Anjuran Hubungan Intim pada Malam Jum’at

Di kalangan awam, terjadi pemahamann bahwa pada malam Jum’at itu disunnahkan. Bahkan inilah yang dipraktekkan. Memang ada hadits yang barangkali jadi dalil, namun ada pemahaman yang kurang tepat yang dipahami oleh mereka.

Dari Aus bin Aus, ia berkata bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَغَسَّلَ ، وَبَكَّرَ وَابْتَكَرَ ، وَدَنَا وَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ ، كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ يَخْطُوهَا أَجْرُ سَنَةٍ صِيَامُهَا وَقِيَامُهَا

Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at dengan mencuci kepala dan anggota badan lainnya, lalu ia pergi di awal waktu atau ia pergi dan mendapati khutbah pertama, lalu ia mendekat pada imam, mendengar khutbah serta diam, maka setiap langkah kakinya terhitung seperti puasa dan shalat setahun.” (HR. Tirmidzi no. 496. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Ada ulama yang menafsirkan maksud  hadits penyebutan mandi dengan ghosala bermakna mencuci kepala, sedangkan ightasala berarti mencuci anggota badan lainnya. Demikian disebutkan dalam Tuhfatul Ahwadzi, 3: 3. Bahkan inilah makna yang lebih tepat.

Ada tafsiran lain mengenai makna mandi dalam hadits di atas. Sebagaimana kata Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad,

قال الإمام أحمد : (غَسَّل) أي : جامع أهله ، وكذا فسَّره وكيع

Imam Ahmad berkata, makna ghossala adalah menyetubuhi istri. Demikian ditafsirkan pula oleh Waki’.

Tafsiran di atas disebutkan pula dalam Fathul Bari 2: 366 dan Tuhfatul Ahwadzi, 3: 3. Tentu hubungan intim tersebut mengharuskan untuk mandi junub.

Namun kalau kita lihat tekstual hadits di atas, yang dimaksud hubungan intim adalah pada pagi hari pada hari Jum’at, bukan pada malam harinya. Sebagaimana hal ini dipahami oleh para ulama dan mereka tidak memahaminya pada malam Jum’at.

وقال السيوطي في تنوير الحوالك: ويؤيده حديث: أيعجز أحدكم أن يجامع أهله في كل يوم جمعة، فإن له أجرين اثنين: أجر غسله، وأجر غسل امرأته. أخرجه البيهقي في شعب الإيمان من حديث أبي هريرة.

As Suyuthi dalam Tanwirul Hawalik dan beliau menguatkan hadits tersebut berkata: Apakah kalian lemas menyetubuhi istri kalian pada setiap hari Jum’at (artinya bukan di malam hari, -pen)? Karena menyetubuhi saat itu mendapat dua pahala: (1) pahala mandi Jum’at, (2) pahala menyebabkan istri mandi (karena disetubuhi). Yaitu hadits yang dimaksud dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari hadits Abu Hurairah.

Dan sah-sah saja jika mandi Jum’at digabungkan dengan mandi junub. Imam Nawawi rahimahullahmenjelaskan, “Jika seseorang meniatkan mandi junub dan mandi Jum’at sekaligus, maka maksud tersebut dibolehkan.” (Al Majmu’, 1: 326)

Intinya, sebenarnya pemahaman kurang tepat yang tersebar di masyarakat awam. Yang tepat, yang dianjurkan adalah hubungan intim pada pagi hari ketika mau berangkat Jumatan, bukan di malam hari. Tentang anjurannya pun masih diperselisihkan oleh para ulama karena tafsiran yang berbeda dari mereka mengenai hadits yang kami bawakan di awal.

Wallahu a’lam.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

sumber: Rumaysho.com

Kang Abik: Binatang Saja tak Kawin Sejenis

Pernikahan sejenis selalu menjadi pro dan kontra sejak dulu. Penulis novel-novel Islami, Habiburrahman El Shirazy menolak dengan tegas legalisasi pernikahan sejenis.

Penulis novel laris ‘Ayat-ayat Cinta’ yang biasa dipanggil Kang Abik ini menyebut pengesahan pernikahan satu jenis sebagai bentuk kemunduran peradaban. Ia bahkan menyindir perilaku tersebut dengan kelakuan hewan.

