Ini Dia Manfaat Menabung di Bank Syariah

Manfaat menabung di bank syariah belum banyak diketahui oleh masyarakat awam, namun tentu memiliki perbedaan dengan bank konvensional. Hal itu dilihat dengan banyaknya masyarakat yang lebih memilih menabung di bank konvensional dibandingkan dengan menabung di bank syariah.

Wajar saja kehadiran bank konvensional lebih lama atau lebih awal dibandingkan dengan bank syariah, oleh sebab itulah banyak masyarakat lebih mengenal bank konvensional dibandingkan dengan bank syariah sebab kehadirannya lebih lama dibandingkan dengan kehadiran bank syariah.

Banyak yang akan anda dapatkan ketika menabung di Bank Syariah. Keuntungan dan manfaat tersebut tidak diketahui oleh banyak orang. Berikut ini adaah manfaat yang akan anda dapatkan ketika menabung di Bank Syariah :

1. Terhindar Dari Riba

Memakan uang riba adalah hal yang tidak dianjurkan, hal itu dikarenakan bunga bank konvensional merupakan uang riba yang tidak boleh dimakan. Riba adalah dosa. Memakan uang riba sama saja dosa. Oleh sebab itu menabung di bank syariah bisa menghindarkan anda dari dosa.

2. Berdasarkan Syariah Islam

Manfaat menabung di bank syariah untuk umat Islam sama saja dia telah menjalankan syariah Islam dan telah melakukan muamalah berdasarkan Islam. Menjalankan syariah Islam akan mendatangkan pahala bagi pelakunya.

3. Mendapatkan Pengalaman Baru

Salah satu manfaat dari menabung di bank syariah adalah mendapatkan pengalaman baru. Hal itu dikarenakan produk di bank syariah menawarkan berbagai macam pengalaman baru bagi nasabahnya. Bank syariah akan menawarkan kepada nasabah dua jenis tabungan yang bisa dipilih, tabungan itu adalah iB yang memiliki skema keamanan dana dan juga memiliki kemudahan dalam melakukan transaksi setiap harinya. Tabungan kedua skemanya adalah investasi yang menginginkan keamanan dan juga ingin memperolah hasil dari investasi tersebut.

4. Bonus

Bank Syariah memang tidak memberlakukan bunga, namun bank syariah memiliki bonus. Terutama jika nasabah memiliki investasi yang besar di bank. Bonusnya bisa dirasakan nasabah setiap bulannya.

5. Nasabah Tidak Akan Rugi

Banyak nasabah yang merasa was-was jika bank yang dijadikan untuk lahan investasi mengalami kerugian. Nasabah takut jika investasinya bisa hilang bersamaan degan hilangnya bank tersebut. Nasabah tidak perlu khawatir hal itu dikarenakan nasabah tidak akan pernah rugi jika bank mengalami kerugian. Perhitungan bagi hasil yang dilakukan oleh bank syariah tidak pada keuntungan yang diperoleh namun berdasarkan dengan pendapatan yang diperoleh oleh pihak bank setiap bulannya. Menggunakan cara tersebut, nasabah tidak akan dirugikan serta investasi yang ditanam di bank syariah tidak akan berkurang sedikitpun.

6. Terjamin Dengan LPS

Bagi nasabah yang menabung sebagai investasi di bank syariah, nasabah akan diuntungkan dengan jaminan yang diberikan oleh Lembaga Penjaminan Simpanan atau LPS. Sehingga investasi yang ditanamnya akan dijamin jika suatu saat mengalami masalah tertentu. Tidak hanya dengan tabungan yang bersifat investasi namun tabungan yang sifatnya juga titipan. Jumlah tabungan titipan maupun investasi yang dijamin oleh LPS ini senilai Rp 2 milyar.

7. Dilengkapi Fasilitas Net Banking

Meski berbasis syariah, fasilitas dan teknologi dalam bank syariah tidak kalah dengan bank konvensional. Bank dengan basis syariah bisa memudahkan nasabah dalam melakukan transaksi. Bank syariah telah dilengkapi dengan ATM dan juga dilengkapi internet banking.

8. Sistem Bagi Hasil

Salah satu keuntungan dan manfaat di bank syariah adalah nasabah akan diberikan keuntungan dari bagi hasil antara bank dengan nasabah. Yang dibagi hasilnya adalah pendapatan. Dengan sistem ini, bagi hasil yang dilakukan oleh nasabah dan pihak bank adalah dengan melakukan perhitungan antara pendapatan bank, biaya yang dikeluarkan bank akan diambil dari bagi hasil yang menjadi hak bank. Bagi hasil tersebut akan memudahkan dan juga menguntungkan nasabah yang menabungkan uangnya di bank syariah.

9. Aman

Sama halnya dengan bank lain, menabung di bank syariah lebih aman dan tepercaya. Sistem keamanannya pun sama dengan menabung di bank konvensional hal itu dikarenakan bank syariah juga didukung dengan teknologi pengamanan yang tinggi sehingga orang yang tidak memiliki kepentingan tidak akan bisa mengetahui tabungan anda.

10. Di Dukung Dengan Fasilitas Yang Menarik

Dengan menabung di bank syariah, nasabah akan dimudahkan degan berbagai macam fasilitas yang ada di bank syariah tersebut. Salah satu fasilitas yang menguntungkan adalah sebagai berikut :

  • Gratis biaya administrasi bulanan sehingga setiap bulannya tabungan tidak akan terpotong.
  • Gratis biaya bulanan untuk kartu ATM.
  • Gratis ketika melakukan tarik tunai di ATM sendiri maupun di ATM bersama dan juga ATM Prima.
  • Gratis untuk melakukan cek saldo di ATM BRI maupun di jaringan ATM Bersama dan juga di ATM Prima.
  • Gratis untuk melakukan biaya transfer di ATM BRI maupun di ATM Prima dan juga di ATM Bersama.
  • Gratis untuk biaya debit Prima.

11. Mudah Dalam Melakukan Berbagai Macam Transaksi

Ada salah satu jenis bank syariah yang memudahkan pelanggannya untuk bisa melakukan transaksi perbankan melalui ATM di bank tersebut maupun di ATM Bersama dan ATM Prima. Lebih menguntungkan lagi jika saat melakukan transaksi tersebut nasabah tidak akan terpotong dengan biaya saat melakukan transaksi. Layanan yang mudah tersebut adalah sebagai berikut ini :

  • Mudah untuk mengetahui informasi saldo melalui ATM bank miliknya maupun dengan ATM bersama dan juga ATM prima.
  • Mudah dalam melakukan penarikan tunai.
  • Mudah dalam mengganti PIN kartu ATM.
  • Mudah dalam melakukan transfer ke bank yang sama maupun ke nomor rekening bank lain.
  • Bisa digunakan untuk mambayar tagihan.
  • Mudah digunakan untuk pembayaran ketika pembelian.
  • Mudah untuk melakukan pembayaran zakat, wakaf, qurban, shadaqah dan juga infak.

12. Kartu ATM Bisa Berfungsi Sebagai Kartu Debit

Jika anda memiliki tabungan di bank syariah, kartu ATM nya bisa digunakan sebagai kartu debit untuk bisa membayar semua belanjaan anda tanpa harus mengeluarkan uang tunai untuk membayar belanjaan anda.

13. Memberlakukan Saldo Tabungan Yang Rendah

Yang berbeda dengan bank konvensional biasa, tabungan di bank syariah banyak yang memberlakukan jumlah saldo yang sedikit di dalam tabungan. Jika bank konvensional ada yang memberlakukan saldo minimal sebanyak Rp 50.000, di bank syariah ada bank yang memberlakukan saldo senilai Rp. 25.000. Namun yang harus menjadi perhatian adalah agar tidak terkena biaya administrasi bulanan, saldo di dalam tabungan tidak boleh kurang dari batas minimal saldo. Jika saldo di bawah minimal anda akan terkena biaya administrasi bulanan.

14. Penabung Atau Nasabah Adalah Mitra Bank

Salah satu manfaat menabung di bank syariah adalah bank akan melihat nasabah sebagai mitranya. Jika di bank konvensional, akan tercipta hubungan antara debitur dan kreditur. Hubungan itu akan membuat asas berupa bank akan membayar bunga kepada penabung tidak peduli berpaa keuntungan yang didapatkan bank dan tidak peduli berapa kerugian yang akan diderita oleh bank. Sedangkan di bank syariah, nasabah adalah mitra yang berhak untuk menerima hasil dari investasi yang dia tanamkan di bank tersebut. Muamalah di bank syariah berdasarkan dengan konsep kebersamaan dalam keuntungan dan resiko, sehingga bisa menciptakan ekonomi yang adil serta transparan.

15. Pemanfaatan Dana Penabung

Salah satu manfaat menabung di bank syariah adalah dana bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang baik dan sesuai dengan syariah islam. Di bank konvensional nasabah tidak akan tahu kemana dananya akan disalurkan. Terlebih lagi jika dana itu digunakan bank konvensional untuk proyek-proyek yang haram misalnya saja pronografi, perjudian dan bisnis lain yang tidak sesuai dengan syariah islam. Jika menabung di bank syariah, nasabah akan mendapatkan hasil dari investasi yang halal. Bank syariah akan menyeleksi berbagai maca proyek yang hendak bank danai, tidak hanya melihat keuntungan yang diberikan serta kelayakan usaha saja, namun bank juga akan melihat dari sisi halal dan juga haramnya usaha tersebut.

