Riya adalah Penyakit Hati yang Harus Dihindari, Ini Ciri-cirinya

Riya adalah penyakit hati yang harus dihindari karena dapat merusak amal kebaikan. Dalam Al Quran disebutkan bahwa orang yang berbuat riya termasuk golongan orang yang celaka.

Riya termasuk salah satu sifat orang munafik. Sifat ini bertentangan dengan sifat orang beriman yang senantiasa ikhlas dalam melakukan segala sesuatu. Orang yang berbuat riya tidak akan mendapat apapun atas kebaikan yang mereka kerjakan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 264 berikut ini:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُبْطِلُوْا صَدَقٰتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْاَذٰىۙ كَالَّذِيْ يُنْفِقُ مَالَهٗ رِئَاۤءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ فَمَثَلُهٗ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَاَصَابَهٗ وَابِلٌ فَتَرَكَهٗ صَلْدًا ۗ لَا يَقْدِرُوْنَ عَلٰى شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُوْا ۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْكٰفِرِيْنَ – ٢٦٤

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu yang licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.” (QS. Al Baqarah: 264)




Berikut pengertian, ciri-ciri, dan cara menghindari riya,


A. Pengertian riya

Riya berasal dari bahasa Arab ra’a-yara-ruyan-wa ru’yatan yang artinya melihat. Menurut istilah riya adalah memperlihatkan diri kepada orang lain agar keberadaannya baik ucapan, tulisan, sikap, maupun amal perbuatannya diketahui.

Riya juga dapat diartikan sebagai sikap ingin dipuji atau disanjung orang lain atas perbuatan yang telah dilakukan. Orang yang berbuat riya termasuk golongan orang yang celaka. Allah SWT berfirman dalam surat Al Maun:

اَرَءَيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّبُ بِالدِّيْنِۗ – ١ فَذٰلِكَ الَّذِيْ يَدُعُّ الْيَتِيْمَۙ – ٢ وَلَا يَحُضُّ عَلٰى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِۗ – ٣ فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَۙ – ٤ الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَۙ – ٥ الَّذِيْنَ هُمْ يُرَاۤءُوْنَۙ – ٦ وَيَمْنَعُوْنَ الْمَاعُوْنَ ࣖ – ٧

Artinya: “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap salatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan) bantuan.” (QS. Al Maun: 1-7)


B. Ciri-ciri orang riya

Menurut Ali bin Abi Thalib, ciri-ciri orang riya terdapat dalam jiwa seseorang. Di antara ciri-ciri orang riya adalah malas jika seorang diri, giat jika di tengah-tengah orang banyak, tambah semangat beramal jika mendapatkan pujian, dan berkurang frekuensi amalannya jika mendapat celaan.

Dikutip dari buku Akidah Akhlak untuk Madrasah Aliyah Kelas X oleh Aminudin dan Harjan Syuhada, ada enam jenis riya di dunia ini. Antara lain riya dengan perkataan, riya dengan amal perbuatan, riya dengan badan, riya dengan tingkah laku dan pakaian, riya dengan kepandaian, dan riya dengan banyak teman dan pergaulan.

C. Cara menghindari riya

Perbuatan riya sebagai salah satu penyakit hati dapat dihindari dengan cara mendekatkan diri kepada Allah SWT atau muraqabah. Dalam buku Quran Hadits yang ditulis oleh Muhaemin dikatakan bahwa mendekatkan diri kepada Allah dan mengingat nama-Nya setiap saat akan menjadikan hati menjadi bersih.

Riya juga dapat dihindari dengan meluruskan niat melakukan segala sesuatu karena Allah SWT. Selain itu, berbuat sewajarnya dan tidak membicarakan perbuatan yang telah dilakukan juga dapat menjadi cara untuk menghindari munculnya penyakit hati ini.

Perbuatan riya dilarang dalam Islam. Bahkan, riya disebut termasuk dosa dari jenis syirik. Semoga Allah SWT melindungi kita semua dari perbuatan riya dan penyakit hati lainnya. Aamiin ya rabbal alamin.

DETIKHIKMAH

Rasulullah Tegur Kelompok yang Ekstrim dalam Beribadah dan Berakidah

Kelompok yang sering ekstrim dalam beribadah maupun berakidah memang tidak bisa dihilangkan dari sejarah setiap peradaban. Mulai dari zaman Rasulullah, sahabat, tabiin, tabiut tabiin, salaf hingga masa kini.

Kelompok yang sering ekstrim dalam beribadah maupun berakidah itu selalu memberikan corak warna berbeda dengan ciri khasnya yang selalu menampakkan ajaran paling islami, namun pada kenyataannya justru menggerogoti dan menciderai ajaran Islam itu sendiri.

Dalam sebuah hadits shahih pernah diceritakan, ada sekelompok sahabat yang berkunjung ke rumah istri Rasulullah SAW. Mereka bertanya tentang ibadahnya Rasulullah. Setelah mendapatkan jawaban, para sahabat itu merasa bahwa ibadah yang selama ini mereka lakukan sangatlah sedikit, dibandingkan dengan ibadah Rasulullah yang notabenenya suci dari segala aib.

Semenjak itu, masing-masing dari mereka bertekad untuk meningkatkan kuantitas ibadahnya. Ada yang ingin puasa terus menerus, ada yang ingin ibadah di waktu malam setiap hari, ada juga ada yang ingin tidak menikah sama sekali.

Di lain hari, mereka bertemu dengan Rasulullah yang mana beliau sudah mengetahui tekad sahabat tersebut.

Rasulullah bersabda: “kalian mau beribadah seperti itu? Demi Allah! Aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertaqwa, namun ada hari di mana aku berpuasa dan ada hari yang aku tidak berpuasa, aku shalat dan aku juga memiliki waktu tidur, dan aku juga menikahi perempuan, siapa yang tidak senang dengan sunnahku, maka dia bukan golonganku.”

Hadits ini secara tidak langsung memberikan sedikit gambaran tentang ekstrimisme pada masa lalu, atau yang biasa disebut dalam khazanah islam dengan tatharruf atau ghuluw. Dua istilah tersebut secara bahasa memiliki arti yang mirip, yaitu berlebihan dan melampaui batas.

Sikap ekstrim ini tidak hanya terjadi pada ibadah fisik, seringkali ia juga masuk ke ranah ideologi atau keyakinan. Dalam ranah ini biasanya orang tersebut menganggap siapapun di luar dirinya sebagai orang  sesat, tidak memungkinkan adanya kebenaran di pihak lain, memungkiri adanya keberagaman, dan sering memaksakan kehendak seakan hanya dia lah yang benar, dan orang lain pasti salah.

Dalam hadits riwayat Muslim dikatakan bahwa orang yang berlebih-lebihan dalam beragama pasti akan celaka. Bahkan lebih dari itu, hadits riwayat Ibnu Majah menyebutkan dengan konteks yang berbeda, tidak hanya celaka, ekstrimisme bahkan mencelakakan orang lain.

Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim (6/220) menjelaskan siapa orang yang berlebihan tersebut:

المُتَعَمِّقُوْنَ الغَالُوْنَ المُجَاوِزُوْنَ الحُدُوْدَ فِي أَقْوَالِهِمْ وَأفْعَالِهِمْ.

Artinya, “Orang yang memperdalam dan berlebih-lebihan terhadap sesuatu yang melampaui batas, baik perkataan-perkataan maupun perbuatan mereka.”

Fenomena ekstrimis yang biasa terlihat di masa kini adalah apa yang menimpa beberapa kelompok yang dengan mudah menggerakkan lidah mereka untuk mengusik kemuliaan para ulama yang telah meneruskan estafet perjuangan nabi dalam menyampaikan agama sesuai dengan visi dan misi yang telah ditetapkan.

