Ikhlas Berdoa untuk Jenazah

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,

إِذَا صَلَّيْتُمْ عَلَى الْمَيِّتِ فَأَخْلِصُوا لَهُ الدُّعَاءَ

Apabila kalian menyalatkan jenazah, maka ikhlaskanlah doa untuknya.” (HR. Abu Dawud no. 3199. Dinilai hasan oleh Syekh Albani)

Faedah hadis

Hadis ini merupakan dalil bahwa hendaknya ketika sedang menyalatkan jenazah, kaum muslimin mengikhlaskan doa untuk si mayit. Hal ini karena salat jenazah itu dimaksudkan untuk mendoakan si mayit, baik si mayit tersebut semasa hidupnya adalah orang baik atau jahat (banyak berbuat maksiat). Bahkan, orang yang banyak berbuat maksiat itu lebih membutuhkan doa dan syafaat dari kaum muslimin.

Adapun makna “ikhlaskanlah doa untuknya” adalah mengkhususkan si mayit ketika berdoa. Oleh karena itu, dia tidak mendoakan orang lain dalam bentuk yang khusus. Sehingga ketika salat jenazah, mayit itu didoakan secara khusus (sendiri) atau didoakan bersama dengan orang lain yang ingin disebutkan.

Al-Munawi rahimahullah berkata, “Doakanlah untuk si mayit dengan ikhlas dan hati yang khusyuk. Hal ini karena maksud dari salat (jenazah) tersebut adalah mendoakan ampunan (istigfar) untuk si mayit. Permohonan tersebut diharapkan terkabul ketika dipenuhi dengan ikhlas dan kesungguhan.” (Faidhul Qadir, 1: 505)

Syekh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Tidak ada pertentangan dari dua pengertian tersebut, yaitu: 1) mengkhususkan si mayit dalam berdoa; dan 2) berdoa untuk si mayit dengan penuh keihlasan dan kesungguhan.” (Minhatul ‘Allam, 4: 317)

Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Di dalam hadis ini terdapat motivasi (dorongan) untuk mendoakan si mayit. Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ‘ikhlaskanlah’ adalah dalil wajibnya mendoakan si mayit. Karena (kalimat) perintah di sini menunjukkan hukum wajib. Sedangkan yang dimaksud dengan “salat” di sini adalah mendoakan untuk si mayit.” (Minhatul ‘Allam, 3: 52)

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (4: 316-317).

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/82847-ikhlas-berdoa-untuk-jenazah.html

Isra Mikraj dengan Jasad atau Ruh?

Salah satu peritiwa penting dalam bulan Rajab ialah Isra Mikraj Nabi Muhammad. Peristiwa luar biasa yang dilakukan oleh Rasulullah dalam semalam. Adapun yang menjadi persoalan ialah, apakah Isra Mikraj dengan jasad atau ruh Nabi Muhammad saja?

Kita tahu, Allah Swt. telah memilih Nabi Muhammad Saw yang sudah terkenal akan kejujurannya sejak sebelum beliau diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Kanjeng Nabi hidup di tengah-tengah kaumnya selama empat puluh tahun sebelum diutus (angkat) Allah sebagai Nabi dan Rasul.

Bahkan, sebelum beliau dibebani amanat membawa risalah kenabian, selama itu pula kaumnya belum pernah mendengar atau menyaksikan dan Nabi berdusta. Dengan prestasi yang luar biasa itu, tak mengherankan jikan Nabi Muhammad Saw diberi gelar oleh kaumnya dengan gelar al-amin, yaitu orang yang terpercaya.

Sebenarnya, jika kita baca dan telaah sejarah kehidupan Nabi (Sirah Nabawiyah), sebelum peristiwa itu terjadi, beliau mengalami keadaan duka cita yang sangat mendalam. Bagaimana tidak, beliau ditinggal oleh istrinya tercinta yaitu Siti Khadijah yang setia menemani dan menghiburnya di kala orang lain masih mencemohnya.

Kemudian, beliau ditinggal oleh sang paman, yaitu Abu Thalib yang walaupun kafir tetapi dia sangat melindungi aktivitasnya. Tahun itu disebut dengan amul huzni (tahun kesedihan). Sehingga orang-orang kafir Quraisy semakin leluasa untuk melancarkan intimidasinya kepada Nabi kala itu. Bahkan, sampai orang awam Quraisy pun berani melemparkan kotoran ke atas pundak Nabi.

Dalam keadaan yang duka cita dan penuh dengan rintangan yang sangat berat itu, tentu saja semakin menambah perasaan Nabi dan semakin berat dalam mengemban risalah Ilahi. Hingga akhirnya, Allah Swt. menghibur Nabi dengan memperjalankan beliau sampai kepada langit ketujuh dan menemui Allah Swt.

Peristiwa ini hingga sekarang seringkali diperingati oleh sebagian besar kaum muslimin dengan Isra Mi’raj. Yang, pada dasarnya peringatan itu hanyalah untuk memotivasi dan penyemangat, bukan dalam rangka beribadah, dalam artian ibadah ritual khusus. Artinya, dalam peringatan itu, terdapat beberapa pelajaran yang bisa kita teladani.

Syahdan, dalam al-Qur’an, dari sekian ribu ayat di dalamnya, hanya ada empat ayat yang menjelaskan tentang Isra’ Mi’raj, yaitu QS. Al-Isra’: 1, dan QS. An-Najm: 13-18. Artinya, kebesaran Islam itu bukan terletak pada peristiwa Isra’ Mi’raj ini, tapi pada konsep, sistem, dan muatannya.

Pada Surat An-Najm: 13-18 itu, menggambarkan bahwa Kanjeng Nabi menemui Jibril dalam bentuk aslinya di Sidratil Muntaha ketika Isra’ Mi’raj. Sebelumnya, Nabi juga pernah menjumpai malaikat Jibril dalam bentuk asli ketika menerima ayat pertama (Al-Alaq: 1-5) dari Allah Swt., yaitu ketika berada di gua Hira.

Peristiwa Isra’ dan Mi’raj merupakan salah satu di antara mukjizat yang diberikan Allah Swt. kepada Rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad Saw. sebagai wujud penghormatan dan pelipur lara setelah paman dan istri beliau meninggal dunia. Pun, peristiwa ini juga sebagai penghibur setelah beliau mendapatkan perlakuan tidak bersahabat dari penduduk Thaif.

Isra Mikraj dengan Jasad atau Ruh

Masih tentang Isra’ dan Mi’raj. Peristiwa Isra’ Mi’raj adalah satu peristiwa yang tidak dapat ditangkap oleh akal manusia karena penuh dengan segala keterbatasannya. Bagi manusia yang selalu memakai kemampuan penalarannya, Isra’ Mi’raj itu sangat tidak rasional dan tidak sesuai dengan pengalaman hidup selama ini.

Sangat mustahil seseorang dapat menempuh jarak antara Makkah dan Yerusalem pulang-pergi pada waktu itu, hanya dalam waktu kurang dari semalam, pergi dari Makkah ke Madinah dengan mengendarai unta saja memerlukan waktu puluhan hari, apalagi naik dan menerobos perbatasan langit yang tujuh.

Kendati demikian, para mufassir tidak mempersoalkan apakah Kanjeng Nabi memang Isra’ Mi’raj atau tidak, mereka lebih mempersoalkan apakah Nabi ber-Isra’ dengan jasadnya atau ruhnya saja. Dalam hal ini ulama tafsir terpecah ke dalam dua golongan.

Satu golongan mengatakan bahwa Kanjeng Nabi Isra’ hanya dengan ruhnya saja, dan golongan lain mengatakan Isra’ dengan jasadnya.

Menarik, Muhammad Jarir al-Thabari dalam Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an menjelaskan tentang pendapat para ulama mengenai peristiwa Isra’ Mi’raj. Diantara riwayat-riwayat yang digunakan oleh masing-masing pendapat adalah, pertama mengatakan bahwa Nabi Isra’ dengan jasadnya. Kedua, dengan jasad dan ruhnya. Ketiga, dengan ruhnya saja dan tanpa jasad.

Kiai Moenawar Chalil dalam bukunya Peristiwa Isra’ dan Mi’raj, telah mengklasifikasikan pendapat-pendapat mengenai hal ini. Ia menulis:

“Tentang bagaimana terjadinya Isra dan Mi’raj yang dilakukan Nabi Saw., yakni apakah dengan tubuh halus (ruhani) serta tubuh kasar (jasmani) nya, ataukah hanya dengan tubuh halus (ruhani) nya saja.”

Rupanya, para ulama, para cerdik-pandai dan para sarjana sejak dari dahulu hingga sekarang pun masih banyak pertikaian pendapat dan perselisihan paham, yakni: apakah Isra’ dan Mi’raj dilakukan dengan ruh serta jasad?Apakah dilakukan dengan ruh saja? Apakah dilakukan dengan jalan mimpi?

