
Ya Allah …
Ayat ini ingin mengingatkan kepada kita tentang suatu hal yang sangat penting.
“Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya.”
Engkau bukanlah pemilik hatimu. Maka jangan pernah kau bersandar pada dirimu sendiri. Karena manusia tak pernah tau bagaimana akhir nasib dari hidupnya. Apakah hatinya tetap lurus atau sudah berpaling dari kebenaran.
Karenanya :
Jangan pernah sombong dengan amal-amalmu…
Jangan pernah mengandalkan kehebatan dan kekuatanmu…
Jangan pernah merasa bangga dengan prestasi-prestasimu…
“(yaitu) pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS.Asy-Syu’ara:88-89)
Maka perbanyaklah berdoa kepada Allah agar menjaga hati kita untuk berada dalam kebenaran hingga akhir hayat. Lazimkan doa ini setiap hari :
Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki adab dan akhlak yang luhur berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang syahadat ketika sakaratul maut, apakah masuk islam? Silahkan membaca.
Semoga Allah Azza wa Jalla selalu menjaga Ustadz & keluarga.
Ustadz mau bertanya, apakah sudah bisa dikatakan masuk Islam bila ada seorang non islam bersyahadat saat sakaratul maut namun hanya dibimbing oleh anaknya dan hanya disaksikan 1 anak lainnya?
Alhamdulillāh Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du
Kita bagi masalah ini ke dalam 3 bagian;
Masalah Pertama
Jika seorang non muslim yang sakaratul maut itu tahu bahwa yang diikrarkan dan diucapkan dalam akhir hidupnya adalah syahadatain, persaksian syahadat dengan mengucapkan kalimat,
ASYHADU ALLAAA ILAAHA ILLALLAAH. WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RASULULLAH…
“Aku bersaksi bahwa Tiada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah, dan aku juga bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah”
Dan dia ingin menjadi seorang muslim, masuk kepada agama Islam, maka dia telah masuk Islam menurut syariat agama Allah Ta’ala, walaupun kenyataannya dia dikuburkan oleh keluarganya dalam agama selain Islam.
Dahulu ada raja Najasyi, dia adalah seorang muslim pada zaman Nabi, walaupun dikuburkan bukan dengan tata cara Islami. Maka Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wasallam menyelenggarakan shalat ghaib kepada raja Najasyi.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah menjelaskan,
الصواب أن الغائب إن مات ببلدٍ لم يصلَّ عليه فيه، صلي عليه صلاة الغائب، كما صلى النبي صلى الله عليه وسلم على النجاشي
“Pendapat yang benar adalah shalat ghaib dilakukan bagi mayit berada di daerah yang tidak ada yang menshalatkannya, maka kita shalat ghaib baginya sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam shalat ghaib untuk raja Najasyi.” (lihat Zadul Ma’ad, 1/301).
Masalah Kedua
Dan Jika kasusnya, orang yang sakaratul maut hilang akal secara zhahir (koma), dan kita tidak tahu pasti, dia sadar atau tidak, tatkala mau mengikuti ucapan talqin syahadat, maka yang tampak dia dihukumi belum masuk Islam (Wallahu Ta’ala A’lam), karena sesuatu yang ragu tidak bisa mengangkat yang yakin, bahwa dia masih berada pada agama yang lama. Perkara pastinya, kita serahkan kepada Allah Ta’ala.
Kasus di atas berbeda dengan keadaan paman Nabi Abu Thalib, yang pada saat menjelang ajalnya masih sadar dengan apa yang diucapkan keponakannya Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wasallam ketika itu,
Dari Ibnul Musayyib, dari ayahnya, ia berkata, “Ketika menjelang Abu Thalib meninggal dunia, Rasulullah shallallallahu ‘alaihi wa sallam menemuinya. Ketika itu di sisi Abu Thalib terdapat Abu Jahl. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada pamannya ketika itu, “Wahai pamanku, katakanlah ‘laa ilaha illalah’ yaitu kalimat yang aku nanti bisa beralasan di hadapan Allah (kelak).”
Abu Jahl dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah berkata, “Wahai Abu Tholib, apakah engkau tidak suka pada agamanya Abdul Muththalib?” Mereka berdua terus mengucapkan seperti itu, namun kalimat terakhir yang diucapkan Abu Thalib adalah ia berada di atas ajaran Abdul Muththalib.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengatakan : “Sungguh aku akan memohonkan ampun bagimu wahai pamanku, selama aku tidak dilarang oleh Allah”
Kemudian turunlah ayat, “Tidak pantas bagi seorang Nabi dan bagi orang-orang yang beriman, mereka memintakan ampun bagi orang-orang yang musyrik, meskipun mereka memiliki hubungan kekerabatan, setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam.” (lihat QS. At-Taubah: 113)
Allah Ta’ala pun menurunkan ayat,
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak bisa memberikan hidayah (ilham dan taufik) kepada orang-orang yang engkau cintai.” (lihat QS. Al-Qashshash: 56). (HR. Bukhari, no. 3884 dan Muslim, no. 24).
Masalah Ketiga
Berkenaan dengan saksi, maka minimal ada 2 orang muslim baik-baik yang mumayyiz (bisa membedakan, usia paham perintah dan larangan). Tujuan dari 2 saksi ini (termasuk boleh dari saksi anak sendiri) adalah agar muallaf ini diakui telah pindah agama oleh masyarakat muslim lainnya. Sehingga selanjutnya, dia disikapi sebagaimana layaknya seorang muslim.
Misalkan ada orang yang mentalqin syahadat dan saksi satu orang lainnya, maka dianggap 2 orang saksi, Jika saksinya dari non muslim, atau dari anak yang belum sampai usia paham (mumayyiz), maka tidak dianggap sebagai saksi.
Semoga Allah Ta’ala Memberikan Taufiq kepada semuanya.
Wallahu Ta’ala A’lam.
Dijawab dengan ringkas oleh: Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله Senin, 17 Shafar 1442 H / 05 oktober 2020 M