Atasi Corona dengan Bertauhid yang Sempurna (Bag. 2)

Baca pembahasan sebelumnya Atasi Corona dengan Bertauhid yang Sempurna (Bag. 1)

Tauhid adalah penangkal rasa takut dan pangkal solusi segala masalah

Allah Ta’ala berfirman,

ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَلَمۡ يَلۡبِسُوٓاْ إِيمَٰنَهُم بِظُلۡمٍ أُوْلَٰٓئِكَ لَهُمُ ٱلۡأَمۡنُ وَهُم مُّهۡتَدُونَ 

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman (tauhid) mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82)

Tafsir bahwa keimanan adalah tauhid dan kezhaliman adalah syirik

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menafsirkan kezhaliman dalam ayat ini dengan kesyirikan. Padahal para sahabat awalnya memahami kezhaliman di sini umum mencakup seluruh bentuk kezhaliman, baik syirik maupun kezhaliman terhadap diri sendiri dan orang lain. Mereka bertanya,

“Siapakah di antara kami yang tidak menzhalimi diri sendiri?”

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak pemahaman mereka terhadap ayat ini dengan bersabda,

لَيْسَ ذَلِكَ إِنَّمَا هُوَ الشِرْكُ ألَمْ تَسْمَعُوا مَا قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظهُ {يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ}

“Bukanlah itu maksud kezhaliman di sini. Sesungguhnya maksud kezhaliman di sini hanyalah kesyirikan. Tidakkah kalian mendengar tentang ucapan Luqman kepada putranya, dan (ketika itu) beliau sedang menasihatinya, “Wahai anakku, janganlah Engkau menyekutukan Allah, sesungguhnya syirik adalah kezhaliman yang terbesar”.” (HR. Bukhari(

Jika kezhaliman di ayat ini adalah kesyirikan, maka pantaslah jika keimanan yang dimaksud di ayat ini pun adalah tauhid. Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata,

{آمنوا}:صدقوا بقلوبهم ونطقوا بألسنتهم وعملوا بجوارحهم ورأس ذلك التوحيد. {يلبسوا إيمانهم }:يخلطوا توحيدهم

“{orang-orang yang beriman}, maksudnya adalah orang-orang yang membenarkan kebenaran dengan hati mereka dan mengucapkannya dengan lisan mereka dan mengamalkannya dengan anggota tubuh mereka. Sedangkan pokok keimanan adalah tauhid. {Mencampuradukkan keimanan mereka}, maksudnya adalah mencampuradukkan tauhid mereka.”

Tafsir keamanan dan petunjuk meliputi di dunia maupun di akhirat

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

أي: هؤلاء الذين أخلصوا العبادة لله وحده لا شريك له ولم يشركوا به شيئا هم الآمنون يوم القيامة المهتدون في الدنيا والآخرة

“Maksudnya, orang-orang yang memurnikan ibadah hanya untuk ‘Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, mereka adalah orang-orang yang aman pada hari kiamat dan mendapatkan petunjuk (solusi) di dunia dan akhirat.”

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, 

وإن كان كثير من المفسرين قالوا أولئك لهم الأمن في الآخرة والهداية في الدنيا والصواب أن الآية عامة لا بالنسبة للأمن ولا بالنسبة للهداية في الدنيا والآخرة

“Meskipun banyak dari kalangan ahli tafsir yang menyatakan bahwa mereka (orang-orang yang beriman) mendapatkan keamanan di akhirat dan hidayah (solusi) di dunia, namun tafsir yang benar bahwa ayat ini bersifat umum, baik masalah keamanan maupun hidayah (solusi) di dunia sekaligus di akhirat.” [1]

Syaikh Abu Bakr Al-Jazairi rahimahullah menafsirkan,

{أُوْلئِكَ لَهُمُ ٱلأَمْنُ} أى فِي الدُنيَا والآخِرَة

“{Mereka itulah yang mendapatkan keamanan} maksudnya “(keamanan) di dunia dan di akhirat.”

Syaikh ‘Abdullah Al-Ghunaiman rahimahullah berkata,

{أولئك لهم الأمن} الأمن التام الذي لا ينالهم معه عذاب في الدنيا ولا في القبر ولا في الآخرة

“{Mereka itulah yang mendapatkan keamanan} maksudnya “keamanan yang sempurna, dengannya mereka tidak mendapatkan adzab di dunia, di alam kubur, maupun di akhirat.” [2]

Kesimpulan:

Dari keterangan para ulama rahimahumullah di atas, balasan bagi orang yang mentauhidkan Allah dan bersih dari kesyirikan adalah,

  1. Mendapatkan keamanan di dunia dan akhirat.
  2. Mendapatkan petunjuk di dunia dan akhirat.

Tafsir bentuk keamanan dan petunjuk

Syaikh Shalih Alusy-Syaikh hafizhahullah menjelaskan bahwa bentuk rasa aman dan petunjuk yang didapatkan oleh ahli tauhid di dunia dan di akhirat adalah sebagai berikut [3]:

“Kalau ada orang yang mengatakan: keamanan di dunia, maka kami paham, yaitu keamanan diri (jiwa), tidak diganggu orang lain, kekuatan hati, keamanan masyarakat, keamanan negara, dan keamanan daerah. Semua ini termasuk kedalam keamanan (yang dimaksud dalam ayat).

Demikian pula hidayah di dunia, yaitu dengan mendapatkan taufik untuk beramal shalih, mengenal kebenaran sebagai kebenaran dan anugerah dari Allah untuk hamba-Nya dengan mengikuti kebenaran. Serta melihat kebatilan sebagai sebuah kebatilan dan anugerah dari Allah untuk hamba-Nya dengan mampu menjauhinya. Hal ini juga mudah dipahami.

Keamanan di akhirat dengan tidak merasa takut, tidak bersedih, dan tidak masuk ke dalam neraka, hal ini juga mudah dipahami.

Namun bagaimana hidayah di akhirat? Bukankah taklif (tugas melaksanakan syari’at Islam) telah selesai? Taklif telah selesai, maka apakah ada hidayah (petunjuk) di akhiat?”

