4 Amalan yang Pahalanya Setara dengan Haji dan Umroh

Terdapat amalan yang pahalanya bila dikerjakan sama dengan haji umroh

Dalam sejumlah riwayat, Nabi Muhammad SAW menyebut, haji dan umroh adalah amalan yang memiliki berbagai keutamaan. 

Kendati demikian, ada beberapa amalan yang dijelaskan juga setara dengan amalan haji dan umroh. Hal ini dijelaskan Lembaga Fatwa Mesir, Dar ifta seperti yang dilansir dari Elbalad: 

Pertama, niat dan tekad yang tulus untuk haji dan umroh. Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالًا فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَلَا يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَلَا يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالًا وَلَا عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ 

Artinya: “Sesungguhnya dunia itu untuk empat orang; Pertama, seorang hamba yang dikaruniai Allah harta dan ilmu, dengan ilmu ia bertakwa kepada Allah dan dengan harta ia menyambung silaturahim dan ia mengetahui Allah memiliki hak padanya dan ini adalah tingkatan yang paling baik. 

Kedua, selanjutnya hamba yang diberi Allah ilmu tapi tidak diberi harta, niatnya tulus, ia berkata: Andai saja aku memiliki harta niscaya aku akan melakukan seperti amalan si fulan, maka ia mendapatkan apa yang ia niatkan, pahala mereka berdua sama. 

Ketiga, selanjutnya hamba yang diberi harta oleh Allah tapi tidak diberi ilmu, ia melangkah serampangan tanpa ilmu menggunakan hartanya, ia tidak takut kepada Rabbinya dengan harta itu dan tidak menyambung silaturrahimnya serta tidak mengetahui hak Allah padanya, ini adalah tingkatan terburuk. Keempat, selanjutnya orang yang tidak diberi Allah harta atau pun ilmu, ia bekata: Andai aku punya harta tentu aku akan melakukan seperti yang dilakukan si fulan yang serampangan meneglola hartanya, dan niatnya benar, dosa keduanya sama.”  (HR  Tirmizi).

Dapat dipahami dari hadits ini bahwa seorang hamba yang niatnya tulus memperoleh pahala ibadah yang dia tidak mampu dilakukannya, atau ada penghalang yang menghalanginya untuk melakukannya, dan haji dan umrah termasuk di antara ibadah-ibadah itu. 

Kedua, berbakti kepada orang tua. Menghormati orang tua adalah salah satu amalan yang pahalanya sama dengan pahala haji dan umroh. Rasulullah SAW bersabda:

فقد أَتَى رَجُلٌ رَسُولَ اللهِ ﷺ، فَقَالَ: إِنِّي أَشْتَهِي الْجِهَادَ، وَإِنِّي لَا أَقْدِرُ عَلَيْهِ، فَقَالَ: «هَلْ بَقِيَ أَحَدٌ مِنْ وَالِدَيْكَ؟» قَالَ: أُمِّي، قَالَ: «فَاتَّقِ اللهَ فِيهَا، فَإِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ فَأَنْتَ حَاجٌّ وَمُعْتَمِرٌ، وَمُجَاهِدٌ، فَإِذَا دَعَتْكَ أُمُّكَ فَاتَّقِ اللهَ وَبِرَّهَا». [أخرجه البيهقي في شُعب الإيمان]

Artinya: “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW dan berkata: Saya menginginkan jihad, dan saya tidak mampu melakukannya.” Dia berkata: Apakah mungkin bagi Anda?. Dia berkata: Ibuku, dia berkata: Takutlah kepada Tuhan di dalamnya, dan jika kamu melakukan itu, maka kamu adalah seorang yang melakukan haji dan umroh dan seorang mujahid, maka bertakwalah kepada Allah dan berbakti kepada ibumu.  [Diriwayatkan oleh al-Bayhaqi dalam Shu`ab al-Iman]

Ketiga, duduk menunggu untuk sholat dhuha setelah sholat subuh. Duduk setelah sholat Subuh hingga matahari terbit, kemudian sholat dua rakaat dhuha, maka baginya seperti pahala haji dan umroh. Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ , تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ  (رواه الترمذي)

Artinya: “Siapa yang sholat Shubuh berjamaah, kemudian duduk berzikir kepada Allah hingga matahari terbit, kemudian duduk dua rakaat, maka baginya pahala bagaikan pahala haji dan umrah, sempurna, sempurna dan sempurna.” (HR Tirmidzi) 

Keempat, sholat jamaah di masjid. Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ مُتَطَهِّرًا إِلَى صَلَاةٍ مَكْتُوبَةٍ فَأَجْرُهُ كَأَجْرِ الْحَاجِّ الْمُحْرِمِ وَمَنْ خَرَجَ إِلَى تَسْبِيحِ الضُّحَى لَا يَنْصِبُهُ إِلَّا إِيَّاهُ فَأَجْرُهُ كَأَجْرِ الْمُعْتَمِرِ وَصَلَاةٌ عَلَى أَثَرِ صَلَاةٍ لَا لَغْوَ بَيْنَهُمَا كِتَابٌ فِي عِلِّيِّينَ

Artinya: “Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dalam keadaan suci untuk melaksanakan sholat wajib, maka pahalanya seperti pahala orang yang haji yang sedang ihram, dan barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk melaksanakan sholat Dluha, dia tidak mempunyai niat kecuali itu, maka pahalanya seperti orang yang sedang umroh.

Dan menunggu sholat hingga datang waktu shalat yang lain yang tidak ada main-main di antara keduanya, maka pahalanya ditulis di ‘Iliyyin (kitab yang mencatat segala perbuatan orang-orang yang berbakti.” (HR Bukhari). 

KHAZANAH REPUBLIKA

Metode Beriman kepada Malaikat (Bag. 4)

Beriman kepada Malaikat Secara Rinci (Tafshil)

Iman kepada malaikat secara rinci (tafshil) adalah dengan mengikuti dan meyakini dalil-dalil secara terperinci berkaitan dengan malaikat, baik yang berasal dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Misalnya dengan:

Pertama, beriman dengan nama-nama malaikat yang Allah Ta’ala atau Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam sebutkan.

Kedua, beriman dengan sifat-sifat malaikat.

Ketiga, beriman dengan tugas yang diberikan kepada malaikat.

Muhammad bin Nashr Al-Maruzi rahimahullah berkata,

“Engkau beriman dengan malaikat yang Allah sebutkan namanya di dalam kitab-Nya. Dan Engkau beriman bahwa Allah menciptakan malaikat selain mereka, tidak ada yang mengetahui nama-nama dan bilangan mereka, kecuali Zat yang menciptakan mereka.” (Ta’zhim Qadr Ash-Shalat, hal. 393)

Sehingga perkara apa saja yang dalilnya telah sampai kepada kita yang berkaitan dengan malaikat, baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah, maka wajib diimani. Oleh karena itu, keimanan yang bersifat rinci (tafshil) ini dibangun di atas pengetahuan seseorang terhadap dalil Al-Qur’an maupun As-Sunnah.

