Kapuskes Haji: Jangan Tunggu Haus, Minum Sebanyak Mungkin

Kepala Pusat kesehatan haji Budi Sylvana baru saja datang dari kunjungan kerja di Arab Saudi. Dia menyampaikan bahwa cuaca di sana sangat panas. 

Begitu panasnya suhu di Arab Saudi membuat kaca kantor Kesehatan Haji Indonesia pecah. Untuk itu penting calon jamaah menghindari terkena paparan sinar matahari secara langsung saat di sana. 

Untuk mengurangi risiko terkena penyakit karena terpapar matahari, calon jamaah diingatkan untuk selalu minum jangan menunggu haus. Dia mengimbau semua petugas harus sosialisasikan kepada jamaah untuk minum jangan menunggu haus.

Videografer | Ali Yusuf

Video Editor | Fian Firatmaja

Cek selengkapnya di IHRAM

Hukum Minuman Alkohol Jadi Sponsor Acara

Belakangan ramai diperbincangkan minuman alkohol jadi sponsor acara balapan. Nitizen terpecah dalam dua kubu; pro dan kontra. Lantas, bagaimana hukum minuman alkohol jadi sponsor acara?

Iklan atau promosi akhir-akhir ini menjadi sangat ramai diperbincangkan. Ia memiliki peran penting dalam memperkenalkan suatu produk, baik berupa barang, program, atau sekadar untuk menunjukkan keberadaan sebuah institusi. 

Selain itu, saat ini dengan segala kecanggihan teknologi informasi, pemaparan sponsor memiliki banyak unsur yang bisa mendukung larisnya penjualan, sehingga dibentuk dengan tampilan sponsor sedemikian rupa, sehingga banyak orang yang melihat memiliki rasa penasaran untuk membeli dan mencobanya.

Kecanggihan dan kehebatan zaman seperti saat ini, sponsor tidak hanya berupa tulisan yang ditempelkan di tempat umum, atau tempat wisata, namun juga berupa audio hingga video yang sering tampil di media-media, bahkan dalam ajang sepak bola dan motoGP pun juga tidak lepas dari adanya sponsor yang mewarnai jalannya pertandingan.

Namun, dalam hal ini yang kadang menjadi pembahasan adalah adanya sponsor dari barang yang dinilai haram, misalnya minuman yang memabukkan seperti bir, atau sponsor-sponsor lain yang dinilai haram. Lantas, bagaimana perspektif Islam perihal hukum minuman alkohol jadi sponsor yang seperti ini? Mari simak penjelasan berikut.

Sponsor dalam Perspektif Fiqih

Kata sponsor pada hakikatnya merupakan terjemah dari kata al-I’lan dalam bahasa Arab yang artinya pemberitahuan. (Baca: Alkohol Medis Terkena Kain, Apakah Pakaian Jadi Bernajis?).

Dalam dunia bisnis, yang dimaksud dengan sponsor adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh produsen, baik secara langsung atau tidak, dengan tujuan untuk memperkenalkan produknya kepada khalayak umum (konsumen) melalui beragam media. Tujuannya, yaitu untuk menambah atau meningkatkan pemasaran atas produknya.

Pada dasarnya, dalam ajaran Islam tidak ada larangan secara khusus dan tegas untuk mensponsorkan sesuatu. Bahkan, sangat dianjurkan sepanjang berupa kebaikan dan tidak terdiri dari sponsor-sponsor yang diharamkan. Hanya saja, Islam melarang hal apa saja yang bisa menjadi penyebab terjadinya maksiat.

Saat ini, minuman beralkohol, atau minuman keras yang memabukkan sedang ramai menjadi salah satu sponsor yang sering muncul di acara-acara umum. Tentu, dalam hal ini terdapat unsur menolong produsen untuk memajukan minumannya yang memabukkan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda:

لَعَنَ اللَّهُ الْخَمْرَ، وَشَارِبَهَا وَسَاقِيَهَا، وَبَائِعَهَا، وَمُبْتَاعَهَا، وَمُعْتَصِرَهَا، وَعَاصِرَهَا، وَحَامِلَهَا، وَالْمَحْمُولَةَ إلَيْهِ

“Allah melaknat khamar (minuman keras), orang yang meminumnya, orang yang menuangkannya, orang yang menjualnya, orang yang membelinya, orang yang memerasnya, orang yang mengambil hasil perasannya, pengantarnya, dan orang yang meminta diantarkan.” (HR. Abu Daud)

Selain hadits tersebut, ada pentingnya untuk mengingat firman Allah dalam Al-Qur’an perihal anjuran untuk menolong dalam hal kebaikan, dan larangan untuk menolong kesalahan, yaitu:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 2).

Hukum Minuman Alkohol atau Keras Jadi Sponsor Acara

Dengan berpijak pada dua dalil di atas, serta mengutip beberapa pendapat ulama ahli tafsir, bahwa menolong untuk memasarkan atau menjadikan minuman keras sebagai sponsor di acara tertentu hukumnya adalah haram.

Sebab, perbuatan tersebut masuk dalam kategori menolong pada perbuatan dosa. Lantas, bagaimana dengan hasil pemasukan dari sponsor barang haram? Mari kita lanjut pembahasannya.

Pada sisi lain, ada ulama yang membolehkan minuman keras jadi sponsor acara. Para ulama menyatakan yang mengatakan bahwa praktik sponsor miras  tersebut hukumnya boleh. Di antara pendapat itu sebagaimana yang disampaikan oleh Lajnah Darul Ifta.