هذه الهداية هي الهداية في الآخرة ,فسَّرها أهل العلم بالتفسير وأهل العلم بالتوحيد, بأنَّها الهداية بسلوك الصراط حين ورود الظلمة … فإذن هناك هداية الطريق الجنة في الآخرة هذه تحصل بحسب قوة التوحيد, فكلَّما قوي التوحيد كلما قويت الهداية وقوي النور في الدنيا وفي الآخرة

“Hidayah ini maksudnya adalah hidayah di akhirat. Ulama ahli tafsir dan ulama ahli tauhid menafsirkan bahwa hidayah (di akhirat) maksudnya adalah petunjuk meniti jembatan ash-shirath, ketika adanya kegelapan. Jadi, di sana ada petunjuk jalan ke surga di akhirat. Hidayah ini didapatkan sesuai dengan kekuatan tauhid seeseorang. Semakin kuat tauhid seseorang, semakin kuat pula petunjuk dan cahaya di dunia dan akhirat.”

Hal ini sama dengan ketika para ulama ahli tafsir menafsirkan firman Allah dalam surat Muhammad tentang petunjuk bagi orang-orang yang telah meninggal syahid di jalan Allah,

وَٱلَّذِينَ قُتِلُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ فَلَن يُضِلَّ أَعۡمَٰلَهُمۡ ٤ سَيَهۡدِيهِمۡ وَيُصۡلِحُ بَالَهُمۡ ٥  وَيُدۡخِلُهُمُ ٱلۡجَنَّةَ عَرَّفَهَا لَهُمۡ ٦

“Dan orang-orang yang syahid pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka. Allah akan memberi hidayah kepada mereka, dan memperbaiki keadaan mereka. Dan memasukkan mereka ke dalam jannah yang telah diperkenalkan oleh-Nya kepada mereka.” (QS. Muhammad: 4-6)

Dalam kitab tafsir karya Asy-Syaukani rahimahullah disebutkan perkataan Abul ‘Aliyah,

قَدْ تَرِدُ الهِدَايَةُ والمُرادُ بِها إِرشَادُ المُؤمِنِينَ إلى مَسالِكِ الجِنانِ والطَّرِيقِ المُفضِيَةِ إلَيْها. وقالَ ابْنُ زِيادٍ: يَهْدِيْهِمْ إِلَى مُحاجَّةِ مُنْكَرٍ ونَكِيرٍ

“Terkadang disebutkan hidayah dan yang dimaksudkan adalah petunjuk bagi kaum mukminin kepada jalan surga dan jalan yang mengantarkan kepadanya. Ibnu Ziyad pun menafsirkan, Allah memberi petunjuk kepada mereka untuk bisa menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir.”

Mendapatkan keamanan di dunia dan akhirat.

Di dunia: dengan tentram hatinya dari berbagai rasa takut (krisis) yang mengancam jiwa, masyarakat, maupun negara, baik bentuknya krisis moral (mental), krisis moneter, maupun krisis keamanan. Demikian pula aman dari adzab di dunia.

Di akhirat: dengan selamat dari siksa, sejak di alam kubur sampai surga, yaitu selamat dari siksa di alam kubur dan selamat dari siksa neraka.

Mendapatkan petunjuk di dunia dan akhirat.

Di dunia: berupa hidayah irsyad (ilmu) dan taufik (amal), hidayah meniti shirat mustaqim dan mendapatkan solusi syar’i dalam menghadapi berbagai problematika di dunia.

Di akhirat: petunjuk menjawab pertanyaan di alam kubur, petunjuk meniti shirath di atas jahannam, serta kemudahan jalan menunju surga.

Penjelasan tentang kualitas keamanan dan petunjuk yang didapatkan oleh ahli tauhid

Berdasarkan gabungan dari seluruh dalil yang ada, maka ulama menyimpulkan bahwa kadar keamanan dan petunjuk yang didapatkan oleh ahli tauhid adalah sebagaimana yang dirinci oleh Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah dalam kitab Tafsirnya,

فإن كانوا لم يلبسوا إيمانهم بظلم مطلقا, لا بشرك, ولا بمعاص, حصل لهم الأمن التام, والهداية التامة. وإن كانوا لم يلبسوا إيمانهم بالشرك وحده, ولكنهم يعملون السيئات, حصل لهم أصل الهداية, وأصل الأمن, وإن لم يحصل لهم كمالها. ومفهوم الآية الكريمة, أن الذين لم يحصل لهم الأمران, لم يحصل لهم هداية, ولا أمن, بل حظهم الضلال والشقاء.

“Apabila mereka (ahli tauhid) tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kezhaliman sama sekali, tidak dengan kesyirikan maupun tidak dengan kemaksiatan, maka mereka mendapatkan keamanan sempurna dan hidayah sempurna. Namun, jika mereka tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kesyirikan saja dan mereka melakukan keburukan (dosa di bawah syirik), maka mereka mendapatkan hidayah dan keamanan yang minimal, (dan) tidak mendapatkan keamanan dan hidayah yang sempurna. Dan makna tersirat dari ayat yang mulia ini pun menunjukkan bahwa mereka yang tidak termasuk dalam keduanya, mereka tidak mendapatkan hidayah dan keamanan, bahkan nasibnya adalah sesat dan celaka.”

Syaikh Sulaiman rahimahullah berkata dalam kitab Taisirul ‘Aziz,

من أتى به تاما فله الأمن التام والاهتداء التام ودخل الجنة بلا عذاب. ومن أتى به ناقصا بالذنوب التي لم يتب منها فإن كانت صغائر كفرت باجتناب الكبائر لآية النساء والنجم. وإن كانت كبائر فهو في حكم المشيئة إن شاء الله غفر له وإن شاء عذبه ومآله إلى الجنة والله أعلم

“Barangsiapa melaksanakan tauhid dengan sempurna, maka dia mendapatkan keamanan sempurna dan petunjuk sempurna, serta masuk surga tanpa adzab. Barangsiapa melaksanakan tauhid tidak sempurna karena dosa yang dia tidak bertaubat darinya, apabila dosa itu dosa kecil, maka terlebur dengan menghindari dosa besar, sebagaimana disebutkan dalam surat An-Nisa’ dan An-Najm. Apabila yang dilakukan itu dosa besar, maka tergantung kehendak Allah. Jika Allah menghendaki mengampuni, maka Allah akan mengampuninya. Namun jika Allah menghendaki mengadzabnya, maka Allah akan mengadzabnya. Hanya saja, tempat akhirnya pasti di surga. Wallahu a’lam.”