Ulama yang diusik adalah ulama besar yang menghabiskan umurnya untuk berkhidmat bagi agama. Berjuang dengan sekuat tenaga. Imam Abu Hanifah pernah dituduh sebagai orang bid’ah yang tersesat, Imam Nawawi, Imam Al-Ghazali, Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Sulthan Al-Ulama Izzuddin bin Abdis Salam, jerih payah mereka dalam berkhidmat untuk agama masih kita rasakan hingga saat ini. Semoga Allah merahmati mereka.

Tidak diragukan, bahwa menyerang ulama dengan cacian sebabnya kurang faham dalam memahami permasalahan agama, atau belajar dengan dalam tapi tidak pada guru yang tepat, sehingga lahirlah pion-pion yang seenaknya menyimpulkan hukum, dan menyerang semua orang yang berbeda dengannya, bahkan menganggap pendapat orang lain sebagai pendapat yang bodoh.

BINCANG SYARIAH

6 Sosok Ini Disebut Memiliki Kemiripan dengan Rasulullah SAW

Kemiripan tersebut menyerupai fisik dan akhlak Rasulullah SAW

Rasulullah, Muhammad SAW, adalah sosok yang sempurna. Baik fisik ataupun akhlaknya. 

Kendati demikian, ada sejumlah sosok yang disebut mempunyai kemiripin fisik dengan Rasulullah. Beberapa di antaranya memiliki kedekatan dengan Rasulullah SAW dari segi nasab. 

Pertama, di antara mereka, yang paling mirip ialah Nabi Ibrahim AS. Nabi Muhammad SAW menggambarkan penampilannya kepada para sahabatnya, dan mengatakan bahwa Nabi Ibrahim adalah yang paling mirip dengan Nabi Muhammad. Dari Jabir RA, Nabi SAW bersabda: 

وَقَدْ رَأَيْتُنِي فِي جَمَاعَةٍ مِنَ الأَنْبِيَاءِ فَإِذَا مُوسَى قَائِمٌ يُصَلِّي فَإِذَا رَجُلٌ ضَرْبٌ جَعْدٌ كَأَنَّهُ مِنْ رِجَالِ شَنُوءَةَ وَإِذَا عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – قَائِمٌ يُصَلِّي أَقْرَبُ النَّاسِ بِهِ شَبَهًا عُرْوَةُ بْنُ مَسْعُودٍ الثَّقَفِيُّ وَإِذَا إِبْرَاهِيمُ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – قَائِمٌ يُصَلِّي أَشْبَهُ النَّاسِ بِهِ صَاحِبُكُمْ – يَعْنِي نَفْسَهُ

 “…Para Nabi pernah diperlihatkan kepadaku. Aku melihat Musa AS mirip dengan Syanuah (nama kabilah di Yaman) yang berpostur tegap. Aku melihat Isa ibnu Maryam AS ternyata mirip Urwah ibnu Masud. Dan aku melihat Ibrahim AS yang mirip dengan orang yang bersama kalian ini (Rasulullah SAW sendiri). Kemudian aku melihat Jibril AS yang mirip dengan Dihyah.” (HR Muslim, Tirmidzi dan Ahmad)

Kedua, adalah Jafar bin Abi Thalib. Jafar adalah sepupu Rasulullah SAW, dengan nasab yaitu bin Abi Thalib bin Abdul Manaf bin Abdul Muthalib. Dari Al Bara bin Azib, Nabi SAW berkata kepada Jafar: 

أشبهت خُلُقي وخَلْقي “Rupa dan perilakumu mirip denganku.” (HR Bukhari)

Jafar termasuk di antara orang-orang yang pertama masuk Islam dan ikut berhijrah bersama Rasulullah. Dia mati syahid di medang pertempuran Mutah.

Ketiga, ialah Hasan bin Ali. Ini diketahui berdasarkan Musnad Ahmad. Dari Uqbah bin Al Harits, dia berkata: 

“Aku melihat Abu Bakar sedang menggendong Hassan yang sebelumnya bermain dengan anak-anak sebayanya. Abu Bakar berkata, ‘Ayahku menjadi tebusannya, dia (Hassan) mirip Nabi, bukan mirip Ali.'” Mendengar hal itu, Ali pun tertawa. 

Keempat, adalah Abu Sufyan bin Al Harits yang merupakan sepupu Rasulullah SAW. Dia adalah ayah dari Muawiyah. Diriwayatkan dari Abdullah bin Al Harits bin Naufal, bahwa Abu Sofyan bin Al Harits diserupakan dengan Nabi SAW. 

Kelima, ialah Al Saib bin Ubaid. Lengkapnya adalah Al Saib bin Ubaid bin Abd Yazid bin Hashim bin Abdul Muthalib. Rupanya, nama kelima yang mirip Nabi Muhammad ini adalah kakek dari Imam Asy Syafii, salah satu dari empat imam mazhab.

Dalam kitab al-Nasb, Al Zubair menyampaikan bahwa Ubaid bin Abd Yazid Al Saib lahir dan diserupakan dengan Nabi Muhammad. Al Kalbi juga menyebut Al Saib punya kemiripan dengan Nabi SAW. 

Keenam, adalah Qutsm bin Abbas bin Abdul Muthalib. Nama terakhir ini juga sepupu Rasulullah SAW. Dia masuk Islam ketika masih muda, dan ia adalah saudara dari Hussein bin Ali karena sepersusuan. 

Al Dzahabi mengatakan, Qutsm punya kemiripan dengan Nabi Muhammad SAW. Al Abbas bin Abdul Muthallib pun biasa melihat kemiripan itu. 

Sumber: masrawy

KHAZANAH REPUBLIKA

Cara Allah SWT Ajarkan Adab kepada Hamba-Nya

Allah SWT menekankan pentingnya adab bagi Muslim

Mantan Mufti Agung Mesir, Syekh Ali Jumah menyampaikan soal bagaimana Allah SWT mengajari adab atau tata krama kepada para hamba-Nya melalui Nabi Muhammad SAW.

“Allah SWT mengajarkan tata krama kepada kita semua melalui Nabi Muhammad, ketika beliau SAW menyapa para nabi yang lain,” terang Syekh Jum’ah dilansir dari Elbalad, Jumat (5/11).

Namun, Nabi Muhammad SAW tidak memanggil mereka dengan nama saja, tetapi dengan dilengkapi ‘Ya Ayyuhannabi’, ‘Ya Ayyuharrosul’. Nabi SAW menunjukkan bahwa Allah SWT memerintahkan untuk bersikap sopan santun kepada para Nabi dan juga menghormatinya.

إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ وَتُسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا

“Sesungguhnya Kami mengutus engkau (Muhammad) sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)-Nya, membesarkan-Nya. Dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (QS Al Fath ayat 8-9)

Syekh Jumah melanjutkan, seorang Muslim dilarang mendahului Allah SWT dan Rasul-Nya. Tak hanya itu, setiap Muslim juga diperingatkan untuk tidak meninggikan suara terhadap suara yang mulia atau berbicara dengan suara yang lantang atau keras kepadanya. Allah SWT berfirman: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap yang lain, nanti (pahala) segala amalmu bisa terhapus sedangkan kamu tidak menyadari.” (QS Al Hujurat ayat 2). Dalam ayat berikutnya surat Al Hujurat 3, Allah SWT berfirman: 

إِنَّ الَّذِينَ يَغُضُّونَ أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ امْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوَىٰ ۚ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah, mereka itulah orang-orang yang telah diuji hatinya oleh Allah untuk bertakwa. Mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar.”

Karena itu, Syekh Jum’ah mengatakan, hak sebagai seorang Muslim adalah mematuhi perintah Allah SWT dan mencintai Rasulullah SAW dengan belajar adab dari beliau SAW serta mendoakannya setiap kali kita berdoa.

“Dan (saat berdoa) tidak menyebut dengan namanya karena rasa hormat yang kita taruh kepada beliau SAW,” jelas Syekh Jumah.

