Benarkah Tidak Boleh Menjual Ilmu dalam Islam ?

“Sungguh Aku diutus untuk menjadi guru”, salah satu pesan Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi. Pesan ini tidak terpisahkan dengan hadis yang sangat populer; “Sungguh Aku hanya diutus unuk menyempurnakan akhlak”. Dalam hal ini, tugas mulia Nabi dan para pewaris (ulama) adalah mengajarkan akhlak mulia.

Selain itu, ilmu dalam Islam merupakan amanah yang harus disampaikan, namun bukan berarti diperjualbelikan. Nabi disamping merupakan orang yang menyampaikan amanah atau muballigh, juga merupakan sosok yang memang bisa dipercaya (amanah), jujur dan cerdas.

Dalam masalah ilmu, Nabi Muhammad Saw dikenal memberikan teladan sebagai sosok yang dermawan. Dermawan artinya mengajarkan ilmu, memberikan nasehat, pencerahan bahkan risalah al-Qur’an yang turun dari langit kepada umat tanpa meminta imbalan. Sebagai umat, tentu harus banyak bersyukur kepada Allah dan berterima kasih kepada Nabi dengan meneladaninya dan memperbanyak sholawat kepadanya.

Sifat kedermawanan Nabi diwarisi oleh para ulama, terutama dalam hal ilmu. Disamping ilmu merupakan amanah, sifat dermawan dengan ilmu merupakan kemuliaan tersendiri meskipun ilmu sifatnya tidak kasat mata dan seringkali diabaikan atau dilewatkan begitu saja.

Ketika umat Islam di suatu masyarakat saling berbagi dan yang punya ilmu  dermawan dengan ilmunya, maka tidak lama masyarakat tersebut menjadi masyarakat yang terdidik dan berperadaban. Untuk menjadi dermawan dalam hal ini, seorang muslim harus terlebih dahulu berlelah-lelah mencarinya sehingga tidak seperti dalam ungkapan: فَاقِدُ الشَّيْءِ لَا يُعْطِيْ artinya orang yang tidak punya sesuatu tidak akan memberi sesuatu.

Seorang ulama dan orang yang berilmu disebut manfaat ilmunya ketika berkenan menyampaikan atau memberikan ilmunya walaupun sedikit. Manfaat dalam arti semakin menjadikan pemilik ilmu dekat kepada Allah dan Rasul-Nya. Para ulama menyebutkan; “segala sesuatu ada zakatnya, dan zakat ilmu adalah mengajar”. Nabi Muhammad Saw juga pernah berpesan bahwa barang siapa ditanya tentang suatu ilmu kemudian dia menyembunyikannya, maka dia harus beriap-siap dilemparkan ke jurang api neraka.

Di era modern yang penuh persaingan dan krisis global saat ini, hampir semua aktivitas dianggap perlu menghasilkan materi. Oleh karena itu,  kedermawanan ilmu perlu terus dipupuk dan dimilki oleh umat Islam. Terlebih ilmu keislaman yang sifatnya fardlu air (kewajiban personal) seperti membaca al-Qur’an, tata cara menjalankan ibadah ritual dan mengerti halal dan haram.

Namun hal ini bukan berarti guru ngaji atau ustadz tidak diperbolehkan meminta upah (ujrah) atau bisyarah, apalagi mereka hidupnya memang sudah diwaqafkan untuk melayani umat dan  syiar agama Islam sehingga tidak ada waktu untuk bekerja. Dengan peran mereka, syiar agama di atas bumi ini masih berlangsung dan tegak hingga saat ini. wajar jika seorang murid yang dermawan memberikan sesuatu atau amplop kepada kyai, ulama atau guru-gurunya.

Seorang ulama yang mengemban amanah ilmu akan memahami bahwa menyampaikan ilmu adalah kewajiban dan tidak perlu menuntut imbalan. Jika terpaksa memasang tarif, tentu tetap ada batas kewajaran dan asas kepantasannya. Jangan sampai tarif menjadi sebab umat Islam tidak bisa mendapatkan ilmu agama (ilmu yang bermanfaat untuk agama) disebabkan mahalnya biaya mengaji, sedangka Nabi Saw menyebarkan ilmu secara cuma-cuma alias gratis.

Pada prinsipnya, kedermawanan ilmu jauh lebih utama dibanding kedermawanan materi. Nabi Muhammad Saw pernah memberikan ilmu kepada seorang Sahabat ketika meminta izin untuk mengemis. Nabi pun melarangnya. Nabi menanyakan aset yang dia miliki dan memintanya untuk mengatur asetnya. Waktu itu aset yang dimiliki sebesar dua dirham. Nabi menyarankan agar membanginya, satu dirham untuk dimakan dan satu dirham lainnya untuk membeli kapak sebagai alat mencari kayu di hutan, kemudian kayunya dijual di pasar.

Petunjuk ini dijalankan dan sahabat tersebut hingga dirinya mampu mandiri secara ekonomi. Jika direnungkan, petunjuk Nabi ini lebih tinggi nilainya dibanding apa yang disebutkan dalam pribahasa Cina; “jangan kasih ikan, tapi kasihkanlah pancingnya”. Nabi dalam hal ini tidak memberi pancing (alat), melainkan memberi ilmu (petunjuk).

Seorang Ulama Besar Abda 20 dan Mufti Agung Mesir Syekh Mohammad Bakhit al-Muthi’i (w. 1354 H) berani menolak hadiah dalam jumlah besar dari seorang konglomerat karena fatwa-fatwanya tentang wakaf dalam Islam. Dengan tanpa berfikir, Syekh Bakhit menolak dan mengatakan “ilmu dalam Islam tidak dijual”. Perkataan  ini pendek namun mengandung kedalaman makna. Selain itu, perkataan ini perlu dijadikan kaidah, prinsip dan diamalkan oleh umat Islam dalam kehidupan berbangsa dan beragama.

Bagi seorang murid atau pencari ilmu, di antara pengamalan yang bisa dilakukan adalah bersedekah, mendo’akan atau menyebarluaskan ilmu guru-gurunya agar manfaat dan menjadi amal jariyah. Jika mengambil ilmu dari kitab dan mengambil perkataan di dalamnya, maka perlu meraih keberkahan ilmu itu dengan menerapkan kaidah; “Diantara keberkahan suatu ilmu adalah menyebutkan perkataan disertai dengan orang yang mengatakannya”.

ISLAM KAFFAH

5 Prinsip dalam Mencari Nafkah

Prinsip 1: jangan malas mencari nafkah.

Seorang lelaki Muslim, terlebih yang sudah berkeluarga, harus semangat mencari nafkah. Tidak boleh malas-malasan dan tidak bekerja. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

أرى الشاب فيعجبني فأسأل عن عمله فيقولون لا يعمل فيسقط من عيني

“Aku melihat seorang pemuda, ia membuatku kagum. Lalu aku bertanya kepada orang-orang mengenai pekerjaannya. Mereka mengatakan bahwa ia tidak bekerja. Seketika itu pemuda tersebut jatuh martabatnya di mataku.” (HR. Sa’id bin Manshur dalam Sunan-nya)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji para lelaki yang giat bekerja mencari nafkah untuk keluarga. Beliau bersabda,

إن أطيب كسب الرجل من يده

“Pendapatan yang terbaik dari seseorang adalah hasil jerih payah tangannya.” (HR. Ibnu Majah no.2138, dishahihkan al-Albani dalam Shahih at-Targhib no. 1685)

Beliau juga memotivasi para lelaki untuk bekerja mencari nafkah, walaupun kiamat datang. Beliau bersabda,

إذا قامت القيامة وفي يد أحدكم فسيلة فليغرسها

“Jika kiamat telah datang, dan ketika itu kalian memiliki cangkokan tanaman, tanamlah!” (HR. Ahmad no.12902, dishahihkan Syu’aib al-Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad)

Karena aktivitas bekerja mencari nafkah adalah aktivitas yang berpahala. Sehingga andaikan kiamat terjadi hendaknya seseorang tetap menambah pahalanya. 

Bahkan orang yang malas mencari nafkah untuk keluarganya sehingga keluarganya terlantar dan tersia-siakan, ia dianggap sebagai pendosa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كفى بالمرء إثماً أن يضيع من يعول

“Seseorang itu sudah cukup dikatakan sebagai pendosa jika ia menelantarkan orang-orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Ahmad no.6842, dishahihkan Syu’aib al-Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad)

Prinsip 2: jangan mencari nafkah dengan cara haram.

