Amalan-amalan Sunnah di Malam Nisfu Sya’ban

Apa saja amalan-amalan sunnah di malam Nisfu Sya’ban? Simak penjelasan ulama terkait amalan-amalan sunnah nisfu Sya’ban. 

Tak pelak lagi, di antara malam mulia yang dianjurkan untuk memperbanyak ibadah kepada Allah adalah malam Nisfu Sya’ban atau malam pertengahan bulan Sya’ban. Pada malam itu, banyak keberkahan, keutamaan, dan ampunan yang diturunkan oleh Allah.

Karena itu, dianjurkan kepada seluruh kaum muslim untuk memperbanyak amalan-amalan sunnah pada malam tersebut. Setidaknya, terdapat enam amalan sunnah yang dianjurkan untuk dikerjakan di malam Nisfu Sya’ban.

Pertama, memperbanyak berdoa kepada Allah sejak terbenam matahari di malam Nisfu Sya’ban. Ini karena malam Nisfu Sya’ban merupakan malam mulia yang semua doa diijabah oleh Allah.

Kedua, memperbanyak membaca istighfar seraya minta ampunan kepada Allah. Ini berdasarkan hadis riwayat Imam Al-Baihaqi dari Usman bin Abi Al-‘Ash, bahwa Nabi Saw bersabda;

إَذا كَانَ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ نَادَى مُنَادٍ: هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرُ لَهُ؟ هَلْ مِنْ سَائِلٍ فَأُعْطِيْهِ؟ فَلاَ يَسْأَلُ أَحَدٌ شَيْئًا إِلَّا أُعْطِيْ إِلَّا زَانِيَةً بِفَرْجِهَا أَوْ مُشْرِكًا

Apabila datang malam Nisfu Sya’ban, ada pemanggil (Allah) berseru; Apakah ada orang yang memohon ampun dan Aku akan mengampuninya? Apakah ada yang meminta dan Aku akan memberinya? Tidak ada seseorang pun yang meminta sesuatu kecuali Aku akan memberinya, kecuali wanita pezina atau orang musyrik.

Ketiga, memperbanyak membaca kalimat syahadat, yaitu kalimat ‘Laa ilaaha illallaahu muhammadur Rasulullah’, baik sendirian maupun berjamaah. Ini sebagaimana dikatakan oleh Sayid Muhammad bin Alawi dalam kitab Madza fi Sya’ban berikut;

وينبغي للمسلم أن يغتنم الأوقات المباركة والأزمنة الفاضلة وخصوصا شهر شعبان وليلة النصف منه بالاستكثار فيها من الاشتغال بكلمة الشهادة: لا إله إلا الله محمد رسول الله

Seyogyanya seorang muslim mengisi waktu yang penuh berkah dan keutamaan, utamanya di bulan Sya’ban dan malam Nisfu Sya’ban, dengan memperbanyak membaca syahadat ‘Laa ilaaha illallaahu muhammadur rasulullah.’

Keempat, setelah shalat Maghrib dianjurkan membaca surah Yasin sebanyak tiga kali dengan niat mencari keberkahan umur, keberkahan harta, keberkahan kesehatan, dan ketetapan iman.

Kelima, melakukan shalat sunnah malam, baik dengan shalat sunnah tahajjud, shalat sunnah hajat, dan witir.

Keenam, berpuasa di hari Nisfu Sya’ban. Ini berdasarkan hadis riwayat Ibnu Majah dari Sayyidina Ali, dari Nabi Saw, beliau bersabda;

إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا يَوْمَهَا، فَإِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى السَّمَاء الدُّنْيَا، فَيَقُولُ: أَلَا مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ، أَلَا مِنْ مُسْتَرْزِقٍ فَأَرْزُقَهُ، أَلَا مِنْ مُبْتَلَى فَأُعَافِيَهُ، أَلَا كَذَا أَلَا كَذَا حَتَّى يَطَّلِعَ الْفَجْرَ

Ketika malam Nisfu Sya’ban tiba, maka beribadahlah di malam harinya dan puasalah di siang harinya. Sebab, sungguh (rahmat) Allah turun ke langit dunia saat tenggelamnya matahari. Kemudian Ia berfirman;

Ingatlah orang yang memohon ampunan kepada-Ku, maka Aku ampuni, ingatlah orang yang meminta rezeki kepada-Ku, maka Aku beri rezeki, ingatlah orang yang meminta kesehatan kepada-Ku, maka Aku beri kesehatan, ingatlah begini, ingatlah begini, sehingga fajar tiba. 

BINCANG SYARIAH

Jika Nisfu Sya’ban Bertepatan Hari Jumat, Apakah Tetap Dianjurkan Berpuasa?

Di antara perkara yang dianjurkan ketika Nisfu Sya’ban atau hari pertengahan bulan Sya’ban adalah berpuasa. Namun bagaimana jika Nisfu Sya’ban tersebut kebetulan bertepatan dengan hari Jumat, apakah berpuasa tetap dianjurkan berpuasa?

Pada dasarnya, berpuasa di hari Jumat hukumnya makruh. Terdapat sebuah hadis yang dijadikan dasar oleh para ulama mengenai kemakruhan berpuasa di hari Jumat ini. Di antaranya adalah hadis riwayat Imam Al-Bukhari dari Juwairiyah binti Al-Harits, dia berkata;

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَيْهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَهِيَ صَائِمَةٌ فَقَالَ أَصُمْتِ أَمْسِ قَالَتْ لا قَالَ تُرِيدِينَ أَنْ تَصُومِي غَدًا قَالَتْ لا قَالَ فَأَفْطِرِي

Nabi Saw pernah menemui Juwairiyah pada hari Jumat dan ia dalam keadaan berpuasa, lalu beliau bersabda; Apakah engkau berpuasa kemarin? Dia menjawab; Tidak. Beliau berkata; Apakah engkau ingin berpuasa besok? Dia menjawab; Tidak. Beliau kemudian berkata; Batalkan puasamu.

Berdasarkan hadis ini, para ulama mengatakan bahwa mengkhususkan hari Jumat untuk berpuasa adalah makruh. Namun demikian, mereka juga mengatakan bahwa kemakruhan berpuasa di hari Jumat bisa hilang jika bertepatan dengan puasa sunnah lainnya, seperti bertepatan dengan puasa Arafah, puasa ayyamul bidh, puasa Daud, dan tentunya puasa Nisfu Sya’ban. 

Ini berdasarkan hadis riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Saw bersabda;

لا تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِي وَلَا تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الْأَيَّامِ إِلا أَنْ يَكُونَ فِي صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ

Janganlah khususkan malam Jumat dengan shalat malam tertentu yang tidak dilakukan pada malam-malam lainnya. Janganlah pula khususkan hari Jumat dengan puasa tertentu yang tidak dilakukan pada hari-hari lainnya kecuali jika ada puasa yang dilakukan karena sebab ketika itu.

Kebolehan berpuasa Nisfu Sya’ban di hari Jumat secara khusus ditegaskan dalam Darul Ifta’ Al-Mishriyah berikut;

يجوزُ شرعًا إفرادُ يومِ الجمعة بالصوم إذا وافق يومًا من الأيام الفاضلة؛ كيوم النصف من شعبان.

Boleh secara syariat mengkhususkan hari Jumat dengan berpuasa jika bertepatan dengan hari-hari mulia, seperti bertepatan dengan hari Nisfu Sya’ban. 

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa puasa Nisfu Sya’ban di hari Jumat hukumnya boleh, tidak makruh, baik hanya berpuasa di hari Jumat saja, atau sebelum dan sesudahnya juga berpuasa.

