Hukum Menggunakan Fasilitas Kantor di Luar Jam Kerja

Hampir bisa dipastikan sebuah lembaga memiliki berbagai barang inventaris, seperti: AC, komputer, karpet dan lain sebagainya. Namun, disaat karyawan lelah dan merasa jenuh terkadang barang tersebut juga digunakan  untuk mencari hiburan, seperti melihat foto, video, atau main game di komputer. Lantas, bagaimanakah hukum menggunakan fasilitas kantor di luar jam kerja?

Pada dasarnya, seorang karyawan tidak diperbolehkan untuk menggunakan fasilitas kantor kecuali sesuai dengan persayaratan dan kebijakan-kebijakan yang telah disepakati oleh Lembaga. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah SAW dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir juz 4, halaman 275,

عن رافع بن خديج قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : المسلمون عند شروطهم فيما أحل

Dari Rafi’ ibn Khodij berkata bahwasanya Rasulullah SAW bersabda : “Kaum Muslimin wajib mematuhi segala persyaratan mereka dalam hal-hal yang dihalalkan oleh syariat.”

Imam Abdurrouf Al-Munawi dalam kitab Faidhul Qadir juz 6 halaman 453 memberi keterangan lebih lanjut mengenai hadis diatas. Menurut beliau segala syarat yang ditetapkan oleh kantor harus ditepati oleh seluruh karyawan selama tidak berkaitan dengan perkara yang diharamkan oleh syariat. Sebagaimana dalam penjelasan beliau berikut ini,

المسلمون عند شروطهم فيما أحل بخلاف ما حرم فلا يجب بل لا يجوز الوفاء به

Artinya : “(Kaum Muslimin wajib mematuhi segala persyaratan mereka dalam hal-hal yang dihalalkan oleh syariat) tidak seperti perkara yang dilarang, maka hukumnya tidak wajib (mematuhi), bahkan tidak diizinkan untuk mematuhinya.”

Namun demikian, apabila ada izin dari pihak yang bewenang dalam masalah itu atau sudah diketahui kerelaannya maka diperbolehkan.

Hal ini sebagaimana dalam kitab Fatawa Syabkah al-Islamiyah berikut :

فاعلم أنه يجوز لكل أحد أن يأخذ من مال غيره حاضراً أو غائباً، سواء كان هذا المأخوذ نقداً أو طعاماً أو غيرهما، إذا علم رضا صاحبه ولو بقرينة قوية تفيد رضاه، أما إذا شك فلا.

Artunya : “ Ketahuilah bahwa diperbolehkan bagi setiap orang untuk mengambil harta orang lain, baik hadir atau ghoib, baik itu mata uang, makanan, atau sesuatu yang lain, jika dia mengetahui persetujuan pemiliknya, sekalipun hanya dengan praduga kuat yang menunjukkan persetujuannya. Tetapi jika  ragu (mengenai persetujuan pemilik), maka tidak diperbolehkan.”

Keterangan diatas juga selaras dengan penjelasan dalam kitab Fatawa Fiqhiyyah Kubra juz 4 halaman 116 berikut:

وسئل بما لفظه هل جواز الأخذ بعلم الرضا من كل شيء أم مخصوص بطعام الضيافة فأجاب بقوله الذي دل عليه كلامهم أنه غير مخصوص بذلك وصرحوا بأن غلبة الظن كالعلم في ذلك وحينئذ فمتى غلب على ظنه أن المالك يسمح له بأخذ شيء معين من ماله جاز له أخذه ثم إن بان خلاف ظنه لزمه ضمانه وإلا فلا

Artinya : “Timbul suatu pertanyaan berikut : Apakah boleh mengambil semua jenis harta dengan adanya pengetahuan tentang kerelaan pemilik, atau khusus untuk jamuan makanan tamu saja? Kemudian dia menjawab terkait pertanyaan tersebut, bahwa kebolehan itu tidak khusus untuk tamu saja, dan para ulama telah menjelaskan bahwa dugaan kuat itu hukumnya seperti pengetahuan dalam hal kerelaan pemilik. Kemudian ketika seseorang memiliki dugaan kuat bahwa pemiliknya akan mengizinkannya mengambil sesuatu dari hartanya, maka diperbolehkan baginya untuk mengambilnya.  Kemudian jika nyatanya pemilik tidak setuju dengan perbuatannya, maka dia harus menggantinya.”

Dari penjelasan diatas diatas dapat diketahui bahwa karyawan tidak diperbolehkan untuk menggunakan fasilitas kantor diluar jam kerjanya. Tetapi, apabila ada izin dari pihak yang bewenang dalam masalah itu atau sudah diketahui kerelaannya maka diperbolehkan.

Demikian. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Ucapan Selamat Tahun Baru Hijriyah, Bolehkah?

Bismillahirrahmanirrahim

Ucapan selamat dalam bahasa fikih disebut at-tahni-ah (التهنئة) yang kemudian melebur ke dalam bahasa Melayu menjadi tahniyah. Dari penjelasan para ulama tentang tahni-ah, dapat kami simpulkan berikut:

Pertama, tahni-ah seorang berupa respon baik atas hal-hal mubah yang didapat saudaranya.

Seperti ucapan selamat atas kelahiran anak, pernikahan, kelulusan sekolah, selamat dari musibah, usaha sukses dll.

Alasan dibolehkan karena tergolong perkara adat bukan ibadah.

Bahkan bisa beralih menjadi dianjurkan karena dapat membuat saudara kita bahagia. Sebagaimana keterangan dalam situs ilmiah dorar.net berikut,

فهذه من الأمور العادية المباحة التي لا حرَجَ فيها، ولعلَّ صاحبها يُؤجَر عليها؛ لإدخالِه السرورَ على أخيه المسلمِ، فالمباح – كما قال شيخُ الإسلام ابنُ تيميَّة: (بالنيَّة الحَسنة يكون خيرًا، وبالنيَّة السيِّئة يكون شرًّا)؛ فالتهنئةُ بهذه الأمورِ تَدورُ بين الإباحةِ والاستحباب.

“Ucapan-ucapan selamat seperti ini masuk katagori mubah, tidak mengapa dilakukan. Bahkan orang yang melakukan bisa mendapatkan pahala, karena ia telah memasukkan rasa bahagia ke hati saudaranya semuslim. Karena segala amalan yang mubah itu seperti kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Bisa menjadi pahala jika diniatkan berbuat baik, bisa menjadi dosa jika diniatkan berbuat buruk.” Jadi, hukum ucapan selamat yang seperti ini, berkisar antara mubah dan anjuran (mustahab).”

Kedua, tahni-ah atas tibanya waktu tertentu.

