Iman kepada Allah

Iman kepada Allah mengandung empat unsur (Syarah Ushul Iman, hlm. 13–22):

Pertama: Mengimani Wujud Allah ta’ala.

Wujud Allah telah dibuktikan oleh fitrah manusia, akal manusia, syariat, dan indra manusia.

  • Bukti fitrah tentang wujud Allah.

Secara fitrah, manusia telah mengakui adanya pencipta, pengatur, dan pemilik alam semesta ini. Tidak ada orang yang mengingkari hal ini selain orang ateis yang sombong. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam). Ibu-bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari, no. 1292)

  • Bukti akal.

Bahwa semua makhluk, yang terdahulu maupun yang akan datang, pasti ada yang menciptakan. Mereka tidak mungkin menciptakan diri mereka sendiri, dan tidak pula tercipta secara kebetulan. Allah ta’ala menyebutkan dalil akal tentang keberadaan Sang Pencipta dalam surat Ath-Thur, yang artinya, “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” (QS. Ath-Thur:35)

Ketika Jubair bin Muth’im mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini, maka dia–yang tatkala itu masih musyrik–berkata, “Hatiku hampir saja terbang. Itulah permulaan menetapnya keimanan dalam hatiku.” (HR. Al-Bukhari, no. 4573)

  • Bukti syariat.

Bukti syariat tentang wujud Allah sangat banyak. Semua ayat Alquran yang berbicara tentang Allah dan segala sifat-Nya menunjukkan keberadaan Allah ta’ala.

  • Bukti indrawi.

Bukti indrawi tentang wujud Allah ta’ala dapat dibagi menjadi dua:

  • Kita dapat mendengar dan menyaksikan terkabulnya doa orang-orang yang berdoa, serta pertolongan-Nya yang diberikan kepada orang-orang yang mendapatkan musibah. Hal ini menunjukkan secara pasti tentang wujud Allah ta’ala.
  • Mukjizat para nabi dan rasul, yang dapat disaksikan atau didengar banyak orang. Ini merupakan bukti yang jelas tentang wujud Dzat yang memelihara para nabi tersebut, yaitu Allah ta’ala. Karena hal itu terjadi di luar kemampuan manusia, Allah melakukannya sebagai penguat dan penolong bagi para rasul.

Kedua: Mengimani rububiyah Allah ta’ala

Mengimani rububiyah Allah ta’ala maksudnya ‘mengimani sepenuhnya bahwa Dialah satu-satunya Rab, tiada sekutu dan tiada penolong bagi-Nya’.

“Rab” adalah ‘Dzat yang menciptakan, memiliki, serta mengatur semesta alam’. Jadi, tidak ada pencipta selain Allah, tidak ada pemilik selain Allah, dan tidak ada yang bisa mengatur alam semesta, menghidupkan, serta mematikan, selain Allah ta’ala. Allah berfirman, yang artinya, “Ingatlah, menciptakan dan mengatur hanya milik Allah. Mahasuci Allah ….” (QS. Al-A’raf:54)

Tidak ada makhluk yang mengingkari ke-rububiyah-an Allah ta’ala, kecuali orang yang sombong. Pada hakikatnya pula, dia sendiri tidak meyakini kebenaran ucapannya. Bahkan, pada diri Fir’aun sekali pun, meskipun dia mengaku tuhan, namun hatinya yakin bahwa yang benar adalah dakwah Musa, yang mengajak untuk mengesakan Allah.

Allah ta’ala berfirman menceritakan keadaan batin Fir’aun dan pengikutnya ketika mendengar dakwah Musa dan Harun, yang artinya, “Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan mereka. Padahal, hati mereka meyakini (kebenaran) dakwah Musa.” (QS. An-Naml:14)

Demikian juga, perkataan Musa kepada Fir’aun, yang Allah sebutkan dalam Alquran, yang artinya, “Sesungguhnya, kamu telah mengetahui bahwa tidak ada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Rab yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti nyata, dan sesungguhnya aku menganggap kamu, wahai Fir’aun, seseorang yang akan binasa.” (QS. Al-Isra’:102)

Oleh karena itu, sebenarnya, orang-orang musyrik Quraisy juga mengakui rububiyah Allah, meskipun mereka menyekutukan-Nya dalam uluhiyah (penghambaan).

Allah ta’ala berfirman, yang artinya, “Katakanlah, ‘Kepunyaan siapakah bumi ini dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ‘Maka, apakah kamu tidak ingat?’ Katakanlah, ‘Siapakah Empunya langit yang tujuh dan Empunya ‘arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ‘Maka, apakah kamu tidak bertakwa?’ Katakanlah, ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu, sedang Dia melindungi tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ‘(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?’” (QS. Al-Mu’minun:84–89)

Ketiga: Mengimani uluhiyah Allah ta’ala.

Artinya, mengimani dan mengamalkan konsekuensi bahwa Dialah satu-satunya sesembahan yang berhak disembah dan tidak ada sekutu bagi-Nya.

Allah ta’ala berfirman, yang artinya, “Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) melainkan Dia; yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah:163)

Allah juga berfirman, yang artinya, “Allah menyatakan bahwa tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) selain Dia; yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan demikian). Tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) selain Dia; yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Ali Imran:18)

Dakwah para rasul mengajak kaumnya untuk hanya beribadah kepada Allah. Allah berfirman menceritakan ajakan mereka, yang artinya, “Sembahlah Allah oleh kamu sekalian! Sekali-kali, tidak ada Tuhan selain Dia. Maka, mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (QS. Al-Mu’minun:32)

Meski demikian, orang-orang musyrik tetap saja mengingkarinya. Mereka masih saja mengambil tuhan (sesembahan) selain Allah ta’ala. Mereka menyembah serta meminta bantuan dan pertolongan kepada tuhan-tuhan itu. Itulah bentuk menyekutukan Allah.

Pengambilan tuhan-tuhan yang dilakukan orang-orang musyrik ini telah dibatalkan oleh Allah dengan dua bukti:

  • Tuhan-tuhan yang mereka sembah tidak mempunyai keistimewaan uluhiyah sedikit pun, karena mereka adalah makhluk, tidak dapat menciptakan, tidak dapat memberi kemanfaatan, tidak dapat menolak bahaya, tidak menguasai kehidupan dan kematian, tidak memiliki sedikit pun kekuasaan di langit, serta tidak pula ikut memiliki keseluruhannya.

Allah ta’ala berfirman, yang artinya, “Mereka mengambil tuhan-tuhan selain Dia (untuk disembah), yang tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apa pun. Bahkan, mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudaratan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) suatu kemanfaatan pun, dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan, tidak (pula) membangkitkan.” (QS. Al-Furqan:3)

Allah juga berfirman, yang artinya, “Katakanlah, ‘Panggil mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah! Mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarah pun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu saham pun dalam (penciptaan) langit dan bumi, serta sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya. Dan tiadalah berguna syafaat di sisi Allah, melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya untuk memperoleh syafaat.” (QS. Saba’:22–23)

  • Sebenarnya, orang-orang musyrik mengakui bahwa Allah ta’ala adalah satu-satunya Rab, Pencipta, yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu. Mereka juga mengakui bahwa hanya Dialah yang dapat melindungi dan tidak ada yang dapat melindungi-Nya. Ini mengharuskan adanya pengesaan uluhiyah (penghambaan) Allah, sebagaimana mereka mengesakan rububiyah (ketuhanan) Allah.

Allah ta’ala berfirman, yang artinya, “Wahai manusia, sembahlah Rabmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap. Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dengan hujan itu Dia menghasilkan segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu, janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:21–22)

Keempat: Mengimani nama dan sifat Allah ta’ala.

Beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah ta’ala adalah dengan menetapkan nama-nama dan sifat-sifat yang sudah ditetapkan Allah untuk diri-Nya dalam Alquran atau sunah Rasul-Nya, sesuai dengan kebesaran-Nya, tanpa tahrif (penyelewengan), ta’thil (penghapusan), takyif (menanyakan kaifiyahnya), dan tamtsil (penyerupaan).

