Yakin Peristiwa Isra’ Mi’raj Terjadi di Bulan Rajab?

Pada hari ini kita sudah menginjakkan kaki di bulan Rajab. Bulan ini merupakan bagian dari asyhurul hurum yang di dalamnya ada sebuah peristiwa besar dalam sejarah Islam, yaitu Isra’ dan Mi’raj. Sudah masyhur kita ketahui Isra’ dan Mi’raj umumnya diperingati pada tanggal 27 Rajab, karena populernya Isra’ dan Mi’raj terjadi pada tanggal tersebut. Bahkan negara kita ini secara khusus menyediakan libur Isra’ dan Mi’raj secara nasional setiap tahun pada tanggal Masehi yang bertepatan dengan tanggal 27 Rajab.

Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah bisa dipastikan jika peristiwa besar dalam sejarah Islam tersebut memang benar-benar terjadi pada tanggal 27 Rajab? Ulama masih berbeda pendapat apakah peristiwa Isra’ dan Mi’raj nabi benar terjadi pada bulan ini. Mari kita simak ulasan berikut.

Syaikh Sofiyurrahman Al-Mubarakfuri dalam kitab fenomenalnya Rakhiqil Makhtum menyebutkan enam macam pendapat yang menjelaskan waktu terjadinya Isra’ dan Mi’raj. Tetapi tidak ada satupun yang pasti. Oleh karena itu, tidak diketahui secara persis kapan tanggal terjadinya Isra’ dan Mi’raj. Hal ini didukung oleh Al-Aini dalam karyanya Umdatul Qari dan Imam Nawawi dalam kitab Al-Minhaj menyebutkan beberapa tanggal terjadinya Isra’ dan Mi’raj.

Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa Isra’ dan Mi’raj terjadi pada tahun kedua pasca diutusnya Nabi Muhammad sebagai Nabi.

Kedua, Isra’ dan Mi’raj terjadi pada tahun kelima pasca diutusnya Nabi. Pendapat ini diamini oleh Imam Nawawi dan Qurthuby.

Ketiga, pendapat yang dipilih oleh Al-Manshur Faury, yakni pendapat yang lumrah dan populer di kalangan masyarakat, 27 Rajab tahun kesepuluh pasca diutusnya Nabi.

Keempat, pendapat Imam Baihaqi yang menyitir pendapat Az-Zuhri, Isra’ dan Mi’raj terjadi pada Rabi’ul Awal tahun ketiga belas pasca diutusnya Nabi, yakni satu tahun sebelum hijrahnya Nabi ke Madinah.

Kelima, menurut pendapat yang dikemukakan oleh As-Sadi, Isra’ dan Mi’raj terjadi pada sembilan belas bulan sebelum peristiwa Hijrah, yakni bertepatan dengan bulan Dzul Qa’dah.

Keenam, menurut Sayyid Al-Harby, Isra’ dan Mi’raj terjadi pada tanggal 27 Rabiul Akhir satu tahun sebelum hijrahnya Nabi.

Ketujuh, Isra’ dan Mi’raj terjadi pada bulan Ramadhan tahun kedua belas pasca kenabian, yakni enam belas bulan sebelum hijrahnya Nabi.

Kedelapan, Isra’ dan Mi’raj terjadi pada bulan Muharram 13 tahun pasca kenabian, yaitu bertepatan dengan satu tahun dua bulan sebelum hijrahnya Nabi.

Selain beberapa pendapat di atas, ada juga pendapat yang sangat lemah, yaitu terjadinya Isra’ dan Mi’raj sebelum Rasulullah diutus dan diangkat sebagai Nabi.

Hal ini dibantah oleh Imam Nawawi dalam kitab Minhaj-nya. Imam Nawawi menuturkan bahwa pada malam Isra’ dan Mi’raj tersebut Nabi diperintahkan untuk mengerjakan shalat. Dan tidak mungkin hal itu terjadi jika Nabi belum mendapatkan wahyu. Hal ini juga dibuktikan dengan pendapat Ibnu Hisyam dalam karyanya Tarikh Ibnu Hisyam bahwa pada saat terjadinya Isra’ dan Mi’raj, Islam sudah tersebar di Kota Mekkah.

Ada pendapat lain yang menyebutkan bahwa Isra’ dan Mi’raj terjadi pada hari Jumat pertama bulan Rajab. Karena pada malam itu merupakan malam renungan atau malam kesedihan di mana Nabi merasa sedih karena ditinggalkan oleh paman dan istri tercintanya, Sayyidah Khadijah. Namun menurut Al-Aini, pendapat ini tidak ada dasar sumbernya.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, manakah yang paling benar atau minimal mendekati benar? Secara sharih (jelas) memang belum bisa disimpulkan pendapat mana yang paling benar. Namun, semua pendapat tersebut berlabuh kepada dua hal, yakni Isra’ dan Mi’raj yang terjadi pasca diutusnya Nabi Muhammad sebagai Nabi dan sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Perbedaan ini dipengaruhi gaya perhitungan yang berbeda oleh masing-masing pendapat.

Masing-masing dari pendapat diatas ada yang mendasarkan pada sebuah kejadian, seperti sudah tersebarnya Islam di Mekkah dan lain sebagainya. Ada pula yang mengacu pada jumlah bulan pasca diutusnya nabi maupun sebelum hijrahnya Nabi. Sehingga wajar jika menimbulkan banyak pendapat. Kapan seharusnya kita memperingati Isra’ dan Mi’raj?

Yang terpenting dan paling inti pada momen peringatan Isra’ dan Mi’raj adalah semangatnya, yaitu semangat untuk selalu mengingat usaha dan jerih payah Nabi Muhammad untuk umatnya. Lebih-lebih dalam hal bilangan shalat fardhu. Serta kisah-kisah pertemuan nabi dengan berbagai kejadian yang mengiringi Isra’ dan Mi’raj. Karena yang paling penting adalah belajar dari kejadian-kejadian tersebut dan muhasabah (introspeksi diri) agar menjadi umat Nabi Muhammad yang taat terhadap semua tuntunan-tuntunannya.

Wallahua’lam Bis Shawab.

BINCANG MUSLIMAH

Manfaat Besar Tasbih, Tahmid, dan Takbir Usai Sholat 5 Waktu

Terdapat manfaat yang sangat besar membaca tasbih, tahmid, dan takbir

Ada banyak amalan sehari-hari yang bisa dijadikan sebagai perantara untuk meminta kelancaran rezeki kepada Allah SWT. Dan ternyata salah satunya sederhana dilakukan dan lekat dengan sholat sehari-hari yaitu membaca tasbih, tahmid, dan takbir setelah sholat lima waktu. 