Mencari nafkah tidak boleh dari jalan yang haram. Baik haram pada dzatnya maupun haram pada cara mendapatkannya. Allah ta’ala berfirman:

وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا

“Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah.” (QS. al-Baqarah: 41)

Maksud ayat ini adalah, jangan melakukan pelanggaran terhadap agama demi mendapatkan keuntungan dunia. Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan:

لا تعتاضوا عن الإيمان بآياتي وتصديق رسولي بالدنيا وشهواتها فإنها قليلة

“Maksudnya, jangan menukar keimanan terhadap ayat-ayat-Ku dan keimanan kepada Rasul-Ku dengan dunia dan syahwatnya, karena dunia itu hal yang kecil (remeh).” (Tafsir Ibnu Katsir)

Allah ta’ala juga berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. al-Baqarah: 168)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّهُ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ

“Sesungguhnya daging badan yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram akan berhak dibakar dalam api neraka.” (HR. Tirmidzi, no. 614. Dishahihkan al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi)

Dan harta yang haram akan Allah hilangkan keberkahannya. Sehingga walaupun harta itu banyak dan melimpah namun akan hilang atau sedikit kebaikan yang bisa didapatkan darinya. Allah ta’ala berfirman tentang harta riba:

يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ [البقرة:276]

“Allah akan menghancurkan keberkahan harta riba, dan mengembangkan keberkahan orang yang bersedekah.” (QS. al-Baqarah: 276)

Prinsip 3: nafkah adalah sarana untuk mencari akhirat.

Perlu selalu disadari bahwa harta yang kita cari bukanlah tujuan. Namun ia sekedar sarana untuk menggapai akhirat. Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan menjelaskan:

خلق الله الخلق لعبادته, وهيأ لهم ما يعينهم عليها من رزقه

“Allah telah menciptakan para makhluk agar mereka beribadah kepada-Nya. Dan Allah siapkan rezeki bagi mereka, untuk membantu mereka melakukan itu.” (Kitabut Tauhid lil Fauzan, hal. 6)

Kemudian beliau membawakan ayat:

:وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (QS. adz-Dzariyat: 56-58)

Dalam Syarah al-Qawa’idul Arba’ah, asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan juga menjelaskan ayat di atas: “Anda telah memahami bahwa Allah ta’ala tidak menciptakan Anda dengan sia-sia. Dan Allah tidak menciptakan Anda agar Anda bisa makan dan minum saja. Atau agar Anda bisa bersenang-senang dan leha-leha di dunia. 

Bukan, bukan itu tujuan Allah menciptakan Anda. Allah ta’ala menciptakan Anda untuk beribadah kepada-Nya semata. Dan Allah ciptakan benda-benda di alam semesta ini (makanan, minuman, udara, dll.) dalam rangka untuk membantu Anda agar bisa beribadah kepada Allah. 

Karena Anda tidak akan mampu hidup di dunia tanpa adanya benda-benda tersebut. Dan Anda tidak akan bisa beribadah kepada Allah kecuali dengan adanya benda-benda tersebut. Allah ciptakan mereka untuk Anda, agar Anda beribadah kepada Allah semata.

Bukan agar Anda bisa bersenang-senang, berleha-leha, berbuat maksiat, berbuat dosa, makan, minum sesuai keinginan Anda. Yang demikian ini keadaannya binatang! Adapun manusia, Allah ciptakan mereka untuk suatu tujuan yang agung dan hikmah yang agung, yaitu agar Anda beribadah kepada Allah.” (Syarah al-Qawa’idul Arba’, dinukil dari Silsilah Syarhil Rasail, hal 335)

Prinsip 4: ambil sebab walaupun kecil.

Ambil sebab dan berikhtiarlah! Walaupun ikhtiar Anda dalam mencari nafkah nampak lemah dan kecil di mata orang-orang. Semoga Allah berikan keberkahan sehingga datang hal yang besar.

Allah ta’ala memerintahkan Maryam untuk mengambil sebab walaupun sebab yang lemah. Agar Allah mudahkan setelahnya untuk mendapatkan keberkahan rezeki yang melimpah. Allah berfirman:

 وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا

“Tendanglah olehmu (wahai Maryam) pohon kurma itu. Sehingga jatuh kepadamu kurma yang masak.” (QS. Maryam: 25)

Menendang pohon kurma bagi seorang wanita yang hamil tentu perkara yang sulit dan hampir tidak mungkin membuat kurmanya jatuh. Namun Allah tetap perintahkan beliau sebagai upaya mengambil sebab.

Maka bersemangatlah walaupun pekerjaan anda sederhana, gajinya kecil atau pendapatan anda sedikit, tetap lanjutkan dengan semangat jika itu yang anda bisa lakukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 لَأَنْ يَغْدُوَ أَحَدُكُمْ، فَيَحْطِبَ عَلَى ظَهْرِهِ، فَيَتَصَدَّقَ بِهِ وَيَسْتَغْنِيَ بِهِ مِنَ النَّاسِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ رَجُلًا، أَعْطَاهُ أَوْ مَنَعَهُ ذَلِكَ، فَإِنَّ الْيَدَ الْعُلْيَا أَفْضَلُ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ

“Jika salah seorang di antara kalian pergi di pagi hari lalu mencari kayu bakar yang dipanggul di punggungnya (lalu menjualnya), kemudian bersedekah dengan hasilnya dan merasa cukup dari apa yang ada di tangan orang lain, maka itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi ataupun tidak, karena tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Dan mulailah dengan menafkahi orang yang engkau tanggung.” (HR. Bukhari no. 2075, Muslim no. 1042)

Prinsip 5: optimalkan usaha, minimalkan waktu.

Jangan sampai semua waktu dihabiskan untuk bekerja mencari harta dunia. Luangkan lebih banyak waktu untuk akhirat Anda. Sebisa mungkin waktu untuk mencari harta itu sesedikit mungkin, namun dalam waktu yang sedikit itu upayakan bekerja seoptimal mungkin. Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ’anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 أيُّها النَّاسُ اتَّقوا اللَّهَ وأجملوا في الطَّلبِ فإنَّ نفسًا لن تموتَ حتَّى تستوفيَ رزقَها وإن أبطأَ عنْها فاتَّقوا اللَّهَ وأجملوا في الطَّلبِ خذوا ما حلَّ ودعوا ما حَرُمَ

“Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah, dan carilah rezeki secara mujmal (sederhana). Karena tidak ada jiwa yang mati kecuali sudah terpenuhi jatah rezekinya, walaupun (terkadang) rezeki tersebut lambat sampai kepadanya. Maka gunakanlah cara yang indah dalam mencari rezeki. Ambillah yang halal-halal dan tinggalkan yang haram-haram.” (HR. Ibnu Majah no. 1756, dishahihkan al-Albani dalam Shahih Ibni Majah)

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: “Dalam hadits ‘bertakwalah kepada Allah dan ajmiluu (sederhanalah) dalam mencari rezeki‘, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggabungkan maslahat dunia dan akhirat. Kenikmatan dunia serta kelezatannya hanya bisa digapai dengan takwa kepada Allah. 

Sedangkan hati dan badan yang bahagia, tidak terlalu berambisi terhadap dunia, tidak lelah untuk dunia, tidak ngoyo (memaksakan diri) untuk dunia, tidak bekerja melampaui batas dalam masalah dunia, tidak rela menderita demi mencari dunia, itu semua didapatkan dengan mencari dunia secara mujmal (global; ringkas). 

Barang siapa yang bertakwa kepada Allah maka ia akan sukses mendapatkan kelezatan dan kenikmatan akhirat. Dan barang siapa yang mencari dunia secara mujmal, maka ia akan terbebas dari kesedihan dan kegelisahan dunia.” (Al-Fawaid, hal. 68)

Misalnya jika dalam sehari Anda bekerja menghabiskan waktu 4 jam, dan itu sudah mendapatkan hasil yang cukup, maka jangan tambah lagi. Cukup 4 jam saja. Waktu yang tersisa digunakan untuk mencari akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ يقولُ يا ابنَ آدمَ : تَفَرَّغْ لعبادَتِي أملأْ صدركَ غِنًى وأسُدُّ فقرَكَ ، وإِنْ لَّا تفعلْ ملأتُ يديْكَ شُغْلًا ، ولم أسُدَّ فقْرَكَ

“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: Wahai manusia! Habiskan waktumu untuk beribadah kepada-Ku, niscaya Aku penuhi dadamu dengan kecukupan dan akan Aku tutup kefakiranmu. Jika engkau tidak melakukannya, maka akan Aku penuhi kedua tanganmu dengan kesibukan dan Aku tidak akan tutup kefakiranmu’.” (HR. at-Tirmidzi no. 2466, dishahihkan al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi)

Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.

***

Ditulis oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.