Hal ini karena yang dimakruhkan berpuasa di hari Jumat jika tidak bertepatan dengan puasa sunnah yang lain. Sebaliknya, jika bertepatan atau ada sebab puasa sunnah yang lain, seperti puasa Nisfu Sya’ban, maka hukumnya boleh, tidak makruh. 

BINCANG SYARIAH

Hukum Minum Air Berkah Malam Nisfu Sya’ban

Sebenarnya, bagaimana hukum minum air berkah surah Yasin malam Nisfu Sya’ban ini, apakah boleh?

Jamak terjadi ketika malam Nisfu Sya’ban, biasanya masyarakat muslim Indonesia berbondong-bondong datang ke masjid untuk membaca surah Yasin secara berjemaah. Selain itu, terdapat sebagian yang sengaja membawa air ke masjid dan diletakkan di tengah lingkaran jemaah agar air itu terkena keberkahan suara bacaan surah Yasin, dan kemudian diminum satu keluarga. 

Minum air berkah dari bacaan surah Yasin di malam Nisfu Sya’ban hukumnya adalah boleh. Minum air yang sudah dibacakan ayat-ayat dan surah Al-Quran, atau doa-doa lainnya, terutama di momen-momen utama seperti malam Nisfu Sya’ban, hukumnya boleh dan telah banyak dipraktekkan oleh para ulama. 

Ini statusnya sama dengan minta doa dalam bentuk media air kepada orang shaleh, kiai, habib dan lainnya. Menurut para ulama, meminta doa kepada orang yang shaleh, ulama, atau seorang ustadz dan kemudian ditiupkan kepada air yang dalam sebuah wadah, hukumnya adalah boleh. 

Ini sebagaimana telah dipraktekkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau membacakan doa tertentu pada segelas air dan kemudian air meminta anaknya yang sedang sakit untuk meminumnya. Bahkan disebutkan bahwa air tersebut bukan hanya diminum, namun juga disiram pada wajah dan kedua tangannya.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Adab Al-Syar’iyyah berikut;

قال صالح – ابن الإمام أحمد بن حنبل – : ربما اعتللت فيأخذ أبي قدحا فيه ماء فيقرأ عليه ويقول لي : اشرب منه ، واغسل وجهك ويديك . ونقل عبد الله بن الإمام أحمد أنه رأى أباه يعوذ في الماء ويقرأ عليه ويشربه ، ويصب على نفسه منه

Shalih bin Imam Ahmad bin Hanbal berkata; Terkadang aku sakit kemudian ayahku mengambil cawan yang di dalamnya terdapat air kemudian beliau membaca (ayat-ayat Al-Quran) padanya, dan berkata kepadaku; Minumlah darinya dan basuh wajah dan kedua tanganmu.

Abdullah bin Imam Ahmad menukil bahwa sesungguhnya dia melihat ayahnya membaca ta’awwudz pada air dan membaca (ayat-ayat Al-Quran) padanya dan beliau meminumnya, dan menyiramkan pada dirinya sendiri.

Dengan demikian, minum air berkah yang sudah dibacakan surah Yasin, zikir dan doa di malam Nisfu Sya’ban dengan niat agar mendapatkan keberkahan, hukumnya adalah boleh.

BINCANG SYARIAH

Tiga Alasan Puasa Nisfu Sya’ban Dianjurkan

Menurut para ulama dari kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, berpuasa di hari Nisfu Sya’ban atau tanggal 15 bulan Sya’ban hukumnya adalah sunnah. Terdapat tiga alasan atau dalil yang dikemukakan oleh mereka mengenai kesunnahan puasa Nisfu Sya’ban ini.

Pertama, Nisfu Sya’ban masih termasuk bagian dari Ayyamul Bidh. Berdasarkan hadis-hadis Nabi Saw, para ulama sepakat bahwa puasa Ayyamul Bidh adalah sunnah, termasuk puasa Ayyamul Bidh di bulan Sya’ban.

Ini sebagaimana hadis riwayat oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah, dia berkata;

أَوْصَانِى خَلِيلِى بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَصَلاَةِ الضُّحَى ، وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ

Kekasihku (Rasulullah Saw) mewasiatkan kepadaku tiga nasehat yang aku tidak pernah meninggalkannya hingga aku mati, yaitu berpuasa tiga hari setiap bulan, mengerjakan shalat Dhuha, dan mengerjakan shalat Witir sebelum tidur.

Ketiga, puasa Nisfu Sya’ban masih tergolong dalam anjuran berpuasa di bulan Sya’ban secara umum. Disebutkan bahwa Nabi Saw memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Karena Nisfu Sya’ban berada dalam cakupan bulan Sya’ban, maka berpuasa di hari Nisfu Sya’ban juga tercakup dalam kesunnahan berpuasa di bulan Sya’ban ini. 

Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Al-Nasa-i dari Usamah bin Zaid, dia berkata;

يَا رَسُولَ اللَّهِ لَمْ أَرَكَ تَصُومُ مِنْ شَهْرٍ مِنَ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ قَالَ ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

Aku tidak melihat engkau berpuasa dari bulan-bulan yang ada seperti halnya engkau puasa pada bulan Sya’ban? Nabi Saw bersabda; Sya’ban itu bulan di mana manusia melalaikannya, karena berposisi antara Rajab dan Ramadhan.

Sya’ban juga merupakan bulan di mana amal manusia diangkat ke hadapan Tuhan semesta alam. Karena itu, aku ingin amalku diangkat dalam keadaan aku berpuasa.

Ketiga, berpuasa di hari Nisfu Sya’ban memang dianjurkan secara khusus. Ini berdasarkan hadis riwayat Ibnu Majah dari Sayyidina Ali, dari Nabi Saw, beliau bersabda;

إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا يَوْمَهَا، فَإِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى السَّمَاء الدُّنْيَا، فَيَقُولُ: أَلَا مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ، أَلَا مِنْ مُسْتَرْزِقٍ فَأَرْزُقَهُ، أَلَا مِنْ مُبْتَلَى فَأُعَافِيَهُ، أَلَا كَذَا أَلَا كَذَا حَتَّى يَطَّلِعَ الْفَجْرَ

Ketika malam Nisfu Sya’ban tiba, maka beribadahlah di malam harinya dan puasalah di siang harinya. Sebab, sungguh (rahmat) Allah turun ke langit dunia saat tenggelamnya matahari. Kemudian Ia berfirman;

Ingatlah orang yang memohon ampunan kepada-Ku, maka Aku ampuni, ingatlah orang yang meminta rezeki kepada-Ku, maka Aku beri rezeki, ingatlah orang yang meminta kesehatan kepada-Ku, maka Aku beri kesehatan, ingatlah begini, ingatlah begini, sehingga fajar tiba. 

Demikian penjelasan terkait tiga alasan puasa nisfu Sya’ban dianjurkan. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Lima Aplikasi yang Perlu Diunduh Selama Ramadhan

Menjelang bulan suci, ada baiknya untuk mempersiapkan diri supaya dapat memaksimalkan ibadah. Salah satu caranya adalah mengunduh beberapa aplikasi Muslim yang dapat membantu ibadah.

Berikut aplikasi Muslim yang bisa temani Anda saat Ramadhan:

1.Muslim Pro: Alquran, Arah Kiblat, Adzan, dan Sholat (4.4/5)

Muslim Pro merupakan aplikasi yang berisi paket fitur menunjang ibadah Muslim. Misal, fitur waktu sholat, pemberitahuan adzan, dan kiblat. Khusus selama Ramadhan, aplikasi ini akan menghadirkan waktu berpuasa termasuk imsak dan iftar. Selain itu, Anda juga bisa membaca Alquran yang dilengkapi dengan terjemahan, audio mp3, dan tajwid berwarna.