“Legalisasi pernikahan sejenis adalah kemunduran peradaban. Binatang saja nggak kawin dgn sejenis,” tulisnya dalam akun media sosial Twitter pribadinya, Senin (29/6).

Sejak diresmikan oleh Mahkamah Konstitusi Amerika Serikat, Jumat (26/6) lalu keputusan tersebut marak diperbincangkan. Ada pihak pendukung, ada pula yang menyebut kemunduran manusia. Padahal sejatinya pernikahan sejenis ini sudah dilegalkan hampir di 20 negara lainnya.

Sebelumnya musikus Sherina Munaf juga dibully akibat tulisan dukungannya di Twitter. Sherina menuliskan mimpinya agar pernikahan sejenis tersebut bisa disahkan di seluruh dunia.

DPR Sebut Dua Nama Calon Pimpinan Baznas

Komisi VIII DPR RI telah menyerahkan hasil pertimbangan terkait proses pemilihan pimpinan Badan Amil Zakat Nasional kepada Presiden Joko Widodo pekan lalu. Wakil ketua komisi VIII, Shodiq Mujahid mengatakan dari delapan nama yang diajukan Presiden hanya dua nama saja yang layak menjadi calon pimpinan Baznas.

“Point kita agar pansel (panitia seleksi) bekerja lebih baik lagi agar nama yang masuk ke Presiden dan DPR lebih layak. Kewenangan kita kan hanya memberi pertimbangan. Tapi Jika diperlukan DPR akan melakukan persetujan,” ujar Shodiq kepada ROL, Senin (6/7).

Ia menjelaskan, berdasarkan keputusan hasil rapat yang dilakukan komisi VIII, dua nama yang layak tersebut yaitu mantan Menteri Keuangan Bambang Sudibyo dan Mantan Direktur Utama Bank Muamalat Zainulbahar Noor. Tiga nama masuk dalam kategori dapat dipertimbangkan dan tiga nama lagi kurang layak dipertimbangkan. Namun, ia tidak ingin merinci keenam nama tersebut.

Ia melanjutkan, untuk menjadi pimpinan Baznas, para calon harus memiliki empat kriteria sehingga dapat dikategorikan layak sebagai calon pimpinan Baznas. Pertama, harus memiliki visi dan misi serta penetapan strategi untuk membangun dan mengembangkan kelembagaan Baznas maupun Bazda. Kedua, calon pimpinan Baznas harus memiliki pemahaman tentang hukum zakat.

Selain itu, calon pimpinan Baznas harus mampu memobilisasi dana, mendayagunakan dan mendistrubusikan dana zakat tersebut dengan baik. Dan yang terakhir harus mampu melakukan sosialisasi untuk membangun citra positif Baznas.

Untuk itu, DPR meminta agar tim pansel BAZNAS bekerja lebih baik lagi agar kriteria tersebut terpenuhi pada calon pimpinan Baznas yang diajukan kepada Presiden dan DPR. Sehingga nama-nama yang diajukan  memliki kompetensi tinggi.

‘Calon Pimpinan Baznas Harus Miliki Kompetensi Ilmu Fikih Zakat’

Anggota Komisi VIII DPR Maman Immanulhaq mengatakan sejumlah nama calon pimpinan Badan Amil Zakat yang diajukan ke parlemen masih di bawah standar kelayakan sehingga yang diusulkan itu perlu dievaluasi oleh panitia seleksi.

“Kami ingin mengevaluasi, baik orangnya maupun metodenya,” kata Maman di Jakarta, Senin (6/7).

Calon pimpinan Baznas, kata dia, harus memiliki kompetensi dalam ilmu fikih zakat, mengerti manajemen dan mampu melakukan spesialisasi zakat. Menurut politisi PKB ini, baru sebagian yang memahami fikih zakat dari total delapan nama yang telah diajukan Presiden Joko Widodo ke DPR.

Sejumlah nama yang kompeten itu seperti tokoh Nahdhatul Ulama Masdar Farid Mas’udi, mantan Direktur Utama Bank Mu’amalat Zainulbahar Noor dan aktivis Muhammadiyah Irsyadul Halim. Sementara calon yang memahami ilmu manajemen hanya mantan Menteri Keuangan Bambang Sudibyo. Sementara yang lainnya belum berkompeten termasuk mantan Inspektur Jenderal Kementerian Agama Mundzir Suparta.