Seperti tahun baru, bulan baru, hari tertentu atau hari raya. Hukumnya terbagi menjadi 3:

1. Boleh

Yaitu ucapan selamat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Karena ada dasarnya dari riwayat-riwayat para sahabat dan ulama salafus sholih.

2. Dilarang

Yaitu ucapan selamat yang mengandung tasyabuh (keserupaan) dengan orang kafir, seperti selamat ulang tahun, selamat tahun baru (masehi), apalagi selamat hari raya orang-orang kafir.

3. Diperdebatkan kebolehannya

Yaitu ucapan selamat tahun baru Islam/hijriyah.

Perbedaan pendapat terkait ucapan tahun baru Islam

Ada ulama yang mengatakan:

1. boleh, karena ini masuk ke ranah adat (budaya) bukan ibadah, sehingga hukum asalnya boleh. Selain itu juga ada amal ibadah memasukkan bahagia ke hati seorang muslim.

Diantara ulama yang memegang pendapat ini adalah Syekh Abdul Karim Al-Khudhoir.

2. tidak boleh, karena ada unsur menyerupai kaum kafir, ciri khas mereka suka mengucapkan selamat tahun baru. Selain itu juga masuk ke ranah bidah karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan sahabat, padahal sebabnya ada di zaman beliau dan tidak ada penghalang untuk melakukannya.

Diantara yang berpendapat ini adalah Syekh Sholih Al Fauzan dan Syekh Ali bin Abdul Qodir Assegaf (pengasuh situs Ilmiyah dorar.net) –hafidzohumallah

3. boleh merespon saja, tidak mengawali.

Diantara yang berpendapat ini adalah Syekh Abdul Aziz bin Baz dan Syekh Sholih Al Utsaimin –rahimahumallah-.

Kami condong kepada pendapat yang ketiga ini; yaitu tidak mengawali ucapan selamat tahun baru Islam namun tetap merespon baik orang yang mengucapkan selamat tahun baru Islam kepada kita. Alasannya karena pendapat ini pertengahan/moderat antara kubu yang melarang dan yang membolehkan.

Karena memang riilnya tidak ada dalil yang melarang tahni-ah seperti ini, tidak pula ada dalil yang memerintahkan. Sebagaimana penjelasan Syekh Abdul Karim Al-Khudhoir saat menukil pernyataan Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah,

لا ابتدئ بالتهنئة فإن ابتدأني أحد أجبته

“Aku tidak memulai tahni-ah, tapi jika ada orang yang mengucapkan tahni-ah kepadaku, maka akan aku respon baik.”

Syekh lalu menjelaskan,

لأن جواب التحية واجب وأما الابتداء بالتهنئة فليس سنة مأمورا بها ولا هو أيضا مما نهي عنه

“Karena menjawab ucapan selamat itu kewajiban. Adapun memulai ucapan selamat (tahun baru), bukan termasuk sunah yang diperintahkan, namun bukan pula termasuk perbuatan yang dilarang” (Islamqa.info).

Sehingga sebagai respon untuk kubu yang melarang; yang argumen mereka juga sangat layak dipertimbangkan: kita tidak mengawali ucapan selamat tahun baru.

Kemudian respon terhadap kubu yang membolehkan yang argumen mereka juga kuat: jika ada yang mengucapkan selamat tahun baru, kita respon baik.

Alasan mengapa harus merespon baik

Alasan mengapa harus merespon dengan baik, diantara karena:

Pertama, mengamalkan ayat,

وَإِذَا حُيِّيتُم بِتَحِيَّةٖ فَحَيُّواْ بِأَحۡسَنَ مِنۡهَآ أَوۡ رُدُّوهَآۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٍ حَسِيبًا

“Dan apabila kamu dihormati dengan suatu (salam) penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (penghormatan itu, yang sepadan) dengannya. Sungguh, Allah memperhitungkan segala sesuatu.” (QS. An-Nisa: 86).

Kedua, Islam tidak melarang ucapan selamat secara mutlak: Nabi pernah mengucapkan selamat atas tibanya Ramadhan, sahabat Tholhah bin Ubaidillah pernah menyampaikan ucapan selamat kepada sahabat Ka’ab bin Malik di hadapan Nabi, namun Nabi Shalallahu alaihi wasallam tidak mengingkari.

Ketiga, ada unsur amalan berpahala besar berupa memasukan kebahagiaan ke dalam hati seorang muslim (jika diniatkan mengharap pahala itu).

Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda,

أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ , وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ , أَوْ تَكَشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً , أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا , أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا , وَلأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخِ فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ يَعْنِي مَسْجِدَ الْمَدِينَةِ شَهْرًا

“Orang yang paling dicintai Allah Ta’ala adalah yang paling banyak memberikan manfaat kepada manusia. Dan amalan yang paling dicintai Allah adalah memasukkan rasa bahagia kedalam hati seorang muslim, mengangkat kesusahan orang lain, membayarkan hutangnya atau menyelamatkannya dari rasa laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan lebih aku cintai daripada beriktikaf di masjid ini -masjid Nabawi- selama sebulan penuh” (HR. Thabrani di dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 13280, 12: 453. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan sebagaimana disebutkan dalam Shahih Al Jaami’ no. 176).

Demikian paparan yang kami sampaikan berdasarkan pada keterbatasan ilmu yang sampai kepada kami, semoga Allah memaafkan kesalahan kami dan menerima tulisan ini sebagai pahala di akhirat.

Wallahua’lam bis showab.

Penulis: Ahmad Anshori

Sumber: https://muslim.or.id/67998-ucapan-selamat-tahun-baru-hijriyah-bolehkah.html

Aku Cinta Negeriku sebagaimana Rasulullah Mencintai Negerinya

Sejak kecil saya diajarkan untuk mencintai negeri ini. Dari sekedar menghafal lagu kebangsaan, mengikuti upacara hingga menghafalkan nama-nama para pahlawan. Didikan itu membekas sampai saat ini sebagai sebuah kesadaran bahwa saya orang Indonesia yang wajib menjaga negeri ini.

Kecintaan saya terhadap negara ini tetap kokoh hingga pada akhirnya ada yang membuat saya untuk cinta kepada negeri ini. Bukan karena ada negeri lain yang harus saya cintai. Namun, ada istilah yang menggetarkan iman saya bahwa mencintai negeri ini adalah perbuatan yang bertentangan dengan keyakinan saya.

Banyak gangguan dalam diri saya akibat perkataan yang mengatakan mencintai negeri ini adalah bagian dari perbuatan salah. Cukuplah saya mencintai agama saya, tidak perlu mencintai negeri ini. Mulailah saya meragukan berbagai hal yang membanggakan seperti menghormati bendera merah putih. Itu perbuatan syirik dan haram dalam pikiran dan keyakinan saya.