Sumber: elbalad 

KHAZANAH REPUBLIKA

3 Ayat Alquran yang Bisa Mengubah Anak Jadi Lebih Baik

Ada tiga ayat suci Alquran yang jika dibaca maka bisa mengubah hidup si buah hati menjadi lebih baik. Allah SWT berfirman, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amal kebajikan yang terus-menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS Al-Kahfi ayat 46)

Orang tua mana saja tentu senang jika anaknya berada dalam keadaan sehat dan baik-baik saja. Namun, tak dapat dielakkan, terkadang para orang tua mengeluhkan anak-anak mereka karena tak terkendalikan sehingga orang tua mencari sesuatu yang dapat mengubah kondisi anak-anaknya menjadi lebih baik.

Mubaligh Mesir, Syekh Dr Muhammad Abu Bakr, menyampaikan, ada tiga ayat yang dibaca pada pagi hari maka akan melihat keajaiban dari anak-anaknya. “Saya akan berikan hadiah ini kepada Anda sekalian. Jika rajin membacanya setiap pagi, maka Allah SWT akan mengubah kondisi anak-anak kita,” tutur dia dilansir dari laman Elbalad.

Ayat pertama ialah ayat 15 dalam Surah Al-Ahqaf:

رَبِّ اَوْزِعْنِيْٓ اَنْ اَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِيْٓ اَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلٰى وَالِدَيَّ وَاَنْ اَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضٰىهُ وَاَصْلِحْ لِيْ فِيْ ذُرِّيَّتِيْۗ اِنِّيْ تُبْتُ اِلَيْكَ وَاِنِّيْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ

“Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridai; dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sungguh, aku termasuk orang muslim.”

Ayat kedua adalah ayat 74 Surah al-Furqon.

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“Wahai Tuhan kami, jadikanlah istri-istri dan anak-anak kami orang-orang yang shalih. Jadikanlah anak keturunan kami suri teladan bagi orang-orang yang shalih.” 

Ayat ketiga yaitu ayat 83-85 Surah Asy-Syu’ara: 

رَبِّ هَبْ لِي حُكْمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ وَاجْعَلْ لِي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الْآخِرِينَ وَاجْعَلْنِي مِنْ وَرَثَةِ جَنَّةِ النَّعِيمِ

 “”Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh, dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian, dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang memusakai surga yang penuh kenikmatan…”

Syekh Abu Bakr menyarankan kepada setiap orang tua untuk menghafal ayat-ayat ini dan pastikan membacanya setiap hari di pagi hari. “Dan dalam waktu satu bulan, mereka akan menemukan perubahan pada anak-anak mereka,” tuturnya.

IHRAM

Khutbah Jumat; Perlakuan Nabi Muhammad Terhadap Non Muslim

Pada khutbah Jumat kita akan membicarakan perlakuan Nabi Muhammad terhadap non muslim. Hal ini penting sekali, sebab Nabi adalah tauladan bagi umat manusia. Pun, tema ini jarang sekali dibicarakan dalam khutbah dan pengajian.

Khutbah Pertama

إنَّ الحَمدَ لله نحمدُهُ ونستعينهُ ونستهديهِ ونشكرُهُ ونعوذُ بالله من شرورِ أنفسِنَا ومن سيئاتِ أعمالنا، مَن يهدِ الله فلا مُضِلَّ لهُ ومن يُضلِل فلا هاديَ له، وأشهدُ أنْ لا إلـهَ إلا الله وحدَهُ لا شريكَ لهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ ونَصَرَ عَبْدَهُ وأعَزَّ جُنْدَهُ وهَزَمَ الأحزابَ وَحْدَهُ، وأشهدُ أنَّ سيّدَنا وحَبيبَنا وقائِدَنا وقُرَّةَ أَعْيُنِنا محمّدًا عبدُ الله ورسولُهُ وصَفِيُّهُ وحبيبُهُ، صلَّى الله وسلَّمَ عليهِ وعلى كلّ رسولٍ أَرْسَلَهُ. أمّا بعدُ عبادَ الله فإنّي أوصيكُمْ ونفسي بِتَقوَى الله العظيمِ القائِلِ في مُحْكَمِ كتابِهِ: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ ﴾ [سورة ءال عمران]

Ungkapan rasa syukur selalu kita ucapkan pada Allah yang telah memberikan kepada kita kesehatan dan kesempatan, sehingga kita bisa berkumpul untuk melaksanakan ibadah salat Jumat. Syukur adalah rasa terima kasih seorang Hamba kepada Tuhannya. Dan lebih dari itu, syukur hakikatnya adalah kesadaran diri.

Salawat kita haturkan keharibaaan nabi yang sangat mulia. Seorang manusia yang memiliki sumbangsih besar pada dunia. Manusia pertama yang memperkenalkan Hak Asasi. Seorang Rasul yang baik akhlak dan perilakunya. Seorang manusia sejati, yang mengajarkan kepada manusia untuk memuliakan manusia. Dialah Baginda Nabi, Muhammad SAW. Akhlak tauladan Rasul tampaknya, sangat penting untuk direnungi manusia modern saat ini.

Dengan lafaz:

Allohumma solli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad

Sebagai khatib, kami berkewajiban untuk mengajak kita semua untuk meningkatkan Iman dan Takwa kita kepada Allah. Dengan Iman dan Takwa hidup kita akan bahagia di dunia dan akhirat kelak.

Hadirin pendengar Jumat yang berbahagia

Di Indonesia, buku sejarah atau tarikh Islam,  senantiasi didominasi sejarah perang. Buku itu beredar luas di pelbagai level institusi pendidikan, dari level paling bawah hingga pada perguruan tinggi. Sekilas, seolah tergambar, sejarah Islam adalah sejarah perang.

Jamak yang ditonjolkan dibuku sejarah Islam, Nabi berperang dengan suku Yahudi ini. Nabi angkat senjata dalam perang Khandaq, Badar, Uhud, serta perang lainnya. Tak kalah heroik, Nabi juga berperang dengan tentara Romawi. Yang terbilang heroik juga, Nabi juga bertempur melawan tentara Persia.

Padahal nyatanya, sejarah Islam tak melulu tentang perang. Pun sejarah Nabi, tak selalu berkaitan dengan perang dan penumpasan pemberontak. Nabi Muhammad,sejatinya adalah sosok yang lembut dan penuh kasih. Rasulullah itu pengasih, bukan saja pada sahabat yang muslim, tetapi juga kaum non muslim.

Hadirin pendengar Jumat yang berbahagia

Hubungan Nabi Nabi Muhammad dan non muslim sudah terjadi jauh hari sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul di usia 40 tahun. Mekah, tempat beliau tinggal awalnya, terdapat komunitas agama yang berbeda, pun juga ada aliran kepercayaan.

Terlebih saat Nabi dan sahabat memutuskan untuk Hijrah ke negeri Yastrib. Yang kemudian hari berganti nama menjadi Madinah, persentuhan Rasulullah dengan non muslim kian intens. Pasalnya, Madinah merupakan wilayah yang sangat beragama. Ada komunitas Yahudi, Kristen, Majusi, dan komunitas agama lain hidup di wilayah baru itu.

Meski dihuni penduduk lintas iman dan kepercayaan, Madinah tetap menjadi yang sangat dicintai Nabi. Dari Madinah kemudian Islam menyebar luas. Dari Madinah pula, Nabi kiprah Nabi kian dikenal. Di kehidupan sosial, Nabi dan para non muslim yang tinggal dan hidup di negeri Madinah senantiasa bekerjasama, terutama menjaga ketentraman dan keamanan Madinah.

Yusuf Qardhawi dalam kitab Goiru al Muslim fi almujtama’ al Islami, mendokumentasikan kisah kebaikan Nabi terhadap non muslim. Sehari-hari, Nabi Muhammad  bergaul dengan masyarakat ahli kitab. Ketika senggang, Nabi biasa bertandang ke rumah tetangganya yang non muslim.  Pun ketika mereka  tengah sakit, Rasulullah mengunjungi mereka, sebagai solidaritas.