Dalam salah satu fatwanya mengatakan bahwa hal itu hukumnya boleh. Sebab, adanya sponsor hanyalah sebatas kabar, bukan memastikan larisnya penjualan,

وأما الجرائد التي تتضمن إعلانات لما هو محرم في ثنايا ما تضمنته من الأخبار والثقافة وغيرها فيجوز بيعها وتوزيعها لأن ما تضمنته من الإعلانات المحرمة غير مقصودة ولا غالبة

Artinya, “Adapun surat kabar yang di dalamnya terdapat iklan (sponsor) yang diharamkan dalam lipatan berita, budaya, dan lain-lain, dibolehkan untuk menjual dan mengedarkannya, karena apa yang dikandung dalam sponsor yang diharamkan itu tidak dimaksudkan dan tidak berlebihan.”

Status Pemasukan dari Sponsor Miras

Jika ditelaah secara sepintas, maka hasil pemasukan dari barang haram, tentunya juga haram. Namun, dalam fiqih tidak tentu demikian. Sebab, ada beberapa praktik yang haram dilakukan, namun hasilnya justru halal, atau makruh.

Contohnya, menjual barang halal untuk orang-orang yang akan menggunakan pada kemaksiatan. Secara hukum fiqih, praktik seperti ini hukumnya haram karena dikategorikan sebagai penolong terhadap kemaksiatan.

Akan tetapi, hasil jual beli darinya tidak dianggap haram. Sebab, dalam akadnya tidak ada hal-hal yang merusak pada ke-sah-an akad. Begitu juga dengan sponsor. Sekali pun hukumnya haram, akan tetapi pemasukan yang dihasilkan darinya adalah halal.

Kehalalan tersebut sepanjang di dalamnya tidak ada unsur judi, riba dan lain semacamnya yang bisa mempengaruhi kehalalan tersebut. oleh karenanya, Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ ‘Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr, tt], juz II, halaman 111, mengatakan:

قَدْ اِخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي حِلِّ الثَّمَنِ الْمَأْخُوْذِ مِنْهُ. وَالْأَقْيَسُ أَنَّ ذَلِكَ صَحِيْحٌ وَالْمَأْخُوْذُ حَلَالٌ وَالرَّجُلُ عَاصٍ بِعَقْدِهِ

Artinya, “Sungguh para ulama berbeda pendapat perihal kehalalan harga (hasil) yang diambil darinya. Dan yang pasti, bahwa hal tersebut dianggap sah dan (hasil) yang diambil darinya halal, hanya saja laki-laki (yang transaksi semacam itu/menolong perihal kemaksiatan dengan cara transaksi) dianggap bermaksiat dengan akadnya.”

Demikian penjelasan singkat perihal hukum minuman alkohol jadi sponsor dalam sebuah acara khusus atau acara umum, sekaligus hukum penghasilan yang didapatkan dari sponsor tersebut. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Perumpamaan Orang yang Membaca Alquran dan Tidak Menurut Rasulullah

Alquran merupakan salah satu mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. dan merupakan satu-satunya mukjizat yang masih bisa kita saksikan keagungannya sampai sekarang.

Pada kesempatan yang lain di hadapan para sahabat, Rasullullah pernah menegaskan bahwa Alquran merupakan  sebaik-baiknya hal yang terucapkan dalam keseharian setiap orang. Atas keagungan Alquran tersebut setiap orang yang membacanya maka Allah akan ganjar dengan pahala dari setiap huruf Alquran.

Dalam sebuah hadis Rasulullah pernah mengatakan bahwa terdapat perbedaan antara muslim  yang membaca Alquran dan tidak membacanya

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مثل المؤمن الذي يقرأ القرآن مثل الأترجة ريحها طيب وطعمها طيب ومثل المؤمن الذي لا يقرأ القرآن مثل التمرة لا ريح لها وطعمها طيب حلو ومثل المنافق الذي يقرأ القرآن مثل الريحانة ريحها طيب وطعمها مر ومثل المنافق الذي لا يقرأ القرآن كمثل الحنظلة ليس لها ريح وطعمها مر

Rasul Saw bersabda, “Orang mukmin yang selalu membaca al Quran seperti buah utrujjah, bau dan rasanya enak. Orang mukmin yang tidak membaca al Quran seperti buah kurma, tak berbau tapi rasanya manis. Orang munafiq yang selalu membaca al Quran seperti buah raihanah , baunya harum tapi pahit rasanya. Orang munafiq yang tidak membaca al Quran seperti buah handhalah, bau dan rasanya tidak enak. (HR. Bukhari).

Jadi, orang yang membaca Alquran ada yang munafik dan tidak. Terdapat perbedaan dari kedua tipe tersebut jika membaca Alquran, keduanya tidak sama dalam hal iman.

Dalam hadis ini Nabi Muhammad mengibaratkan iman dengan buat dan bau wangi sebagai manisnya iman yang berasal dari Alquran. Menurut Imam Nawawi dalam At-Tibyan, karena Iman tidak mungkin didapat tanpa melalui Alquran, kalamullah. Membaca Alquran dapat melembutkan hati dan pada akhirnya menyebabkan orang tersebut dapat mencium harumnya buah Iman.

Adapun pengibaratan menggunakan buah Utrujah karena buah ini sejenis buah yang memiliki banyak khasiat untuk menyembuhkan, yang mana karakteristiknya seperti Alquran.

Ibnu Hajar mengatakan bahwa buah utrujah merupakan buah yang rasanya lezat, bentuknya besar dan enak dilihat, warnanya kuning terang menyenangkan mata, sedang teksturnya lembut membuat setiap orang ingin memakannya. Seperti itulah muslim yang membaca Alquran. Sedang muslim yang tidak membaca Alquran, rasanya manis tapi ia tidak berbau harum.