Hal ini sebagaimana hadits riwayt Abu Hurairah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: 

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ جَاءَ الْفُقَرَاءُ إِلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالُوا ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ مِنَ الأَمْوَالِ بِالدَّرَجَاتِ الْعُلاَ وَالنَّعِيمِ الْمُقِيمِ ، يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّى ، وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ ، وَلَهُمْ فَضْلٌ مِنْ أَمْوَالٍ يَحُجُّونَ بِهَا ، وَيَعْتَمِرُونَ ، وَيُجَاهِدُونَ ، وَيَتَصَدَّقُونَ قَالَ « أَلاَ أُحَدِّثُكُمْ بِأَمْرٍ إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ أَدْرَكْتُمْ مَنْ سَبَقَكُمْ وَلَمْ يُدْرِكْكُمْ أَحَدٌ بَعْدَكُمْ ، وَكُنْتُمْ خَيْرَ مَنْ أَنْتُمْ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِ ، إِلاَّ مَنْ عَمِلَ مِثْلَهُ تُسَبِّحُونَ وَتَحْمَدُونَ ، وَتُكَبِّرُونَ خَلْفَ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ » . فَاخْتَلَفْنَا بَيْنَنَا فَقَالَ بَعْضُنَا نُسَبِّحُ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ ، وَنَحْمَدُ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ ، وَنُكَبِّرُ أَرْبَعًا وَثَلاَثِينَ . فَرَجَعْتُ إِلَيْهِ فَقَالَ « تَقُولُ سُبْحَانَ اللَّهِ ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ ، حَتَّى يَكُونَ مِنْهُنَّ كُلِّهِنَّ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ

“Ada orang-orang miskin datang menghadap Nabi. Mereka berkata, orang-orang kaya itu pergi membawa derajat yang tinggi dan kenikmatan yang kekal. Mereka sholat sebagaimana kami shalat. Mereka puasa sebagaimana kami berpuasa. Namun mereka memiliki kelebihan harta sehingga bisa berhaji, berumrah, berjihad serta bersedekah. 

Nabi lantas bersabda, “Maukah kalian aku ajarkan suatu amalan yang dengan amalan tersebut kalian akan mengejar orang yang mendahului kalian dan dengannya dapat terdepan dari orang yang setelah kalian. Dan tidak ada seorang pun yang lebih utama daripada kalian, kecuali orang yang melakukan hal yang sama seperti yang kalian lakukan. Kalian bertasbih, bertahmid, dan bertakbir di setiap akhir sholat sebanyak tiga puluh tiga kali.”

Kami pun berselisih. Sebagian kami bertasbih tiga puluh tiga kali, bertahmid tiga puluh tiga kali, bertakbir tiga puluh empat kali. Aku pun kembali padanya. Nabi bersabda, “Ucapkanlah subhanallah wal hamdulillah wallahu akbar, sampai tiga puluh tiga kali.” (HR Bukhari, no 843). Abu Shalih yang meriwayatkan hadits tersebut dari Abu Hurairah berkata: 

فَرَجَعَ فُقَرَاءُ الْمُهَاجِرِينَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالُوا سَمِعَ إِخْوَانُنَا أَهْلُ الأَمْوَالِ بِمَا فَعَلْنَا فَفَعَلُوا مِثْلَهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ  

“Orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin kembali menghadap Rasulullah, mereka berkata, “Saudara-saudara kami yang punya harta (orang kaya) akhirnya mendengar apa yang kami lakukan. Lantas mereka pun melakukan semisal itu.” Rasulullah ﷺ kemudian mengatakan, “Inilah karunia yang Allah berikan kepada siapa saja yang ia kehendaki.” (HR Muslim).

Sumber: rumahfiqih

KHAZANAH REPUBLIKA

Kemunafikan Yahudi tentang Kebenaran Nabi Muhammad

Yahudi memilih menjadi munafik daripada mengakui Nabi Muhammad.

Pada masa diturunkannya Alquran kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW, Nabi dan wahyu yang penuh kebenaran itu nyatanya juga diakui umat Yahudi. Hanya saja, mereka enggan mengakui dan memilih menjadi munafik.

Imam As-Suyuthi dalam kitab Asbabun Nuzul menjabarkan mengenai kemunafikan umat Yahudi itu. Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwasannya ia berkata, “Beberapa orang dari agama Yahudi datang kepada Rasulullah SAW lalu beliau bersabda kepada mereka: Sesungguhnya aku bersumpah demi Allah bahwasannya aku mengetahui bahwa kalian mengetahui bahwa aku adalah utusan Allah.”

Mendengar hal itu, beberapa orang Yahudi itu kemudian menjawab, “Kami tidak tahu apa-apa tentang hal tersebut.” Sejatinya, mereka hanya enggan untuk mengakui kebenaran Nabi dan juga wahyu yang disampaikan.

Untuk itu, Allah SWT berfirman dalam Alquran Surah an-Nisa ayat 166, “Lakinillahu yasyhadu bimaa anzala ilaika anzalahu bi’ilmihi wal-malaaikatu yasyhaduuna wakafaa billahi syahida.” Artinya: (Mereka tidak mau mengakui yang diturunkan kepadamu itu), tetapi Allah mengakui Alquran yang diturunkan-Nya kepadamu. Allah menurunkan Alquran dengan ilmu-Nya, dan malaikat-malaikat pun menjadi saksi. Cukuplah Allah mengakuinya.

Kemunafikan umat Yahudi akan kebenaran ajaran Islam melalui Nabi dan juga wahyu yang diabadikan dalam Alquran menjadi bukti jahil dan keras kepalanya mereka. Maka, sikap jahil inilah yang kemudian Allah abadikan di dalam Alquran dengan adanya peristiwa tersebut.

Lima Pesan Nabi Muhammad Untuk Diamalkan

Nabi Muhammad pernah menyampaikan lima pesan.

Nabi Muhammad SAW telah menunjukan jalan yang baik dan benar untuk umat manusia agar selamat di dunia dan akhirat. Dengan mematuhi ajaran agama Islam yang dibawa dan diajarkan Rasulullah SAW, umat manusia akan selamat di dunia dan akhirat.

Semasa hidupnya, Rasulullah SAW pernah memberi lima pesan kepada umat manusia melalui Abu Hurairah. Lima pesan Nabi Muhammad SAW ini untuk diajarkan dan diamalkan.

حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ هِلَالٍ الصَّوَّافُ الْبَصْرِيُّ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ أَبِي طَارِقٍ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ يَأْخُذُ عَنِّي هَؤُلَاءِ الْكَلِمَاتِ فَيَعْمَلُ بِهِنَّ أَوْ يُعَلِّمُ مَنْ يَعْمَلُ بِهِنَّ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ فَقُلْتُ أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَأَخَذَ بِيَدِي فَعَدَّ خَمْسًا وَقَالَ اتَّقِ الْمَحَارِمَ تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ وَارْضَ بِمَا قَسَمَ اللَّهُ لَكَ تَكُنْ أَغْنَى النَّاسِ وَأَحْسِنْ إِلَى جَارِكَ تَكُنْ مُؤْمِنًا وَأَحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ تَكُنْ مُسْلِمًا وَلَا تُكْثِرْ الضَّحِكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ جَعْفَرِ بْنِ سُلَيْمَانَ وَالْحَسَنُ لَمْ يَسْمَعْ مِنْ أَبِي هُرَيْرَةَ شَيْئًا هَكَذَا رُوِيَ عَنْ أَيُّوبَ وَيُونُسَ بْنِ عُبَيْدٍ وَعَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ قَالُوا لَمْ يَسْمَعْ الْحَسَنُ مِنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَرَوَى أَبُو عُبَيْدَةَ النَّاجِيُّ عَنْ الْحَسَنِ هَذَا الْحَدِيثَ قَوْلَهُ وَلَمْ يَذْكُرْ فِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Nabi Muhammad SAW bersabda “Siapa yang mau mengambil kalimat-kalimat ini dariku lalu mengamalkannya atau mengajarkan kepada orang yang mengamalkannya?” 

Abu Hurairah menjawab, “Saya, wahai Rasulullah.”

Kemudian Rasulullah SAW meraih tangan Abu Hurairah lalu menyebut lima hal. (Pertama) jagalah dirimu dari keharaman-keharaman, niscaya kamu menjadi orang yang paling ahli ibadah. (Kedua) terimalah pemberian Allah dengan rela, niscaya kamu menjadi orang terkaya.

(Ketiga) berbuat baiklah terhadap tetanggamu, niscaya kamu menjadi orang mumin. (Keempat) cintailah sesama seperti kamu mencintai dirimu sendiri, niscaya kau menjadi orang Muslim. (Kelima) jangan sering tertawa karena seringnya tertawa itu mematikan hati. (HR At-Tirmidzi)  

KHAZANAH REPUBLIKA

Keutamaan Menolong Sesama Muslim

Di antara jawāmi’ulkalim – yakni ucapan Nabi yang ringkas namun sarat makna- adalah sabda beliau ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam,

اللهُ فىِ عَوْنِ اْلعَبْدِ مَا كَانَ اْلعَبْدُ فىِ عَوْنِ أَخِيْهِ

Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut menolong saudaranya.” (HR. Muslim)

Hadits ini adalah salah satu motivasi bagi kita untuk memberi pertolongan kepada sesama muslim. Mari simak di antara penjelasan para ulama tentang hadis yang agung ini.

Syekh ‘Abdulmuhsin al-‘Abbad al-Badr hafiẓahullāh menjelaskan,

“Di dalam hadits ini terdapat dorongan untuk memberikan pertolongan kepada saudara sesama muslim. Setiap pertolongan yang diberikan kepada saudaranya, niscaya dia akan mendapat balasan berupa pertolongan dari Allah. Kalimat dalam hadis ini adalah bagian dari jawāmi’ulkalim. “ (Fathu al-Qawiyyi al-Matīn)

Syekh Shalih bin ‘Abdul’aziz Alu Syekh hafiẓahullāh menjelasakan,

“Hadis ini memberikan motivasi yang kuat bagi seseorang untuk memberikan pertolongan kepada saudaranya. Tatkala dia menolong saudaranya, maka Allah akan menolongnya Jika Engkau membantu kebutuhan saudaramu, niscaya Allah akan memberikan bantuan kepadamu.  Ini adalah keutamaan yang agung dan balasan yang sangat besar bagi hamba.” (Syarh al-Arba’īn al-Nawawiyyah)

Syekh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al-Fauzan hafiẓahullāh menjelaskan bahwa makna hadis ini bersifat umum. Jika Engkau memberi pertolongan kepada saudaramu dengan pertolongan apapun bentuknya yang dia butuhkan, maka sungguh Allah akan senantiasa memberi pertolongan kepadamu. Demikianlah, karena balasan akan sesuai dengan perbuatan. Jika Engkau ingin Allah menolongmu, maka hendaknya Engkau menolong saudaramu sesuai kadar kemampuan yang Engkau mampu berikan kepadanya, baik itu dengan harta, kedudukan, ataupun bantuan yang lainnya. (Al-Minhatu al-Rabbaniyyah fī Syarhi al-Arba’īn al-Nawawiyyah)

Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin raḥimahullāh memberi catatan penting tentang hadis ini. Beliau menjelaskan bahwa hadis ini merupakan motivasi untuk memberi pertolongan kepada sesama muslim. Akan tetapi yang perlu diperhatikan bahwa hal ini terbatas untuk perkara kebaikan dan takwa. Karena Allah taala berfirman,

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.“ (QS. Al-Mā’idah: 2)

Adapun jika memberi pertolongan dalam perbuatan dosa, maka hukumnya haram. Karena Allah berfirman,

 وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“ Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. “ (QS. Al-Mā’idah: 2)

Hadis ini menunjukkan bahwa balasan akan sesuai dengan perbuatan. Bahkan balasan dari Allah lebih baik dari amal perbuatan hamba. Jika Engkau menolong saudaramu, maka Allah akan memberi pertolongan kepadamu. Dan jelas bahwa pertolongan yang datang dari Allah adalah balasan yang lebih besar dari amal hamba itu sendiri.  (Syarh al-Arba’īn al-Nawawiyyah)

Demikian pembahasan ini. Semoga bermanfaat, dapat menambah ilmu bagi kita dan menjadi penyemangat untuk berbuat baik dan memberikan pertolongan kepada sesama muslim.

***

Penyusun : dr. Adika Mianoki, Sp.S.

Artikel: Muslim.or.id

Berapa Hari Kita Disunnahkan Puasa Rajab?

Kesunnahan puasa di bulan rajab telah dirumuskan oleh para dalam beberapa kitab fiqih klasik. Semuanya hampir sepakat mengenai anjuran berpuasa sunnah di bulan rajab dengan berdasarkan dalil-dalil dan argumen yang Sharih (jelas) dan dapat dipertanggung jawabkan.