Simak penuturan Syekh Dr. Yusuf Qardhawi terhadap tindakan Nabi dalam bergaul dengan non muslim. Yusuf Qardhawi berkata;

وتتجلى هذه السماحة كذلك في معاملة الرسول صلى الله عليه وسلم لأهل الكتاب يهودًا كانوا أو نصارى، فقد كان يزورهم ويكرمهم، ويحسن إليهم، ويعود مرضاهم، ويأخذ منهم ويعطيهم.

Artinya; Rasulullah senantiasa menyemarakkan toleransi dalam pergaulan dengan ahli kitab, sama ada itu Yahudi dan Nasrani, maka sesungguhnya Nabi mengunjungi mereka untuk bersilaturrrahmi, dan nabi juga memuliakan mereka, dan berbuat kebajikan pada mereka, dan mengunjungi orang yang sakit, dan ia mengambil dari mereka dan juga memberi pada mereka.

Hadirin Pendengar Jumat yang berbahagia

Pada sisi lain, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, dalam kitab Ahkām ahl al-dzimmah, jilid I, halaman 397, mengisahkan tentang delegasi Bani Najran—yang notabenenya beragama Kristen—, ke Madinah. Utusan ini datang menemui Nabi untuk menjalin hubungan diplomasi. Bani Najran ingin meminta perlindungan dari Nabi dan menjalin perjanjian damai dengan Rasulullah.

Utusan Najran yang berjumlah 14 orang ini sampai setelah waktu Ashar. Menariknya, begitu tiba di Madinah, mereka langsung masuk ke dalam Masjid Nabawi. Tak hanya itu,  mereka juga melaksanakan sembahyang di masjid Rasulullah, sambil menghadap ke arah timur.

Rasulullah yang menyaksikan non muslim masuk masjid dan sembahyang ala Kristen di Masjid Nabawi membiarkan saja. Justru,  Nabi menegur salah serang sahabat yang berdiri untuk melarang non muslim yang sembahyang dalam masjid. Nabi bersabda pada sahabat yang ada di masjid, ”Biarkan mereka shalat.”

Diplomasi Kristen Najran itu pun membuahkan hasil memuaskan. Nabi Muhammad memberikan perlindungan dan keamanan pada Bani Najran. Nabi menuliskan surat perjanjian yang berisi larangan menyakiti Kristen Najran, larangan merusak geraja. Juga larangan menyakiti pendeta, uskup, dan biarawati mereka. Dalam kitab Futuhul Buldan, karya Syekh Al Baladzuri, didokumentasikan isi surat damai tersebut yang dicatat oleh Ali bin Abi Thalib;

  “Dengan Nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ini adalah surat Nabi Muhammad kepada Bani Najran. Bagi Penduduk Najran, Jaminan dari Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah atas agama, tanah, harta, dan kafilah mereka yang hadir maupun tidak hadir. Semisal mereka tidak mengubah apa yang sudah ada dan tidak mengubah hak-hak mereka.

Uskup, pendeta, dan penjaga gereja tak boleh diganggu apa yang ada di tangan mereka baik sedikit maupun banyak. Mereka tidak boleh diusir dari tanah mereka, dan tidak boleh diambil sepersepuluh dari tangan  mereka. Tanah mereka tak boleh diinjak oleh tentara kaum muslimin.

Bagi mereka atas apa yang tertulis dalam lembaran ini jaminan dari Allah dan Muhammad selamanya sampai datang perintah Allah, selagi mereka menerima nasihat dan memperbaiki apa yang menjadi kewajiban mereka tanpa mereka dibebani dengan sesuatu secara dzalim. Sebagai saksinya adalah Abu Sufyan bin Harb, Ghilan bin Amr,Malik bin Aufdari Nashr, Al Aqra bin Habis al Hanzhali.  Dan Mughiroh sebagai penulis.

Hadirin Pendengar Jumat yang berbahagia

Sementara itu, Ishom Talimah, seorang ulama besar dari Universitas Al Azhar Mesir, yang juga murid Yusuf Qardhawi, menulis dalam buku Manhaj Fikih Yusuf al Qardhawi, suatu waktu Rasulullah pernah melintasi suatu daerah perang. Ketika lewat Nabi melihat seorang perempuan yang terbunuh. Melihat pemandangan itu Nabi bersedih dan lantas berujar,” Tidak seharusnya wanita ini diperangi dan dibunuh,”. Itulah teguran Nabi pada sahabat yang berperang.

Syekh Ishom Talimah menyebutkan penjelasan Rasulullah itu mengambarkan bahwa kaum wanita non muslim tak boleh diperangi dan dibunuh. Meskipun dalam perang, ada pelbagai adab yang tak boleh dilanggar oleh kaum muslimin. Anak-anak, orang tua, dan orang lemah tak berdaya, tak dibenarkan dibunuh.

Bisa dipahami, bahwa pelbagai perang yang terjadi pada masa Nabi dan setelah itu era sahabat, bukanlah disebabkan  berbeda agama dan doktrin teologis. Akan tetapi, perang yang berkecamuk tersebut, seperti kata Ibnu Taymiyah dalam Risalah Qital, disebabkan oleh serangan dan permusuhan dari non muslim. Perang ini lebih disebakan faktor ekternal, semisal pengkhianatan perjanjian.

Hadirin Pendengar Jumat yang berbahagia

Adapun ayat dalam Q.S al Fath/48;29, yang menerangkan sikap Nabi Muhammad yang keras pada kaum kafir, para ulama tafsir menjelaskan bahwa ayat ini turun dalam konteks genting dan suasana konflik.

Pasalnya, kaum muslimin dilarang menunaikan haji oleh kaum musyrik Mekah. Yang ujungnya melahirkan perjanjian Hudaibiah . Pun perjanjian ini dinilai para sahabat merugikan umat Islam. Sebelum lebih jauh, simak  Q. S al Fath/48;29 berikut;

مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللّٰهِ ۗوَالَّذِيْنَ مَعَهٗٓ اَشِدَّاۤءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاۤءُ بَيْنَهُمْ تَرٰىهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَّبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانًا ۖ سِيْمَاهُمْ فِيْ وُجُوْهِهِمْ مِّنْ اَثَرِ السُّجُوْدِ ۗذٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ ۖوَمَثَلُهُمْ فِى الْاِنْجِيْلِۚ كَزَرْعٍ اَخْرَجَ شَطْـَٔهٗ فَاٰزَرَهٗ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوٰى عَلٰى سُوْقِهٖ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيْظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ ۗوَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ مِنْهُمْ مَّغْفِرَةً وَّاَجْرًا عَظِيْمًا

Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka, ampunan dan pahala yang besar.

Hadirin Pendengar Jumat yang berbahagia

Ibnu Abbas dalam kitab Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibni ‘Abbas yang ditulis oleh Al-Fairuzabadi. Ibnu Abbas mengatakan bahwa tafsir Q.S al Fath/48;29, menjelaskan sikap yang melekat dalam diri sahabat Nabi dalam menyikapi perjanjian Hudaibiyah.

Perjanjian ini lahir, imbas dari penolakan kaum musyrik Mekah terhadap Nabi dan kaum muslimin yang ingin menunaikan ibadah haji. Sialnya, dalam perjanjian tersebut dinilai merugikan Nabi dan umat Islam.

Ibnu Abbas berkata yang dimaksud dalam ayat “Asyiddāu a’la al Kuffāri” adalah Umar bin Khattab. Dalam naskah perjanjian Hudaibiyah, kaum pagan Mekah memaksa Rasul untuk menghapus kalimat “Muhammad Rasulullah”, sebab mereka tak percaya akan kenabian Muhammad. Sebagai kata pengganti yang dihapus adalah Muhammad bin Abdullah.

Mendengar permintaan kaum musyrik itulah, Umar bin Khattab menunjukkan sikapnya yang tegas. Ia tak terima dengan permintaan Quraish itu. Sehingga ayat ini, menurut Ibnu Abbas ditujukan untuk menerangkan sikap keras Umar bin Khattab.  Kemudian,  “ruhamā’u bainahum “ (berkasih sayang sesama mereka) ini ditujukan kepada Utsman bin Affan).