16. Peringatan Dini Tentang Bahaya

Salah satu keunggulan dari bank syariah adalah bank syariah mampu memberikan peringatan dini kepada nasabahnya. Ketika bank syariah mengalami hasil yang terus merosot, nasabah bisa mendapatkan isyarat bahwa sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada banknya sehingga nasabah bisa melakukan antisipasi. Sedangkan di bank konvensional sinyal yang akan diberikan adalah kebalikan.

Misalnya saja kasus yang terjadi pada BHS Bank. Ketika bank itu sudah bangkrut, bank itu justru memberikan bunga yang tinggi kepada nasabahnya karena disubsidi. Karena adanya subsidi tersebut, kinerja antara bank dengan sektor yang lainnya tidak bisa terlihat oleh nasabah sehingga nasabah bisa tertipu dan juga bisa keliru dalam menangkap sinyal yang diberikan oleh bank itu. Banyak nasabah yang mengira bank tersebut sedang berkembang pesat karena bunganya semakin besar sehingga nasabah akan merasa aman-aman saja dengan bank itu, namun diluar dugaan bank itu malah hancur dalam perhitungan bulan.

17. Dana Untuk Umat

Salah satu keunggulan dari bank syariah adalah dana yang didapatkan merupakan dana untuk umat, didapatkan dari umat, mengumpulkan dana dari umat dan akan dikembalikan untuk umat juga. Jika di bank konvensional,pengumpulan dana kemungkinan besar hanya untuk orang konglomerat saja.

Manfaat menabung di bank syariah memang cukup banyak bagi masyarakat, tidak hanya itu konsep yang ditawarkan juga banyak berkembang sehingga semakin banyak yang beralih di bank syariah.

KEUANGAN SYARIAH

Fikih Ekonomi (7): Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional

Bank merupakan lembaga keuangan yang berfungsi untuk menghimpun dana dan menyalurkannya ke masyarakat. Di Indonesia ada dua model perbankan, bank syariah dan bank konvensional. Tulisan ini akan menjelaskan perbedaan perbankan syariah dan bukan syariah atau yang lebih kita sering dengan bank konvensional.

Perbandingan kedua sistem bank ini akan kita lihat dari beberapa aspek, pertama dari aspek kelembagaan, kedua dari pengelolaan bisnis, ketiga dari sisi penyelesaian sengketa.

Pertama, kelembagaan

Untuk mendirikan bank syariah harus dalam bentuk PT atau perseroan terbatas. Sedangkan bank konvensional dapat didirikan dalam bentuk PT atau koperasi. Perbedaan lainnya adalah bank syariah harus memiliki dewan pengawas syariah (DPS). Peran yang harus dilakukan DPS adalah memastikan bahwa seluruh kegiatan yang dilakukan oleh bank syariah sesuai dengan prinsip syariah.

Prinsip syariah di sini diatur dalam peraturan perundang-undangan dan fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Sedangkan bank konvensional tidak diawasi oleh DPS. Adapun lembaga pengawas bank konvensional pasti menjadi pengawas di bank Syariah seperti Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia.

Kedua, pengelolaan bisnis

Kata kunci utama yang membedakan antara bank syariah dan konvensional adalah pengelolaan bisnisnya yang berdasarkan prinsip syariah. Bank syariah harus mematuhi prinsip syariah sedangkan konvensional pasti tidak harus.

Yang dimaksud dengan prinsip syariah di sini adalah mematuhi seluruh aturan dalam peraturan perundang-undangan dan fatwa DSN-MUI. Secara umum prinsip yang harus dipenuhi dalam kegiatan bank syariah adalah tidak riba, tidak gharar, tidak maysir, tidak zalim, dan tidak haram.

Kesemua prinsip tersebut harus terlaksana dalam setiap kegiatan bank syariah. Untuk itu bank syariah tidak boleh membiayai perusahaan minuman keras. Contoh lain terkait larangan maysir atau judi adalah tidak boleh bank syariah memberikan pembiayaan yang menguntungkan pada satu kondisi lain.

Ada anggapan bahwa bank syariah sama saja dengan bank konvensional. Kami katakan pendapat itu tidak benar sepenuhnya. Betul, keduanya sama-sama mencari untung, karena kedua lembaga ini adalah lembaga bisnis. Salah kaprah jika dikatakan bank syariah adalah lembaga sosial yang harus memberikan kemudahan dan bantuan kepada semua orang.

Bank syariah dalam memberikan pembiayaan harus hati-hati, sebagaimana halnya bank konvensional. Ketika kita ingin mengajukan pembiayaan ke bank syariah, mereka akan meminta beberapa syarat dan jaminan agar mereka tidak mengalami kerugian. Hal lain yang harus dipahami adalah bank syariah membutuhkan biaya untuk pengelolaan perusahaan, itulah alasan mengapa ada biaya-biaya administrasi yang dibebankan bank syariah.

Lantas apa bedanya dengan bank konvensional jika demikian? Menurut kami perbedaan yang paling mendasar dari bank syariah dan bank konvensional adalah risiko yang dihadapi. Jika bank konvensional seluruh resiko pembiayaan akan dibebankan kepada nasabah. Itulah mengapa riba diharamkan. Karena sejatinya bank tidak akan menghadapi risiko yang berarti kecuali hanya gagal bayar. Sedangkan bank syariah risiko akan ditanggung bank syariah saja, nasabah saja, atau bersama-sama, bergantung kepada akad yang digunakan.

Ketiga, penyelesaian sengketa

Ketika terjadi sengketa DSN-MUI dalam berbagai fatwanya meminta kepada semua pihak untuk menyelesaikan dengan cara musyawarah. Namun ini bukanlah perbedaan fundamental. Karena semua bisnis lebih diutamakan menyelesaikan persoalannya dengan musyawarah.

Perbedaan paling fundamental adalah penyelesaian sengketa bank syariah tidak boleh menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Misalnya mereka berdamai tapi salah satu pihak harus membayar bunga.

Perbedaan fundamental lainnya adalah ketika harus sampai ke pengadilan, maka Pengadilan Agama lah yang berwenang, sedangkan bank konvensional diselesaikan oleh Pengadilan Negeri.

Demikianlah perbedaan bank syariah dan bank konvensional yang paling mendasar yang harus kita pahami bersama. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Beda Bank Syariah dan Konvensional Apa Saja Sih?

Sebagian di antara kamu mungkin masih ada yang bertanya-tanya atau bingung saat akan membuka rekening, apa sih beda bank syariah dan konvensional ?

Disamping jumlah peminatnya yang semakin meningkat belakangan ini, bank syariah juga menawarkan kelebihan berupa jaminan bebas bunga riba. Eh tapi, bank konvensional tetap masih lebih banyak lagi peminatnya dan konternya pun tersebar di mana-mana. Tenang, kamu gak perlu bingung atau takut salah pilih. Yuk simak apa saja beda bank syariah dan konvensional di bawah ini :

Tertarik dengan versi video ? yuk cek videonya ini.

1. Beda bank syariah dan konvensional dari sumber hukum

Sesuai namanya, segala transaksi yang berlaku pada bank syariah menggunakan dasar sesuai dengan syariat Islam bersumber dari Al-Qur’an, Hadist, dan fatwa ulama (MUI). Sedangkan pada bank konvensional, semua transaksi berdasarkan hukum perdana dan pidata yang berlaku di Indonesia.

2. Akad yang digunakan berbeda

Ada beberapa akad yang digunakan dalam bank syariah, yaitu wadiah (akad penitipan barang/uang), mudharabah (akad kerjasama penyedia dana dan pengelola dana), musyarakah (akad kerjasama usaha dengan porsi dana masing-masing), murabahah (akad pembiayaan barang dan pembeli membayar lebih sesuai dengan yang telah disepakati), dan lain sebagainya. Adapun pada bank konvensional, tercipta akad (perjanjian) berdasarkan hukum positif sesuai dengan yang sudah dijelaskan pada poin satu.

3. Perbedaan pada cara memperoleh keuntungan

Perlu diketahui, keduanya baik bank syariah maupun konvensional merupakan lembaga bisnis yang sama-sama mencari keuntungan. Maka dari itu, bank syariah bukan berarti lembaga sosial atau organisasi amal yang dibentuk tanpa mengharap profit sepeserpun.

Beda bank syariah dan konvensional terletak pada bagaimana cara mendapatkan keuntungannya masing-masing. Bank syariah menerapkan sistem bagi hasil dan melarang pemberlakuan riba karena diharamkan dalam islam. Berbeda dengan bank konvensional yang masih mempraktikkan sistem bunga untuk mendapatkan keuntungan.

4. Sifat cicilan keduanya juga berbeda

Cicilan pada bank syariah bersifat tetap, jelas, dan transparan karena sesuai dengan akad yang telah disepakati pada awal perjanjian antara pihak nasabah dan pihak bank. Adapun cicilan pada bank konvensional seringkali hanya berlaku dalam periode tertentu yang mana akan mengalami fluktuasi ke depannya dan seringkali lebih menguntungkan pihak bank ketimbang nasabah.

5. Perbedaan lembaga pengawas yang berwenang

Keduanya tetap diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia. Namun perbedaannya terletak pada adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS). Bank syariah mewajibkan hadirnya posisi DPS, sebaliknya bank konvensional tidak. Kamu juga bisa mengunjungi Youtube channel Qazwa terkait

6. Berbeda dari sisi hubungan bank dengan nasabah

Bank syariah menganggap hubungan dengan nasabah layaknya mitra atau rekan kerja dimana hubungan timbal balik yang terjadi saling menguntungkan satu sama lain. Sedangkan bank konvensional membangun hubungan dengan nasabah seperti debitur dan kreditur atau hubungan emosional lainnya untuk menarik perhatian dan kesetiaan nasabah.