Allah ta’ala berfirman, yang artinya, “Allah mempunyai asma`ul husna (nama-nama yang indah), maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut asma`ul husna itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Kelak, mereka akan mendapat balasan terhadap perbuatan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf:180)

Dia juga berfirman, yang artinya, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura:11).

Kelompok sesat terkait nama dan sifat Allah

Terkait dengan iman terhadap nama dan sifat Allah, ada dua golongan yang tersesat, yaitu:

Pertama: Golongan Mu’aththilah.

Yaitu golongan yang mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah, atau mengingkari sebagian nama dan sifat Allah, misalnya: menganggap bahwa Allah tidak memiliki wajah, Allah tidak memiliki tangan, dan sebagainya. Padahal, Allah telah menyebutkan dalam Alquran dan hadis bahwa Dia memiliki tangan, wajah, dan kaki yang berbeda dengan makhluknya, sesuai dengan kebesaran dan keagungan Allah.

Menurut anggapan mereka, menetapkan nama-nama dan sifat itu kepada Allah dapat menyebabkan tasybih (penyerupaan), yakni penyerupaan Allah ta’ala dengan makhluk-Nya.

Pendapat ini jelas keliru karena:

1. Sangkaan itu akan mengakibatkan hal-hal yang batil atau salah, karena Allah ta’ala telah menetapkan nama-nama dan sifat-sifat untuk diri-Nya, serta telah menafikan segala sesuatu yang serupa dengan-Nya. Andaikata penetapan nama-nama dan sifat-sifat itu menimbulkan adanya penyerupaan, berarti ada pertentangan dalam firman Allah.

2. Kesamaan dalam nama atau sifat tidak menunjukkan adanya persamaan secara hakikat. Anda melihat ada dua orang yang keduanya adalah manusia yang mendengar, melihat, dan berbicara, tetapi sifat kemanusiaan, pendengaran, penglihatan, dan pembicaraan mereka tidaklah sama. Apabila di antara makhluk-makhluk yang serupa dalam nama atau sifatnya saja jelas ada perbedaan hakikat, maka tentu perbedaan antara Khalik (Pencipta) dan makhluk (yang diciptakan) akan lebih jelas lagi.

Kedua: Golongan Musyabbihah.

Yaitu golongan yang menetapkan nama-nama dan sifat-sifat bagi Allah, lalu mereka menyamakannya dengan sifat makhluk-Nya. Mereka mengira hal ini sesuai dengan nas-nas Alquran, karena Allah berbicara dengan hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat dipahaminya. Anggapan ini jelas keliru, ditinjau dari beberapa hal berikut:

1. Menyerupakan Allah ta’ala dengan makhluk-Nya jelas merupakan sesuatu yang batil, menurut akal maupun syariat. Padahal, tidak mungkin jika nas-nas kitab suci Alquran dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan pengertian yang batil.

2. Allah ta’ala berbicara kepada hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat dipahami dari segi asal maknanya. Akan tetapi, hakikat makna informasi tentang Dzat dan sifat Allah adalah hal yang hanya diketahui oleh Allah. Allah menetapkan untuk diri-Nya bahwa Dia Maha Mendengar. Kata “mendengar” sudah diketahui dari sisi maknanya, yaitu ‘menangkap suara’, tetapi hakikat pendengaran Allah hanya diketahui oleh-Nya. Contoh lain: Allah ta’ala memberitakan tentang diri-Nya bahwa Dia ber-istiwa’ di atas Arsy-Nya. Kata “istiwa’”, dari sisi asal maknanya, adalah satu hal yang sudah dipahami, yaitu ‘berada di atas sesuatu’, tetapi hakikat keberadaan Allah tidak diketahui oleh siapa pun kecuali oleh Dia sendiri.

Buah iman kepada Allah

  1. Mengesakan Allah ta’ala, sehingga tidak menggantungkan harapan kepada selain Allah, tidak takut kepada yang lain, dan tidak menyembah kepada selain-Nya.
  2. Menyempurnakan kecintaan terhadap Allah, serta mengagungkan-Nya sesuai dengan nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang Mahatinggi.
  3. Merealisasikan ibadah kepada Allah dengan mengerjakan segala perintah-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya.
  4. Semakin mengagungkan Allah.

Referensi:

  • Al-Jami’ Ash-Shahih Al-Mukhtashar. Muhammad bin Ismail Al-Bukhari. Dar Ibnu Katsir. Beirut, 1407 H.
  • Syarah Ushul Iman. Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin. Dar Al-Qasim. Arab Saudi. 1419 H.

Artikel www.Yufidia.com

Iman kepada Kitabullah

Kata “kitab” secara bahasa artinya ‘sesuatu yang ditulis’ atau ‘sesuatu yang dikumpulkan’. Asal kata ini memiliki keterkaitan bahwa “kitab” adalah kumpulan data dan informasi yang disatukan. Sedangkan makna kitabullah secara istilah adalah kitab-kitab yang diturunkan Allah Ta’ala kepada para rasul-Nya, sebagai rahmat dan hidayah bagi seluruh manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Mengenal kitab-kitab Allah

1. Taurat

Adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Musa ‘alaihis salam. Allah berfirman, yang artinya, “Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Musa Al-Kitab (Taurat) sesudah Kami binasakan generasi-generasi yang terdahulu, untuk menjadi pelita bagi manusia dan petunjuk dan rahmat, agar mereka ingat.” (QS. Al Qashash: 43)

Allah menurunkan Taurat kepada Musa dalam bentuk tulisan di lembaran sekaligus satu kitab. Allah berfirman, yang artinya, “Dan sesungguhnya telah Kami tuliskan segala sesuatu kepada Musa di dalam lembaran-lembaran (Alwah) sebagai pelajaran dan penjelasan tentang segala sesuatu.” (QS. Al A’raf: 145). Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Maksudnya adalah lembaran-lembaran Taurat.”

Disebutkan dalam hadis dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, tentang kisah dialog antara Nabi Musa dengan Nabi Adam ‘alaihimas salam. Nabi Adam mengatakan, “Hai Musa, Allah telah memilihmu bisa berbicara langsung dengan-Nya dan Allah tuliskan untukmu kitab taurat dengan Tangan-Nya.” (HR. Al Bukhari no. 6240 dan Muslim no. 13)

Taurat adalah kitab utama dan paling agung bagi Bani Israil. Di dalam taurat terdapat rincian syariat dan hukum-hukum mereka, yang Allah turunkan kepada Musa. Syariat dan hukum ini juga dilaksanakan oleh para nabi di kalangan Bani Israil yang diutus setelah Musa. Allah berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya.” (QS. Al Maidah: 44)

Pelajaran penting yang juga bisa diambil dari surat Al Maidah: 44 adalah bahwa penjaga kitab taurat Allah serahkan kepada pendeta-pendeta Bani Israil. Sebagaimana penggalan ayat: “disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah.” Inilah diantara alasan mengapa taurat bisa mengalami perubahan, tidak sebagaimana Alquran.

2. Zabur

Zabur adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Daud ‘alaihis salam. Allah berfirman, yang artinya, “Kami telah memberikan Zabur kepada Daud.” (QS. An Nisa’: 163)

Kitab Zabur berbeda dengan Taurat. Zabur hanya berisi do’a, wirid, pujian-pujian kepada Allah, dan dzikir lainnya, yang Allah ajarkan kepada Nabi Daud ‘alaihis salam. Tidak terdapat keterangan tentang hukum halal-haram dan hukum-hukum lainnya. Sebagaimana keretangan Imam Qatadah, ketika menafsirkan surat An Nisa: 163, beliau mengatakan, Kami (para tabi’in) menyatakan bahwa Zabur hanya berisi do’a yang Allah ajarkan kepada Daud, pujian dan pengagungan untuk Allah ta’ala. Tidak memuat tentang halal dan haram, kewajiban-kewajiban, dan hukuman.