Namun, rasanya tidak bisa hidup seperti ini. Berada dalam lingkungan besar yang saya dibesarkan dalam sebuah negeri, tetapi saya merasa sendiri dan tidak merasa membanggakan negeri ini. Saya mulai mencari keresahan saya dengan menanyakan hal itu kepada orang yang alim.

Saya berusaha menemukan jawaban kepada orang yang menguasai keagamaan, bukan kepada orang yang menguasai emosi keagamaan. Sampailah pada suatu ketika saya mendapatkan penerangan bahwa Rasulullah pun mencintai negerinya. Rasul pembawa risalah pun mencintai tanah kelahirannya.

Mencintai Tanah Kelahiran adalah Sunnah

Dalam sebuah hadist :

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فَنَظَرَ إِلَى جُدُرَاتِ الْمَدِينَةِ أَوْضَعَ نَاقَتَهُ وَإِنْ كَانَ عَلَى دَابَّةٍ حَرَّكَهَا مِنْ حُبِّهَا ……. وَفِي الْحَدِيثِ دَلَالَةٌ عَلَى فَضْلِ الْمَدِينَةِ وَعَلَى مَشْرُوعِيَّة حُبِّ الوَطَنِ والحَنِينِ إِلَيْهِ .

Artinya: “Diriwayatkan dari sahabat Anas; bahwa Nabi SAW ketika kembali dari bepergian, dan melihat dinding-dinding Madinah beliau mempercepat laju untanya. Apabila beliau menunggangi unta maka beliau menggerakkanya (untuk mempercepat) karena kecintaan beliau pada Madinah. (HR. Bukhari, Ibnu Hibban, dan Tirmidzi).

Cinta terhadap negeri adalah fitrah manusia yang tidak bisa dinafikan sebagaimana Rasulullah mencintai tanah kelahiran dan masyarakat Madinah yang dibangun bersama. Mencintai negeri yang kita tinggali bukan bagian dari hal buruk bahkan bertentangan dengan syariat. Justru mencintai negeri dan tanah kelahiran adalah bagian dari teladan Nabi.

Menjadi cukup terang bagi saya bahwa sesungguhnya mencintai negeri bukan hal yang bertentangan dengan mencintai agama. Justru mencintai negeri ini adalah bagian mencintai agama ini. Ketika kita menjaga negeri ini sesungguhnya kita sedang menjaga agama kita. Tidak ada hal yang perlu dirisaukan dari mencintai sebuah negeri dan menjaganya.

Tidakkah Nabi mengajarkan kecintaan terhadap tanah air dan merindukan tempat yang kita tinggali sebagai tempat berlindung?

ISLAM KAFFAH

Belajar dari Kisah Nuh dan Putranya

 AIR bah baru saja surut. Kapal yang membawa Nabi Nuh Alaihissalam (AS) dan sedikit kaumnya baru saja berlabuh. Namun rasa pilu menyaksikan buah hatinya tenggelam bersama gelombang belum pupus. Sang anak tak mau mengikuti seruan ayahnya agar segera naik ke dalam perahu.

Nuh AS lalu berdoa kepada Allah Ta’ala, menagih apa yang dikiranya sebuah janji dari Tuhannya, bahwa Tuhannya akan menyelamatkan keluarganya. “Ya Tuhanku,” pinta Nuh AS. “Sesungguhnya anakku adalah termasuk keluargaku, dan janji-Mu itu pasti benar. Engkau adalah hakim yang paling adil,” (Hud [11]: 45).

Namun Allah Ta’ala menolak doa Nuh AS. Allah Ta’ala mengingatkan bahwa kekafiran telah memutus hubungan keluarga. Ikatan kasih sayang barangkali masih ada. Namun, ikatan yang lebih hakiki telah hilang karena mereka berbeda jalan, berbeda pula tujuan.

Allah Ta’ala berfirman, “Wahai Nuh! Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, karena perbuatannya sungguh tidak baik. Sebab itu janganlah engkau memohon kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui (hakekatnya). Aku menasehatimu agar engkau tidak termasuk orangyang bodoh,” (Hud [11]:46).

Inilah pelajaran penting buat kita. Perbedaan jalan bisa terjadi pada siapa saja bila Allah Ta’ala menghendaki.

Nuh AS adalah seorang Nabi. Ia tentu amat paham soal bagaimana seharusnya berdakwah. Ia juga memiliki kesabaran yang luar biasa. Allah Ta’ala telah mengujinya selama 950 tahun. Selama itu pula ia tak pernah berhenti berdakwah meskipun tak banyak dari kaumnya yang mengikuti jalannya.

Logikanya, dengan kesabaran dan pengetahuan yang luas seperti itu, serta panduan wahyu dari Allah Ta’ala, Nuh AS akan mampu melunakkan hati putranya sendiri. Tapi nyatanya Allah Ta’ala berkehendak lain. Nuh AS tak bisa mengajak Kan’an mengikut jalan yang tiap hari ia dakwahkan kepada kaumnya.

Jika perbedaan jalan seperti ini dialami oleh orang kebanyakan, tentu itu bukanlah kejadian luar biasa. Namun, bila keadaan ini dialami seorang Nabi, maka itu jelas luar biasa. Ada hikmah besar yang ingin Allah Ta’ala tunjukkan kepada umat manusia setelahnya agar bisa mengambil pelajaran berharga.

Seringkali kita menyangka, anak akan ikut ke mana ayahnya pergi. Padahal belum tentu. Kita hanya bisa berikhtiar agar kelak anak keturunan kita bakal meneruskan perjuangan kita.

Namun, Allah-lah yang berkehendak atas apa akan terjadi nanti. Boleh jadi anak keturunan kita kelak justru tak sejalan dengan kita. Bahkan bukan sekadar tak sejalan, namun juga tak satu tujuan, sebagaimana Nabi Nuh AS dan putranya. Dan, yang lebih mengenaskan, mereka akan berbenturan dengan kita. Na’udzubillahi mindzalik!

Karena itu, jangan pernah berhenti mendoakan mereka. Berharaplah sepenuh jiwa kepada Allah Ta’ala. Namun, jika kehendak Allah Ta’ala tak sama dengan apa yang kita inginkan, maka bertawakallah kepada Allah Ta’ala.

Manusia seperti Nabi Nuh AS saja –yang tak pernah terputus doa, ikhtiar, dan kesabarannya– bisa Allah Ta’ala takdirkan berseberangan jalan dengan putranya sendiri. Apalagi kita manusia biasa. Wallahu a’lam.*

HIDAYATULLAH

Amalan Sunnah 10 Muharram yang Perlu Kita Baca

Di dalam Islam, tanggal 10 Muharram disebut dengan hari ‘Asyura. Selain puasa, terdapat beberapa amalan sunnah yang terdiri dari zikir dan doa yang dianjurkan untuk dibaca pada 10 Muharram. Berdasarkan keterangan dalam kitab Kanzun Najah Was Surur, berikut beberapa amalan sunnah 10 Muharram yang perlu kita baca.