Adanya calon yang di bawah standar, kata Maman, sebagai contoh minat masyarakat kepada Baznas tergolong kecil.
Maka dari itu, PKB mengusulkan agar Baznas memperkuat institusinya agar lebih profesional. Terlebih para pimpinan Baznas ini tidak memperoleh gaji sehingga kinerjanya kurang maksimal.

Seperti diberitakan, delapan nama dari berbagai latar belakang akan menjadi pimpinan BAZNAS periode 2015-2019 menggantikan anggota sebelumnya. Kedelapan nama tersebut berasal dari unsur masyarakat mulai dari mantan menteri, tokoh ormas, praktisi zakat hingga da’i.

Di antara nama-nama itu ialah mantan Menteri Keuangan Bambang Sudibyo, mantan Direktur Utama Bank Muamalat Zainulbahar Noor dan mantan Inspektur Jenderal Kementerian Agama Mundzir Suparta. Selanjutnya, ada tokoh Nahdlatul Ulama Masdar Farid Mas’udi, Ketua Umum Ikatan Da`i Indonesia Ahmad Satori Ismail, praktisi perbankan syariah Emmy Hamidiyah, aktivis Muhammadiyah Irsyadul Halim dan praktisi zakat Nana Mintarti.

 

sumber: Republika Online

Setelah 22 Tahun Jadi Pendeta, Petrus Kali Memutuskan Masuk Islam

Petrus Kali, seorang pria yang telah 22 tahun menjadi pendeta asal Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, menyatakan memeluk agama Islam setelah mendapat hidayah.

Petrus Kali saat memaparkan pengakuannya di hadapan ratusan jamaah Masjid An Nur di Kota Palu, Sabtu, mengaku telah masuk Islam di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Palu Barat pada 1 Mei 2015.

Sabelum masuk Islam, pendeta berusia sekitar 55 tahun itu mengalami sakit-sakitan, kemudian sembuh. Menurutnya hal itu adalah kuasa Allah SWT.

Selama ini pendeta asal Tana Toraja ini tinggal di dekat gereja di Dusun III, Desa Sejahtera, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, yang berjarak sekitar 70 km dari Kota Palu.

Setelah menyatakan masuk Islam, Petrus Kali mengganti namanya menjadi Ahmad Fikri.

Selain dia, sebanyak 18 pengikutnya atau enam keluarga yang merupakan warga desa setempat juga menyatakan memeluk Islam, dan nama-namanya sudah tercatat di KUA Kecamatan Palu Barat.

Ahmad Fikri sendiri diperkenalkan kepada jamaah oleh tokoh muslim asal Palu bernama Azis Godal.

Dalam pertemuan itu, ratusan jamaah Masjid An Nur yang berada di Jalan SIS Aljufri juga memberikan sumbangan kepada Ahmad Fikri dan rombongan yang terkumpul sebanyak Rp 13 juta.

Uang tersebut rencananya akan dipergunakan untuk merehabilitasi gerejanya yang akan dialihfungsikan menjadi masjid.

 

sumber: Republika Online

Ramadhan Kareem untuk Pemenang Kehidupan

Ramadhan Kareem dengan tema Pemenang Kehidupan diselenggarakan di Kota Bogor. Dalam acara ini, udangan ditujukan pada penderita disabilitas, kaum dhuafa, dan anak yatim.

“Mereka itu harus dimotivasi, bukan hanya diberikan bantuan saja,” ujar Owner de Capitol Comunication, Devia Sherly kepada Republika, Jumat (3/7).

Tujuannya lebih mengangkat mereka yang kurang beruntung. Dalam arti bukan hanya sebagai penerima zakat dan menerima bantuan. Tapi memotifasi menyadarkan semua orang, penyemangat hidup adalah diri mereka sendiri. “Kalau kita hanya memberi dan memberi, akhirnya mereka tidak akan termotivasi,” imbuhnya.

Ramdhan kali ini di Kota Bogor temanya adalah pemenang kehidupan. Ia menyampaikan pesan tersebut, walaupun banyak orang yang hadir kurang beruntung. Misalnya seorang yang mempunyai kondisi ekonomi atau fisik kurang beruntung, berhak menjadi pemenang dalam hidupnya.