Atau apakah dilakukan dengan badan halus, tidak dengan jasmani dan tidak dengan ruhani, ataukah Isra’ dan Mi’raj dilakukan dengan wahdatul wujud?. Tapi yang jelas, menurut penulis Isra’ dan Mi’raj itu nyata adanya.

Terlepas dari itu semua, yang penting dicatat adalah bahwa ternyata tidak ada perbedaan mendasar yang cukup mendominasi antar tafsir-tafsir bi al-Ma’tsur dan bi al-Ra’yi berkaitan dengan pembahasan mereka mengenai Isra’ dan Mi’raj. Misalnya, dalam tafsirnya Abu Laits al-Samarkandi pada Bahr al-Ulum, yang hanya menjelasakan Isra’ dan Mi’raj secara tekstual dan kemudian mengutip riwayat-riwayat berkaitan dengan peristiwa ini.

Demikian juga dengan penafsiran al-Thabari dalam Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an yang setelah menjelaskan kedudukan ayat secara tekstual, mengutip riwayat-riwayat sahabat dan para tabi’in, serta mengklasifikasi perbedaan-perbedaan riwayat tersebut.

Walaupun tentu kedua kitab tafsir di atas yang digolongkan oleh al-Dzhahabi sebagai tafsir bi al-Ma’tsur ini tidak bisa menjenalisir bahwa tafsir bi al-Ma’tsur demikian seluruhnya.

Demikian penjelasan tentang apakah Isra Mikraj dengan jasad atau ruh Nabi Muhammad saja? Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Rupa Jin, Siapa yang Bisa Melihatnya?

SIAPA saja yang bisa melihat rupa jin?

“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jika Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan,” (QS: Al-An’am 6:112).

Alam jin adalah alam yang berdiri sendiri, ia terpisah dan berbeda dengan alam manusia namun keduanya hidup dalam dunia yang sama, kadang tinggal dalam rumah yang dibangun atau di diami manusia. Keduanya pun mempunyai kesamaan yakni berkewajiban untuk beribadah kepada Allah: “Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanyalah untuk beribadah kepadaKu” (QS. Adz-Dzariyat 51:56).

Menurut Ibnu Aqil sebagaimana dikutip asy-Syibli dalam bukunya Akam al-Marjan fi Ahkam al- Jann, mengatakan bahwa makhluk ini disebut dengan jin karena secara bahasa jin artinya yang tersembunyi, terhalang, tertutup. Disebut jin, karena makhluk ini terhalang (tidak dapat dilihat) dengan kasat mata manusia.

Oleh karena itu, bayi yang masih berada di dalam perut ibu, disebut janin (kata janin dan jin memiliki kata dasar yang sama yakni jann) karena ia tidak dapat dilihat dengan mata. Demikian juga orang gila dalam bahasa Arab disebut dengan majnun (dari kata jann juga) karena akal sehatnya sudah tertutup dan terhalang.

Rupa Jin: Siapa yang bisa melihat jin dan bagaimana wujudnya?

Kecuali dalam kondisi tertentu yang itu pun sangat jarang terjadi. Kondisi dimaksud misalnya ketika seseorang meminum air sihir dari dukun, atau karena jin telah berubah wujud misalnya menyerupai hewan. Tapi sekali lagi hal itu sangatlah jarang.

Tidak dapat dilihatnya jin dalam bentuk aslinya, tentu ini merupakan rahmat bagi manusia, karena dengan demikian manusia bisa hidup tenang, tanpa ada rasa takut sedikitpun.

Sedangkan keadaan wujud jin itu sendiri menurut beberapa ayat dan hadits sebagai berikut;

1. Sebagian hewan dapat melihat rupa jin misalnya anjing dan keledai

“Abu Hurairah berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila kalian mendengar ayam jantan berkukuruyuh (kongkorongok), maka mintalah karunia dari Allah, karena sesungguhnya ayam itu melihat malaikat. Dan apabila kalian mendengar ringkikan keledai, berlindunglah kepada Allah dari godaan dan tipu daya syaithan karena keledai itu telah melihat syaithan,” (HR. Bukhari Muslim).

Dalam hadits lain dikatakan: Artinya: “Dari Jabir bin Abdullah berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila kalian mendengar anjing menggonggong dan himar meringkik, maka berlindunglah kepada Allah karena sesungguhnya mereka itu melihat sesuatu yang kalian tidak dapat melihatnya,” (HR. Abu Dawud dalam shahih sunannya).

2.  Rupa Jin sangat jelek

Jin (setan), memiliki bentuk yang sangat jelek. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an ketika Allah menyamakan pohon Zaqum yang tumbuh di dasar neraka, dengan kepala setan dalam hal sama-sama buruk bentuk dan rupanya.

Hal ini sebagaimana tertuang dalam firman Allah surat ash-Shafat ayat: 64-65: Artinya: “Sesungguhnya dia (pohon Zaqum) adalah sebatang pohon yang ke luar dan dasar neraka yang menyala. mayangnya seperti kepala syaitan-syaitan” (QS. As-Shafat 37: 64-65).

3. Rupa Jin, dua tanduk dan sayap

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kalian bermaksud untuk shalat pada waktu matahari terbit juga pada waktu matahari terbenam, karena pada kedua waktu itu saat dimana dua tanduk setan muncul.” (HR. Muslim).

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah menghabarkan kepada kami bahwasannya jin itu terdiri dari tiga kelompok. Pertama, jin yang selalu beterbangan (melayang) di udara, kedua, jin dalam wujud ular-ular dan anjing- anjing dan ketiga, jin yang mempunyai tempat tinggal dan suka bepergian” (HR. Thabrani, Hakim, Baihaki dengan sanad yang shahih).

Dalam riwayat lain dikatakan: Artinya: “Ubaidullah berkata: Imam adh-Dhahhak pernah ditanya: “Apakah setan mempunyai sayap?” ia menjawab: “Bagaimana mereka dapat terbang menuju langit kalau mereka tidak memiliki sayap” (HR. Ibnu Jarir). []

SUMBER: AKHIR ZAMAN / ISLAMPOS

Kemenag Jabar: Biaya Haji Setiap Masa Biasanya Setara 100 Gram Emas

Kepala Kanwil Kemenag Jawa Barat, H Ajam Mustajam mengatakan sejak tahun 1990-an, biaya perjalanan ibadah haji (bipih atau biaya haji yang dibayarkan jamaah) biasanya sesuai dengan nilai harga emas 100 gram. Misalnya tahun 90-an biaya haji sekitar Rp 4-5 juta, karena saat itu harga emas Rp 40.000/gram.

Tahun 2010, kata dia, biaya haji mencapai Rp 32 juta dan kalau dikonversi ke emas, sama dengan 100 gram emas. Saat ini harga emas sekitar Rp 700.000/gram jadi kalau dikonversi ke biaya haji sekitar Rp 70 juta.

“Jadi jika Menteri Agama mengusulkan biaya haji tahun ni sekitar Rp 69 juta yang sesuai dengan kebiasaan dan juga kebutuhan, bahkan untuk kemaslahatan calon jamaah haji,” kata Ajam. 

Diketahui, biaya haji yang dibayarkan jamaah untuk musim haji 1444 H/2023 diusulkan sebesar Rp 69.193.733,60. Jumlah ini adalah 70 persen dari usulan rata-rata Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang mencapai Rp 98.893.909,11

IHRAM

Khutbah Jumat: Tiga Poin Penting Ajaran Islam tentang Urusan Pangan

Kita tidak boleh membiarkan Indonesia terus menjadi juara kemubaziran pangan. Kondisi ini harus terus diperbaiki, dimulai dari diri kita masing-masing, inilah ajaran Islam tentang urusan pangan dalam khutbah Jumat kali ini

MENURUT perhitungan Bappenas, makanan yang terbuang menjadi sampah di negeri ini nilanya mencapai lebih dari Rp 213 trilyun per tahun.Allah  Subhanahu Wata’ala telah menyediakan jenis tanaman dan buah berlimpah, menganjurkan kita berhemat dan tidak serakah.

Sungguh Islam ajaran yang sempurna, selain mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk dalam hal urusan pangan. Inilah naskah khutbah Jumat lengkapnya:

Khutbah Jumat Pertama

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى سيدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن

: يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا

Ma’asyiral muslimin, jamaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah

Islam sebagai ajaran yang sempurna mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk dalam hal urusan pangan.  Allah Ta’ala telah memberikan petunjuk dalam kitab suci-Nya tentang bagaimana manusia bersikap dan bertindak dalam urusan makan dan minum.

Allah juga telah mengutus para nabi dan rasul untuk memberikan contoh dan teladan bagaimana sikap dan tindakan terbaik dalam urusan makan dan minum. Ada banyak ajaran Islam tentang urusan pangan. Namun karena keterbatasan waktu, pada kesempatan ini kita hanya akan membahas beberapa poin saja.