Balasan bagi orang yang mentauhidkan Allah dengan tauhid yang sempurna -yaitu dengan menghindari kesyirikan dan kemaksiatan atau bertaubat darinya jika terlanjur jatuh ke dalamnya- adalah:

  1. Mendapatkan keamanan dari segala hal yang menakutkan, baik di dunia maupun di akhirat.
  2. Mendapatkan petunjuk (solusi) di dunia dalam menghadapi berbagai masalah dan mendapatkan petunjuk di akherat sehingga selamat menjalani prosesi hari akhir sampai masuk kedalam surga.

(Bersambung)

***

Penulis: Sa’id Abu ‘Ukkasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55879-atasi-corona-dengan-bertauhid-yang-sempurna-bag-2.html

Wasiat Luqman (Bag.8) : Bersikap Tawadhu’

Baca pembahasan sebelumnya Wasiat Luqman (Bag.7) : Jangan Sombong !

QS. Luqman Ayat 19

Nasehat Luqman selanjutnya adalah pelajaran untuk senantiasa tawadhu’ dan tidak sombong, baik ketika berjalan maupun berbicara. Allah Ta’ala berfirman :

وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِن صَوْتِكَ إِنَّ أَنكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ

“ Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan pelankanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (Luqman : 19)

Berjalanlah dengan Tawadhu’

Allah Ta’ala berfirman :

وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ

“ Dan sederhanalah kamu dalam berjalan ”

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan maksudnya adalah bersikap pertengahan dalam segala hal, termasuk saat berjalan. Sikap pertengahan dalam berjalan adalah tidak terlampau cepat namun juga tidak lambat. Sikap pertengahan ini hendaknya diterapkan dalam segala hal. Oleh karena itu di antara doa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ucapkanlah adalah :

وَأَسْأَلُكَ الْقَصْدَ فِي الْغِنَى وَالْفَقْرِ

“ Aku minta kepada-Mu agar aku bisa melaksanakan sikap pertengahan (kesederhanaan) dalam keadaan kaya atau fakir. ” ( H.R Ahmad, shahih)

Makna (الْقَصْدَ) adalah sikap pertengahan dalam seluruh perkara. Allah Ta’ala juga berfirman : 

وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَاماً

“ Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (Al Furqan : 67) (Tafsiir Al Qur’an Al Kariim Surat Luqman)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan maksudnya berjalanlah dengan sikap pertengahan. Jangan terlalu lambat seperti orang malas dan jangan pula terlalu cepat seperti orang yang tergesa-gesa. Namun bersikaplah adil dan pertengahan dalam berjalan, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat.” (Tafsiir Al Qur’an Al ‘Adzim)

Syaikh Abdurrahman As Sa’di rahimahullah menjelaskan ayat ini bahwa maksudnya berjalanlah dengan tawadhu’ dan sikap tenang. Jangan bersikap sombong dan takabbur serta jangan pula berjalan seperti orang yang malas. ” (Taisir Al Karimir Rahman)

Seorang mukmin hendaknya memiliki sifat tawadhu’, termasuk ketika berjalan. Sikap tawadhu’ akan menjadikan seorang mulia. Hal ini dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau :

وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ

“ Dan tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah diri) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya” (HR. Muslim). 

Baca Juga:

Adab Tatkala Berbicara

Luqman kemudian mengajarkan pada anaknya bagaimana adab ketika berbicara. Allah Ta’ala berfirman 

وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ

“ Dan rendahkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa makna ayat ini adalah larangan melampaui batas dalam berbicara dan berbicara keras dalam hal yang tidak bermanfaat. Oleh karena itu disebutkan dalam ayat bahwa sejelek-jelek suara adalah suara keledai. 

Imam Mujahid rahimahullah berkata, “Sejelek-jelek suara adalah suara keledai.” Barangsiapa yang berbicara dengan suara keras, maka ia mirip dengan keledai dalam hal mengeraskan suara. Suara yang seperti ini dibenci oleh Allah Ta’ala. Disebutkan adanya keserupaan menunjukkan akan keharaman bersuara keras dan tercelanya perbuatan semacam itu sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَيْسَ لَنَا مَثَلُ السَّوْءِ ، الَّذِى يَعُودُ فِى هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَرْجِعُ فِى قَيْئِهِ

Tidak ada bagi kami permisalan yang jelek. Orang yang menarik kembali pemberiannya adalah seperti anjing yang menjilat kembali muntahannya” (H.R Bukhari) (Tafsiir Al Qur’an Al ‘Adzim)

Syaikh ‘Abdurrahman As Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa merendahkan suara adalah bentuk beradab dalam berbicara kepada manusia dan adab ketika berbicara kepada Allah. Suara keledai adalah suara yang jelek dan menakutkan. Seandainya mengeraskan suara dianggap ada faidah dan manfaatnya, tentu tidak disebutkan secara khusus dengan suara keledai yang sudah diketahui hina dan pandirnya hewan tersebut.” (Taisiir Al Kariimi Ar Rahman ).

Faidah Ayat

  • Manusia hendaknya berajalan dengan sikap yang pertengahahn. Tidak terlalu tergesa-gesa dan tidak terlalu lambat karena keduanya tercela. Namun tetap diperbolehkan dalam kondisi tertentu yang memang dibutuhkan untuk berjalan cepat. 
  • Tidak sepantasnya setiap insan berjalan cepat dan jangan pula berjalan lambat sehingga tidak mendapatkan yang diinginkan. Adapun bersegera berjalan untuk mendapatkan kebaikan maka Allah telah memerintahkannya asalkan tidak melampaui batas, seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : 

إِذَا سَمِعْتُمُ الإِقَامَةَ فَامْشُوا إِلَى الصَّلاَةِ ، وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ وَالْوَقَارِ وَلاَ تُسْرِعُوا 

Jika kalian mendengar iqomah, maka segeralah berjalanlah menuju shalat. Hendaknya anda dalam kondisi tenang dan pelan. Jangan tergesa-gesa.” (HR. Bukhari dan Muslim)

  1. Hendaknya setiap manusia merendahkan suaranya, karena Allah berfirman : 

وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ

“ Dan rendahkanlah suaramu.”

Namun dalam kondisi tertentu diperbolehkan meninggikan suara semisal ketika adzan, khutbah, dan kondisi lain yang meemang diperlukan. 

  • Meninggikan suara yang tidak pada tempatnya termasuk perbuatan haram, karena Allah berfirman :

إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ

“ Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.