Jika Anda berada di luar rumah dan tidak tahu arah kiblat, Muslim Pro menyediakan fitur animasi kompas kiblat dan pelacak masjid terdekat yang membantu Anda menemukan masjid di lokasi Anda. Anda bisa mengunduh Muslim Pro di Google Playstore dan Appstore.

2.Umma: Pro Muslim Community Indonesia (4.7/5)

Jika Anda ingin mencari aplikasi seperti Muslim Pro, Anda bisa mengunduh Umma. Umma dibuat untuk komunitas Muslim Indonesia yang menyediakan layanan kebutuhan Muslim. Beberapa fitur utamanya adalah Alquran yang dilengkapi terjemahan dan audio mp3, pelacak kiblat, dan waktu sholat yang ditandai dengan pemberitahuan adzan.

Umma juga menghadirkan doa atau artikel Islami. Bagi Anda yang menyukai podcast, Umma juga menghadirkan podcast Islami bernama uVoice. Umma tersedia di Google Playstore dan Appstore.

3.Alquran Indonesia (4.8/5)

Jika Anda mencari aplikasi Alquran digital, Anda bisa mengunduh Alquran Indonesia. Aplikasi ini menghadirkan Alquran dengan terjemahan bahasa Indonesia dari Kementerian Agama, audio mp3, tajwid berwarna, dan dapat dibaca offline. Anda juga bisa menandai bacaan terakhir dan membagikan ayat Alquran. Aplikasi ini tersedia di Google Playstore dan Appstore.

4.Counter Tasbih Digital (4.8/5)

Aplikasi ini dapat membantu Anda berdzikir jika Anda tidak memiliki tasbih. Anda dapat menyimpan perhitungan tasbih dengan alat penghitung yang tampak seperti cincin. Aplikasi tasbih akan mencatat semua zikir Anda. Penyimpanan zikir dapat berupa jumlah zikir, tanggal, dan nama zikir dengan tombol simpan. Counter Tasbih Digital memiliki tiga tombol, yaitu tombol penghitung, penyimpanan, dan detak.

Anda dapat mengatur getaran atau warna dari tombol di bagian atas layar. Jika Anda ingin menghemat baterai, Anda bisa gunakan mode malam. Sayangnya, Counter Tasbih Digital hanya tersedia di Google Playstore.

5.Himpunan Doa-doa Pilihan Lengkap (4.8/5)

Aplikasi yang dikembangkan oleh Asad Studio menampilkan doa-doa yang ada dalam Alquran dan Al Hadist. Anda akan menemukan doa-doa berdasarkan kategori, misalnya, kumpulan doa harian. Ada juga kategori doa yang khusus dibaca selama bulan Ramadhan. Aplikasi ini hanya tersedia di Google Playstore.

6.KitaBisa (4.8/5)

Selain untuk berdonasi, aplikasi KitaBisa juga dapat digunakan untuk menghitung dan membayar zakat, seperti zakat profesi, maal, dan penghasilan ke mitra Lembaga Amil Zakat (LAZ). Anda juga dapat menghitung kewajiban zakat melalui fitur kalkulator zakat. Aplikasi KitaBisa tersedia di Google Playstore dan Appstore.

IHRAM


Selain aplikasi di atas, Anda juga bisa mendwnload aplikasi Android, CEK PORSI HAJI yang berisi aneka informasi keislaman setiap harinya, 6 kali sehari. Klik di sini!

Menggugurkan Dosa dengan Kebaikan

Oleh Masrokan

Wahsyi bin Harb Al Habasyi adalah budak milik Jubair bin Muth’im, seorang tokoh sekaligus pembesar Quraiys. Paman Jubair yang bernama Thu’aimah terbunuh pada peperangan Badar di tangan Hamzah bin Abdul Muthalib. Tak heran bila sedih dan pilu menyelimuti Jubair. Lalu ia bersumpah untuk balas dendam serta membunuh pembunuhnya, Hamzah bin Abdul Muthalib.

Jubair berjanji akan memerdekakan Wahsyi, dengan syarat ia mampu membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib. Dan Wahsyi pun menyanggupinya. Tak berselang lama, perang Uhud berkecamuk. Wahsyi tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ketika melihat keberadaan Hamzah, Wahsyi mencari posisi yang pas. Lalu, ia mengayunkan tombak dan tepat mengenai Hamzah. Hamzah akhirnya syahid di tangannya. Tatkala perang sudah reda, Wahsyi kembali ke Makkah. Dan Jubair bin Muth’im memenuhi janjinya dan memerdekakan Wahsyi.

Meski kalah di perang Uhud, namun tiap hari, tiap jam, jumlah kaum muslimin justru semakin bertambah banyak. Wahsyi pun makin takut dan khawatir. Ia berniat melarikan diri ke Syam atau Yaman atau negeri lainnya yang dinilai aman baginya. Dalam kondisi takut itulah tiba-tiba ada seseorang yang menasehatinya, “Tenanglah engkau wahai Wahsyi, sesungguhnya Muhammad tidak akan membunuh orang yang masuk ke dalam agamanya dan bersaksi dengan persaksian yang jujur.”

Wahsyi pun segera mencari Muhammad di Yatsrib. Di Yastrib dia mendapatinya sedang berada di masjid. Wahsyi menemuinya dan langsung mengucapkan, “Asyhadu anla ilaha illallah wa anna Muhammad Rasulullah.”

Setelah menjadi Muslim, Wahsyi berkata, “Aku tahu bahwa Islam akan menghapus dan mengampuni dosa-dosa sebelumnya. Aku senantiasa merasa bersalah atas dosa-dosa yang telah aku lakukan dan musibah besar yang telah aku timpakan kepada Islam dan kaum muslimin. Aku lalu berusaha untuk mulai beramal demi menghapus dan menebus kesalahan-kesalahanku pada masa lampau.”

Tibalah kesempatan bagi Wahsyi untuk memenuhi janjinya. Abu Bakar menjadi Khalifah kaum muslimin dan sedang mempersiapkan pasukan untuk memerangi pengikut Musailamah Al Kadzdzab beserta orang-orang murtad lainnya. Wahsyi keluar bersama pasukan kaum muslimin. Tombak yang dia pakai untuk membunuh pimpinan para syahid –Hamzah bin ‘Abdul Muththalib  – tak lupa kembali dia tenteng. Dia berjanji pada dirinya, “Aku harus bisa membunuh Musailamah atau aku akan mati syahid.”

Ketika perang berkecamuk, Wahsyi berusaha menemukan Musailamah. Dia melihatnya sedang menenteng pedangnya. Setelah mendapatkan posisi tepat, Wahsyi ayunkan tombaknya dan tepat mengenai sasaran. Akhirnya tewaslah musuh Allah itu. (Diolah dari  Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Shuwar min Hayati ash Shahabah, hal. 524-534).

Jalan Menghapus Dosa

Kisah hidup Wahsyi di atas patut menjadi spirit bagi kita untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Dalam arti, bila kita telanjur berbuat salah dan dosa, maka tidaklah pantas berputus asa dari ampunan-Nya. Sebab, ampunan Allah bagi hamba-Nya begitu luas terbentang. Ketika telah telanjur berbuat salah dan dosa, kita mesti segera menyadari kesalahan dan dosa itu. Kemudian bertaubat darinya. Setelah itu, kita mesti berupaya menghapus kesalahan dan dosa itu. Agar dosa dan kesalahan itu tak terus menerus mengotori hati kita yang akhirnya akan membinasakan kita.