7. Terakhir, cara menyelesaikan sengketa pun berbeda

Jika terjadi sengketa dengan nasabah, bank syariah akan menyelesaikan permasalahan melalui musyawarah terlebih dahulu, baru kemudian melalui pengadilan agama jika belum mencapai musyawarah mufakat. Berbeda dengan bank konvensional, sengketa akan langsung diselesaikan melalui jalur hukum pengadilan negeri.


Dari penjelasan di atas, semoga kamu gak bingung lagi ya apa itu beda bank syariah dan konvensional. Oh iya, untuk kamu yang tertarik dengan topik tentang ekonomi islam, kamu bisa cek artikel lainnya di rubrik Ekonomi Islam.

QAJWA

Peningkatan Jumlah Pasien Covid-19 di Rumah Sakit, Siapa yang Diprioritaskan? (Bag. 2)

Berikut akan kami jelaskan berkaitan dengan penerapan triage ketika terjadi kepadatan pasien Covid-19. Berikut ini sejumlah kondisi yang mungkin ditemui di lapangan dan masukan terkait triage yang bisa diterapkan oleh tim tenaga medis ketika menangani pasien Covid19.

Kondisi pertama: kondisi pasien setara

Kondisi pasien setara baik dalam hal kebutuhan terhadap perawatan dan penggunaan alat, usia, peluang hidup, peluang sembuh, dan hal yang lain. Dalam kondisi ini, penanganan diutamakan kepada pasien yang lebih dulu mendatangi rumah sakit. Pasien yang datang belakangan tidak boleh mengambil tempat pasien yang datang lebih awal. Pasien yang datang lebih awal telah memiliki hak untuk memperoleh perawatan dan memanfaatkan perangkat kesehatan yang ada.

Dalam kondisi ini, tenaga medis tidak diwajibkan untuk menyelamatkan dan menangani pasien yang datang lebih akhir jika ia tidak memiliki kemampuan melaksanakannya, misalnya ia tengah menangani pasien yang datang lebih awal.

Hal ini dikarenakan di saat itu ia tak memiliki kemampuan melakukannya, sedangkan syarat taklīf (pembebanan syari’at) adalah adanya kemampuan. Allah taala berfirman,

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. al-Baqarah: 286)

Kondisi di atas dianalogikan dengan kasus seorang yang masih berakal ketika melaksanakan shalat Zhuhur, kemudian ia diperintahkan mengerjakan shalat Ashar sementara ia ternyata sudah menjadi gila di saat itu. Dalam hal ini, perintah agama (khithāb syar’i) gugur terhadap dirinya. [Tazāhum al-Huqūq ‘inda al-Mawārid ath-Thibbiyah].

Al-Lajnah al-Dāimah bi Majma’ Fuqahā al-Syarī’ah bi Amrīka, berpandangan bahwa pasien berusia muda lebih diutamakan ketika seluruh pasien setara dalam hal kedatangan dan kebutuhan. Alasan mereka pasien berusia muda lebih berpeluang untuk selamat karena berpegang pada kaidah,

تحصيل أعظم المصلحتين بتفويت أدناهما

“Memilih maslahat yang lebih besar dengan mengorbankan maslahat yang lebih ringan.” [al-Manṡūr fi al-Qawā’id al-Fiqhiyyah 1/349]

Namun, pendapat ini justru tidak sejalan dengan prinsip Islam yang memerintahkan berbuat adil dan menghindari diskriminasi. Dengan demikian, usia, jenis kelamin, jumlah harta, kedudukan di bidang agama dan dunia, kewarganegaraan (ras), atau karakteristik pribadi yang lain tidak semestinya dijadikan pertimbangan.

Kondisi kedua: kondisi salah satu pasien sangat membutuhkan penanganan dibandingkan pasien yang lain

Kondisi ini terbagi dalam dua keadaan.

Keadaan pertama: Apabila pasien datang ke rumah sakit dalam waktu yang bersamaan, maka pasien yang lebih membutuhkan dan kehidupannya bergantung pada penanganan dan perawatan, lebih diutamakan. Pasien yang lebih membutuhkan lebih diprioritaskan meski hal itu menyebabkan pasien yang lain menanggung kesulitan dan rasa sakit, karena maslahat dari tindakan menghilangkan bahaya dari badan pasien sehingga rasa sakitnya mereda dianulir dan tidak perlu dihiraukan ketika berhadapan dengan kondisi pasien yang dikhawatirkan kehilangan nyawa jika tidak ditangani. Hal ini dalam rangka mengamalkan kaidah,

الأكثر حاجة مقدم على الأقل حاجة

“Pihak yang lebih membutuhkan diutamakan daripada pihak yang kurang membutuhkan.” [Fiqh al-Awlāwiyat hlm. 642; Ḍāwabiṭ Tazāhum al-Maṣāliḥ hlm. 37]

Selain itu, tindakan ini tercakup dalam praktik menempuh bahaya yang lebih ringan demi mengenyampingkan bahaya yang lebih besar.  [al-Asybāh wa al-Nazhāir 1/47]

Keadaan kedua: Dalam hal pasien tengah mendapatkan penanganan, kemudian datang pasien lain yang lebih membutuhkan, maka tenaga medis boleh menghentikan penanganan terhadap pasien pertama agar bisa menangani pasien kedua yang lebih membutuhkan.

Hal ini analog dengan tindakan mendahulukan pasien yang lebih membutuhkan tatkala mereka datang dalam waktu yang bersamaan asalkan memenuhi syarat-syarat berikut ini:

1. Penanganan yang diberikan kepada pasien pertama (yang ditangani lebih dulu) merupakan penanganan yang bersifat intermiten (dilakukan sesekali), bukan penanganan yang bersifat permanen (dilakukan sepanjang waktu), baik penanganan itu berupa pemberian obat atau penggunaan perangkat kesehatan seperti ventilator.

2. Penghentian penanganan tidak berpotensi hilangnya nyawa pasien pertama atau ia mengalami bahaya yang serius sehingga menghilangkan maksud dari upaya menjaga jiwa.

3. Kondisi pasien pertama memungkinkan untuk mendapatkan penanganan kembali jika nanti ia membutuhkan.

(Qararāt al-‘Ilājiyat al-Musanadah li al-Ḥayah hlm. 800-979; Rukyah Syar’iyah Haula al-Tazāhum ‘alā al-Mawārid al-Ṭibbiyyah fi Zaman Tafsyī Firus Kuruna al-Mustajad (COVID-19))

Semua ini merupakan pengamalan kaidah,

العمل بكل منهما من وجه أولى من العمل بالراجح من كل وجه وترك الآخر

“Mempraktikkan dua perkara meski hanya sebagian lebih utama daripada mempraktikkan satu perkara yang lebih kuat di segala aspek tapi berkonsekuensi meninggalkan perkara yang lain.” [Irsyād al-Fuhul 2/264]

Kondisi ketiga: kematian pasien tersebut akan menimbulkan fitnah, seperti kematian tenaga medis spesialis yang menangani pasien Covid-19

Dalam pasien adalah tenaga medis spesialis atau yang semisal, maka mereka diutamakan, karena yang dijadikan pertimbangan dalam hal ini adalah maslahat untuk mencegah timbulnya fitnah. Dengan kematian mereka justru akan menyebabkan jatuhnya korban Covid19 yang lebih banyak karena jumlah tenaga medis yang memberikan penanganan terhadap pasien Covid19 berkurang, sehingga mengutamakan penanganan pasien yang berstatus tenaga medis spesialis lebih dikedepankan karena   tercakup dalam praktik menempuh bahaya yang lebih ringan dan upaya mencapai maslahat yang lebih besar dengan mengenyampingkan bahaya yang lebih ringan. [al-Manṡūr fi al-Qawā’id al-Fiqhiyyah 1/349]

Tindakan ini juga termasuk pengamalan kaidah menanggung bahaya yang bersifat khusus demi menolak bahaya yang bersifat umum. Maka, maslahat umum lebih utama daripada maslahat khusus; dan maslahat yang berdampak luas diutamakan daripada maslahat yang berdampak terbatas. [al-Asybāh wa an-Nazhāir 1/74, Ḍāwabiṭ Tazāhum al-Maṣāliḥ hlm. 30, 44]

Kondisi keempat: salah satu pasien telah divonis tak akan bertahan hidup

Ahli fikih kontemporer berselisih pendapat dalam hal ini, di mana Al-Lajnah al-Dāimah bi Majma’ Fuqahā al-Syarī’ah bi Amrīka berpandangan,  bahwa ketika menghadapi pasien yang telah divonis tidak akan bertahan hidup dengan keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan, maka pasien lain yang darahnya terjaga (ma’ṣūm al-dam) lebih diutamakan. Alasannya, sebagaimana dua hal yang serupa tidak boleh dibedakan, maka dua hal yang berbeda tidak boleh disamakan. [Maqāsid al-Syari’ah 3/38]

Sedangkan Syaikh as-Sariri, bahwa vonis semacam itu tidak bisa dijadikan pertimbangan untuk menghentikan penanganan/perawatan dan mementingkan pasien yang lain. Karena dalam kondisi demikian, jika penghentian itu dilakukan boleh jadi justru akan menzalimi pasien yang telah divonis itu, sehingga mementingkan pasien lain untuk ditangani setelah menghentikan penanganan terhadap pasien pertama merupakan bentuk kezaliman di atas kezaliman. [Tazāhum al-Huqūq ‘inda Qillah al-Mawārid al-Ṭibbiyyah]

Adapun Dr. Abrar Ahmad Hadi berpandangan apabila pasien yang divonis tersebut berstatus mahdur al-dam, darahnya tak terlindungi, maka boleh mendahulukan pasien yang lain. Jika tidak demikian, dalam artian pasien yang divonis tersebut berstatus ma’ṣūm al-dam, maka menurut beliau tidak boleh mengutamakan penanganan pasien yang lain atas pasien yang telah divonis tak akan bertahan hidup, karena tindakan tersebut merupakan kezaliman seperti yang telah dijelaskan. Kemudian boleh jadi ia bisa disembuhkan sehingga dengan menghentikan perawatan, justru akan menghilangkan haknya untuk hidup [al-Nawāzil al-Ṭibbiyyah al-Muta’alliqah bi Jaihah Kuruna al-Mustajad (COVID-19)].