Pada tulisan sebelumnya penulis telah menjelaskan bahwa kesunahan puasa Rajab ditetapkan berdasarkan beberapa hadis Nabi. Yang di antaranya adalah hadis riwayat Abi Dawud sebagai berikut:

عَنْ مُجِيبَةَ الْبَاهِلِيَّةِ عَنْ أَبِيهَا أَوْ عَمِّهَا أَنَّهُ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ انْطَلَقَ فَأَتَاهُ بَعْدَ سَنَةٍ وَقَدْ تَغَيَّرَتْ حَالُهُ وَهَيْئَتُهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمَا تَعْرِفُنِي قَالَ وَمَنْ أَنْتَ قَالَ أَنَا الْبَاهِلِيُّ الَّذِي جِئْتُكَ عَامَ الْأَوَّلِ قَالَ فَمَا غَيَّرَكَ وَقَدْ كُنْتَ حَسَنَ الْهَيْئَةِ قَالَ مَا أَكَلْتُ طَعَامًا إِلَّا بِلَيْلٍ مُنْذُ فَارَقْتُكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَ عَذَّبْتَ نَفْسَكَ ثُمَّ قَالَ صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ وَيَوْمًا مِنْ كُلِّ شَهْرٍ قَالَ زِدْنِي فَإِنَّ بِي قُوَّةً قَالَ صُمْ يَوْمَيْنِ قَالَ زِدْنِي قَالَ صُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ قَالَ زِدْنِي قَالَ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ وَقَالَ بِأَصَابِعِهِ الثَّلَاثَةِ فَضَمَّهَا ثُمَّ أَرْسَلَهَا

Diriwayatkan dari Mujibah Al-Bahiliyyah, dari bapaknya atau pamannya, bahwa ia mendatangi Nabi. Kemudian ia kembali lagi menemui Nabi satu tahun berikutnya sedangkan kondisi tubuhnya sudah berubah (lemah/ kurus). Ia berkata, ‘Ya Rasul, apakah engkau mengenaliku?’ Rasul menjawab, ‘Siapakah engkau?’ Ia menjawab, ‘Aku Al-Bahili yang datang kepadamu pada satu tahun yang silam.’ Nabi menjawab, ‘Apa yang membuat fisikmu berubah padahal dulu fisikmu bagus (segar).’ Ia menjawab, ‘Aku tidak makan kecuali di malam hari sejak berpisah denganmu.’ Nabi berkata, ‘Mengapa engkau menyiksa dirimu sendiri? Berpuasalah di bulan sabar (Ramadhan) dan satu hari di setiap bulannya.’ Al-Bahili berkata, ‘Mohon ditambahkan lagi ya Rasul, sesungguhnya aku masih kuat (berpuasa). Nabi menjawab, ‘Berpuasalah dua hari.’ Ia berkata, ‘Mohon ditambahkan lagi ya Rasul.’ Nabi menjawab, ‘Berpuasalah tiga hari.’ Ia berkata, ‘Mohon ditambahkan lagi ya Rasul.’ Nabi menjawab, ‘Berpuasalah dari bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah, berpuasalah dari bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah, berpuasalah dari bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah.’ Nabi mengatakan demikian seraya berisyarat dengan ketiga jarinya, beliau mengumpulkan kemudian melepaskannya’. (HR Abu Dawud).

Menanggapi bagian akhir teks hadis di atas, Syaikh Abu Thayyib Syamsul Haq Al-Azhim dalam kitabnya ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud mengemukakan pendapat,

أَيْ صُمْ مِنْهَا مَا شِئْتَ وَأَشَارَ بِالْأَصَابِعِ الثَّلَاثَةِ إِلَى أَنَّهُ لَا يَزِيْدُ عَلَى الثَّلَاثِ الْمُتَوَالِيَاتِ وَبَعْدَ الثَّلَاثِ يَتْرُكُ يَوْمًا أَوْ يَوْمَيْنِ وَالْأَقْرَبُ أَنَّ الْإِشَارَةَ لِإِفَادَةِ أَنَّهُ يَصُوْمُ ثَلَاثًا وَيَتْرُكُ ثَلَاثًا وَاللهُ أَعْلَمُ  قَالَهُ السِّنْدِيُّ

Maksudnya, berpuasalah dari bulan-bulan mulia, apa yang engkau kehendaki. Nabi berisyarat dengan ketiga jarinya untuk menunjukkan bahwa Al-Bahili hendaknya berpuasa tidak melebihi tiga hari berturut-turut, dan setelah tiga hari, hendaknya meninggalkan puasa selama satu atau dua hari. Pemahaman yang lebih dekat adalah, isyarat tersebut untuk memberikan penjelasan bahwa hendaknya Al-Bahili berpuasa selama tiga hari dan berbuka selama tiga hari. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Syekh As-Sindi. (‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, juz 6 hal. 58)

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami, Nabi memberi petunjuk kepada sahabatnya Al-Bahili berpuasa di bulan-bulan mulia termasuk Rajab hendaknya tidak dilakukan secara terus-menerus. Namun, diberi jeda waktu. Bisa tiga hari berpuasa, tiga hari berbuka (tidak berpuasa). Atau tiga hari berpuasa berturut-turut, selanjutnya diberi jeda satu atau dua hari untuk berbuka, kemudian memulai lagi berpuasa tiga hari.

Akan tetapi, petunjuk Nabi di atas bersifat kasuistik. Petunjuk Nabi berpuasa Rajab di atas diarahkan bagi orang yang keberatan untuk memperbanyak puasa di bulan Rajab. Sedangkan bagi seseorang yang kuat untuk berpuasa Rajab melebihi petunjuk Nabi di atas, maka hal tersebut adalah lebih baik baginya, karena dalam satu bulan penuh di bulan Rajab semuanya baik untuk dipuasai. Ibnu Hajar Al-Haitami dalam karyanya Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra menegaskan,

 قال الْعُلَمَاءُ وَإِنَّمَا أَمَرَهُ بِالتَّرْكِ لِأَنَّهُ كان يَشُقُّ عليه إكْثَارُ الصَّوْمِ كما ذَكَره في أَوَّلِ الحديث فَأَمَّا من لَا يَشُقّ عليه فَصَوْمُ جَمِيعِهَا فَضِيلَةٌ

Ulama berpendapat, Nabi memerintahkan Al-Bahili untuk meninggalkan puasa, sebab memperbanyak puasa baginya berat sebagaimana yang disebutkan dalam awal hadits. Sedangkan bagi orang yang tidak berat berpuasa, maka berpuasa di sepanjang bulan-bulan mulia merupakan keutamaan. (Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra, juz 2 hal. 53)

Walhasil, berpuasa Rajab tidak ada batasan berapa hari yang baik untuk dipuasai. Namun menyesuaikan dengan batas kemampuan setiap orang. Bisa satu hari, tiga hari, satu minggu, dua minggu, atau bahkan satu bulan penuh.