Pertama, memakan makanan yang halal dan thayyib

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَكُلُوْا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّٰهُ حَلٰلًا طَيِّبًا ۖ وَّ اتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْۤ اَنْـتُمْ بِهٖ مُؤْمِنُوْنَ

“Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (QS. Al-Ma’idah 5: Ayat 88)

Makanan halal artinya bukan bahan pangan yang Allah larang untuk memakannya. Halal ini mencakup halal zatnya dan halal cara mendapatkannya.

Sadarilah bahwa Allah telah menyediakan makanan dan minuman halal yang sangat banyak jenisnya dan berlimpah kuantitasnya. Adapun yang haram jenisnya tidak banyak. Karena itu merasa cukuplah dengan makanan dan minuman halal yang berlimpah itu. Tak usah serakah dengan merambah ke makanan dan minuman haram.

Ingatlah pelajaran dari kakek kita, Nabi Adam a.s. Ketika beliau tinggal di surga, Allah menyediakan amat sangat banyak pohon buah di sana. Allah hanya mengharamkan satu pohon, untuk tidak didekati, apalagi dimakan buahnya.

Namun Nabi Adam tidak merasa cukup dengan rezeki halal yang  berlimpah. Beliau penasaran terhadap sebuah pohon yang dilarang.

Karena terus memelihara rasa penasaran itu akibatnya beliau terpedaya tipu daya Iblis, hingga akhirnya beliau memakan buah dari pohon terlarang itu, dan mendapat hukuman dari Allah. 

Makanan thayyib artinya menyehatkan, tidak membuat mudharat. Ditandai dengan kandungan zatnya baik, kondisinya baik, dan takarannya tepat.

Kandungan zatnya baik: Bergizi tinggi, tidak berdampak negatif terhadap kesehatan. Di zaman modern ini kita dimanjakan dengan berbagai jenis makanan.

Di berbagai sudut jalan ada saja penjaja makanan yang menawarkan berbagai makanan dan kudapan. Tapi sayangnya banyak yang tidak sehat, karena mengandung bahan pengawet,  bahan pewarna, dan bahan penyedap yang berdampak negatif terhadap kesehatan.

Kondisi baik: tidak basi, tidak kadaluarsa.

Takaran tepat: tidak melewati ambang batas kesehatan. Bagi orang yang memiliki penyakit tertentu, diabetesnya misalnya, harus menakar asupan makanannya agar tidak kelebihan zat gula.

Kedua, tidak berlebihan (sederhana dalam urusan makanan)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يٰبَنِيْۤ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَا شْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْا ۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ

“Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid. Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf [7]: Ayat 31).

Ma’asyiral muslimin, jamaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah

Allah menciptakan manusia dengan settingan bahwa tubuh manusia membutuhkan makanan dan minuman untuk kelangsungan hidupnya dan untuk berkemampuan menjalankan aktivitas harian.

Ditinjau dari hal itu maka manusia itu makan untuk hidup. Tapi karena kasih sayang Allah kepada manusia, Dia telah melengkapi manusia dengan alat pengecap, sehingga manusia memiliki keinginan untuk memakan makanan yang lezat.

Sayangnya banyak manusia yang terlalu memperturutkan hawa nafsunya untuk makan makanan yang lezat dan banyak, sehingga menjadi berlebih-lebihan dalam mengonsumsi makanan. Orientasinya jadi berubah: bukan lagi makan untuk hidup, tapi hidup  untuk makan.

Rasulullah ﷺsebagai suri teladan telah menjelaskan bagaimana sikap yang benar terhadap makanan:

عن المقدام بن معدي كرب اَنَّ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم قال: مَا مَلاَءَ اَدَمِيُّ وِعَاءَ شَرًّا مِنْ بَطْنِهِ, بِحَسْبِ ابْنِ اَدَمَ لُقَيْمَةٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَاِنْ كَانَ لاَمحَاَلةَ فَاعِلًا فَثُلُثٌ لِطَعَامِه وثُلُثٌ لِشَرَا بِه وثُلُثٌ لِنَفْسِه   ( رواه الترمذى وابن حبان )

Dari Miqdam bin Ma’dikariba, sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidaklah seorang anak Adam mengisi sesuatu yang lebih buruk dari perutnya sendiri.  Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap yang dapat  menegakkan tulang punggungnya. Jika pun ingin berbuat lebih, maka sepertiga untuk makanan dan sepertiga untuk minum dan sepertiga lagi untuk nafasnya.” ( HR. Tirmidzi dan Ibnu Hibban).

Sikap demikian bukan berarti kita tidak  boleh memakan makanan lezat. Boleh, tapi hendaknya dapat menahan diri.

Islam melarang kita  rakus terhadap makanan. Islam melarang kita berambisi menjamah semua makanan yang terhidang. Cukup mengambil makanan dari bagian yang paling dekat dengan posisi kita berada.

Umar Ibnu Abi Salamah radhiyallahu ’anhuma berkata, yang artinya; “Saya dahulu adalah seorang bocah kecil yang ada dalam pengasuhan Rasulullah ﷺ. Suatu ketika, tangan saya (ketika makan) menjelajah semua bagian nampan. Maka, Rasulullah ﷺ menegur saya, ‘Wahai bocah, bacalah ‘Bismillah’, lalu makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari yang terdekat denganmu.’ Demikian seterusnya cara saya makan setelah itu.” (HR Bukhari dan Muslim).

Ma’asyiral muslimin, jamaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah

Cara lain untuk mengendalikan diri agar tidak serakah terhadap makanan  adalah dengan berhenti makan sebelum kenyang.

نحن قوم لا نأكل حتى نجوع وإذا أكلنا لا نشبع

“Kita (kaum muslimin) adalah kaum yang hanya makan bila telah lapar dan berhenti makan sebelum kenyang.“

Ketiga, hemat, tidak boros/tabdzir.

Larangan tabdzir/boros dalam Islam bersumber dari Al-Qur`an, seperti di dalam surah Al-Isra ayat 26-27:

وَءَاتِ ذَا ٱلْقُرْبَىٰ حَقَّهُۥ وَٱلْمِسْكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا

إِنَّ ٱلْمُبَذِّرِينَ كَانُوٓا۟ إِخْوَٰنَ ٱلشَّيَٰطِينِ ۖ وَكَانَ ٱلشَّيْطَٰنُ لِرَبِّهِۦ كَفُور

Artinya: “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”

Hemat bisa ditinjau dari harganya atau dari tata laksana pengolahannya dan pengonsumsiannya.  Dari sisi harganya, kita perlu makan yang sehat dan bergizi tapi tidak harus mahal.

Carilah makanan bergizi tapi terjangkau harganya. Sehingga kita bisa menghemat anggaran belanja.

Ma’asyiral muslimin, jamaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah

Masalah penghematan makanan itu perlu mendapat perhatian serius, karena ternyata masyarakat Indonesia termasuk pelaku paling mubazir di dunia dalam hal makanan.

Menurut penelitian Barilla Center for Food & Nutrition, sebuah LSM yang berpusat di Italia, nilai indeks kehilangan dan kemubaziran pangan Indonesia masuk kategori buruk. Setiap tahun orang Indonesia membuang sampah makanan 300 kilogram, sehingga Indonesia masuk dalam peringkat tiga besar negara (setelah Arab Saudi dan Uni Emirat Arab) paling mubazir dalam hal makanan.

Menurut penelitian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada tahun 2021, potensi sampah yang dihasilkan dari makanan yang terbuang di Indonesia mencapai 23-48 juta ton per tahun atau setara dengan 115-184 kg per kapita per tahun.

Jika dinilai dengan rupiah, menurut perhitungan Bappenas, makanan yang terbuang menjadi sampah di negeri ini nilanya mencapai lebih dari Rp 213 trilyun per tahun. Dengan demikian, jika masyarakat Indonesia dapat memperbaiki perilakunya, maka kita bisa menghemat dana minimal Rp 213 trilyun per tahun.

Kalau dana itu dialihkan untuk beasiswa, maka akan ada 213.000 anak yang mendapatkan beasiswa masing-masing Rp 1 milyar per tahun. Subhanallah.

بَرَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ وَ لِ سأِرِالمُسْلِمِيْنَ وَالمُسْلِمَتِ وَالمُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَتِ وَاسْتَغْفِرُاللهَ اِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُالرَّحِيْمِ

Khutbah Jumat Kedua

Ma’asyiral muslimin, jamaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah

Kita tidak boleh membiarkan Indonesia terus menjadi juara kemubaziran pangan. Kondisi ini harus terus diperbaiki, dimulai dari diri kita masing-masing.

Bisa dimulai dengan cara mengambil makanan secukupnya dan semampu menghabiskannya. Jangan mengambil lebih dari kemampuan untuk menghabiskannya, sehingga makanan yang ada di piring dapat ditandaskan, tidak ada makanan tersisa lalu terbuang.

Jika ada makanan terjatuh, jangan dibiarkan hingga terbuang. Tapi ambillah, bersihkan, jika perlu cucilah, kemudian kita makan, sebagaimana panduan Rasulullah.