Kondisi kelima: salah satu pasien adalah ibu hamil

Dalam hal ini, pasien ibu hamil lebih diutamakan daripada pasien yang lain karena melindungi dua jiwa lebih utama daripada melindungi satu jiwa. [Tazāhum al-Huqūq ‘inda Qillah al-Mawārid al-Ṭibbiyyah]

Kondisi keenam: semua pasien sangat membutuhkan; waktu tidak diketahui atau insiden lain

Kondisi keenam seluruh pasien setara dalam kebutuhannya terhadap penanganan, namun kedatangan pasien tidak bisa diidentifikasi; atau terjadi keributan dan pemaksaan sehingga tidak bisa mengidentifikasi kedatangan pasien.

Dalam hal ini boleh memutuskan dengan melakukan undian atau mengacu pada penilaian tim medis [Tazāhum al-Huqūq ‘inda Qillah al-Mawārid al-Ṭibbiyyah].

Kondisi ketujuh: melepas ventilator dari pasien yang datang lebih awal untuk digunakan oleh pasien yang datang belakangan

Ada dua keadaan dalam hal ini.

Keadaan pertama: Penggunaan ventilator tidak menunjukkan manfaat bagi pasien pertama (yang datang lebih awal), akan tetapi kehidupan pasien tersebut tetap bertahan dan stabil dengan perangkat tersebut. Kebutuhan terhadap perangkat itu sebagai wujud kehati-hatian, di mana jika perangkat itu dilepas tidak akan berujung pada kematian pasien tersebut.

Dalam kondisi ini dokter boleh melepas ventilator dari pasien pertama untuk digunakan oleh pasien berikut yang sangat membutuhkan ventilator dan/atau yang berpotensi kuat meninggal jika tidak diberi perawatan dengan menggunakan ventilator. Hal ini dalam rangka mempertimbangkan kriteria kebutuhan yang mendesak.

Dalam kondisi ini, kelangsungan hidup pasien pertama tetap tercapai dan tetap berpotensi selamat meski ventilator telah dilepas untuk digunakan pasien berikut yang sangat membutuhkan. Alasannya adalah karena pihak yang lebih membutuhkan diutamakan daripada pihak yang kurang membutuhkan; dan sesuatu yang dikhawatirkan terluput (dalam hal ini adalah nyawa pasien yang datang belakangan) lebih diutamakan daripada sesuatu yang tidak dikhawatirkan terluput (dalam hal ini nyawa pasien pertama). [Ḍawābiṭ Tazāhum al-Maṣālih hlm. 26 & 39]

Keadaan kedua: Pasien tak ada harapan untuk sembuh; atau kondisinya bertambah buruk dan tidak bisa diharapkan untuk pulih. Tanda-tanda kematian ada pada dirinya, namun jantung masih berdetak dan nafasnya masih kontinu dengan ditunjang ventilator. Melepas ventilator pada pasien ini akan berakibat kematiannya dan berpotensi kuat mengakibatkan kematian pasien lain yang datang belakangan dan juga membutuhkan ventilator.

Ahli fikih kontemporer saat ini memiliki beragam pandangan dalam menyikapi keadaan ini. Al-Lajnah al-Dāimah bi Majma’ Fuqahā al-Syarī’ah bi AmrīkaMajma’ al-Fiqh al-Islamiy, dan Syaikh as-Sariri berpandangan bahwa dalam kondisi ini boleh melepas ventilator yang digunakan oleh pasien yang datang lebih awal untuk digunakan oleh pasien yang datang belakangan berdasarkan kaidah,

درء المفاسد مقدم علي جلب المصالح

“Menolak kerusakan lebih diprioritaskan daripada memperoleh kemaslahatan.” [Syarh al-Qawā’id al-Fiqhiyyah 1/165]

Sedangkan Dr. Anqawi berpendapat tindakan itu tidak diperbolehkan, karena melindungi nyawa merupakan salah satu bentuk penjagaan terhadap kebutuhan asasi (ḍarūriyāt) yang dijamin kesetaraannya bagi setiap kaum muslimin dalam agama ini. Rasulullah shallallāhu ‘alahi wa sallam bersabda,

الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ

“Darah kaum muslimin itu setara.” [HR. Abu Dawud no. 2751. Dinilai hasan shahih oleh al-Albani]

Dengan demikian, pelanggaran terhadap jiwa manusia tidak boleh dilakukan karena mementingkan jiwa yang lain.

Menurut Dr. Abrar Ahmad Hadi, dalam kondisi tersebut, melepas perangkat ventilator agar digunakan oleh pasien Covid19 lain yang kehidupannya bergantung pada ventilator, diperbolehkan jika sudah ada keputusan dari tim medis bahwa pasien yang lebih awal menggunakan telah dinyatakan meninggal secara hukum.

Dr. Abrar Ahmad Hadi menjelaskan lebih lanjut bahwa hukum ini dapat berbeda sesuai dengan kondisi yang dihadapi, sehingga tidak berlaku umum untuk segala kondisi.

Kesimpulan beliau berangkat dari pemahaman bahwa jika dua kerusakan/bahaya saling bertentangan, maka yang dipertimbangkan adalah maslahat yang terbesar dengan menempuh bahaya/kerusakan yang lebih ringan. Dalam keadaan ini, manfaat penggunaan ventilator bagi pasien yang datang lebih awal bersifat dugaan, sementara manfaatnya bagi pasien yang datang belakangan pasti diketahui. Tentu suatu hal yang diketahui pasti lebih diutamakan daripada hal yang masih berupa dugaan. Dalam keadaan ini, kondisi pasien awal serupa dengan orang yang telah meninggal. [al-Nawāzil al-Ṭibbiyyah al-Muta’alliqah bi Jaihah Kuruna al-Mustajad (COVID-19)]

Kondisi kedelapan: pasien mengorbankan ventilator yang digunakannya

Dalam kondisi ini ada tiga keadaan.

Keadaan pertama: Pasien yang datang lebih awal merelakan ventilator yang digunakannya demi pasien lain karena ia tak membutuhkannya. Hal ini boleh dilakukan karena ia tak membutuhkan ventilator, sehingga kematian tidak dikhawatirkan terjadi pada dirinya.

Keadaan kedua: Pasien yang datang lebih awal merelakan ventilator yang digunakannya kepada pasien lain padahal mereka setara dalam kebutuhan. Dalam keadaan ini, hal itu tidak boleh dilakukan karena pada dasarnya jiwa adalah milik Allah dan manusia bertanggungjawab atas jiwa tersebut. Dengan alasan itu, Allah mengharamkan perbuatan menyakiti dan membahayakan nyawa sendiri. Apabila sikap mengorbankan kepentingan pribadi melanggar tujuan syari’at (maqāṣīd syar’iyyah), dalam hal ini menjaga jiwa, maka hal itu tidaklah dipandang sebagai tindakan yang terpuji menurut agama. [al-Muwāfaqāt 3/71]

Allah taala berfirman,

وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” [al-Nisā’: 29]

Allah taala juga berfirman,

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

“…dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan…” [al-Baqarah: 195]

Keadaan ketiga

Pasien yang datang lebih awal merelakan ventilator yang digunakannya bagi pasien lain yang datang belakangan, disertai ketidakmampuan mempertahankan ventilator tersebut untuk digunakan oleh pasien awal, sehingga bisa menyebabkan kematian keduanya. Dalam hal ini, pasien yang datang belakangan lebih diutamakan demi menolak salah satu bahaya/kerusakan timbul dengan melakukan salah satunya secara acak. Selain itu, dokter tidak memiliki kemampuan untuk menyelamatkan pasien awal sedangkan syarat taklīf (pembebanan syari’at) adalah adanya kemampuan. [Durar al-Hukkām fi Syarh Majallah al-Ahkām 1/41, Tazāhum al-Huqūq ‘inda Qillati al-Mawārid al-Ṭibbiyyah]

Referensi: Artikel ini disadur dari al-Nawāzil al-Ṭibbiyyah al-Muta’alliqah bi Jaihah Kuruna al-Mustajad (COVID-19) karya Dr. Abrar Ahmad Hadi.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, S.T.

Artikel: Muslim.or.id

Jihad Terberat dalam Hidup Bagi Seorang Hamba Muslim

Jihad terberat bagi seorang Muslim adalah menahan hawa nafsu

Makna jihad dapat diartikan luas dalam pandangan Islam. Jihad yang secara harfiah bermakna bersungguh-sungguh ini dalam perkembangannya banyak ditemui dalam ragam aktivitas sehari-hari.

Namun, apa jihad terberat dalam hidup ini sesungguhnya? Pakar Ilmu Tasawuf Haidar Bagir dalam buku Mereguk Cinta Rumi menjelaskan, jika seseorang ingin menjadi pemenang yang agung maka ia harus berjihad. Jihad yang berat yakni membersihkan hati dari nafsu. Ketika manusia mampu menundukkan nafsu maksiatnya, maka sesungguhnya ia telah berjihad di jalan Allah.

