Cara Mengetahui Seseorang Amanah atau tidak Menurut Umar

Umar bin Khattab berbagi kiat mengetahui amanah tidaknya seseorang

Mengetahui orang yang jujur dan amanah tidak hanya dapat dilihat dari seberapa taatnya dia dalam masalah ibadah yang bersifat individual. 

Sayyidina Umar bin Khattab memberikan pengetahuan agar umat Islam dapat membedakan mana orang jujur dan tidak.

Dilansir di Masrawy, Kamis (7/10), seorang pemuda pernah mendatangi Sayyidina Umar bin Khattab untuk bersaksi, dan seorang pemuda lain memberikannya kesaksian dan membenarkan kata-katanya dan yakin akan ketulusan pemuda tersebut. 

Pemuda itu berkata kepada Sayyidina Umar, “Sesungguhnya Fulan adalah pemuda yang jujur,”. Kemudian Sayyidina Umar bertanya kepadanya, “Pernahkah engkau melakukan perjalanan dengannya?” Pemuda itu menjawab, “Tidak.” 

Sayyidina Umar bertanya lagi, “Apakah kamu pernah berselisih dengannya?” Pemuda itu menjawab, “Tidak.” 

Sayyidina Umar bertanya lagi, “Apakah engkau mempercayakan sesuatu kepadanya?” Pemuda itu menjawab, “Tidak.” 

Kemudian Sayyidina Umar berkata kembali, “Maka engkau adalah orang yang tidak mengenal dia.” 

Sayyidina Umar bin Khattab mengingatkan kita tentang etika berhubungan dengan orang lain. Juga mengajarkan untuk menilai seseorang dari pengetahuan mereka. Bahwa sesungguhnya mempercayakan sesuatu kepada orang lain tidak hanya cukup dengan melihatnya saja secara zahir.

Tidak cukup dengan melihatnya sholat, puasa, kecuali sampai kita benar-benar pernah berada di sisi ataupun lingkupnya, lalu kita mempercayainya sebagai orang yang amanah. 

Ibnu Taimiah pernah berkata, “Dan begitu juga keburukan orang yang berbuat maksiat tampak di wajah mereka, namun terkadang orang bingung akan hal itu.” 

KHAZANAH REPUBLIKA

Pesan Rasulullah Bagi Orang yang tak Mau Zakat

Setelah dua tahun hijrah dari Makkah ke Madinah, Rasulullah Saw baru menerapkan sistem zakat secara lembaga. Diawali dengan diwajibkannya zakat fitrah pada bulan Ramadhan dan diwajibkannya zakat maal pada berikutnya.

Mengapa sistem zakat secara lembaga baru dimulai pada tahun kedua hijrah?

Alasannya, pada tahun pertama perekonomian Muslim masih dalam tahap pemulihan pascaperistiwa hijrah dari Makkah. Kaum Muhajirin tidak membawa banyak harta ketika hijrah sebab aset kekayaan mereka berada di Makkah. Alhasil ketika di Madinah mereka pun memulai kembali untuk membangun perekonomian mereka.

Ibnu Katsir menerangkan zakat yang dilaksanakan setelah tahun kedua hijrah adalah kewajiban yang didirikan secara khusus, sedangkan zakat yang dilaksanakan waktu di Makkah adalah kewajiban yang dilakukan oleh sukarela perseorangan semata.

Pada tahun kedua hijrah, perekonomian umat muslim sudah  lebih baik. Kaum Muhajirin sudah mulai memiliki ketahanan ekonomi. Rasulullah memberikan kebijakan wajib zakat. Rasulullah mengutus Mu’adz bin Jabal untuk menjadi Qadhi dan amil zakat di Yaman.

Rasulullah juga mengangkat dan menginstruksikan kepada beberapa sahabat seperti Umar bin Khattab dan Ibn Qais ‘Ubadah Ibn Shamit sebagai amil zakat di tingkat daerah. Sebagai kepala negara, perintah Rasul langsung dijalankan oleh seluruh umat muslim dengan sigap.

Rasulullah mensosialisasikan aturan-aturan dasar, bentuk harta yang wajib dizakatkan, siapa saja yang harus membayar zakat, serta siapa saja yang menerima zakat.

Zakat yang diterapkan Nabi Muhammad mengalami perubahan sifat. Saat di Makkah, zakat dilakukan hanya bersifat sukarela. Setelah hijrah, zakat menjadi kewajiban sosial yang dilembagakan, dan harus dipenuhi oleh setiap muslim yang memiliki harta dan telah mencapai nisab.

Ini beberapa konsekuensi bagi orang-orang yang tidak mau mengeluarkan zakat.

1. Siksa bagi orang yang tak mau berzakat

قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ أَتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَلَمْ يُؤَدِّزَكَاتَهُ مُثِّلَ  لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًاأَقْرَعَ لَهُ زَبِيْبَتَانِ يُطَوِّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ يَأْخُذُبِلَهْزَمَتَيْهِ يَعْنِى شِدْقَيْهِ ثُمَّ يَقُوْلُ اَنَا مَالُكَ اَنَا كَنْزُكَ ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْاَيَةَ  : وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ – اِلْاَيَة.

Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa diberi harta oleh Allah, dan tidak mengeluarkan zakatnya, niscaya pada hari kiamat ia diserupakan dengan ular botak yang mampunyai dua taring. Ular itu melilitnya pada hari kiamat kemudian menangkap dengan kedua rahangnya, lalu ia berkata, “Aku adalah harta bendamu, aku adalah barang simpananmu” Kemudian rasul membaca ayat (yang artinya), “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan hartanya (HR. Bukhari dan Muslim).