Hal ini karena kewajiban yang melekat kepada seorang mukallaf itu hanyalah setelah datangnya dalil (hujjahsyar’iyyah. Allah Ta’ala berfirman,

وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَذَا الْقُرْآنُ لأُنذِرَكُم بِهِ وَمَن بَلَغَ

Dan Al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Qur’an (kepadanya).” (QS. Al-An’am: 19)

Allah Ta’ala berfirman,

رُّسُلاً مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللّهُ عَزِيزاً حَكِيماً

(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa’ [4]: 165)

Sehingga, manusia bertingkat-tingkat dalam keimanan mereka terhadap malaikat. Hal ini disebabkan oleh perbedaan ilmu yang sampai kepada mereka. Siapa saja yang memiliki ilmu lebih rinci, maka keimanan dia lebih tinggi, keimanannya menjadi lebih dari yang lainnya.

Pengaruh (Dampak) dari Keimanan terhadap Malaikat

Iman terhadap malaikat itu memiliki dampak (pengaruh) pada keyakinan seorang hamba dan juga pada amal perbuatannya. Hal ini karena iman menurut aqidah ahlus sunnah itu meliputi i’tiqad (keyakinan), qaul (ucapan), dan amal perbuatan.

Pertama, dampak iman terhadap malaikat dari sisi i’tiqad

Dari sisi i’tiqad, jika seorang hamba meyakini keberadaan malaikat, bahwa mereka adalah hamba Allah yang dimuliakan, tidak bermaksiat atau mendurhakai Allah dalam perkara yang Allah perintahkan, melaksanakan perkara yang Allah perintahkan, takut kepada Allah, dan beribadah kepada-Nya. Keyakinan semacam ini akan menumbuhkan keyakinan batilnya segala bentuk peribadatan kepada selain Allah Ta’ala. Karena jika peribadatan kepada malaikat adalah batil, padahal mereka adalah makhluk yang dekat kepada Allah, maka bagaimana lagi dengan peribadatan kepada selain malaikat?

Begitu pula akan menumbuhkan rasa cinta dan loyalitas kepada mereka, serta memusuhi siapa saja yang memusuhi malaikat. Karena jika kita meyakini bahwa malaikat Jibril ‘alaihis salaam adalah malaikat yang membawa wahyu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka kita pun mencintainya dan membenci siapa saja yang membencinya.

Kedua, dampak iman terhadap malaikat dari sisi amal perbuatan

Jika seorang hamba beriman kepada malaikat, maka dia akan menjadikan malaikat sebagai teladan dalam amal dan ibadah mereka. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً

Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya berselawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, berselawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab: 56)

Demikian pula, jika seseorang beriman dengan buku catatan amal perbuatan manusia, maka dia akan lebih mendekatkan diri kepada Allah, baik dengan ucapan maupun perbuatan (amal) anggota badan. Karena dia meyakini bahwa ada buku catatan amal yang akan mencatat semua ucapan dan perbuatannya.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: www.muslim.or.id

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Haqiqatul Malaikat karya Ahmad bin Muhammad bin Ash-Shadiq An-Najarhal. 42-44. Kutipan-kutipan dalam artikel di atas adalah melalui parantaraan kitab tersebut.

Sumber: https://muslim.or.id/69548-metode-beriman-kepada-malaikat-bag-4.html

Makna dan Hukum Seputar Hijrah

Pengertian hijrah

Hijrah secara bahasa diambil dari kata (الهجر) yang artinya meninggalkan. Adapun secara istilah syariat yaitu sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Muhammad at Tamimi Rahimahullah dalam risalahnya Tsalatsatul Ushul,

وَالهِجْرَةُ: الاِنْتِقَالُ مِنْ بَلَدِ الشِّرْكِ إِلى بَلَدِ الإِسْلاَمِ

“Hijrah adalah berpindah dari negeri syirik menuju negeri Islam” (Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah li Syaikh Ibnu ‘Utsaimin).

Sebab disyariatkannya hijrah adalah karena seorang mukmin wajib untuk menampakkan agamanya dan bangga denganya, dalam rangka menjelaskan kepada manusia bahwa dirinya telah bersaksi dengan kebenaran. Dalam persaksian syahadat tauhid Laa ilaha illallah dan syahadat risalah Muhammad Rasulullah, terdapat unsur kewajiban untuk mengabarkan kepada orang lain. Pemberitahuan tentang kabar ini mencakup dengan lisan dan juga amal perbuatan. Menampakkan agama merupakan bentuk pengabaran kepada orang lain yang merupakan kandungan dan makna sayahadat. Oleh karena itu, hijrah dari negeri syirik menuju negeri Islam adalah suatu yang wajib apabila seorang muslim tidak mampu menampakkan agamanya di negeri tersebut.

Bentuk hijrah

Hijrah ada dua bentuk, yaitu:

Pertama, hijrah tempat

Hijrah tempat adalah hijrah dari negeri musyrik ke negeri Islam sebagaimana penjelasan di atas. Hijrah berdasarkan tempatnya dibagi menjadi dua:

1. Hijrah yang umum, yaitu setiap hijrah yang dilakukan dari negeri kafir ke negeri Islam. Kewajiban hijrah ini berlaku sampai hari kiamat.

2. Hijrah yang khusus, yaitu hijrah dari Mekah ke Madinah di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada saat Nabi meninggalkan negeri Mekah, status Mekah dalah negeri syirik. Kemudian Nabi hijrah ke Madinah dan di negeri tersebut tersebarlah agama Islam ke setiap rumah sehingga Madinah menjadi negeri Islam. Sehingga pada saat itu, Nabi hijrah dari negeri syirik, yaitu Mekah, menuju negeri Islam, yaitu Madinah. Ini adalah hijrah yang khusus dan hanya berlaku pada saat itu.

Hal ini sesuai sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak ada hijrah setelah Fathul Mekah.” Yang dimaksud dalam hadis ini adalah hijrah khusus, yaitu dari Mekah ke Madinah (lihat penjelasan dalam Syarh Kitabi Tsalatsatil Ushul li Syaikh Shalih Alu Syaikh).

Kedua, hijrah maknawi

Hijrah maknawi adalah hijrah dari kemaksiatan menuju kepada ketaatan. Dalilnya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

والمهاجر من هجر ما نهى الله عنه

“Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang Allah larang” (HR. Bukhari).