Sedang buah Raihanah merupakan sejenis buah yang mengandung racun tapi memiliki bau yang harum. Seperti itulah orang munafik yang rajin membaca Alquran.

Adapun maksud dari orang munafiq yang disebut dalam hadis di atas, jelas Imam Nawawi, adalah orang yang membaca Alquran tapi tidak mengamalkannya. Ia menasehati yang lain tapi lupa memberi nasehat pada diri sendiri. Dari luar, orang  itu tampak seperti orang suci yang semerbak wangi imannya, namun lalai dari taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Orang seperti itu dalam dirinya kosong dari kebaikan, rasanya pahit, dan tidak akan mendapatkan pahala Alquran tiap saat.

Sedangkan munafik yang tidak membaca Alquran, rasa dan wanginya pahit.  Golongan terakhir ini merupakan kelompok yang tidak merasakan manisnya iman, mereka berkata beriman dengan mulutnya tapi tidak dengan hatinya.

Demikianlah perumpamaan orang yang membaca Alquran dan tidak Membacanya yang dijelaskan Rasulullah Saw. dalam hadisnya. Wallahu’alam.

BINCANG SYARIAH

Cara Membaca Al-Qur’an Ala Mohammed Arkoun

Saat membaca Al-Qur’an, kita tentu memiliki gaya dan ketentuan masing-masing. Dalam artikel ini, penulis akan menguraikan cara membaca Al-Qur’an ala Mohammed Arkoun, seorang intelektual Islam yang menekuni bidang bahasa Arab dan pemikiran Islam.

Mohammed Arkoun berusaha membuat metode memahami al-Qur’an dengan metode yang tidak lazim digunakan mufasir klasik. Meskipun metode yang dipakai mendapat kritikan karena lekat dengan tradisi keilmuan Barat, Arkoun dianggap berhasil menarik minat kebanyakan kalangan orientalis untuk mengkaji al-Qur’an, dan berhasil mengetengahkan sudut pandang Islam yang dapat diterima dalam lingkungan ilmiah Barat.

Mohammed Arkoun lahir pada 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, Kabiliah. Daerah tersebut adalah pegunungan berpenduduk Berber di sebelah timur Aljazair. Kondisi tersebut membuat Arkoun menggunakan tiga bahasa, bahasa Kabiliah dalam kehidupan sehari-hari, bahasa Prancis yang digunakan dalam sekolah urusan administratif, serta bahasa Arab yang digunakan saat duduk di bangku sekolah menengah di Oran, kota utama di Aljazair bagian Barat.

Bahasa Kabiliah adalah wadah penyampaian untuk tradisi dan nilai pengarah yang menyangkut kehidupan sosial dan ekonomi yang berusia ribuan tahun. Bahasa Arab adalah alat pengungkapan dan pelestarian tradisi dalam bidang keagamaan, berfungsi untuk mengaitkan Aljazair dengan bangsa lain di Afrika Utara dan Timur Tengah.

Untuk bahasa Prancis, Arkoun menggunakan bahasa tersebut sebagai bahasa pemerintahan dan sarana pemasukan nilai dan tradisi ilmiah Barat yang disampaikan melalui sekolah-sekolah Prancis yang didirikan penguasa penjajahan.

Pada 1950 sampai 1954 ia belajar bahasa dan satra Arab di Universitas Aljir, di tengah perang pembebasan Aljazair dari Prancis (1954-1962), ia mendaftarkan diri sebagai mahasiswa di Paris. Sejak saat itu, ia pun memutuskan untuk menetap di Prancis.

Pada 1961, ia diangkat menjadi dosen di universitas Sorbonne di Paris, tempat ia memperoleh gelar Doktor sastra pada tahun 1969. Pada 1970-1972, Arkoun mengajar di Universitas Lyon dan kemudian kembali ke Paris sebagai guru besar sejarah pemikiran Islam.

Arkoun kemudian meluaskan pengaruhnya ke Eropa, Amerika, Afrika dan Asia. Arkoun pun menekuni dalam bidang bahasa dan sastra Arab serta pemikiran Islam. Jenjang pendidikan formal itu membuat pergaulanya semakin erat dengan tiga bahasa tersebut. Keterlibatanya dalam ketiga bahasa itu menjadi faktor penting yang mempengaruhi cara berpikir dan perkembangan pemikiranya.

Dalam buku Berbagai Pembacaan Quran (1997), Mohammed Arkoun menjelaskan tentang bagaimana cara membaca al-Qur’an. Arkoun mengajak pembaca untuk membaca al-Qur’an menurut aturan-aturan suatu metode yang dapat diterapkan pada semua teks doktrinal sebagai berikut:

Pertama, mengangkat makna dari teks al-Qur’an dan penafsiran teks untuk pengujian agar menghilangkan kerancuan, memperlihat kesalahan, penyimpangan, ketakcukupan, dan untuk mengarah kepada pelajaran-pelajaran yang selalu berlaku.

Kedua, menetapkan suatu kriteriologi yang di dalamnya akan dianalisis motif-motif yang dapat dikemukakan oleh kecerdasan masa kini, baik untuk menolak atau untuk mempertahankan konsepsi-konsepsi yang dipelajari.

Arkoun menambahkan, dalam mengangkat makna dari al-Qur’an, hal yang paling pertama dijauhi olehnya adalah keinginan untuk menetapkan makna sebenarnya dari al-Qur’an. Sebab, Arkoun tidak ingin membakukan makna al-Qur’an dengan cara tertentu, kecuali menghadirkan sebisa mungkin aneka ragam maknanya.