Semoga bermanfaat. Wallahua’lam…

BINCANG MUSLIMAH

Ciri Wali Allah yang Diungkap Nabi Khidir AS

Syekh Maulana Muhammad Zakariya Al-Kandahlawi Rah.a menceritakan suatu ketika ada seorang wali Abdal bertanya kepada Nabi Khidir a.s. Apakah Nabi Khidir pernah melihat seorang wali yang lebih tinggi martabatnya daripadanya?  

Nabi Khidir menjawab. “Ya, aku pernah melihatnya,” kata Nabi Khidir menjawab pertanyaan sang wali Abdal itu seperti dikisahkan dalam kita Fadhilah Haji.

Nabi Khidir menceritakan bahwa dirinya ketika itu sedang berada di Masjid Nabawi Madinah. Ia melihat seseorang ahli hadist, yakni Imam Abdul Razaq sedang memperdengarkan hadits. 

Banyak sekali orang yang berkumpul untuk mendengarkan hadits yang dibacakannya. Namun di salah satu pojok masjid ia melihat seorang pemuda yang duduk bersandar sambil meletakkan kepalanya di atas lututnya.

Nabi Khidir mendekat dan bertanya kepada pemuda itu. “Apakah engkau tidak melihat bahwa di sini ada suatu kumpulan manusia yang sedang mendengarkan hadits-hadits Rasulullah SAW? Mengapa engkau tidak duduk bersama mereka?”

Tanpa mengangkat kepalanya dan tanpa menoleh kepada Nabi Khidir, pemuda itu berkata. “Mereka adalah orang-orang yang mendengar hadits dari hamba Dzat Yang Memberi rezeki (yaitu makna dari Abdul Razaq). Dan di sini adalah orang yang mendengarkan hadits langsung dari Dzat Yang Memberi rezeki, bukan dari hamba Dzat Yang Pemberi rezeki.”

Lalu Nabi Khidir berkata kepadanya. “Apabila ucapanmu benar, katakanlah siapa aku ini,” katanya.

Pemuda itu menoleh kepada Nabi Khidir dan berkata. “Kalau firasatku benar, engkau adalah Khidir Alaihissalam ” katanya.

Kemudian Nabi Khidir melanjutkan perkataannya dari kejadian itu ia mengetahui bahwa ada sebagian Wali Allah yang karena ketinggian martabatnya sampai-sampai ia (Nabi Khidir) tidak mengenalnya.

IHRAM

Gandeng Kemenkes-Satgas, Kemenag Evaluasi Kebijakan Umroh

Arab Saudi beberapa waktu lalu mengeluarkan daftar negara yang aksesnya ditutup sementara dan tidak diizinkan masuk ke negara tersebut. Dari 20 negara yang ada, Indonesia masuk di dalamnya.

Terkait keputusan Saudi ini, Kementerian Agama (Kemenag) berencana melakukan evaluasi kebijakan umroh selama pandemi Covid-19 yang berlaku beberapa waktu ke belakang.

“Kita lakukan evaluasi kedisiplinan penerapan protokol kesehatan (prokes),” ujar Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus Kemenag, Arfi Hatim, saat dihubungi Republika, Rabu (17/2).

Untuk melakukan evaluasi ini, ia menyebut Kemenag akan menggandeng pihak luar untuk membahas bersama. Satuan tugas (Satgas) Covid-19 dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akan menjadi mitra dalam rencana evaluasi tersebut.

Arfi lantas menyebut nantinya Kemenag akan mengagendakan pertemuan guna membahas evaluasi kebijakan umroh selama pandemi Covid-19 dengan kementerian/lembaga pemerintah ini.

Rencana evaluasi ini pertama kali disampaikan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, saat menerima perwakilan asosiasi-asosiasi Penyelanggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) di  Kantor Kementerian Agama, Jakarta, Senin (15/2) lalu.

“Nanti kita akan lakukan evaluasi kembali semuanya, dan tentunya berkoordinasi dengan  Satgas Covid-19 agar penyelenggaraan umroh tetap aman bagi jamaah,” ucap Menag, kala itu.

Ia lantas mengajak seluruh pihak memanfaatkan momen ditutupnya umroh ini untuk melakukan evaluasi. Dengan demikian, nantinya saat Saudi sudah membuka kembali akses umrah, Indonesia dengan seluruh elemennya sudah betul-betul siap.

Tak hanya itu, ia juga mengingatkan PPIU untuk membantu pemerintah dalam menyukseskan penyelenggaraan umroh di masa pandemi. Salah satunya, dengan mengedukasi jamaah terkait protokol kesehatan Covid-19.

“Jangan sampai saat di tanah suci, jemaah masih ada yang kedapatan coba-coba tidak menaati protokol kesehatan di Arab Saudi. Karena menurut laporan, masih banyak yang kedapatan melanggar di sana. Saya berharap jamaah umroh kita dapat menjadi contoh bagi dunia,” kata dia.

Dalam pertemuan yang sama, para perwakilan asosiasi ini menyampaikan beberapa keluhan terkait penyelenggaraan ibadah umroh di masa pandemi. Salah satunya, aturan karantina selama enam hari lima malam pasca kepulangan dari tanah suci.

“Ini cukup memberatkan bagi jemaah. Karena mereka harus menanggung biaya karantina sendiri, dan itu cukup besar, sekitar 4-5 juta per-jamaah,” ujar Ketua Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI), Firman M. Nur.

Penambahan biaya ini dirasa semakin memberatkan jamaah. Terlebih, mengingat kebanyakan jmaah yang berangkat adalah calon jamaah haji yang tertunda keberangkatannya sejak Maret 2020.

Tak hanya itu, mereka juga sebelumnya telah diminta menambah biaya umrah, terkait berubahnya harga referensi. Harga referensi umrah yang semula minimal Rp 20juta, kini berubah menjadi Rp 26 juta mengingat ada tambahan operasional di masa pandemi ini.  

IHRAM

Ringkasan Fikih Wasiat (Bag. 2)

Pada artikel sebelumnya kami telah menjelaskan tentang: anjuran untuk membuat wasiat, kewajiban menunaikan wasiat, dan sebagian ketentuan-ketentuan dalam wasiat. Diantara ketentuan-ketentuan dalam wasiat yang telah kami jelaskan antara lain:

1. isi wasiat tersebut berupa kebaikan, bukan maksiat atau perkara yang batil;
2. wasiat berupa muamalah yang masih dalam ruang lingkup hak si mayit.

Pada artikel ini kami akan melanjutkan penjelasan tentang ketentuan-ketentuan dalam wasiat dan apakah boleh mengganti serta mengurangi wasiat.