Contohnya hijrah dari memakan harta riba, mendengrakan musik, meminum khamr, dan perbuatan maksiat lainnya (lihat Syarh Al Ushul Ats Tsalatsah karya Ustadz Dr. Firanda Andirja Hafiidzahullah).

Hukum hijrah

Dalam permasalahan hijrah, kondisi manusia dibagi menjadi tiga golongan:

Petama, golongan yang wajib untuk hijrah

Ini berlaku bagi orang yang mampu untuk hijrah sementara dia tidak mampu menampakkan agamanya di negeri tempat dia tinggal saat ini. Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلآئِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُواْ فِيمَ كُنتُمْ قَالُواْ كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأَرْضِ قَالْوَاْ أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُواْ فِيهَا فَأُوْلَـئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءتْ مَصِيراً

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)’. Para malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?’ Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (QS. An-Nisa: 97).

Sisi pendalilannya yaitu bahwa Allah menyifati orang yang tidak mau hijrah bahwa mereka menzalimi diri mereka sendiri. Barangsiapa yang tinggal di negeri kafir, sementara dia mampu untuk berhijrah dan dia tidak mampu menampakkan agama Islam di negeri tersebut, maka dia telah menzalimi dirinya sendiri. Orang ini telah melakukan hal yang haram berdasarkan kesepakatan para ulama.

Kedua, golongan yang tidak wajib hijrah

Golongan ini adalah  orang-orang yang tidak mampu hijrah baik karena sakit atau dipaksa untuk tetap tinggal sehingga tidak bisa meninggalkan tempat tersebut. Begitu juga orang-orang yang lemah seperti wanita dan anak-anak. Allah Ta’ala berfirman,

إِلاَّ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاء وَالْوِلْدَانِ لاَ يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلاَ يَهْتَدُونَ سَبِيلاً

Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah)” (QS. An-Nisa: 98).

Kewajiban golongan ini adalah mengasingkan diri dari orang-orang kafir ketika melaksanakan agamanya dan bersabar terhadap gangguan dari mereka.

Ketiga, golongan yang dianjurkan untuk hijrah

Tidak diwajibkan atas mereka untuk berhijrah seperti golongan yang pertama, yaitu bagi orang-orang yang mampu hijrah namun dia masih bisa menampakkan agamanya di negeri kafir tersebut. Bagi golongan ini dianjurkan untuk berhijrah agar dapat ikut jihad memerangi orang kafir dan memperkuat barisan kaum muslimin serta menjauhkan diri dari orang-orang kafir dan tidak berbaur dengan mereka (Hushulul Ma’mul hal. 171-172).

Hukum di atas berkaitan tentang hijrah dari negeri kafir ke negeri Islam. Selain itu ada jenis hijrah yang lain yaitu dari negeri yang banyak maksiat dan bid’ah menuju ke negeri yang tidak ada atau sedikit perbuatan maksiat dan bid’ah. Sebagian ulama menjelaskan hijrah seperti ini hukumnya mustahab (dianjurkan) (lihat penjelasan dalam Syarh Kitabi Tsalatsatil Ushul li Syaikh Shalih Alu Syaikh).

Kewajiban hijrah berlaku hingga hari kiamat

Dalil tentang kewajiban hijrah dari sunah adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,

لا تنقطع الهجرة حتى تنقطع التوبة، ولا تنقطع التوبة حتى تطلع الشمس من مغربها

“Tidak terputus (kewajiban) hijrah sampai terputusnya taubat, dan bertaubat tidak terputus waktunya sampai terbitnya matahari dari barat.”

Hadis ini menunjukkan bahwa kewajiban hijrah terus berlaku sampai tegaknya hari kiamat. Selama seseorang masih diterima taubatnya, maka tetap ada kewajiban hijrah baginya. Pintu taubat tertutup ketika hari kiamat tiba. Termasuk tanda awal terjadinya kiamat adalah terbitnya matahari dari barat. Jika matahari terbit dari barat, maka pada saat itu taubat sudah tidak diterima. Allah Ta’ala berfirman,

يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لاَ يَنفَعُ نَفْساً إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِن قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْراً قُلِ انتَظِرُواْ إِنَّا مُنتَظِرُونَ

“Pada hari datangnya sebagian ayat-ayat Tuhanmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang kepada dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah, ‘Tunggulah olehmu sesungguhnya Kamipun menunggu (pula)’“ (QS. Al-An’am: 158).

Yang dimaksud dengan “sebagian ayat-ayat Tuhanmu” di sini adalah terbitnya matahari dari barat. Hal ini menunjukkan bahwa taubat seorang hamba dapat diterima sebelum terbitnya matahari dari barat. Jika taubat masih dapat diterima, maka kewajiban hijrah tidak terputus.

Penyusun: Adika Mianoki

Sumber: https://muslim.or.id/69586-makna-dan-hukum-seputar-hijrah.html

Alasan Mengapa Dilarang Curang dalam Berdagang

Rasulullah SAW melarang praktik berdagang curang

Janganlah sekali-kali berlaku curang ketika berdagang. Yaitu dengan mengurangi timbangan yang merugikan pembeli.

Perbuatan curang dengan mengurangi timbangan itu sejatinya hanya akan mengantarkan pada kebinasaan di dunia dan akhirat. Allah SWT berfirman dalam surat Al Mutaffifin ayat 1-3: 

وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِينَ ﴿١﴾ الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ ﴿٢﴾ وَإِذَا كَالُوهُمْ أَو وَّزَنُوهُمْ يُخْسِرُ‌ونَ ﴿٣﴾

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang (1), (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi (2), dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi (3).” 

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa orang yang curang itu ketika dia membeli maka dia ingin barang beliannya ditambah takarannya tapi ketika dia menjual ke orang lain justru dia mengurangi timbangan sehingga merugikan pembeli. 

Dalam tafsir Tahlili, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, dijelaskan bahwa kecelakaan besar bagi orang yang belaku curang adalah azab dan kehinaan yang besar pada hari kiamat disediakan bagi orang-orang yang curang dalam menakar dan menimbang. 

Allah SWT telah menyampaikan ancaman yang pedas kepada orang-orang yang curang dalam menakar dan menimbang yang terjadi di tempat-tempat jual beli di Makkah dan Madinah pada waktu itu. 

Diriwayatkan bahwa di Madinah ada seorang laki-laki bernama Abu Juhainah. Dia mempunyai dua macam takaran yang besar dan yang kecil. Bila dia membeli gandum atau kurma dari para petani, ia mempergunakan takaran yang besar, akan tetapi jika dia menjual kepada orang lain ia mempergunakan takaran yang kecil.

Perbuatan seperti itu menunjukkan adanya sifat tamak, ingin mencari keuntungan bagi dirinya sendiri walaupun dengan jalan merugikan orang lain. Pada ayat 2 dan 3  Allah SWT menjelaskan perilaku orang yang akan menjadi penghuni neraka. 