2. Ekonomi seseorang akan hancur bila tak mau berzakat

قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :  مَاتَلِفَ مَالٌ فِى بَرٍّ وَلَا بَحْرٍ اِلَّا بَحْرٍبِحَسْبِ الزَّكَاةِ.

Rasulullah Saw bersabda: Tidak jadi rusak harta di daratan dan di lautan kecuali dengan menahan zakat (HR. Thabarani).

3. Neraka bagi orang tak mau zakat

قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَانِعُ الزَّكَاةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِى النَّارِ.

Rasulullah Saw bersabda: Orang yang menahan zakat, pada hari kiamat bertempat di neraka  (HR. Thabarani)

4. Belum diterima puasanya orang yang belum berzakat

قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  : صَوْمُ شَهْرِرَمَضَانَ مُعَلَّقٌ بَيْنَ السَّمَاءِوَالْأَرْضِ وَلَا يُرْفَعُ اِلَّا بِزَكَاةِ الْفِطْرِ.

Rasulullah Saw bersabda: Puasa Ramadhan itu digantungkan antara langit dan bumi, dan tidak diangkat puasa itu kecuali dengan zakat fitrah  (HR. Abu Hafsh bin Syahin)

IHRAM

Celaka atau Bahagia?

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

“Apabila Allah menghendaki kebaikan kepada hamba-Nya (yang berbuat dosa), maka Allah akan bukakan baginya sebuah pintu di antara pintu-pintu taubat, penyesalan, perasaan tidak berdaya, rendah, butuh, memohon keselamatan kepada-Nya, benar-benar memulangkan urusan kepada-Nya, terus-menerus merendah, berdoa, mendekatkan diri kepada-Nya sebisa mungkin dengan berbagai bentuk amal kebaikan. Di mana itu semua pada akhirnya akan bisa mengubah dosa yang telah dia perbuat menjadi sebab datangnya rahmat baginya. Sampai-sampai si musuh Allah (yaitu setan) berkata, ‘Aduhai, andaikata aku biarkan dia (tidak menggodanya) dan tidak menjerumuskannya.’”

Inilah makna dari ucapan sebagian salaf, “Sesungguhnya seorang hamba melakukan suatu dosa, kemudian pada akhirnya justru membuatnya masuk ke dalam surga. Dan bisa jadi dia melakukan suatu kebaikan, pada akhirnya justru membuatnya masuk ke dalam neraka.”

Mereka (teman-temannya) bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?”

Salaf itu pun menjawab,

“Orang itu berbuat dosa lalu dosa itu senantiasa terpampang di hadapan kedua matanya. Sehingga dia terus-menerus merasa takut akan akibatnya, khawatir karenanya, penuh kegelisahan, menangisi dosanya, dan menyesalinya. Dia merasa malu kepada Rabbnya Ta’ala. Kepalanya tertunduk malu di hadapan-Nya. Hatinya pun remuk dan mengiba kepada-Nya.

Dengan demikian, dosa yang telah dilakukannya justru menjadi perantara untuk menggapai kebahagiaan dan keberuntungan hamba tersebut. Sampai-sampai dosa yang telah dia lakukan itu, jauh lebih bermanfaat baginya, daripada sekian banyak amal ketaatan. Dikarenakan hal-hal positif yang muncul karenanya. Di mana dengan itu semua, seorang hamba bisa meraih kebahagiaan dan keberuntungan dirinya. Pada akhirnya dosanya itu justru mengantarkan dirinya masuk ke dalam surga.

Dan bisa jadi seorang hamba melakukan suatu amal kebaikan. Hal itu membuatnya terus merasa berjasa kepada Rabbnya. Dia merasa sombong dengan amalannya itu. Dia melihat keunggulan pada dirinya dan merasa ujub olehnya. Dia pun meremehkan orang dengan sebab prestasinya.

Dia pun berkata, ‘Aku sudah berhasil melakukan ini dan itu.’ Akhirnya, amal kebaikannya itu justru menumbuhkan perasaan ujub dan sombong, berbangga-bangga dan meremehkan orang lain. Pada akhirnya, itu menjadi sebab kebinasaan dirinya.”

Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi orang yang malang ini, Allah akan mengujinya dengan sesuatu yang akan mematahkan keangkuhan dirinya dan menundukkan lehernya. Allah akan membuat dirinya merasa kecil/tidak berarti dalam pandangannya sendiri.

Namun, apabila Allah memiliki kehendak lain kepada orang itu, Allah akan biarkan dirinya bersama dengan buaian perasaan ujub dan sombong yang meliputinya. Inilah justru yang dinamakan dengan khudzlan/keadaan terlantar yang menjadi sebab kehancuran dirinya. Karena sesungguhnya segenap orang yang mengerti telah sepakat bahwa hakikat taufik (dari Allah) itu adalah tatkala Allah tidak menyandarkan urusanmu kepada dirimu sendiri. Adapun khudzlan (keadaan terlantar) itu adalah ketika Allah Ta’ala membiarkan kamu bersandar kepada kemampuan dirimu sendiri.

Dua Sayap Menuju Allah

Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan pada dirinya, maka Allah akan bukakan untuknya pintu perendahan diri dan perasaan tidak berdaya. Sehingga dia selalu memulangkan masalah kepada Allah Ta’ala dan terus merasa butuh kepada-Nya. Ia senantiasa melihat akan aib-aib dirinya, kebodohan yang ada padanya, kezaliman-kezalimannya, dan mengingat tindakan pelanggaran dan permusuhan yang telah diperbuat olehnya.