Memetik sari puisi dari Maulana Jalaluddin Rumi, dikisahkan perumpamaan mengenai jihad bagi manusia. Rumi berpuisi:

“Singa yang memporak-porandakan barisan musuh hanyalah pahlawan kecil. Jika dibanding dia (singa itu) yang taklukkan dirinya sendiri. Jika engkau ingin bersinar seperti siang. Bakarlah malam kedirianmu. Larutlah dalam Wujud yang Serba-segala. Belajarlah dari Ali cara berperang. Tanpa egomu ikut serta. Singa Tuhan takkan berbuat sesuatu. Kecuali dari pusat bathiniyah.”

Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW pernah ditanya seorang sahabat yang baru saja kembali dari perang: 

رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر قالوا: وما الجهاد الأكبر؟ قال: مجاهدة العبد هواه “Wa maa jihaadul-akbar ya Rasulallah? Faqaala, “Mujahadatul ‘abdi hawahu.”  Yang artinya: “Pertempuran apa yang lebih besar (dari ini), ya Rasulullah? (Rasulullah) pun berkata: jihad seorang hamba memerangi hawa nafsunya.”  

KHAZANAH REPUBLIKA

Hadis-hadis Keutamaan Sedekah

Islam sangat menganjurkan kepada seluruh umatnya untuk senantiasa bersedekah atau berbagi rezeki dan harta dengan orang lain, terutama kepada fakir miskin, anak yatim, dan siapa pun yang membutuhkan. Banyak keutamaan sedekah, sebagaimana terdapat dalam hadis-hadis berikut;

Pertama, keutamaan sedekah itu sebagai pelindung dari musibah dan keburukan. Ini sebagaimana tercantum dalam hadis riwayat Imam Al-Baihaqi, Nabi Saw bersabda;

الصدقة تسُدُّ سبعين بابا من السوء

Sedekah menutup 70 pintu keburukan.

Kedua, malaikat mendoakan untuk orang yang bersedekah agar sedekahnya Allah ganti. Ini sebagaimana terdapat dalam hadis riwayat Imam Al-Bukhari, Nabi Saw bersabda;

ما مِن يَومٍ يُصْبِحُ العِبادُ فِيهِ، إلَّا مَلَكانِ يَنْزِلانِ، فيَقولُ أحَدُهُما: اللَّهُمَّ أعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا، ويقولُ الآخَرُ: اللَّهُمَّ أعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا

Tidak ada suatu hari pun ketika seorang hamba melewati paginya kecuali akan turun (datang) dua malaikat kepadanya, lalu salah satunya berdoa; Ya Allah, berikanlah pengganti bagi siapa yang menafkahkan hartanya.  Sedangkan yang satunya lagi berdoa; Ya Allah, berikanlah kehancuran (kebinasaan) kepada orang yang menahan hartanya.

Ketiga, sedekah bisa mencegah seseorang masuk neraka. Ini sebagaimana terdapat dalam hadis riwayat Imam Al-Thabrani, Nabi Saw bersabda;

يا عائِشةَ اسْتَتِرِي من النَّارِ و لو بِشِقِّ تمرَةٍ ، فإنها تَسُدُّ من الجائِعِ مَسَدَّها من الشبعانِ

Wahai Aisyah, halangilah dirimu dari neraka meskipun dengan sebiji kurma, karena hal itu bisa menutupi orang lapar dari kelaparan.

Keempat, sedekah bisa memadamkan murka Allah. Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Al-Tirmidzi, bahwa Nabi Saw bersabda;

الصدقة تطفئ غضب الرب وتدفع ميتة السوء

Sesungguhnya sedekah itu memadamkan murka Allah dan menolak mati jelek (su’ul khotimah).

Kelima, sedekah mampu melunakkan hati yang keras, terutama bersedekah kepada orang miskin. Ini sebagaimana terdapat dalam hadis riwayat Imam Ahmad dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Saw bersabda;

إنْ أردتَ أنْ يَلينَ قلبُكَ، فأطعِمْ المسكينَ، وامسحْ رأسَ اليتيمِ

Jika kamu ingin hatimu lemah lembut, maka berilah makan orang miskin dan usaplah kepala anak yatim.

Keenam, sedekah bisa menolak terjadinya musibah dan bisa menambah umur. Dalam sebuah riwayat terdapat keterangan sebagai berikut;

الصدقة ترد البلاء وتزيد في العمر

Sedekah dapat menolak terjadinya balak dan dapat menambah umur.

BINCANG SYARIAH

Jangan Pernah Maksiat Depan Kabah, Ini Kisah-Kisah Teguran

Dikisahkan Syekh Muhammad Zakariyya dalam kitabnya Fadhilah Haji bahwa Wahb bin Al-Wirid seorang wali, pernah bercerita suatu hari dia sedang sholat di Hathim. Tiba-tiba dia mendengar suara dari dalam kelambu Ka’bah Masjidil Haram dan suara itu berkata: 

“Pertama-tama aku mengadukan kepada Allah SWT, kemudian aku mengadukan kepadamu wahai Jibril, bahwa orang-orang bersanda gurau dan berbicara sia-sia di sekelilingku.” 

“Kalau orang-orang ini tidak berhenti dari perbuatannya, maka aku akan memecahkannya sehingga setiap batu akan terpisah-pisah.” 

Suatu ketika Umar bin Khattab ra berkata kepada orang-orang Quraisy, “Sebelum kalian, yang mengurus Baitullah ada Kabila Amaliqah. Mereka tidak memuliakan Baitullah dan tidak mengagungkannya sebagaimana haknya. “Maka Allah SWT membinasakan mereka.” 

Setelah itu, kata Umar, ada kabilah Jurhum yang juga diberikan kepercayaan menjaga Baitullah. Dan ketika mereka tidak menghormatinya, Allah SWT juga membinasakan mereka. 

“Oleh karena itu, kalian harus mengagungkannya dan janganlah bermalas-malasan dalam memeriahkannya,” katanya. 

Seorang wali Musa bin Muhammad,  mengisahkan suatu ketika ada orang saleh yang melakukan tawaf, dia mendengar suara perhiasan seorang wanita cantik yang sedang melakukan tawaf juga.  

Kemudian orang itu melihat terus wanita itu. Maka sebuah tangan keluar dari rukun yamani dan menamparnya dengan keras sehingga air matanya keluar, dan terdengar suara dari dinding Ka’bah yang mengatakan: 

“Kamu tawaf di rumah kami, sedangkan kamu melihat selain kami. Tamparan ini adalah ganti dari pandangan itu, dan apabila kamu melakukannya lagi pada masa mendatang, maka kami pun akan membalasnya.” 

Dari Umar bin Khattab, dia berkata, “Melakukan 70 dosa di Ruqyah (di luar Makkah) lebih aku sukai daripada melakukan satu dosa di Makkah.” 

Syekh Muhammad Zakariyya mengatakan sebagaimana melakukan kebaikan di Makkah itu besar pahalanya, begitu juga melakukan perbuatan dosa di sana juga besar azabnya. Untuk itu Umar menyatakan pernyataannya di atas.  

Apa yang dikatakan Umar bin Khattab sama juga diucapkan Ibnu Abbas dan banyak sekali perkataan yang semakna dengannya dikatakan Umar. 

Oleh karena itu, sebagaian ulama tidak suka tinggal di Makkah karena susahnya menjaga adab-adabnya dan menunaikan hak-haknya. 

Imam Abu Hamid Al-Ghazali menyatakan melakukan dosa disana dilarang keras dan menyebabkan dekatnya kemurkaan Allah SWT.  

IHRAM

Seberat Apapun Ujian Jangan Putus Asa, Ini Alasannya

Allah SWT melarang hamba-Nya berputus asa saat diterpa ujian

Jangan putus asa terhadap rahmat dan ampunan Allah SWT. Segerelah bertobat ketika sudah melampaui batas dalam kemaksiatan karena Allah Mahapengampun dan Mahapenyayang. 

Dalam surat Az-Zumar ayat 53, Allah SWT mengingatkan hamba-Nya agar jangan berputus asa dalam mencari ampunan-Nya: 

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ 

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah yang Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”

KH DR M Tata Taufik dalam bukunya “Tafsir Inspiratif ayat-ayat Alquran Pilihan Pengguggah Jiwa”, menuliskan, ayat ini menurut Ibnu Katsir merupakan seruan kepada seluruh pelaku maksiat dari orang kafir dan lainnya untuk bertaubat dan kembali kepada kebenaran. Ayat ini juga merupakan berita bahwa Allah SWT mengampuni semua dosa bagi mereka yang bertobat dan kembali ke jalan yang benar. 

“Walaupun dosa tersebut begitu banyak bagai buih di lautan. Ayat ini harus dipahami sebagai usaha bertobat dan tidak bisa dipahami dalam konteks selain tobat. Sebab, kemusrikan hanya bisa diampuni kecuali bagi yang melakukan tobat,” katanya.   