Mereka adalah orang-orang yang ingin dipenuhi takaran atau timbangannya ketika membeli karena tidak mau rugi. Sebaliknya, apabila menjual kepada orang lain, mereka akan mengurangi takaran atau timbangannya. 

Orang-orang yang mengurangi takaran dan timbangan mendapat dosa yang besar karena dengan perbuatan itu, dia dianggap telah memakan harta orang lain tanpa kerelaan pemiliknya. 

Yang dimaksud dengan takaran di sini mencakup segala ukuran dan timbangan yang biasa dipakai dalam jual beli dan terkait dengan pengurangan hak orang lain. 

Banyak sekali kita jumpai dalam kehidupan sekarang ini pengurangan-pengurangan yang merugikan orang lain, seperti menjual tabung gas yang isinya tidak sesuai dengan standar, mengurangi literan bensin yang dijual, penjual kain yang mengurangi ukuran kain yang dijualnya.

Termasuk dalam pengurangan takaran yang sangat merugikan dan berbahaya adalah korupsi. Pelaku korupsi mengurangi dana sebuah proyek dari perencanaan semula demi memperoleh keuntungan untuk diri sendiri, atau mengurangi kualitas bahan yang diperlukan dalam proyek tersebut dan menggantinya dengan bahan yang berkualitas lebih rendah.

Ayat ini mengingatkan manusia untuk menjauhi praktik-praktik yang merugikan orang lain dan ancaman hukumannya sangat besar di dunia dan akhirat.   

KHAZANAH REPUBLIKA

Arrabi binti Muawwadz: Perempuan yang diberi Kabar Gembira Surga

Arrabi binti Muawwadz, sahabat perempuan yang agung, beriman dan juru dakwah, pelaku baiat di bawah pohon dalam Baiat Ridwan, yakni Baiat untuk mati membela agama Allah dan Rasul-Nya. Nama lengkapnya adalah Arrabi binti Muawwadz ibn Haris ibn Rifaah ibn Haris ibn Sawad Al Anshariyyah Annajadiyyah. Ibunya adalah Ummu Yazid binti Qais ibn Za’wa ibn Haram ibn Jundub ibn Annajjar.

Arrabi binti Muawwadz adalah salah seorang perempuan yang paling awal masuk Islam pada peristiwa Baiat Ridwan yang terjadi pada tahun 6 H., tahun yang sama dengan perjanjian Hudaibiyyah saat Rasulullah Saw. pergi ke Makkah untuk menunaikan umrah pada bulan Dzulqa’dah.

Pada tahun itu, Rasulullah Saw. tidak menginginkan perang dan beliau khawatir jika kaum Quraisy menyeretnya untuk berperang atau menghalangi beliau berziarah ke Baitul Maqdis. Saat itu, Rasulullah Saw. pergi ditemani oleh para sahabat Muhajirin dan Ansar, termasuk Arrabi binti Muawwadz. Rasulullah Saw. telah menunaikan ihram agar kaum Quraisy merasa aman terhadap kedatangan beliau.

Ketika Rasulullah Saw. tiba di Hudaibiyyah, beliau memanggil Umar ibn Khattab untuk diutus menuju Makkah agar memberitahu para tokoh Quraisy tentang kedatangan Rasulullah Saw. dan para sahabat. Umar bin Khattab berkata: “Wahai Rasulullah, aku merasa khawatir kepada kaum Quraisy, sedangkan di Makkah tidak satu pun orang dari Bani Adi bin Ka’ab yang bisa melindungiku. Kaum Quraisy mengetahui bahwa aku memusuhi dan bersikap keras terhadap mereka. Karena itu, aku hendak mengajukan orang yang lebih dihormati daripada aku di tengah mereka, ia adalah Usman bin Affan.”

Rasulullah Saw. kemudian memanggil Usman bin Affan dan mengutusnya untuk menemui Abu Sufyan di Makkah agar menyampaikan bahwa Rasulullah Saw. dan para sahabat datang untuk berziarah ke Baitullah, bukan untuk perang. Usman bin Affan segera berangkat menuju Makkah. Saat memasuki kota Makkah, Usman bertemu dengan Abban bin Sa’id ibn Ash yang kemudian memberinya perlindungan hingga bisa menyampaikan pesan Rasulullah Saw. kepada para tokoh Quraisy Makkah.

Ketika dalam waktu yang lama Usman bin Affan tidak kembali menemui Rasulullah Saw., tersebarlah berita desas desus yang menggambarkan bahwa Usman telah dibunuh di Makkah. Isu itu pun pada akhirnya sampai juga kepada Rasulullah Saw. ketika mendengar kabar ini, Rasulullah Saw. bersabda: “Kita akan pergi sebelum memerangi kaum Quraisy.”

Rasulullah Saw. mengajak para sahabat Anshar dan Muhajirin yang ikut dalam rombongan untuk berkumpul di bawah sebuah pohon. Beliau bermaksud membaiat mereka, maka terjadilah Baiat Ridwan di bawah pohon tersebut. Sebagian mereka pun mengatakan: “Rasulullah Saw. membaiat mereka untuk mati.”  Tidak lama kemudian, Rasulullah Saw. mengetahui bahwa kabar tentang terbunuhnya Usman ibn Affan yang beliau dengar adalah kabar dusta belaka.

Arrabi binti Muawwadz dan para sahabat yang ikut menyatakan baiat kepada Rasulullah Saw. di bawah pohon itu telah meraih rida Allah Swt. hal ini dijelaskan dalam kitabNya: Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). Serta harta rampasan yang banyak yang dapat mereka ambil. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Alfath. 18-19).

Mereka yang menyatakan baiat di bawah pohon itu juga mendapatkan kehormatan dari Rasulullah Saw. dalam sabdanya: “In Sya Allah tidak seorang pun dari Ashab Syajarah, yakni mereka yang berbaiat di pohon itu, masuk neraka.” (HR. Muslim)

Arrabi binti Muawwadz adalah salah seorang shahabiyah yang meriwayatkan hadis dan beberapa orang tabiin meriwayatkan darinya. Diceritakan dari Ibnu Ubaidah ibn Muhammad bahwa suatu hari, ia meminta kepada Arrabi binti Muawwadz: “Berilah kami gambaran tentang Rasulullah Saw. !” Arrabi binti Muawwadz menjawab: Wahai anakku, andai engkau melihat beliau, niscaya engkau laksana melihat matahari terbit.” Arrabi bint Muawwadz pun meriwayatkan tentang gambaran wudlu Rasulullah Saw. ia berkata: “Rasulullah Saw. mendatangi kami kemudian menyuruhku: “Tuangkanlah air wudlu untukku.” Selanjutnya ia menggambarkan bagaimana Rasulullah Saw. berwudlu.