Referensi: https://konsultasisyariah.com/39380-5-prinsip-dalam-mencari-nafkah.html

Penghalang antara Manusia dan Allah Menurut Imam al-Ghazali

Artikel ini akan menjelaskan tentang penghalang antara manusia dan Allah menurut Imam Al Ghazali.  Dalam menjalani laku spiritual seseorang harus menyadari dan mengetahui beberapa hal yang bisa menjadi bumerang untuk mencapai tujuannya, yaitu sampai pada Allah swt sebagai tujuan tertinggi dalam kehidupan.

Imam al-Ghazali menjelaskan syarat yang harus dilewati oleh orang yang ingin menjalani laku spiritual yaitu menghilangkan tabir-tabir yang menutupinya.

Ada empat hal, menurut Imam al-Ghazali, yang berpotensi menghalangi manusia dari Allah swt sebagaimana disebutkan dalam kitabnya Ihya’ Ulumiddin [3/73]. Beliau mengatakan;

وَالسَّدُّ بَيْنَ الْمُرِيدِ وَبَيْنَ الْحَقِّ أَرْبَعَةُ : : الْمَالُ وَالْجَاهُ وَالتَّقْلِيدُ وَالْمَعْصِيَةُ

“Adapun penghalang antara murid (orang yang hendak menjalani laku spiritual) dan Allah swt yaitu ada empat. Harta, kekuasaan, taqlid dan maksiat”

Sesuai tafsiran Imam al-Ghazali, empat hal di atas yang dimaksud dengan ayat al-Quran dalam surah Yasin.

وَجَعَلْنَا مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ سَدًّا وَمِنْ خَلْفِهِمْ سَدًّا فَأَغْشَيْنَاهُمْ فَهُمْ لا يُبْصِرُونَ

“Dan kami jadikan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding, dan kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat” [QS: Yasin: 9]

Dengan demikian, seseorang harus membebaskan diri dari keempatnya untuk bisa mencapai tujuannya. Selama terikat dengan empat hal di atas, orang yang hendak menjalani laku spiritual, rasanya sulit (jika enggan mengatakan mustahil) untuk berhasil dalam tujuannya.

Harta

Namun demikian, melepaskan diri dari harta tersebut bukan berarti tidak memiliki apa-apa. Menurut Imam al-Ghazali caranya adalah melepas semua harta yang dimiliki kecuali untuk memenuhi kebutuhan primer.

Sebab seseorang yang masih memiliki harta melebihi kebutuhannya maka perhatiannya akan terfokuskan kepada hartanya. Inilah yang diduga kuat mengahalanginya dari Allah. Oleh sebab itu, jika dia bisa menjamin untuk tidak terfokus dengan harta yang dimiliki maka tidak ada persoalan memiliki harta yang banyak.

وَإِنَّمَا يُرْفَعُ حِجَابُ الْمَالِ بِخُرُوجِهِ عَنْ مُلْكِهِ حَتَّى لَا يُبْقَى لَهُ إِلَّا قَدْرُ الضَّرُورَةِ فَمَا دَامَ يَبْقَى لَهُ دِرْهَمٌ يَلْتَفِتُ إِلَيْهِ فَهُوَ مُقَيَّدٌ بِهِ مَحْجُوبٌ عَنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ.

Kekuasaan

Dalam meninggalkan kekuasaan bukan berarti enggan diberikan tugas dan jabatan sama sekali. Akan tetapi harus menjalani amanahnya dengan benar dan jujur serta penuh dengan rendah hati, tidak suka diviralkan.

، وَإِنَّمَا يَرْتَفِعُ حِجَابُ الْجَاهِ بِالْبُعْدِ عَنْ مَوْضِعِ الْجَاهِ بِالتَّوَاضُعِ ، وَإِيثَارِ الْخُمُولِ وَالْهَرَبُ مِنْ أَسْبَابِ الذِّكْرِ وَتَعَاطِي أَعْمَالٍ تُنَفِّرُ قُلُوبَ الْخَلْقِ عَنْهُ

“Hijab kekuasaan bisa hilang dengan cara rendah hati, tidak suka menonjolak diri di permukaan dan tidak suka jika viral serta melakukan aktifitas yang membuat hati tidak fokus pada manusia”.

Taklid

Dalam tradisi NU, seseorang harus bermazhab dengan salah satu Imam Mazhab yang empat dalam bidang fikih. Akan tetapi, yang dimaksud oleh Imam al-Ghazali dalam soal taklid bukan tidak boleh bertaklid sama sekali namun menghilangkan rasa fanatismenya pada satu mazhab saja. Beliau menandaskan dalam kitabnya

وَإِنَّمَا يَرْتَفِعُ حِجَابُ التَّقْلِيدِ بِأَنْ يَتْرُكَ التَّعَصُّبَ

“Tabir hijab taklid bisa hilang dengan cara tidak fanatik”

Hal ini sangat logis, sebab orang yang didominasi dengan fanatik terhadap mazhab tertentu dan tidak menerima kemungkinan kebenaran mazhab lain akan menjadi panghalang dirinya untuk mencapai kebenarang hakiki.

Padahal, sorang murid tidak harus berpegangan pada mazhab tertentu. Sebagaimana disampaikan oleh Imam al-Ghazali;

فَإِنْ غَلَبَ عَلَيْهِ التَّعَصُّبُ لِمُعْتَقَدِهِ وَلَمْ يَبْقَ فِي نَفْسِهِ مُتَّسَعٌ لِغَيْرِهِ صَارَ ذَلِكَ قَيْدًا لَهُ وَحِجَابًا إِذْ لَيْسَ مِنْ شَرْطِ الْمُرِيدِ الِانْتِمَاءُ إِلَى مَذْهَبٍ مُعَيَّنٍ أَصْلًا

“orang yang didominasi fanatik pada imam yang diikuti dan tidak menerima kebenaran imam lainnya maka akan menjadi penghalang. Sebab seorang murid tidak harus bermazhab dengan satu mazhab tertentu”

Maksiat

Adapun cara untuk lepas dari maksiat tidak lain yaitu harus bertaubat, tidak melakukan kezaliman, dan menguatkan tekad tidak akan mengulangi Kembali dan menyesali atas perbuatan yang telah lampau, minta maaf dan lainnya.

Sebab orang yang mengklaim ingin menjalani laku spiritual tapi tidak meninggalkan maksiat layiknya orang yang ingin mengetahui tafsir al-Qur’an namun tidak tahu bahasa arab.

BINCANG SYARIAH

Darah Haid Keluar Saat Masuk Waktu Shalat, Apakah Harus Mengqadha Shalat?

Artikel ini akan menjelaskan tentang hukum darah haid keluar saat masuk waktu shalat? Apakah harus mengqadha shalat? dalam Islam Shalat adalah salah satu kewajiban umat muslim dan juga menjadi bagian dari rukun Islam yang lima.

Namun dalam aturannya, ada beberapa yang juga dilarang untuk melaksanakan shalat, salah satunya adalah perempuan saat sedang menstruasi atau mengeluarkan darah haid. (Baca: Bagaimana Hukum Orang Haid dan Junub Memandikan Jenazah?)

Tetapi, keluarnya darah haid tidak pernah bisa dipastikan waktunya, entah itu pagi, siang, atau malam. Seringkali menjadi pertanyaan, ketika darah haid keluar saat masuk waktu shalat, apakah harus mengqadha shalat?

Kewajiban shalat bagi muslim termaktub dalam surat an-Nisa ayat 103:

 اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا

Artinya: Sungguh, salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.

Sedangkan perintah untuk meninggalkan shalat saat mengeluarkan darah haid adalah hadis riwayat Aisyah, salah satu istri Rasulullah:

حدثنا أحمد بن يونس عن زهير قال حدثنا هشام عن عروة عن عائشة قالت  : قال النبي صلى الله عليه و سلم ( إذا أقبلت الحيضة فدعي الصلاة وإذا أدبرت فاغسلي عنك الدم وصلي )

Artinya: Menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus dari Zuhair, ia berkata, menceritakan kepada kami Hisyam bin Urwah dari Aisyah berkata, Rasulullah Saw bersabda: jika kamu mendapati haid maka tinggalkanlah shalat. Dan apabila telah selesai (berhenti mengalirnya haid) maka bersihkanlah darah itu (mandi) dan shalatlah. (HR. Bukhari)

Lantas, hal yang sering dipertanyakan adalah, apakah kewajiban shalat muthlak menjadi gugur dengan keluarnya darah haid sekalipun ia belum sempat shalat padahal sudah masuk waktu shalat?