Kemudian ayat yang berbunyi tarāhum rukka’an sujjadā” (kamu lihat mereka ruku’ dan sujud), ini ditujukan pada sikap Ali bin Abi Thalib (ini menyifatkan Ali bin Abi Thalib).  Terakhir ayat,  yang berbunyi “yabtaghūna fadhlan minallah wa ridwana”(mencari karunia dan keridhaan Allah, merujuk pada sikap Thalhah dan Zubair. Inilah sifat yang melekat pada sahabat Nabi yang juga mendapat jaminan masuk surga.

Ibnu Abbas menjelaskan makna keras pada orang kafir sebagai berikut;

{أَشِدَّآءُ عَلَى الْكفَّار} بالغلظة وَهُوَ عمر كَانَ شَدِيدا على أَعدَاء الله قَوِيا فِي دين الله ناصراً لرَسُول الله

Artinya; keras terhadap orang kafir , merujuk pada sikap pada Umar bin Khattab, yang keras terhadap musuh-musuh Allah, kuat dalam agama Allah, dan pendukung Rasul Allah.

Demikian penjelasan terkait sikap Nabi terhadap orang kafir. Semoga bermanfaat.

ارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم

Khutbah Jumat II

  ٱلْحَمْدُ لِلَّٰهِ رَبِّ ٱلْعَالَمِينَ َأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اللهم اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، وَتَابِعْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ بِالْخَيْرَاتِ رَبَّنَا اغْفِرْ وََارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ. رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا، رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا، رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. عِبَادَ اللهِ إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِيْ الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ وَاشْكُرُوْا عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُاللهِ أَكْبَرُ

BINCANG SYARIAH

Perbedaan antara Bid’ah dan Maksiat (Bag. 2)

Perbedaan Keempat

Ahlul bid’ah bisa jadi akan menghalangi manusia dari jalan syariat-Nya yang lurus. Sedangkan orang yang berbuat maksiat tidaklah demikian. Hal ini karena kerusakan ahlul bid’ah itu terjadi pada pokok agama, sedangkan kerusakan pelaku maksiat lebih terletak pada syahwatnya.

Perbedaan Kelima

Karena kerusakan ahlul bid’ah itu terletak pada pokok agama, maka dampaknya akan terjadi pada agama. Adapun pelaku maksiat, karena kerusakan terjadi karena syahwatnya, maka dampaknya lebih berdampak kepada dirinya sendiri.

Perbedaan Keenam

Bid’ah itu lebih khusus (lebih spesifik) daripada maksiat. Karena bid’ah adalah perbuatan maksiat dengan membuat-buat perkara baru untuk beribadah mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Adapun istilah maksiat, ketika tidak ada keterangan tambahan, dimaksudkan untuk semua pelanggaran tanpa harus disertai dengan perbuatan membuat-buat perkara baru dalam agama.

Bantahan untuk yang mengatakan bahwa hadis tentang bid’ah dimaknai sebagai larangan bermaksiat secara umum

Berdasarkan penjelasan di atas, tidak benar anggapan sebagian orang bahwa hadis-hadis yang khusus menyebutkan bid’ah maknanya dibawa kepada makna maksiat secara umum. Misalnya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

Setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Muslim no. 867)

Sebagian orang memaknai “bid’ah” dalam hadis tersebut sebagai perbuatan zina, riba, mencuri, suap menyuap, dan sejenisnya.

Hadis “setiap bid’ah adalah kesesatan” itu bersifat umum (mencakup semua jenis bid’ah) sejak pertama kali Nabi shallallahu ‘alahi wasallam mengucapkan perkataan tersebut. Bukan hanya dimaksudkan untuk bid’ah yang terdapat dalil khusus (spesifik) pelarangannya saja. Sedangkan bid’ah yang tidak ada dalil larangan khususnya tidak tercakup dalam hadis tersebut. Ini adalah pemahaman yang keliru.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

“Tidak boleh memaknai perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “setiap bid’ah adalah kesesatan” dengan bid’ah yang ada dalil larangan lain secara khusus (spesifik). Karena pemaknaan semacam ini akan membatalkan faidah dari hadis tersebut. Karena perkara yang dilarang, misalnya kekafiran, kefasikan, dan berbagai jenis maksiat, telah diketahui bahwa perkara tersebut adalah perkara yang buruk dan diharamkan, baik termasuk (dalam definisi) bid’ah ataukah tidak.

Kalau tidak ada perkara munkar dalam agama kecuali perkara yang dilarang secara spesifik, baik itu yang dikerjakan semasa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ataukah tidak, dan perkara yang dilarang (secara spesifik tersebut) itulah (definisi) kemunkaran, baik itu (termasuk) bid’ah ataukah bukan bid’ah, maka istilah “bid’ah” tersebut menjadi tidak ada pengaruhnya sama sekali. Dampaknya, keberadaan suatu bid’ah tidaklah menunjukkan keburukan, sebagaimana tidak adanya bid’ah tidaklah menunjukkan kebaikan.

Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap bid’ah adalah kesesatan”, itu semakna dengan perkataan (misalnya), “semua adat kebiasaan adalah kesesatan” atau “semua yang dilakukan oleh orang Arab dan non-Arab adalah kesesatan”. Sehingga yang dimaksud dengan perkataan beliau tersebut adalah bahwa perkara yang dilarang tersebut (yaitu semua bid’ah) adalah kesesatan.” (Iqtidha’ Shirathil Mustaqim, 2: 588)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah kemudian memberikan bantahan kepada orang-orang yang memaknai hadis, “setiap bid’ah adalah kesesatan” dengan “bid’ah atau maksiat yang ada larangan spesifik” dalam beberapa poin bantahan berikut ini.

Pertama, kalau dimaknai seperti itu, hadis tersebut menjadi tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum. Karena untuk perkara yang ada larangan spesifik, sudah diketahui hukumnya dari dalil larangan yang bersifat spesifik tersebut. Sedangkan yang tidak ada dalil larangan secara spesifik, tidak tercakup dalam makna hadis ini. Sehingga kalau dimaknai seperti itu, hadis ini menjadi tidak ada faidahnya. Padahal, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu memiliki jawami’ al-kalim (perkataan yang ringkas dan singkat, namun sarat dengan makna dan faidah).

Kedua, kalau dimaknai seperti itu, kata “bid’ah” menjadi tidak ada pengaruhnya sama sekali. Sehingga ketika kita mengaitkan suatu perkara dengan hukum bid’ah, itu juga menjadi tidak ada pengaruhnya. Hal ini karena perkara maksiat dan dosa itu sudah kita kenal nama atau bentuknya, seperti mencuri, berzina, dan minum khamr. Jika yang dimaksud dengan maksiat tersebut adalah sama dengan bid’ah, maka kata “bid’ah” tidak lagi memiliki keisitimewaan disebutkan secara khusus, karena tidak ada konsekuensi tambahan apapun.

Ketiga, jika perkataan dengan lafaz semacam ini (“semua bid’ah adalah kesesatan”), namun sebenarnya maksud pembicara adalah “bid’ah atau maksiat yang ada larangan spesifik”, ini adalah bentuk menyembunyikan maksud tertentu yang seharusnya wajib dijelaskan secara gamblang. Atau Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan suatu perkataan, namun yang beliau maksudkan bukanlah makna yang langsung tertangkap dalam benak orang yang mendengar. Karena antara bid’ah dan perkara yang dilarang (maksiat) itu ada sisi umum dan sisi khusus. Yaitu, tidak semua bid’ah itu ada dalil larangan yang bersifat spesifik. Dan tidak semua yang ada larangan spesifik itu berarti bid’ah, seperti larangan berbuat zina.