(Lanjutan) ketentuan-ketentuan dalam wasiat

Ketiga, wasiat harta tidak boleh lebih dari 1/3 total harta

Ketentuan terkait wasiat dalam bentuk tabarru‘ (perbuatan baik) dengan harta, ia tidak boleh lebih dari 1/3 total harta. Karena jika lebih dari 1/3 total harta, akan membahayakan ahli waris, yang mereka lebih berhak terhadap harta warisan mayit. Sehingga tidak sah wasiat harta yang melebihi 1/3 dari total harta. Sebagaimana dalam hadis dari Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiallahu’anhu, ia berkata,

تَشَكَّيْتُ بمَكَّةَ شَكْوًا شَدِيدًا، فَجاءَنِي النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَعُودُنِي، فَقُلتُ: يا نَبِيَّ اللَّهِ، إنِّي أتْرُكُ مالًا، وإنِّي لَمْ أتْرُكْ إلَّا ابْنَةً واحِدَةً، فَأُوصِي بثُلُثَيْ مالِي وأَتْرُكُ الثُّلُثَ؟ فقالَ: لا قُلتُ: فَأُوصِي بالنِّصْفِ وأَتْرُكُ النِّصْفَ؟ قالَ: لا قُلتُ: فَأُوصِي بالثُّلُثِ وأَتْرُكُ لها الثُّلُثَيْنِ؟ قالَ: الثُّلُثُ، والثُّلُثُ كَثِيرٌ

“Suatu hari di Mekkah, saya sedang sakit parah. Lalu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menjengukku. Aku berkata: ‘Wahai Nabi Allah, aku memiliki banyak harta namun aku hanya memiliki satu orang putri. Bolehkah aku mewasiatkan 2/3 hartaku dan 1/3 untuk waris?’. Nabi menjawab: ‘tidak boleh’. Sa’ad berkata, ‘Bolehkah aku mewasiatkan 1/2 hartaku dan 1/2 sisanya untuk waris?’. Nabi menjawab: ‘tidak boleh’. Sa’ad berkata, ‘Bolehkah aku mewasiatkan 1/3 hartaku dan 2/3 sisanya untuk waris?’. Nabi menjawab, ‘Boleh, dan wasiat sebanyak 1/3 itu sudah cukup banyak’” (HR. Bukhari no. 5659).

Namun boleh memberikan wasiat harta lebih dari 1/3 total harta jika diizinkan oleh seluruh ahli waris atau jika tidak ada ahli waris. Dijelaskan dalam kitab Al Fiqhul Muyassar fi Dhau’il Kitab was Sunnah (hal. 273): “Wasiat tidak sah jika melebihi 1/3 total harta, bagi mayit yang memiliki ahli waris. Berdasarkan hadis Sa’ad bin Abi Waqqash di atas. Kecuali, jika semua ahli waris mengizinkan hal itu. Adapun jika mayit tidak memiliki ahli waris, maka boleh mewasiatkan seluruh hartanya.”

Keempat, ahli waris tidak boleh menerima wasiat

Harta wasiat tidak boleh ditujukan kepada ahli waris. Karena ahli waris sudah mendapatkan hak berupa harta waris. Dari Abu Umamah Al Bahili Radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

إنَّ اللَّهَ قد أعطى كلَّ ذي حقٍ حقَّهُ ، فلا وصيَّةَ لوارِثٍ

“Sesungguhnya Allah telah memberikan hak setiap orang yang berhak mendapatkannya. Maka tidak boleh ada harta wasiat bagi ahli waris” (HR. Abu Daud no. 2853, At Tirmidzi no. 2203, disahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Maka harta wasiat itu ditujukan untuk segala bentuk tabarru‘ (perbuatan baik) kepada selain ahli waris. Seperti wakaf masjid, donasi panti asuhan, membantu fakir miskin dan perbuatan baik lainnya.

Memang benar, terdapat firman Allah ta’ala yang membolehkan wasiat harta untuk orang tua dan karib kerabat. Allah Ta’ala berfirman,

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ

“Diwajibkan atas kalian, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa” (QS. Al Baqarah: 180).

Namun ayat ini mansukh oleh ayat-ayat waris, sebagaimana telah dijelaskan pada artikel sebelumnya. Disebutkan dalam Al Aunul Ma’bud (8/52),

قَالَ الْخَطَّابِيُّ : هَذَا إِشَارَةٌ إِلَى آيَةِ الْمَوَارِيثِ ، وَكَانَتِ الْوَصِيَّةُ قَبْلَ نُزُولِ الْآيَةِ وَاجِبَةً لِلْأَقْرَبِينَ ، وَهُوَ قَوْلُهُ تَعَالَى : (كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إن ترك خيرا الوصية للوالدين والأقربين)،  ثُمَّ نُسِخَتْ بِآيَةِ الْمِيرَاثِ .وَإِنَّمَا تَبْطُلُ الْوَصِيَّةُ لِلْوَارِثِ فِي قَوْلِ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَجْلِ حُقُوقِ سَائِرِ الْوَرَثَةِ

“Al Khathabi mengatakan: ayat ini mengisyaratkan kepada ayat waris. Dahulu wasiat itu wajib diberikan kepada para karib kerabat, sebelum turunnya ayat waris. Berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya): ‘Diwajibkan atas kalian, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya.’ Namun kemudian ayat ini di-nasakh oleh ayat waris. Dan wasiat untuk para ahli waris itu batal menurut pendapat jumhur ulama, dalam rangka menjaga hak seluruh ahli waris.”

Demikian juga disyariatkannya warisan bagi kerabat yang menjadi ahli waris, telah mansukh oleh hadis dari Abu Umamah di atas. Namun hadis Abu Umamah ini juga menunjukkan bahwa karib kerabat yang bukan ahli waris, boleh menerima wasiat. Syekh Muhammad bin Shalih Al Utsamin Rahimahullah menjelaskan,

الحديث ليس فيه نسخ، بل فيه التخصيص؛ لأن الآية فيها الأمر بالوصية للأقربين، وهذا يعم الوارث وغير الوارث، ثم رفع الحكم عن الوارث فقط

“Hadis ini tidak terdapat nasakh (penghapusan terhadap surat Al Baqarah ayat 180). Namun yang ada adalah takhsis (pengkhususan). Karena ayat tersebut memerintahkan untuk berwasiat kepada para karib kerabat, ini sifatnya umum mencakup karib kerabat yang punya jatah waris dan yang tidak punya jatah waris. Sedangkan yang dihapus hukumnya hanya karib kerabat yang punya jatah waris” (Liqa Baabil Maftuh, rekaman no. 46).