Atas dasar ini, Arkoun membagi pembacaan mencakup tiga saat atau moment:

  1. Saat linguistik yang memungkinkan kita untuk menemukan keteraturan dasar di bawah keteraturan yang tampak.
  2. Saat antropologi yakni mengenali dalam al-Qur’an bahasanya yang bersusunan mitis.
  3. Saat historis yang di dalamnya akan ditetapkan jangkauan dan batas-batas tafsir logiko-leksikografis dan tafsir-tafsir imajinatif yang sampai hari ini dicoba oleh kaum muslim.

Kriteriologi adalah himpunan dari berbagai kriteria atau ukuran. Sebagai misal, Arkoun mengatakan bahwa semua teks Arab dari abad pertengahan mematuhi kriteriologi yang ketat, yaitu himpunan keyakinan yang membentuk berbagai pra-anggapan dari setiap tindak pemahaman pada periode tersebut.

Pemikiran Mohammed Arkoun yang paling terkenal adalah tradisi hermeneutik di mana ia menyusun pembacaan al-Quran dan pluralisme agama dengan cara membongkar bangunan epistimologi keilmuan agama Islam. Arkoun ingin mengembalikan wacana dan dataran Qur’ani yang lebih mendasar, mendalam dan substansial.

Wacana yang dimaksud adalah wacana yang memuat nilai-nilai normatif, spiritualis, dan moralitas keberagaman Islam yang terbuka, mendasar, sekaligus fungsional, tanpa harus dibebani terlalu berat dengan muatan ideologi politik.

Menurut Arkoun, untuk melihat dan mengungkap kembali autentitas spiritualis dan moralitas keberagaman Islam, seorang Muslim harus berani melakukan “pembongkaran” terhadap struktur tersebut dengan menyimak kembali ajaran-ajaran Islam yang lebih arif dan komprehensif.[]

BINCANG SYARIAH

Khusyu dalam Sholat, ini Penjelasannya

Pakar Tafsir Alquran, M Quriash Shihab mengatakan, Alquran telah menyebut shalat sebagai sarana dan cara berzikir. Allah Swt berfirman,

اِنَّنِيْٓ اَنَا اللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنَا۠ فَاعْبُدْنِيْۙ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ لِذِكْرِيْ

Artinya: “Sesungguhnya Aku adalah Allah. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah dan Pencipta, serta Pengendali seluruh wujud) selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakanlah shalat untuk berzikir mengingatk-Ku.” (QS. Thah [20]: 14).

Dalam bukunya yang berjudul “Wawasan Al-Quran tentang Zikir dan Doa” tertiban Lentera Hati, M Quraish menjelaskan bahwa untuk mencapai tujuan yang disebut di atas, maka siapa pun yang melaksanakan shalat, bukan saja dituntut untuk memahami substansi shalat.

Artinya, dalam hal ini tidak sekadar seperti yang didefinisikan oleh pakar-pakar hukum Islam atau ulama fikih, yakni dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Tetapi, memahami substansi yang ditegaskan Allah Swt dalam Alquran, yakni pengagungan kepada Allah Swt dan kesadaran tentang perlunya membantu siapa pun yang butuh.

Menurut M Quriash, seandainya substansi yang dimaksud hanya sekadar seperti rumusan ulama fikih, maka tentu Allah Swt tidak menegaskan bahwa shalat dapat mencegah manusia terjerumus dalam kemungkaran.

Lebih lanjut, dia menuturkan, substansi yang dikehendaki Allah bermula dari rasa khusyu’, yakni tunduk dan patuh dengan peruh hormat kepada Allah Swt. Karena, menurut dia, semua kegiatan shalat seharusnya menggambarkan ketundukan dan penghormatan yang tidak terbatas kepada-Nya semata.

Sebagian ulama menyatakan bahwa khusyu’ dalam shalat adalah “rasa takut” jangan sampai shalat yang dilakukan tertolak. Rasa takut itu bercampur dengan kesigapan dan kerendahan hati. Ibnu Katsir (w. 1373 M) menulis bahwa khusyu’ dalam shalat baru terlaksana bagi yang mengonsentrasikan jiwanya sambal mengabaikan segala sesuatu selain yang berkaitan dengan shalat.

Sementara, Imam ar-Razi menulis bahwa apabila seorang sedang melaksanakan shalat, maka terbukalah tabir antara dia dengan Tuhan. Tetapi, begitu dia menoleh, tabir itu pun tertutup. Betapapun khusyu’ itu bertingkat-tingkat, tetapi intinya adalah upaya sungguh-gungguh mengadirkan kebesaran Allah Swt dalam benak serta kepatuhan dan penghormatan kepada-Nya.

IHRAM

Apakah Microsleep Membatalkan Wudhu?

Microsleep adalah tidur yang tidak menyeluruh dan tidak sama seperti tidur biasa manusia di malam hari. Microsleep umumnya berlangsung singkat beberapa detik sampai 2 menit akibat lelah dan mengantuk. Sebagian otak ada yang “tertidur” dan ada yang masih aktif, bahkan microsleep bisa terjadi saat mata masih terbuka. Hal ini terjadi misalnya ketika menyetir mobil.

Bisa disimpulkan bawa microsleep merupakan “tidur yang sebentar dan tidak menyeluruh”. Apakah tidur seperti ini membatalkan wudhu? Pendapat terkuat adalah TIDAK membatalkan wudhu karena termasuk “naumun yasir/ naumun qalil” yaitu tidur yang sebentar dan tidak menyeluruh.

Dalilnya adalah hadits Anas bin Malik yang menjelaskan bahwa para Sahabat menunggu shalat sampai kepala mereka terkantuk-kantuk (mau jatuh), kemudian shalat tanpa mengulang wudhu.