Disebutkannya penyerupaan dalam ayat ini agar dihindari perbuatan yang semisal tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ليس لنا مثل السوء

“ Tidak ada bagi kami permisalan yang jelek “ (H.R Bukhari)

  • Ayat di atas menunjukkan bahwa suara keledai adalah suara yang tercela

Penulis : Adika Mianoki

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55846-wasiat-luqman-bag-8-bersikap-tawadhu.html

Orang Beriman Dijauhkan dari Dahsyatnya Kiamat

DI antara perlindungan yang Allah berikan kepada orang yang beriman, Allah jauhkan mereka sehingga tidak menjumpai kedahsyatan hari kiamat. Sementara mereka yang menjumpai peristiwa kiamat besar, hanya manusia kafir yang kehidupan dan karakternya paling jelek.

Berikut beberapa dalil yang menyebutkan hal itu, Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menceritakan keadaan orang-orang yang beriman hingga akhir zaman. Kemudian beliau bersabda,

Kemudian Allah mengirim angin, seperti semerbak minyak wangi, sangat lembut rasanya seperti menyentuh sutera. Tidak ada satupun jiwa yang di dalam hatinya terselip iman sebesar biji, kecuali angin itu akan mematikannya. Kemudian tinggal tersisa manusia-manusia paling jelek. Di tengah merekalah, kiamat terjadi. (HR. Muslim 1942).

Hadis dari Nawwas bin Saman radhiyallahu anhu, dalam hadis panjang, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menceritakan tentang Dajjal dan turunnya Nabi Isa alaihis salam. Di akhir hadis, beliau bersabda,

Setelah mereka hidup penuh gelimang dunia, Allah mengirim angin lembut. Angin itu melewati ketiak-ketiak mereka, dan membawa ruh setiap mukmin dan setiap muslim. Hingga yang tersisa adalah manusia terjelek. Mereka melakukan hubungan badan layaknya himar (keledai). Di tengah merekalah, kiamat terjadi. (HR. Muslim 2937).

Berdalil dengan keterangan Nabi shallallahu alaihi wa sallam di atas, sahabat Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu anhuma pernah mengatakan, “Kiamat hanya akan terjadi pada manusia yang paling jelek. Mereka lebih jelek dibandingkan orang jahiliyah. Setiap doa yang mereka panjatkan, pasti Allah tolak doanya.” (HR. Muslim 1924 dan Ibnu Hibban 6836).

Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan terjadi kiamat, hingga tidak ada lagi orang yang di muka bumi ini menyebut: Allah Allah..” (HR. Ahmad 12043, Muslim 148, Turmudzi 2207, dan yang lainnya).

Ya Rabb, matikanlah kami di atas islam dan sunah. [Ustaz Ammi Nur Baits]

INILAH MOZAIK

Menurut Ibnu Qayyim, Inilah Keterkaitan antara Doa dan Musibah

SAAT ini dunia sedang menghadapi musibah berupa wabah Covid-19. Wabah penyakit ini tak hanya mempengaruhi kesehatan manusia tapi juga mempengaruhi segala aspek kehidupan.

Segala cara dilakukan untuk mencegah pandemi Covid-19 ini menyebar lebih luas. Mengingat banyaknya korban dan cepatnya virus corona penyebab Covid-19 ini menyebar, usaha keras untuk mencegahnya memang sangat diperlukan. Namun, tentu saja sebagai orang yang beriman, kita tidak boleh melupakan kekuatan doa.

Dalam buku berjudul Terapi Penyakit Hati, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah mengungkapkan perihal doa tersebut. Menurutnya, doa mampu menangkal bala dan cobaan serta mencegah dan menghilangkan musibah. Doa juga dapat meringangkan musibah yang datang.

Seperti diketahui, doa merupakan senjata orang mukmin. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Hakim dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya doa itu adalah senjata bagi orang yang beriman, tiang agama, dan sinar langit dan bumi.”

Menurut Ibnu Qayyim, terdapat tiga kategori keterkaitan doa dengan musibah yang menimpa:

1. Apabila doa lebih kuat, musibah bisa ditolak.
2. Apabila doa lebih lemah daripada musibah, seseorang akan terus dirundung musibah. Meskipun demikian, walaupun lemah, doa masih bisa sedikit meringankan.
3. Apabila sama-sama kuat, musibah dan doa akan saling menolak.

Dalam Kitab Al Hakim juga diriwayatkan sebuah hadits dari Aisyah, Rasulullah SAW bersabda:

“Kewaspadaanmu tidak ada gunanya dalam menghadapi takdir. Doalah yang berguna untuk mengantisipasi musibah yang turun maupun yang belum turun. Sesungguhnya musibah ketika turun dihadapi oleh doa dan keduanya bertarung hingga Hari Kiamat.”

Dalam kitab tersebut, pun diriwayatkan hadits dari Tsauban, Rasulullah SAW bersabda:

“Tidak ada yang menolak takdir kecuali doa. Dan tidak ada yang menambah amal pahalanya kecuali kebaikan. Sesungguhnya seseorang tidak memperoleh rezeki, mungkin saja karena dosa yang ia lakukan.”

Dalam kitab yang sama, diriwayatkan pula hadits dari Ibnu Umar. Rasulullah SAW bersabda:

“Doa itu bermanfaat bagi musibah yang telah turun dan yang belum turun. Karena itu, wahai hamba Allah, kalian harus berdoa.”

Maka, di tengah pandemi Covid-19 yang belum usai ini, alangkah baiknya mengoptimalkan segenap ikhtiar dan memanjatkan doa terbaik kita. []

ISLAMPOS

Belajar dari Pemuda Lugu dari Afrika

LELAKI kulit hitam keturunan Afrika itu akhirnya tiba juga di Amerika. Dialah satu-satunya orang yang berkesempatan datang ke Amerika dari desa di mana dia tinggal. Dia berangkat ke Amerika dalam rangka pertukaran pemuda yang dipusatkan di Washington DC. Persiapan bahasa dan materi diskusi seputar pemuda telah dikuasainya. Dia sangat siap berdiskusi tentang potensi besar tak tergarap di negaranya.

Salah satu poin penting yang menjadi kegelisahan batinnya adalah tentang kelompok muda yang tidak pernah diberikan kesempatan tampil dalam peran publik karena arogansi dan ketamakan kaum tua yang tak mau lengser dan tak mau diganti para muda.

Ternyata, persiapannya betul-betul memberi hikmah. Keluguannya menyampaikan fakta apa adanya, termasuk eksploitasi oleh asing di negaranya dan pengibirian potensi lokal mendapat aplaus panjang dari para pakar akademis yang masih setia dengan obyektivitasnya.