Acara ini rutin dilakukan sejak 2007, dan masih berjalan sampai saat ini. Agenda acara kali ini, sebenarnya mengalir saja. Dibuka dengan sambutan, lalu panitia menampilkan penyanyi cilik yang mempunyai bakat di Jawa Barat supaya menghibur anak-anak.

Selain acara hiburan ada juga tausiyah yang disampaikan dai muda asal Bogor. ”Kita memberdayakan apa saja yang ada di Kota Bogor. Acara ini didominasi anak-anak yang berjumlah 400-an orang se-Kota Bogor,” jelas Devia.

Rencananya Ramadhan kali ini akan terdapat lima titik, yaitu Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Bandung, Samarinda, dan Jogjakarta. Agenda berikutnya akan dilakukan di Kalimantan Timur dengan program bernama Kalimantan Dream, bentuk kepedulian terhadap masyarakat.

 

sumber: Republika Online

Ramadhan dan Produktivitas

Oleh: Asma Nadia

Siang itu saya terburu-buru pergi ke bank untuk satu keperluan. Setelah melewati macet dan berbagai hambatan, akhirnya tiba juga dengan napas terengah. Sayang, ternyata bank yang didatangi sudah tutup.
“Selama bulan Ramadhan, bank tutup jam 14.30!” jelas satpam yang berada di pelatarannya. Setengah atau satu jam lebih cepat dari biasanya, batin saya mencatat.

Keesokan harinya saya datang lagi, masih untuk memenuhi keperluan yang sama. Sampai di bank, ruangan sudah dipenuhi nasabah. Mau tidak mau saya harus menghabiskan waktu mengantre lebih lama dari biasanya. “Maklum, Bu, karena bank tutup lebih cepat, waktu pelayanannya jadi terbatas,” tutur konsumen lain yang senasib.
Mungkin memang harus seperti ini di bulan Ramadhan, pikir saya pasrah. Dari tahun ke tahun toh tidak ada yang protes. Tapi, perbincangan kemudian setelah saya pulang, membuat saya mengambil kesimpulan berbeda.

Saat beristirahat di rumah, saya menelepon Mas Eka Tanjung, sahabat di Belanda, warga negara Indonesia yang sudah lama bermukim di Negeri Kincir Angin itu bersama keluarga.
Wah, kami baru buka, nih?” ujarnya membuka perbincangan. “Oh, maaf mengganggu. Selamat berbuka, Mas. Memangnya di sana buka puasa jam berapa, ya, Mas?”

“Iya, kami buka puasanya pukul 22.07, Mbak.” Jelas Mas Eka lagi. “Wah, berat. Berarti puasanya sekitar 17 jam, ya?” Saat itu yang tebersit dalam benak saya adalah sahur pukul 05.00-an, lalu buka puasa sekitar pukul 10 malam.
“Bukan, Mbak, di sini Subuh pukul 03.03. Jadi, puasa di Belanda sekitar 19 jam. Makanya, anak-anak di sekolah lumayan berat perjuangannya.”

Masya Allah, 19 jam puasa! Subuh datang lebih cepat, Maghrib hadir lebih lambat. Tidak ada privilese, tidak diperlakukan istimewa. Anak-anak Muslim Indonesia di Belanda hanya punya jeda waktu lima jam sehabis berbuka sebelum bersiap berpuasa lagi.
Pembicaraan singkat dengan Mas Eka membuat saya tertarik untuk melihat data puasa terlama di dunia. Ternyata, selama musim panas ini, negara Skandinavia seperti Swedia, Finlandia, dan Norwegia menjalani puasa selama 21 jam-jeda makan cuma tiga jam. Muslim di Rusia berpuasa sekitar 19 jam, di Inggris rentang puasa 17 jam 45 menit.

Di Amerika Serikat, waktu puasa 16 jam, sementara di Jepang waktu puasa 15 jam 37 menit. Dan di semua negara tersebut, umat Islam umumnya menjalankan ibadah puasa tanpa ada pengecualian sama sekali.
Mereka yang masih belajar harus sekolah setiap hari, tanpa tugas yang diringankan. Mereka yang bekerja pun tetap menjalani rutinitas setiap hari tanpa ada kekhususan. Intinya, produktivitas mereka tetap sama sekalipun pengorbanan dan tantangan di sana jauh lebih berat.