Oleh karena itu, jika seseorang mengucapkan perkataan di atas (“semua bid’ah adalah kesesatan”), namun yang dimaksudkan adalah makna yang lain, tentu saja hal ini merupakan perkataan yang rancu dan tidak jelas. Seperti ada orang yang mengatakan “hitam”, tapi yang dia maksudkan adalah “kuda”; atau sebaliknya, mengatakan “kuda”, tapi yang dia maksudkan adalah “hitam”. Dan mustahil bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan hal semacam ini.

Keempat, jika perkataan “semua bid’ah adalah kesesatan” dimaknai dengan perkara yang ada dalil larangan secara khusus, maka konsekuensinya, hadis ini sulit untuk diamalkan. Karena untuk mengamalkan hadis ini, berarti kita harus mengetahui semua dalil spesifik yang melarang suatu perkara. Atau, tidak mungkin mengetahui sebagian besar dalil spesifik tersebut kecuali hanya kaum muslimin tertentu saja, yaitu para ulama yang sangat dalam dan luas ilmunya.

Kelima, jika kita teliti, bid’ah yang ada dalil larangan yang bersifat spesifik itu jumlahnya lebih sedikit daripada bid’ah yang tidak ada dalil larangan yang bersifat spesifik.  Sehingga, suatu lafaz (perkataan) yang bersifat umum, tidak boleh dimaknai kepada suatu makna (bentuk tertentu) yang jumlahnya hanya sedikit.

Berdasarkan penjelasan poin-poin bantahan di atas, jelaslah bahwa memaknai hadis tentang bid’ah dengan makna “bid’ah atau maksiat yang ada dalil larangan secara khusus” adalah pemaknaan (takwil) yang keliru.

Perbedaan-perbedaan antara bid’ah dengan maksiat yang telah dijelaskan pada seri sebelumnya menunjukkan betapa besar bahaya bid’ah dan dampak jelek dari bid’ah tersebut. Demikian juga para ulama terdahulu yang bersikap keras agar tidak berteman akrab dengan ahlul bid’ah. Sampai-sampai Sa’id bin Jubair rahimahullah, salah seorang ulama tabi’in mengatakan,

“Ketika anakku bersahabat dengan orang fasik yang buruk, namun ahlus sunnah, itu lebih aku sukai daripada berteman dengan ahlul bid’ah yang gemar beribadah.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Bathah rahimahullah dalam Al-Ibaanah Ash-Shughra, hal. 132).

[Bersambung]

***

Oleh seorang hamba yang sangat butuh ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/69813-perbedaan-bidah-dan-maksiat-bag-2.html

Perbedaan antara Bid’ah dan Maksiat (Bag. 1)

Setiap bidah adalah kemaksiatan. Namun, belum tentu maksiat itu bidah. Seorang pezina atau pemabuk tidaklah disebut dengan ahlul bid’ah atau mubtadi’. Dengan kata lain, bidah itu lebih khusus daripada maksiat. Untuk lebih memahami hal ini, berikut kami uraikan perbedaan-perbedaan antara bidah dan maksiat.

Perbedaan pertama

Bidah itu adalah kesesatan, sehingga mubtadi’ (ahlul bid’ah) disebut dengan (ضال و مضل) “sesat dan menyesatkan”. Berbeda dengan maksiat lain (yang bukan bidah), pada umumnya tidak disifati dengan kesesatan. Demikian juga ketika seseorang melakukan kesalahan atau kekeliruan yang tidak disengaja ketika melaksanakan suatu perintah agama, maka hal itu adalah perkara yang dimaafkan, dan pelakunya tidaklah disifati (disebut) dengan kesesatan. Sebagaimana label “kesesatan” itu juga tidak diberikan kepada orang yang bersengaja melakukan perkara maksiat.

Hal ini karena kesesatan itu adalah lawan dari al-huda (petunjuk dalam kebenaran). Ahlul bid’ah disebut tersesat karena mereka menyangka bahwa jalan yang dia tempuh itu adalah jalan yang lurus, padahal bukan. Sedangkan jalan yang lain (yaitu jalan yang ditempuh ahlus sunnah), dia sangka sebagai kesesatan. Dia sebenarnya menyimpang dari jalan yang lurus, namun dia menyangka sedang menempuh jalan menuju Allah Ta’ala. Inilah mengapa ahlul bid’ah disebut tersesat.

Selain itu, ahlul bid’ah menjadikan akal dan hawa nafsunya sebagai penentu dalam menetapkan syariat, sedangkan dalil syar’i hanyalah sebagai pengikut dan penguat saja dari apa yang ditunjukkan oleh akalnya. Jika hal itu ditambah lagi dengan kebodohan terhadap pokok-pokok syariat, maka akan lebih parah lagi dan pada akhirnya bisa terjerumus dalam tahrif (mengubah-ubah makna dalil seenaknya sendiri).

Sebagai bukti, kita tidak mendapati seorang ahlul bid’ah yang menisbatkan dirinya kepada agama ini, kecuali dia akan menyebutkan dalil syar’i sebagai alasan untuk membenarkan bidahnya. Sehingga dia paksa dalil tersebut untuk mengikuti kehendak akal dan hawa nafsunya. Berbeda dengan pelaku maksiat pada umumnya yang tidak berbuat demikian, atau bahkan pelaku maksiat menyadari bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan dalil (perintah) syar’i. Seorang pelaku maksiat, misalnya mencuri, tentu tidak akan mencari-cari dalil untuk membenarkan perbuatannya. Berbeda halnya dengan pelaku bidah, yang bisa jadi mencari-cari dalil untuk mendukung bidahnya.

Perbedaan kedua

Bidah itu memiliki kemiripan dengan syariat, berbeda dengan maksiat yang sama sekali berbeda dengan syariat. Ketika ada orang yang berbuat bidah, bisa jadi orang lain yang tidak tahu akan menyangka bahwa dia sedang berbuat ketaatan atau sedang beribadah kepada Allah Ta’ala. Karena perbuatan bidah itu memang mirip dengan ibadah syar’i.

Perbedaan ketiga

Ditinjau dari segi jenisnya, bidah itu lebih jelek daripada maksiat yang bukan bidah. Hal ini sebagaimana perkataan Sufyan Ats-Tsauri Rahimahullah,

“Bidah itu lebih dicintai iblis daripada maksiat. Karena pelaku maksiat masih bisa diharapkan bertobat, sedangkan pelaku bidah tidak bisa diharapkan bertobat.” (Riwayat Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 7: 26 dan Al-Laalikai dalam Syarh Ushuul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah, hal. 1885).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata ketika menjelaskan perkataan di atas,

“Maksud perkataan beliau, ‘pelaku bidah tidak bisa diharapkan bertobat’, bahwa pelaku bidah yang menjadikan perbuatan bidahnya itu sebagai bagian dari agama, -padahal tidak pernah disyariatkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya-, perbuatan bidah yang jelek tersebut dihias-hiasi sehingga dia melihatnya sebagai sebuah ibadah (ketaatan). Maka dia tidak mungkin ingin bertobat selama dia menganggap bahwa dia sedang berbuat kebaikan. Karena awal mula dari tobat adalah ilmu bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan yang jelek yang perlu ditobati, atau dia tahu bahwa dia meninggalkan kebaikan yang diperintahkan oleh syariat, baik perintah yang sifatnya wajib atau sunah [1], sehingga dia pun bertobat dan kemudian mengerjakan perintah syariat tersebut. Sehingga, selama dia menyangka bahwa perbuatan bidah tersebut adalah kebaikan, padahal perbuatan tersebut adalah kejelekan, maka tidak mungkin dia bertobat.

Akan tetapi, tobat dari bidah itu mungkin terjadi dan memang riil terjadi, yaitu dengan Allah Ta’ala memberikan hidayah dan petunjuk kepadanya, sehingga jelaslah baginya kebenaran. Hal ini sebagaimana Allah Ta’ala memberikan hidayah kepada orang-orang kafir dan munafik dan sekelompok ahlul bid’ah dan orang-orang yang tersesat lainnya. Yaitu dengan mengikuti kebenaran yang telah dia ilmui.” (Majmu’ Fataawa, 10: 9).