Diriwayatkan Imam Bukhari dari Ibnu Abbas bahwa orang-orang musyrik dahulu mereka telah membunuh dan terbiasa membunuh dan telah berzina dan biasa berzina, kemudian mereka mendatangi Rasulullah dan berkata, “Apa yang engkau seru dan engkau katakan itu adalah kebaikan. Apakah engkau bisa memberitahu kami bahwa ada kifarat bagi dong dosa yang telah kamu lakukan?”  Atas pertanyaan itu, maka turunlah surat Al-Furqan ayat 68:   

الَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ ۚ “Dan orang-orang yang tidak menyeru tuhan selain Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali karena alasan yang benar dan tidak melakukan zina.” Lalu turunlah ayat 53 surat az-Zumar di atas. Anas Ibn Malik berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: 

و الذي نَفسي بيدِهِ أوْ قال : و الذي نَفْسُ محمدٍ بيدِهِ لَوْ أَخْطَأْتُمْ حتى تَمْلَأَ خَطَاياكُمْ ما بين السَّماءِ و الأرضِ ، ثُمَّ اسْتَغْفَرْتُمْ اللهَ عزَّ و جلَّ ، لَغَفَرَ لَكُمْ ، و الذي نَفْسُ محمدٍ بيدِهِ أوْ قال : و الذي نَفسي بيدِهِ لَوْ لمْ تُخْطِئُوا لَجاء اللهُ بِقومٍ يُخْطِئُونَ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُونَ اللهَ فَيَغْفِرُ لهُمْ

“Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya kalian bersalah sampai kesalahan memenuhi antara langit dan bumi, kemudian kali mohon ampun kepada Allah pasti Allah akan mengampuni kamu sekalian.

Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, jika sendainya kalian tidak melaksanakan segala kesalahan sama sekali (dosa) maka Allah akan menciptakan suatu kaum yang melakukan kesalahan lalu mereka memohon ampun kepada Allah dan Allah mengampuni mereka.” (HR Ahmad).

Tata mengatakan, masih banyak lagi hadits yang semuanya menunjukkan bahwa Allah mengampuni semua dosa dengan bertaubat. Maka dari itu jangan lah seorang hamba berputus asa dari rahmat Allah walaupun dosanya sangat besar dan banyak. “Karena pintu taubat dan rahmat Allah terbuka lebar,” ujar Kiai Tata.  Dia mengutip surat At-Taubah ayat 104, Allah SWT berfirman:

أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ   “Tidakkah mereka ketahui bahwa Allah menerima taubat dari hamba-Nya.” Dalam firman-Nya surat An-Nisa ayat 110, disebutkan: 

وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا “Barangsiapa melakukan kejelekan dosa atau menzalimi dirinya sendiri kemudian memohon ampun kepada Allah kemudian akan mendapati bahwa Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”

KHAZANAH REPUBLIKA

Hadits Arbain Nawawi ke-16: Jangan Marah

Berikut ini hadits Arbain Nawawi ke-16, penjelasan dan fiqih atau kandungan haditsnya. Matan-nya singkat, “Jangan marah.” Namun kadungannya sangat luas dan manfaatnya sangat banyak.

Arbain Nawawi (الأربعين النووية) adalah kumpulan hadits pilihan yang disusun oleh Imam An Nawawi rahimahullah. Jumlahnya hanya 42 hadits, tetapi mengandung pokok-pokok ajaran Islam.

Arbain Nawawi ke-16 dan Terjemah

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – أَوْصِنِى . قَالَ  لاَ تَغْضَبْ  . فَرَدَّدَ مِرَارًا ، قَالَ  لاَ تَغْضَبْ

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, seorang laki-laki berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Berilah aku nasihat.” Beliau menjawab: “Jangan marah.” Beliau mengulanginya beberapa kali, “Jangan marah.” (HR. Bukhari)

jangan marah

Penjelasan Hadits

Imam Bukhari meriwayatkan hadits ini dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Shahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits, berkat mulazamah-nya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Hadits ini juga termasuk jawami’ul kalim, singkat padat dan mengandung banyak pelajaran berharga. Ia menjelaskan larangan marah. Dan dalam larangan ini terkandung kebaikan dunia dan akhirat.

Kata rajul (رجل)  artinya adalah seorang laki-laki. Sebagian ulama mengatakan bahwa laki-laki dalam hadits ini adalah Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu. Sebagaimana riwayat Imam Thabrani:

عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ، قَالَ: لا تَغْضَبْ، وَلَكَ الْجَنَّةُ

Abu Darda’ berkata, aku bertanya: “Wahai Rasulullah, tunjukilah aku suatu amal yang memasukkan aku ke surga.” Rasulullah menjawab, “Jangan marah, bagimu surga.” (HR. Thabrani)

Ada pula yang mengatakan bahwa laki-laki tersebut adalah Jariyah Ibnu Qudamah radhiyallahu ‘anhu. Sebagaimana riwayat Imam Ahmad:

عَنْ جَارِيَةِ بْنُ قُدَامَةَ السَّعْدِىُّ أَنَّهُ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْ لِى قَوْلاً يَنْفَعُنِى وَأَقْلِلْ عَلَىَّ لَعَلِّى أَعِيهِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-  لاَ تَغْضَبْ . فَأَعَادَ عَلَيْهِ حَتَّى أَعَادَ عَلَيْهِ مِرَاراً كُلُّ ذَلِكَ يَقُولُ  لاَ تَغْضَبْ

Dari Jariyah bin Qudamah As Sa’di bahwa ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku satu perkataan yang bermanfaat dan persingkatlah untukku agar aku bisa memahaminya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jangan marah.” Ia mengulangi pertanyaan tersebut berulang-ulang dan setiap pertanyaan dijawab oleh Rasulullah, “Jangan marah.” (HR. Ahmad)

Siapa pun laki-laki itu, larangan marah ini sangat penting sehingga Rasulullah menasihatkan kepada banyak shahabat. Dan tentu saja, nasihat ini juga berlaku untuk seluruh umatnya.

Ghadhab (غضب) artinya marah. Ibnu Qudamah menjelaskan, marah adalah darah di dalam hati yang mendidih karena mencari pelampiasan. Marah membuat darah hatinya mendidih lalu menyebar ke seluruh nadi dan naik ke seluruh badan sebagaimana naiknya air yang mendidih.

Sedangkan menurut Aidh Al Qarni, marah adalah mendidihnya darah dalam hati  untuk menuntut balas atau akibat terhalangnya seseorang dari mencapai tujuan dan keinginan.

Kandungan Hadits dan Pelajaran Penting

Hadits ini mengandung banyak pelajaran penting. Mulai dari hal paling mendasar dari akhlak seorang seorang, yakni pengelolaan emosi. Berikut ini beberapa poin utama yang bisa kita ambil dari hadits yang singkat ini:

1. Rindu kepada Surga

Sabda Rasulullah “la taghdlob” umumnya didahului dengan pertanyaan atau permintaan para sahabat yang ingin masuk surga.

يَا رَسُولَ اللَّهِ، دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ

 “Wahai Rasulullah, tunjukilah aku suatu amal yang memasukkan aku ke surga.”

Pada hadits 16 Arbain Nawawi ini, sahabat minta nasihat. Aushinii (أوصني) yang artinya, nasihatilah aku. Seorang muslim itu suka minta nasihat. Nasihat yang bermanfaat di dunia dan akhirat. Nasihat yang memasukkan ke dalam surga.

Demikian pula akan kita dapati banyak dialog shahabat dengan Rasulullah dalam hadits-hadits lainnya yang menunjukkan betapa para shahabat sangat merindukan surga.

Kerinduan kepada surga ini kemudian membuat para sahabat Nabi selalu berorientasi mendapatkannya. Dengan menanyakan kepada Rasulullah amal-amal yang bisa memasukkan ke surga lalu dengan bersegera mereka mengamalkannya.

Semoga kita juga memiliki kerinduan yang sama. Sebab dunia ini sementara. Hidup di dunia ini sebentar saja. Sedangkan akhirat yang kekal abadi selamanya, di sana hanya ada dua tempat kembali; surga dan neraka.

2. Akhlak Seorang Muslim

Hadits ini menunjukkan akhlak mendasar seorang muslim. Pengelolaan emosi yang baik akan menjaga dirinya dari banyak keburukan dan mendatangkan banyak kebaikan. Dan itu terangkum dalam sabda Rasulullah, “Jangan marah.”

Abu Muhammad Abdullah Ibnu Zaid, seorang ulama besar madzhab Maliki di Maroko mengatakan, “Siklus kebaikan terletak pada empat hadits. Pertama, Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berkata yang baik atau diam. Kedua, Di antara tanda sempurnanya iman seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak mendatangkan manfaat bagi baginya. Ketiga, Jangan marah. Keempat, Tidak sempurna iman seseorang hingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.”

Sabar dan menahan marah juga merupakan karakter orang yang bertaqwa. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ . الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. Ali Imran: 133-134)

3. Marah Menghimpun Seluruh Keburukan

Dalam hadits ini, Rasulullah mengulang-ulang sabda “jangan marah.” Menunjukkan betapa pentingnya larangan marah. Di antaranya karena marah adalah seluruh keburukan.

Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, laki-laki yang mendapat nasihat “jangan marah” itu akhirnya mengerti bahwa kemarahan menghimpun seluruh keburukan.

عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوْصِنِى. قَالَ « لاَ تَغْضَبْ ». قَالَ قَالَ الرَّجُلُ فَفَكَّرْتُ حِينَ قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- مَا قَالَ فَإِذَا الْغَضَبُ يَجْمَعُ الشَّرَّ كُلَّهُ

Dari Humaid bin Abdurrahman, dari seorang laki-laki shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia mengatakan, ada seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, berilah aku nasihat.” Rasulullah bersabda, “Jangan marah.” Laki-laki itu kemudian mengatakan, “Maka aku memikirkan apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sabdakan dan mengerti bahwa kemarahan menghimpun seluruh keburukan.” (HR. Ahmad)

Betapa banyaknya keburukan yang terjadi akibat seseorang tidak bisa menahan marah. Kata-kata yang tidak terkontrol hingga tindakan di luar kendali dan keputusan tanpa pikir panjang yang akhirnya disesali.

Saat marah, suami dan istri mengeluarkan kata-kata yang tidak terkontrol hingga membuat rumah tangga berantakan. Bahkan kadang berujung kata cerai dan perpisahan. Bukan hanya mereka berdua yang rugi, anak-anak juga menderita menjadi korban.