Di samping itu, ia selalu menyaksikan dan menyadari betapa luas curahan karunia dari Rabbnya, ihsan, rahmat, kedermawanan, kebaikan, kekayaan, dan keterpujian diri-Nya.

Oleh sebab itu, orang yang benar-benar mengenal (Allah), meniti jalannya menuju Allah di antara kedua sayap ini. Dia tidak mungkin berjalan (dengan baik) kecuali dengan keduanya. Kapan saja salah satu di antara kedua belah sayap itu hilang, maka dia bagaikan seekor burung yang kehilangan salah satu sayapnya.

Syaikhul Islam (Abu Isma’il Al-Harawi) mengatakan, “Orang yang ‘arif/mengenal Allah, berjalan menuju Allah di antara musyahadatul minnah/menyaksikan curahan nikmat (yang Allah berikan kepadanya) dan (keadaan) selalu menelaah aib diri dan amalan.”

(lihat Al-Wabil Ash-Shayyib tahqiq Abdurrahman bin Hasan bin Qa’id, hal. 9-11)

Nasihat dan Hikmah Ulama

Masruq rahimahullah berkata,

“Cukuplah menjadi tanda keilmuan seorang tatkala dia merasa takut kepada Allah. Dan cukuplah menjadi tanda kebodohan seorang apabila dia merasa ujub dengan amalnya.”

(lihat Min A’lam As-Salaf [1/23])

Qabishah bin Qais Al-Anbari berkata,

“Adh-Dhahhak bin Muzahim apabila menemui waktu sore, ia menangis. Maka ditanyakan kepadanya, ‘Apa yang membuatmu menangis?’ Beliau menjawab, ‘Aku tidak tahu, apakah ada di antara amalku hari ini yang terangkat naik/diterima Allah.’”

(lihat Aina Nahnu min Akhlaq As-Salaf, hal. 18)

Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,

“Seorang mukmin memadukan antara berbuat ihsan/kebaikan dan perasaan takut. Adapun orang kafir memadukan antara berbuat jelek/dosa dan merasa aman.”

(lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim [5/350] cet. Maktabah At-Taufiqiyah)

Antara Ilmu dan Amalan

Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membuahkan amalan. Kalau seorang hamba memiliki ilmu, namun tidak mengamalkannya maka dia telah mengikuti jalannya orang yang dimurkai (al-maghdhubi ‘alaihim). Adapun apabila dia beramal, namun tanpa landasan ilmu maka dia telah mengikuti jalannya orang yang sesat (adh-dhaallin). Apabila ilmu dan amal itu berjalan beriringan pada diri seorang hamba maka dia telah berjalan di atas jalannya orang-orang yang diberi karunia oleh Allah. Yaitu jalannya para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang saleh. (Thariq Al-Wushul ila Idhah Ats-Tsalatsah Al-Ushul, hal. 21)

Syekh Abdurrazzaq Al-Badr menceritakan, “Suatu saat aku mengunjungi salah seorang bapak tua yang rajin beribadah di suatu masjid tempat dia biasa mengerjakan salat. Beliau adalah orang yang sangat rajin beribadah. Ketika itu dia sedang duduk di masjid menunggu tibanya waktu salat setelah salat sebelumnya. Maka akupun mengucapkan salam kepadanya dan berbincang-bincang dengannya. Aku  berkata, ‘Masya Allah, di daerah kalian ini banyak terdapat para penuntut ilmu.’ Dia berkata, ‘Daerah kami ini?!’. Kukatakan, ‘Iya benar, di daerah kalian ini masya Allah banyak penuntut ilmu.’ Dia berkata, ‘Daerah kami ini?!’ Dia mengulangi perkataannya kepadaku dengan nada mengingkari. ‘Daerah kami ini?!’ Kukatakan, ‘Iya, benar.’ Dia berkata, ‘Wahai puteraku! Orang yang tidak menjaga salat berjamaah tidak layak disebut penuntut ilmu.’” (Tsamrat Al-‘Ilmi Al-‘Amal, hal. 36-37)

Imam Ibnul Qayyim rahimahulllah berkata, “… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan, niscaya Allah Yang Maha Suci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan, niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (Al-Fawa’id, hal. 34)

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang rusak/menyimpang di antara ahli ibadah kita, maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Nasrani. Barangsiapa yang rusak di antara ahli ilmu kita, maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Yahudi.”

Ibnul Qayyim mengatakan, “Hal itu dikarenakan orang Nasrani beribadah tanpa ilmu. Sedangkan orang Yahudi mengetahui kebenaran, akan tetapi mereka justru berpaling darinya.” (Ighatsat Al-Lahfan, hal. 36)

Penulis: Ari Wahyudi

Sumber: https://muslim.or.id/69419-celaka-atau-bahagia.html

Keutamaan Melanggengkan Wudhu dalam Islam

Wudhu adalah salah satu bagian ibadah wajib dari rangkaian sebelumn ibadah lainnya, salah satunya adalah shalat. Wudhu berfungsi untuk menghilangkan hadas kecil. Adapun seseorang yang tidak batal wudhunya lalu hendak melaksanakan shalat wajib atau sunnah lainnya, tetap disunnahkan untuk memperbarui wudhu atau melanggengkan wudhu. Dalam Islam, ada keutamaan tersendiri bagi seseorang yang melanggengkan wudhunya.