Kita bisa meneladani apa yang telah dilakukan Wahsyi pada kisah di atas, yaitu menghapus dosa dengan kebaikan.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Muslim, an-Nasai dan at-Tirmidzi dari Ibnu Mas’ud yang bercerita bahwa seorang pria datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, “Aku telah menemui seorang perempuan di suatu kebun, lalu aku berbuat segala-galanya dengan dia selain bersetubuh, maka jatuhkanlah hukuman atas diriku sesukamu, ya Rasulullah.” Beliau terdiam tidak mengucapkan sepatah katapun. Dan ketika pria itu pergi meninggalkan tempat, berkatalah Umar, “Allah telah menutupinya, jikalau ia menutupi dirinya.” Kemudian Rasulullah SAW yang mengikuti perjalanan pria itu dengan matanya, memanggilnya kembali dan kepadanya dibacalah surat Hud ayat 114, yang artinya, “…….Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan dosa atau perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.”

Umar yang mendengar Rasulullah SAW membaca ayat itu untuk pria itu, bertanyalah ia kepada beliau, “Apakah kelonggaran itu untuk dia sendiri atau untuk semua orang ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Bahkan untuk semua orang.” (Lihat : Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Kastir, hal. 365).

Itulah di antara jalan yang bisa ditempuh oleh seorang hamba untuk menghapus dosa di masa lalu. Tentu, kita pahami bahwa ada juga jalan selain itu yang bisa ditempuh seorang hamba untuk menghapus dosa dan kesalahan di masa lalu. Seperti yang diterangkan oleh Ibnu Taimiyah, akibat dari dosa-dosa bisa terhapus melalui beberapa cara, di antaranya, pertama, bertobat. Kedua, istighfar tanpa bertobat. Karena Allah SWT bisa jadi mengampuni dosanya sebagai pengabulan terhadap dirinya, meskipun  ia tidak bertobat. Jika tobat dan istighfar telah berkumpul, maka itu adalah kesempurnaan.

Ketiga, amal shaleh  yang melebur dosa. Karena itu, hal yang paling bermanfaat bagi orang-orang khusus maupun awam adalah ilmu tentang hal-hal yang bisa membersihkan diri dari noda-noda, yaitu mengikuti keburukan dengan kebaikan.

Keempat, musibah yang melebur dosa, yaitu segala sesuatu yang menyakitkan seperti kegundahan, kesedihan, gangguan terhadap harta, kehormatan, tubuh dan lain-lain. Tapi ini semua bukan karena perbuatan manusia. (Lihat : Al Fatawa, 10 : 655-658)./Alumni STAI Luqman Al-Hakim 2008.

HIDAYATULLAH

Menyantuni Anak Yatim dan Menangis Karenanya

Kepada orang yang menjamin anak yatim, menyantuni anak yatim, akan menjadi teman Nabi ﷺ di dalam surga

AL-Quran lebih dari dua puluh kali menyebutkan kata yatim. Sedangkan dalam hadis, saking mulianya menyantuni anak yatim, Rasulullah ﷺ menjanjikan orang-orang yang menyantuni anak-anak yatim akan masuk surga bersamanya.Hal itu beliau katakan, sebagai dalam hadisnya berikut ini;

أنا وكافل اليتيم في الجنة هكذا . وقال بإصبعيه السبابة والوسطى

“Aku dan orang-orang yang mengasuh (menyantuni) anak yatim di surga seperti ini,” Kemudian beliau memberi isyarat dengan jari telunjuk dau jari tengah seraya sedikit merenggangkannya.” (HR: Bukhari).

Dalam hadis lain Rasulullah ﷺ bersabda: “Sukakah kamu agar hatimu menjadi lunak dan kebutuhanmu terpenuhi? Kasibilahanak yatim, usaplah mukanya, dan berilah makan dari makananmu, niscaya hatimu menjadi lunak dan kebutuhanmu akan terpenuhi.” (HR: Thabrani).

Kepada orang yang menjamin anak yatim, menyantuni anak yatim, akan menjadi temannya di dalam surga. Untuk itu, beliau bertan bersabda:

أنا وكافل اليتيم في الجنة هكذا وأشار بالشابة والوسطى وفرج بيهم ޤަޑާ

 “Aku dan orang yang menjamin anak yatim di dalam surga seperti ini,” seraya mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengahnya sembari membuka di antara keduanya dengan sesuatu.” (Bukhari, Kitabuth Thalaq 4892 dan Kitabul Adab 5546, Tirmidzi, Kitabul Birri wash Shilah 1841. Ahmad, lanjutan Musnadul Anshar 21754. Malik dalam Al-Muwaththa’, Kitabul Jami’, di dalamnya disebutkan: “Aku dan penjamin anak yatimnya atau anak yatim orang lain di dalam surga seperti keduanya ini jika dia bertaqwa.”)

Bahkan Nabi ﷺ mengisyaratkan melalui Hadits lainnya sebagai berikut:

خير بيت في المسلمين بيت فيه يتيم يحسن إليه وش بيت في المسلمين بيت فيه يتيم يساء إليه

“Sebaik-baik rumah di kalangan kaum muslim ialah rumah yang di dalamnya terdapat anak yatim yang diperlakukan dengan baik; dan seburuk-buruk rumah di kalangan kaum muslim ialah rumah yang di dalamnya terdapat anak yatim yang diperlakukan dengan buruk.” (Ibnu Majah, Kitabul Adab 3669)

Termasuk santunan yang diberikan langsung oleh Nabi kepada anak-anak yatim ialah sebagaimana kisah ketika Ja’far, putra paman Nabi , dan kawan-kawannya gugur sebagai syuhada. Asma binti ‘Umais, istri Ja’far, menuturkan kisahnya sebagai berikut: “Ketika Ja’far dan kawan-kawannya gugur, saat itu aku sedang menemui Rasulullah setelah aku menyamak 40 kulit kambing, membuat dua adonan roti, memandikan anak-anakku, meminyaki, dan membersihkan mereka. Mendadak Rasulullah bersabda: “Bawalah kepadaku semua anak-anak Ja’far!”” Asma’ melanjutkan kisahnya: “Maka kubawa mereka semua kepadanya dan beliau mencium mereka semua, sedang air matanya bercucuran. Aku pun bertanya: Wahai Rasulullah, semoga ayah dan ibuku menjadi tebusanmu. Apakah yang menyebabkan engkau menangis? Apakah telah sampai kepadamu suatu berita tentang Ja’far dan kawan-kawannya?’ Rasulullah menjawab: ‘Benar, pada hari ini mereka telah gugur.” Asma’ melanjutkan kisahnya: “Maka aku keluar seraya menjerit histeris dan kaum wanita berkumpul menjengukku, sedang Rasulullah keluar menemui keluarganya dan bersabda:

لا تغفلوا آل جقير من أن تضعوا لهم طعاما فإنهم قد شغلوا بأمير صاحبهم

“Janganlah kalian melupakan keluarga Ja’far untuk membuatkan makanan bagi mereka, karena sesungguhnya kini mereka telah disibukkan oleh musibah yang menimpa kepala rumah tangga mereka.”” (Ahmad, lanjutan Musnadul Anshar 25839).