Dari Anas ra, Rasulullah ﷺ bersabda, yang artinya; “Apabila makanan salah seorang dari kalian terjatuh, maka ambil dan bersihkanlah kotoran yang terdapat padanya dan kemudian makanlah, dan jangan biarkannya untuk setan.”  (HR. Muslim, Abu Dawud).

Terakhir, apabila di rumah terdapat kelebihan makanan, janganlah sampai dibuang. Tapi berikanlah kepada saudara atau tetangga.

Seorang laki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ, yang artinya; “Perbuatan apa yang terbaik di dalam Islam?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Kamu memberi makan kepada orang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Abu Dzar meriwayatkan, bahwa Rasulullah ﷺ pernah berpesan, “Jika engkau memasak masakan berkuah, perbanyaklah kuahnya, kemudian lihatlah anggota keluarga dari tetanggamu, maka berikanlah kepada mereka dengan baik’”

Semoga kita termasuk orang-orang yang mensyukuri nikmat Allah dengan memanfaatkan karunia-Nya dengan sebaik-baiknya, sebagaimana teladan Rasulullah.*

Khutbah Jumat ini ditulis Saiful Hamiwanto, redaktur majalah Suara Hidayatullah Arsip lain terkait Khutbah Jumat bisa diklik di SINIArtikel lain tentang keislaman bisa dibuka www.hidayatullah.com  

Akikah, Ibadah Sekali Seumur Hidup

Akikah merupakan ibadah yang disyariatkan untuk dilaksanakan sekali dalam hidup. Akikah bermakna menyembelih atau memotong, yaitu domba/kambing yang disembelih saat bayi dipotong (dicukur) rambut kepalanya. (Ash-Shihah, 4: 1527 dan Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfazhi Al-Minhaj, 4: 390)

Akikah juga merupakan hak anak yang di sunahkan untuk ditunaikan oleh orang tuanya. Hal ini sebagai wujud syukur atas lahirnya sang buah hati dan melaksanakan tuntunan Nabi shallallahu alaihi wassalam.

عَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ الضَّبِيّ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ: مَعَ اْلغُلاَمِ عَقِيْقَةٌ فَاَهْرِيْقُوْا عَنْهُ دَمًا وَ اَمِيْطُوْا عَنْهُ اْلاَذَى

Dari Salman bin Amir Adh-Dhabby radhiyallahu ’anhu, ia berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, ‘Bersama kelahiran seorang anak itu ada akikahnya. Karena itu alirkanlah darah (sembelihlah hewan) untuknya dan hilangkanlah gangguan darinya. (HR. Bukhari no. 5472)

Akikah, wajib atau sunah?

Nabi shallallahu alaihi wassalam bersabda,

كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَ يُحْلَقُ وَ يُسَمَّى

Setiap bayi tergadaikan dengan akikahnya, disembelihkan (kambing) pada hari ketujuh, dicukur rambutnya serta diberi nama.” (HR. Abu Dawud no. 2838 dan Tirmidzi no. 1605)

Ada beberapa pendapat terkait hukum akikah. Mayoritas (jumhur) ulama berpendapat sunah (mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali), sebagian berpendapat wajib (Hasan Al-Bashri, Abu Zinad, mazhab Dzhohiriyyah) dan ada yang mengatakan mubah (mahzab Hanafi). (Al-Mughni, 13: 393; Al-Istidzkar,15: 371; dan Bada’iu Shona’i, 5: 169)

Pendapat yang paling kuat adalah pendapat jumhur (mayoritas ulama).

Bolehkah sebelum atau setelah hari ketujuh?

Afdhol-nya (lebih utama) akikah dilaksanakan pada hari ketujuh kelahiran. Namun, menurut mayoritas ulama pelaksaan pada hari ketujuh hanya bersifat anjuran. Dan seandainya menyembelih sebelum atau sesudah hari ketujuh, maka diperbolehkan. (Ibnu Qoyyim dalam Tuhfatul Maudud, hal. 35).

Cara menghitung hari ketujuh adalah sebagai berikut:

Pertama: Perhitungan hari berdasarkan penanggalan hijriyah.

Kedua: Dihitung mulai dari masuknya waktu magrib. Jika lahir Senin jam 8 malam, maka dihitung hari pertama Selasa. (Lihat Al-Majmu Syarh Muhadzab, 8: 431)

Ketiga: Mayoritas ulama menyatakan hari kelahiran dihitung hari pertama untuk menentukan hari ketujuh kelahiran. Jika lahir hari Senin pagi, siang, atau sore menjelang magrib, maka hari pertama dihitung Senin. (Lihat Al-Mausu’ah Fiqhiyah, 30: 279)

Keempat: Anjuran hari ketujuh merupakan anjuran untuk penyembelihan, bukan untuk pendistribusian daging akikah (dianjurkan yang sudah dimasak).

Tetap sah dengan 1 kambing untuk anak laki-laki

Utamanya anak laki-laki diakikahi dengan dua kambing, sedangkan anak perempuan satu ekor kambing sebagaimana hadis berikut. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عن الغلام شاتان ، وعن الأنثى واحدة ، لا يضركم ذكراناً أم إناثاً

“Bersama anak lelaki dua ekor kambing dan anak wanita seekor kambing, dan tidak memudharati kalian kambing jantan maupun betina.” (HR. Tirmidzi no. 1416, disahihkan oleh Imam Al-Albani di dalam Irwa’ul Ghalil, 4: 391)

Namun, bila tidak memiliki kemampuan untuk menyembelih dua ekor kambing, maka boleh dengan satu ekor kambing (semoga Allah memberikan kemampuan kita untuk menyempurnakan ibadah).

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشًا

Dari Ibnu Abbas, bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengakikahi (cucunya) Hasan dan Husain dengan satu kambing dan satu kambing.” (HR. Abu Dawud no. 2841 dan Thabrani 11: 316 dengan sanadnya sahih)

Tidak mengapa dengan kambing betina

Para ulama tidak menentukan tentang dipersyaratkannya kambing untuk akikah jantan atau betina. (Syarh Nadzmu Waraqat, hal. 89-90) Oleh karena itu, jika menyembelih dengan kambing betina pun tetap sah.

Apa saja syarat sah kambing akikah?

Ada beberapa kriteria kambing yang sah untuk akikah. Meskipun ada beberapa perbedaan pendapat ulama mengenai hal ini.

Pertama: Tidak boleh hewan yang cacat matanya, pincang, sakit, tidak boleh dijual dagingnya atau kulitnya, keluarganya boleh mengkonsumsi dagingnya. (Al-Muwatho’, 2: 502)

Kedua: Usia untuk domba minimal 6 bulan dan untuk kambing minimal 1 tahun. (Sebagaimana hadis riwayat Muslim no. 1963)

Akikah ketika dewasa

Meskipun akikah adalah tanggungan orang tua, tetapi tidak mengapa jika kakek, kerabat, atau orang lain memberikan (membelikan) kambing untuk akikah anaknya. Hal ini sebagaimana Nabi shallallahu ’alaihi wasallam mengakikahi kedua cucunya, Hasan dan Husain.

Lalu, bagaimana jika saat lahir belum diakikahi dan sudah dewasa?

Diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengakikahi dirinya setelah diutus dengan kenabian. (HR. Ath-Thahawi dalam Al-Musykil1: 461 dan Thabrani dalam Al-Ausath 1: 529 dengan sanad hasan)

Hal ini juga dikuatkan oleh beberapa ulama tabi’in. Ibnu Sirin rahimahullah berkata, “Seandainya saya tahu kalau saya belum diakikahi, niscaya saya akan mengakikahi untuk diriku.” (Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf : 8: 235 dan disahihkan Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 6: 506)

Hasan Bashri rahimahullah berkata, “Kalau engkau belum diakikahi, maka akikahilah sendiri sekalipun sudah dewasa.” (Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla, 8: 322 dan dihasankan Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 6: 506)

Akikah untuk janin yang keguguran

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كُلُّ غُلاَمٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُسَمَّى

“Setiap anak tergadaikan (untuk mendapatkan syafaat) dengan akikahnya. Disembelih atas namanya pada hari ketujuh, dicukur gundul rambutnya, dan diberi nama” (HR. Abu Dawud no. 2838 dan Tirmidzi no. 1605, dan dinilai sahih oleh Al-Albani)

Melihat keutamaan akikah dan untuk mendapatkan syafaat anak (dengan izin Allah), maka sebagaimana dijelaskan dalam Fatwa Lajnah Da’imah, “Jika janin meninggal setelah ditiupkan ruh (setelah 4 bulan), kemudian ibunya keguguran, maka janin itu dimandikan, dikafani dan disalatkan, kemudian dikuburkan. Disunahkah diberi nama dan diakikahkan…  (Fatwa Lajnah Da’imah, 10: 459-460)

Jika janin yang keguguran berumur di bawah empat bulan, maka menurut Fatwa Al-Lajnah ad Da’imah di atas tidak diakikahi walaupun telah tampak jenis kelaminnya laki-laki atau perempuan.

Semoga penjelasan yang sedikit ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Wallahu a’lam bis-shawab.