Kelima, wasiat ditunaikan sebelum pembagian warisan dan setelah melunasi hutang

Sebagaimana hal ini secara jelas ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala, ketika Allah menjelaskan tentang ketentuan waris,

مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ

“(warisan dibagikan) setelah menunaikan wasiat yang diwasiatkan oleh mayit atau setelah melunasi hutang (mayit)” (QS. An Nisa: 11).

Demikian juga berdasarkan perkataan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu,

أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ قَضى بالدَّينِ قبلَ الوصيَّة

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam biasa menunaikan hutang sebelum wasiat” (HR. At Tirmidzi no.2122, di-hasan-kan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Dijelaskan dalam kitab Al Fiqhul Muyassar fi Dhau’il Kitab was Sunnah (hal. 273): “Hutang dan kewajiban-kewajiban syar’i lainnya seperti zakat, haji dan kafarat (yang tertunda) lebih didahulukan daripada menunaikan wasiat.”

Mengganti atau mengurungkan wasiat

Orang yang sudah membuat wasiat, boleh saja menggantinya atau mengurungkannya sebelum ia meninggal. Karena wasiat adalah muamalah yang hukumnya mubah, maka boleh dilakukan, boleh tidak dilakukan, dan boleh diurungkan. Sebagaimana juga dikatakan oleh Umar bin Khathab Radhiallahu’anhu,

يغير الرجل ما شاء فى وصيته

“Seseorang boleh mengubah wasiatnya semau dia” (HR. Al Baihaqi [6/281], disahihkan Al Albani dalam Irwaul Ghalil [6/99]).

Adapun mengganti wasiat setelah pembuatnya meninggal, karena memandang ada maslahat yang lebih besar, ini diperselisihkan oleh para ulama. Semisal seorang yang meninggal berwasiat untuk mewakafkan sebagian hartanya kepada masjid di dekat rumahnya. Namun setelah ia meninggal, para keluarga mayit memandang agar hartanya diwakafkan kepada masjid yang lain, yang lebih banyak jamaahnya dan lebih makmur, agar ia mendapat pahala lebih banyak.

Syekh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah menjelaskan,

“Mengubah wasiat kepada yang lebih utama, ini diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama berpendapat tidak diperbolehkan. Berdasarkan keumuman ayat: ‘Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya’ (QS. Al Baqarah: 181). Dan dalam ayat ini tidak dikecualikan keadaan apapun, kecuali orang yang melanggarnya dan mendapat dosa. Sehingga mengubah wasiat tetap haram hukumnya.

Sebagian ulama mengatakan, boleh mengubah wasiat kepada yang lebih utama. Karena tujuan dari wasiat adalah ibadah kepada Allah dan memberi manfaat kepada mayit. Maka semua yang lebih mendekatkan kepada Allah dan lebih bermanfaat bagi mayit, itu lebih utama. Dan orang yang berwasiat itu manusia biasa sehingga bisa terluput dari suatu yang lebih utama. Dan terkadang yang ia pandang lebih utama ketika masih hidup, berbeda dengan apa yang utama ketika ia sudah meninggal. Dan juga Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membolehkan untuk mengubah nadzar kepada yang lebih utama disamping kewajiban untuk menunaikannya.

Yang saya pandang lebih tepat dalam masalah ini, jika wasiat itu disebutkan secara mu’ayyyan (spesifik), maka tidak boleh mengubahnya. Misalnya jika disebutkan: ‘wasiat harta ini adalah untuk si Zaid saja’ atau ‘saya wakafkan harta ini untuk Said’, maka ini tidak boleh diubah. Karena ada hak orang lain yang spesifik disebutkan di sana.

Namun jika wasiatnya tidak spesifik, seperti jika dikatakan: ‘wasiat harta ini untuk masjid’, atau ‘wasiat harta ini untuk orang miskin’, maka tidak mengapa memberikan harta wasiat tersebut kepada yang paling utama” (Tafsirul Qur’an, 4/256).

Demikian penjelasan ringkas seputar fikih wasiat, semoga menjadi ilmu yang bermanfaat. Nas’alullah at taufiq was sadaad.

[Selesai]

***

Penulis: Yulian Purnama, S.Kom

Artikel: Muslim.or.id

Ringkasan Fikih Wasiat (Bag. 1)

Wasiat atau al-washiyyah (الوصية) adalah perintah dari seseorang untuk melakukan suatu bentuk tasharruf (muamalah) atau suatu bentuk tabarru’ (perbuatan baik) dengan hartanya setelah dia wafat nanti (Lihat Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, 1: 10).

Maka, wasiat di sini bisa berupa dua bentuk:

(1) Memerintahkan untuk melakukan suatu bentuk tasharruf (muamalah). Seperti seseorang yang mengatakan, “Jika saya meninggal nanti, tolong kuburkan saya di sebelah makam istri saya”, atau “Jika saya meninggal nanti tolong lunasi hutang-hutang saya”, dan semisalnya. Sebagian ulama menyebut ini dengan istilah al-ii-sha’ (الإيصاء).

(2) Melakukan suatu bentuk tabarru’ (perbuatan baik) dengan harta. Seperti seseorang mengatakan, “Jika saya meninggal nanti, maka tanah milik saya di tempat A, saya wakafkan untuk masjid”, atau “Jika saya meninggal nanti, maka uang saya sebesar 50 juta tolong diberikan kepada panti asuhan B”, dan semisalnya.

Anjuran untuk membuat wasiat

Dalil-dalil Al-Quran dan As-Sunnah menunjukkan dianjurkannya membuat wasiat, terutama ketika sakit atau menjelang wafat. Allah Ta’ala berfirman,

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ

“Diwajibkan atas kalian, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf. (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 180).

Dalam hadits, dari Abdullah bin Umar Radhiallahu’ahu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ما حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ، له شيءٌ يُرِيدُ أَنْ يُوصِيَ فِيهِ، يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ، إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ

“Tidak layak bagi seorang Muslim melewati dua malamnya padahal dia memiliki sesuatu hal untuk diwasiatkan, kecuali wasiatnya sudah tertulis di sisinya” (HR. Bukhari no.2738 dan Muslim no.1627).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah menjelaskan, “Hadits ini menunjukkan bahwa disyariatkan untuk bersegera dan tidak menunda-nunda menulis wasiat. Ketika memang ada perkara yang perlu untuk diwasiatkan” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 19: 405-406).