Misal, seorang perempuan mengeluarkan darah haid pada waktu Ashar jam 16.00, sedangkan waktu Ashar sudah dimulai sejak jam 15.20, apakah shalat Asharnya mutlak gugur atau ia wajib menggantinya?.

Atau, ada lagi kasus lain, seorang perempuan sedang shalat lalu pertengahan shalatnya ia mengeluarkan darah haid, bagaimana dengan shalatnya? Haruskah ia menggantinya setelah berhenti mengeluarkan darah haid di hari lain?

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai masalah ini. Syekh Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Qadir Assaqof, salah satu ulama fikih dan guru besar di Universitas al-Ahqof, Yaman dalam kitabnya al-Ibanah wa al-Ifadhoh fii Ahkam al-Haidh wa an-Nifas wa al-Istihadhoh ‘ala Mazhab Asyaafi’i menjelaskan mengenai hal ini.

Dalam kitabnya, beliau menjelaskan jika seorang perempuan mengalami haid atau nifas di awal waktu shalat atau di tengah waktu shalat, sedangkan ia belum shalat, maka setelah suci ia wajib untuk mengqadha shalat yang tertinggal.

Dengan syarat, ia diperkirakan sempat melakukan shalat pada waktu itu sebelum keluarnya darah. (Baca: Istri Keluar Darah Istihadhah, Bolehkan Difasakh? )

Misal, seorang perempuan haid jam 13.00, sedangkan waktu zuhur sudah dimulai jam 12.15, maka ia tentu memiliki waktu untuk melaksanakan shalat akan tetapi ia belum melaksanakannya, maka shalat yang ditinggalkannya sebelum darah haid keluar, yakni shalat zuhur harus diqadha setelah ia suci dari haid atau nifasnya.

Akan tetapi, jika seorang perempuan mengeluarkan darah haidnya bersamaan dengan permulaan waktu shalat, lalu ia tak sempat melaksanakan shalat tersebut, maka ia tak wajib mengqadha shalatnya sebab waktu yang sempit.

Jika dalam sebuah permasalahan, seseorang yang sedang shalat lalu darah haid keluar di pertengahan shalat tersebut maka shalatnya tentu tidak sah dan wajib menggantinya saat nanti darah haidnya berhenti. Wallahu a’lam bissowab.

Tulisan ini telah terbit di Bincangmuslimah.com

Tips Dapat Jodoh

BELUM bertemu jodoh di kala usia sudah cukup matang, bikin sebagian orang menjadi galau. Wanita terutama, bertambahnya usia biasanya diiringi bertambahnya kekhawatiran soal jodoh. Buat kamu yang belum menikah, ada beberapa tips dapat jodoh nih.

Jika kamu punya permasalahan semacam itu, ada beberapa hal yang dapat kamu pertimbangkan untuk mengatasinya.

Dilansir dari laman About Islam, sebelum mencari jodoh cobalah introspeksi diri sendiri terlebih dulu. Apakah kamu terlalu pemilih, atau belum berdoa kepada Allah?

Perihal jodoh, tentu kamu harus meminta dan berdoa kepada Allah kepada Allah. Selebihnya, ada tips yang bisa kamu pertimbangkan. Semoga bisa jadi solusi buat masalahmu, ya.

1- Tips Dapat Jodoh:  Tanyakan apakah kamu cerewet

Tanyakan pada diri sendiri apakah kamu terlalu cerewet atau pemilih. Pernah tidak kamu menerima lamaran dari seseorang tetapi menolaknya?

Jika demikian, ingatlah, sifat yang paling penting dan paling diinginkan dari pasangan adalah iman yang kuat dan karakter yang baik. Lagipula, sebagian besar hal lainnya yang mungkin kamu sukai darinya akan kamu temukan dengan sendirinya setelah kamu meluangkan waktu bersama atau ta’aruf.

Setidaknya, jika dia adalah orang yang saleh, kamu dapat yakin bahwa kamu akan diperlakukan dengan cara hormat. Bukan berarti kamu harus menikahi siapa saja tanpa pertimbangan, tetapi perluas wawasan dan lebih terbuka kepada berbagai jenis orang.

2- Tips Dapat Jodoh: Mencari secara aktif

Apakah kamu sudah mencari secara aktif? Kamu tidak bisa selalu mengandalkan seseorang yang datang dengan sebuah lamaran. Sebaliknya, beri tahu teman dan keluarga bahwa kamu sedang mencari dan mereka dapat mengumumkannya.

Kamu bahkan bisa menyampaikan pesan tersebut ke imam atau guru agamamu, yang mungkin mengetahui jika ada calon lajang yang juga sama sepertimu, sedang mencari jodoh.

Menemukan jodoh dengan perantara orang lain yang kita percayai tentu bukan hal yang buruk. Sebab orang yang terpercaya tentu akan berusaha mencarikan jodoh yang terbaik dan sesuai denganmu, karena mereka mengenalmu.

3- Tips Dapat Jodoh: Berdoa kepada Allah

Berdoa kepada Allah, maka kamu akan mendapatkan jawabannya. Jika seseorang tidak meminta, bagaimana ia akan mendapatkan yang diinginkannya? Demikian juga dengan jodoh yang merupakan rahasia Allah, tentu kamu harus memintanya kepada Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Kuasa atasnya.

Jadi teruslah gigih meminta kepada Allah untuk membimbingmu menuju pernikahan.

4- Tips Dapat Jodoh: Kesabaran

Jadilah orang yang sabar. Ini mudah untuk dikatakan, tetapi sulit dilakukan ketika kamu merasa telah menunggu cukup lama. Yakinlah bahwa Allah akan menjawabmu ketika waktunya tepat, dan Allah adalah perencana terbaik.

Jangan pernah berhenti berharap. Jika kamu terus berdoa dan tetap teguh dalam iman, Allah akan membimbingmu menemukan jalannya. Jangan pernah putus asa kepada Allah.

5- Tips Dapat Jodoh: Sibukkan dirimu

Terus-menerus memikirkan masalah jodoh hanya akan mempersulit keadaan dan membuatnya menjadi beban. Oleh karena itu, tetaplah sibuk dalam hal-hal yang bermakna dan produktif lainnya dan terus berusaha.

6- Tips Dapat Jodoh: Perbaiki diri

Setiap orang pasti ingin punya pasangan yang baik bahkan terbaik. Demikian juga dengan dia yang kamu cari. Maka, jika kamu ingin punya pasangan yang baik dan berharap dia menemukanmu sebagai pasangan terbaiknya, mengapa tidak memperbaiki diri dari sekarang, sebelum kamu benar-benar bertemu dengannya dan disatukan. []

SUMBER: ABOUT ISLAM

ISLAMPOS

Khabib Nurmagomedov Kunjungi Makkah Tunaikan Umroh

Mantan petarung UFC Khabib Nurmagomedov yang merupakan salah satu atlet Muslim paling populer di dunia melakukan perjalanan ke Makkah pada pekan ini. Dia akan menjalani ibadah umroh dalam kunjungan tahunannya ke kota suci tersebut.

Tahun lalu dia melakukan perjalanan ke Makkah pada November dan tahun ini dia melakukan perjalanan sedikit lebih awal. “Bagi saya, Makkah seperti sungai saat Anda bisa mandi dan menjadi suci. Bagaimanapun, semua hamba Allah membutuhkan pemurnian jiwa lebih dari apa pun. Semoga Allah mengampuni kita dan membimbing kita ke jalan yang benar,” kata Nurmagomedov dalam akun Instagram.

Nurmagomedov atau Habib Abdulmanap Nur Mohamed dalam bahasa Arab, bukan hanya juara Muslim pertama UFC, melainkan pemegang rekor yang tak terkalahkan terpanjang di Mixed Martial Arts (MMA) dengan 29 kemenangan. Pada Oktober 2019, dia mengatakan Allah Yang Mahakuasa tidak akan menyetujui kekerasannya di segi delapan.

Sosok Muslim yang taat

Sebelumnya pada April 2018, Nurmagomedov menjelaskan tidak ada hal lain yang lebih penting bagi dirinya selain menjadi hamba Allah yang taat. Untuk mencapainya, kata dia, itu merupakan hal tersulit dalam hidup.

Pada Oktober 2020, dia pensiun, beberapa bulan setelah kematian ayahnya karena Covid-19. Saat ini, dia melatih Islam Makhachev yang akan menantang Charles Oliveira untuk gelar kelas ringan yang kosong di UFC 280 bulan depan.

Dilansir About Islam, Rabu (7/9/2022), umroh merupakan salah satu ibadah yang bersifat tidak wajib. Umroh dapat dilakukan dalam beberapa jam dan melibatkan sedikit ritual.