Pertama, membaca ayat Kursi sebanyak 360 kali.

Kedua, membaca surah Al-Ikhlas sebanyak 1000 kali.

Ketiga, membaca zikir hasbiyallah berikut sebanyak 70 kali;

حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ

Hasbunallaahu wa ni’mal wakiilu ni’mal mawlaa wa ni’man nashiir.

Keempat, membaca doa berikut sebanyak 10 kali;

سُبْحَانَ اللهِ مِلْءَ المِيْزَانِ وَمُنْتَهَى الْعِلْمِ وَمَبْلَغَ الرِّضَا وَزِنَةَ الْعَرْشِ، وَالْحَمْدُ للهِ مِلْءَ الْمِيْزَانِ وَمُنْتَهَى الْعِلْمِ وَمَبْلَغَ الرِّضَا وَزِنَةَ الْعَرْشِ، وَاللهُ أكْبَرُ مِلْءَ المِيْزَانِ وَمُنْتَهَى الْعِلْمِ وَمَبْلَغَ الرِّضَا وَزِنَةَ الْعَرْشِ لاَ مَلْجَأَ وَلاَ مَنْجَا مِنَ اللهِ إِلَّا إِلَيْهِ

سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ الشَّفْعِ وَالْوِتْرِ وَعَدَدَ كَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ كُلِّهَا، وَالْحَمْدُ للهِ عَدَدَ الشَّفْعِ وَالْوِتْرِ وَعَدَدَ كَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ كُلِّهَا ، واللهُ أكْبَرُ عَدَدَ الشَّفْعِ وَالْوِتْرِ وَعَدَدَ كَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ كُلِّهَا.

أسْأَلُكَ السَّلاَمَةَ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ، وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Maha suci Allah, sepenuh mizan (timbangan) dan sepanjang batas ilmu pengetahuan, serta sejumlah besar keridhaan, dan seindah dekorasi hiasan ‘Arsy. Segala puji bagi Allah, sepenuh mizan (timbangan) dan sepanjang batas ilmu pengetahuan, serta sejumlah besar keridhaan, dan seindah dekorasi hiasan ‘Arsy. Maha Besar Allah, sepenuh mizan (timbangan) dan sepanjang batas ilmu pengetahuan, serta sejumlah besar keridhaan, dan seindah dekorasi hiasan ‘Arsy. Tidak ada tempat berlindung dan tempa yang aman dari (kehendak buruk) Allah kecuali kepada Allah sendiri.

Maha suci Allah, dengan segenap dan sejumlah bilangan genap-ganjil. Dan sejumlah kalimat-kalimat (kekuasaan) Allah yang sempurna. Segala puji bagi Allah, dengan segenap dan sejumlah bilangan genap-ganjil. Dan sejumlah kalimat-kalimat (kekuasaan) Allah yang sempurna. Maha Besar Allah, dengan segenap dan sejumlah bilangan genap-ganjil. Dan sejumlah kalimat-kalimat (kekuasaan) Allah yang sempurna.

Aku memohon keselamatan kepada-Mu dengan rahmat-Mu, wahai Dzat yang paling belas kasih dari orang orang yang belas kasih. Tidak ada kekuatan untuk melakukan ibadah dan tidak ada kekuatan untuk meninggalkan maksiat kecuali kekuatan dari Allah. Semoga Allah memberikan rahmat kepada pemimpin kami Nabi Muhammad dan kepada keluarga dan sahabat-Nya, semuanya. Segala puji bagi Allah, pengatur alam semesta.

Kelima, membaca doa berikut;

اَللَّهُمَّ يَا مُفَرِّجَ كُلِّ كَرْبٍ، وَيَا مُخْرِجَ ذِي النُّونِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، وَيَا جَامِعَ شَمْلِ يَعْقُوبَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، وَيَا غَافِرَ ذَنبِ دَاوُدَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، وَيَا كَاشِفَ ضُرِّ أَيُّوبَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، وَيَا سَامِعَ دَعْوَةِ مُوسَى وَهَارُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، وَيَا خَالِقَ رُوحِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَبِيبِكَ وَمُصْطَفَاكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، وَيَا رَحْمَنَ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنتَ إِقْضِ حَاجَاتِنَا فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَأَطِلْ أَعْمَارَنَا فِي طَاعَتِكَ وَمَحَبَّتِكَ وَرِضَاكَ، يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ، وَأَحْيِنَا حَيَاةً طَيِّبَةً، وَتَوَفَّنَا عَلَى اْلإِسْلاَمِ وَاْلإِيمَانِ، يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِين

Ya Allah, wahai Yang membebaskan segala kesulitan. Wahai Yang melepaskan Dzin-Nun (Nabi Yunus) di hari ‘Asyura. Wahai Yang menghimpun kembali yg berserak Nabi Ya’qub di hari ‘Asyura. Wahai Yang mengampuni dosa Nabi Daud di hari ‘Asyura. Wahai Yang menyembuhkan derita Nabi Ayub di hari ‘Asyura. Wahai Yang mendengar doa Nabi Musa dan Nabi Harun di hari ‘Asyura. Wahai Yang menciptakan ruh Nabi Muhammad Saw di hari ‘Asyura. Wahai Yang mengasihi dunia dan akhirat. Panjangkanlah umurku dalam ibadah dan cinta kepada-Mu. Wahai Yang maha Pengasih diantara yang pengasih. Hidupkan-lah aku dalam kehidupan yang baik, matikanlah aku dalam kepasrahan dan percaya kepada-Mu. Wahai Yang maha Pengasih diantara yang Pengasih.