Ia berkata “Beliau mencuci kedua telapak tangan tiga kali, berkumur, dan menghirup air dengan hidung satu kali, membasuh wajah tiga kali, lalu membasuh kedua tangan tiga kali, mengusap kepala dua kali yang di mulai dari bagian depan kepala lalu ke belakang (dan dikembalikan lagi ke depan), lalu membasuh kedua telinga secara bersamaan, baik bagian dalam maupun luar, dan terakhir membasuh kedua kaki tiga kali-tiga kali.”

Arrabi bint Muawwadz menceritakan bahwa Rasulullah Saw. hadir saat dirinya menikah. Beliau memasuki rumahku dan duduk di atas ranjangku. Para budak wanita kami menabuh dan meratap nenek moyang mereka yang terbunuh dalam Perang Badar. Tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata: “Di antara kita ada seorang Nabi yang mengetahui apa yang terjadi esok.” Rasulullah Saw. mengatakan kepada wanita tersebut: “Jangan engkau ucapkan perkataan itu, tetapi ucapkan saja isi nyanyian tadi.”

Arrabi bint Muawwadz menikah dengan Iyas ibn Bakir dari Bani Lais dan memiliki seorang anak bernama Muhammad ibn Iyas. Suatu hari terjadi perselisihan dan pertengkaran antara dirinya dan suaminya. Ia pun tahu bahwa hidup bersama suami ini merupakan hal yang sulit dan tidak mungkin dipertahankan. Karena itu, Arrabi binti Muawwadz  berkata kepada suaminya. “Segala milikku boleh engkau ambil dan pergilah dariku.” Sang suami pun menjawab: “Baiklah.”

Arrabi binti Muawwadz menceritakan: “Aku memberikan semua yang kumiliki, kecuali baju besiku hingga ia menggugat diriku kepada Usman bin Affan. Usman bin Affan yang saat itu adalah Amirul Mukminin, berkata: “Hai Rabi, ia berhak menerima apa yang disyaratkan kepadanya. Akhirnya aku pun memberikan baju besiku kepadanya seperti yang diinginkan oleh Amirul Mukminin”

Arrabi bin Muawwadz juga banyak ikut andil bersama kaum Muslimin dalam berjuang fi sabilillah. Ia bekerja melayani para perajurit dengan menyediakan air minum bagi mereka ketika perang dan memulangkan mereka yang terbunuh serta terluka ke Madinah. Ia juga membantu para pahlawan perang Islam di tengah medan perang dengan mendorong semangat mereka untuk berperang di jalan Allah Swt. Ia pun terkadang berubah menjadi perajurit pemberani ketika keadaan menuntutnya untuk terlibat dalam perang.

Demikianlah sang sahabat wanita yang mulia, Arrabi binti Muawwadz menjalani hidupnya sebagai wanita muslimah dalam takwa dan kebajikannya, ilmu serta jihad yang dilakukan di jalan Allah hingga masa Muawiyah bin Sufyan ra. tahun 51 H. Wa Allahu A’lam bis Shawab.

(Disarikan dengan sedikit perubahan dari buku Biografi 39 Tokoh Wanita Pengukir Sejarah Islam karya Dr. Bassam Muhammad Hamami, Jakarta: Qisthi Press, 2015, h. 278-281).

*Artikel ini pernah dimuat oleh BincangSyariah.Com

Benarkah Seorang Muslim Dilarang Bersahabat dengan Non Muslim?

Tengah viral di media sosial seorang pendakwah yang melarang seorang muslim bersahabat dekat dengan non muslim. Pasalnya, menurut penceramah itu, itu akan membuat kita membuat orang Islam terbiasa dengan tindakan kufur yang non  muslim lakukan.

Berikut teks ceramah yang ada dichanel YouTube Yufid.TV;

“Lama kelamaan, tatkala kita melihat perbuatan-perbuatan kekufuran dia kita jadi biasa. Tidak ada yang awalnya kita benci kita malah bisa jadi cinta sama dia, itu yang ditakutkan,”

Penceramah tersebut bernama Ustaz Dr. Syafiq Riza Basalamah. Ia menjelaskan Islam tidak melarang apabila ada umat Islam yang sekadar berteman biasa di lingkungan kampus dan berdagang, tetapi  dalam Islam menurutnya, sama sekali tidak diperbolehkan umat Islam berteman dekat apalagi bersahabat dengan non muslim.

Untuk memperkuat dalilnya, Ustadz Syafiq Basamalah mengutip teks hadis yang  berbunyi;  “laa tu sahib illa mukminan”.  (jangan bersahabat kecuali dengan muslim).  Hadis ini merupakan nasihat Nabi agar tak bersahabat dengan non muslim.

Persahabatan Nabi dan Non Muslim

Dalam sejarah, tercatat bahwa Rasulullah sudah membangun relasi dan persahabatan dengan non muslim. Menurut kitab Nurul Yaqin fi Sirati Sayyidil Mursalin, karya dari Syekh Muhammad Al-Khudhari Bek diceritakan, Nabi juga bukan saja bersahabat dan bermitra tetapi saling mencintai dan berkasih sayang.  Ketika non muslim itu meninggal, Rasulullah memanjatkan doa agar tak diazab di alam akhirat.

Air mata Nabi menetes hebat. Lama juga menangis akibat kematian non muslim itu. Hancur hati Nabi sebab kematian orang terkasihnya itu. Meskipun non muslim, lelaki itu membantu perjuangan Nabi menegakkan agama Islam. Yang rela mati dan berdarah-darah demi misi keislaman Nabi berhasil.

Siapakah lelaki yang dikasihi dan dicintai Nabi? Siapakah laki-laki yang bersahabat dekat dengan Nabi itu? Ia adalah Abu Thalib bin Abdul Muthalib, paman Nabi. Dalam sejarah, Abu Thalib termasuk orang yang pertama menemani perjuangan Nabi. Abu Thalib juga yang merawat Nabi sejak kecil.

Abu Thalib meninggal dalam keadaan belum memeluk Islam. Ia masih menganut kepercayaan kaum Quraish Mekah. Lantas apakah Nabi membencinya? Tak mau bersahabat dengannya? Tidak. Nabi begitu cinta dan kasih pada pamannya itu. Sekalipun ia seorang non muslim.

Pada kisah lain, ada juga persahabatan penuh cinta Nabi Muhammad dengan seorang Yahudi. Lebih dari itu, Yahudi tersebut rela mati berperang demi Nabi. Ia juga menyerahkan seluruh harta bendanya demi perjuangan Nabi.