‘Abdullah ibnu Ja’far var nog telah berkata: “Nabi memberi tenggang waktu kepada keluarga Ja’far selama tiga hari untuk tidak menjenguk mereka. Sesudah itu beliau menjenguk mereka dan bersabda: Janganlah kalian menangisi saudaraku lagi sesudah hari ini dan seterusnya. Panggilkanlah kepadaku kedua anak saudaraku.’ Kami pun dihadapkan kepadanya. Saat itu seakan-akan kami bagaikan anak itik (karena masih terlalu kecil), lalu beliau teng bersabda: ‘Panggilkanlah untukku tukang cukur! Tukang cukur pun dipanggil, lalu mencukur kepala kami. Sesudah itu Nabi ng bersabda:

أما محمد بن جعفر فشبية عما أبي طالب وأما عند اللو فشبية خلقي ولقي

‘Adapun Muhammad bin Ja’far, maka dia mirip dengan paman kami, Abu Thalib, sedang ‘Abdullah, maka rupa dan perangainya mirip denganku.”

Selanjutnya, Nabi memegang tanganku dan mengangkatnya seraya berdo’a:

الخلف جغرا في أهله وبارك عبد الله في صفقة يمينه الله

“Ya Allah, berikanlah ganti dari Ja’far buat keluarganya dan berkatilah ‘Abdullah dalam jual beli yang dilakukannya.”

Nabi mengucapkan doʻa ini sebanyak tiga kali.” “Abdullah bin Ja’far melanjutkan: “Tidak lama kemudian, datanglah ibu kami dan diceritakanlah kepadanya bahwa kami telah menjadi anak yatim, lalu ibu kami mengadukan kepada Nabi kesulitan yang dialaminya, maka Nabi bersabda:

العيلة تخافين عليهم وأنا وهم في الدنيا والآخرة

“Apakah engkau khawatir jatuh miskin karena memelihara mereka, padahal akulah yang menjadi wali mereka di dunia dan di akhirat?’” (Ahmad, Musnadu Ahlil Bait 1695).*

HIDAYATULAH

Ribut Ribut Soal Sertifikasi Halal, Pengamat; Lembaga Pemeriksa Halal itu Bukan Tugas Ahli Agama

Pengamat sekaligus Direktur Halal Institute Asep Sa’duddin Sabilurrasad, mengatakan bahwa Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) bukan pekerjaan ahli agama. Pasalnya, pekerjaan tersebut membutuhkan ahli, yang disebut dengan auditor halal.

Untuk menjadi auditor tersebut, harus menguasai pelbagai disiplin ilmu eksakta, misalnya kimia, teknik industri, farmasi, dan biologi.  Lebih lanjut, Auditor halal ini pendidikannya harus spesifik. Pasalnya dia akan memeriksa pelbagai produk makanan dan kosmetik yang diajukan oleh pemilik usaha dan perusahaan, baik dari dalam dan luar negeri.

Auditor halal juga bertugas memeriksa berkas tersebut di laboratorium berstandar ISO 17065. “Jadi LPH itu bukan pekerjaan ahli agama,” tegasnya pada acara Ngaji Live Instagram di IG Bincang Syariah, Senin (14/3).

Terkait fungsi Majelis Ulama Indonesia dalam sertifikasi halal, Sa’duddin meluruskan kabar yang bersebaran bahwa fungsi MUI dalam sertifikasi halal tidak dihilangkan. “Yang salah dipahami orang adalah menganggap bahwa otoritas keagamaan diambil alih oleh negara.  Bukan seperti itu, MUI tidak dihilangkan”tambahnya.

MUI tetap dilibatkan, sebagai satu satunya, otoritas yang boleh menerbitkan fatwa terkait halal.  Fungsi MUI itu sesuai  dengan ketetapan yang tertuang dalam Keputusan Kepala BPJPH Nomor 40 Tahun 2022 tentang Penetapan Label Halal sebagai pelaksanaan amanat Pasal 37 UU Nomor 33 Tahun 2014 sebagai pemeriksa dan pemberi fatwa halal.

Ia juga menjelaskan bahwa Sertifikasi halal merupakan bagian religious freedom (kebebasan beragama), sama halnya dengan kebebasan untuk berkeyakinan, beragama, dan menganut kepercayaan yang diyakini.

Sebagai bagian dari kebebasan menjalankan kewajiban agama adalah mengkonsumsi produk yang halal. Sertifikasi halal ini bagian dari payung besar religious freedom.

Namun harus diakui saat ini religious freedom lebih banyak memotret aspek pendirian rumah ibadah, isu status KTP, tapi soal halal jarang disorot. Padahal faktanya, di negara besar yang ada Eropa dan Amerika halal ini dianggap sebagai religious freedom, yang setiap makanannya ada logo halal.

“Jadi pengambilalihan sertifikasi halal bukan mengancam demokrasi, ini bagian dari demokrasi,” tegasnya. (

BINCANG SYARIAH

Ringkasan Fikih Puasa Ramadhan

Makna puasa

Puasa dalam bahasa Arab disebut dengan Ash Shiyaam (الصيام) atau Ash Shaum (الصوم). Secara bahasa Ash Shiyam artinya adalah al imsaak (الإمساك) yaitu menahan diri. Sedangkan secara istilah, ash shiyaam artinya: beribadah kepada Allah Ta’ala dengan menahan diri dari makan, minum dan pembatal puasa lainnya, dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.

Hukum puasa Ramadhan

Puasa Ramadhan hukumnya wajib berdasarkan firman Allah Ta’ala:

يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم الصّيَام كما كُتب على الذين من قبلكم لعلّكم تتّقون

wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kalian bertaqwa” (QS. Al Baqarah: 183).

Dan juga karena puasa ramadhan adalah salah dari rukun Islam yang lima. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

بُني الإِسلام على خمس: شهادة أن لا إِله إِلا الله وأنّ محمّداً رسول الله، وإقام الصلاة، وإِيتاء الزكاة، والحجّ، وصوم رمضان

Islam dibangun di atas lima rukun: syahadat laa ilaaha illallah muhammadur rasulullah, menegakkan shalat, membayar zakat, haji dan puasa Ramadhan” (HR. Bukhari – Muslim).

Keutamaan puasa

  1. Puasa adalah ibadah yang tidak ada tandingannya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda kepada Abu Umamah Al Bahili: عليك بالصيام فإنه لا مثل له “hendaknya engkau berpuasa karena puasa itu ibadah yang tidak ada tandingannya” (HR. Ahmad, An Nasa-i. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa-i)
  2. Allah Ta’ala menyandarkan puasa kepada diri-Nya. قال الله عز وجل: كل عمل ابن آدم له إلا الصوم، فإنه لي وأنا أجزي به “Allah ‘azza wa jalla berfirman: setiap amalan manusia itu bagi dirinya, kecuali puasa. Karena puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalas pahalanya” (HR. Bukhari – Muslim).
  3. Puasa menggabungkan 3 jenis kesabaran: sabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah, sabar dalam menjauhi hal yang dilarang Allah dan sabar terhadap takdir Allah atas rasa lapar dan kesulitan yang ia rasakan selama puasa.
  4. Puasa akan memberikan syafaat di hari kiamat. الصيام والقرآن يشفعان للعبد “Puasa dan Al Qur’an, keduanya akan memberi syafaat kelak di hari kiamat” (HR. Ahmad, Thabrani, Al Hakim. Al Haitsami mengatakan: “semua perawinya dijadikan hujjah dalam Ash Shahih“).
  5. Orang yang berpuasa akan diganjar dengan ampunan dan pahala yang besar.
    Allah Ta’ala berfirman: إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS. Al Ahzab: 35)
  6. Puasa adalah perisai dari api neraka.
    Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: الصيام جُنة “puasa adalah perisai” (HR. Bukhari – Muslim)
  7. Puasa adalah sebab masuk ke dalam surga
    Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: في الجنة ثمانية أبواب، فيها باب يسمى الريان، لا يدخله إلا الصائمون “di surga ada delapan pintu, diantaranya ada pintu yang dinamakan Ar Rayyan. Tidak ada yang bisa memasukinya kecuali orang-orang yang berpuasa” (HR. Bukhari).