Seseorang yang senantiasa dalam keadaan suci dari hadas, di mata Allah memiliki ganjaran dan keutamaan tersendiri. Bahkan saat ia masih dalam keadaan suci, namun telah menggunakan wudhunya untuk shalat fardu, ia mendapat sepuluh kebaikan jika memperbarui wudhunya. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadis,

وَقَدْ رُوِيَ فِي حَدِيثٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ تَوَضَّأَ عَلَى طُهْرٍ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ بِهِ عَشْرَ حَسَنَاتٍ

Artinya: Telah diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Ibnu Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau bersabda: ” Barangsiapa berwudlu dalam keadaan suci maka Allah akan mencatat baginya sepuluh kebaikan.” (HR. Tirmizi)

Kualitas ini dicatat sebagai hadis yang lemah. Akan tetapi, terdapat hadis lain sebagai penguat, yaitu tentang kebiasaan Rasulullah yang senantiasa memperbarui wudhunya saat hendak shalat,

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ لِكُلِّ صَلَاةٍ فَلَمَّا كَانَ عَامُ الْفَتْحِ صَلَّى الصَّلَوَاتِ كُلَّهَا بِوُضُوءٍ وَاحِدٍ وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ فَقَالَ عُمَرُ إِنَّكَ فَعَلْتَ شَيْئًا لَمْ تَكُنْ فَعَلْتَهُ قَالَ عَمْدًا فَعَلْتُهُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Artinya: telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar berkata, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi  dari Sufyan dari Alqamah bin Martsad dari Sulaiman bin Buraidah dari Bapaknya ia berkata; “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berwudlu ketika akan shalat. Dan pada hari penaklukan kota Makkah, beliau mengerjakan semua shalat dengan satu wudlu dan mengusap khufnya. Lalu Umar berkata; “Sungguh, engkau melakukan sesuatu yang tidak biasa engkau lakukan, ” beliau menjawab: “Aku sengaja melakukannya.” Abu Isa berkata; “Hadis ini derajatnya hasan shahih.” (HR. Tirmizi)

Juga terdapat hadis Nabi bahwasanya wudhu dan shalat adalah amalan yang paling utama,

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَقِيمُوا وَلَنْ تُحْصُوا وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمْ الصَّلَاةَ وَلَا يُحَافِظُ عَلَى الْوُضُوءِ إِلَّا مُؤْمِنٌ

Artinya: Telah menceritakan kepada kami [Ali bin Muhammad] berkata, telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Sufyan dari Manshur dari Salim bin Abu Al Ja’d dari Tsauban, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Beristiqamahlah kalian, dan sekali-kali kalian tidak akan dapat menghitungnya. Dan beramallah, sesungguhnya amalan kalian yang paling utama adalah shalat, dan tidak ada yang menjaga wudlu kecuali orang mukmin.” (HR. Ibnu Majah)

Syekh Wahbah Zuhaili, dalam Fiqh al-Islam wa Adillatuhu juga menyebutkan bahwa wudhu adalah cahaya bagi pelakunya. Dan melanggengkan wudhu, saat air mencukupi bukanlah suatu tindakan yang berlebihan. Wallahu a’lam.

BINCANG MUSLIMAH

Doa Setelah Wudhu Ternyata Doa Pembuka Pintu Surga

Surga, bagi yang mengimaninya adalah tempat yang didambakan seluruh manusia. Surga, seperi yang digambarkan oleh Allah dalam Alquran dan hadis adalag tempat yang tak ada rasa sakit, duka, nestapa, dan kesulitan. Surga menjadi tempat bagi orang-orang yang mendapatkan rahmat dan ridho Allah. Adapun ikhtiar manusia selama di dunia adalah dengan berbuat baik agar menjadi perntara mendapatkan ridho dan rahmat Allah. Dan doa setelah wudhu ternyata adalah salah satu yang bisa menjadi pembuka pintu surga.

Ikhtiar muslim dalam menggapai ridho dan rahmat Allah selama di dunia tentu banyak macamnya. Apa yang diajarkan oleh Rasulullah kepada umatnya adalah upaya-upaya mencapai ridho Allah. Salah satu ikhtiyar mendapat kenikmatan surga di akhirat adalah juga dengan berdoa. Dan ternyata doa yang menjadi perantara terbukanya pintu surga salah satunya adalah doa yang dibaca setelah wudhu.

Dalam hadis shahih riwayat Umar bin Khattab, Rasulullah Saw bersabda:

من توضأ فأحسن الوضوءَ ثم قال : أشهد أن لا إله َ الا اللهُ وحده لا شريك له، وأشهد أنَّ محمدًا عبدُه ورسولُه . اللهم اجعلني من التوابين، واجعلني من المتطهِّرين، فُتحت له ثمانيةُ أبوابِ الجنةِ، يدخل من أيّها شاءَ

Artinya: sesiapa yang berwudhu maka baguskanlah wudhunya dan ucapkan: ASY-HADU ALLA ILAAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIKALAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA ROSULUH, ALLOHUMMAJ’ALNII MINATTAWWAABIINA WAJ’ALNII MINAL MUTATHOHHIRIIN (aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, satu-satunya Tuhan dan tiada sekutu bagiNya. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba Allah dan utusanNya. Ya Allah, jadikanlah aku bagian bagian orang-orang yang taubat, dan jadikanlah aku bagian orang-orang yang mensucikan diri) maka akan terbuka delapan pintu surga dan dia akan masuk di pintu manapun sesuai kehendaknya. (HR. at-Tirmizi dan berstatus shahih)

Doa ini adalah doa yang sunnah dibaca setelah wudhu. Ternyata doa ini adalah salah satu ikhtiyar muslim agar terbukanya pintu surga. Dan tentunya doa ini harus dibaca secara konsisten tiap kali selesai dari berwudhu. 