Syariat dan hukum yang dipraktekkan semasa Daud adalah syariat dan hukum yang ada pada taurat. Sehingga syariat Nabi Daud sama dengan syariatnya Nabi Musa ‘alaihis salam.

3. Injil

Adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Isa ‘alaihis salam sebagai pembenar bagi Taurat dan sesuai dengan isi Taurat. Allah berfirman, yang artinya, “Kami iringkan jejak mereka (nabi nabi Bani Israil) dengan Isa putera Maryam, membenarkan Kitab yang sebelumnya, yaitu: Taurat. Dan Kami telah memberikan kepadanya Kitab Injil sedang didalamnya (ada) petunjuk dan dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Kitab Taurat. Dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Maidah: 46)

Para ulama menjelaskan, injil tidak berbeda dengan taurat, kecuali dalam permasalahan sedikit tentang hukum, yang diperselisihkan Bani Israil, sebagaimana yang Allah beritakan tentang perkataan Nabi Isa, yang artinya, “Agar aku mengahalalkan beberapa hal yang dulu diharamkan untuk kalian (di taurat).” (QS. Ali Imran: 50)

4. Suhuf Musa dan Ibrahim

Ada dua ayat yang menyebutkan hal ini. Ayat pertama, firman Allah di surat ayat 36 – 37, yang artinya, “Belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran- lembaran Musa? dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji?” (QS. An Najm: 36 – 37)

Kedua, firman Allah di surat Al A’la, yang artinya, “Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam suhuf-suhuf yang terdahulu (yaitu) suhuf-suhuf Ibrahim dan Musa.” (QS. Al A’la: 18 – 19)

5. Alquran

Para ulama mendefinisikan Alquran sebagai berikut: Firman (kalam) Allah, yang dibawa Malaikat Jibril, kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang berbahasa arab, agar disampaikan kepada seluruh umat manusia, berisi tentang hidayah agama, bernilai pahala jika dibaca, tidak ada kesalahan dan kekurangan sejak dulu hingga masa yang akan datang.

Keterangan:

  • Firman Allah: selain firman Allah bukan Alquran, misalnya perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
  • Dibawa Malaikat Jibril : firman Allah yang dibawa malaikat selain Jibril bukan Alquran disampaikan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam : kalam Allah yang disampaikan kepada nabi-nabi sebelumnya bukan Alquran
  • Berbahasa arab : terjemah Alquran ke bahasa lain bukan Alquran disampaikan kepada seluruh umat manusia : petunjuk yang dibawa untuk semua manusia tanpa pandang perbedaan agama.
  • Berisi hidayah tentang agama: untuk kemaslahatan dunia dan akhirat.
  • Bernilai pahala jika dibaca: hadis qudsi tidak termasuk Alquran karena membaca hadis qudsi tidak bernilai pahala.
  • Tidak ada kesalahan sejak dulu hingga sekarang: Alquran tidak akan mengalami perubahan.

Allah turunkan Alquran kepada Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam secara berangsur-angsur. Allah berfirman, yang artinya, “Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al Isra: 106)

Di antara hikmah Alquran diturunkan secara berangsur-angsur adalah:

  • Menguatkan semangat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat dalam mendakwahkan islam, karena jika diturunkan secara berangsur maka beliau akan sering bertemu dengan Jibril.
  • Menjawab pertanyaan masyarakat, baik dari kalangan sahabat maupun orang kafir.
  • Memberikan solusi dan pemecahan ketika terjadi masalah, baik terkait dengan hubungan antara sesama kaum muslimin maupun hubungan dengan orang kafir.
  • Memudahkan para sahabat untuk menghafal dan menulis Alquran.
  • Memudahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdakwah. Karena terkadang ada beberapa hukum yang disampaikan secara bertahap, seperti pengharaman khamr.
  • Memungkinkan untuk terjadinya nasakh dan mansukh (penghapusan) hukum, sebagaimana hikmah dan keadilan Allah. Allahu a’lam.

Iman kepada kitab-kitab mengandung enam unsur

  1. Mengimani bahwa kitab-kitab ini benar-benar diturunkan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
  2. Mengimani kitab-kitab yang sudah kita kenali namanya, seperti Alquran yang diturunkan kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa Alaihis Sallam, Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa ‘alaihis sallam, dan Zabur yang diturunkan kepada nabi Daud ‘alaihi sallam. Adapun kitab-kitab yang tidak kita ketahui namanya, kita mengimaninya secara global.
  3. Membenarkan seluruh beritanya yang benar, seperti berita-berita yang ada di dalam Alquran, dan berita-berita kitab-kitab terdahulu yang belum diganti atau belum diselewengkan.
  4. Melaksanakan seluruh hukum yang belum dinasakh (dihapus) serta pasrah dan rela terhadap hukum tersebut, baik kita memahami hikmahnya atau tidak.
  5. Meyakini bahwa kitab-kitab yang Allah turunkan saling membenarkan dan tidak ada pertentangan. Yang ada hanya menghapus hukum atau melengkapi.
  6. Meyakini bahwa semua kitab Allah berisi kebaikan, petunjuk, dan keadilan. Tidak ada sedikitpun kandungan yang berisi tentang kejahatan, ajakan untuk merusak, kedzaliman, dan kesesatan.

Adapun seluruh kitab terdahulu (sebelum Alquran) telah dinasakh oleh Alquran, sebagaimana Allah berfirman, yang artinya, “Dan Kami telah turunkan kepadamu Alquran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya), dan sebagai batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu” (QS. Al Maidah: 48)

Oleh karena itu tidak dibenarkan mengerjakan hukum apapun dari kitab-kitab terdahulu, kecuali yang benar dan ditetapkan Alquran.

Buah iman kepada kitabullah

  1. Mengetahui perhatian Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya sehingga menurunkan kitab yang menjadi hidayah (petunjuk) bagi setiap kaum.
  2. Mengetahui hikmah Allah dalam syariat atau hukum-Nya sehingga menetapkan hukum yang sesuai dengan tingkah laku setiap umat. Allah berfirman, yang artinya, “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang” (QS. Al Maidah: 48)
  3. Semakin mensyukuri nikmat Allah.

Referensi:

  1. Al Jami’ Ash Shahih Al Mukhtashar, Muhammad bin Ismail Al Bukhari, Dar Ibnu Katsir, Beirut, 1407 H.
  2. Shahih Muslim, Muslim bin Hajjaj An Naisaburi, Dar Ihya’ At Turats, Beirut.

Artikel www.yufidia.com

10 Kewajiban Anak

Ada 10 hak orang tua yang wajib ditunaikan oleh anak:

  1. Memenuhi kebutuhan pangan ortu jika keduanya memerlukannya. 
  2. Memenuhi kebutuhan sandang ortu jika anak mampu
  3. Memberikan layanan/servis/khidmat kepada ortu jika ortu memerlukannya. 
  4. Merespon dan datang jika ortu memanggil.
  5. Memenuhi permintaan ortu selama permintaannya bukan maksiat. 
  6. Berbicara kepada ortu dengan lembut, tidak kasar.
  7. Tidak memanggil ortu dengan nama langsung.
  8. Berjalan di belakang ortu.
  9. Anak menginginkan terjadi pada ortu apa yang dia inginkan terjadi pada dirinya dan tidak ingin terjadi pada ortu pada yang tidak dia inginkan terjadi pada dirinya. 
  10. Mendoakan ortu agar mendapatkan ampunan Allah setiap kali mendoakan diri sendiri.