Anas bin Malik berkata,

ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﻨﺘﻈﺮﻭﻥ ﺍﻟﻌِﺸﺎﺀ ﻋﻠﻰ ﻋﻬﺪ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭﺳَﻠَّﻢَ ﺣﺘﻰ ﺗﺨﻔِﻖَ ﺭﺅﻭﺳﻬﻢ ﺛﻢ ﻳُﺼﻠُّﻮﻥ ﻭﻻ ﻳﺘﻮﺿﺆﻭﻥ

“Sesungguhnya para shahabat radhiallahu anhu menunggu pelaksanaan shalat Isya pada masa Rasulullah sallalahu alaihi wa sallam sampai kepalanya terkantuk-kantuk, kemudian mereka shalat tanpa berwudu.”[1]

Al-Mawardi menjelaskan,

: ﺃﻥ ﺍﻟﻨَّﻮﻡ ﻧﺎﻗﺾٌ ﻟﻠﻮﺿﻮﺀ ﺇﻻ ﺍﻟﻨﻮﻡ ﺍﻟﻴﺴﻴﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺎﻋﺪ ﻭﺍﻟﻘﺎﺋﻢ

“Tidur itu membatalkan wudhu kecuali tidur yang sedikit ketika duduk atau berdiri.” [2]

Demikian juga penjelasan syaikh Al-‘Ustaimin,

ﻭﺍﻟﻨَّﻮﻡ ﺍﻟﻨَّﺎﻗﺾ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺬﻫﺐ : ﻛُﻞُّ ﻧﻮﻡ ﺇﻻ ﻳﺴﻴﺮ ﻧﻮﻡ ﻣﻦ ﻗﺎﺋﻢ، ﺃﻭ ﻗﺎﻋﺪ

“Tidur membatalkan wudhu menurut pendapat mazhab (hanabilah), semua jenis tidur kecuali tidur yang sedikit ketika berdiri dan duduk.” [3]

Patokan tidur sedikit atau banyak adalah apakah sudah hilang kesadaran menyeluruh atau tidak sebagaimana kita tidur nyenyak di malam atau siang hari.

Hal ini juga sebagaimana penjelasan Ibnu Taimiyyah,

ﻭﺍﻟﻔﺮﻕ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﻨﻮﻡ ﺍﻟﻜﺜﻴﺮ ﻭﺍﻟﻘﻠﻴﻞ : ﺃﻥ ﺍﻟﻜﺜﻴﺮ ﻫﻮ ﺍﻟﻤﺴﺘﻐﺮﻕ ﺍﻟﺬﻱ ﻻ ﻳﺸﻌﺮ ﻓﻴﻪ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﺑﺎﻟﺤﺪﺙ ﻟﻮ ﺃﺣﺪﺙ , ﻭﺍﻟﻘﻠﻴﻞ ﻫﻮ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺸﻌﺮ ﻓﻴﻪ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﺑﺎﻟﺤﺪﺙ ﻟﻮ ﺃﺣﺪﺙ ، ﻛﺨﺮﻭﺝ ﺍﻟﺮﻳﺢ

“Perbedaan antara tidur “banyak dan sedikit” adalah tidur “banyak” itu terjadi menyeluruh yang manusia tidak merasakan suatu kejadian (seperti ketika terjaga), sedangkan tidur sedikit, manusia bisa merasakannya seperti keluarnya angin (maaf, kentut).” [4]

Demikian juga penjelasan dari dewan fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah,

ﺇﻥ ﺍﻟﻨﻮﻡ ﺍﻟﺨﻔﻴﻒ ﺍﻟﺬﻱ ﻻ ﻳﺰﻭﻝ ﻣﻌﻪ ﺍﻟﺸﻌﻮﺭ ﻻ ﻳﻨﻘﺾ ﺍﻟﻮﺿﻮﺀ

“Tidur yang ringan di mana tidak hilang kemampuan merasakan (menyadari), tidak membatalkan wudhu.” [5]

Demikian semoga bermanfaat.

@ Perum PTSC, Cileungsi, Bogor

Penyusun: Raehanul Bahraen

Sumber: https://muslim.or.id/40461-apakah-microsleep-membatalkan-wudhu.html

Hukum Berwudu di Dalam Kamar Mandi

Terdapat dua permasalahan yang perlu diperhatikan dalam hal ini.

Pertama: Mengucapkan basmalah di kamar mandi karena menurut sebagian ulama syarat sah wudu adalah mengucapkan basmalah.

Terkait hukum mengucapkan basmalah di kamar mandi ada dua pendapat ulama:

Pertama, makruh. Berdasarkan pendapat ini, maka diperbolehkan mengucapkan basmalah di kamar mandi. Hal ini karena hal yang makruh itu menjadi boleh jika ada hajat (kebutuhan).

Kedua, haram. Berdasarkan pendapat ini, maka mengucapkan basmalah dilakukan di luar kamar mandi, yaitu sebelum masuk untuk berwudu.

Kedua: Bersih dari terkena najis selama di kamar mandi

Berikut ini pembahasannya secara singkat (ringkas):

Pertama: hukum mengucapkan basmalah di kamar mandi

Terkait hukum mengucapkan basmalah di kamar mandi, terdapat dua pendapat ulama:

Pertama, makruh.

Berdasarkan pendapat ini, maka diperbolehkan mengucapkan basmalah di kamar mandi. Hal ini karena hal yang makruh itu menjadi diperbolehkan jika ada hajat (kebutuhan), meskipun tidak mendesak.