Saran pemuda kulit hitam itu cukup mengagetkan: “Berhentikan semua orang tua pembuat kebijakan yang memiliki ikatan kuat dengan masa lalu, gantilah dengan para pemuda yang punya impian masa depan.” Kesimpulan yang tepat menurut saya. Orang yang masih kuat “ikatan batinnya” dengan masa lalunya, pasti akan selalu membela masa lalunya. Masa depan, terutama masa depan orang lain, tak diperhatikannya.

Jelas sekali pola pandang pemuda berkulit hitam itu bahwa pangkal semua masalah adalah para pejabat tua yang fokusnya hanya pada masa lalu. Sibuk membangkitkan yang lama. Heboh dengan memperbaiki citra jelek masa lampau dan gemuruh nafsu untuk balas dendam. Akal sehatnya hilang, yang muncul adalah nafsu sampai rela menggadaikan kehormatan negara dan bangsa.

Saya kagum dengan pandangan pemuda ini. Saya membaca berita tentangnya sambil tepuk tangan berdiri, “standing applause.” Salut akan keberaniannya. Lalu saya tersenyum membaca bagian akhir berita itu: “Di Amerika ini ada yang unik. Mereka mentertawakan saya karena saya hitam, berbeda dengan mereka yang semuanya berkulit putih. Sementara saya mentertawakan mereka karena mereka seragam semua, berkulit putih, hanya saya sendiri yang hitam.” Salam, AIM. [*]

Oleh KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

10 Alasan Mengapa Kita Mudah Bicarakan Keburukan Orang Lain?

Islam mengingatkan menghindari membicarakan keburukan orang lain.

Mengapa dorongan ingin menggunjing dan membicarakan keburukan sesama muncul dalam kehidupan sehari-hari? 

Sering kali bahkan dilakukan secara sengaja. Tak memandang umur, jabatan, dan kedudukan seseorang. Ghibah seolah dianggap lumrah. 

Jawaban atas pertanyaan mengapa inilah yang hendak diungkap Imam Zainuddin al-Juba’i al-Amili as-Syami (w 965 H) dalam karyanya yang cukup langka dan fenomenal berjudul Kasyf ar- Raibah ‘An Ahkam al-Ghibah. 

Al-Juba’i mengatakan, ada 10 hal yang bisa memicu perbuatan menggunjing keburukan orang lain. Pertama adalah timbulnya kemarahan dalam diri pelaku ghibah terhadap si objek. 

Amarah terhadap seseorang mendorong pelaku membeberkan aib yang bersangkutan. Terlebih jika ruh keagamaan dan sikap wara’ hilang dari mereka yang tengah dirundung amarah.

Jika amarah tersebut tak tersalurkan atau ternetralisasi dengan permintaan maaf atau jiwa besar mengikhlaskan, yang akan terjadi selanjutnya adalah amarah itu mengendap dan semakin mengeras dalam batinnya.

Amarah itu menjelma menjadi dendam kesumat, selamanya akan mengingat dan menyebutkan keburukan si fulan. Berhati-hatilah, kata al-Juba’I, amarah dan dendam pemicu dominan ghibah.

Kedua, solidaritas yang salah tempat. Berkumpul dalam perkumpulan, yang mungkin tujuan awalnya baik, ternyata di tengah-tengah perbincangan tersebut pelaku ghibah mengawali melontarkan isu, gosip, dan kabar burung tentang seseorang, lalu mengajak kita benar-benar ikut dalam pusaran ghibah.

Dalam kondisi demikian, kita kerap menyadari larangan berghibah, tetapi karena menjaga perasaan dan solidaritas salah tempat tadi, akhirnya kita turut menjerumuskan diri bersama-sama si pelaku ghibah.

Ketiga, mendegradasi kredibilitas si objek ghibah. Ini bisa jadi muncul karena misal faktor persaingan tak sehat atau untuk tujuan mereduksi kredibilitas seseorang dalam hal persaksian. Pelaku dalam kondisi semacam ini melakukan serangan lebih awal untuk menjatuhkan lawannya itu di depan publik.

Faktor pemicu ghibah yang keempat dalam pandangan al-Juba’i ialah cuci tangan atas perbuatan yang sama-sama pernah dilakukan dengan si objek ghibah. Ia ingin mencitrakan diri seolah-olah bersih dan sepenuhnya tak terlibat, padahal fakta tidak demikian. Pelaku ghibah akan menguak aib yang sebenarnya, ia juga melakukannya. Ia berbohong untuk dirinya sendiri, tetapi ia jujur menguliti keburukan orang lain.

Al-Jubai melanjutkan, pemicu ghibah yang kelima ialah keinginan mengangkat status pelaku dan menjatuhkan martabat si objek dengan merendahkan dan atau menyebarkan kekurangan intelektualitasnya, misal, kepada orang lain.

Seperti tudingan bahwa si fulan itu bodoh, tak pandai bicara, dan minim wawasan. Tujuannya hanya satu, meninggikan derajat dan nilai si pelaku di mata orang.

Pemicu ghibah selanjutnya yang keenam, menurut al-Juba’I, ialah dengki. Ia tak ingin saudaranya mendapat nikmat. Jika publik memuji lawannya, kedengkian si pelaku akan membakar hatinya dan menggerakkannya melakukan ghibah.

Bagaimana agar publik berhenti memuji saingannya itu. Caranya sangat tak santun dan tak beretika. Ia akan membuka aib orang tersebut di depan khalayak. Harapannya, rangkaian pujian demi pujian yang selama ini tertuju pada si objek akan terhenti.

Faktor yang ketujuh, al-Juba’i, mengingatkan kita, hendaknya mengindari menggunakan kekurangan dan aib seseorang sebagai bahan candaan. 

Sadar atau tidak, candaan tak pantas kita terhadap si fulan di belakangnya bermuatan ghibah. Meski sekadar ingin mencairkan suasana, memancing gelak tawa, ketahuilah hal itu sama sekali tak pantas.

Al-Juba’i menjelaskan, faktor kedelapan tak jauh berbeda dengan pemicu sebelumnya, yaitu keinginan merendahkan dan menghina si fulan. 

Menurut al-Juba’i, sekalipun pembeberan keburukan itu dilakukan di hadapannya dan ia mengetahui dan mendengar, itu pun bisa dikategorikan sebagai ghibah. Sebab, ia tak menutupi aib, malah membuka dan menjadikannya bahaan ejekan.