Beberapa selebriti olahraga Muslim juga telah melakukan umroh baru-baru ini. Superstar Muslim Liverpool Mohamed Salah melakukan umroh pada Juli 2019. Pada Mei 2019, bintang Manchester United Paul Pogba melakukan umroh untuk menandai dimulainya bulan suci Ramadhan.

https://www.instagram.com/khabib_nurmagomedov/

IHRAM

Teks Khotbah Jumat: Mohonlah Perlindungan Hanya kepada Allah

Khotbah pertama

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ.

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ

أَشْهَدُ أَنْ لَاۧ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ .

اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى مَحَمَّدِ نِالْمُجْتَبٰى، وَعَلٰى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَهْلِ التُّقٰى وَالْوَفٰى. أَمَّا بَعْدُ فَيَاأَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ! أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ فَقَدْ فَازَ مَنِ اتَّقَى

فَقَالَ اللهُ تَعَالٰى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan para jemaah sekalian agar senantiasa meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Karena dengan ketakwaanlah seorang muslim akan dimudahkan dalam setiap urusannya. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مِنْ اَمْرِهٖ يُسْرًا

“Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya.”. (QS. At-Talaq: 4)

Jemaah salat Jumat yang senantiasa dirahmati Allah Ta’ala.

Akhir-akhir ini jagat maya dihebohkan dengan ramainya dunia perdukunan. Sebuah fenomena jamak di negeri Indonesia ini. Sungguh miris, negeri yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam ini seringkali masih mempercayai dukun, peramal, “orang pintar”, dan lain sebagainya di dalam menyelesaikan dan memecahkan permasalahannya. Meminta perlindungan kepada mereka, mengenakan jimat, dan menggantungkan nasib kepada kejadian serta fenomena yang terjadi baik di langit maupun di bumi.

Padahal. Nabi kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mencontohkan hal semacam itu! Beliau adalah hamba yang paling besar rasa butuhnya terhadap Allah Ta’ala, hamba yang paling takut terhadap Rabbnya, hamba yang selalu menggantungkan dirinya dan menyandarkan urusannya hanya kepada Allah Ta’ala satu-satunya. Beliau jauh dari kesyirikan, sama sekali tidak pernah meminta pertolongan dan perlindungan kepada selain Allah Ta’ala.

 Isti’adzah (meminta perlindungan) pada hal-hal yang tidak dimampui kecuali oleh Allah Ta’ala merupakan salah satu ibadah yang harus kita tujukan hanya kepada Allah satu-satunya. Bahkan Isti’adzah merupakan salah satu ibadah yang paling mulia. Allah Ta’ala jadikan ia sebagai salah satu perwujudan dan tolak ukur tauhid uluhiyyah seorang hamba. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ * مَلِكِ النَّاسِ * إِلَهِ النَّاسِ

“Katakanlah, ‘Aku berlindung kepada Tuhannya manusia, Raja manusia, sembahan manusia.’” (QS. An-Naas: 1-3)

Jemaah yang dirahmati Allah Ta’ala.

Setelah mengetahui bahwa isti’adzah merupakan salah satu bentuk ibadah, maka kita dilarang untuk memintanya kepada selain Allah Ta’ala, baik itu jin, dukun, “orang pintar”, tukang sihir, ataupun yang semisal dengannya. Kita juga dilarang berlindung dari malapetaka ataupun marabahaya dengan melafalkan jampi-jampi, ucapan yang tidak diketahui maknanya, ataupun bentuk-bentuk kalimat lain yang tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Ketahuilah wahai jemaah sekalian, meminta perlindungan kepada makhluk dalam hal-hal yang di luar batas kemampuan dan kapasitas mereka maka sesungguhnya itu termasuk kesyirikan.

Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Barangsiapa yang meminta perlindungan dan keselamatan kepada selain Allah Ta’ala pada hal-hal yang yang tidak dimampui kecuali oleh Allah Ta’ala, maka sungguh apa yang ia lakukan tersebut hanya akan menambah kesesatan, kesulitan, dan dosa bagi pelakunya. Allah Ta’ala berfirman,

وَّاَنَّهٗ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْاِنْسِ يَعُوْذُوْنَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوْهُمْ رَهَقًاۖ

“Dan sesungguhnya ada beberapa orang laki-laki dari kalangan manusia yang meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari jin, tetapi mereka (jin) menjadikan mereka (manusia) bertambah sesat.” (QS. Al-Jinn: 6)

Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa Qotadah rahimahullah berkata,

فَزادُوهُمْ رَهَقاً أَيْ إِثْمًا وَازْدَادَتِ الْجِنُّ عَلَيْهِمْ بِذَلِكَ جَرَاءَةً

“Fazaaduhum rahaqaa, yaitu: manusia semakin berdosa dan para jin semakin berani kepada manusia.”

Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Jika kita benar-benar yakin bahwa Allah Ta’ala adalah Sang Pencipta, Sesembahan kita, dan Tuhan satu-satunya, tentu kita tidak akan pernah ber-isti’adzah dan meminta pertolongan kepada selain-Nya di dalam perkara yang tidak ada seorang makhluk pun mampu mengatasinya, kecuali Allah Ta’ala. Tidak ada tempat lain untuk mengadu atas setiap kesulitan yang menimpa kita, kecuali kepada-Nya. Tidak ada tempat bergantung dan berlindung saat datangnya keadaan sulit dan menakutkan, kecuali hanya kepada Allah Ta’ala. Sesungguhnya terjatuhnya seseorang ke dalam isti’adzah kepada selain Allah Ta’ala merupakan tanda lemahnya keyakinan dan keimanan kita kepada Allah Ta’ala.

Jemaah yang berbahagia.

Sesungguhnya di antara perkara buruk yang diri kita sangatlah diperintahkan untuk meminta perlindungan darinya adalah bisikan, godaan, dan tipu daya setan beserta bala tentaranya, termasuk di dalamnya adalah para dukun, peramal, dan tukang sihir yang bekerja sama dengan para setan di dalam mengelabui dan menipu manusia.

Perintah ber-isti’adzah dari setan ini bahkan diperintahkan untuk dilakukan di banyak kondisi. Ketika membaca Al-Qur’an, ketika marah, ketika masuk kamar mandi, dan saat mendapati mimpi buruk.

Ketahuilah wahai saudaraku, meminta perlindungan kepada Allah Ta’ala dari godaan setan akan menyelamatkan kita dari tipu daya mereka. Di dalam merealisasikannya akan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya memerangi mereka dan kesadaran penuh perihal busuknya tipu daya mereka. Kesadaran ini merupakan salah satu karakteristik orang-orang yang bertakwa, Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنْ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa apabila mereka dibayang-bayangi pikiran jahat (berbuat dosa) dari setan, mereka pun segera ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat (kesalahan-kesalahannya).” (QS. Al-A’raf: 201)

أقُولُ قَوْلي هَذَا   وَأسْتغْفِرُ اللهَ العَظِيمَ   لي وَلَكُمْ،   فَاسْتغْفِرُوهُ   يَغْفِرْ لَكُمْ    إِنهُ هُوَ الغَفُورُ الرَّحِيمُ،  وَادْعُوهُ يَسْتجِبْ لَكُمْ   إِنهُ هُوَ البَرُّ الكَرِيْمُ.

Khotbah kedua

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ.

Ma’asyiral Muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala telah memerintahkan dan menekankan kita untuk senantiasa ber-isti’adzah dan meminta pertolongan kepada-Nya di banyak ayat di dalam Al-Qur’an. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,

وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنْ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ 

“Dan jika setan datang menggodamu, maka berlindunglah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf: 20)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَقُلْ رَبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ * وَأَعُوذُ بِكَ رَبِّ أَنْ يَحْضُرُونِ

“Dan katakanlah, ‘Ya Tuhanku, aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan setan, dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Tuhanku, agar mereka tidak mendekati aku.’” (QS. Al-Mu’minun: 97-98)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengajarkan para sahabatnya untuk senantiasa ber-isti’adzah, memohon perlindungan kepada Allah Ta’ala. Suatu ketika Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata kepadanya, “Wahai Nabi, ajarkan kepadaku apa yang harus aku lafazkan jika telah masuk waktu pagi atau telah masuk waktu sore.” Maka, Nabi pun menjawab,

يَا أَبَا بَكْرٍ! قُلِ: اللَّهُمَّ فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ، عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، رَبَّ كُلِّ شَيْءٍ وَمَلِيكَهُ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ نَفْسِي، وَمِنْ شَرِّ الشَّيْطَانِ وَشَرَكِهِ، وَأَنْ أَقْتَرِفَ عَلَى نَفْسِي سُوءًا، أَوْ أَجُرَّهُ إِلَى مُسْلِمٍ