(Tanbih al-Ghafilin hlm 124)

Anak itu memiliki kewajiban untuk menafkahi ortu (memenuhi kebutuhan sandang dan pangan) dengan dua syarat:

  1. Ortu memerlukan bantuan
  2. Anak memiliki kebutuhan harta setelah tercukupi kebutuhan dasar untuk diri sendiri, anak dan isteri.

Kewajiban ini berlaku untuk anak laki-laki ataupun perempuan, sudah menikah ataupun belum.

Contoh servis atau khidmah untuk ortu adalah antar belanja, antar ke rumah sakit, pijit ortu dll. 

Berjalan di depan ortu bisa dibenarkan jika dengan tujuan menjaga dan melindungi orang tua.

Penulis: Ustadz Aris Munandar, S.S., M.P.I.

YUFIDIA

Peristiwa Muharram, dari Nabi Adam Hingga Wafatnya Husein

Sejumlah peristiwa penting terjadi di bulan Muharram.

Sebagai penanda bulan pertama dalam penanggalan Hijriyah, Muharram memiliki berbagai makna dan peristiwa. Bulan yang berarti dilarang melakukan peperangan atau pertumpahan darah itu, nyatanya memiliki banyak riwayat dan kisah penting dari sebelum zaman Nabi Muhammad SAW.

Peristiwa pertama yang tercatat adalah bertobatnya Nabi Adam AS kepada Allah atas dosa-dosanya setelah diturunkan ke muka Bumi. Jauh setelahnya, di bulan yang sama juga disebutkan bahwa Kapal Nabi Nuh AS mampu berlabuh di Bukit Zuhdi dengan selamat.

Tak hanya itu, kisah kebalnya Nabi Ibrahim AS dari siksa raja Namrud juga terlaksana dan diabadikan pada bulan Muharram. Pada saat Nabi Ibrahim dibakar hidup-hidup, Allah memberinya mukjizat dan terbebas dari panasnya kobaran api yang membakarnya.

Masih di kisah Nabi, kali ini datang dari zaman Nabi Yusuf AS yang bebas dari penjara karena fitnah yang didapatnya. Bahkan, Nabi Yunus juga mendapat mukjizat serupa di bulan Muharram, ia berhasil keluar dari perut ikan hiu. Nabi Ayyub AS, juga mendapat kesembuhan dari penyakit yang ia derita selama bertahun-bertahun di bulan Muharram.

Lebih lanjut, kisah terkenal Nabi Musa AS yang menyelamatkan kaum Bani Israil dari kekejaman Fir’aun juga terjadi di bulan ini. Bahkan, dalam kejadian itu, sang Nabi diberi mukjizat dengan membelah laut merah untuk menyelamatkan umatnya dari kejaran Fir’aun.

Sementara di Zaman Nabi Muhammad SAW sendiri, bulan Muharram menjadi penanda penting bagi umat Muslim dan sejarah Islam. Pasalnya, pada waktu tersebut, Nabi Muhammad SAW melakukan hijrahnya dari Makkah ke Madinah pada tahun 622 masehi lalu.

Di buku Hijrah dalam Pandangan Al-Quran oleh Dr Ahzami Samiun, disebutkan jika, dampak dari perjalanan Hijrah Nabi Muhammad nyatanya membawa kebaikan dan berkah yang sangat luas terhadap kemanusiaan hingga masa kini.

Dalam Hijrah itu juga disebut beberapa manfaat seperti, mampu menyelamatkan manusia dari perpecahan dan kebingungan akan intimidasi. Bahkan, Hijrah yang dilakukan sekitar 14 abad silam itu, digadang-gadang mampu mendorong Muslimin menempuh jalan selamat yang dibangun di atas kepemimpinan pertama umat Islam. Selain, dari adanya penanggalan Islam yang mulai digunakan.

Namun sayang, masih di bulan Muharram, tepatnya pada 10 Muharram 61 H, ada peristiwa yang memilukan dalam sejarah Islam. Utamanya bagi keluarga Nabi Muhammad.

ada waktu itu, cucu Nabi Muhammad SAW, Husein ra, terbunuh di sebuah tempat yang bernama Karbala. Pembunuhan itu dilakukan oleh pendukung khalifah berkuasa saat itu, Yazid bin Mu’awiyah. Walaupun, khalifah sendiri tidak menyukai kejadian itu.

KHAZANAH REPUBLIKA

Hukum Hormat Kepada Bendera

Pertanyaan ini sering diajukan oleh kaum muslimin, terutama di Indonesia  yang memiliki tata cara penghormatan kepada bendera dengan cara berdiri menghadap bendera dan mengangkat tangan. Muncul beberapa pertanyaan, apakah bentuk peghormatan seperti ini boleh? Apakah dilarang agama? Bahkan ada yang bertanya apakah sampai tahap kesyirikan? 

Hukum hormat bendera diperselisihkan oleh para ulama, ada ulama yang melarang secara mutlak dan ada ulama yang memperbolehkan. Kami nukilkan salah satu dari beberapa fatwa ulama tersebut.

Fatwa ulama yang melarang adalah fatwa Al-Lajnah, berikut kami sajikan fatwanya:

س3: ما حكم تحية العلم في الجيش وتعظيم الضباط وحلق اللحية فيه؟

Pertanyaan: Apa hukum hirmat bendera yang dilakukan oleh tentara, menghormati komandan dan mencukur jenggot?

ج3: لا تجوز تحية العلم، بل هي بدعة محدثة

Jawab: Tidak boleh menghormati bendera, bahkan ini termasuk bid’ah yang dibuat-buat…… [Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah 1/236]

Adapun ulama yang membolehkan adalah Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Ubaikan, beliau menyatakan bahwa hormat bendera tidak sampai pada tahap ibadah dan bendera di zaman ini hanya sebagai syair/lambang negara, tidak sampai pada tahap pengagungan ibadah. Orang yang hormat bendera tidak ada dalam hatinya pengangungan ibadah seperti ini. Berikut penjelasan beliau,

فإن من النوازل التي تحتاج إلى فقه دقيق هي ما ظهر في هذا الزمن من مسألة تتعلق باحترام الدولة ونظامها وتعظيم رمزها ألا وهي تحية العلم , والمقصود القيام تعظيماً للعلم وقد تكلم البعض في هذه المسألة من غير تأصيل ولا تكييف فقهي فأصدروا أحكاماً لها لا تتوافق مع الواقع المحسوس ولا مع ما يقصده من يأتي بالتحية وإذا نظرنا إلى أن العلم أو اللواء في الأصل هو ما تلتف حوله الجيوش وتخاض تحته الحروب فكان رمزاً للقيادة وبسقوطه تحصل الهزيمة , وفي هذا الزمن أصبح العلم هو شعار الدولة فيرفع في المناسبات ويحصل بتعظيمه تعظيم القيادة , وإذا نظرنا إلى حال الذين يقومون بتحية العلم وجدنا أنهم لا يعظمون نوع القماش الذي صنع منه العلم وإنما يعظمون ما هو شعار له, فمن قال من العلماء إن تحية العلم بدعة فإنه يلزم من حكمه أن يكون المحيي للعلم متعبداً لله عز وجل بهذه الوسيلة التي هي تحية العلم وهذا معنى البدعة في الشريعة ولا نجد أحداً يقصد بالتحية هذا المعنى , ولو قال قائل إنه بهذه التحية يعظم نفس العلم تعظيم عبادة فهذا ولا شك شرك بالله عز وجل لا نعلم أحداً فعله, وبتحقيق المناط يتضح جلياً أن الذي يحيي العلم لا يقصد ما تقدم ذكره وإنما يقصد تعظيم الدولة ورمزها