Sementara, pemicu ghibah kesembilan, menurut al-Juba’i, sangatlah tipis dan halus muatannya. Ini terkadang terjadi di kalangan orang-orang terdidik. Seperti perkataan demikian, Kasihan si fulan. Saya ikut prihatin. Tak ada yang salah dengan kalimat ini. Hal yang keliru ialah biasanya kalimat ini disusul dengan membeberkan kekurangan-kekurangan si fulan yang melatarbelakangi mengapa si pelaku ghibah prihatin.

Dan, penyulut ghibah yang terakhir, dalam pandangan al-Juba’i adalah kemurkaan karena Allah SWT. Kok bisa? Ya, ini lagi-lagi kerap menghinggapi mereka yang terdidik dan kalangan khusus seperti ulama. Seseorang bisa saja marah karena si fulan bermaksiat, melanggar larangan-larangan-Nya. Tetapi, secara spontan ia justru kerap membuka aib si fulan tersebut di hadapan orang lain.

KHAZANAH REPUBLIKA


Hati-Hati dengan Virus yang Satu Ini!

Dunia sedang dilanda oleh kecemasan dan ketegangan. Sebuah virus kecil yang tak terlihat mata tiba-tiba datang dan merubah segalanya. Semua Negara kebingungan, jutaan masyarakat menderita dan ketakutan dengan virus yang berbahaya ini.

Namun kabar baiknya, semua ahli kesehatan sepakat bahwa virus ini tidak berdaya di hadapan seseorang yang memiliki imunitas yang tinggi di dalam tubuhnya. Virus ini akan mati dengan sendirinya bila imunitas tubuh mampu untuk melawannya. Oleh karena itu, salah satu cara terbaik untuk melawan pandemi ini adalah dengan menjaga kesehatan dengan makanan yang bergizi, konsumsi multivitamin, menjaga kebersihan dan seterusnya.

Walaupun bila kita pikirkan, apabila virus ini menimpa seseorang (semoga Allah menyelamatkan kita semua), maka ia akan merasakan gejala-gejala sakit dan kemungkinan terburuknya adalah kematian. Setelah jasad ini mati, maka selesai lah penderitaan penderitanya.

Maka bila kita timbang-timbang, sebenarnya masih banyak virus yang lebih berbahaya dan lebih dahsyat dari virus Covid 19 ini. Di lihat dari efek setelahnya, virus yang satu ini tidak berhenti memberi rasa sakit sampai kematian saja. Namun setelah kematian pun urusannya belum selesai, masih banyak rasa sakit yang akan di sebabkan oleh virus ini.

Virus itu bernama “bisikan setan”. Seorang yang terjangkit bisikan setan dan mengikutinya bagaikan terjangkit virus berbahaya yang menggerogoti tubuhnya. Bedanya, virus yang satu ini menggerogoti jiwa manusia. Batas penderitaan yang di alami seseorang yang terkena Covid 19 adalah kematian, namun penderitaan seseorang yang terjangkit virus bisikan setan masih akan terus berlanjut bahkan hingga kehidupan setelah kematian.

Namun uniknya, Al-Qur’an juga memberi kabar gembira bahwa manusia yang memiliki imunitas jiwa yang kuat tidak akan terjangkiti virus bisikan setan ini. Mereka yang terbiasa membersihkan jiwanya dengan ibadah, amal kebaikan dan selalu mengingat Allah akan memiliki kekebalan untuk melawan virus ini. Ketika bisikan setan datang untuk menggoyang keimanannya, maka secara otomatis jiwa yang kuat ini akan memberikan perlawanan dan virus bisikan setan ini akan terpental. Begitulah imunitas dalam jiwa orang-orang yang bertakwa.

Dengarkan bersama Firman Allah swt :

إِنَّ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَوۡاْ إِذَا مَسَّهُمۡ طَٰٓئِفٞ مِّنَ ٱلشَّيۡطَٰنِ تَذَكَّرُواْ فَإِذَا هُم مُّبۡصِرُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa apabila mereka dibayang-bayangi pikiran jahat (berbuat dosa) dari setan, mereka pun segera ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat (kesalahan-kesalahannya).” (QS.Al-A’raf:201)

Ketika virus bisikan ini menghampiri orang-orang yang bertakwa, spontan mereka mengingat Allah dan kembali sadar sehingga virus itu tidak mampu merusak keimanannya. Subhanallah, disaat-saat semacam ini kita di sadarkan bahwa imunitas tubuh adalah satu hal terpenting yang perlu di jaga dan di persiapkan dalam menghadapi berbagai penyakit. Maka hal ini memberi pelajaran yang luar biasa bahwa kita juga sangat perlu menyiapkan imunitas jiwa untuk melawan berbagai virus yang selalu digunakan oleh setan dan hawa nafsu untuk menghancurkan manusia.

Semoga bermanfaat….

KHAZANAH ALQURAN

Engkau Tidak Akan Terabaikan Selama Allah Menjadi Penjagamu!

 Allah swt berfirman :

إِنَّ رَبِّي عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٍ حَفِيظ

“Sesungguhnya Tuhanku Maha Pemelihara segala sesuatu.” (QS.Hud:57)

Ayat singkat ini adalah sebuah konsep keimanan yang utama, namun sering dilupakan oleh manusia. Di tengah hiruk pikuk dan kebisingan dunia, di tengah kesibukan dan masalah-masalah yang menghampiri, kita lupa bahwa di balik semua ini ada Allah, sebaik-baik yang menjaga hamba-Nya.

Makna dari kata حَفِيظ adalah yang menjaga sesuatu, sehingga tidak ada yang bisa menyentuh “yang di jaga” kecuali dia. Kata ini adalah kiasan dari Kemampuan dan Kekuasaan.

Karena itu, ketika engkau mencapai sebuah prestasi kemudian tiada ada seorang pun yang menghargai prestasimu, maka jangan pernah bersedih karena Allah tidak akan menyia-nyiakan kebaikan yang kau lakukan. Dia lah yang akan menjaga amal-amalmu.

Ketika engkau meminta hakmu dan tidak diberikan bahkan mereka malah mencacimu, janganlah engkau bersedih karena Allah yang akan menjaga hakmu dan tidak akan menyia-nyiakannya.

Ketika engkau membantu seseorang kemudian ia membalasnya dengan keburukan, jangan pernah bersedih karena Allah lah yang akan menjaga kebaikan-kebaikanmu.