***

Penulis: Arif Muhammad N.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/82707-akikah-ibadah-sekali-seumur-hidup.html

Ingin Bahagia? Berbaktilah kepada Kedua Orang Tua

Allah Ta’ala menjadikan kedua orang tua sebagai sumber kebahagiaan bagi seseorang. Mereka adalah kebun yang dipenuhi kasih sayang dan kelembutan. Kebaikan-kebaikan mereka yang sangat luas dan tak akan pernah bisa kita balas. Ini layak untuk dijadikan pengingat akan besarnya hak mereka dari kita. Allah Ta’ala mengisyaratkan hal ini dengan menyebutkan hak keduanya setelah menyebutkan hak diri-Nya sendiri,

وَاعْبُدُوا اللّٰهَ وَلَا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْـًٔا وَّبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا

“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua.” (QS. An-Nisa’: 36)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menekankan bahwa mereka berdualah yang paling layak untuk kita berikan kasih sayang, kebaikan, dan perlakuan baik. Suatu ketika datang seseorang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya,

يا رَسولَ اللَّهِ، مَن أحَقُّ النَّاسِ بحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قالَ: أُمُّكَ قالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قالَ: ثُمَّ أُمُّكَ قالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قالَ: ثُمَّ أُمُّكَ قالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قالَ: ثُمَّ أبُوكَ

“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak aku berlaku baik kepadanya?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Dia bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Dia bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Dia bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Kemudian ayahmu.” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548)

Nabi ulang penyebutan ibu sebanyak tiga kali dan bapak sekali, bukan dalam rangka meremehkan hak bapak, akan tetapi sebagai penguat akan betapa besarnya hak seorang ibu terhadap anak-anaknya.

Alangkah besarnya kebaikan dan jasa seorang ibu terhadap mereka. Banyaknya rasa capek dan lelah yang dialaminya. Rasa sakit dan tidak nyaman yang ditanggungnya saat hamil. Rasa lelah saat melahirkan dan menyusui, serta betapa besar jasa mereka dalam memberikan pelayanan dan kasih sayang terbaiknya kepada anak-anak.

Sayangnya, besarnya kasih sayang seorang ibu terkadang membuat seorang anak menjadi tamak dan lupa diri, sering meremehkannya, dan tidak mau patuh kepadanya. Sampai-sampai oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam, kita diingatkan dengan menyebutkannya sebanyak tiga kali.

Ketahuilah wahai saudaraku, sungguh di dalam berbakti kepada kedua orang tua terdapat banyak sekali keutamaan dan keistimewaan. Keutamaan yang akan membantu seseorang di dalam meraih kebahagiaan. Dan ketahuilah bahwa di dalam kedurhakaan kepada keduanya, maka akan menghantarkan seseorang kepada kesengsaraan dan kesulitan.

Berbakti, identitas para nabi dan orang saleh

Allah Ta’ala berfirman menceritakan kisah Nabi Yahya ‘alaihissalam,

وَّبَرًّاۢ بِوَالِدَيْهِ وَلَمْ يَكُنْ جَبَّارًا عَصِيًّا 

“Dan (Nabi Yahya) sangat berbakti kepada kedua orang tuanya, dan dia bukan orang yang sombong, (bukan pula) orang yang durhaka.” (QS. Maryam: 14)

Allah Ta’ala juga mengisahkan perihal Nabi Isa ‘alaihissalam tatkala beliau masih bayi dan berada di gendongan Ibunda Maryam. Allah Ta’ala berikan kepadanya mukjizat untuk bisa berbicara. Lantas di antara yang beliau ucapkan adalah,

وَّبَرًّاۢ بِوَالِدَتِيْ وَلَمْ يَجْعَلْنِيْ جَبَّارًا شَقِيًّا

“Dan (Allah Ta’ala menjadikanku) berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.” (QS. Maryam: 32)

Sungguh di antara bentuk bakti paling agung yang ditunjukkan Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an adalah kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dengan ayahnya. Bagaimana kelembutan beliau di dalam mendakwahi sang ayah, gigihnya beliau di dalam berdakwah, dan semangat beliau untuk mengajak ayahnya meninggalkan kekufuran. Allah Ta’ala berfirman,

وَاذْكُرْ فِى الْكِتٰبِ اِبْرٰهِيْمَ ەۗ اِنَّهٗ كَانَ صِدِّيْقًا نَّبِيًّا

“Dan ceritakanlah (Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Kitab (Al-Qur’an), sesungguhnya dia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi.”

اِذْ قَالَ لِاَبِيْهِ يٰٓاَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِيْ عَنْكَ شَيْـًٔا

“(Ingatlah) ketika dia (Ibrahim) berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku! Mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolongmu sedikit pun?”

يٰٓاَبَتِ اِنِّيْ قَدْ جَاۤءَنِيْ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِيْٓ اَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا

“Wahai ayahku! Sungguh, telah sampai kepadaku sebagian ilmu yang tidak diberikan kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.” (QS. Maryam: 41-43)

Nabi Ibrahim memanggil ayahnya dengan panggilan yang lembut, menasihatinya dengan kelembutan dan kesabaran, meskipun pada akhirnya Allah Ta’ala belum memberikan hidayah kepada sang ayah. Akan tetapi, Allah karuniakan kepada Ibrahim dua anak saleh yang taat kepada kedua orang tuanya. Allah Ta’ala berfirman,

فَبَشَّرْنٰهُ بِغُلٰمٍ حَلِيْمٍ * فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ

“Maka Kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar (Ismail). Maka, ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka, pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, insyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS. As-Saffat: 101-102)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَبَشَّرْنٰهُ بِاِسْحٰقَ نَبِيًّا مِّنَ الصّٰلِحِيْنَ * وَبٰرَكْنَا عَلَيْهِ وَعَلٰٓى اِسْحٰقَۗ

“Dan Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishak seorang Nabi yang termasuk orang-orang yang saleh. Dan Kami limpahkan keberkahan kepadanya dan kepada Ishak.” (QS. AS-Saffat: 112-113)

Betapa besar kebahagiaan yang Allah Ta’ala berikan kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Allah berikan kepadanya keturunan yang saleh lagi beriman. Yang mana salah satu sebabnya adalah kebaktian beliau kepada ayahnya serta lembutnya beliau dalam berdiskusi dan mendakwahkan ajaran yang benar kepada ayahnya.

Berbakti, sumber kebahagiaan

Saudaraku, kebahagiaan apa yang dapat melampaui kebahagiaan seseorang karena mendapatkan jaminan surga setelah kebahagiaan melihat wajah Allah Ta’ala?

Setiap mukmin pasti ingin masuk surga, hanya saja sebagian dari mereka melupakan salah satu pintu yang paling utama dan paling baik, yaitu berbakti kepada kedua orang tua. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

الوالِدُ أوسطُ أبوابِ الجنَّةِ، فإنَّ شئتَ فأضِع ذلك البابَ أو احفَظْه

“Orang tua adalah pintu surga yang paling baik. Kalian bisa sia-siakan pintu itu atau kalian bisa menjaganya.” (HR. Tirmidzi no. 1900, Ibnu Majah no. 3663, dan Ahmad no. 27551)

Ketahuilah wahai saudaraku, tidak ada seorang pun masuk ke dalam surga, kecuali Allah Ta’ala telah meridainya. Lalu, bagaimana bisa seseorang yang durhaka kepada kedua orang tuanya akan mendapatkan rida Allah Ta’ala?! Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,

رِضى اللَّهِ في رِضى الوالِدَينِ ، وسَخَطُ اللَّهِ في سَخَطِ الوالدينِ

“Rida Rabb tergantung rida kedua orang tua, dan murka Allah tergantung murka kedua orang tua.” (HR. Tirmidzi no. 1899, Ibnu Hibban no. 429 dan Al-Baihaqi dalam kitab Syu’abul Iman no. 7830)

Saudaraku, berbakti kepada orang tua juga merupakan salah satu sebab kelapangan dan kebahagiaan di dunia. Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَن سرَّه أن يُمَدَّ له في عمرِه ويُزادَ في رزقِه فليبَرَّ والدَيْه وليَصِلْ رحِمَه

“Siapa yang ingin dipanjangkan umurnya dan ditambahkan rezekinya, maka hendaknya ia berbakti kepada kedua orang tuanya dan menyambung (tali silaturahmi) kekerabatannya.” (HR Ahmad no. 13811)

Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita semua sebagai pribadi yang bisa berbakti kepada kedua orang tua, konsisten di dalam melakukan kebaikan-kebaikan untuk keduanya, menjaga diri dari menyakiti keduanya, dan senantiasa berbuat baik kepada keduanya hingga keduanya meninggalkan kita semua.