“Permasalahan kontemporer membutuhkan pemahaman yang dalam/detail yaitu fakta di zaman ini mengenai masalah yang terkait dengan menghormati negara, aturan  dan menghormati lambangnya yaitu hormat bendera. Maksud dari berdiri untuk menghormati bendera telah dibahas oleh sebagian orang dengan tanpa dasar fakta dan penggambaran kasus yang valid. mereka mengeluarkan hukum yang tidak sesuai dengan fakta (waqi’), tidak pula sesuai dengan maksud orang yang menghormati bendera. Apabila kita perhatikan, bendera itu asalnya adalah untuk menyatukan pasukan di bawah satu komando dalam peperangan dan menjadi lambang kepemimpinan, apabila bendera jatuh maka bermakna kekalahan. Apabila kita melihat orang yang berdiri dan menghormati bendea, kita dapati mereka tidaklah mengangungkan bendera itu, akan tetapi menghormati sebagai syiar/lambang saja. Apabila ada ulama yang mengatakan bahwa hormat bendera adalah bid’ah dalam syariat, maka ini berkonsekuensi bahwa orang yang hormat bendera sedang beribadah kepada Allah dengan wasilah bendera. Maksud dari bid’ah ini, tidaklah kita dapati pada seorangpun yang melakukan hormat bendera dengan makna ini. Apabila ada seseorang yang mengatakan bahwa menghormati bendera ini untuk tujuan pengagungan ibadah, maka ini tidak diragukan lagi adalah kesyirikan. Tidak kita dapati seseorangpun melakukan/bermaksud seperti ini. Dengan menekankan poin ini, maka jelaslah bahwa orang yang menghormati bendera tidak bermaksud demikian, mereka bermaksud menghormati negara dan lambangnya.” [sumber: https://majles.alukah.net/t46728/]

Dari kedua pendapat ulama ini, kami lebih condong kep  pendapat yang menyatakan bahwa hormat bendera bukanlah bid’ah dan suatu hal yang terlarang karena bukan termasuk ibadah dan hanya bentuk penghormatan kepada negara, sedangkan bendera hanya lambang.

Terkait dengan “pendapat bahwa hormat bendera adalah kesyirikan”, maka ini pendapat yang tidak tepat. Berikut penjelasan syaik Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin,

: أما تحية العَلَم فلا نسلِّم أنها شرك تحية العَلَم ليست بشرك هل سجد له ؟ هل ركع له ؟ هل ذبح له ؟ حتى التعظيم بالسلام هل هو شرك ؟ ليس بشرك

“Adapun hormat bendera, kami tidak setuju apabila dikatakan kesyirikan, hormat bendera bukanlah kesyirikan. Apakah dia sujud kepada bendera? Apakah dia ruku’ kepada bendera? Apakah dia menyembelih untuk bendera? Bahkan apakah menghormati dengan salam apakah kesyirikan? Ini bukanlah kesyirikan.” [sumber: https://www.youtube.com/watch?v=q1C2P8lW-5Y]

Aturan boleh “tidak angkat tangan” untuk hormat bendera secara hukum Indonesia

Ternata hukum di Indonesia tidak mengharuskan atau mewajibkan orang yang hormat bendera dengan mengangkat tangan dan meletakkan di pelipis sebagaimana gerakan hormat bendera. Cukup dengan berdiri dengan meluruskan kedua tangan ke bawah. 

Berikut berita mengenai mantan wakil presiden Indonesia yaitu Jusuf Kalla yang tidak angkat tangan untuk hormat untuk hormat bendera. Hal ini tidak menyalahi aturan secara hukum. Kami nukilka beritanya:

“Mereka yang tidak berpakaian seragam memberi hormat dengan meluruskan lengan kebawah dan melekatkan tapak tangan dengan jari-jari rapat pada paha, sedang semua jenis penutup kepala harus dibuka, kecuali kopiah, ikat kepala, sorban dan kudung atau topi-wanita yang dipakai menurut agama atau adat-kebiasaan.”

Khusus penjelasan mengenai tutup kepala telah dijelaskan sebelumnya dalam penjelasan pasal 20.

Sehingga jika merujuk aturan, seorang Jusuf Kalla tidak melanggar aturan yang ada, karena penghormatan dengan mengangkat tangan dan menempatkannya di pelipis tidak pernah masuk dalam sebuah aturan untuk penaikan dan penurunan bendera pusaka. “Beri Hormat” seperti gerakan pada umumnya, merupakan budaya atau aturan yang dilakukan dalam sebuah organisasi dengan aturan tersendiri. [sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150817144736-12-72678/tak-angkat-tangan-hormati-bendera-jk-tak-salahi-aturan]

Wakil presiden pertama Indonesia Moh Hatta juga tidak mengangkat tangan untuk hormat bendera, sebagaimana digambar dan berita berikut: https://jogja.tribunnews.com/2015/08/17/ini-penjelasan-kenapa-wapres-tak-angkat-tangan-saat-hormat

Kesimpulan:

  1. Terdapat perbedaan pendapat ulama mengenai hukum hormat bendera, ada yang melarang karena dianggap bid’ah dan ada yang membolehkan karena hormat bendera tidak sampai pada tahap ibadah dan bendera di zaman ini hanya sebagai syair/lambang negara, tidak sampai pada tahap pengagungan ibadah
  2. Kami cenderung kepada pendapat ulama yang membolehkan karena orang yang hormat bendera tidak ada dalam hatinya pengangungan ibadah terhadap bendera
  3. Hormat bendera bukan termasuk kesyirikan
  4. Secara hukum indoneisa, boleh tidak angkat tangan untuk hormat bendera dan apabila ada rakyat melakukan hal ini, hendaknya tidak langsung dtuduh “anti-NKRI” atau tidak cinta terhadap Indonesia

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslim.or.id

Pernah Alami Tiga Hal Ini Saat Shalat? Hati-Hati Itu Ulah Setan

Tak mudah menghadirkan kekhusyukan dalam shalat. Ada saja hal-hal yang membuat shalat kita, terkadang sebatas gerakan gugur kewajiban. Bahkan, tak jarang pula, shalat yang kita lakukan bisa terganggu dan menyebabkan batal. 

Qadi Syekh Badruddin bin Abdullah as-Syibli dalam kitabnya Gharaib wa ‘Ajaib al-Jin mengemukakan, di antara perkara yang kerap muncul ketika shalat itu pertama adalah perasaan seakan kita buang gas, namun tidak mencium bau apa pun atau mendengar suara lazimnya buang gas atau  kentut. 

Rasulullah SAW pernah memberi solusi kepada salah seorang sahabat yang mengadu, ketika sedang shalat ia merasakan kejadian itu. Seakan-akan kentut, tetapi tidak mendapatkan bekas apa pun. 

“Hendaknya siapa pun dari kalian tidak membatalkan shalatnya sampai ia mendengar suara (kentut) atau mencium baunya,” kata Rasulullah seperti dinukilkan Bukhari dan Muslim. 

Abdullah bin Mas’ud menjelaskan, munculnya kondisi tersebut adalah ulah setan yang mengganggu manusia melalui aliran darah. Bila seseorang shalat setan datang mengintai dan melakukan apa pun agar si korban kehilangan kekhusyukan dan makna shalat. 

Jurus jitu itu adalah dengan meniup dubur si korban agar muncul keraguan dengan target maksimal adalah membatalkan shalatnya. “Hendaknya ia tidak menggugurkan shalatnya jika tidak mendengar suara atau mencium bau kentut itu,” kata Abdullah bin Mas’ud.

Perkara kedua adalah kantuk. Rasa kantuk yang acap kali datang tiba-tiba di tengah-tengah shalat cukup berakibat fatal terhadap hilangnya konsenstrasi. 

Dan, ternyata, kata Abdullah bin Mas’ud, kantuk yang muncul ketika sedang shalat itu berasal dari gangguan setan. Berbeda dengan rasa kantuk yang datang sewaktu berjihad. “Kantuk yang datang ketika berjihad adalah anugerah dari Allah SWT,” katanya. 

Kemudian, perkara terakhir yang sering dialami saat shalat adalah bersin dan kuap. Bersin tiba-tiba yang tidak disertai flu dan kuap, kata Abdullah, adalah bentuk gangguan setan. 