“Wahai Abu Bakar, ucapkanlah, ‘Ya Allah, Zat Pencipta langit dan bumi, Zat yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, tidak ada sesembahan yang berhak disembah, kecuali Engkau, Zat yang menguasai segala sesuatu dan yang merajainya. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan diriku, kejahatan setan dan bala tentaranya, atau aku berbuat kejelekan pada diriku atau aku mendorongnya kepada seorang muslim.’” (HR. Tirmidzi no. 3529)

Doa meminta perlindungan yang lainnya juga diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada istri tercinta beliau, Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

للَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنَ الْخَيْرِ كُلِّهِ، عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ، مَا عَلِمْتُ مِنْهُ وَمَا لَمْ أَعْلَمْ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الشَّرِّ كُلِّهِ، عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ، مَا عَلِمْتُ مِنْهُ وَمَا لَمْ أَعْلَمْ…

“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu segala kebaikan yang segera (dunia) dan yang tertunda (akhirat), yang aku ketahui dan yang tidak aku ketahui. Dan aku berlindung kepada-Mu dari segala keburukan yang segera (dunia) dan yang tertunda (akhirat), yang aku ketahui dan yang tidak aku ketahui.” (HR. Thabrani, 2: 252 dan At-Thayalisi no. 822. Hadis ini disahihkan oleh Syekh Albani dalam kitabnya Shahih Al-Jaami’)

Jemaah salat Jumat yang semoga senantiasa dalam perlindungan Allah Ta’ala.

Rutinkanlah untuk selalu membaca Al-Muawwidzatain, (surat Al-Falaq dan surat An-Naas), sebagaimana yang disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada sahabatnya Abdullah bin Khubaib radhiyallahu ‘anhu,

قُل: قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ، حِينَ تُمْسِي، وَحِينَ تُصْبِحُ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ؛ تَكْفِيكَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ

“Bacalah: Qul huwaAllahu Ahad dan Al-Muawwidzatain (Al-Falaq, An-Naas) saat masuk waktu sore dan saat masuk waktu pagi, niscaya semua itu akan mencukupkanmu dari segala hal.” (HR. Abu Dawud no. 5082)

Tidak ada satu pun dari kaum muslimin yang tidak butuh kepada 2 surat ini. Keduanya memiliki pengaruh besar untuk menangkal sihir, penyakit ‘ain, dan setiap keburukan yang ada di bumi ini. Kebutuhan manusia untuk selalu ber-isti’adzah, meminta perlindungan dengan kedua surat ini, lebih besar dari kebutuhan mereka terhadap makanan, minuman, pakaian, dan kebutuhan pokok lainnya.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga dan melindungi diri kita, keluarga kita, dan seluruh kaum muslimin dari segala macam marabahaya, baik itu yang ditimbulkan oleh setan dan bala tentaranya ataupun yang ditimbulkan oleh makhluk-makhluk Allah yang lainnya. Semoga kita semua termasuk dari salah satu hamba Allah yang hanya meminta pertolongan dan meminta perlindungan hanya kepada-Nya, menjadi hamba Allah Ta’ala yang lisannya senantiasa basah karena berzikir, ber-isti’adzah kepada Allah Ta’ala.

فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ،

اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ

رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.

وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/78340-teks-khotbah-jumat-mohonlah-perlindungan-hanya-kepada-allah.html

Inilah Pandangan Islam tentang Subsidi

SAHABAT, istilah subsidi sudah tidak asing di tanah air. Subsidi bahkan kerap jadi perbincangan hangat, apalagi menyusul kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Lantas, bagaimana pandangan Islam tentang subsidi?

Secara umum, subsidi merupakan penyaluran bantuan dari pemerintah berupa uang maupun barang melalui perusahaan swasta maupun perusahaan pemerintah. Adapun tujuannya, untuk menjaga kestabilan harga barang tertentu, serta menjaga daya beli masyarakat terhadap barang tersebut. Dalam hal ini, beberapa jenis BBM diketahui menjadi barang yang mendapat subsidi dari pemerintah.

Dikutip dari jurnal berjudul Pandangan Islam Terhadap Subsidi karya Damri Batubara, Islam memandang subsidi dari sudut pandang syariah, yakni kapan subsidi boleh dan kapan subsidi wajib dilakukan oleh negara.

Pada konsepnya, subsidi bisa dianggap salah satu cara (uslub) yang boleh dilakukan negara (Khilafah). Alasannya karena hal tersebut bisa dikatakan sebagai pemberian harta milik negara kepada individu rakyat (i’thau ad-daulah min amwaalihaa li ar-raiyah) yang menjadi hak khalifah (negara). Sebagai contoh, Khalifah Umar bin Khaththab pernah memberikan harta dari Baitul Mal (Kas Negara) kepada para petani di Irak agar mereka dapat mengolah lahan pertanian mereka.

Berdasarkan hal tersebut, sebuah negara bisa memberikan subsidi kepada individu rakyat yang bertindak sebagai produsen, seperti subsidi pupuk atau benih untuk petani ataupun subsidi sejenisnya. Selain itu, negara juga bisa memberikan subsidi kepada individu rakyat yang bertindak sebagai konsumen dalam hal kebutuhan seperti subsidi pangan (sembako) atau subsidi minyak goreng dan kebutuhan mendasar lainnya.

Akan tetapi, subsidi untuk sektor energi seperti listrik dan bahan bakar minyak (BBM) secara khusus hanya atau harus diberikan negara kepada rakyat. Alasannya karena BBM dan listrik dalam Islam termasuk barang milik umum yang diproduksi dari sumber daya alam negaranya sendiri.

Dalam Islam, barang milik umum yang tidak terbatas hanya bisa dikuasai umat (rakyat). Hal ini sebagaimana tertera dalam salah satu hadis berikut. Rasulullah ﷺ bersabda, “Kaum muslim bersekutu dalam tiga hal; air, padang dan api.” (HR Abu Dawud)

Namun dalam keadaan atau terjadinya ketimpangan ekonomi, program subsidi yang sebelumnya boleh dilakukan berubah menjadi wajib hukumnya diberikan. Alasannya karena mengikuti kewajiban syariah untuk mewujudkan keseimbangan ekonomi (at-tawazun al-iqtishadi).

Ini sebagaimana yang tertera dalam Surah Al-Hasyr ayat 7:

 مَاۤ اَفَآءَ اللّٰهُ عَلٰى رَسُوۡلِهٖ مِنۡ اَهۡلِ الۡقُرٰى فَلِلّٰهِ وَلِلرَّسُوۡلِ وَلِذِى الۡقُرۡبٰى وَالۡيَتٰمٰى وَالۡمَسٰكِيۡنِ وَابۡنِ السَّبِيۡلِۙ كَىۡ لَا يَكُوۡنَ دُوۡلَةًۢ بَيۡنَ الۡاَغۡنِيَآءِ مِنۡكُمۡ‌ ؕ وَمَاۤ اٰتٰٮكُمُ الرَّسُوۡلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰٮكُمۡ عَنۡهُ فَانْتَهُوۡا‌ ۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ‌ؕ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيۡدُ الۡعِقَابِ‌ۘ

“Harta rampasan (fai’) dari mereka yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (yang berasal) dari penduduk beberapa negara, adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin dan untuk orang-orang yang dalam perjalanan, agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.”

Dalam pandangan sistem ekonomi Islam, dasar hukum subsidi adalah mubah, entah berupa subsidi energi maupun non energi. Adapun alasannya sendiri adalah karena negara sudah seharusnya atau berkewajiban untuk mensejahterakan umat (rakyat). Akan tetapi khusus subsidi bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik, negara berkewajiban-mensubsidi, bahkan apabila memungkinkan bisa digratiskan. []

SUMBER: SINDONEWS

Bolehkah Belajar Ilmu Agama tanpa Guru?

Ilmu adalah gedung, sedangkan kuncinya adalah bertanya, belajar agama tanpa guru seperti dibimbing oleh “setan”

AKHIR-akhir ini kita sering mendengar himbauan dan saran untuk mempelajari ilmu agama hanya dengan berpedoman pada buku-buku yang dibeli tanpa perlu berkonsultasi dan dengan para ulama.

Mereka juga merasa yakin dengan pemahamannya sendiri seolah menyamakan tingkat ilmu agama yang sangat rumit dan membutuhkan penjelasan dari para ulama dengan ilmu-ilmu duniawi lainnya. Kemudian ada kelompok tertentu yang merasa cukup mumpuni untuk memasuki bidang ini hanya dengan membaca buku saja.