Zahir surat Al-Baqarah ayat 180 di atas mewajibkan untuk berwasiat. Namun yang rajih, membuat wasiat hukumnya sunnah, tidak diwajibkan. Karena mayoritas para shahabat Nabi tidak meninggalkan wasiat ketika mereka wafat. Adapun surat Al-Baqarah ayat 180, ayat ini telah mansukh (dihapus hukumnya) dengan turunnya surat An-Nisa ayat 7 (yaitu ayat tentang warisan). Hal ini sebagaimana disebutkan oleh ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Ayat ini (Al-Baqarah ayat 180) telah mansukh oleh ayat waris” (Lihat Al-Fiqhul Islamiy karya Wahbah Az Zuhaili, 10: 7443).

Dan wasiat seseorang ketika itu berupa kebaikan, akan mengalirkan pahala baginya setelah dia meninggal. Ini termasuk dalam keumuman hadis dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Ketika seorang insan mati, terputuslah amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya” (HR. Muslim no. 1631).

Kewajiban menunaikan wasiat

Pada asalnya, wasiat dari seseorang yang sudah meninggal itu wajib ditunaikan oleh keluarganya. Selama wasiat tersebut memenuhi ketentuan-ketentuan syar’i. Allah Ta’ala berfirman,

فَمَن بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah dia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 181).

Para ulama Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’ mengatakan, “Wajib bagi wali (keluarga) dari mayit untuk menunaikan wasiat dari mayit, selama sesuai dengan syariat. Jika tidak ditunaikan, atau ditunaikan dengan cara yang tidak benar, maka yang berdosa adalah para walinya (keluarganya) tersebut” (Fatawa Al-Lajnah, 16: 369-370).

Ketentuan-ketentuan dalam wasiat

Ada beberapa ketentuan yang terkait dengan perkara yang diwasiatkan, sehingga wasiat menjadi wajib ditunaikan jika terpenuhi ketentuan-ketentuannya. Di antaranya:

Pertama, Isi wasiat tersebut berupa kebaikan, bukan maksiat atau perkara yang batil

Karena tidak boleh taat kepada siapa pun jika dia memerintahkan untuk maksiat, baik ketika dia masih hidup ataupun ketika dia sudah meninggal. Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ’anhu, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

“Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, taat itu hanya dalam perkara yang makruf” (HR Bukhari no. 7257 dan Muslim no. 1840).

Oleh karena itu, para ulama melarang menunaikan wasiat yang berisi maksiat. Dalam matan Mukhtashar Al-Khalil juga disebutkan,

وبطلت بردته وإيصاء بمعصية

“Wasiat itu batal jika orangnya murtad, dan wasiat juga batal jika isinya berupa maksiat.”

Demikian juga wasiat yang isinya berupa perkara-perkara yang tidak bermanfaat, menyia-nyiakan harta, menjatuhkan wibawa, atau menimbulkan kemudaratan bagi keluarga yang ditinggalkan. Maka wasiat seperti tidak wajib ditunaikan. Ibnu Rusyd Rahimahullah menyatakan,

لا يلزم أن يُنفَّذ من الوصايا إلا ما فيه قربة وبر

“Tidak wajib menunaikan wasiat kecuali jika isinya berupa qurbah (ibadah) dan kebaikan” (Al-Bayan wat Tahshil, 2: 287).

Seperti jika mayit berwasiat untuk dimakamkan di tempat yang sangat jauh, maka ini menimbulkan kemudaratan bagi keluarga yang ditinggalkan. Syekh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah mengatakan,

وإذا كانت المقبرة بعيدة من بلد إلى بلد فلا وجه لهذه الوصية ولا حاجة إلى تنفيذها بل يدفن في مقبرة بلده

“Jika tempat pemakaman yang diwasiatkan itu sangat jauh dari tempatnya, maka tidak wajib dan tidak ada kebutuhan untuk menunaikan wasiat ini. Hendaknya dia dimakamkan di negeri tempat dia berada” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi).

Kedua, Wasiat berupa muamalah yang masih dalam ruang lingkup hak si mayit

Wasiat berupa al-ii-sha’ hanya terbatas pada muamalah yang masih dalam cakupan hak si mayit. Wasiat yang di luar cakupan hak si mayit, tidaklah sah dan tidak wajib ditunaikan. Dalam matan Zadul Mustaqni, Al-.Allamah Al-Hijawi Rahimahullah menyatakan,

ولا تصح وصية إلا في تصرفٍ معلوم يملكه الموصي ، كقضاء دينه ، وتفرقة ثلثه ، والنظر لصغاره ، ولا تصح بما لا يملكه الموصي

“Wasiat tidaklah sah kecuali pada muamalah yang diketahui merupakan hak dari al-mushi (pemberi wasiat; mayit). Seperti wasiat untuk melunasi hutangnya, memisahkan 1/3 hartanya, meminta untuk merawat anak-anaknya. Wasiat tidak sah dalam perkara yang tidak dimilikinya.”

Seperti seorang yang berwasiat kepada tetangganya untuk menjual rumah si tetangga tersebut. Karena rumah si tetangga di luar hak dari si mayit. Sehingga wasiat ini tidak sah dan tidak wajib ditunaikan.

Demikian juga, seorang suami atau istri yang berwasiat kepada pasangannya untuk tidak menikah lagi. Ini wasiat yang tidak sah dan tidak wajib ditunaikan. Karena pernikahan suami atau istri (setelah pasangannya meninggal) ini di luar haknya. Dan juga ini merupakan wasiat yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena  Al-Quran dan As-Sunnah memerintahkan orang yang bersendirian untuk menikah.

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ مِنْ مَعْرُوفٍ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi, jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Al-Baqarah: 240).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsamin Rahimahullah menjelaskan ayat ini,

“Seorang istri dihalalkan baginya untuk keluar dari rumah suaminya, walaupun suaminya mewasiatkan untuk menetap di sana. Boleh untuk tidak menunaikan wasiatnya. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “… akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu”. Karena ini adalah perkara yang terkait kemaslahatan sang istri dan sang suami (yang wafat) tidak mendapat kemaslahatan dari perkara ini. Turunan dari masalah ini, jika seorang suami berwasiat kepada istrinya untuk tidak menikah lagi, maka ini tidak wajib ditunaikan. Karena jika wasiat untuk tinggal di rumah saja tidak wajib untuk ditunaikan, maka masalah menikah ini min bab al aula (lebih layak untuk tidak ditunaikan)” (Tafsir Surat Al-Baqarah, pada tafsir ayat 240).

Selain itu, wasiat disyariatkan agar mayit bisa mendapatkan tambahan kebaikan dan mengurangi dosa-dosanya. Maka tidak ada maknanya jika mayit mewasiatkan sesuatu yang di luar haknya yang tidak memberikan dia tambahan pahala atau pengurangan dosa.

[Bersambung]

Penulis: Yulian Purnama, S.Kom

Artikel: Muslim.or.id