Semoga Allah Ta’ala menjauhkan kita dari menjadi salah satu di antara  golongan yang Nabi sebutkan dalam hadisnya,

رَغِمَ أنْفُ، ثُمَّ رَغِمَ أنْفُ، ثُمَّ رَغِمَ أنْفُ، قيلَ: مَنْ؟ يا رَسولَ اللهِ، قالَ: مَن أدْرَكَ أبَوَيْهِ عِنْدَ الكِبَرِ -أحَدَهُما أوْ كِلَيْهِما- فَلَمْ يَدْخُلِ الجَنَّةَ

“Celakalah, kemudian celakalah, kemudian celakalah.” Ditanya, “Siapa, ya Rasulallah?” Beliau menjawab, “Orang yang mendapati orang tuanya di kala tuanya, baik salah satu atau keduanya, lalu ia tidak dapat masuk surga (karena sebab kedurhakaannya).” (HR. Muslim no. 2551)

Wallahu a’lam bisshawab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Artikel: www.muslim.or.id

Referensi:

Kitab “Khutuwaath Ilaa As-Sa’adah.” (Langkah-Langkah Menuju Kebahagiaan) karya Syekh Abdul Muhsin Al-Qasim hafidzhohullah dengan beberapa tambahan dan perubahan.

Berbagai sumber lainnya

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/82653-ingin-bahagia-berbaktilah-kepada-kedua-orangtua.html

(Khutbah Jumat) Bisnis yang Tak Akan Pernah Merugi, Berbisnis dengan Allah

Hasil auditing terhadap terhadap neraca keuangannya menunjukkan hasil bahwa bisnis mereka membukukan kerugian, tapi ada bisnis yang tak pernah rugi, yakni berbisnis dengan Allah, inilah materi khutbah kali ini

Hidayatullah.com | BERAPA banyak manusia yang berhasil membukukan laba? Lebih dari 1400 tahun yang lalu, Sang Pemilik Modal Yang Maha Kaya—sekaligus Sang Hakim Maha Adil—itu telah menyebarkan bocoran informasi bahwa hampir semua “mitra bisnisnya” gagal membukukan laba.

Di bawah ini naskah lengkap khutbah Jumat kali ini:

Khutbah Jumat pertama

إِنّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه

اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى سيّدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.

يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

يَاأَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا

Yaa Ma’asyiral Muslimin Rakhimakumullah…

Sebagai orang beriman tentu kita tahu dan sadar bahwa diri kita dan apapun yang ada di dunia ini milik Allah. Apalagi Allah telah menegaskan hal ini dalam kitab sucinya:

Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Al-Baqarah [2]: 284)

Karena itu, sesungguhnya Allah memiliki kuasa penuh atas semua yang dimilikinya, termasuk terhadap diri kita. Apakah Allah mau menghidupkan, mematikan, melapangkan rizki atau menyempitkannya, memberi nikmat atau mengazab; semuanya terserah Dia.

Dengan demikian sesungguhnya manusia sangat tergantung kepada kehendak Allah. Seandainya ada banyak orang hendak membunuh si fulan, tapi kalau Allah berkehendak menghidupkan dia, maka dia akan tetap hidup, sebagaimana Allah telah menyelamatkan dan membiarkan Nabi Ibrahim tetap hidup meskipun dia dihukum bakar oleh rezim Raja Namruz.

Begitu pula sebaliknya, meskipun si fulan dijaga kesehatannya oleh sebuah tim yang terdiri dari puluhan dokter yang sangat ahli, namun kalau Allah berkehendak mematikannya, maka tak ada seorang pun yang dapat menyelamatkan nyawanya.

Jamaah shalat Jumat Rakhimakumullah

Rasulullah ﷺ adalah manusia percontohan terbaik di muka bumi ini, menjadi rujukan utama untuk menjadi seorang muslim sejati serta manusia seutuhnya sesuai fitrah. Dialah mengubah cara pandang manusia dari budaya tribal ke budaya lebih beradab.

Merefleksikan terhadap sirah perjalanan Nabi dalam berdakwah, terdapat beberapa landasan untuk bergerak dan berdakwah dalam era ini, lebih khusus sebagai panduan pergerakan di dalam organisasi dakwah masyarakat. Apa sajakah itu?

Jamaah shalat Jumat Rakhimakumullah

Karena begitu mutlaknya kekuasaan Allah terhadap manusia, maka sepatutnya manusia takluk dan menyerah kepada Allah. Seharusnya dia tunduk dan patuh atas apa saja yang Allah perintahkan kepada-Nya. Kalau ada sepasukan tentara yang menyerah kalah kepada lawannya lalu menjadi tawanannya, maka di bawah todongan senjata, tentara itu akan mengikuti apa saja yang diperintahkan oleh musuhnya.

Begitu pula para budak kerajaan, akan selalu mematuhi apa saja perintah raja, meskipun raja tidak memberikan upah sepeser pun kepada mereka.

Kita sadari, Allah jauh lebih berkuasa daripada raja ataupun musuh tentara itu. Allah tidak hanya dapat mematikan sepasukan tentara manusia, tetapi Dia dapat mematikan semua tentara yang ada di muka bumi secara serentak. Semua itu mudah bagi Allah. Karena itu seharusnya perintah Allah lebih dipatuhi daripada perintah siapapun yang ada di bumi ini.

Menariknya, meskipun kekuasaannya begitu mutlak, meski kita semua adalah ciptaan-Nya dan budak-Nya, namun karena Allah memiliki sifat asy-Syakur (Maha Balas Jasa) dan al-Haliim (Maha Penyantun), Dia tidak memerintahkan sesuatu kecuali Dia akan memberikan balas jasa kepada hamba yang Dia perintahkan. Perintah-Nya tidak gratis, tapi ada bayaran-Nya.

وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ۖ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ

“Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah, kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan).” (QS Al-Baqarah [2]: 281)

Yaa Ma’asyiral Muslimin jamaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah

Yang lebih menarik lagi, bayaran yang Allah tawarkan bukan dalam kerangka kesepakatan kerja majikan-buruh, karena biasanya buruh digaji lebih kecil daripada jerih payahnya.

Yang Allah tawarkan dalam al-Qur`an adalah kerangka kesepakatan bisnis, berupa pinjam-meminjam dengan bunga pinjaman yang berlipat ganda serta jual-beli dengan nilai tukar yang sangat tidak sebanding.

Ibarat meminjam seekor nyamuk lalu mengembalikan dalam bentuk seekor kuda atau membeli seekor lalat dengan bayaran seekor unta.  

Jamaah shalat Jumat Rakhimakumullah

Berikut ini transaksi pinjam meminjam yang Allah tawarkan:

إِن تُقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضاً حَسَناً يُضَاعِفْهُ لَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ

“Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipatgandakan (pembalasannya) kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.“ (QS: At-Taghabun [64]:17).

Adapun transaksi kedua yang Allah tawarkan adalah transaksi jual-beli atau perdagangan:

إِنَّ اللّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُم بِأَنَّ لَهُمُ الجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْداً عَلَيْهِ حَقّاً فِي التَّوْرَاةِ وَالإِنجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللّهِ فَاسْتَبْشِرُواْ بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُم بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar.” (QS At-Taubah [9]: 111)

إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرّاً وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَّن تَبُورَ

“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.” (QS: Faathir [35]: 29)

Jadi setiap orang yang sudah baligh (mencapai usia kesempurnaan akal) adalah pebisnis yang bertransaksi dengan Allah.

Semua modal bisnisnya (kehidupannya, kesempurnaan tubuhnya, kesempurnaan akalnya, kesehatannya, kepandaiannya, perasaannya, intuisinya, dan lain-lain) berasal dari Allah. Dia tinggal memutar roda usahanya dengan modal tersebut.

Transaksi bisnisnya adalah semua perbuatan dirinya sejak dia baligh sampai malaikat maut datang menjemputnya. Dan semua transaksi itu tercatat rapi serta detil. Tak ada secuil pun, bahkan tak ada sebesar dzarrah (atom) pun yang terluput oleh malaikat sang juru catat.

وَكُلُّ شَيْءٍ فَعَلُوهُ فِي الزُّبُرِ

وَكُلُّ صَغِيرٍ وَكَبِيرٍ مُسْتَطَرٌ

إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَنَهَرٍ

“Dan segala sesuatu yang telah mereka perbuat tercatat dalam buku-buku catatan. Dan segala (urusan) yang kecil maupun yang besar adalah tertulis.” (QS Al-Qamar [54]: 52-53)

Begitu detilnya buku catatan itu, sehingga kelak para pendosa terperanjat kaget ketika menerima rapor mereka yang kebakaran itu. Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata:

“Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang jua pun.” (Al-Kahfi [18]:49)

Setelah itu seluruh manusia dikumpulkan pada sebuah forum pengadilan yang dipimpin oleh Sang Pemilik Modal sendiri selaku Ahkamil Hakimin (Sang Hakim Yang Maha Adil) di suatu hari yang dinamakan Yaumul Hisab (Hari Penghitungan rugi/laba).

وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئاً وَإِن كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا وَكَفَى بِنَا حَاسِبِينَ

 “Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)-nya. dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan.” (QS Al-Anbiya [21]: 47)

Berapa banyak manusia yang berhasil membukukan laba? Lebih dari 1400 tahun yang lalu, Sang Pemilik Modal Yang Maha Kaya—sekaligus Sang Hakim Maha Adil—itu telah menyebarkan bocoran informasi bahwa hampir semua “mitra bisnisnya” gagal membukukan laba. Hasil auditing terhadap terhadap neraca keuangannya menunjukkan hasil bahwa bisnis mereka membukukan kerugian.

Tapi ada juga yang membukukan keuntungan dalam berbisnis dengan Allah. Siapa mereka? Simak saja bocoran di bawah ini:

وَالْعَصْرِ

إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ

إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian (gagal membukukan laba dalam bertransaksi dengan Allah), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS Al-‘Ashr [103]: 1-3).

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ
وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ,
وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Khutbah Jumat Kedua

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله، نبينا محمد و آله وصحبه ومن والاه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أنَّ محمّداً عبده ورسولهُ

اَمَّا بَعْدُ

أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِـيْمِ الَّذِيْ لَااِلَهَ اِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، وبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

اللَّهُمَّ إِنَّانَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، اللَّهُمَّ إِنَّانَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِيْنِنَا وَدُنْيَانَا وَأَهْلِنَا وَمَالِنَا، اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِنَا، وآمِنْ رَوْعَاتِنَا، اللَّهُمَّ احْفَظْنَا مِنْ بَيْنِ أَيْدِيْنَا، ومِنْ خَلْفِنَا، وَعَنْ يَمِيْنِنَا، وَعَنْ شِمَالِنَا، وَمِنْ تَحْتِنَا، وَمِنْ فَوْقِنَا، وَ نَعُوذُ بِعَظَمَتِكَ أنْ نُغْتَالَ مِنْ تَحْتِنَا.

اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنَ البَرَصِ، وَالجُنُوْنِ، وَالْجُذَامِ، وَسَيِّئِ الأَسْقَامِ

اللَّهُمَّ أَعِزَّاْلإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَصْلِحْ وُلاَةَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَأَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِهِمْ وَانْصُرْهُمْ عَلَى عَدُوِّكَ وَعَدُوِّهِمْ وَوَفِّقْهُمْ لِلْعَمَلِ بِمَا فِيْهِ صَلَاحُ اْلإِسْلَامِ وَالْمُسْلِمِيْنَ

رَبَنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

سُبْحَانَ رَبِّكِ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ، وَالْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ بَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ أَنتَ ٱلْوَهَّابُ..

Khutbah Jumat ini ditulis Saiful Hamiwanto. Arsip lain terkait Khutbah Jumat bisa diklik di SINI. Artikel lain tentang keislaman bisa dibuka www.hidayatullah.com

HIDAYATULLAH

Khutbah Jumat: Tinggalkan Perbuatan Zalim di Bulan Haram

Teks khutbah Jumat berikut ini mengajak para jamaah untuk terus meningkatkan ketakwaan dan menjauhi perbuatan zalim, khususnya di bulan haram seperti bulan Rajab ini, dengan judul “Khutbah Jumat: Tinggalkan Perbuatan Zalim di Bulan Haram”.

اَلْحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ نَوَّرَ قُلُوْبَ أَوْلِيَائِهِ بِأَنْوَارِ الْوِفَاقِ، وَرَفَعَ قَدْرَ أَصْفِيَائِهِ فِيْ الْأَفَاقِ. وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ الْبَرَرَةِ السَّبَاقِ، صَلَاةً وَسَلَامًا اِلَى يَوْمِ التَّلَاقِ. أَشْهَدُ أَنْ لَااِلَهَ اِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، شَهَادَةً صَفَا مَوْرِدُهَا وَرَاقَ، نَرْجُوْ بِهَا النَّجَاَةَ مِنْ نَارٍ شَدِيْدَةِ الْاِحْرَاقِ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَشْرَفَ الْخَلْقِ عَلَى الْاِطْلَاقِ، اَلَّذِيْ أُسْرِيَ بِهِ عَلَى الْبَرَاقِ، حَتَّى جَاوَزَ السَّبْعَ الطِّبَاقِ.

أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْاِخْوَانُ أُوْصِيْكُمْ وَاِيَايَ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ، بِامْتِثَالِ أَوَامِرِهِ وَاجْتِنَابِ نَوَاهِيْهِ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَات وَالأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلاَ تَظْلِمُواْ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ

Ma’asyiral Muslimin jamaah khutbah Jumat rahimakumullah,

Terdapat empat bulan yang sangat dimuliakan dalam Islam, yang dikenal dengan istilah bulan haram, yaitu bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Pada bulan ini, semua amal ibadah dan kebaikan akan dilipatgandakan oleh Allah ‘azza wa jalla. Bahkan, kemulian empat bulan mulia ini diabadikan oleh Allah dalam Al-Qur’an.

Oleh karena itu, keberadaan kita semua di bulan Rajab ini sudah saatnya dijadikan momentum untuk meninggalkan segala bentuk kezaliman, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, yaitu:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلاَ تَظْلِمُواْ فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu,” (QS. At-Taubah [9]: 36).

Para jamaah khutbah Jumat yang dirahmati Allah,

Sudah tiba saatnya bagi umat Islam untuk menjaga kemuliaan bulan haram ini dengan memperbanyak melakukan kewajiban, ketaatan, dan semua nilai-nilai kebajikan, serta menjauhi semua hal-hal yang dilarang oleh Allah, termasuk berbuat zalim. Sebab, semua amal kebaikan dan perbuatan zalim akan dibalas melebihi perbuatan yang dilakukan di selain bulan haram.

Imam al-Baghawi dalam kitab Ma’alimut Tanzil fi Tafsiril Qur’an, juz 4, halaman 44 mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan berbuat zalim di bulan haram adalah merusak kemuliaannya dengan melakukan maksiat dan hal-hal yang tidak mendapatkan ridha dari-Nya. Kemudian beliau mengatakan,

العَمَلُ الصَّالِحُ أَعْظَمُ أَجْرًا فِي الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ، وَالظُّلْمُ فِيْهِنَّ أَعْظَمُ مِنَ الظُّلْمِ فِيْمَا سِوَاهُنَّ

“Amal saleh lebih agung (besar) pahalanya di dalam bulan-bulan haram. Sedangkan zalim pada bulan tersebut (juga) lebih besar dari zalim di dalam bulan-bulan lainnya.”

Ma’asyiral Muslimin hafidzakumullah,

Melakukan maksiat berupa kezaliman di bulan haram sangat besar dosanya, dan Allah ‘azza wa jall sangat membenci orang-orang yang melakukannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barangsiapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim.” (QS. Asy-Syura [42]: 40)

Selain tidak disukai oleh Allah, perbuatan zalim akan menjadi kegelapan kelak di hari kiamat. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad, yaitu:

اتَّقُوْا اللهَ، وَإِيَّاكُمْ وَالظُّلْمَ، فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Bertakwalah kalian semua kepada Allah, dan takutlah kalian dari perbuatan zalim, karena sesungguhnya kezaliman itu akan menjadi kegelapan pada hari kiamat.” (HR Abdullah bin Umar)

Hadirin jamaah khutbah Jumat yang dimuliakan oleh Allah,

Mari kita tinggalkan mari kita tinggalkan semua kemaksiatan, segala bentuk perbuatan zalim, khususnya di bulan yang sangat mulia ini, dan meningkatkan lagi ibadah-ibadah kepada Allah, dengan mengerjakan semua kewajiban, meningkatkan ibadah sunnah, konsisten dalam melakukan kebajikan terhadap sesama. 

Dengan meninggalkan kezaliman dan meningkatkan ketaatan, semoga semua ibadah yang kita lakukan bisa menjadi penyebab untuk meraih ridho-Nya, serta bisa menjadi hamba yang bertakwa kepada-Nya. Memiliki keimanan yang kuat, serta keyakinan yang tidak goyah kepada-Nya.

Demikian khutbah Jumat singkat pada ini. Semoga bermanfaat dan membawa berkah bagi kita semua, serta bisa menjadi penyebab untuk meningkatkan ibadah, ketakwaan, keimanan, dan menjauhi segala larangan.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ هَذَا الْيَوْمِ الْكَرِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَاِيَاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَالصَّدَقَةِ وَتِلَاوَةِ الْقُرْاَنِ وَجَمِيْعِ الطَّاعَاتِ، وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ جَمِيْعَ أَعْمَالِنَا إِنَّهُ هُوَ الْحَكِيْمُ الْعَلِيْمُ، أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، اِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Khutbah II

اَلْحَمْدُ لِلهِ حَمْدًا كَمَا أَمَرَ. أَشْهَدُ أَنْ لَااِلَهَ اِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، اِلَهٌ لَمْ يَزَلْ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيْلًا. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَحَبِيْبُهُ وَخَلِيْلُهُ، أَكْرَمِ الْأَوَّلِيْنَ وَالْأَخِرِيْنَ، اَلْمَبْعُوْثِ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ. اللهم صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ كَانَ لَهُمْ مِنَ التَّابِعِيْنَ، صَلَاةً دَائِمَةً بِدَوَامِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِيْنَ.