Yakinlah selalu bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, tiada sedikit pun yang luput dari Pengetahuan-Nya. Setiap kebaikan pasti akan mendapat ganjaran dan setiap kedzaliman dan dosa-dosa pasti akan mendapat balasan.

Yakinlah selalu bahwa Allah selalu dekat dan menjaga hamba-Nya. Dia lah yang mengatur semua ketetapan di dunia, menjamin rezeki bagi hamba-hambaNya dan menolong Rasul serta pengikutnya serta menghinakan musuh-musuhNya.

Dalam ayat lain Allah swt berfirman :

فَٱللَّهُ خَيۡرٌ حَٰفِظٗاۖ

“Maka Allah adalah penjaga yang terbaik.” (QS.Yusuf:64)

Begitu juga dalam firman-Nya :

وَرَبُّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٍ حَفِيظٞ

“Dan Tuhanmu Maha Memelihara segala sesuatu.” (QS.Saba’:21)

Jika engkau telah yakin bahwa Allah yang menjagamu, bagaimana mungkin engkau akan terlantar? Bagaimana mungkin engkau akan disia-siakan?

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Begini Gambaran Saat Nyawa Dicabut Menurut Imam Ghazali

Imam Ghazali menggambarkan nyawa dicabut dalam mahakaryanya.

Siapakah yang ingin mengetahui besarnya penderitaan saat sakaratul maut. Pedihnya tidak dapat diketahui dengan sebenarnya kecuali oleh orang yang telah merasakannya. Kita pada saatnya nanti akan merasakan kepedihan itu.

Maka, saksikanlah bagaimana penuturan sang Hujjatul Islam Imam Ghazali mengenai kala ajal menjelang dalam Ihya Ulumiddin. Sang Imam menyebut sakaratul maut hanya akan dialami makhluk yang memiliki ruh. Ruhlah yang sejatinya merasakan kepedihan sakaratul maut.

Jika badan seseorang terimpa luka, bekas kepedihan fisik itu akan menjalar sampai ke ruh. Jika ia terbakar, rasa sakit yang dialami badan akan terasa jua oleh ruh.

Saat kepedihan pencabut nyawa menyerang ruh, rasanya akan menenggelamkan semuanya. Ruhlah yang ditarik dari badan. Dicerabut dari tiap urat badan, ditarik perlahan dari urat saraf, dari sendi-sendi, dari pokok setiap rambut dan kulit dari ujung kepala hingga tapak kaki. Tergambar betapa menyakitkannya.

Manusia pada hari itu benar-benar kepayahan. Seorang penyair pernah berkata tentang sakaratul maut. “Sungguh kematian itu lebih sakit daripada pukulan dengan pedang, gergajian dengan gergaji, dan guntingan dengan gunting.”

Sakit fisik hanya akan terasa jika ada ruh di dalamnya. Sebab, rasa sakit pada fisik sejatinya dirasakan oleh ruh. Lalu, apa jadinya jika ruh itu sendiri yang dicabut?

Sang Imam melanjutkan, akal manusia pada saat itu benar-benar kacau balau. Lisan telah dibisukan, tak sanggup berkata apa-apa tanpa pertolongan Allah SWT. Semua anggota badan telah dilemahkan. Tak ada upaya dan usaha kecuali hanya dari Allah SWT. Persis seperti dzikir yang kita sebut setiap saat.

Jika saja ia mampu berteriak, ia akan berteriak karena rasa sakitnya. Namun, ia tidak sanggup. Jika tersisa kekuatan pada seseorang yang dicabut nyawanya, tentu ia akan mengerahkan semua kekuatan untuk menahan rasa sakit.

Kepedihan itu makin dalam menuju dua biji mata naik terus ke pelupuk mata. Kedua bibir sudah mengerut seperti asalnya. Anak jemarinya berubah menjadi kehijau-hijauan. Jika satu urat saja ditarik, sakitnya pun akan luar biasa. Apalagi, ruh diangkat dari setiap inci urat tanpa kecuali.

Lalu, setiap anggota badan dari seluruh anggota badan mati secara bertahap. Dinginlah kedua tapak kakinya, lalu ke betisnya, kemudian menjalar ke pahanya. Dari setiap badan, ada anggota yang sekarat tahap demi tahap hingga mencapai kerongkongannya.

Jika sudah seperti ini, terputuslah pandangannya pada dunia dan ditutup baginya pintu taubat. Rasulullah SAW bersabda, “Diterima taubat seorang hamba selama belum sekarat.” (HR Tirmidzi).

Maka, lihatlah kesaksian Ummul Mukminin Aisyah RA yang menemani Rasulullah SAW hingga saat-saat terakhirnya. Beliau berkata, “Tidaklah aku iri hari kepada seseorang yang Allah memudahkan atas kematiannya sesudah yang aku lihat dari kesulitan wafatnya Rasulullah SAW.”

Duhai, betapa berat dan pedihnya sakaratul maut itu. Syaddad bin Aus pernah berkata soal kematian. “Kematian adalah huru-hara yang paling buruk di dunia. Ia lebih sakit dibanding digergaji dengan gergaji atau direbus dalam periuk.”

Maka, benarlah jika kematian yang tiba-tiba itu sejatinya sebuah kenikmatan. Rasulullah SAW bersabda, “Kematian secara tiba-tiba adalah kesenangan bagi orang mukmin dan penyesalan atas orang yang berbuat maksiat.” (HR Ahmad).

Tidak ada yang lebih baik dibandingkan menyambut kepedihan sakaratul maut dengan terus tegap di atas iman. Kita tak pernah lagi tahu kapankah sakaratul maut itu akan bertamu. Kepedihan apa yang akan menghadap.

Seorang mukmin sejati hakikatnya adalah mereka yang bahagia dengan perjuampaan dengan Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja yang menyukai perjuampaan dengan Allah, niscaya Allah menyukai perjuampaan dengannya, dan siapa saja yang tidak menyukai perjuampaan dengan Allah, niscaya Allah tidak menyukai perjumpaan dengannya.”

Lalu, para sahabat berkata, “Kami semua tidak menyukai kematian.” Beliau SAW bersabda, “Sesungguhnya orang mukmin jika dilapangkan baginya sesuatu, niscaya ia akan menyukai perjumpaan dengan Allah dan Allah akan menyukai perjumpaan dengannya.” (HR Bukhari Muslim).