Agar terhindar dari godaan semacam ini, para ulama mengajurkan agar sebelum shalat, kita membaca istighfar dan al-mu’awwidzatain, yaitu surah al-Falaq dan surah an-Naas.  

KHAZANAH REPUBLIKA

Akhlak Mulia Level Tertinggi

Penulis kitab Tuhfatul Ahwadzi mengatakan, 

وحسن الخلق أي مع الخلق ، وأدناه ترك أذاهم وأعلاه الإحسان إلى من أساء إليه منهم 

“Berakhlak mulia kepada sesama itu level terendahnya adalah tidak mengganggu dan menyakiti orang lain. Sedangkan akhlak mulia level paling tinggi adalah berbuat baik kepada orang yang menyakiti.”

Akhlak mulia kepada sesama manusia itu ada tiga level.

Level terendah adalah cukup dengan menjadi orang yang tidak usil, tidak mengganggu dan tidak berulah dengan ulah yang menyakiti atau membuat tidak nyaman orang lain baik dengan kata-kata ataupun perbuatan. 

Level tengah adalah berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kita. 

Banyak orang bisa sampai level ini. 

Level tertinggi adalah berbuat baik kepada orang yang menyakiti kita semisal senyum manis yang tulus kepada orang yang suka buang muka kepada kita dan bersedekah kepada orang yang hobi memfitnah. 

Hanya manusia pilihan yang bisa sampai level ini. 

Itulah orang yang berakhlak mulia ikhlas lillahi ta’ala. 

Orang tersebut berakhlak mulia bukan karena mengharapkan balasan dunia berupa sikap baik orang kepada dirinya. Dia berkeyakinan bahwa akhlak mulia itu bukan jual beli namun semata berharap pahala di akherat nanti.

Penulis: Ustadz Aris Munandar, S.S., M.P.I.

YUFIDIAH

Letak Pentingnya Tauhid dan Keimanan

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Ketika turun ayat,

الَّذِينَ آمَنُواْ وَلَمْ يَلْبِسُواْ إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُوْلَـئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman (yaitu syirik), maka mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberikan hidayah.” (al-An’aam: 82). 

Maka, hal itu terasa berat bagi para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun mengadu, 

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّنَا لاَ يَظْلِمُ نَفْسَهُ

“Siapakah diantara kami ini yang tidak menzalimi dirinya sendiri?” 

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

لَيْسَ كَمَا تَقُولُونَ ( لَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ ) بِشِرْكٍ ، أَوَلَمْ تَسْمَعُوا إِلَى قَوْلِ لُقْمَانَ لاِبْنِهِ ( يَا بُنَىَّ لاَ تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ )

“Tidak seperti yang kalian sangka. Sesungguhnya yang dimaksud adalah seperti yang dikatakan Luqman kepada anaknya, “Hai anakku, janganlah kamu berbuat syirik. Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.” (Luqman: 13).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi rahimahullah mengatakan, 

“Asal makna zalim dalam bahasa Arab adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Siapa saja yang meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya maka dia dikatakan telah berbuat zalim dalam bahasa Arab. Dan sebesar-besar bentuk kezaliman -dalam artian meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya- adalah meletakkan ibadah kepada selain Yang menciptakan. Maka barangsiapa yang meletakkan ibadah kepada selain Dzat yang menciptakan langit dan bumi itu artinya dia telah meletakkan ibadah bukan pada tempatnya … ” (Lihat al-‘Adzbu an-Namiir min Majalis asy-Syinqithi fit Tafsir, 1/82)

Oleh sebab itulah, di dalam al-Qur’an Allah sering menyebut perbuatan syirik sebagai bentuk kezaliman. Di antaranya adalah firman Allah,

وَلاَ تَدْعُ مِن دُونِ اللّهِ مَا لاَ يَنفَعُكَ وَلاَ يَضُرُّكَ فَإِن فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذاً مِّنَ الظَّالِمِينَ

“Dan janganlah kamu menyeru/beribadah kepada selain Allah sesuatu yang jelas-jelas tidak bisa mendatangkan manfaat dan mudharat kepadamu. Apabila kamu tetap melakukannya maka dengan begitu kamu termasuk orang-orang yang zalim.” (Yunus : 106)

Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah berkata, 

“Semakin bertambah nilai tauhid pada diri seorang hamba, maka akan terhapuslah dosa-dosa sebanding dengan kadar keagungan tauhid itu. Dan semakin bertambah tauhid pada seorang hamba maka dia akan meraih keamanan di dunia dan di akhirat sesuai dengan kadar keagungan tauhid itu di dalam dirinya … ” (Lihat at-Tam-hid, hal. 23) 

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, 

“Apabila seorang mukmin terbebas dari syirik besar dan kecil serta perbuatan zalim kepada sesama maka dia akan memperoleh hidayah dan keamanan yang sempurna di dunia dan di akhirat. Adapun, apabila dia terbebas dari syirik akbar namun tidak bersih dari syirik kecil atau sebagian dosa yang lain maka hidayah yang diperolehnya tidak sempurna. Keamanan yang dirasakannya pun tidak sempurna. Bahkan, bisa jadi dia harus masuk ke dalam neraka akibat kemaksiatan yang dia lakukan dan dia belum bertaubat darinya.” (Lihat Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 19-20, lihat juga at-Tam-hid, hal. 25)

Dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu’anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَأَنَّ عِيْسَى عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلىَ مَرْيَمَ وَرُوْحٌ مِنْهُ، وَالْجَنَّةَ حَقٌّ، وَالنَّارَ حَقٌّ أَدْخَلَهُ اللهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنَ الْعَمَلِ

“Barangsiapa yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah semata tiada sekutu bagi-Nya dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, dan Isa adalah hamba Allah dan utusan-Nya serta kalimat-Nya yang diberikan-Nya kepada Maryam dan ruh dari-Nya, dan bersaksi bahwa surga adalah benar dan neraka adalah benar, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga bagaimana pun amalannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Konsekuensi dari syahadat ‘asyhadu anlaa ilaha illallah’ adalah mengikhlaskan amal untuk Allah semata sehingga tidaklah dipalingkan suatu bentuk ibadah apapun kepada selain-Nya, bahkan seluruh ibadah itu dimurnikan hanya untuk mencari wajah Allah subhanahu wa ta’ala. Dan konsekuensi dari syahadat ‘wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah’ adalah ibadah itu harus sesuai dengan tuntunan yang dibawa oleh Rasul yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu Allah tidak boleh diibadahi dengan bid’ah, perkara-perkara yang baru dalam agama ataupun segala bentuk kemungkaran. (Lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 6/190)

Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menerangkan, 

“Barangsiapa mengikhlaskan amal-amalnya untuk Allah serta dalam beramal itu dia mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka inilah orang yang amalnya diterima. Barangsiapa yang kehilangan dua perkara ini -ikhlas dan mengikuti tuntunan- atau salah satunya maka amalnya tertolak. Sehingga ia termasuk dalam cakupan hukum firman Allah Ta’ala,

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاء مَّنثُوراً

“Dan Kami hadapi segala amal yang telah mereka perbuat kemudian Kami jadikan ia bagaikan debu-debu yang beterbangan.’ (al-Furqan : 23).” (Lihat Bahjah al-Qulub al-Abrar, hal. 14 cet. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, 

“Ikhlas adalah hakikat agama Islam. Karena islam itu adalah kepasrahan kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Maka barangsiapa yang tidak pasrah kepada Allah sesungguhnya dia telah bersikap sombong. Dan barangsiapa yang pasrah kepada Allah dan kepada selain-Nya, maka dia telah berbuat syirik. Dan kedua-duanya, yaitu sombong dan syirik, bertentangan dengan Islam. Oleh sebab itulah, pokok ajaran islam adalah syahadat laa ilaha illallah; dan ia mengandung ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Itulah keislaman yang bersifat umum yang tidaklah menerima dari kaum yang pertama maupun kaum yang terakhir suatu agama selain agama itu. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِيناً فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima darinya, dan di akhirat dia pasti akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran: 85). 