أَمَّا بَعْدُ: فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَذَرُوْا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ. وَحَافِظُوْا عَلَى الطَّاعَةِ وَحُضُوْرِ الْجُمْعَةِ وَالْجَمَاعَةِ وَالصَّوْمِ وَجَمِيْعِ الْمَأْمُوْرَاتِ وَالْوَاجِبَاتِ. وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ بِنَفْسِهِ. وَثَنَى بِمَلَائِكَةِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ. اللهم اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وِالْأَمْوَاتِ. اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَةً، اِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

عِبَادَ اللهِ، اِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاءِ ذِيْ الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوْا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرُكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

Demikian penjelasan terkait Khutbah Jumat, tinggalkan perbuatan zalim di bulan haram. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Tujuh Sahabat Rasulullah yang Berkulit Hitam Selain Bilal

Penggunaan kata hitam tidak terbatas pada orang Nubia dan Abyssinia.

Berbicara tentang sahabat kulit hitam Nabi Muhammad (SAW), nama pertama yang muncul di benak kita adalah Bilal ibn Rabah, orang pertama yang mengumandangkan adzan dan pemimpin semua Mua’dhin. Namun ternyata, selain Bilal ibn Rabah, Rasulullah juga memiliki sahabat-sahabat yang berkulit hitam lainnya.

Penggunaan kata hitam tidak terbatas pada orang Nubia dan Abyssinia tetapi juga untuk orang Arab yang berkulit hitam dan cokelat, yang pada zaman sekarang akan dianggap hitam seperti orang Sudan yang sama-sama orang Arab dan berkulit hitam. Dilansir dari About Islam, Kamis (9/2/2023), Rasulullah memiliki tujuh sahabat berkulit hitam, dan berikut ini kisah mereka.

Tujuh Sahabat Rasulullah yang Berkulit Hitam Selain Bilal

1. Ummu Ayman

Ummu Ayman merupakan sahabat Nabi yang memiliki nama lengkap Barakah binti Tsa’labah. Ummu Ayman adalah seorang Abyssinian dan pelayan Abdullah bin Abdil Muthalib, ayah Nabi.

Ketika Aminah, ibu Nabi meninggal, Ummu Ayman kemudian menjadi pengasuh utama Nabi Muhammad di waktu kecil. Dia kemudian dibebaskan ketika Nabi dengan Sayyidah Khadijah binti Khuwaylid menikah.

Ummu Ayman adalah salah satu penganut Islam awal di Makkah dan merupakan salah satu dari mereka yang menghadapi penganiayaan dari kaum Quraisy. Dia termasuk orang yang hijrah dari Makkah ke Al-Madinah.

2. Usamah bin Zayd

Usamah bin Zayd adalah salah satu sahabat tercinta Nabi SAW. Kedua orang tua Usamah, Zayd bin Harithah, seorang Arab, dan Umm Ayman, seorang Etiopia, dibebaskan dari perbudakan oleh Nabi SAW. Ia lahir di Makkah tujuh tahun sebelum Hijrah dan digambarkan berkulit hitam.

Sebagian besar asuhan Usamah dilakukan di rumah Nabi (SAW) dalam jangka waktu yang sama dengan asuhan cucu Nabi, Al-Hasan bin ‘Ali. Saat remaja, Usamah dipilih oleh Nabi SAW untuk memimpin pasukan muslimin dalam ekspedisi melawan Romawi di Syria.

Beberapa sahabat menjadi sangat marah atas penunjukan Usamah sebagai jendral atas sahabat-sahabat yang lebih tua dari suku Quraisy. Nabi (SAW) mengatakan, setelah memuji dan berterima kasih kepada Allah (SWT).

“Wahai orang-orang! Saya mendapat kabar bahwa beberapa dari Anda marah karena saya menunjuk Usamah bin Zayd. Demi Allah, sesungguhnya ketaatanmu kepada Usamah adalah ketaatanmu kepadaku sebagaimana ketaatanmu kepada bapaknya sebelum dia.”

Usamah wafat pada tahun 61 H di Al-Madinah pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

3. Sa’ad Al-Aswad

Salah satu sahabat kulit hitam Nabi (SAW) adalah Sa’ad Al-Aswad As-Sulami. Sa’ad berasal dari Ansar dan mengalami diskriminasi di Al-Madinah.

Dia pernah bertanya kepada Nabi (SAW) apakah dia bisa masuk Jannah karena posisinya yang rendah di antara umat Islam. Sa’ad kemudian syahid dalam sebuah pertempuran. Diriwayatkan bahwa Nabi (SAW) menangisi dia sambil menggendongnya di pangkuannya.

4. Ammar bin Yasir

Salah satu sahabat terkenal yang dikenal kuat imannya adalah ‘Ammar bin Yasir (semoga Allah meridhai dia). Ammar adalah salah satu Muslim paling awal yang menerima Islam dan secara terus-menerus disiksa bersama keluarganya.

Suatu kali, saat disiksa dengan kejam, dia dengan enggan meninggalkan Islam. Dia kemudian mendatangi Nabi SAW dalam keadaan menangis, mengatakan bahwa dia mengatakan meninggalkan Islam tetapi tidak bersungguh-sungguh. Kemudian Nabi SAW menanggapi dengan menghapus air matanya dan berujar.

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah setelah dia beriman, kecuali yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam iman…” (QS An Nahl ayat 106)

Setelah banyak penganiayaan, ‘Ammar bersama rekan-rekan lainnya bermigrasi ke Abyssinia. Mereka menemukan perlindungan di bawah raja Kristen. Ia kemudian hijrah bersama para sahabat lainnya ke Al-Madinah, menjadikannya salah satu dari kelompok sahabat yang melakukan dua kali hijrah demi Allah .

‘Ammar kemudian berpartisipasi dalam kampanye besar untuk melindungi komunitas Muslim, termasuk Badr dan Uhud. Dia juga menyaksikan Haji Perpisahan Rasulullah. ‘Ammar kemudian mati syahid selama Pertempuran Siffin.

5. Mihja’

Salah satu sahabat nabi (SAW) yang terkenal adalah Mihja’ bin Shalih. Mihja’ adalah salah seorang penganut Islam awal di Makkah dan salah seorang yang hijrah ke Al-Madinah. Setelah hijrah, menurut At-Tabari dan lainnya, Mihja’ adalah yang pertama syahid selama Ghazwah  Badr (perang Badr).

6. Abu Dzar

Salah satu sahabat yang terhormat, yang dikenal karena kesetiaan dan kepeduliannya terhadap orang miskin, adalah Abu Dzar. Abu Dzar memiliki nama lengkap Jundab bin Junadah dari Suku Ghifar.

Pada  Era Jahiliah  (Asr Al-Jahiliyah , istilah yang digunakan untuk menyebut era pra-Islam), suku Ghifari dikenal bandit dan senang mengkonsumsi alkohol, selain menyembah berhala. Akan tetapi, Abu Dzar berpaling dari norma kesukuan ini bahkan sebelum memeluk Islam.

Setelah bertemu Nabi SAW, Abu Dzar dengan cepat menerima Islam. Dia pergi ke Ka’bah untuk menyatakan keimanannya di depan umum, dan suku Quraisy kemudian memukulinya. Dia pergi keesokan harinya untuk menyatakan imannya lagi, di mana dia pun dipukuli lagi.

Setelah berhari-hari melakukan ini dan menghadapi pemukulan, Nabi SAW menyuruhnya kembali ke sukunya agar dia bisa menyampaikan pesannya kepada mereka. Dia kemudian hijrah ke Al-Madinah dan berpartisipasi dalam Ghazwah Badar dan ekspedisi lainnya bersama para sahabat

7. Ayman, sang gembala

Salah satu sahabat Nabi yang setia adalah Ayman bin ‘Ubayd. Aiman merupakan putra dari  Ummu Ayman atau Ayman al Barakah dan ‘Ubayd bin Zayd. Ia adalah seorang wanita yang akhirnya dibebaskan dari perbudakan oleh Nabi (SAW) dan juga ayahnya ‘Ubayd bin Zayd.

Ayman memeluk Islam di Makkah dan melakukan migrasi demi Allah ke Al-Madinah. Dia adalah seorang penggembala dan diberi amanah oleh Nabi (SAW) untuk memelihara kambing-kambingnya.

Ayman berpartisipasi dalam banyak pertempuran untuk membela Islam. Di perang Hunayn, ketika sebagian umat Islam panik, Ayman adalah salah satu dari delapan umat Islam yang berdiri di samping Nabi SAW dan membelanya. Umat Islam akhirnya memenangkan pertempuran. Ayman mati syahid dalam perang Hunayn.

KHAZANAH REPUBLIKA