Wallahu a’lam bisshowab.

BINCANG MUSLIMAH

Nasehat Syaikh Muqbil untuk Pasutri

Asy Syaikh Muqbil Bin Hadi Rahimahullah mengatakan, “Kebahagiaan antara suami istri tidak akan terwujud kecuali dengan saling bersabarnya mereka berdua terhadap keluarganya yang lain, saling tolong menolong mereka dalam kebaikan, serta dalam mendidik anak-anak mereka” (Anaqidul Karamah, halaman 77).

Sungguh petuah penuh hikmah agar pasutri mampu menikmati sensasi kebahagiaan sejati yang dikaruniakan Allah azza wa jalla untuk mereka yang merindukan surga. Bersabar menghadapi kekurangan pasangan dengan penuh ketulusan agar semuanya berpahala dan bernilai ibadah. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berwasiat,

لَايَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةٌ إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا اَخَرَ

Janganlah seseorang membenci pasangannya ‘jika ia benci kepada salah satu sikap istrinya, pasti dalam hal lain ia akan rela” (HR. Muslim no 149).

Begitupun sebaliknya, istri perlu memaklumi kekurangan pasangannya seperti dalam sifat atau perangainya selama masih dalam kondisi wajar dan tidak melanggar syariat. Lebih bijak lagi ketika masing-masing pasangan lebih fokus pada kelebihannya agar pernikahan lebih harmonis daripada menyibukkan diri meratapi atau menuntut pasangan agar mengikuti kemauan kita secara frontal.

Poin selanjutnya yang dinasehatkan Asy Syaikh Muqbil bin Hadi yakni pentingnya pasutri saling tolong menolong dalam kebaikan. Pernikahan merupakan gerbang untuk beramal shalih bagi suami istri. Saling menguatkannya untuk tetap dalam koridor ketakwaan pada Allah Azza wa Jalla. Dengan kata lain, hendaknya mengusahakan agar pasutri menjadi mukmin yang shalih dan shalihah di sisi Allah Azza wa Jalla, bertauhid yang lurus sebagaimana perintah Islam, beramal ikhlas dan meneladani Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.

Diriwayatkan dari Umar radhiallahu’anhu, dia berkata, “Sangat sedikit rumah tangga yang dibangun di atas cinta. Namun kebanyakan manusia bergaul (menikahi) pasangannya dengan dasar Islam, menyambung nasab ataupun untuk berbuat ihsan”. Kebahagiaan akan terwujud tatkala pasutri saling berbuat kebaikan kepada pasangannya, menunaikan hak-hak pasangan dengan cara yang makruf.

Poin selanjutnya dari wasiat Asy Syaikh adalah kekompakkan pasutri untk mendidik anak-anaknya dengan berlandaskan syariat. Mengasuh, membimbing dan mendidik anak adalah amanah dari Allah Azza wa Jalla untuk kedua orang tua yang harus ditunaikan sebaik-baiknya.

Allah Azza wa Jalla berfirman,

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا

Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat” (QS. An-Nisa’: 58).

Pasutri harus bersinergi dan berkolaborasi dalam mendidik anak dan mampu menjadi teladan agar sukses membersamai buah hati untuk lebih taat pada Allah Azza wa Jalla, bi izdnillah. Suami dan istri akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Allah Azza wa Jalla berkenaan dengan ihwal anak-anaknya. Ketika pasutri memberikan pendidikan Islam yang terbaik niscaya kebahagiaan akan dirasakan oleh keluarga muslim tersebut.

Demikianlah sekilas tentang tiga perkara yang bisa mendatangkan kecintaan Allah Azza wa Jalla untuk pasutri agar pelabuhan sakinah, mawadah dan penuh rahmah Allah Azza wa Jalla tercipta. Semoga kesabaran dalam menjalani romantika berumah tangga akan berakhir bahagia tatkala mereka melaluinya dengan niat ikhlas. Kesabaran dalam berbuat kebaikan dan mendidik anak-anak akan membuat aura kebahagiaan ketika mereka jalani dengan optimis dan bertawakal kepada Allah Azza wa Jalla.

Semoga Allah Azza wa Jalla selalu menguatkan keimanan para suami menjadi pemimpin rumah tangga yang mampu membebaskan keluarganya dari dahsyatnya siksa neraka.

Referensi : Majalah As-Sunnah, edisi 08 / Tahun VII / 1424 H

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/14006-nasehat-syaikh-muqbil-untuk-pasutri.html

Ini Bacaan Dzikir untuk Memperoleh 1000 Kebaikan dalam Sehari

Perlu diketahui bahwa dengan dzikir tertentu kita bisa meraih 1000 kebaikan dalam sehari dengan membaca suatu amalan yang begitu mudah. Dzikir yang dibaca adalah dzikir yang langsung diajarkan oleh Rasulullah (ma’tsur) berikut ini, minimal membaca dzikir ini sebanyak seratus kali dalam sehari. Pertanyaannya adalah seperti apa dzikir yang diajarkan oleh Nabi tersebut? Mari kita simak ulasan berikut.