Ini semua menegaskan kepada kita bahwasanya yang menjadi pokok agama sebenarnya adalah perkara-perkara batin yang berupa ilmu dan amalan hati, dan bahwasanya amal-amal lahiriyah tidak akan bermanfaat tanpanya.” (Lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 30)

Iman juga tidak cukup hanya dengan amalan hati. Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Bukanlah iman itu dengan berangan-angan atau menghias-hias penampilan. Akan tetapi hakikat iman itu adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan.” 

Oleh sebab itu, orang yang benar-benar beriman adalah yang mengucapkan keimanan dengan lisan (bersyahadat), menyakininya di dalam hati, dan beramal dengan anggota badan. Barangsiapa mencukupkan diri dengan ucapan lisan dan pembenaran hati tanpa melakukan amalan maka dia bukanlah pemilik keimanan yang benar (Lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam at-Ta’liqat al-Mukhtasharah ‘ala al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 145)

Dengan demikian ayat yang sering kita dengar ketika khutbah Jum’at,

وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

“Dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim.” (Ali ‘Imran : 102); mengandung perintah untuk beriman secara lahir dan batin. Karena syarat untuk masuk surga adalah beriman secara lahir dan batin. Oleh sebab itu Imam al-Baghawi rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan, bahwa maksud dari ayat ini adalah ‘janganlah kalian meninggal kecuali dalam keadaan beriman’ (Lihat tafsir al-Baghawi yang berjudul Ma’alim at-Tanzil, hal. 229)   

Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, 

“Di antara keutamaan tauhid yang paling agung adalah tauhid merupakan sebab yang menghalangi kekalnya seorang di dalam neraka. Yaitu apabila di dalam hatinya masih terdapat tauhid, meskipun seberat biji sawi. Kemudian, apabila tauhid itu sempurna di dalam hati, maka akan menghalangi masuk neraka secara keseluruhan (tidak masuk neraka sama sekali).” (Lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 17)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, 

“Bukanlah yang dimaksud dengan tauhid itu sekedar tauhid rububiyah yaitu keyakinan bahwa Allah semata yang menciptakan alam sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang dari kalangan ahli kalam dan tasawuf. Bahkan, mereka menyangka apabila mereka telah menetapkan kebenaran hal ini dengan dalil maka mereka merasa telah mengukuhkan hakikat tauhid. Mereka beranggapan apabila telah menyaksikan dan mencapai tingkatan ini artinya mereka berhasil menggapai puncak tauhid. Padahal sesungguhnya apabila ada seseorang yang mengakui sifat-sifat yang menjadi keagungan Allah Ta’ala, menyucikan-Nya dari segala sesuatu yang mencemari kedudukan-Nya dan meyakini Allah satu-satunya pencipta segala sesuatu, tidaklah dia menjadi seorang muwahid sampai dia mengucapkan syahadat laa ilaha illallah; tiada sesembahan yang benar kecuali Allah semata, mengakui Allah semata yang berhak diibadahi, menjalankan ibadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya.” (Lihat Fath al-Majid, hal. 15-16)    

Syahadat laa ilaha illallah maknanya adalah seorang hamba mengakui dengan lisan dan hatinya bahwa tidak ada ma’bud [sesembahan] yang benar kecuali Allah ‘azza wa jalla. Karena ilah bermakna ma’luh [sesembahan], sedangkan kata ta’alluh bermakna ta’abbud [beribadah]. Di dalam kalimat ini terkandung penafian dan penetapan. Penafian terdapat pada ungkapan laa ilaha, sedangkan penetapan terdapat pada ungkapan illallah. Sehingga makna kalimat ini adalah pengakuan dengan lisan -setelah keimanan di dalam hati- bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah; dan konsekuensinya adalah memurnikan ibadah kepada Allah semata dan menolak segala bentuk ibadah kepada selain-Nya. (Lihat Fatawa Arkan al-Islam hal. 47 oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah)

Dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa kalimat tauhid ini mengandung makna tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah. Yang dimaksud tauhid ibadah adalah mengesakan Allah dengan segala bentuk perbuatan hamba yang bernilai ibadah -secara lahir maupun batin- seperti halnya shalat, puasa, zakat, haji, menyembelih kurban, nadzar, cinta, takut, harap, tawakal, roghbah, rohbah, doa, dan lain sebagainya yang telah disyari’atkan Allah untuk beribadah kepada-Nya. Dengan kata lain, tauhid ibadah adalah menujukan segala bentuk ibadah kepada Allah semata. Sehingga barangsiapa yang menujukan ibadah kepada selain Allah maka dia termasuk golongan orang kafir dan musyrik (Lihat Ibnu Rajab al-Hanbali wa Atsaruhu fi Taudhih ‘Aqidati as-Salaf [1/297] oleh Dr. Abdullah al-Ghafili)

Dari Abu Dzar radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

أَتَانِي جِبْرِيلُ فَبَشَّرَنِي أَنَّهُ مَنْ مَاتَ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ قُلْتُ وَإِنْ سَرَقَ وَإِنْ زَنَى قَالَ وَإِنْ سَرَقَ وَإِنْ زَنَى

“Telah datang Jibril ‘alaihis salam kepadaku dan dia memberikan kabar gembira kepadaku; bahwa barangsiapa di antara umatmu yang meninggal dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia pasti masuk surga.” Lalu aku berkata, “Meskipun dia pernah berzina dan mencuri?”. Beliau menjawab, “Meskipun dia berzina dan mencuri.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, 

“ … Apabila dia -orang yang bertauhid- itu adalah seorang pelaku dosa besar yang meninggal dalam keadaan terus-menerus bergelimang dengannya (belum bertaubat dari dosa besarnya) maka dia berada di bawah kehendak Allah (terserah Allah mau menghukum atau memaafkannya). Apabila dia dimaafkan maka dia bisa masuk surga secara langsung sejak awal. Kalau tidak, maka dia akan disiksa terlebih dulu lalu dikeluarkan dari neraka dan dikekalkan di dalam surga … ” (Lihat Syarh Muslim [2/168])

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, 

“Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘meskipun dia berzina dan mencuri’, maka ini adalah hujjah/dalil bagi madzhab Ahlus Sunnah yang menyatakan bahwa para pelaku dosa besar -dari kalangan umat Islam, pent- tidak boleh dipastikan masuk ke dalam neraka. Dan apabila ternyata mereka diputuskan masuk (dihukum) ke dalamnya maka mereka [pada akhirnya] akan dikeluarkan dan akhir keadaan mereka adalah kekal di dalam surga … ” (Lihat Syarh Muslim [2/168])

Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu

“Dahulu saya pernah membonceng Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas seekor keledai. Ketika itu beliau berkata kepadaku, 

يَا مُعَاذُ، تَدْرِي مَا حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ؟ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ؟

“Wahai Mu’adz, apakah kamu tahu apakah hak Allah atas hamba dan apa hak hamba kepada Allah?”

Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” 

Beliau bersabda, 

فَإِنَّ حَقَّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوا اللهَ، وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، وَحَقَّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

“Hak Allah atas hamba adalah mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Adapun hak hamba kepada Allah ialah Allah tidak akan menyiksa orang yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” 

Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apakah tidak sebaiknya saya kabarkan berita gembira ini kepada manusia?” 

Beliau menjawab, 

لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا

“Jangan kabarkan berita gembira ini kepada mereka karena itu akan membuat mereka bersandar.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa orang-orang yang bertauhid tempat kembali mereka adalah surga, walaupun sebagian diantara mereka harus diazab terlebih dulu di dalam neraka -karena dosanya- sebab tauhid itulah yang menjadi sebab keselamatan dirinya. Adapun orang-orang kafir, musyrik, dan munafik -nifak akbar- maka tempat tinggal mereka di akhirat adalah neraka. Mereka kekal di dalamnya dan tidak bisa masuk surga (Lihat I’anatul Mustafid, 1/64)

Demikian sedikit kumpulan catatan, semoga bermanfaat bagi penulis dan segenap pembaca. 

Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. 

Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

Artikel: Muslim.or.id

3 Perilaku yang Sangat Dibenci Rasulullah SAW

إنَّ أحبَّكم إليَّ وأقربَكم منِّي في الآخرةِ محاسِنُكم أخلاقًا وإنَّ أبغضَكم إليَّ وأبعدَكم منِّي في الآخرةِ أسوَؤُكم أخلاقًا الثَّرثارون المُتفيهِقون المتشدِّقون

Dalam kitab Riyadhush-Shalihin, Imam an-Nawawi menukil sebuah hadits yang diriwayatkan Imam At-Turmudzi dari Jabir RA. Pada suatu kesempatan, Nabi SAW berkumpul dengan sahabatnya, lalu memberi petuah yang menggetarkan hati. 

“Sesungguhnya, yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat tempat duduknya denganku pada hari kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya. Dan, sungguh yang paling aku benci di antara kalian dan paling jauh duduknya denganku pada hari kiamat adalah al-tsatsaruun dan al-mutasyaddiquun serta al-mutafaihiquun,” kata Rasulullah SAW bersabda. 

Lalu para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, kami mengerti al-tsartsaruun dan al-mutasyaddiquun. Tapi, siapakah al-mutafaihiquun itu?” Beliau SAW menjawab, “Al-mutakabbiruun.”   

Melalui hadits ini, Nabi SAW hendak mengingatkan umatnya soal tiga perkara yang paling dibencinya karena termasuk akhlak al-madzmumah (perilaku buruk), yakni:

Pertamaal-tsartsaruun (orang yang banyak celoteh dan suka membual). Golongan pertama yang dibenci Nabi SAW adalah pembual atau pendusta yang banyak cakap dan lagunya serta pandai pula bersilat lidah. Kadang, ucapannya disertai argumentasi logis dan yuridis, namun mengandung kebohongan dan tipuan. Kalau bicara seenaknya, kurang menjaga adab dan menyela pembicaraan. 

Nabi SAW berpesan, فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ “Katakanlah yang baik atau diam.” (HR Bukhari). Jangan percaya kepada orang yang banyak cakap, tapi minim amal atau tidak sesuai dengan lakunya: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”  (QS [61]:2-3).

Kedua, al-mutasyaddiquun (orang yang suka bicara berlebihan kepada orang lain). Golongan kedua yang dibenci Nabi SAW adalah orang  berlagak fasih dengan tata bahasa yang menakjubkan. Jika bicara, bumbunya berlebihan hingga tak sesuai kenyataan. Lihai dalam bertutur kata, tapi hanya ingin dapat pujian. Tidak jarang pula, bahasanya indah, namun berbisa (menghinakan). Ia pun susah melihat orang senang dan senang melihat orang susah.

Dalam diri manusia ada hati (wadah), akal (pengendali), dan hawa nafsu (keinginan). Jika hati kotor, yang keluar dari lisan pun kotor. Jika baik, yang keluar dari ucapan juga baik: 

 فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا

“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.  Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”  (QS [91]:8-10).             

Ketiga, al-mutafaihiquun (orang yang suka membesarkan diri). Golongan ketiga yang sangat dibenci Nabi SAW, yakni orang sombong atau angkuh. Kesombongan pertama adalah ketika iblis menolak sujud kepada Nabi Adam AS, lalu ia pun dikeluarkan dari surga (QS [5]:29-35). 

Fir’aun yang mengaku Tuhan (QS [79]:23-25,[28]:38), akhirnya ditenggelamkan di Laut Merah. Qarun yang pongah karena harta kekayaannya (QS [28]:76-82), dilenyapkan ke perut bumi. Raja Namrudz yang menyetarakan diri dengan Allah SWT, justru dimatikan seekor nyamuk:     

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رَبِّهِ أَنْ آتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّيَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا أُحْيِي وَأُمِيتُ ۖ قَالَ إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ اللَّهَ يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِي كَفَرَ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: “Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,” orang itu berkata: “Saya dapat menghidupkan dan mematikan”. Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat,” lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS [2]:258). 

KHAZANAH REPUBLIKA

Awal Mula Bangsa Mongol Menerima Islam

Invasi Mongol ke negeri-negeri Islam membuat mereka berinteraksi dengan Islam.

Pada 1258 Masehi, Hulagu bersama kurang lebih 200 ribu pasukannya mengepung  Baghdad. Kota tersebut digempur dan dibombardir sedemikian rupa hingga akhirnya pihak khalifah mengutus tokoh bernama Ibn Al-Alqami untuk menawarkan jalur perundingan. Tetapi, Hulagu Khan menolaknya.

Mongol menyerang Kota Baghdad pada 10 Februari 1258. Khalifah beserta 300 pejabat tinggi negara menyerah tanpa syarat. Sepuluh hari kemudian, mereka dibunuh, termasuk sebagian besar keluarga khalifah dan penduduk yang tak bersalah.

Serangan ke Baghdad, yang notabene merupakan pusat Kekhalifahan Abbasiyah, juga mengakibatkan musnahnya berbagai karya intelektual buah pemikiran para ilmuwan dan filsuf Muslim. Selain membantai, pasukan Mongol juga membakar fasilitas belajar, perpustakaan, serta menenggelamkan berbagai kitab penting kala itu.

Kendati merupakan sejarah kelam bagi Islam, tumpasnya Abbasiyah dan beberapa negeri Muslim lainnya menjadi pintu masuk penyebaran Islam terhadap bangsa Mongol. Seusai menguasai negeri Islam, bangsa Mongol pun hidup berdampingan dengan penduduk Muslim yang kala itu selamat dari peperangan.

Bangsa Mongol bergaul dengan penduduk Muslim dan mulai berkenalan dengan nilai-nilai dan ajaran Islam. Hal tersebut menjadi titik awal dianutnya Islam oleh bangsa Mongol.

Sebelum mengenal Islam, bangsa Mongol merupakan penganut agama Syamaniyah, yakni  kepercayaan menyembah bintang-bintang dan matahari terbit. Adapun nama Tuhan mereka, yaitu Tengri (sang langit biru yang kekal). Agama ini merupakan warisan turun-temurun dari nenek moyangnya.

Kendati mengakui adanya Tuhan, yakni Tengri, bangsa Mongol tidak terlalu mengagungkannya. Mereka justru memuja arwah-arwah, terutama arwah atau ruh yang dianggap jahat. Sebab, menurut mereka, arwah jahat memiliki kemampuan mendatangkan sebuah bencana. Oleh sebab itu, mereka memujanya agar terhindar dari petaka.

Namun, kepercayaan tersebut luruh setelah mereka melakukan invasi ke hampir seluruh negeri di dunia. Mereka seketika berkenalan dengan ajaran agama lain, salah satunya Islam.

Ghazan Khan (1295-1304) adalah seorang raja Kekaisaran Mongol yang beralih memeluk Islam. Sebelumnya, ia, yang telah mengenal beberapa ajaran agama selain Syamaniyah, merupakan penganut Buddha. Setelah menjadi Muslim, Ghazan Kan menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaannya.

Selain Ghazan Khan, tokoh Mongol lainnya, yakni Timur Lenk, juga seorang Muslim. Kendati berwatak kejam, Lenk dikenal pula sebagai seorang yang memberi perhatian terhadap perkembangan Islam.

Dianutnya Islam oleh raja-raja Mongol tersebut memberi dampak signifikan. Yakni, diserapnya Islam oleh segenap bangsa mereka.

KHAZANAH REPUBLIKA