Mengapa bidah lebih jelek daripada perbuatan maksiat?

Bidah itu lebih jelek daripada perbuatan maksiat berdasarkan sunah dan ijmak. Letak kesalahan (dosa) pelaku maksiat adalah mereka melakukan (menerjang) sebagian perkara yang dilarang oleh syariat, misalnya mencuri, zina, minum khamar, atau memakan harta orang lain secara batil. Sedangkan letak kesalahan ahlul bid’ah adalah meninggalkan perintah untuk mengikuti (ittiba’) dengan sunah dan jamaah (ijmak) kaum muslimin. (Lihat Majmu’ Fataawa, 20: 103) [2].

Di antara dalil yang menunjukkan bawa bidah itu lebih buruk daripada maksiat yang bukan bidah adalah hadis yang menceritakan salah seorang sahabat yang dijuluki dengan “Himaar” (keledai). Nama asli sahabat tersebut adalah Abdullah. Dia suka membuat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tertawa. Namun, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mencambuknya karena dia mabuk. Suatu hari, dia ditangkap lagi dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar dia dicambuk. Lantas salah seorang sahabat berujar,

اللَّهُمَّ العَنْهُ، مَا أَكْثَرَ مَا يُؤْتَى بِهِ؟

“Ya Allah, laknatlah dia, betapa sering dia tertangkap.”

Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ تَلْعَنُوهُ، فَوَاللَّهِ مَا عَلِمْتُ إِنَّهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ

“Janganlah kalian melaknat dia. Demi Allah, setahuku dia mencintai Allah dan rasul-Nya.” (HR. Bukhari no. 6780).

Adapun berkaitan dengan ahlul bid’ah, misalnya hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang berkaitan dengan cikal bakal kelompok khawarij. Suatu hari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sedang membagi-bagikan harta. Lalu datanglah Dzul Khuwaishirah, seorang laki-laki dari Bani Tamim, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, tolonglah engkau berlaku adil.”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,

وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَعْدِلْ قَدْ خِبْتَ وَخَسِرْتَ إِنْ لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ

“Celaka kamu! Siapa yang bisa berbuat adil kalau aku saja tidak bisa berbuat adil. Sungguh kamu telah mengalami keburukan dan kerugian jika aku tidak berbuat adil.”

Kemudian Umar berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk memenggal batang lehernya.”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,

دَعْهُ، فَإِنَّ لَهُ أَصْحَابًا يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلاَتَهُ مَعَ صَلاَتِهِمْ، وَصِيَامَهُ مَعَ صِيَامِهِمْ، يَقْرَءُونَ القُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ، يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ

“Biarkanlah dia. Karena dia nanti akan memiliki teman-teman yang salah seorang dari kalian memandang remeh salatnya dibandingkan dengan salat mereka; (dan memandang remeh) puasanya dibandingkan dengan puasa mereka. Mereka membaca Al-Quran, namun tidak sampai ke tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama seperti melesatnya anak panah dari target (hewan buruan).” (HR. Bukhari no. 3414, 4771, 5058, 5811, 6532 dan Muslim no. 1063).

Hadis tentang Himaar, dia adalah seseorang yang suka berbuat maksiat dengan mabuk minum khamr. Akan tetapi, ketika akidahnya sahih, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mempersaksikan bahwa dia mencintai Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam juga melarang para sahabat untuk melaknatnya.

Namun, berbeda halnya dengan orang-orang khawarij. Meskipun salat, puasa, dan ibadah membaca Al-Quran mereka sangat banyak, bahkan para sahabat pun kalah dari sisi kuantitas ibadah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tetap memerintahkan untuk memerangi kaum khawarij tersebut. Sahabat Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu dan yang bersama beliau pun memerangi mereka. Hal ini karena mereka telah keluar dari sunah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (Lihat Majmu’ Fataawa, 11: 473).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata,

“Oleh karena itu, para ulama sepakat bahwa bidah yang berat itu lebih jelek daripada dosa (maksiat) yang pelakunya meyakini bahwa itu adalah perbuatan dosa. Demikianlah sunah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang berjalan, ketika beliau memerintahkan untuk memerangi kelompk khawarij, namun (di sisi lain) memerintahkan untuk sabar atas kejahatan dan kezaliman penguasa (pemerintah), dan tetap salat di belakang mereka, meskipun penguasa tersebut berbuat dosa (dengan kezaliman mereka). Demikian juga, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mempersaksikan sebagian sahabat yang terus-menerus berbuat maksiat bahwa dia mencintai Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, dan melarang untuk melaknatnya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang khawarij, meskipun mereka sangat gemar beribadah dan wara’ (sangat hati-hati dari perkara yang syubhat atau haram, pent.), bahwa mereka keluar dari agama sebagaimana keluarnya anak panah dari sasarannya.

Allah Ta’ala berfirman di dalam kitab-Nya,

فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجاً مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيماً

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa: 65).

Siapa saja yang keluar dari sunah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan syariatnya, maka Allah Ta’ala bersumpah dengan diri-Nya yang suci, bahwa mereka tidaklah beriman sampai mereka rida dengan hukum Rasulullah dalam seluruh perkara yang mereka perselisihkan, baik perkara agama maupun dunia, dan sampai hati mereka tidak merasa berat terhadap hukum tersebut.” (Majmu’ Fataawa, 28: 470) [3].

[Bersambung]

***

Oleh seorang hamba yang sangat butuh ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/69784-perbedaan-bidah-dan-maksiat-bag-1.html

Jejak Cinta Sahabat Ibnu Umar kepada Rasulullah

JEJAK sejarah cinta seorang sahabat Ibnu Umar ra. terhadap Rasulullah ﷺ menarik diulang. Cinta Rasul yang lahir dari rahim pendidikan berkurikulum Al-Qur’an dan As-Sunnah atas pemahaman generasi terbaik, lahir dari hasil ikhtiar keras serta pengaruh dari magnet iman lingkungan di mana sahabat Ibnu Umar ra. berada.

Salah satu magnet iman itu adalah ayahanda beliau sendiri; Umar bin Khattab ra. Magnet iman, yang in sya Allah akan mampu menggeret pelakunya ke garis finis, yaitu Surga.

Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu seorang imam dan panutan. Seorang sahabat putra dari seorang sahabat. Nasabnya Abdullah bin Umar bin al-Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza. (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, 4/105-106).

Ibnu Umar lahir tahun ke-3 kenabian (Ibnu Hajar: al-Ishabah, 4/156). Beliau seorang rawi hadits yang popular. Termasuk enam orang yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah ﷺ.

Ibnu Umar termasuk sahabat nabi ﷺ yang memiliki semangat dan cinta terbilang tinggi dalam mengetahui, melakukan dan bahkan membela sunnah Rasulullah. Sebagaimana tercantum dalam hadits riwayat Imam Bukhari no. 1173, salah satu bukti keingin-tahuan beliau terhadap sunnah Rasulullah adalah, beliau pernah bertanya kepada saudarinya (Hafsah ra.) tentang sunnah yang Rasulullah lakukan setelah terbit fajar.

Hafsah ra. pun memberitahukan bahwa yang Rasulullah lakukan pada waktu tersebut adalah shalat sunnah dua rakaat Fajar. Bahkan, sebagaimana tercantum dalam hadits riwayat Imam Bukhari no. 1598 dan Imam Muslim no. 1329, ketika Rasulullah, Usamah bin Zaid ra, Bilal ra., dan Utsman bin Thalhah ra memasuki Ka’bah lalu pintunya ditutup. Sahabat Ibnu Umar mengatakan, “Ketika pintu Ka’bah dibuka, maka akulah orang yang pertama kali memasuki Ka’bah lalu aku menemui Bilal kemudian bertanya kepadanya, “Apakah Rasulullah shalat di dalamnya? Bilal menjawab, “Iya. Beliau shalat di antara dua tiang Yamani.”