Keenam, membaca doa berikut;

اللهم يَا مُحْسِنُ قَدْ جَاءَكَ الْمُسِيْءُ، وَقَدْ أَمَرْتَ يَا مُحسِنُ بِالتَّجَاوُزِ عَنِ الْمُسِيْءِ، فَأَنْتَ الْمُحْسِنُ وَأَنَا الْمُسِيْءُ، فَتَجَاوَزْ عَنْ قَبِيْحِ مَا عِنْدِيْ بِجَمِيْلِ مَا عِنْدَكَ، فَأَنْتَ بِالْبِرِّ مَعْرُوْفٌ، وَبِاْلإِحْسَانِ مَوْصُوْفٌ، أَنِلْنِيْ مَعْرُوْفَكَ وَأَغْنِنِيْ بِهِ عَنْ مَعْرُوْفِ مَنْ سِوَاكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، وَصَلَّى اللهُ تَعَالَى عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ

Ya Allah, wahai Dzat yang baik, telah datang kepada-Mu orang yang jahat dan Engkau telah menyuruh untuk memaafkan orang yang jahat. Engkau Maha Baik dan aku orang jahat, maka ampunilah kejahatanku dengan keindahan diri-Mu. Engkau dikenal dengan selalu berbuat baik, dan disifati dengan ihsan. Berilah aku kebaikan-Mu dan cukupkan aku dengannya dari kebaikan selain diri-Mu, wahai Dzat yang paling pengasih di antara para pengasih. Semoga Allah senantiasa memberikan rahmat pada junjungan kami Nabi Muhammad dan keluarga serta sahabatnya, juga memberikan keselamat hingga hari pembalasan.

BINCANG SYARIAH

Mengobati Kegalauan (Bag. 5)

Baca pembahasan sebelumnya  Mengobati Kegalauan (Bag. 4)

Memperbanyak mengingat Allah ta’ala (dzikrullah)

Di antara perkara yang sangat besar pengaruhnya dalam melapangkan hati, menenangkan jiwa, mengusir kegalauan dan kecemasan adalah memperbanyak mengingat Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman,

اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ

“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram…” (QS. Ar-Ra’du: 28)

Hakikat ketenangan adalah dengan dzikrullah. Tidak ada yang lebih lezat, nikmat, dan manis melebihi kecintaan kepada Sang Pencipta serta mengenal-Nya. Semakin besar kadar seseorang mencintai dan mengenal-Nya, maka semakin besar pula kadar mengingat-Nya dan dzikirnya. Di antara dzikir yang biasa diucapkan seorang hamba adalah tasbih, tahlil, takbir, dan yang selainnya. (Taisir al-karim ar-rahman, hal. 417)

Di antara dzikir paling efektif yang mengusir kegalauan besar yang terjadi menjelang kematian adalah ucapan “Laa ilaaha illallaah.” Sebagaimana Thalhah ceritakan kepada ‘Umar,

سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كَلِمَةٌ لَا يَقُولُهَا عَبْدٌ عِنْدَ مَوْتِهِ إِلَّا فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَتَهُ وَأَشْرَقَ لَوْنُهُ فَمَا مَنَعَنِي أَنْ أَسْأَلَهُ عَنْهَا إِلَّا الْقُدْرَةُ عَلَيْهَا حَتَّى مَاتَ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِنِّي لَأَعْلَمُهَا فَقَالَ لَهُ طَلْحَةُ وَمَا هِيَ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ هَلْ تَعْلَمُ كَلِمَةً هِيَ أَعْظَمَ مِنْ كَلِمَةٍ أَمَرَ بِهَا عَمَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَقَالَ طَلْحَةُ هِيَ وَاللَّهِ هِيَ‏.‏

“Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, ‘Suatu kalimat yang tidaklah seorang hamba mengucapkan suatu kalimat tersebut sebelum kematiannya kecuali Allah akan hilangkan kesusahan darinya dan Allah akan membuat warna kulitnya bercahaya.’ Tidak ada yang menghalangiku untuk bertanya kepada Nabi kecuali rasa takut tidak dapat memenuhinya dan saya tidak menanyakannya sampai beliau meninggal. Kemudian ‘Umar radhiyallahu ‘anhu  mengatakan, ‘Aku tahu apa itu.’ Thalhah berkata kepadanya, ‘Apa itu?’ ‘Umar berkata, ‘Apakah kamu tahu ada kalimat yang lebih agung dari kata yang dia perintahkan kepada pamannya ketika dia sekarat, ‘La ilaha illallah’?’ Thalhah berkata, ‘Kamu benar. Demi Allah, itulah kalimatnya.’.” (HR. Ahmad 1/161)

Salat

Allah ta’ala berfirman,

وَاسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِ ۗ وَاِنَّهَا لَكَبِيْرَةٌ اِلَّا عَلَى الْخٰشِعِيْنَۙ’

“Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Dan (salat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk,” (QS. Al-Baqarah: 45)

Dari Hudzaifah  radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan,

كان النبيُّ – صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم – إذا حَزَبَهُ أمرٌ صَلَّى

Apabila ada suatu perkara yang menyusahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau salat.” (HR. Abu Dawud, dinilai hasan dalam shahih al-jami’ no 4703)

Jihad di jalan Allah ta’ala

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

عليكم بالجهادِ في سبيلِ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فإنه بابٌ من أبوابِ الجنةِ يُذهبُ اللهُ به الهمَّ والغمَّ

Hendaklah kalian jihad di jalan Allah tabaraka wa ta’ala, sesungguhnya itu adalah salah satu pintu surga, Allah hilangkan dengannya kegalauan dan kecemasan.” (HR. Ahmad dari Abu Umamah dari Abdullah bin Shamit radhiyallahu ‘anhuma 5/319, dinilai sahih dalam shahih al-jami’ 4063).

Menceritakan nikmat-nikmat Allah ta’ala baik yang nampak maupun tersembunyi

Menceritakan nikmat-nikmat yang Allah ta’ala berikan kepada kita dapat menghilangkan kegalauan dan memotivasi untuk bersyukur. Bersyukur merupakan derajat yang paling tinggi ketika seseorang sedang dalam keadaan fakir, sakit, atau tertimpa musibah yang lainnya. Jika seseorang membandingkan nikmat yang diterimanya dengan derita yang dirasakannya maka akan dia sadari bahwa ternyata nikmat yang dia dapatkan jauh lebih banyak dibandingkan dengan musibah yang dirasakan. Apabila dia bersabar, rida dan bersyukur dengan musibah yang didapatkannya maka musibah itu akan terasa lebih ringan. Jika seorang hamba mengingat besarnya pahala dan balasan bagi orang yang sabar dan rida ketika tertimpa musibah maka ia akan membuat hal-hal yang pahit menjadi manis.

Di antara cara untuk menumbuhkan rasa syukur adalah mempraktikkan hadis yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis sahih dari Abu Hurairah,

 انظُروا إلى مَن هو أسفَل منكُمْ فإنَّه أجْدَرُ أنْ لا تَزْدَروا نعمَةَ اللهِ  عَلَيْكُمْ

Lihatlah orang yang di bawah kalian dan jangan melihat orang yang di atas kalian, Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah pada kalian.” (HR. Tirmidzi dalam sunannya no. 2513, beliau mengatakan ini hadis hasan sahih, di dalam sahih al-jami’: 1507)

Apabila seorang hamba menggunakan sudut pandang ini dalam kehidupannya, maka dia akan melihat dirinya pasti berada di atas kondisi orang lain dalam hal kesehatan, rezeki, dan selainnya, bagaimanapun keadaannya. Dengan begitu, hilanglah kerisauan, galau, dan cemasnya, diikuti dengan bertambah rasa bahagianya. Jika seseorang semakin merenungkan nikmat yang telah Allah ta’ala berikan, baik yang nampak atau tidak, maka dia akan menyadari bahwa nikmat yang diterimanya sangatlah banyak. Oleh karena itu, hilanglah kegalauan dan kecemasan dalam hatinya.