Allah Ta’ala adalah Dzat yang Maha Penyayang terhadap seluruh makhluk dan hamba-Nya. Ia memberikan cara agar semua makhluk ciptaan-Nya bisa dengan mudah mendapat kebaikan serta menghapus dosa-dosa kita. Akan tetapi, ternyata kadang banyak orang yang lupa bahkan tidak tahu bahwa ada cara mudah yang dianjurkan untuk menggapai seribu kebaikan jumlahnya.

Caranya adalah dengan istiqamah (continue) mengucapkan dzikir tasbih sebanyak seratus kali setiap hari. Apabila dzikir tersebut senantiasa kita dawamkan, maka Allah akan memberikan seribu kebaikan untuk mereka yang selalu mengingat-Nya. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad dalam salah satu hadisnya sebagaimana berikut,

وَعَنْ سَعْدٍ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَكْسِبَ فِي كُلِّ يَوْمٍ أَلْفَ حَسَنَةٍ ! فَسَأَلَهُ سَائِلٌ مِنْ جُلَسَائِهِ : كَيْفَ يَكْسِبُ أَلْفَ حَسَنَةٍ ؟ قَالَ : يُسَبِّحُ مِئَةَ تَسْبِيحَةٍ فَيُكْتَبُ لَهُ أَلْفُ حَسَنَةٍ ، أَوْ يُحَطُّ عَنْهُ أَلْفُ خَطِيئَةٍ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Artinya: Dari  sahabat Sa’ad bin Abi Waqqash, berkata,“Kami berada di sisi Rasulullah setelah itu Rasulullah bertanya, “Apakah salah satu dari kalian mampu memperoleh seribu kebaikan dalam sehari” kemudian ada seorang sahabat lain bertanya “Wahai Rasulullah bagaimana mungkin seseorang akan mampu meraih seribu kebaikan dalam sehari?” Rasulullah menjawab, “Ketahuilah bahwa orang yang membaca tasbih seratus kali akan dicatat seribu kebaikan untuknya dan dihapus seribu kesalahan darinya.” (HR. Muslim)

berdasarka hadis di atas kita dapat mengetahui bahwa amalan seribu kebaikan dalam sehari yaitu dengan cara membaca dzikir tasbih yang berbunyi سبحان الله  “Subhaanallah”, yang artinya Maha Suci Allah.

Bacaan dzikir tasbih ini memiliki makna yaitu Allah Mah a Suci dan bersih dari berbagai persangkaan dan tuduhan orang-orang musyrik yang mengatakan bahwa Allah memiliki anak dan sekutu. Dzikir tasbih ini juga memiliki tujuan yang lebih dalam bagi manusia untuk lebih merasakan keagungan sang Pencipta.

Dalam riwayat yang lain milik Imam Muslim juga disebutkan,

غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ

Artinya:  Maka kesalahannya akan diampuni meskipun sebanyak buih di lautan. (HR. Muslim)

Kalimat tasbih “Subhanallah” ini sangat mudah sekali diucapkan, namun dalam praktiknya terkadang masih susah dijalankan bahkan malah banyak yang sering lupa.

‘Alakullihal, janganlah menilai kebaikan hanya dengan menghitung angka-angka yang ada di dunia saja. Sehingga kita menjadi lupa kalau sebenarnya kita juga membutuhkan bekal saat menuju akhirat yang kekal dan abadi. Semoga bermanfaat. Wallahua’lam.

BINCANG MUSLIMAH

Masalah Kebersihan Jadi Perhatian Rasulullah

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam menaruh perhatian akan pentingnya kebersihan. 

Mengutip buku Kesehatan Dalam Persepektif Alquraan karya Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang Dan Diklat Departemen Agama RI Tahun 2009, bahwa Allah SWT telah perintahkan Rasulullah agar menyucikan pakaiannya terlebih dahulu karena pakaian sebagai tampilan pertama dalam pergaulan, sebagaimana diperintahkan dalam Surah al-Muddassir ayat 4. “Dan pakaianmu bersihkanlah.”

Banyak penafsiran yang dikemukakan ulama tentang perintah menyucikan baju ini. Ada yang menyebutkan bersih dari syirik, kemaksiatan, dan kebersihan hati. Tetapi Ibnu Jarir at-Tabari setuju dengan pendapat Ibnu Sirin, yaitu suci dari kotoran, sebagaimana dikutip Ibnu Kasir: Berkata Muhammad bin Sirin.”Dan sucikanlah pakaianmu.” Artinya, “Basuhlah dengan air’ karena sebagaimana dikatakan Ibnu Zaid, orang-orang musyrik itu tidak bersuci, maka Allah memerintahkan agar bersuci dan menyucikan pakaiannya.”

Pendapat ini yang diambil Ibnu Jarir at-Tabari, sebagaimana dikutip Ibnu Kasir. Az-Zuhaili, memaknai potongan ayat fatahhir, “Sucikan pakaianmu dari berbagai macam najis karena kesucian itu wajib dalam salat (dan disukai di luar salat), yaitu dengan cara membasuh pakaian atau menjaganya agar tidak kena najis atau memaknainya dengan “Sucikan dirimu dari perbuatan-perbuatan dan perilaku buruk.”

Kemudian beliau melanjutkan pengertian ayat ini dengan ungkapan, “Sucikan pakaianmu dari najis ainiyah (najis yang kongkrit) dan najis hukmiyyah (najis secara hukum), dan bersihkan dirimu dari dosa-dosa yang akan membawa kepada siksa, serta hiasilah dirimu dengan akhlak mulia.”