Menurut Ibnu Ishaq dalam kitab Sirah Nabawiyah, bahwa sampai-sampai itu membuat Nabi memuji dan mengatakan, ““Mukhairiq adalah sebaik-baik orang Yahudi,”.  Yahudi tersebut bernama adalah Mukhairiq. Ia adalah pendeta yang memiliki pengetahuan luas terkait kitab Taurat. Di samping itu ia juga seorang hartawan yang kaya. Kebun kurma yang luas yang dimilikinya itu kemudian wasiatkan, jika kelak meninggal, maka itu untuk Nabi seluruhnya.

Relasi dan persahabatan hangat Nabi juga terbangun dengan seorang raja yang beragama Kristen. Raja Negus dari Habsyah—sekarang negara Ethiopia. Saat umat Islam mendapatkan kekerasan dan teror yang kejam dari suku Quraish Mekah, Nabi menyuruh kaum muslimin untuk hijrah dan mencari suaka politik pada Raja Negus.

Sejarawan Barat, Hugh Goddard dalam buku a History of Christian-Muslim Relation, menyebutkan bahwa Nabi Muhammad tak sungkan memuji kebaikan hati raja Kristen itu. “Di sana ada raja yang tidak pernah menzalimi siapapun,” begitu kata Rasulullah. Di samping itu, Raja Negus merupakan sosok pemimpin yang adil, arif, dan bijaksana. Sebab kepemimpinan yang cakap itu, Nabi menyuruh kaum muslimin untuk hijrah ke sana.

Pada saat hijrah pertama ini berjumlah sekitar 16 orang sahabat. Sedangkan hijrah  kedua ini, berjumlah 102 orang. Yang menarik, ikut beserta rombongan itu adalah keluarga Muhammad sendiri, bahkan darah dagingnya ia utus ke sana, di bawah kepemimpinan raja Kristen itu. Usman bin Affan dan Rakayyah, anak dan menantu Nabi.

Nabi tak mempermasalahkan latar belakang raja Negus. Nabi juga tak memandang agamanya yang Kristen. Padahal saat itu sahabat yang lain baru saja masuk Islam. Nabi tak khawatir iman mereka lekang sebab di bawah komando raja yang non muslim.

Yang lebih menarik dari itu, ketika raja Negus wafat, Nabi melakukan shalat ghaib. Untuk mengenang kebaikan hati raja berbudi luhur itu. Itulah shalat ghaib pertama dalam Islam.

Demikian kisah persahabatan Nabi dengan non muslim. Tentu masih banyak kisah kedekatan Nabi dengan para non muslim ini. Cinta dan kasih sayang Nabi pada kemanusiaan, itulah yang membuat Nabi tak membeda-bedakan manusia berdasarkan agamanya.

BINCANG MUSLIMAH

Umrah Dibuka, Ini Aturan Keberangkatan hingga Kepulangan Jemaah

Pemerintah Arab Saudi telah membuka kembali pintu kedatangan jemaah umrah warga Indonesia. Karena itu jemaah Indonesia wajib mempelajari aturan keberangkatannya ke Tanah Suci hingga kepulangannya ke tanah air.

Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag bersama dengan Asosiasi Penyelanggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) telah merumuskan aturan mengenai rencana umrah bagi jemaah asal Indonesia.
1. Untuk pemberangkatan gelombang awal ibadah umrah dilaksanakan dengan memberangkatkan para petugas PPIU dengan syarat sudah divaksinasi dosis lengkap dengan vaksin yang diterima otoritas kesehatan Arab Saudi

2. PPIU yang berencana memberangkatkan, segera menyerahkan data jemaah umrah kepada Ditjen PHU

3. Untuk pemberangkatan dan pemulangan jemaah umrah dilakukan satu pintu melalui Asrama Haji Pondok Gede atau Bekasi

4. Skema keberangkatan
a. Jamaah umrah melakukan screening kesehatan 1×24 jam sebelum berangkat
b. Pelaksanaan screening kesehatan meliputi pemeriksaan kesehatan, pemeriksaan vaksinasi covid-19, meningitis, dan pemeriksaan swab PCR
c. Asrama haji menyediakan akomodasi, konsumsi, dan transportasi untuk memfasilitasi keberangkatan jemaah
d. Pengawasan pelaksanaan screening kesehatan dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan
e. Boarding, pemeriksaan imigrasi, dan pemeriksaan ICV dilaksanakan di Asrama Haji

5. Skema kepulangan
a. Melakukan pemeriksaan PCR di Arab Saudi maksimal 3×24 jam sebelum keberangkatan kepulangan b. Saat kedatangan di Indonesia, jamaah dilakukan PCR (entry test)
c. Pelaksanaan karantina dilaksanakan di asrama haji selama 5×24 jam
d. Asrama haji menyediakan akomodasi, konsumsi, dan transportasi bagi jamaah umrah saat kepulangan
e. Saat hari ke-4 jemaah dilakukan PCR (exit test), dan bila hasilnya negatif, jamaah dapat pulang kembali ke rumah masing-masing

Sementara itu Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan pihaknya akan terus memantau jemaah umrah mulai dari berangkat hingga kembali ke tanah air. Ini dilakukan untuk meminimalisir penyebaran Covid-19 di Indonesia.

“Satgas akan melakukan pelacakan kontak dan penanganan kesehatan,” ujarnya, Kamis (21/10/2021).

Para jemaah juga diimbau agar tetap menjaga kesehatan dengan menerapkan protokol kesehatan (prokes) mulai dari persiapan keberangkatan, selama di Tanah Suci hingga kembali lagi ke Indonesia. Karena dengan cara itu minimal dapat mencegah penularan Covid-19.

INILAHcom

Apakah Bertransaksi Memakai Dinar dan Dirham Termasuk Sunnah Nabi?

Baru-baru ini viral sebuah pasar yang menggunakan dinar (koin emas) dan dirham (koin perak) sebagai alat transaksi jual beli. Mereka berdalih menggunakan sistem perdagangan pada zaman Nabi Muhammad saw.  Dilihat dari hukum Islam, apakah pemakaian dinar dan dirham dalam transaksi jual beli termasuk sunnah Nabi?

Tidak Semua yang Berasal dari Nabi Harus Diamalkan

K.H. Ali Mustafa Yaqub dalam kitab beliau berjudul ath-Thuruq ash-Shahihah fi Fahm as-Sunnah an-Nabawiyah menjelaskan bahwa ayat Q.S. al-Hasyr: 7 yang sekilas memerintahkan orang Islam untuk mengamalkan segala hal yang berasal dari Nabi secara umum, baik urusan agama maupun dunia, telah ditakhshish (dikhususkan) oleh sabda beliau sendiri dalam sebuah hadis:

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ ، إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ مِنْ دِيْنِكُمْ فَخُذُوْهُ بِهِ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ مِنْ رَأْيِيْ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ.