Menyibukkan diri dengan aktivitas atau ilmu yang bermanfaat

Menyibukkan diri dengan aktivitas atau ilmu yang bermanfaat dapat mengusir rasa galau di hatinya. Dengan sebab ini, kecemasaan akan terlupakan, kegembiraan datang, dan bertambahlah rasa semangatnya. Ini merupakan sebab umum, baik bagi orang beriman maupun tidak. Akan tetapi, tentu berbeda antara orang yang beriman dengan yang tidak. Bagi orang beriman, kesibukannya tersebut akan membuahkan pahala baginya apabila dilakukan dengan ikhlas dan niat beribadah kepada Allah ta’ala. Dengan seperti itu, maka cara ini akan lebih efektif dalam mengusir kegalauan, kecemasan dan kesedihan. Betapa banyak orang yang mendapatkan masalah berupa kecemasan dan kekeruhan hati sehingga menimpa berbagai macam penyakit padanya, ternyata obat yang mujarab baginya adalah melupakan sebab kecemasan dan kekeruhan tersebut dengan menyibukkan diri dengan hal-hal yang menjadi tugasnya. Adapun kesibukan yang sepatutnya dilakukan adalah aktivitas yang membuat jiwanya nyaman serta aktivitas yang menjadi kegemarannya (dengan catatan kegemaran tersebut bukan kemaksiatan), karena dengan begitu dia akan lebih mudah melupakan kecemasan dan kegalauannya. (Al-Wasail al-mufidah lil hayati as-sa’iidah: Ibnu Sa’di)

Disarikan dari kitab ’Ilaajul Humuum, karya Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid  hafidzahullahu ta’ala

Penulis: apt. Pridiyanto

Sumber: https://muslim.or.id/67982-mengobati-kegalauan-bag-5.html

Keajaiban Silaturahim

Keajaiban silaturahim ini akan terasa ketika kita secara rutin dan konsisten memeliharanya.

Manusia merupakan zoon politicon (makhluk sosial). Di mana pun dan kapan pun ia berada selalu membutuhkan manusia lainnya. Untuk bisa saling membantu, saling menolong, mendukung, bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan hidup di dunia. Oleh karena itu, di dalam Islam, silaturahim sangatlah dianjurkan untuk dilestarikan. 

Silaturahim berasal dari dua kata. Sillah (hubungan) dan Rahim (kasih sayang), hubungan kasih sayang karena kekeluargaan. Rahim yang artinya juga tempat janin, menunjukkan kedekatan. Secara umum dapat diartikan hubungan yang dilandaskan kasih sayang.

Sementara itu, silaturahim diartikan sebagai tali persahabatan dan persaudaraan. Di sini perbedaannya. Silaturahim tidak terbatas hanya kepada keluarga. Ketemu teman ya silaturahim, ketemu siapa saja ya silaturahim. Sementara itu, silaturahim hanya terbatas pada keluarga (durriyah) saja.

Apa sebenarnya kehebatan silaturahim ini? Sehingga, Rasul sampai memberikan jaminan luar biasa seperti yang tertuang dalam hadisnya: “Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka sambunglah tali silaturahim,” (HR Bukhari Muslim).

Inilah yang menjadi dasar bahwa silaturahim memiliki kandungan pupuk yang sangat produktif menumbuhkan pohon-pohon rezeki sekaligus memperpanjang umur. Sudah banyak yang membuktikannya. Termasuk penulis sendiri.

Saat ini, masyarakat mengalami kerengangan sosial akibat pandemi. Kita semua dipaksa menjadi kaum rebahan. Akibatnya, hubungan satu sama lain hanya terbatas pada hubungan handphone (HP) alias silatuhape. Fakta ini semakin membuka mata kita bahwa silaturahim telah mengalami proses atrofi (penyusutan terus-menerus). Sehingga, hakikat dan makna agung silaturahim pun menjadi semakin memudar. Dari sinilah, tulisan ini memberikan reminder (pengingat) pada kita semua.

Pertama, jangan sampai silaturahim yang telah berubah menjadi silatuhape di masa pandemi ini, menjadi alasan kita tetap tidak mau mendatangi teman, sahabat, dan sanak saudara. Sehingga, kita sulit sekali masuk surga seperti peringatan dalam hadis ini: “Tidak akan masuk surga orang yang memutus hubungan silaturahim.” (HR Bukhari dan Muslim). Jangan sampai! Naudzubillah!

Kedua, makna bahwa dengan bersilaturahim mampu menumbuhkan pohon-pohon rezeki adalah makna pilihan (opsional). Silakan, siapa saja boleh memilih opsi itu atau tidak. Rezeki ini pun ada yang sifatnya langsung dan ada pula yang tidak langsung dirasakan. Misalnya saja, dengan bertemu, kita bisa menawarkan produk bisnis, membangun bisnis bersama atau bersinergi dalam bisnis yang berbeda.

Jadi, keajaiban silaturahim ini akan terasa ketika kita secara rutin dan konsisten memeliharanya. Demikian sebaliknya. Kalau silaturahim ini dilakukan hanya ala kadarnya, maka keajaiban itu akan semakin menjauh dari kita.

Wallahu a’lam.

OLEH ABDUL MUID BADRUN 

KHAZANAH REPUBLIKA

Jamaah Umroh Mulai Berdatangan

Jamaah umroh asing yang melakukan umroh pertama di tahun baru Islam akan tiba di Kerajaan hari ini, Jumat (13/8). Informasi ini disampaikan anggota Komite Nasional Haji dan Umroh, Hani Ali Al-Amiri.

Para peziarah dari Nigeria akan menjadi yang pertama tiba pada pukul 9.00 malam waktu setempat, di Bandara King Abdulaziz Jeddah.

Dilansir di Saudi Gazette, Al-Amiri menegaskan perusahaan pelayanan siap menerima jamaah dari bandara dan hotel, serta mengawasi masuknya mereka ke Masjidil Haram.

Izin umroh akan dilakukan melalui aplikasi “Eatmarna”. Aplikasi yang sama juga akan mengatur upaya tindak lanjut masing-masing kelompok selama ibadah umrah atau saat mengunjungi Madinah.