Prof Quraish Shihab secara panjang lebar mengelaborasi ayat ini dengan melihat aspek pengertian ayat secara hakiki, yakni baju, yang tidak diartikan lain, dan tahhir yang artinya. “Menyucinya dari kotoran, termasuk najis; walaupun banyak ulama yang mengartikan makna majazi (kiasan) seperti dikemukakan di atas.”

Menurut Prof Quraish Shihab siyab mungkin saja dimaknai majazi, seperti hati, jiwa, usaha, badan, budi pekerti, keluarga dan istri,walaupun untuk kata istri, Al-Qur΄an menggunakan kata libas (pakaian) bukan siyab (baju). 

Selain itu, kata tahhir dimaknai sebagai membersihkan dari kotoran, dan secara majazi, kata tahhir berarti menyucikan diri dari dosa atau pelanggaran. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka terdapat empat kelompok ulama yang memiliki penafsiran berbeda, yaitu: 

Pertama, ulama yang memahami kedua kosakata itu dalam arti  majazi. 

Kedua, dalam arti hakiki, yakni membersihkan pakaian dari segala kotoran dan tidak mengenakannya kecuali dalam keadaan bersih, sehingga nyaman dan enak dipandang.

Ketiga, mengartikan siyab dalam arti majazi dan tahhir dalam arti hakiki, sehingga ayat itu diartikan, ‘‘Bersihkan jiwa (hatimu) dari kotoran-kotoran”. 

Keempat, siyab dalam arti hakiki dan tahhir dalam arti majazi, yakni perintah untuk mencuci pakaian dan memakainya secara halal, menutup aurat setelah memperolehnya dengan cara yang halal pula”. Selanjutnya, ia menyatakan.

“Penulis cenderung memilih pendapat yang menjadikan kedua kata tersebut dalam arti hakiki.” 

IHRAM

Beberapa Non-Muslim Saksi Kenabian Nabi Muhammad

Sebelum muncul Nabi Muhammad SAW, wilayah Arab adalah rumah bagi orang-orang Yahudi, Kristen, dan pagan Arab. Saat itu, masyarakat pra-Islam, seperti Yahudi dan Kristen di Arab tengah menunggu datangnya seorang Nabi. 

Saat Rasulullah muncul, beberapa dari mereka ada yang percaya dan ada yang menolak. Oleh karena itu, Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 89:

وَلَمَّا جَاۤءَهُمْ كِتٰبٌ مِّنْ عِنْدِ اللّٰهِ مُصَدِّقٌ لِّمَا مَعَهُمْۙ وَكَانُوْا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُوْنَ عَلَى الَّذِيْنَ كَفَرُوْاۚ فَلَمَّا جَاۤءَهُمْ مَّا عَرَفُوْا كَفَرُوْا بِهٖ ۖ فَلَعْنَةُ اللّٰهِ عَلَى الْكٰفِرِيْنَ

“Dan setelah sampai kepada mereka Kitab (Alquran) dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka sedangkan sebelumnya mereka memohon kemenangan atas orang-orang kafir, ternyata setelah sampai kepada mereka apa yang telah mereka ketahui itu, mereka mengingkarinya. Maka laknat Allah bagi orang-orang yang ingkar.”

Ada beberapa orang Kristen yang menjadi saksi atas kenabian Rasulullah. Saksi pertama adalah Buhaira yang merupakan pendeta Nasrani. 

Dia mengakui kenabian Muhammad saat dia masih muda dan memberi tahu pamannya. “…Keberuntungan besar ada di depan keponakanmu, jadi bawa dia pulang dengan cepat.”photoInfografis 4 Ujian yang Kuatkan Nabi Muhammad – (Republika.co.id)

Sementara saksi kedua adalah Waraqah bin Naufal. Dia merupakan cendekiawan Kristen yang meninggal tak lama setelah pertemuan tunggal dengan Nabi Muhammad. Waraqah membuktikan Rasulullah adalah Nabi pada masanya dan menerima wahyu seperti Musa dan Yesus.

Dilansir About Islam, Senin (4/10), saksi ketiga dan keempat adalah dua rabi Yahudi terkenal, yaitu Abdullah bin Salam dan Mukhayriq. Saat itu, orang-orang Yahudi di Madinah dengan cemas menunggu kedatangan Nabi. 

Saksi keenam dan ketujuh yang juga merupakan rabi Yahudi berasal dari Yaman adalah Wahb bin Munabbih dan Ka’b al-Ahbar. Ka’b menemukan bagian panjang pujian dan deskripsi Nabi yang dinubuatkan oleh Musa dalam Alkitab.

Allah berfirman dalam surat Asy-Syu’ara’ ayat 197:

اَوَلَمْ يَكُنْ لَّهُمْ اٰيَةً اَنْ يَّعْلَمَهٗ عُلَمٰۤؤُا بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ

“Apakah tidak (cukup) menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya?”

IHRAM

Tata Cara Membaca Surah Alquran Setelah Alfatihah dalam Shalat

Salah satu dari perkara sunnah dalam ibadah shalat adalah membaca surah Alquran setelah membaca surah Alfatihah pada dua rakaat pertama. Agar kesunahan ini lebih sempurna, berikut tata cara  membaca surah Alquran dalam shalat.