Hikmah disyariatkannya puasa

  1. Puasa adalah wasilah untuk mengokohkan ketaqwaan kepada Allah
  2. Puasa membuat orang merasakan nikmat dari Allah Ta’ala
  3. Mendidik manusia dalam mengendalikan keinginan dan sabar dalam menahan diri
  4. Puasa menahan laju godaan setan
  5. Puasa menimbulkan rasa iba dan sayang kepada kaum miskin
  6. Puasa membersihkan badan dari elemen-elemen yang tidak baik dan membuat badan sehat

Rukun puasa

  1. Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa
  2. Menepati rentang waktu puasa

Awal dan akhir bulan Ramadhan (bulan puasa)

  • Wajib menentukan awal bulan Ramadhan dengan ru’yatul hilal, bila hilal tidak terlihat maka bulan Sya’ban digenapkan menjadi 30 hari. Para ulama ijma akan hal ini, tidak ada khilaf di antara mereka.
  • Para ulama mensyaratkan minimal satu orang yang melihat hilal untuk bisa menetapkan terlihatnya hilal Ramadhan.
  • Jika ada seorang yang mengaku melihat hilal Ramadhan sendirian, ulama khilaf. Jumhur ulama mengatakan ia wajib berpuasa sendirian berdasarkan ru’yah-nya. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Al Utsaimin. Sebagian ulama berpendapat ia wajib berpuasa bersama jama’ah kaum Muslimin. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Baz.
  • Rukyah hilal suatu negeri berlaku untuk seluruh negeri yang lain (ittifaqul mathali’), ataukah setiap negeri mengikuti rukyah hilal masing-masing di negerinya (ikhtilaful mathali’)? Para ulama khilaf dalam masalah ini. Jumhur ulama berpendapat rukyah hilal suatu negeri berlaku untuk seluruh negeri yang lain. Adapun Syafi’iyyah dan pendapat sebagian salaf, setiap negeri mengikuti rukyah hilal masing-masing. Pendapat kedua ini dikuatkan oleh Ash Shanani dan juga Ibnu Utsaimin.
  • Wajib menentukan akhir bulan Ramadhan dengan ru’yatul hilal, bila hilal tidak terlihat maka bulan Ramadhan digenapkan menjadi 30 hari. Para ulama ijma akan hal ini, tidak ada khilaf di antara mereka.
  • Jumhur ulama mensyaratkan minimal dua orang yang melihat hilal untuk bisa menetapkan terlihatnya hilal Syawal.
  • Jika ada seorang yang mengaku melihat hilal Syawal sendirian, maka ia wajib berbuka bersama jama’ah kaum Muslimin.
  • Jika hilal Syawal terlihat pada siang hari, maka kaum Muslimin ketika itu juga berbuka dan shalat Id, jika terjadi sebelum zawal (bergesernya mata hari dari garis tegak lurus).

Rentang waktu puasa

Puasa dimulai ketika sudah terbit fajar shadiq atau fajar yang kedua. Allah Ta’ala berfirman:

فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” (QS. Al Baqarah: 187).

Yang dimaksud dengan khaythul abyadh di sini adalah fajar shadiq atau fajar kedua karena berwarna putih dan melintang di ufuk seperti benang. Adapun fajar kadzib atau fajar pertama itu bentuknya seperti dzanabus sirhan (ekor serigala). Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

الفجر فجران: فأما الفجر الذي يكون كذنب السرحان فلا يحل الصلاة ولا يحرم الطعام، وأما الفجر الذي يذهب مستطيلا في الأفق فإنه يحل الصلاة و يحرم الطعام

Fajar itu ada dua: pertama, fajar yang bentuknya seperti ekor serigala, maka ini tidak menghalalkan shalat (shubuh) dan tidak mengharamkan makan. Kedua, fajar yang memanjang di ufuk, ia menghalalkan shalat (shubuh) dan mengharamkan makan (mulai puasa)” (HR. Al Hakim, Al Baihaqi, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’).

Puasa berakhir ketika terbenam matahari. Allah Ta’ala berfirman:

ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

lalu sempurnakanlah puasa hingga malam” (QS. Al Baqarah: 187).

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إذا أقبل الليل من هاهنا وأدبر النهار من هاهنا، وغربت الشمس، فقد أفطر الصائم

jika datang malam dari sini, dan telah pergi siang dari sini, dan terbenam matahari, maka orang yang berpuasa boleh berbuka” (HR. Bukhari – Muslim).

Syarat sah puasa

  1. Islam
  2. Baligh
  3. Berakal
  4. Muqim (tidak sedang safar)
  5. Suci dari haid dan nifas
  6. Mampu berpuasa
  7. Niat

Sunnah-sunnah ketika puasa

  1. Sunnah-sunnah terkait berbuka puasa
    • Disunnahkan menyegerakan berbuka
    • Berbuka puasa dengan beberapa butir ruthab (kurma segar), jika tidak ada maka denganbeberapa butir tamr (kurma kering), jika tidak ada maka dengan beberapa teguk air putih
    • Berdoa ketika berbuka dengan doa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله /dzahabazh zhomaa-u wabtallatil ‘uruuqu wa tsabatal ajru insyaa Allah/
      telah hilang rasa haus, telah basah tenggorokan, dan telah diraih pahala, insya Allah” (HR. Abu Daud, An Nasa-i, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)
  2. Sunnah-sunnah terkait makan sahur
    • Makan sahur hukumnya sunnah muakkadah. Dianggap sudah makan sahur jika makan atau minum di waktu sahar, walaupun hanya sedikit. Dan di dalam makanan sahur itu terdapat keberkahan
    • Disunnahkan mengakhirkan makan sahur mendekati waktu terbitnya fajar, pada waktu yang tidak dikhawatirkan datangnya waktu fajar ketika masih makan sahur.
    • Disunnahkan makan sahur dengan tamr (kurma kering).
  3. Orang yang berpuasa wajib meninggalkan semua perbuatan yang diharamkan agama dan dianjurkan untuk memperbanyak melakukan ketaatan seperti: bersedekah, membaca Al Qur’an, shalat sunnah, berdzikir, membantu orang lain, i’tikaf, menuntut ilmu agama, dll
  4. Membaca Al Qur’an adalah amalan yang lebih dianjurkan untuk diperbanyak di bulan Ramadhan. Bahkan sebagian salaf tidak mengajarkan ilmu di bulan Ramadhan agar bisa fokus memperbanyak membaca Al Qur’an dan mentadabburinya.