An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan bahwa berzikir dan berdoa di kamar mandi hukumnya makruh. Beliau rahimahullah berkata,

يكره الذكر والكلام حال قضاء الحاجة، سواء كان في الصحراء أو في البنيان، وسواء في ذلك جميع الأذكار والكلام إلا كلام الضرورة

Dimakruhkan berzikir dan berbicara ketika menunaikan hajat (buang air), baik itu di tanah lapang atau di dalam ruangan, sama saja hukumnya pada semua jenis zikir ataupun pembicaraan, kecuali darurat.” (Al-Azkar, hal. 28)

Suatu hal yang hukum asalnya makruh itu bisa menjadi mubah hukumnya apabila ada hajat (kebutuhan). Sebagaimana kaidah,

الكَرَاهَةُ تَزُوْلُ بِالحَاجَةِ

Suatu hal yang hukumnya makruh itu bisa menjadi hilang hukumnya karena ada hajat.

Syekh Abdul Aziz Bin Baz rahimahullah juga menjelaskan demikian. Beliau rahimahullah berkata,

لا بأس أن يتوضأ داخل الحمام، إذا دعت الحاجة إلى ذلك، ويسمي عند أول الوضوء، يقول: (بسم الله)؛ لأن التسمية واجبة عند بعض أهل العلم، ومتأكدة عند الأكثر

Tidak mengapa Engkau berwudu di dalam kamar mandi apabila ada hajat dan diucapkan di awal wudu. Lafaz basmalah hukumnya wajib menurut sebagian ulama dan sebagian lain lagi berpendapat hukumnya sunah muakkadah (ditekankan).” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat, 10: 28)

Kedua, haram.

Berdasarkan pendapat ini, maka mengucapkan basmalah dilakukan di luar kamar mandi, sebelum masuk untuk berwudu. Berdasarkan pendapat ini juga, sebagian ulama membolehkan ucapan basmalah, akan tetapi hanya di dalam hati saja tanpa menggerakkan lisan dan bibir.

Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

فإنه لا يذكر الله تعالى بلسانه فيها -في هذا الموضع وما أشرنا إليه أولاً- ولكن ذكر الله بقلبه لا حرج عليه فيه.

Tidak perlu mengucapkan nama Allah dengan lisannya pada tempat yang kami isyaratkan (kamar mandi dan semisalnya). Akan tetapi, disebut di dalam hati. Hal ini tidak mengapa.” (Nurun ‘Alad Darb, kaset no.7)

Kami lebih memegang pendapat ulama yang menyatakan makruh hukumnya mengucapkan basmalah di kamar mandi, sehingga diperbolehkan apabila ada hajat. Demikian juga, karena ketika zikir itu lisan dan bibir harus bergerak. Sehingga solusi dengan mengucapkan basmalah dalam hati itu kurang tepat. Wallahu Ta’ala a’lam.

Kedua: Bersih dari terkena najis selama di kamar mandi

Pastikan  bersih dari najis dengan membersihkan dahulu lantainya jika yakin ada  najis dan bau. Dikhawatirkan terpercik air ketika berwudu dan terkena kena kaki atau celana kita. Dijelaskan dalam Fatwa Lajnah Ad-Daimah,

“نعم ، يجوز له ذلك مع التحفظ من رشاش البول ، ويشرع له أن يصب عليه ماء ليذهب مباشرة إن أراد أن يتوضأ بذلك المكان ” انتهى .

“Iya, diperbolehkan berwudu di kamar mandi dengan menjaga dari percikan air kencing. Hendaknya menuangkan air secara langsung agar najis bersih apabila ingin berwudu di kamar mandi.” (Fatwa Al-Lajnah, 5: 238)

Demikian penjelasan ini, semoga bermanfaat.

***

@Bandara Soetta, Perjalanan Lombok – Yogyakarta

Penulis: Raehanul Bahraen

Sumber: https://muslim.or.id/75412-hukum-berwudu-di-dalam-kamar-mandi.html

Inilah Sejarah Haji yang Perlu Kamu Tahu!

Salah satu ibadah yang merupakan adopsi dari syariat Nabi terdahulu adalah haji. Konsep ini dikenal dengan Syara’i’ al-qadimah. Ibadah haji kaya akan sejarah. Inilah sejarah haji dalam literatur kitab-kitab ulama klasik.

Yang pertama kali melakukannya adalah Abul Basyar Nabi Adam As. Dijelaskan: 

وَهُوَ مَعْلُومٌ مِنْ الدِّينِ بِالضَّرُورَةِ. يَكْفُرُ جَاحِدُهُ إلَّا أَنْ يَكُونَ قَرِيبَ عَهْدٍ بِالْإِسْلَامِ أَوْ نَشَأَ بِبَادِيَةٍ بَعِيدَةٍ عَنْ الْعُلَمَاءِ، وَهُوَ مِنْ الشَّرَائِعِ الْقَدِيمَةِ رُوِيَ أَنَّ آدَمَ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – لَمَّا حَجَّ قَالَ لَهُ جِبْرِيلُ: إنَّ الْمَلَائِكَةَ كَانُوا يَطُوفُونَ قَبْلَك بِهَذَا الْبَيْتِ بِسَبْعَةِ آلَافِ سَنَةٍ.

“haji ini merupakan ibadah yang pasti diketahui oleh seorang yang beragama Islam, maka jika ada orang yang mengingkari niscaya ia kafir. Kecuali jika ia adalah seorang muallaf yang belum mengetahuinya atau juga ia adalah orang yang jauh dari ulama yang bisa menjelaskan materi ini. 