Kesunahan membaca salah satu surah Alquran setelah Alfatihah berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:

فِي كُلِّ صَلاَةٍ يُقْرَأُ، فَمَا أَسْمَعَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْمَعْنَاكُمْ، وَمَا أَخْفَى عَنَّا أَخْفَيْنَا عَنْكُمْ، وَإِنْ لَمْ تَزِدْ عَلَى أُمِّ القُرْآنِ أَجْزَأَتْ وَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ

“Di setiap shalat, ada bacaan Alquran. Apa yang kami dengar dari Rasulullah saw. maka diperdengarkan kepada kalian. Dan apa yang disamarkan oleh Rasulullah saw. maka kami samarkan kepada kalian. Jika kamu tidak menambah bacaan setelah Alfatihah, maka sudah dianggap cukup. Jika kamu menambah bacaan lagi, maka hal itu menjadi lebih baik lagi” (HR. al-Bukhari no. 772 & HR. Muslim no. 396)

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membaca surah Alquran setelah Alfatihah, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Fathul Muin halaman 19 sebagai berikut:

Pertama, surah Alquran dibaca pada dua rakaat pertama saja. Kesunahan membaca ayat Alquran berlaku bagi imam, orang yang shalat sendirian, dan orang yang bermakmum kepada imam yang membaca ayat Alquran dengan suara pelan.

Kedua, surah yang telah dibaca pada rakaat pertama boleh diulang lagi pada rakaat kedua. Juga boleh mengulang bacaan Alfatihah jika memang tidak hapal surah lainnya. Bahkan boleh membaca basmalah saja, asalkan tidak dimaksudkan sebagai awal surah Alfatihah.

Ketiga, membaca satu surah Alquran secara lengkap dari awal sampai akhir lebih baik daripada membaca surah panjang namun hanya sebagiannya saja. Kecuali ada nash yang menganjurkan hal sebaliknya pada momen tertentu. semisal membaca surah secara terpotong-poton ketika shalat tarawih  untuk mempermudah khatam Alquran, atau mengikuti anjuran membaca ayat ayat surah al-Baqarah dan Ali Imran saat shalat subuh.

Keempat, surah yang dibaca pada rakaat pertama lebih panjang daripada surah yang dibaca di rakaat kedua. Contoh: rakaat pertama membaca surah al-Maun (7 ayat), kemudian rakaat kedua membaca surah al-Ikhlas (4 ayat). Tuntunan ini berdasarkan hadits Nabi SAW:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الأُولَيَيْنِ مِنْ صَلاَةِ الظُّهْرِ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ، وَسُورَتَيْنِ يُطَوِّلُ فِي الأُولَى، وَيُقَصِّرُ فِي الثَّانِيَةِ وَيُسْمِعُ الآيَةَ أَحْيَانًا، وَكَانَ يَقْرَأُ فِي العَصْرِ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ وَسُورَتَيْنِ، وَكَانَ يُطَوِّلُ فِي الأُولَى، وَكَانَ يُطَوِّلُ فِي الرَّكْعَةِ الأُولَى مِنْ صَلاَةِ الصُّبْحِ، وَيُقَصِّرُ فِي الثَّانِيَةِ

“Nabi SAW. membaca surah Alfatihah pada dua rakaat pertama shalat zhuhur dan juga membaca dua surah yang panjang pada rakaat pertama dan surah pendek pada rakaat kedua.  Terkadang hanya satu ayat. Beliau membaca Alfatihah pada dua rakaat pertama shalat ashar dan juga membaca dua surah dengan surah yang panjang pada rakaat pertama. Beliau juga biasanya memperpanjang bacaan surah pada rakaat pertama shalat subuh dan memperpendeknya pada rakaat kedua” (HR.al-Bukhari no. 756 & Muslim no. 392)

Kelima, surah yang dibaca pada rakaat pertama letaknya (urutannya dalam mushaf) lebih dahulu atau lebih awal daripada  surah yang dibaca pada rakaat kedua. Sebagaimana contoh di atas, surah al-Maun (surah ke-107) urutannya lebih awal daripada surah al-Ikhlas (surah ke-112).

Jadi, surah yang dibaca pada rakaat pertama harus lebih panjang ayatnya dan lebih awal urutannya dalam mushaf daripada surah di rakaat kedua. Namun, apabila terjadi pertentangan antara panjang surah dengan urutannya dalam mushaf, maka sebaiknya lebih mendahulukan urutannya.

Semisal, pada rakaat pertama sudah membaca surah al-Ikhlas (4 ayat). Lantas, apakah pada rakaat kedua kita akan membaca surah al-Falaq sesuai urutan surah dalam Alquran, atau membaca surah al-Kautsar yang ayatnya lebih pendek (3 ayat)?Berdasarkan pendapat ini, maka sebaiknya kita membaca al-Falaq sesuai dengan urutannya.

Dengan demikian, akan sangat aneh bila ada seorang yang membaca surah an-Nas pada rakaat pertama. sebab ia merupakan surah paling terakhir dalam mushaf Alquran. sehingga, surah apapun yang dibaca pada rakaat kedua, tentu akan menyelisihi aturan membaca surah sebagaimana dijelaskan di atas.

Ada catatan penting: aturan terakhir ini tidak berlaku ketika ada ayat atau hadis khusus yang mengatur sebaliknya, seperti anjuran membaca surah al-A’la pada rakaat pertama & surah al-Ghasyiyah pada rakaat kedua saat shalat Jumat & shalat hari raya, atau di saat membaca surah panjang pada rakaat kedua agar banyak makmum masbuq yang bisa menyusul shalat

Wallahu a’lam

BINCANG SYARIAH