Jika sahabat Ibnu Abbas (sebagaimana tercantum dalam Kitab Al-Wajiz) pernah mengatakan, “Hampir-hampir saja hujan batu turun dari langit atas kalian. Aku katakan kepada kalian; Rasulullah bersabda, dan kalian mengatakan, “Abu Bakar dan Umar berkata,” maka sahabat Ibnu Umar pernah mencerca putra beliau sendiri seraya mengatakan, “Aku beritahukan kepadamu hadits dari Rasulullah (tentang bolehnya wanita pergi ke masjid) dan engkau berkata, “Demi Allah kami benar-benar akan melarang mereka.” (HR: Bukhari no. 873 dan Muslim no. 442).

Karenanya Abdullah Al-Atsari pernah berkata, “Ibnu Umar termasuk sahabat yang paling keras pengingkarannya terhadap bid’ah dan paling keras kemauannya mengikuti sunnah. Sampai-sampai, ketika mendengar seseorang yang bersin lalu mengucapkan, “Alhamdulillah! sholawat serta salam atas Rasulullah. Tiba-tiba Ibnu Umar berkata kepadanya, “Bukan seperti ini yang Rasulullah ajarkan kepada kami. Tetapi Rasulullah bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian bersin maka hendaklah ia mengucapkan Alhamdulillah. Beliau tidak mengatakan, dan hendaklah ia bersholawat atas Rasulullah.” (HR: Tirmidzi dengan sanad yang hasan).

Menariknya, dalam paragraf sejarah cinta Ibnu Umar terhadap sunnah yang lain beliau wujudkan dengan mengikuti segala sesuatu yang dilakukan oleh Rasulullah. Walaupun dalam masalah yang Rasulullah sendiri tidak niatkan sebagai pensyari’atan bagi umat.

Termasuk perkara duniawi dan manusiawi yang tidak memiliki sangkut paut dengan persoalan agama dan tidak memiliki hubungan dengan wahyu. Suatu ketika sahabat Ibnu Umar melewati sebuah jalan yang ranting pohonnya menjulur ke tengah jalan, tiba-tiba beliau jongkok melewati jalan tersebut.

Seseorang bertanya kepada beliau, “Mengapa Anda mesti jongkok?” Beliau menjawab, “Dulu aku pernah melewati jalan ini bersama Rasulullah dan beliau pun jongkok. Maka, kapan saja aku melewati jalan ini aku pun ikut jongkok,” papar beliau.

Dari bapak turun ke anak

Ada pepatah mengatakan, “Buah itu jatuh tidak jauh dari pohonnya.” Ungkapan tersebut sangatlah tepat untuk menggambarkan bagaimana kepribadian seorang bapak dapat mempengaruhi kepribadian anaknya. Pun demikian halnya yang terjadi dengan sahabat Umar bin Khattab terhadap anaknya. Suatu ketika sahabat Umar bin Khattab ra. mendatangi Hajar Aswad lalu beliau menciumnya seraya berkata, “Sungguh aku mengetahui bahwa engkau adalah sebuah batu yang tidak dapat mendatangkan bahaya dan tidak pula dapat memberi manfaat. Jika saja aku tidak melihat nabi  ﷺ menciummu niscaya aku tidak akan menciummu.” (HR: Bukhari no. 1597 dan Muslim no. 1270).

Benarlah firman Allah yang menegaskan bahwa keshalihan generasi Ulul Albab dirintis oleh seorang bapak sebagai pemimpin utama sebuah keluarga.

جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ وَالْمَلَائِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِمْ مِنْ كُلِّ بَابٍ.

“Yaitu Surga-surga ‘Adn. Mereka akan memasuki Surga itu bersama bapak moyang mereka yang shalih, isteri-isteri mereka, dan anak keturunan mereka. Malaikat masuk  ke tempat mereka dari setiap pintu.” (QS: Ar-Ra’d [13]: 23).

Dalam ayat lain Allah ta’ala berfirman;

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ.

“Orang-orang mukmin berada di dalam Surga disusul oleh anak keturunan mereka yang beriman. Kami kumpulkan orang-orang mukmin bersama dengan anak keturunan mereka. Kami tidak mengurangi sedikitpun pahala atas amal mereka. Setiap orang mendapatkan pahala sesuai amal shalih yang ia lakukan di dunia.” (QS: Ath-Thuur [52]: 21).

Penulis kitab Al-Mishbah Al-Munir fii Tahdzib Tafsir Ibn Katsir pada halaman: 1153, mengutip hadits Rasulullah ﷺ, “Sesungguhnya orang-orang mukmin dan anak-anak mereka berada di Surga, dan sesungguhnya orang-orang musyrikin dan anak-anak mereka berada di neraka.” (HR. Ahmad). Wallahu ta’ala a’lam.* /Mudzakkir Khalil Khayyath, Anggota Dewan Murobbi Wilayah Hidayatullah NTB

HIDAYATULLAH

Ojek Online Bawa Penumpang Non Muslim Pergi Ke Gereja, Bolehkah?

Saban hari Sabtu dan Minggu, kaum Kristen biasanya melaksanakan kebaktian dan sembahyang ke gereja. Di antara jamaah, untuk sampai ke gereja memilih memakai jasa ojek online. Terkadang driver ojol yang dipesan tersebut beragama Islam. Nah, bagaimana hukum mengantarkan non-muslim ke gereja?

Syaikh Wahbah Al-Zuhaili dalam kitab Al-Fiqhul Islam wa Adillatuhu  menerangkan boleh mengantarkan non muslim ke gereja untuk beribadah ataupun merayakan natal ke gereja. Perbuatan tersebut bukanlah sebagai dosa dan juga bukan perilaku maksiat yang diharamkan.

يجوز للشخص عند ابي حنيفة ان يؤجر نفسه او سيارته او دابته باجر لتعمير كنيسة او لحمل خمر ذمي لا لعصرها لانه لا معصية في الفعل عينه

Boleh bagi seseorang, menurut Abu Hanifah, menyewakan dirinya, atau mobilnya, atau kendaraannya dengan upah untuk merayakan gereja, atau untuk membawa minuman keras non-muslim, bukan memerasnya. Hal ini karena dalam perbuatan tersebut tidak maksiat di dalamnya.

Sementara itu, Ibnu Najim Al-Hanafi dalam kitab al Bahr ar Ra’iq Syarh Kanz ad Daqa’iq menjelaskan bahwa dalam mazhab Hanafi boleh hukumnya seorang muslim mengambil upah dari hasil bekerja dengan non muslim.Pun boleh hukumnya bekerja di sinagoge atau gereja. Simak penjelasan Ibn Najim berikut:

وَفِي التَّتَارْخَانِيَّة: وَلَوْ أَجَّرَ الْمُسْلِمُ نَفْسَهُ لِذِمِّيٍّ لِيَعْمَلَ فِي الْكَنِيسَةِ فَلَا بَأْسَ بِهِ

Di dalam Al-Fatawa At-Tatarkhaniyah (Ensiklopedi fatwa fikih mazhab Hanafi karangan Syeikh Alim Ad-Dahlawi): Apabila seorang muslim menyewakan diri atau menjual jasa dirinya kepada seorang dzimmi untuk bekerja di sinagoge atau gereja, maka pekerjaan itu tidak apa-apa baginya.

Dengan demikian, bagi  driver ojek online, boleh hukumnya mengantarkan non-muslim kebaktian dan sembahyang ke gereja.  Di samping itu, seorang muslim Bekerja kepada non-muslim, baik dengan waktu tertentu atau hanya sebatas sewa jasa sementara, hukumnya diperbolehkan dalam Islam.

Pun seorang muslim yang bekerja sebagai satpam, tukan kebersihan, teknisi, atau pun lainnya boleh hukumnya. Hal itu tak ada persoalan.

BINCANG SYARIAH