Al-Amiri menambahkan jamaah dapat membeli seluruh program umrah, termasuk penerbangan, transportasi, hotel, serta memilih perusahaan umrah melalui platform elektronik.

Mereka dapat mendaftar program Umroh dan melakukan pembelian paket layanan melalui e-portal “Maqam”.

Dalam pernyataan otoritas terkait, perusahaan umrah wajib mengalokasikan 10 persen kamar hotel, di lingkungan akomodasi jamaah asing, untuk isolasi. Jumlah tamu di setiap kamar tidak boleh melebihi dua orang, untuk memastikan prosedur keselamatan jamaah dari virus Covid-19.

Kementerian Haji dan Umroh juga menekankan bus yang akan mengangkut jamaah haji Makkah dan Madinah tidak melebihi 50 persen dari kapasitas. Hal ini merupakan bagian dari syarat komitmen untuk menerapkan tindakan pencegahan.  

KHAZANAH REPUBLIKA

Lima Pesan Ali Bin Abi Thalib

ABU  Nu’aim al-Ashbahani mencatat pesan dalam kitab Hilyatul Auliya’, bahwa ‘Ali bin Abi Thalib berkata, “Hafalkanlah lima hal dari saya; yang mana seandainya kalian mengendarai unta untuk mencarinya, pasti unta itu sudah binasa sebelum kalian mendapatkannya; yaitu janganlah seorang hamba mengharapkan selain Tuhannya, janganlah ia merasa takut kecuali kepada dosanya sendiri, jangan sampai orang bodoh merasa malu untuk bertanya tentang sesuatu yang tidak ia ketahui, jangan sampai orang ‘alim merasa malu untuk mengatakan ‘Allah lebih tahu (wallahu a’lam)’ tatkala ia ditanya tentang sesuatu yang tidak ia ketahui; dan kesabaran (bila dikaitkan dengan) iman adalah bagaikan kedudukan kepala dari tubuh, dan tidak ada keimanan bagi orang yang tidak memiliki kesabaran.”

Pesan pertama adalah berharap hanya kepada Allah dan percaya penuh kepada-Nya. Inilah inti dari sikap zuhud.

Oleh karenanya, seorang ahli ibadah dari generasi Tabi’in, Yunus bin Maisarah bin Halbas al-Jublani, berkata, “Kezuhudan di dunia itu bukan dengan mengharamkan yang halal, tidak pula dengan menyia-nyiakan harta, akan tetapi kezuhudan di dunia adalah jika kepercayaanmu kepada apa yang ada di tangan Allah lebih kuat dibanding kepercayaanmu kepada apa yang ada di tanganmu; jika keadaanmu ketika tertimpa musibah dan keadaanmu ketika tidak tertimpa adalah sama; dan jika orang yang mencelamu maupun menyanjungmu dalam kebenaran adalah sama.” (Riwayat al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman).

Akan tetapi, dewasa ini betapa banyak orang yang “merasa mampu” sehingga lalai dari berdoa, semata-mata mengandalkan rekadayanya sendiri, dan benar-benar lupa kepada Allah. Ini bukan berarti kita disuruh tidak berupaya dan semata-mata bersandar pada “kepercayaan”, karena Rasulullah ﷺ sendiri menganjurkan umatnya untuk berusaha mencari yang halal, serta mencela orang yang mengemis, malas dan hanya menjadi beban orang lain. Masalahnya tidak boleh dikacaukan dan dicampuradukkan.

Pesan kedua adalah senantiasa meneropong diri sendiri, ber-muhasabah dan bertaubat. Sebagai manusia biasa, kita tidak ditakdirkan untuk ma’shum (terpelihara dari dosa), dan Allah pun tidak membebani kita melebihi kemampuan kita.

Namun,  berbeda antara mereka yang sengaja berkubang dalam kemaksiatan dan tenggelam dalam kedurjanaan, dengan mereka yang berusaha sekuat tenaga menaati Allah dan menjauhi dosa-dosa, lalu tersandung kesalahan-kesalahan tanpa disengaja. Kelompok pertama itu tidak pernah menyesal, tetapi yang kedua selalu beristighfar dan memperbaiki diri. Tentu saja, Allah tidak akan memperlakukan mereka secara sama.

Pesan ketiga adalah anjuran untuk tidak segan-segan bertanya dan belajar, ketika kita tidak tahu. Bukankah kebanyakan penyimpangan dan kesesatan bersemi dari benih-benih kebodohan, prasangka, dan kemalasan mencari ilmu?

Sebagian besar pengikut aliran sesat adalah orang-orang bodoh yang tidak mau belajar, lalu menuruti hawa nafsunya yang telah dihias oleh syetan. Mereka bukan tidak bersekolah, tetapi tidak mengerti urusan agamanya, walau sangat mahir dalam urusan duniawi. Rasulullah ﷺ pernah bersabda Rasulullah pun bersabda;

إِنَّ اللَّهَ يُبْغِضُ كُلَّ جَعْظَرِيٍّ جَوَّاظٍ سَخَّابٍ بِالْأَسْوَاقِ جِيفَةٍ بِاللَّيْلِ حِمَارٍ بِالنَّهَارِ عَالِمٍ بِأَمْرِ الدُّنْيَا جَاهِلٍ بِأَمْرِ الْآخِرَةِ

“Sesungguhnya Allah membenci setiap orang yang keras-kasar-angkuh tabiatnya, gemar mengumpulkan harta namun pelit, suka berteriak-teriak di pasar-pasar, seperti bangkai di malam hari dan seperti keledai di siang hari, sangat mengerti urusan dunia tetapi tidak tahu-menahu urusan akhirat.” (Riwayat Ibnu Hibban dari Abu Hurairah, dengan sanad shahih ‘ala syarthi muslim).

Pesan keempat adalah tidak malu mengakui ketidaktahuan kita, jika ditanya atas sesuatu yang tidak kita mengerti. Penyakit “segan” seperti ini mudah menghinggapi para ulama, profesor, guru, trainer, penceramah, dan tokoh-tokoh terpandang.

Penyakit seperti ini juga melanda orang yang sudah terkenal dan dikagumi oleh banyak pengikut. Dalam hal ini, ‘Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Betapa sejuknya di hati, ketika saya ditanya tentang sesuatu yang saya sendiri tidak mempunyai ilmu tentangnya, kemudian saya katakan: Allahu a’lam.” (Riwayat Darimi, dengan sanad lemah).