  “Sesungguhnya aku seorang manusia. Jika aku memerintahkan kalian dengan sesuatu  yang terkait dengan agama kalian maka ambillah (amalkan). Dan jika aku memerintahkan kalian dengan sesuatu yang berasal dari pikiranku, maka sesungguhnya aku juga manusia”

Hadits ini menjadi landasan bahwa tidak semua hal yang berasal dari nabi mesti diamalkan. Yang mesti kita amalkan adalah sunnah nabi yang berkaitan dengan perkara agama dan syariat. Sedangkan hadist yang mengandung unsur budaya dan tradisi Arab – tempat nabi berada dan berinteraksi- tidak mesti diamalkan oleh umat Islam. Tak heran apabila Imam Muslim menamakan salah satu bab dalam kitabnya:

 بَابُ وُجُوبِ امْتِثَالِ مَا قَالَهُ شَرْعًا دُوْنَ مَا ذَكَرَهُ مِنْ مَعَايِشِ الدُنْيَا عَلَى سَبِيْلِ الرَّأْيِ

“Bab tentang wajibnya mengikuti perintah nabi yang berkaitan dengan syariat, bukan sabda beliau berkenaan dengan kehidupan duniawi yang berdasarkan pendapat pribadi beliau”

Selanjutnya K.H. Ali Mustafa Yaqub menyebutkan beberapa kriteria untuk membedakan sunnah nabi yang memuat unsur agama, dan yang hanya terkait dengan tradisi, salah satunya adalah:

أَنَّ الدِّيْنَ فَيَفْعَلُهُ أَوْ يَسْتَعْمِلُهُ الـمُسْلِمُوْنَ فَقَطْ، بِخِلَافِ التَّقَالِيْدِ فَيَسْتَعْمِلُهَا الـمُسْلِمُوْنَ وَغَيْرُ الـمُسْلِمِيْنَ.

‘Hal yang berkaitan dengan agama hanya dilakukan atau digunakan oleh orang-orang Islam saja, sedangkan yang berkaitan dengan tradisi digunakan secara umum, baik orang Islam maupun non Islam” (kitab ath-Thuruq ash-Shahihah fi Fahm as-Sunnah an-Nabawiyah99)

Dinar dan Dirham: Syariat atau Tradisi?

Secara historis, dinar dan dirham yang digunakan untuk bertransaksi pada zaman Nabi Muhammad adalah koin dinar dan dirham cetakan Romawi dan Persia, dua negara adikuasa pada waktu itu. Dinar dan dirham masuk ke jazirah Arab sebagai mata uang berkat ekspansi pedagang Arab yang berdagang di Syam (di bawah kekuasaan Romawi) dan Yaman (di bawah kekuasaan Persia). Fakta ini dijelaskan oleh Syaikh Al-Baladzur, seorang sejarawan Islam, dalam kitab Futuh al-Buldan (1/443) dengan mengutip riwayat dari Tsa’labah bin Sha’ir:

كَانَتْ دَنَانِيْرُ هِرْقَلَ تَرِدُ عَلَى أَهْلِ مَكَّةَ فِيْ الجَاهِلِيَّةِ وَتَرِدُ عَلَيْهِمْ دَرَاهِمُ الفَرْسِ البغلِية…فَأَقَرَّ الرَّسُوْلُ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَقَرَّهُ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ

“Dinar Hiraklius (Romawi) dan dirham baghli Persia telah beredar di kalangan ahli Makkah pada masa jahiliah. Kemudian Rasululah membiarkan hal itu (berlakunya dinar & dirham), begitupula Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman, serta Ali membiarkannya juga”

Dirham yang dikeluarkan oleh bangsa Persia disebut dengan dirham baghli sebagaimana riwayat di atas karena terdapat gambar hewan bagal (peranakan kuda dan keledai) dalam cetakan koin dirham tersebut. Dan koin dirham jenis ini yang banyak digunakan dalam transaksi pada zaman nabi, selain juga dirham thabariyah yang setengah lebih kecil daripada dirham baghli (Syihabuddin al-Qastallani, Irsyadu Sari Li Syarh Shahih Al-Bukhari, 3/11).

Fakta lain juga dijelaskan oleh Imam Abdurrahim al-Iraqi dalam kitab Tharh at-Tatsrib:

أَمَّا الدَّرَاهِمُ الَّتِيْ كَانَتْ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَلَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا قُرْآنٌ، وَلَا اسْمُ اللهِ، وَلَا ذِكْرٌ، لِأَنَّهَا كَانَتْ مِنْ ضَرْبِ الرُّوْمِ، وَغَيْرُهُمْ مِنْ أَهْلِ الكُفْرِ. وَإِنَّمَا ضُرِبَتْ دَرَاهِمُ الإِسْلَامِ فِيْ أَيَّامِ عَبْدِ الـمَلِكِ بْنِ مَرْوَان.

“Dirham yang digunakan pada masa Nabi Muhammad SAW tidak ada ukiran ayat al-Qur’an, atau lafal jalalah, maupun kalimat zikir. Sebab dirham tersebut merupakan cetakan Romawi dan bangsa nonmuslim lainnya. Dirham islam baru dicetak pada masa khalifa Abdul Malik bin Marwan”

Jadi, dinar dan dirham pada waktu itu tidak hanya digunakan oleh Rasulullah dan umat Islam saja, tapi juga dipakai secara luas oleh masyarakat non-Muslim sebagai alat transaksi, baik yang berada di jazirah Arab maupun yang berada di wilayah kekuasaan Romawi dan Persia.

Transaksi Menggunakan Dinar dan Dirham di Indonesia

Selain bukan merupakan sunnah Nabi, Negara Kesatuan Republik Indonesia juga mempunyai undang-undang mengenai transaksi yang tidak menggunakan rupiah. Bank Indonesia (BI) menegaskan setiap orang yang tidak menggunakan rupiah dalam bertansaksi itu dapat dijatuhi pidana kurang paling lama satu tahun. Di samping itu, orang terkait juga dibebankan denda maksimal Rp. 200 juta.

Peraturan ini tertuang dalam UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Peraturan ini memberlakukan kewajiban penggunaan rupiah dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang, dan transaksi keuangan lainnya.

Berdasarkan kriteria yang disebutkan oleh K.H. Mustafa Ali Ya’qub di atas dan Undang-undang dari BI, dapat kita simpulkan bahwa bertransaksi dengan dinar dan dirham masih masuk wilayah tradisi yang berlaku pada zaman tertentu, dan sama sekali tidak termasuk sunnah Nabi yang harus diamalkan oleh umat Islam. Di samping itu, terdapat risiko hukum yang dapat ditanggung apabila memaksakan menggunakan selain rupiah. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Menjadi Cahaya Zaman

Sebagaimana Rasulullah SAW menjadi cahaya pada zamannya, kita juga menjadi cahaya pada zaman kita.