Haji merupakan syariat nabi terdahulu, diriwayatkan bahwasanya Nabi Adam ketika menunaikan ibadah Haji, maka malaikat Jibril berkata kepadanya “Sesungguhnya para malaikat itu bertawaf di sini sebelummu, selama 7000 tahun”. (Syekh Khatib Al-Syirbini, Iqna fi Hall Alfadz Abi Syuja’)

Jadi Nabi yang pertama kali haji adalah Nabi Adam AS, lalu bagaimanakah dengan syariat nabi yang lainnya? dijelaskan sebagaimana redaksi berikut:

وَقَالَ صَاحِبُ التَّعْجِيزِ: إنَّ أَوَّلَ مَنْ حَجَّ آدَم – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – وَإِنَّهُ حَجَّ أَرْبَعِينَ سَنَةً مِنْ الْهِنْدِ مَاشِيًا، وَقِيلَ: مَا مِنْ نَبِيٍّ إلَّا حَجَّهُ. وَقَالَ أَبُو إِسْحَاقَ: لَمْ يَبْعَثْ اللَّهُ نَبِيًّا بَعْدَ إبْرَاهِيمَ إلَّا وَقَدْ حَجَّ الْبَيْتَ، وَادَّعَى بَعْضُ مَنْ أَلَّفَ فِي الْمَنَاسِكِ أَنَّ الصَّحِيحَ أَنَّهُ لَمْ يَجِبْ إلَّا عَلَى هَذِهِ الْأُمَّةِ.

“Penulis kitab al-Ta’jiz mengatakan bahwasanya orang yang pertama kali haji adalah Nabi Adam As, beliau haji itu memakan waktu 40 tahun, sebab beliau berangkat dari India dengan berjalan kaki. 

Ada yang mengatakan bahwasanya tidaklah ada seorang nabi AS, kecuali ia telah melaksanakan ibadah haji. Sedang Abu Ishaq berkata bahwasanya tidaklah Allah mengutus seorang Nabi pasca eranya Nabi Ibrahim AS kecuali ia telah melaksanakan haji. 

Hanya saja sebagian orang yang menganggit materi tentang haji mengatakan bahwasanya Haji itu hanya diwajibkan kepada ummat ini saja”. (Syekh Khatib Al-Syirbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfadz al-Minhaj, II/206).

Adapun dalam konteks umat Islam, haji itu diwajibkan kapan? Dijelaskan:

وَاخْتَلَفُوا مَتَى فُرِضَ، فَقِيلَ قَبْلَ الْهِجْرَةِ حَكَاهُ فِي النِّهَايَةِ وَالْمَشْهُورُ أَنَّهُ بَعْدَهَا وَعَلَيْهِ قِيلَ فُرِضَ فِي السُّنَّةِ الْخَامِسَةِ مِنْ الْهِجْرَةِ وَجَزَمَ بِهِ الرَّافِعِيُّ فِي الْكَلَامِ عَلَى أَنَّ الْحَجَّ عَلَى التَّرَاخِي. وَقِيلَ فِي السَّنَةِ السَّادِسَةِ وَصَحَّحَاهُ فِي كِتَابِ السِّيَرِ، وَنَقَلَهُ فِي الْمَجْمُوعِ عَنْ الْأَصْحَابِ وَهَذَا هُوَ الْمَشْهُورُ.

“Para ulama berbeda pendapat mengenai kapan diwajibkannya haji di syariatnya Nabi Muhammad SAW. Versi kitab Al-Nihayah, Haji diwajibkan sebelum Nabi SAW hijrah. Sedangkan menurut qaul al-masyhur, haji itu diwajibkan setelah nabi SAW hijrah.

 Ada yang mengatakan pada tahun 5 Hijriah. Imam Al-Rafi’i condong ke pendapat yang mengatakan bahwasanya haji itu kewajibannya secara tarakhi (tidak harus segera dilaksanakan). Namun ada juga yang mengatakan tahun 6 hijriah, dan keduanya (Imam Al-Rafii dan Imam Al-Nawawi) mensahihkan pendapat ini dalam kitab al-siyar. 

Dan Imam Al-Nawawi dalam majmu’nya juga mengutip pendapat ini, dan memang pendapat inilah yang masyhur”. ( Syekh Khatib Al-Syirbini, Al-Iqna fi Hall Alfadz Abi Syuja’ )

Demikianlah sekilas penjelasan mengenai sejarah haji. Semoga bermanfaat dan semoga kita diberi kesempatan untuk menunaikannya.

BINCANG SYARIAH

Sujud Syukur Setiap Selesai Shalat

Pertanyaan:
Saudaraku, saya pernah sujud syukur setiap selesai shalat dalam rangka bersyukur kepada Allah atas nikmat yang Ia berikan kepadaku berupa penglihatan, pendengaran, dan lainnya. Lalu aku tinggalkan kebiasaan itu karena khawatir itu adalah perbuatan bid’ah, sebab Rasul kita Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah melakukan hal tersebut. Apa nasehat anda kepada saya, jazaakumullah khayr.

Syaikh Abdullah Al Faqih hafizhahullah menjawab:

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعـد

Keputusan anda untuk meninggalkan kebiasaan sujud syukur tiap selesai shalat adalah keputusan yang benar. Karena sujud syukur itu disyari’atkan ketika mendapat nikmat yang besar atau ketika terhindar dari bencana. Adapun selain itu, tidak disyariatkan. Karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu senantiasa melimpahkan nikmat kepada hamb-Nya tanpa bisa terhitung serta terus-menerus tanpa henti.