Orang-orang yang dibolehkan tidak berpuasa

  1. Orang sakit yang bisa membahayakan dirinya jika berpuasa.
    • Jumhur ulama mengatakan bahwa orang sakit yang boleh meninggalkan puasa adalah yang jika berpuasa itu dikhawatirkan akan menimbulkan gangguan serius pada kesehatannya.
    • Adapun orang yang sakit ringan yang jika berpuasa tidak ada pengaruhnya sama sekali atau pengaruhnya kecil, seperti pilek, sakit kepala, maka ulama empat madzhab sepakat orang yang demikian wajib tetap berpuasa dan tidak boleh meninggalkan puasa.
    • Terkait adanya kewajiban qadha atau tidak, orang sakit dibagi menjadi 2 macam:
      1. Orang yang sakitnya diperkirakan masih bisa sembuh, maka wajib meng-qadha ketika sudah mampu untuk menjalankan puasa. Ulama ijma akan hal ini.
      2. Orang yang sakitnya diperkirakan tidak bisa sembuh, maka membayar fidyah kepada satu orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan. Diqiyaskan dengan keadaan orang yang sudah tua renta tidak mampu lagi berpuasa. Ini disepakati oleh madzhab fikih yang empat.
  2. Musafir.
    • Orang yang bersafar boleh meninggalkan puasa Ramadhan, baik perjalanannya sulit dan berat jika dilakukan dengan berpuasa, maupun perjalanannya ringan dan tidak berat jika dilakukan dengan berpuasa.
    • Namun jika orang yang bersafar itu berniat bermukim di tempat tujuan safarnya lebih dari 4 hari, maka tidak boleh meninggalkan puasa sejak ia sampai di tempat tujuannya.
    • Para ulama khilaf mengenai musafir yang perjalanannya ringan dan tidak berat jika dilakukan dengan berpuasa, semisal menggunakan pesawat atau kendaraan yang sangat nyaman, apakah lebih utama berpuasa ataukah tidak berpuasa. Yang lebih kuat, dan ini adalah pendapat jumhur ulama, lebih utama tetap berpuasa.
    • Orang yang hampir selalu bersafar setiap hari, seperti pilot, supir bus, supir truk, masinis, dan semacamnya, dibolehkan untuk tidak berpuasa selama bersafar, selama itu memiliki tempat tinggal untuk pulang dan menetap. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Al Utsaimin.
  3. Orang yang sudah tua renta
    • Orang yang sudah tua renta dan tidak lagi mampu untuk berpuasa dibolehkan untuk tidak berpuasa Ramadhan. Ulama ijma akan hal ini.
    • Wajib bagi mereka untuk membayar fidyah kepada satu orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan.
  4. Wanita hamil dan menyusui
    • Wanita hamil atau sedang menyusui boleh meninggalkan puasa Ramadhan, baik karena ia khawatir terhadap kesehatan dirinya maupun khawatir terhadap kesehatan si bayi.
    • Ulama berbeda pendapat mengenai apa kewajiban wanita hamil dan menyusui ketika meninggalkan puasa.
      1. Sebagian ulama berpendapat bagi mereka cukup membayar fidyah tanpa qadha, ini dikuatkan oleh Syaikh Al Albani.
      2. Sebagian ulama berpendapat bagi mereka cukup meng-qadha tanpa fidyah, ini dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Ibnu Al Utsaimin, Syaikh Shalih Al Fauzan, Al Lajnah Ad Daimah, juga pendapat Hanafiyah dan Malikiyah.
      3. Sebagian ulama madzhab juga berpendapat bagi mereka qadha dan fidyah jika meninggalkan puasa karena khawatir akan kesehatan si bayi.
    • Yang lebih rajih –insya Allah– adalah pendapat kedua, bagi mereka wajib qadha saja tanpa fidyah.
  5. Orang yang memiliki sebab-sebab yang membolehkan tidak berpuasa, diantaranya:
    1. Orang yang pekerjaannya terasa berat. Orang yang demikian tetap wajib meniatkan diri berpuasa dan wajib berpuasa. Namun ketika tengah hari bekerja lalu terasa sangat berat hingga dikhawatirkan dapat membahayakan dirinya, boleh membatalkan puasa ketika itu, dan wajib meng-qadha-nya di luar Ramadhan.
    2. Orang yang sangat kelaparan dan kehausan sehingga bisa membuatnya binasa. Orang yang demikian wajib berbuka dan meng-qadha-nya di hari lain.
    3. Orang yang dipaksa untuk berbuka atau dimasukan makanan dan minuman secara paksa ke mulutnya. Orang yang demikian boleh berbuka dan meng-qadha-nya di hari lain dan ia tidak berdosa karenanya.
    4. Mujahid fi sabilillah yang sedang berperang di medan perang. Dibolehkan bagi mereka untuk meninggalkan berpuasa. Berdasarkan hadits: إنكم قد دنوتم من عدوكم، والفطر أقوى لكم، فكانت رخصة “sesungguhnya musuh kalian telah mendekati kalian, maka berbuka itu lebih menguatkan kalian, dan hal itu merupakan rukhshah” (HR. Muslim).

Pembatal-pembatal puasa

  1. Makan dan minum dengan sengaja
  2. Keluar mani dengan sengaja
  3. Muntah dengan sengaja
  4. Keluarnya darah haid dan nifas
  5. Menjadi gila atau pingsan
  6. Riddah (murtad)
  7. Berniat untuk berbuka
  8. Merokok
  9. Jima (bersenggama) di tengah hari puasa. Selain membatalkan puasa dan wajib meng-qadha puasa, juga diwajibkan menunaikan kafarah membebaskan seorang budak, jika tidak ada maka puasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu maka memberi makan 60 orang miskin.
  10. Hijamah (bekam) diperselisihkan apakah dapat membatalkan puasa atau tidak. Pendapat jumhur ulama, hijamah tidak membatalkan puasa. Sedangkan pendapat Hanabilah bekam dapat membatalkan puasa. Pendapat kedua ini dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnu Baz dan Ibnu Al Utsaimin.
  11. Masalah donor darah merupakan turunan dari masalah bekam. Maka donor darah tidak membatalkan puasa dengan men-takhrij pendapat jumhur ulama, dan bisa membatalkan puasa dengan men-takhrij pendapat Hanabilah.
  12. Inhaler dan sejenisnya berupa aroma yang dimasukan melalui hidung, diperselisihkan apakah dapat membatalkan puasa atau tidak. Pendapat jumhur ulama ia dapat membatalkan puasa, sedangkan sebagian ulama Syafi’iyyah dan Malikiyyah mengatakan tidak membatalkan. Pendapat kedua ini juga dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah.

Yang bukan merupakan pembatal puasa sehingga dibolehkan melakukannya

  1. Mengakhirkan mandi hingga terbit fajar, bagi orang yang junub atau wanita yang sudah bersih dari haid dan nifas. Puasanya tetap sah.
  2. Berkumur-kumur dan istinsyaq (menghirup air ke hidung)
  3. Mandi di tengah hari puasa atau mendinginkan diri dengan air
  4. Menyicipi makanan ketika ada kebutuhan, selama tidak masuk ke kerongkongan
  5. Bercumbu dan mencium istri, bagi orang yang mampu mengendalikan birahinya
  6. Memakai parfum dan wangi-wangian
  7. Menggunakan siwak atau sikat gigi
  8. Menggunakan celak
  9. Menggunakan tetes mata
  10. Menggunakan tetes telinga
  11. Makan dan minum 5 menit sebelum terbit fajar yang ditandai dengan adzan shubuh, yang biasanya disebut dengan waktu imsak. Karena batas awal rentang waktu puasa adalah ketika terbit fajar yang ditandai dengan adzan shubuh.