Ketika marah, orangtua bisa berbuat di luar kendali. Selain kata-kata yang membuat anak takut, terkadang ayah yang marah main tangan kepada anak. Buah hati yang mestinya disayangi justru disakiti. Anak yang mestinya mendapat kasih sayang justru menjadi sasaran kekerasan. Anak pun tumbuh dengan luka inner child dan mengalami amputasi kecerdasan.

Apalagi pemimpin yang suka marah. Keputusannya yang tanpa pikir panjang saat marah akan berakibat buruk kepada orang-orang yang dipimpinnya bahkan kepada pihak ketiga yang menjadi stake holder kepemimpinannya. Semakin tinggi level kepemimpinan, semakin luas dampak buruk akibat kemarahannya.

Pemimpin perusahaan yang marah lalu mengambil keputusan tanpa pikir panjang, ia bisa merusak perusahaan yang ia pimpin. Kepala daerah yang mengambil keputusan dalam kondisi marah, ia bisa merusak masa depan daerahnya. Apalagi kepala negara. Bukankah tidak sedikit perang antar negara yang tercipta akibat kemarahan?

4. Sabar Menghimpun Seluruh Kebaikan

Kemarahan menghimpun seluruh keburukan. Kebalikannya, sabar menghimpun seluruh kebaikan.

Seseorang yang sabar dan tidak marah, ia akan mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan. Maka kata-katanya pun terkontrol, tindakannya terkendali, keputusannya juga matang.

Orang yang sabar dan menjauhi kemarahan, ia akan dicintai Allah kemudian dicintai sesama manusia.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّهُ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَاذَا يُبَاعِدُنِى مِنْ غَضِبِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ لاَ تَغْضَبْ

Dari Abdullah bin Amr, ia berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Apa yang bisa menjauhkanku dari kemurkaan Allah Azza wa Jalla?” Rasulullah bersabda, “Jangan marah.” (HR. Ahmad)

Sabar dan tidak marah juga merupakan kekuatan yang sesungguhnya. Sebagaimana sabda Rasulullah:

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ

Orang yang kuat bukanlah orang yang pandai bergulat. Sesungguhnya orang yang kuat adalah orang yang bisa menguasai dirinya ketika marah. (HR. Ahmad)

5. Mengendalikan Marah Kunci Masuk Surga

Rasulullah mengulang-ulang nasihat “jangan marah” menunjukkan pentingnya sabar dan mengelola emosi dengan baik. Yang paling membahagiakan adalah hadits “jangan marah” yang diriwayatkan Abu Darda’. Sebab sabar dan tidak marah merupakan kunci surga.

عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ، قَالَ: لا تَغْضَبْ، وَلَكَ الْجَنَّةُ

Abu Darda’ berkata, aku bertanya: “Wahai Rasulullah, tunjukilah aku suatu amal yang memasukkan aku ke surga.” Rasulullah menjawab, “Jangan marah, bagimu surga.” (HR. Thabrani)

“Empat hal yang siapapun bisa melakukannya, niscaya Allah akan menjaganya dari setan dan dijauhkan dari neraka,” kata Hasan Al Bashri. “Yaitu orang yang mampu menguasai dirinya ketika menginginkan sesuatu, merasa takut, ketika syahwatnya bergejolak dan ketika marah.”

Keistimewaan lainnya bagi orang-orang yang sabar dan tidak marah, terutama saat ia bisa membalas, Allah menyediakan hadiah istimewa baginya di surga. Yakni bidadari spesial.

مَنْ كَظَمَ غَيْظًا – وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ – دَعَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنَ الْحُورِ مَا شَاءَ

Barangsiapa yang menahan marah, padahal  ia mampu melampiaskannya, kelak pada hari kiamat Allah Azza wa jalla memanggilnya di hadapan seluruh makhluk hingga memberikan pilihan kepadanya, bidadari mana yang ia inginkan. (HR. Thabrani; hasan)

6. Kiat Mengatasi Marah

Dalam hadits ini Rasulullah menasihatkan “jangan marah.” Bagaimana kiat mengatasi marah? Jawabannya ada pada hadits-hadits lain dan penjelasan para ulama. Antara lain:

  • Menghilangkan atau meminimalisir penyebab marah
  • Mengingat dampak dan bahaya marah
  • Mengingat keutamaan mengendalikan marah
  • Membaca ta’awudz
  • Mengubah posisi. Jika sedang berdiri, maka duduklah. Jika duduk masih marah, berbaringlah.
  • Menghentikan bicara, diam.
  • Berwudhu

7. Marah karena Mencari Keridhaan Allah

Syaikh Musthafa Dieb Al Bugha menjelaskan bahwa marah yang dilarang dalam hadits ini adalah marah karena dendam dan bukan untuk membela agama Allah. Sedangkan marah karena mencari keridhaan Allah dan membela agama-Nya tidak dilarang. Bahkan pada kasus tertentu menjadi wajib.

Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan:

وَمَا انْتَقَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ إِلَّا أَنْ تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللَّهِ، فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ بِهَا

Tidaklah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membalas atau menghukum karena dirinya (disakiti) sedikit pun, kecuali apabila kehormatan Allah dilukai. Beliau menghukum dengan sebab itu karena Allah azza wa jalla. (HR. Bukhari dan Muslim)

Demikian pula, beliau bisa marah jika melihat atau mendengar apa yang dimurkai Allah. Beliau tidak membiarkan kejahatan, kemungkaran atau keburukan terjadi.

عَنْ أَبِى مَسْعُودٍ الأَنْصَارِىِّ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ إِنِّى لأَتَأَخَّرُ عَنْ صَلاَةِ الصُّبْحِ مِنْ أَجْلِ فُلاَنٍ مِمَّا يُطِيلُ بِنَا. فَمَا رَأَيْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- غَضِبَ فِى مَوْعِظَةٍ قَطُّ أَشَدَّ مِمَّا غَضِبَ يَوْمَئِذٍ فَقَالَ « يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ مِنْكُمْ مُنَفِّرِينَ فَأَيُّكُمْ أَمَّ النَّاسَ فَلْيُوجِزْ فَإِنَّ مِنْ وَرَائِهِ الْكَبِيرَ وَالضَّعِيفَ وَذَا الْحَاجَةِ

Dari Abu Mas’ud Al Anshari, ia berkata, seorang laki-laki menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Sesungguhnya aku memperlambat shalat Shubuh disebabkan oleh Si Fulan (imam shalat) yang memanjangkan shalat dengan kami.”

Maka tidaklah aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam marah dalam memberikan nasihat yang lebih hebat dari kemarahan beliau pada hari itu. Lantas beliau bersabda, “Wahai manusia, sesungguhnya di antara kamu itu ada orang-orang yang membuat manusia lari (dari agama)! Siapa saja di antara kamu yang mengimami orang banyak, maka hendaklah dia meringkaskan.  Karena sesungguhnya di belakangnya, ada orang yang sudah tua, orang yang lemah, dan orang yang memiliki keperluan.” (HR. Muslim)

Suatu hari Abu Dzar Al Ghifari radhiyallahu ‘anhu pernah berselisih dengan Bilal radhiyallahu ‘anhu. Lalu Abu Dzar menghina Bilal dengan menyebut “anak budak hitam.” Mengetahui itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam marah lantas bersabda:

يَا أَبَا ذَرٍّ أَعَيَّرْتَهُ بِأُمِّهِ إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ

Wahai Abu Dzar, apakah kamu menghina ibunya? Sesungguhnya dalam dirimu masih ada sifat jahiliyah. (HR. Bukhari)

Lalu Abu Dzar segera minta maaf kepada Bilal. Ia letakkan kepalanya di tanah, minta Bilal menginjaknya. Bilal tidak mau, ia sudah memaafkan Abu Dzar. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

BERSAMADAKWAH

Peningkatan Jumlah Pasien Covid-19 di Rumah Sakit, Siapa yang Diprioritaskan? (Bag. 1)

Saat ini kita mengetahui bahwa peningkatan kasus positif Covid19 di sejumlah wilayah tanah air menyebabkan sejumlah rumah sakit dan fasilitas kesehatan dipadati pasien Covid-19. Hal ini berakibat pasien Covid-19 dalam jumlah yang besar tidak dapat ditampung dan ditangani oleh rumah sakit dan fasilitas kesehatan. Praktik penanganan pasien Covid-19 seperti mendahulukan pasien berdasarkan usia dan disabilitas; melepas perangkat kesehatan dari satu pasien demi kepentingan pasien yang lain; menolak kedatangan pasien; atau membiarkan pasien menghadapi penyakit itu sendiri sehingga tercipta kekebalan komunal (herd immunity), mungkin menjadi aktivitas yang dijalankan oleh setiap tenaga medis.

Hal yang menjadi pertanyaan adalah apakah kriteria-kriteria agama yang patut dijadikan pedoman dalam menangani pasien Covid-19 ketika terjadi kepadatan atau penumpukan jumlah pasien?

Artikel singkat ini berusaha untuk memberikan gambaran dari sisi agama meskipun penulis tahu bahwa setiap tim medis pasti memiliki pedoman khusus yang dijadikan acuan.

Prioritas penanganan ketika terjadi kepadatan pasien Covid-19

Ketika terjadi kepadatan pasien Covid-19 dan sebelum memprioritaskan mana di antara mereka yang berhak memperoleh penanganan, setiap tenaga medis perlu kiranya memperhatikan setiap prinsip umum berikut:

Prinsip pertama

Memperhatikan bahwa tujuan agama Islam (syariat) adalah menjaga lima hal pokok (adh-dharuriyah al-khamsah), dan menjaga jiwa (nyawa) lebih diprioritaskan ketika terjadi pertentangan di antara lima hal tersebut. Islam sangat menekankan hal itu karena Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ

“ … dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) …” (QS. al-An’am: 151).