Sedangkan, di Indonesia yang waktu berpuasa sekitar 13 jam, kaum Muslimin banyak diberi keistimewaan dengan banyak kemudahan. Pulang kantor lebih cepat, jam masuk kerja malah ada yang lebih siang dari biasanya-kalau terlambat masih ditoleransi-bahkan jika tidur di jam kerja pun sebagian masih dianggap wajar.
Jika kemudahan dan keluangan waktu itu agar memiliki waktu ibadah lebih panjang mungkin bisa dimengerti. Tetapi, banyak yang menerjemahkan waktu lowong tersebut sebagai masa istirahat lebih banyak. Jika kita mampir ke masjid-masjid besar atau mushala di siang hari, masih banyak terlihat mereka yang rebahan tidur-tiduran di saat istirahat siang.

Kekontrasan yang terjadi memaksa saya kembali merenung memikirkan puasa dan produktivitas. Apakah tepat jika ada anggapan bahwa puasa menghambat produktivitas?
Jika melihat sejarah, bulan Ramadhan justru menjadi bulan prestasi umat Islam. Perang Badar Kubra terjadi pada 17 Ramadhan tahun 2 Hijriyah. Fathu Makkah terjadi tanggal 21 Ramadhan tahun ke-8 Hijriyah.

Tersebarnya agama Islam pertama kali di negeri Yaman terjadi pada Ramadhan tahun ke-10 Hijriyah. Islam di bawah pimpinan Thariq bin Ziyad masuk ke Spanyol pertama kali pada 28 Ramadhan tahun 92 Hijriyah.
Dalam sejarah Indonesia, tak pelak bulan Ramadhan juga tercatat sebagai bulan prestasi. Fatahillah merebut Sunda Kelapa pada 22 Juni 1527 M atau bertepatan dengan 22 Ramadhan 933 H. Proklamasi kemerdekaan Indonesia juga terjadi pada bulan suci. Ya, 17 Agustus 1945 bertepatan dengan 9 Ramadhan.

Kini, pertanyaan yang perlu kita gaungkan di hati masing-masing, mampukah di hari-hari Ramadhan yang tersisa kita produktif? Bahkan, lebih baik lagi-mungkin lebih produktif dari 11 bulan lainnya? Masih ada sejumlah hari Ramadhan yang bisa kita koreksi bersama, hingga setelahnya terasa benar, insya Allah, lahir batin kita adalah pemenang.

 

sumber: Republika Online

Ramadhan, Lebaran, dan Ekonomi Indonesia

Oleh: Azyumardi Azra

Ramadhan dan Lebaran sering dipandang sementara kalangan sebagai kian konsumtif. Bahkan, terlihat gejala konsumerisme yang juga kian meningkat di kalangan kelas menengah (middle class) dan kelas atas (upper class) Muslim. Kecenderungan ini disebut melanda negara-negara Muslim kaya di Timur Tengah dan juga emerging economies, seperti Indonesia dan Malaysia.

Jika persepsi ini benar, gejala tersebut tidak selaras dengan ibadah puasa yang mengajarkan kesederhanaan, menahan diri khususnya dari sikap konsumtif dan konsumerisme. Sikap dan paham ini jelas tidak sesuai dengan ajaran Islam yang melarang perbuatan isyraf, berlebih-lebihan. Akan tetapi, perlu dijelaskan tiga istilah terkait. Pertama, ‘konsumsi’ yang memang meningkat sepanjang Ramadhan dan Lebaran karena banyak keluarga dan pejabat, pengusaha, atau tokoh masyarakat menyediakan takjil, makanan iftar, dan sahur untuk karib-kerabat, fakir, miskin, dhuafa, dan yatim piatu. Ini sesuai hadis Nabi SAW bahwa orang yang menyediakan makanan untuk mereka yang puasa mendapat pahala yang sama nilainya dengan sha’imin dan sha’imat.

Kedua, sikap konsumtif adalah mengeluarkan perbelanjaan-termasuk untuk konsumsi-lebih daripada kebutuhan atau berlebih-lebihan sehingga terjadi pemborosan (isyraf). Sedangkan, ‘konsumerisme’ adalah gaya hidup yang berorientasi pada selera hedonis-hidup serbakebendaan dengan mengutamakan brand name, barang-barang bermerek terkenal. Sikap konsumtif dan konsumerisme jelas kian menggejala di kalangan kelas atas dan kelas menengah Muslim. Gejala ini terlihat dengan peningkatan pembelian barang mewah dan bermerek (brand name) sehingga menjadi gaya hidup. Namun, kalangan seperti ini jumlahnya relatif terbatas-jauh daripada ‘mewabah’ pada lapisan kelas menengah bawah (lower middle class) dan kelas bawah (lower class).