Gejala ini mengundang berbagai dampak negatif, antara lain lemahnya pemahaman dan pendalaman dalam suatu bidang ilmu dengan gambaran nyata. Hal ini karena ilmu Islam tidak hanya memuat fakta dan pernyataan, sebenarnya membutuhkan pemahaman yang jelas dari dada para ulama yang mengambil ilmu dari ulama sebelumnya hingga sampai kepada Nabi Muhammad ﷺ.

Tanpa bimbingan dari para ulama atau guru, jika terjadi salah paham ketika membaca, seseorang akan terus tersesat pemahamannya dan berakibat menyesatkan orang lain. Itulah sebabnya ada pernyataan bahwa mempelajari agama sendiri dengan kitab-kitab saja tanpa bimbingan seorang ulama/guru seperti dibimbing oleh setan (walaupun kebanyakan ulama menganggap pernyataan ini bukan hadits melainkan Ibnu Arabi dalam kitabnya al-Futuhat al -Makiah menganggap bahwa pernyataan ini adalah hadits).

Karena masalah ini telah menjadi perdebatan, saya ingin meluangkan waktu untuk menjelaskan masalah ini. Semoga penjelasan singkat ini bermanfaat bagi semua pihak.

Ulama adalah pewaris para Nabi

Kata ulama merupakan bentuk jamak dari akar kata ‘alim yang berarti orang yang memiliki ilmu yang sangat dalam. Hal ini berbeda dengan kata alim yang berarti orang yang mengetahui tetapi belum tentu mengerti.

Kata-kata ulama ini telah disebutkan di beberapa tempat dalam al-Quran al-Karim dan al-Hadits ﷺ baik secara langsung maupun tidak langsung, yang menunjukkan bahwa ulama adalah individu-individu terpilih yang menguasai ilmu Allah Ta’ala secara mendalam dan memiliki akhlak terpuji.

Oleh karena itu, ulama yang saya maksud di sini adalah seorang ahli yang memiliki pengetahuan mendalam tentang agama Islam dengan syarat-syarat tertentu sebagai seorang ulama.

Ulama adalah mereka yang mampu mengungkap dan memahami dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadits ﷺ dengan sempurna. Mereka juga tidak hanya memahami dalil dan penjelasan dari para ulama masa lalu (salaf), bahkan ada yang menghafal ratusan ribu hadits, ilmu yang luas dan sebagainya hingga memenuhi syarat untuk disebut sebagai ulama.

Mereka selalu istiqomah dan memperoleh dengan keikhlasan yang diajarkan kepada mereka dari Nabi ﷺ. Islam telah mengakui ulama sebagai ahli waris para nabi sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits:

«مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي اْلأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ اْلأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ»

 “Siapa saja yang menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, Allah memperjalankannya di atas salah satu jalan surga. Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap mereka karena ridha kepada penuntut ilmu. Sesungguhnya seorang alim itu dimintakan ampunan oleh makhluk yang ada di langit dan di bumi hingga ikan yang ada di dasar lautan.  Sesungguhnya keutamaan seorang alim atas seorang abid (ahli ibadah) seperti keutamaan bulan purnama atas seluruh bintang-bintang.  Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, melainkan mewariskan ilmu. Karena itu, siapa saja yang mengambilnya, ia telah mengambil bagian yang besar.” (HR Abu Dawud, Ibn Majah, at-Tirmidzi, Ahmad, ad-Darimi, al-Hakim, al-Baihaqi dan Ibn Hibban).

Oleh karena itu, dapat kita simpulkan di sini bahwa ulama adalah golongan yang mendapatkan keuntungan dan kemuliaan dalam agama Islam dengan mengakui mereka sebagai ahli waris para nabi.  Karena ulama memiliki tempat khusus dalam masyarakat, maka banyak kelompok tertentu yang seolah-olah mengaku setingkat dengan ulama padahal ia baru saja pada tahap awal memahami ilmu-ilmu keislaman.

Kelompok inilah yang akan menghancurkan syariat agama sedikit demi sedikit daripada mengikuti ajaran para ulama yang sesungguhnya.

Pentingnya belajar agama langsung dari ulama

Kita sudah terbiasa mendengar suara-suara perbedaan pendapat dari kelompok-kelompok tertentu yang berusaha keras merendahkan ilmu dan kemuliaan para ulama untuk menutupi kelemahan dan kesalahan yang mereka perbuat.

Beberapa dari mereka bahkan ada yang berdalih, bahwa para ulama tidak maksum, ia tidak seperti Nabi ﷺ dan kemudian menyarankan bahwa tidak perlu mengikuti bimbingan para ulama untuk memahami urusan Islam.

Mereka juga mengatakan bahwa dalil-dalil al-Quran al-Karim dan al-Hadits ﷺ hanya bisa langsung diambil dengan pemahaman mereka sendiri dengan hanya merujuk pada kitab-kitab tertentu. Apakah tindakan ini sesuai dengan Islam?

Allah berfirman:

وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُّوحِىٓ إِلَيْهِمْ ۚ فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,

Jadi sebaiknya Anda bertanya kepada ahli dzikir (ulama) jika Anda tidak tahu.” (QS: al-Nahl: Ayat 43).

Imam Syatibi dalam karyanya al-Muwafaqat telah menjawab pertanyaan ini dengan argumennya yang mengatakan betapa pentingnya bagi guru untuk memperdalam dan memahami sesuatu. Imam Shatibi juga mengatakan bahwa para ulama telah mengatakan: “Sesungguhnya ilmu itu ada di dada guru, kemudian ilmu itu dipindahkan ke dalam kitab. Jadi kunci ilmu tetap di tangan guru.”

إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

“Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari, Muslim, At-Thabrani, dan Ahmad dari empat orang sahabat).

Menurut Imam Syatibi lagi, hadits ini sebagai dalil bahwa guru adalah kunci ilmu dan perlunya menuntut ilmu dari dada guru. Selain itu, bagi siswa/santri yang belum memahami sesuatu yang dipelajarinya, dapat terus meminta penjelasan kepada guru/ulama sampai semuanya jelas.

Sedangkan bagi mereka yang belajar tanpa guru, pemahamannya sangat terbatas berdasarkan buku-buku yang ada di hadapannya. Bisa jadi pemahaman mereka benar dan bisa juga pemahaman mereka salah.

Makna Nabi ﷺ bersabda:

 الْعِلْمُ خَزَائِنُ وَمِفْتَاحُهَا السُّؤَال

ﻣَﻦْ ﻳُﺮِﺩِ ﺍﻟﻠﻪُ ﺑِﻪِ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻳُﻔَﻘِّﻬْﻪُ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪِّﻳﻦِ ويلهمه رشده

“Ilmu adalah gedung/lemari, sedangkan kuncinya adalah bertanya. Barangsiapa dikehendaki Allah swt kebaikan, maka akan dipahamkan dalam agama,  diilhamkan petunjukNya.” (HR: Bukhari )

Kritik belajar agama tanpa bimbingan ulama dan guru

Sanggahan dan kritik menuntut ilmu tanpa bimbingan ulama/guru saya kutip dari kata-kata Syeikh Prof. Dr. Yusuf al-Qaradhawi. Pernyataannya diambil dari kitabnya al-Sahwah al-Islamiah Baina al-Jumud Wa al-Tatarruf, beliau mengatakan:

“Kebanyakan dari mereka tidak bertalaqqi (belajar langsung) dengan ulama dan syeikh yang memiliki ilmu khusus di bidangnya. Di sisi lain, mereka hanya mempelajari halaman demi halaman buku secara langsung tanpa membuka kesempatan dan waktu untuk merujuk dan membahas apa yang akan diambil dan menolak pendapatnya untuk memungkinkan identifikasi pemahaman dan pengetahuan yang ditempatkan dalam perkuliahan di kedalaman.

Ini akan disajikan dan dibahas selama masa studi.

Namun sayangnya mereka hanya membaca sedikit dan berdasarkan pemahaman (yang sangat sedikit) mereka lalu mengeluarkan instinbath dan mengeluarkan hukum-hakam.”

Barangkali mereka salah membaca, salah paham atau salah mengistinbatkan hukum, tetapi mereka tetap tidak tahu kesalahannya.

Lebih lanjut beliau menambahkan:

“Meski orang-orang ini ikhlas, namun kenyataannya mereka lupa bahwa ilmu Syariat (agama Islam) dan pemahamannya perlu dirujuk kepada ahlinya yang bisa dipercaya.

Memang, mereka tidak akan bisa menyebrangi lautan luas ini sendirian tanpa pemandu (ulama/guru) yang selalu membimbing tangan mereka.