Demikian pula, Islam memerintahkan untuk melindungi jiwa dengan melakukan upaya pencegahan dari berbagai penyakit sebelum hal itu terjadi; dan dengan menempuh pengobatan setelah terserang penyakit. Hal itu karena mengikuti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ شِفَاءً غير داء واحد قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُوَ قَالَ الْهَرَمُ

“Berobatlah! Sesungguhnya  Allah tidak memberikan penyakit, melainkan Allah juga memberikan obatnya, kecuali untuk satu penyakit.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, penyakit apa itu?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Penyakit tua.” (HR. Abu Dawud no. 3855. Dinilai sahih oleh al-Albani).

Berdasarkan hal ini otoritas terkait berhak mewajibkan masyarakat untuk menjalani pengobatan tertentu; juga berhak menerapkan pelayanan dan intervensi medis yang secara khusus berkaitan dengan penanganan virus Corona. Karena itulah, tenaga medis wajib menjadikan tujuan “menjaga jiwa” sebagai pertimbangan penting dalam menentukan keputusan di setiap detail permasalahan ketika terjadi kepadatan pasien Covid-19.

Prinsip kedua

Menerapkan prinsip keadilan dan melaksanakan hukum Allah dalam tataran realita. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ

“ … dan Allah (memerintahkan kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil” (QS. An-Nisa: 58).

Maka, hendaknya tenaga medis menerapkan pertimbangan-pertimbangan yang lebih utama dan diakui oleh agama; serta tidak perlu menghiraukan selainnya demi memenuhi maksud dan tujuan menjaga jiwa yang merupakan fokus hukum agama. Dengan demikian, tenaga medis tidaklah membeda-bedakan manusia, sehingga karakteristik pribadi pasien seperti anak-anak dan dewasa; pria dan wanita; kaya dan miskin; kedudukan dunia dan agama; serta kewarganegaraan menjadi faktor pertimbangan dalam prioritas penanganan pasien. Karena jika hal itu dilakukan, pastilah akan terjadi kezaliman. Allah Ta’ala telah memuliakan manusia melalui firman-Nya,

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam” (QS. Al-Isra: 70).

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ

“Darah kaum muslimin itu setara.” (HR. Abu Dawud no. 2751. Dinilai hasan shahih oleh al-Albani).

Kriteria dan pertimbangan utama dalam penanganan pasien

Ahli fikih menetapkan bahwa tidak seorang pun boleh diprioritaskan atas orang lain ketika terjadi kepadatan dalam memperoleh hak kecuali terdapat kriteria dan/atau sebab yang mengunggulkannya.

Terdapat sejumlah fatwa yang berkaitan dengan sebab-sebab prioritas penanganan ketika terjadi kepadatan pasien Covid-19. Berbagai sebab itu ditentukan oleh tim medis dan dokter yang menangani pasien, dengan berpedoman pada etika kedokteran dan moral. Maka, setiap kebijakan yang akan diterapkan pada masyarakat hendaklah didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan (al-Mantsur fi al-Qawaid al-Fiqhiyah, 1/294).

Di antara fatwa yang berkaitan dengan hal tersebut adalah fatwa yang dikeluarkan dari Majma’ Fiqhi al-Islami ad-Duwalial-Majlis al-Arubi li al-Ifta wa al-Buhutsal-Lajnah ad-Daimah li al-Ifta bi Majma’ Fuqaha asy-Syari’ah bi Amrika. Demikian pula hal ini disampaikan oleh Thariq Anqawi dan Syekh Maulud as-Sariri, (Majma al-Fiqh al-Islami: Firus Kuruna al-Mustajad (COVID-19) wa Maa Yata’allaq bihi min Mu’alajat Thibbiyah wa Ahkam Syar’iyyahal-Ulaa bi at-Taqdim fi al-‘Ilaj ‘inda at-Tazahum, fatwa no. 18/30; Nazilah Kuruna wa Tazahum al-Huquq ‘inda Naqsh al-Mawarid ath-Thibbiyah, no. 87747; Qararat al-‘Ilajiyat al-Musanadah li al-Hayah, hlm. 787 dan Rukyah Syar’iyah Haula at-Tazahum ‘ala al-Mawarid ath-Thibbiyah fi Zaman Tafsyi Firus Kuruna al-Mustajad (COVID-19)Tazahum al-Huquq ‘inda Qillah al-Mawarid ath-Thibbiyah).

Kesimpulan mereka bahwa di antara kriteria dan sebab yang patut dijadikan pertimbangan utama dalam menangani pasien Covid-19 adalah sebagai berikut:

Kriteria pertama: Kedatangan yang lebih awal

Pasien yang lebih awal mendatangi dan menempati rumah sakit lebih diutamakan. Hal ini menjadi pertimbangan dan berpengaruh dalam prioritas penanganan ketika terjadi kepadatan karena sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَايُقِيْمُ الرَّجُلُ الرَّجُلَ مِنْ مَقْعَدِهِ ثُمَّ يَجْلِسُ فِيْهِ

“Janganlah seseorang membangunkan orang lain dari tempat duduknya, kemudian dia duduk di tempat itu” (HR. al-Bukhari no. 911 dan Muslim no. 2177).

Kriteria kedua: Kebutuhan yang mendesak

Setiap pasien yang lebih membutuhkan penanganan, ventilator, atau perawatan yang bersifat urgen lebih didahulukan daripada pasien lain yang kurang membutuhkan.

Kaidahnya, pihak yang lebih membutuhkan didahulukan daripada pihak yang kurang membutuhkan (Fiqh al-Awlawiyat hlm. 264; Dhawabith Tazahum al-Mashalih hlm. 27). Hal ini termasuk dalam praktik mengutamakan maslahat yang lebih besar dan menolak bahaya yang lebih besar; serta termasuk dalam praktik menempuh bahaya yang lebih ringan demi mengenyampingkan bahaya yang lebih besar (al-Mantsur fi al-Qawaid al-Fiqhiyah 1/349; al-Asybah wa an-Nazhair 1/47).

Al-Izz ibn Abdissalam rahimahullah menuturkan,

فيما يقدم من حقوق بعص العباد على بعض التقديم بالحاجة الماسة على ما دونها من الحاجات

“Perihal hak-hak hamba yang didahulukan sesama mereka adalah mendahulukan kebutuhan yang lebih mendesak atas kebutuhan yang kurang mendesak” (Qawa’id al-Ahkam 1/172)

Kriteria ketiga: Peluang hidup

Dalam hal perawatan diberikan, lebih diutamakan pasien yang berpeluang hidup besar atas pasien yang berpeluang hidup kecil. Demikian pula, pasien dengan kriteria tersebut lebih diutamakan atas pasien yang bisa melangsungkan hidup tanpa ada intervensi atau perawatan medis yang urgen.

Al-Izz ibn Abdissalam rahimahullah menuturkan,

…تقديم ذوي الضرورات على ذوي الحاجات…

“Mendahulukan pihak yang berkepentingan darurat ketimbang pihak yang berkepentingan hajat” (Qawa’id al-Ahkam 1/172).

Patut dicatat, hal ini bukan berarti mengutamakan pasien yang lebih berpeluang hidup karena dia berusia muda. Namun yang menjadi perhatian pada poin ini adalah efek intervensi dan perawatan medis dalam menjaga kelangsungan hidup pasien (Rukyah Syar’iyah Haula at-Tazahum ‘ala al-Mawarid ath-Thibbiyah fi Zaman Tafsyi Firus Kuruna al-Mustajad (COVID-19) hlm. 13).

Kriteria keempat: Peluang sembuh

Dalam hal ini diutamakan pasien yang lebih berpeluang sembuh daripada pasien yang memiliki kriteria-kriteria sebelumnya. Bukan karena mempertimbangkan bahwa pasien yang berpeluang sembuh kecil tidak layak lagi melangsungkan hidup, sehingga tidak diberikan perawatan sama sekali. Namun pertimbangan ini diambil dalam kasus terdapat pasien lain yang setara dalam kriteria lainnya, namun dia lebih berpeluang sembuh.

Kriteria kelima: Mengundi jika kriteria-kriteria di atas tidak ada

Hai ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَإِنَّ يُونُسَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ إِذْ أَبَقَ إِلَى الْفُلْكِ الْمَشْحُونِ فَسَاهَمَ فَكَانَ مِنَ الْمُدْحَضِينَ

“Sesungguhnya Yunus benar-benar salah seorang rasul. (Ingatlah) ketika dia lari, ke kapal yang penuh muatan, kemudian dia ikut berundi, lalu dia termasuk orang-orang yang kalah dalam undian” (QS. as-Shaffaat: 139-141).

Mengundi adalah hal yang dilakukan oleh nabi Yunus dan juga merupakan tradisi yang dilakukan oleh orang-orang terdahulu. Demikian pula hal ini diisyaratkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,

لَوْ يعْلمُ النَّاسُ ما في النِّداءِ والصَّفِّ الأَولِ. ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلاَّ أَنْ يسْتَهِموا علَيهِ لاسْتهموا علَيْهِ

“Seandainya manusia mengetahui (kebaikan) apa yang terdapat pada panggilan salat (azan) dan saf pertama, lalu mereka tidak dapat meraihnya melainkan dengan mengundi tentulah mereka akan mengundinya” (HR. Muslim no. 437).

[Bersambung insyaallah]

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, S.T.

Artikel: Muslim.or.id