Imam An Nawawi dalam kitab Al Majmu’, yang merupakan kitab fiqih madzhab Syafi’i, beliau berkata :

قال الشافعي والأصحاب: سجود الشكر سنة عند تجدد نعمة ظاهرة واندفاع نقمة ظاهرة، سواء خصته النعمة والنقمة أو عمت المسلمين… ولا يشرع السجود لاستمرار النعم، لأنها لا تنقطع

Imam Asy Syafi’i dan murid-murid beliau berkata, sujud syukur hukumnya sunnah dilakukan ketika mendapatkan nikmat yang besar atau ketika terhindar dari musibah yang besar. Baik nikmat dan bencana yang khusus bagi seseorang, maupun yang dialami kaum muslimin pada umumnya. Namun tidak disyariatkan sujud syukur untuk nikmat yang terus-menerus, karena nikmat dari Allah itu tidak pernah putus“.

Wallahu’alam

Sumber: http://islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&lang=A&Id=103772

Penerjemah: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/10603-sujud-syukur-setiap-selesai-shalat.html

Keistimewaan Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam (Bag. 3)

Baca pembahasan sebelumnya Keistimewaan Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam (Bag. 2)

Dalam dua seri sebelumnya, kami menyebutkan keistimewaan-keistimewaan yang khusus dimiliki oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berdasarkan dalil-dalil yang sahih. Meskipun demikian, di kalangan kaum muslimin juga beredar keyakinan tertentu berkaitan dengan keistimewaan yang dimiliki oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, tidak kita jumpai landasan yang sahih berkaitan dengan keyakinan tersebut. Bahkan, keyakinan itu hanyalah muncul karena adanya sikap berlebih-lebihan (ghuluw) terhadap beliau.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk bersikap ghuluw, karena hal itu merupakan sarana menuju kemusyrikan. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ

Janganlah kalian melampaui batas dalam memujiku (mengkultuskan) sebagaimana orang Nasrani mengkultuskan ‘Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya. Oleh karena itu, katakanlah abdullahu wa rasuuluh (hamba Allah dan utusan-Nya).” (HR. Bukhari no. 3445)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun telah melarang bersikap ghuluw dalam masalah agama secara umum. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ، فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ

Wahai manusia, jauhkanlah kalian dari sikap berlebih-lebihan dalam agama. Orang-orang sebelum kalian telah binasa karena mereka berlebih-lebihan dalam agama.” (HR. Ibnu Majah no. 3029, An-Nasa’i no. 3057, dan Ahmad no. 1851, sahih)

Berikut ini keyakinan sebagian kaum muslimin berkaitan dengan keistimewaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak didukung oleh dalil yang sahih dan bisa jadi hanya muncul karena sikap ghuluw.

Pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diciptakan dari nuur (cahaya)

Mereka lupa bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia biasa seperti kita. Allah Ta’ala befirman,

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ

Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa.’” (QS. Al-Kahfi: 110)

Sedangkan Allah Ta’ala sendiri mengabarkan bahwa Allah menciptakan manusia dari tanah, dan tidak ada satu pun manusia yang diciptakan dari cahaya. Allah Ta’ala berfirman,

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَكُم مِّن تُرَابٍ ثُمَّ إِذَا أَنتُم بَشَرٌ تَنتَشِرُونَ

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak.” (QS. Ar-Ruum: 20)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ مِن سُلَالَةٍ مِّن طِينٍ

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.” (QS. Al-Mu’minuun: 12)

Kedua, alam semesta diciptakan karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam; kalaulah bukan karena beliau, Allah Ta’ala tidak menciptakan alam semesta ini

Keyakinan ini merupakan salah satu kedustaan yang sangat besar. Tidak terdapat hadis yang sahih maupun dha’if yang menjelaskan hal ini. Demikian pula, tidak ada satu pun generasi salaf yang memiliki keyakinan semacam ini.

Keyakinan ini pun bertentangan dengan firman Allah Ta’ala,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

وَمُحَمَّدٌ سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ. وَأَفْضَلُ الْخَلْقِ وَأَكْرَمُهُمْ عَلَيْهِ وَمِنْ هُنَا قَالَ مَنْ قَالَ: إنَّ اللَّهَ خَلَقَ مِنْ أَجْلِهِ الْعَالَمَ أَوْ إنَّهُ لَوْلَا هُوَ لَمَا خَلَقَ عَرْشًا وَلَا كُرْسِيًّا وَلَا سَمَاءً وَلَا أَرْضًا وَلَا شَمْسًا وَلَا قَمَرًا. لَكِنْ لَيْسَ هَذَا حَدِيثًا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا صَحِيحًا وَلَا ضَعِيفًا وَلَمْ يَنْقُلْهُ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ بِالْحَدِيثِ. عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَلْ وَلَا يُعْرَفُ عَنْ الصَّحَابَةِ بَلْ هُوَ كَلَامٌ لَا يُدْرَى قَائِلُهُ.

Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sayyid (pemimpin) anak keturunan Adam, manusia yang paling utama dan paling mulia. Namun, di sana ada yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala menciptakan alam semesta karena beliau. Seandainya bukan karena Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, Allah Ta’ala tidak akan menciptakan ‘arsy, kursi, langit, bumi, matahari, dan bulan. Akan tetapi, tidak terdapat hadis yang sahih maupun dha’if berkaitan dengan keyakinan tersebut dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikian juga, tidak dikutip dari para ulama yang menguasai hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan keyakinan ini tidak dikenal di kalangan sahabat. Keyakinan ini hanyalah ucapan-ucapan yang tidak dikenal siapa yang mengucapkannya.” (Majmu’ Al-Fataawa, 11: 96)

Demikianlah serial pembahasan ini, semoga bermanfaat untuk kaum muslimin.

[Selesai]

***

@Rumah Kasongan, 15 Syawal 1443/16 Mei 2022

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/75410-keistimewaan-rasulullah-muhammad-bag-3.html