Tiap kita pun pantas terus berdoa agar detik-detik sakaratul maut kita akan berakhir dengan husnulkhatimah. Sebuah cara yang paling indah untuk memulai perjuampaan dengan Zat yang menciptakan kita dari tanah, lalu memberikan amanah besar untuk mengurus dunia ini.   

KHAZANAH REPUBLIKA


Apakah Emas dan Perak di Zaman Ini Sudah Bukan Benda Ribawi?

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa emas dan perak adalah termasuk benda ribawi. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الذهب بالذهب، والفضة بالفضة، والبر بالبر، والشعير بالشعير، والتمر بالتمر، والملح بالملح، مثلا بمثل، سواء بسواء، يدا بيد، فإذا اختلفت هذه الأصناف فبيعوا كيف شئتم إذا كان يدا بيد.

“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr (jenis gandum) dengan burr, sya’ir (jenis gandum) dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, takarannya/timbangannya harus sama dan harus dibayar tunai (kontan). Jika berbeda jenisnya, maka juallah sesuai dengan yang engkau kehendaki selama dilakukan dengan tunai.” [Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1587).]

Akan tetapi, para ulama’ berbeda pendapat apa ‘illah riba dari emas dan perak, yakni apa yang menyebabkan emas dan perak dikategorikan sebagai benda ribawi?

Pendapat pertama

‘Illah-nya adalah karena emas dan perak itu ditimbang. Jika kita menguatkan pendapat ini, maka semua benda yang ditimbang ketika diperjualbelikan juga adalah benda ribawi, seperti besi, daging, gula, dll. Ini adalah pendapat madzhab Hanafiy dan Hanbaliy.

Pendapat kedua

‘Illah-nya adalah karena emas dan perak adalah logam mulia yang digunakan sebagai mata uang. Oleh karena itu, menurut pendapat ini, hanya emas dan perak yang merupakan benda ribawi, sedangkan uang kertas tidak. Ini adalah pendapat Imam Malik dalam pendapat yang masyhur dari beliau, Imam Syafi’i, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

Pendapat ketiga

‘Illah-nya adalah karena emas dan perak adalah mata uang. Oleh karena itu, seluruh benda yang digunakan sebagai mata uang merupakan benda ribawi, termasuk uang kertas dan uang logam yang kita miliki sekarang. Ini adalah pendapat terakhir Imam Malik dan salah satu pendapat di madzhab Hanbali.

Pendapat yang terkuat adalah pendapat terakhir. Syaikh Muhammad ibn Shalih al-’Utsaimin rahimahullah berkata,

قال بعض العلماء: إن العلة في الذهب والفضة هي الثمنية، أي أنها تستعمل في البيع والشراء وإنها ثمن الأشياء، فكل ما كان ثمنا للأشياء ولو لم يكن ذهبا أو فضة فإنه يجري فيه الربا، فالأوراق النقدية فيها الربا لأنها ثمن الأشياء، وكذلك لو قدر أن الدولة وضعت نقودها من الخشب فإنه يجري فيها الربا لأنها ثمنية.

“Sebagian ulama’ berkata: Sesungguhnya ‘illah pada emas dan perak adalah mata uang, yaitu bahwa ia digunakan dalam jual-beli dan ia adalah alat tukar. Maka semua yang merupakan alat tukar walaupun bukan emas dan perak adalah benda ribawi. Sehingga uang kertas adalah benda ribawi karena ia adalah alat tukar. Demikian pula jika diasumsikan bahwa negara menjadikan mata uangnya dari kayu, maka ia adalah benda ribawi karena ia berfungsi sebagai alat tukar.” [Mudzakkirah Fiqh, karya al-’Utsaimin (2 / 312)]

Akan tetapi, emas dan perak di zaman ini tidak lagi digunakan sebagai alat tukar, akan tetapi lebih berfungsi sebagai komoditas perhiasan. Jika kita mengatakan bahwa alasan yang menyebabkan emas dan perak menjadi benda ribawi adalah karena ia digunakan sebagai alat tukar ketika transaksi jual-beli, maka apakah di zaman ini emas dan perak sudah bukan lagi benda ribawi?

Sebagian ulama’ berpendapat bahwa ketika emas dan perak adalah dalam bentuk perhiasan dan bukan sebagai alat tukar, maka tidak berlaku lagi hukum riba baginya. Dewan Syariah Nasional MUI dalam fatwanya no. 77/DSN-MUI/V/2010 tentang jual-beli emas secara tidak tunai, setelah menimbang dan menukil banyak pendapat para ulama’ dalam masalah ini, memilih pendapat bahwa emas dan perak di zaman ini bukanlah benda ribawi, sehingga boleh bagi kita untuk melakukan jual-beli emas secara tidak tunai.

Akan tetapi, penulis lebih condong pada pendapat yang mengatakan bahwa emas dan perak di zaman ini tetap merupakan benda ribawi walaupun sudah tidak digunakan lagi sebagai alat tukar, mengingat sebuah kaidah fikih,

إن العلة المستنبطة إذا عادت إلى النص بالإبطال وجب إلغاء حكمها أو تأثيرها.

“Sesungguhnya ‘illah yang diperoleh dengan cara istinbath, jika kemudian kembali pada nash dan bertentangan dengannya, maka wajib untuk meniadakan hukumnya atau pengaruhnya.”

Ketika kita mengatakan bahwa ‘illah riba dari emas dan perak adalah karena ia digunakan sebagai alat tukar, maka ‘illah ini adalah hasil istinbath para ulama’ dari dalil-dalil. Jika kemudian di zaman ini emas dan perak bukan lagi berfungsi sebagai alat tukar sehingga kita katakan bahwa emas dan perak bukan lagi benda ribawi, yang konsekuensinya adalah boleh bagi kita untuk melakukan jual-beli emas dan perak secara tidak tunai, maka kesimpulan hukum ini telah bertentangan dengan dalil asal istinbath itu sendiri, yaitu hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah kita bawakan di atas. Tidak mungkin bagi kita untuk mendahulukan kesimpulan hasil istinbath daripada pernyataan dalil itu sendiri.

Dengan demikian, kita simpulkan bahwa dalam masalah ini pendapat yang kami lebih condong kepadanya adalah bahwa emas dan perak di zaman ini tetap merupakan benda ribawi, walaupun tidak lagi digunakan sebagai alat tukar dalam transaksi jual-beli.

@almaaduuriy / andylatief.net

Penulis: Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55814-apakah-emas-dan-perak-di-zaman-ini-sudah-bukan-benda-ribawiy.html