Yang dimakruhkan ketika puasa

  1. Terlalu dalam dan berlebihan dalam berkumur-kumur dan istinsyaq (menghirup air ke hidung)
  2. Puasa wishal, yaitu menyambung puasa selama dua hari tanpa diselingi makan atau minum sama sekali.
  3. Menyicipi makanan tanpa ada kebutuhan, walaupun tidak masuk ke kerongkongan
  4. Bercumbu dan mencium istri, bagi orang yang tidak mampu mengendalikan birahinya
  5. Bermalas-malasan dan terlalu banyak tidur tanpa ada kebutuhan
  6. Berlebihan dan menghabiskan waktu dalam perkara mubah yang tidak bermanfaat

Beberapa kesalah-pahaman dalam ibadah puasa

  1. Niat puasa tidak perlu dilafalkan, karena niat adalah amalan hati. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga tidak pernah mengajarkan lafal niat puasa. Menetapkan itikad di dalam hati bahwa esok hari akan berpuasa, ini sudah niat yang sah.
  2. Berpuasa namun tidak melaksanakan shalat fardhu adalah kesalahan fatal. Diantara juga perilaku sebagian orang yang makan sahur untuk berpuasa namun tidak bangun shalat shubuh. Karena dinukil bahwa para sahabat berijma tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, sehingga tidak ada faedahnya jika ia berpuasa jika statusnya kafir. Sebagian ulama berpendapat orang yang meninggalkan shalat tidak sampai kafir namun termasuk dosa besar, yang juga bisa membatalkan pahala puasa.
  3. Berbohong tidak membatalkan puasa, namun bisa jadi membatalkan atau mengurangi pahala puasa karena berbohong adalah perbuatan maksiat.
  4. Sebagian orang menahan diri melakukan perbuatan maksiat hingga datang waktu berbuka puasa. Padahal perbuatan maksiat tidak hanya terlarang dilakukan ketika berpuasa, bahkan terlarang juga setelah berbuka puasa dan juga terlarang dilakukan di luar bulan Ramadhan. Namun jika dilakukan ketika berpuasa selain berdosa juga dapat membatalkan pahala puasa walaupun tidak membatalkan puasanya.
  5. Hadits “Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah” adalah hadits yang lemah. tidur adalah perkara mubah (boleh) dan bukan ritual ibadah. Maka, sebagaimana perkara mubah yang lain, tidur dapat bernilai ibadah jika diniatkan sebagai sarana penunjang ibadah. Misalnya, seseorang tidur karena khawatir tergoda untuk berbuka sebelum waktunya, atau tidur untuk mengistirahatkan tubuh agar kuat dalam beribadah. Sebaliknya, tidak setiap tidur orang berpuasa itu bernilai ibadah. Sebagai contoh, tidur karena malas, atau tidur karena kekenyangan setelah sahur. Keduanya, tentu tidak bernilai ibadah, bahkan bisa dinilai sebagai tidur yang tercela. Maka, hendaknya seseorang menjadikan bulan ramadhan sebagai kesempatan baik untuk memperbanyak amal kebaikan, bukan bermalas-malasan.
  6. Tidak ada hadits “berbukalah dengan yang manis“. Pernyataan yang tersebar di tengah masyarakat dengan bunyi demikian, bukanlah hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
  7. Tidak tepat mendahulukan berbuka dengan makanan manis ketika tidak ada kurma. Lebih salah lagi jika mendahulukan makanan manis padahal ada kurma. Yang sesuai sunnah Nabi adalah mendahulukan berbuka dengan kurma, jika tidak ada kurma maka dengan air minum. Adapun makanan manis sebagai tambahan saja, sehingga tetap didapatkan faidah makanan manis yaitu menguatkan fisik.

Wallahu ta’ala a’lam.

***

Diringkas dari Mausu’ah Fiqhiyyah Duraris Saniyyah, Kitab Ash Shiyam, ensiklopedi fikih yang disusun dibawah bimbingan Syaikh Alwi bin Abdil Qadir As Segaf, di alamat: http://www.dorar.net/enc/feqhia/1690, dengan beberapa tambahan dari penyusun.

Penyusun: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/28133-ringkasan-fikih-puasa-ramadhan.html

Istri Melakukan Puasa Sunnah Syaban, Apakah Harus Izin Suami?

Pada sebuah hadis yang bersumber dari Shahih Muslim dijelaskan bahwa bulan Sya’ban, Rasulullah senantiasa menjalankan puasa sunnnah. Bahkan Aisyah, mengatakan Syaban bulan yang Nabi memperbanyak puasa di bandingkan bulan lain. Nabi bersabda:

وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ، أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ، كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلَّا قَلِيلًا

Artinya: “Aku tidak melihat Nabi Muhammad tidak berpuasa lebih banyak daripada puasa di Sya’ban, sungguh beliau berpuasa sebulan penuh, beliau berpuasa di bulan Sya’ban kecuali hanya beberapa hari (tidak berpuasa)” (HR. Muslim)

Pada hadis lain, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwa Nabi memperbanyak puasa Sya’ban. Kesaksian tersebut memperkuat hadis di atas, bahwa Nabi men-dawami, puasa Syaban. Ini sekaligus menunjukkan, sunnah hukumnya melakukan puasa Syaban: 

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يُفْطِرُ ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يَصُومُ . فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ

Artinya: “Nabi Saw biasa berpuasa, sampai kami katakan bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun berbuka sampai kami katakan bahwa beliau tidak berpuasa. Aku tidak pernah sama sekali melihat Nabi Saw berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Shahih Bukhari)

Penjelasan dua hadis di atas menunjukkan bahwa puasa Syaban senantiasa dilakukan oleh Rasulullah. Kita, sebagai umatnya seyogianya mengikuti jejak Rasulullah tersebut. Namun, yang jadi persoalan bagaimana jika seorang istri ingin melaksanakan puasa Syaban, haruskah izin suami?

Penjelasan terkait persoalan tersebut telah dibahas secara mendalam dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah—ensiklopedi fiqih terbitan Kementrian Waqaf Kuwait. Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa istri diperbolehkan puasa tanpa izin suami terlebih dahulu. Akan tetapi dalam kitab tersebut dijelaskan, jika puasa tersebut berulang-ulang, maka sebaiknya meminta izin terlebih dahulu. Berbeda halnya dengan yang tidak berulang-ulang (arafah, asyura), maka tidak butuh izin suami. 

 ولو صامت المرأة بغير إذن زوجها صح مع الحرمة عند جمهور الفقهاء ، والكراهة التحريمية عند الحنفية ، إلا أن الشافعية خصوا الحرمة بما يتكرر صومه ، أما ما لا يتكرر صومه كعرفة وعاشوراء وستة من شوال فلها صومها بغير إذنه ، إلا إن منعها

Artinya: Jika istri mengerjakan puasa tanpa izin suaminya, maka puasanya tetap sah, akan tetapi puasa itu dibarengi dengan Tindakan haram. Itulah pendapat kebanyakan ulama fiqih. Ulama Hanafiyah menganggapnya makruh tahrim. Hanya saja ulama dari mazhab Syafi’iyah mengkhususkan keharaman tersebut berlaku jika puasa tersebut dilakukan berulang kali. Adapun jika puasa tersebut tidak terjadi berulang-ulang, seperti puasa Arafah, puasa Asyura, puasa enam hari di bulan Syawal, maka dia boleh melakukannya tanpa izin suaminya, kecuali jika memang suaminya melarangnya.

Pada sisi lain, bila suaminya berada di luar kota, apakah harus izin terlebih dahulu? Dalam kitab I’anah Thalibin, dijelaskan seorang istri yang suaminya berada di luar kota, maka boleh berpuasa tanpa izin terlebih dahulu.

وخرج بكونه حاضرا في البلد ما إذا كان غائبا عنها فلا يحرم عليها ذلك بلا خلاف

Artinya: dikeluarkan dari keadaanya berada kampung (daerah tersebut), yaitu Ketika suami berada di luar kota, maka tindakan melakukan puasa tersebut tidak haram, pendapat ini tidak ada perselisihan di antara ulama. 

Kesimpulannya, seorang istri boleh melaksanakan puasa sunnah Syaban tanpa izin suami jika posisi mereka sedang tidak tinggal bersama. Apabila sang suami sedang tinggal bersama, maka izin dari suami diperlukan meskipun jika ia melakukan tanpa izin puasanya tetap sah tapi disertai makruh bahkan haram menurut sebagian ulama. 

BINCANG MUSLIMAH