Setiap Rabiul Awal, kita diingatkan kembali dengan momen kelahiran seorang tokoh besar dunia yang telah mengubah dan menentukan jalannya sejarah umat manusia, yakni Nabi Muhammad SAW. Michael H Hart, astrofisikawan asal Amerika bahkan menempatkannya di peringkat pertama dari seratus tokoh paling berpengaruh di dunia dalam bukunya yang sangat populer, The 100, A Ranking of The Most Influential Persons in History (1978).

Sebuah pengakuan yang tentu saja bukan tanpa alasan. Kita mengenal sosok Nabi Muhammad, selain sebagai utusan Allah yang menerima wahyu Allah dan diperintahkan untuk menyampaikan kepada umat manusia, beliau SAW juga seorang manusia yang secara tabiat sangat baik dan layak diteladani.

Banyak tokoh besar dunia yang kemudian tenggelam dan dilupakan sejarah, tetapi tidak dengan Muhammad SAW. Sepanjang sejarah, Nabi SAW selalu menjadi bahan pembicaraan dan ditulis dalam berbagai buku, tak hanya di dunia Islam tetapi juga di luar Islam, dari kalangan orang biasa hingga orang-orang besar, pemikir, dan kaum cendekiawan.

Sebagai utusan Allah, Nabi SAW telah menyampaikan dakwah dengan baik dan berhasil sesuai perintah Allah selama lebih kurang 23 tahun, 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah. Berbagai caci-maki dan kekerasan, baik verbal maupun fisik, beliau hadapi dengan sabar.

Setelah hijrah ke Madinah, peperangan demi peperangan demi mempertahankan iman dan Islam, juga dilakoni tanpa pernah gentar atau surut sedikit pun. Menang kalah juga telah dialami; menang di Perang Badar dan kalah di Perang Uhud.

Sebagai manusia biasa, tabiat Rasulullah sangat baik, seperti murah hati, jujur, penyayang, suka membantu orang lain, terutama yang kesusahan, amanah, dan lainnya, juga menjadi nilai tinggi yang membuat banyak orang respek, tertarik, dan mencintai dengan tulus.

Allah menyebut karakter Nabi SAW dalam Alquran, “Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang baik.” (QS al-Qalam [68]: 4)

Budi pekerti ini telah melekat pada diri Nabi SAW, bahkan sebelum menjadi rasul. Setelah menjadi utusan Allah, akhlak Nabi SAW adalah Alquran, seperti disampaikan oleh Ummul Mukminin Aisyah (HR Ahmad).

Karena itu, Nabi Muhammad adalah “insan kamil” (manusia sempurna), yang menurut Ibnu Arabi, manusia yang telah sempurna dari segi wujud dan pengetahuannya. Sementara, menurut al-Jili, Rasulullah adalah contoh manusia ideal. Jati diri Nabi SAW tak semata-mata dilihat sebagai utusan Allah, tetapi juga sebagai cahaya (nur) Ilahi yang menjadi pangkal atau poros kehidupan di jagat raya.

Rabiul Awal yang dikenal juga sebagai “bulan Maulid” seyogianya tak berhenti pada aspek seremonial, peringatan, atau perayaan, tetapi berlanjut kepada kesadaran untuk mengenal lebih dekat sosok Nabi Muhammad dan meneladan akhlak luhur beliau.

Sebagaimana Rasulullah SAW menjadi cahaya pada zamannya, kita juga menjadi cahaya pada zaman kita sekarang dengan akhlak luhur, baik terhadap sesama maupun alam sekitar.

Wallahu a’lam.

OLEH FAJAR KURNIANTO

KHAZANAH REPUBLIKA

Carilah Rezeki yang Halal

Mencari rezeki yang halal hukumnya wajib.

Bekerja mencari rezeki yang halal dan baik itu wajib bagi setiap Muslim. Sebab rezeki yang halal dapat mengantarkan orang itu semakin dekat kepada Allah.  Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :طَلَبُ الْحَلَا لِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.

Rasulullah ﷺ bersabda: mencari rezeki yang halal hukumnya wajib atas setiap orang Muslim (HR Thabrani)

Dalam riwayat lainnya dijelaskan bahwa rezeki yang halal itu dapat menjadikan seseorang mustajab doanya. Mengapa? karena tubuhnya itu bersih atau tidak tercampur dengan barang-barang syubhat, barang haram. Karena sejatinya segala sesuatu yang diperoleh dengan cara haram itu akan menghalangi diri dari cahaya Allah. Akan sulit baginya untuk mau rukuk dan sujud. Sehingga orang tersebut akan semakin jauh meninggalkan Allah, terjerembab dalam keburukan. 

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : تُلِيَتْ هَذِهِ الْاَيَةُ عِنْدَرَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (يَااَيُّهَاالنَّاسُ كُلُوْامِمَّافِى الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا) فَقَامَ سَعْدُابْنُ أَبِى وَقَّاصٍ فَقَالَ:  يَارَسُوْلَ اللَّهِ ,اُدْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِى مُسْتَجَابَ الدَّعْوَةِ فَقَالَ لَهُ النَّبِىُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَاسَعْدُ, أَطِبْ مَطْعَمَكَ تَكُنْ مُسْتَجَابَ الدَّعْوَةِ. وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ إِنَّ الْعَبْدَ لَيَقْذِفَ اللُّقْمَةَ الْحَرَامَ فِى جَوْفِهِ مَايُتَقَبَّلُ مِنْهُ عَمَلُ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًاوَاَيُّمَا عَبْدٍ نَبَتَ لَحْمُهُ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُأَوْلَى بِهِ.

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, ia berkata: dibacakan ayat ini disamping Rasulullah ﷺ: 

يَااَيُّهَاالنَّاسُ كُلُوْامِمَّافِى الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا

Wahai sekalian umat manusia makan olehmu sebagian rezeki yang ada dimuka bumi yang halal dan baik.

Lalu berdiri Saad bin Abi Waqas, ia berkata: Ya Rasulullah doakan kepada Allah supaya Allah menjadikan saya orang yang mustajab doanya. Nabi menjawab: Wahai Saad, upayakanlah yang halal makananmu, maka engkau akan menjadi orang yang diijabah doanya. Dan demi Allah yang mana diri nabi Muhammad ada pada kekuasaan Nya, sungguh ada seorang hamba yang memasukan sesuap nasi yang haram dalam perutnya, dia tidak diterima amal ibadah selama empat puluh hari. Dan hamba yang tumbuh dagingnya dari barang haram maka neraka lebih layak bagi orang itu. (HR. Thabrani) 

KHAZANAH REPUBLIKA