Panduan ini akan menjelaskan kepada mereka apa yang tidak jelas dan istilah-istilah yang memiliki kesamaran dan menjelaskan dari cabang ke apa yang utama dan akan menunjukkan semua kesamaran.”

Di akhir penjelasannya tentang hal ini, beliau kembali menegaskan pernyataannya bahwa perlunya berguru untuk mempelajari ilmu agama:

“Ini (mempelajari ilmu agama dengan ulama/guru) inilah yang telah diambil sebagai tindakan pencegahan oleh ulama Salafus Sholeh agar menjauhi belajar ilmu dengan cara ini (tanpa guru).

Mereka berkata: Jangan mengambil al-Qur’an al-Karim hanya dengan mushafnya dan bukankah ilmu diambil dengan hanya dari mushafnya (kitab).

Yang dimaksud dengan mengambil hanya dari mushaf adalah menghafal al-Qur’an al-Karim dari catatan-catatan pada mushaf tanpa berbicara (mengambil dan mempelajari ilmu secara tatap muka dengan ulama/guru) dengan mulut-mulut guru yang diyakini (keilmuannya).”

Syekh al-Qaradhawi berkata lagi dalam bukunya al-Sahwah al-Islamiyyah Min al-Murahaqah Ila al-Rusyd:

“Memang banyak anak muda zaman sekarang yang hanya membaca beberapa buku, khususnya ilmu hadits, kemudian merasa sudah ahli dalam ilmu, padahal belum mencicipi awalnya.

Mengklaim bahwa mereka mampu berijtihad dalam urusan agama, sekaligus pengetahuan tentang bahasa Arab dan komponen-komponennya serta nahu dan sumsum tulang belakang.

Jika Anda meminta mereka untuk membacakan sebuah ayat, mereka tidak akan dapat menjawabnya dengan baik.

Mereka juga tidak mempelajari ilmu Ushul Fiqh! Hanya menebak dugaan apa pun yang seharusnya tahu tentang semua masalah.

Hal ini menyebabkan mereka tidak cakap dalam ilmu fiqih apalagi membenamkan diri dalam lautan luas perdebatan yang akan membuat mereka semakin terampil dan mampu memahami dengan baik.

Memang orang-orang ini seperti apa yang dikatakan Imam Zahabi, “Saya ingin terbang tetapi tidak ada sayap.”

Bisakah langsung belajar langsung dari buku?

Meski saya menyerukan menuntut ilmu agama dengan ulama/guru terpercaya, bukan berarti saya menolak sama sekali belajar melalui buku.  Hanya saja pembelajaran dengan buku tanpa guru perlu diberikan perhatian tentang kebutuhannya pada suatu saat.

Bagi mereka yang berada pada jenjang pendidikan awal dan menengah, maka dapat dipastikan tuntutan untuk mempelajari ilmu secara keguruan lebih diutamakan karena tidak memiliki landasan yang kokoh tentang suatu ilmu tertentu. Setelah mereka memahami dan memperdalam semua dasar-dasar yang diperlukan dengan kuat, maka mereka harus membaca buku-buku terkait untuk menambah pengetahuan mereka.

Namun, jika ada hal-hal yang tidak dipahami atau ada kerancuan selama pembacaan/belajar, maka tetap diminta untuk bertanya kembali kepada ulama/guru.

Bagi yang tidak berkesempatan untuk menuntut ilmu melalui pendidikan, juga diwajibkan untuk membaca buku atau mendengarkan ceramah dan juga dapat membaca di internet untuk menambah ilmunya. Namun jika ada hal-hal yang kurang dipahami, maka harus merujuk juga kepada ulama/guru terpercaya untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut.

Hal ini dikarenakan seorang ulama/guru memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap ilmu tersebut dibandingkan dengan orang yang hanya membaca buku sebagai referensi. Oleh karena itu, keutamaan dan keunggulan sudah pasti pada mereka yang belajar ilmu agama dengan seorang guru jika dibandingkan dengan kelompok yang belajar ilmu agama tanpa belajar.

Karena menuntut ilmu agama dengan menuntut ilmu merupakan jalan yang ditempuh oleh generasi Salaf dan para ulama lainnya. Sedangkan bagi yang sudah mempelajari dan menguasai semua dasar-dasar ilmu dapat membaca sendiri karena mampu memahami isi kitab berdasarkan apa yang telah dipelajari dari para ulama/guru sebelumnya.

Penutup

Jika agama Islam menganjurkan belajar tanpa guru, mengapa para ulama terdahulu rela merantau dan berpindah-pindah untuk menuntut ilmu pada ulama yang terpercaya (alim)? Padahal, mereka memiliki ratusan guru yang merupakan ulama muktabar, bukankah ini menunjukkan pentingnya mengajar dalam menuntut ilmu agama?

Mungkin ada yang mengira zaman dulu tidak memiliki teknologi yang canggih seperti sekarang, karena itulah mereka hijrah untuk menuntut ilmu. Jika pernyataan ini benar, mengapa Nabi ﷺ menganjurkan umatnya untuk belajar (murid) dan mengajar (guru)?

Bukankah ini menunjukkan betapa pentingnya mempelajari ilmu agama? Tidak mungkin semua anjuran Nabi ﷺ salah, apalagi tidak mengikuti perkembangan zaman, bukan?

Kata Muhammad bin Sirin (seorang ulama di era tabi’in) sebagaimana disebutkan dalam kitab Shahih Muslim yang ditulis oleh Imam Muslim; إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِيْنَكُمْ (Sesungguhnya ilmu itu adalah agama. Maka dari itu, perhatikan dari siapa kalian mengambil agama kalian). (Lihat Muqaddimah Shahih Muslim).*/Muhammad Rashidi Wahab, alumni Al-Azhar

HIDAYATULLAH

Nabi Ibrahim dan Keyakinannya pada Janji Allah

ALA itu, Nabi Ibrahim a.s. bersama keluarganya hidup di Palestina. Allah Swt. memerintahkan beliau untuk membawa istri serta anaknya, Hajar dan Ismail pergi ke kawasan Hijaz. Nabi Ibrahim juga diperintahkan agar meninggalkan mereka berdua di tengah padang pasir di Jazirah Arab yang kini bemama Makkah.

Allah Swt menurunkan perintah ini agar anak-anak keturunan Ismail menjadi umat yang besar. Nabi Ibrahim a.s. tunduk melaksanakan perintah Allah Swt.

Beliau segera berangkat bersama istri dan anaknya menuju ke daerah Hijaz. Setelah keduanya ditinggalkan di suatu tempat tanpa pepohonan dan tanpa air, beliau pulang seorang diri ke Palestina.

Kala itu, Ismail masih kecil. Dia menangis karena sangat haus, sedangkan persediaan air sudah habis. Hajar pergi mencari air dengan meninggalkan Ismail sendirian di padang itu.

Namun, usaha tersebut gagal. Dia terpaksa kembali ke tempat anaknya dengan perasaan yang sangat sedih. Tiba-tiba. Hajar menyaksikan bahwa Allah Swt. tidak membiarkan dan melupakan dia dan putranya begitu saja.

Di tempat yang gersang itu, ternyata Allah Swt menganugerahinya air yang menyembur dari tanah dan mengeluarkan suara zomzomah sehingga sumur tersebut diberi nama zamzam.

Ismail segera meminum air itu. Begitu pula Hajar, ibunya. Sejak saat itulah, keduanya tinggal di dekat sumur tersebut.

Setelah sekian lama, Nabi Ibrahim datang untuk bertemu dengan Ismail. Allah Swt memerintahkan Nabi Ibrahim dan Ismail untuk membenahi bangunan Ka’bah, rumah pertama yang dibangun untuk orang-orang yang menyembah Allah Swt. Pada waktu itu. Ka’bah sudah hancur.

Keduanya segera melaksanakan perintah Allah Swt dan berdoa, “Ya Allah, utuslah kepada umat ini seorang rasul dari golongan mereka!”

Allah Swt tidak memerintahkan Ibrahim agar meninggalkan Hajar dan Ismail di Padang Sahara, kecuali karena suatu hikmah yang hanya Allah Swt yang tahu.

Kepada Ibrahim, Allah Swt menjanjikan keturunan yang banyak dari putranya, Ismail. Telah ditakdirkan pula, dari keturunan Ismail akan lahir seorang Rasul yang agung untuk memberi petunjuk kepada manusia. Dia adalah Muhammad bin Abdullah, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. []

Sumber: Mukjizat Cinta Rasul: Kisah Mulia Perjuangan Muhammad Saw/Karya: Abdul Hamid As-Sahhar/Penerbit: Mizan

ISLAMPOS