Dengan pengertian dan pemahaman ini, Ramadhan dan Lebaran jelas meningkatkan konsumsi. Salah satu indikator peningkatan itu adalah dana yang disiapkan Bank Indonesia (BI) dalam waktu antara sepekan sebelum dan sepekan sesudah Lebaran (H-7 sampai H+7). Pada Lebaran 1435/2014 lalu, BI menyiapkan dana Rp 118 triliun dan untuk 1436/2015 meningkat menjadi Rp 125,2 triliun. Peningkatan dana ini terkait banyak dengan meningkatnya kebutuhan uang kontan denominasi kecil bagi kaum Muslim sepanjang Ramadhan dan Lebaran. Peningkatan kebutuhan dana terkait erat dengan upaya menjalankan ajaran Islam tentang giving and sharing, memberi dan berbagi, melalui ziswaf (zakat, infak, sedekah, dan wakaf).

Menurut survei televisi berita CNN belum lama ini, kaum Muslim Indonesia paling pemurah dibanding Muslimin di negara-negara Muslim lain dalam giving and sharing. Menurut survei CNN tersebut, 98 persen Muslim Indonesia selalu atau pernah memberikan ziswaf. Karena itulah, Ramadhan dan Lebaran selalu menjadi masa puncak filantropi Islam. Amil zakat yang secara tradisional berpusat di masjid atau lingkungan pertanggaan maupun dalam bentuk lembaga modern semacam DD (Dompet Dhuafa) atau Aksi Cepat Tanggap (ACT) atau Bazis atau Lazis yang terkait pemerintah daerah atau ormas Islam selalu mencatat periode ini sebagai masa penerimaan terbanyak dana ziswaf dibanding bulan-bulan lain.

Dengan peningkatan konsumsi dan pengeluaran dana sepanjang Ramadhan dan seputar waktu sebelum dan sesudah Lebaran, cukup beralasan masa ini disebut sebagai musim ekonomi spesial bagi Indonesia. Di tengah pelambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia dan penurunan konsumsi yang sangat terasa sepanjang 2014-2015, peningkatan konsumsi dan pengeluaran dana selama Ramadhan dan Lebaran sangat baik bagi ekonomi negeri ini.
Dalam konteks itu bisa dipahami mengapa the Conversation.commengulas khusus hal ini dalam laporan “Why Ramadan is a Special Economic Season in Indonesia” (1/7/2015). The Conversation.commencatat mengapa Ramadhan merupakan musim ekonomi spesial bagi Indonesia.

Pertama, masyarakat berbelanja lebih banyak selama Ramadhan, khususnya makanan dan pakaian. Menurut statistik, indeks penjualan eceran dalam kategori ini rata-rata meningkat sekitar 30 persen.
Kedua, di Indonesia pemerintah dan swasta memberikan gaji ke-13 atau THR kepada para pegawai dan buruh. Pendapatan ekstra ini memperbesar daya belanja (spending power) selama Ramadhan dan Lebaran.

Ketiga, selama Ramadhan kaum Muslimin lazimnya mengeluarkan alms -yang di atas sudah disebut sebagai ziswaf. Penyaluran alms kepada orang-orang miskin turut memperkuat daya belanja (purchasing power) mereka.
Pemerintah sering mengeluh tentang kenaikan inflasi sepanjang Ramadhan dan Lebaran yang berdampak negatif terhadap ekonomi Indonesia. Namun, menurut the Conversation.com, penyebaran dana dan bonus liburan panjang Lebaran memainkan peran penting sebagai jejaring pengaman sosial bagi daya beli masyarakat dan sekaligus kohesi sosial.

Kesimpulannya, Ramadhan dan Lebaran memiliki kontribusi signifikan dalam memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia. Dengan peningkatan konsumsi, perdagangan dan perjalanan, aktivitas ekonomi bisa bergerak. Masalahnya kemudian bagi pemerintah adalah mempertahankan atau meningkatkan kembali ekonomi Indonesia pada masa pasca-Ramadhan dan Lebaran.

 

sumber: Republika Online