Dikisahkan pula, bahwa seseorang datang kepada Ibnu ‘Umar lalu bertanya kepada beliau tentang sesuatu hal. Beliau menjawab, “Saya tidak punya ilmunya.” Beliau kemudian berpaling setelah orang itu beranjak pergi, dan berkata, “(Inilah) sebaik-baik ucapan yang dikatakan oleh Ibnu ‘Umar! Ia ditanya tentang sesuatu yang tidak ia ketahui, lalu ia menjawab: saya tidak punya ilmunya.” (Riwayat Darimi, dengan isnad hasan).

Pesan kelima adalah berpegang kepada kesabaran. Sungguh, kesabaran dan menahan diri merupakan akhlak yang sangat sering dipesankan oleh Allah kepada kaum muslimin dalam wahyu-wahyu yang mula-mula turun kepada Rasulullah, baik secara tersirat maupun tersurat.

Perhatikanlah isi kandungan Surah-surah al-‘Alaq, al-Qalam, al-Muddatsir dan al-Muzzammil; di sana terpampang pesan-pesan kesabaran secara nyata. Bahkan, dalam Surah al-‘Ashr, Allah menjadikan “saling berpesan dengan kesabaran” sebagai bagian dari sifat orang-orang yang tidak merugi di dunia ini, digandengkan dengan beriman, beramal shalih, serta saling berpesan dengan kebenaran.

Rasulullah bersabda:

مَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ

”Dan tidaklah seseorang itu diberi sesuatu yang lebih baik dan lebih lapang daripada kesabaran.” (Muttafaqun Alaih).

Nabi pun pernah ditanya: “Bagian manakah yang paling utama dari iman?” Beliau menjawab, “Kesabaran dan lapang dada.” (Dikutip oleh Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-‘Aliyah, dari Jabir, dan menurut beliau isnad-nya hasan).

Inilah lima pesan ‘Ali bin Abi Thalib yang sangat berharga. Semoga kita dapat mengambil manfaat darinya. Amin. Wallahu a’lam.*

Pengasuh PP Ar-Rahmah Putri, Batu

Oleh: Alimin Muhtar

HIDAYATULLAH

Hukum Istri Nikah Siri Tapi Belum Dicerai Suami Pertama

Pernikahan merupakan akad yang sakral dalam agama Islam. Berbicara soal pernikahan, terdapat istilah yang populer di kalangan masyarakat yakni nikah siri. Nikah siri merupakan sebuah pernikahan yang dilangsungkan tanpa dicatatkan di Kantor Urusan Keagamaan (KUA). Kita ketahui bahwa syariat tetap menghukumi sah sebuah pernikahan yang penting telah memenuhi syarat dan rukun-rukunnya. Lalu ada sebuah pertanyaan, bagaimana hukum istri nikah siri tapi belum dicerai suami pertama?

Perlu diketahui bahwa rukun-rukun dalam nikah ada lima. Di antaranya adalah shighat (ijab dan kabul), suami, istri, wali dan dua orang saksi.

فصل فِي أَرْكَان النِّكَاح وَهِي خَمْسَة صِيغَة وَزَوْجَة وَزوج وَولي وهما العاقدان وشاهدان

Fasal tentang rukun-rukun nikah. Rukun-rukun nikah ada lima yakni shighat (ijab dan kabul), istri, suami, wali dan keduanya (suami dan wali) merupakan orang yang melakukan akad dan terakhir adalah dua orang saksi.” (Muhammad bin Khatib as-Syarbini, al-Iqna’ fii Halli Alfaadzi Abii Syujaa’, jus 2 hal 408)

Nah, masing-masing dari rukun-rukun nikah itu memiliki syarat-syarat di dalamnya. Misalnya suami harus mengetahui bahwa wanita yang dia nikahi halal baginya, juga suami harus menentukan siapa wanita (calon istri) yang akan dinikahinya dan lain sebagainya.

Sementara itu, calon mempelai istri juga memiliki beberapa syarat supaya pernikahan yang dilakukan menjadi sah. Syarat-syarat tersebut diantaranya :

Pertama, wanita tersebut (calon istri) haruslah orang yang halal dinikahi oleh suami.

Kedua, wanita tersebut (calon istri) harus menentukan siapa laki-laki yang akan menikah dengannya.

Ketiga, wanita tersebut (calon istri) harus tidak sedang dalam status pernikahan dan juga masa iddah.

Melihat poin-poin di atas, istri yang melakukan nikah siri sementara ia belum dicerai oleh suami yang pertama maka hukum pernikahannya tidak sah. Hal ini dikarenakan si istri tersebut tidak memenuhi syarat pada poin yang ketiga yakni (mempelai wanita) harus tidak sedang dalam status pernikahan.

Keterangan di atas dapat dilihat di bawah ini:

وَشرط فِيهَا حل وَتَعْيِين وخلو من نِكَاح وعدة فَلَا يَصح نِكَاح مُحرمَة للْخَبَر السَّابِق وَلَا إِحْدَى امْرَأتَيْنِ للإبهام وَلَا مَنْكُوحَة وَلَا مُعْتَدَّة من غَيره لتَعلق حق الْغَيْر بهَا

Disyaratkan pada seorang istri harus halal dinikahi, menentukan calon suaminya dan juga kosong atau sepi dari status pernikahan dan juga iddah. Oleh karena itu, tidak sah nikahnya wanita yang haram dinikahi berdasarkan hadis sebelumnya, juga nikahnya salah satu dari dua orang wanita karena tidak jelas (mana yang mau menikah), nikahnya wanita yang sedang dalam status pernikahan dan tidak sah juga nikahnya wanita yang sedang menjalani masa iddah karena masih berkaitan dengan hak orang lain.” (Muhammad bin Khatib as-Syarbini, al-Iqna’ fii Halli Alfaadzi Abii Syujaa’, jus 2 hal 411)

Dilansir dari laman Kumparan, berikut dampak negatif dari nikah siri dan efek tidak diakui oleh negara, di antaranya:

  1. Pihak perempuan tidak bisa menuntut hak-haknya sebagai istri yang telah dilanggar oleh suami karena tidak adanya kekuatan hukum yang tetap terhadap legalitas perkawinan tersebut.
  2. Kepentingan terkait pembuatan KTP, KK, paspor, serta akta kelahiran anak tidak dapat dilayani karena tidak adanya bukti pernikahan berupa akta nikah/buku nikah.
  3. Nikah siri cenderung membuat salah satu pasangan, khususnya suami lebih leluasa untuk meninggalkan kewajibannya.
  4. Banyaknya perlakuan kekerasan terhadap istri.
  5. Dapat memengaruhi psikologis istri dan anak.

Alhasil, hukumnya istri nikah siri tapi belum dicerai suami pertama adalah tidak sah. Hal ini dikarenakan pernikahan tersebut tidak memenuhi salah satu syarat seorang istri yakni harus tidak sedang dalam status pernikahan.

Semoga bermanfaat, Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH