Menjadi Teladan yang Menginspirasi

Hal terberat bagi seorang guru atau ustadz bukanlah agar ilmu sampai dan dipahami oleh muridnya, tetapi bagaimana menjadi teladan yang baik sehingga memotivasi dan menginspirasi dalam semangat ilmu, amal, dan akhlak yang mulia. Demikian juga para orang tua pada anak-anaknya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi teladan yang baik bahkan memotivasi para sahabat yang menjadi murid-murid langsung beliau.

Allah Ta’ala berfirman,

ﻟَّﻘَﺪْ ﻛَﺎﻥَ ﻟَﻜُﻢْ ﻓِﻲ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺃُﺳْﻮَﺓٌ ﺣَﺴَﻨَﺔٌ ﻟِّﻤَﻦ ﻛَﺎﻥَ ﻳَﺮْﺟُﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡَ ﺍْﻷَﺧِﺮَ ﻭَﺫَﻛَﺮَ ﺍﻟﻠﻪَ ﻛَﺜِﻴﺮًﺍ

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS. Al-Ahzab: 21).

Para ulama dahulu sangat paham bahwa murid mereka tidak hanya mengambil ilmu darinya, tetapi juga mencontoh penerapan ilmu mereka berupa adab dan akhlak yang baik.

Perhatikan kisah Imam Ahmad bin Hanbal yang mempunyai banyak murid, akan tetapi mayoritas muridnya tidak mencatat ilmu, namun ingin sekedar bertemu dan melihat Imam Ahmad yang merupakan sumber motivasi mereka dalam berilmu dan beramal. Hal ini karena Imam Ahmad telah memberikan contoh yang baik berupa ilmu, amal, dan akhlak yang mulia.

Adz-Dzahabi rahimahullahu berkata,

كان يجتمع في مجلس أحمد زهاء خمسة آلاف – أو يزيدون نحو خمس مائة – يكتبون، والباقون يتعلمون منه حسن الأدب والسمت

“Hadir di majelis Imam Ahmad ada sekitar limaribu orang atau lebih. Limaratus orang menulis (pelajaran), sedangkan sisanya hanya mengambil contoh keluhuran adab dan kepribadiannya.”[1]

Demikian juga kisah yang dibawakan oleh ulama besar Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullahu, beliau memiliki ilmu yang banyak dan diakui. Beliau juga melihat langsung teladan ilmu, amal, dan akhlak mulia dari guru beliau yaitu syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Ketika mereka merasakan sempit akibat ujian dunia, mereka segera mendatangi gurunya. Belumlah mereka mendengar wejangan dan nasihat dari gurunya, baru bertemu saja dengan gurunya, mereka sudah merasakan ketenangan dan hilanglah rasa sempitnya. Hal ini karena guru mereka benar-benar memberikan contoh teladan yang baik serta kesabaran yang luar biasa.

Ibnul Qayyim berkata,

وكنا إذا اشتد بنا الخوف وساءت منا الظنون وضاقت بنا الأرض أتيناه، فما هو إلا أن نراه ونسمع كلامه فيذهب ذلك كله وينقلب انشراحاً وقوة ويقيناً وطمأنينة

“Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah) jika ditimpa perasaan takut yang berlebihan, timbul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk atau (ketika kami merasakan) kesempitan hidup, maka kami mendatangi beliau, dengan hanya memandang beliau dan mendengarkan ucapan beliau, hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang.”[2]

Demikian juga kita sebagai orang tua, jika mendidik anak di rumah harus memberikan contoh teladan terlebih dahulu kepada anak-anak kita:

-Jika ingin anak kita shalih/shalihah, sebagai orangtua harus berusaha shalih dan shalihah

-Jika ingin anak rajin shalat, sebagai orangtua harus rajin shalat di rumah untuk mencontohkan (ayah shalat wajib di masjid dan shalat sunah di rumah)

-Jika ingin anak menghafalkan Al-Quran, kita pun berusaha menghafalkan Al-Qur’an di rumah walaupun sedikit, sering membaca Al-Quran di rumah

Khususya bagi para suami dan para ayah, Andalah yang menjadi teladan utama bagi istri dan anak-anak Anda. Perhatikan perkataan ulama berikut

إن عصيت الله رأيت ذلك في خلق زوجتي و أهلي و دابتي

“Sungguh, ketika bermaksiat kepada Allah, aku mengetahui dampak buruknya ada pada perilaku istriku, keluargaku, dan hewan tungganganku.”

Tugas dari para ayah yaitu menjaga keluarganya dari api neraka.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. At-Tahrim [66] :6).

Demikian semoga bermanfaat

Penulis: dr. Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/35553-menjadi-teladan-yang-menginspirasi.html

Sedekah Pintu Kemuliaan

Allah menjanjikan pahala dan kemuliaan bagi orang yang bersedekah.


Dari Abu Umamah bin Shuday bin ‘Ajlan RA, ia berkata; Rasulullah SAW bersabda, “Wahai anak Adam, sesungguhnya jika kamu memberikan kelebihan hartamu, maka itu sangat baik. Jika tidak, itu sangat jelek bagimu. Kamu tidaklah dicela karena kesederhanaanmu. Dahulukan orang yang menjadi tanggunganmu. Sebab, tangan di atas (orang yang memberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (orang yang meminta).” (HR Muslim).

Hadis tersebut mengingatkan kita agar senantiasa bersedekah. Saat diberi kelebihan harta, alangkah terpujinya jika mau berbagi dengan sesama. Bagi seorang mukmin yang tidak sanggup bersedekah dengan harta, sesungguhnya pintupintu kebaikan lainnya selalu terbuka lebar. Tak melulu soal harta, sedekah bisa berupa apa saja, bahkan berbahagia dengan kebahagiaan sesama mukmin pun merupakan sedekah.

Sedekah bisa berupa perilaku dan tutur kata yang baik, membantu pendengaran orang yang tuli, membantu orang buta berjalan, menjenguk orang yang sakit, memberikan senyuman kepada sesama, berwajah ceria, berbuat adil, dan memberikan nafkah kepada keluarga. Rasulullah SAW bersabda, “senyummu kepada saudaramu adalah sedekah, ajakanmu terhadap kebaikan adalah sedekah, bantuanmu terhadap orang yang tak bisa melihat adalah sedekah, menyingkirkan batu atau duri di jalanan itu sedekah, dan membagi isi timbamu kepada timba saudaramu itu juga sedekah.” (HR Tirmidzi).

Allah menjanjikan pahala dan kemuliaan bagi orang yang bersedekah. Bahkan, Allah sendiri yang lebih tahu balasan apa yang pantas diberikan. Firman-Nya, “sesungguhnya orangorang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (ganjarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak.” (QS al-Hadid: 18). Pada ayat lain Allah berfirman, “Dan, apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya.” (QS Saba: 39).

Bahkan, Allah akan memelihara pahala orang yang bersedekah. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, “barang siapa yang bersedekah senilai satu butir kurma dari hasil usaha yang halal, di mana Allah tidak akan menerima kecuali yang baik (halal), maka sesungguhnya Allah akan menerima dengan tangan kanan-Nya, kemudian memeliharanya untuk orang yang bersedekah itu, sebagaimana salah seorang di antara kalian memelihara anak kuda, sehingga sedekah itu menjadi sebesar gunung.” (HR Bukhari dan Muslim).

Membiasakan diri bersedekah merupakan sikap terpuji. Tidak semua orang mampu melakukannya. Diperlukan latihan agar menjadi perilaku keseharian dan membentuk sikap mental dermawan. Ketika sudah terbangun sikap dermawan dalam diri seseorang, ia akan senantiasa berupaya memberikan apa yang bisa diberi setiap harinya. Hidupnya selalu optimistis. Yakin bahwa apa yang diberikan, hakikatnya bukan berkurang, justru bertambah. Sungguh mulia orang yang menjadikan kebiasaan bersedekah sebagai jalan hidupnya.

Kebiasaan bersedekah akan menghindarkan kita dari rakus dan pelit. Keduanya adalah sumber kebusukan yang bisa merusak hati, memicu timbulnya cinta dunia, dan ambisi buta untuk menguasai harta. Beruntunglah orang yang terpelihara dari sikap kikir sebagaimana Allah berfirman, “Siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS at-Taghabun: 16) Oleh karena itu, biasakan diri kita untuk bersedekah setiap hari, memberikan kebahagiaan meski hanya dengan senyuman dan berwajah ceria. Wallahu a’lam.

Oleh: Agus Sopian

KHAZANAH REPUBLIKA

Jumat adalah Hari Nikahnya Para Nabi dan Wali, Siapa Saja?

Sejumlah nabi dan sahabat menikah pada Jumat.

Jumat merupakan hari yang istimewa dalam Islam. Hari Jumat juga disebut sebagai hari raya Islam. Sebab di hari ini, ada sejumlah peristiwa besar yang terjadi dan menjadi hari yang di dalamnya terdapat waktu yang mustajab untuk berdoa.

Di hari ini pula disunahkan untuk memperbanyak amalan dalam beribadah. Dari keistimewaan dan keutamaan hari Jumat itulah, ada anjuran untuk melangsungkan akad nikah di hari Jumat. Dewan Pakar Aswaja Center PCNU Jombang, Gus Yusuf Suharto, mengatakan bahwa hari Jumat juga menjadi hari pernikahan para Nabi dan wali. 

Dia menukilkan pendapat dari Syekh Abu Nashr dalam as-Sab’iyyat fi Mawaidz al-Bariyyat. Syekh Abu Nashr menuturkan pendapat sebagian ulama bahwa ada tujuh nabi dan wali yang menikah pada Jumat.

Mereka di antaranya, Nabi Adam dan Hawa, Nabi Musa dan Shafura, Nabi Sulaiman dan Bilqis, Nabi Muhammad dan Khadijah, Nabi Muhammad dan Aisyah, dan Nabi Yusuf dan Zulaikha. Sementara di kalangan sahabat ialah Sayyidina Ali dan Fathimah.

Gus Yusuf juga menukilkan riwayat bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya oleh Anas Ibn Malik tentang Jumat. Rasulullah kemudian menjawab, bahwa Jumat adalah hari silaturahim dan hari pernikahan.

Anas lantas bertanya, “Mengapa begitu?” Rasulullah menjawab, bahwa pada Jumat itulah para nabi menikah.

Sementara itu, Ibnu Qudamah mengatakan dianjurkan untuk melakukan akad nikah pada hari Jumat. Sebab, beberapa ulama salaf menganjurkan hal itu. Ada beberapa ulama yang melakukan demikian, termasuk Samurah ibn Habib, Rasyid bin Said, dan Habib bin Utbah. 

Hal ini juga dinyatakan oleh an-Nafrawi al-Maliki dalam al-Fawakih ad-Dawani, bahwa dianjurkan khitbah (lamaran) dan akad nikah di hari Jumat setelah ashar, karena mendekati waktu malam. 

KHAZANAH REPUBLIKA


Baca Alquran tak Tahu Arti, Ini Empat Faedahnya

MENURUT penjelasan dari Ustaz Ahmad Sarwat Lc, selain ayat Quran juga banyak hadis nabawi yang menganjurkan kita untuk membaca Alquran, tanpa menekankan pentingnya kita mengerti maknanya, di antaranya sebagai berikut:

1. Orang yang Baca Alquran dengan Yang Tidak Baca Berbeda

Salah satu nash hadis secara tegas membandingkan orang yang membaca Alquran dengan yang tidak membaca Alquran. Dari Abu Musa Al-Asy`arit berkata, Rasulullah bersabda, “Perumpamaan orang mukmin yang membaca Alquran bagaikan buah limau baunya harum dan rasanya lezat. Dan perumpamaan orang mukmin yang tidak membaca Alquran bagaikan kurma, rasanya lezat dan tidak berbau. Dan perumpamaan orang munafik yang membaca Alquran bagaikan buah raihanah yang baunya harum dan rasanya pahit, dan perumpamaan orang munafik yang tidak membaca Alquran bagaikan buah hanzholah tidak berbau dan rasanya pahit.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dari hadis ini jelas sekali bahwa sekedar membaca Alquran atau tidak membaca sudah membedakan kedudukan seseorang. Berarti ada nilai tersendiri untuk sekedar membaca Alquran.

2. Bersama Malaikat

Hadis ini juga sangat eksplisit menyebutkan tentang orang yang membaca Alquran, yaitu dijanjikan Allah akan di tempat bersama dengan para malaikat. Dari `Aisyah Radhiyallahu `Anha berkata, Rasulullah bersabda, “Orang yang membaca Alquran dan ia mahir dalam membacanya maka ia akan dikumpulkan bersama para Malaikat yang mulia lagi berbakti. Sedangkan orang yang membaca Alquran dan ia masih terbata-bata dan merasa berat (belum fasih) dalam membacanya, maka ia akan mendapat dua ganjaran.” (HR Bukhari Muslim)

Semakin tegas lagi ketika lafaz hadis ini menyebutkan kasus orang yang membaca Alquran dengan terbata-bata yang tetap saja akan diberikan pahala. Jelas menunjukkan tentang pentingnya membaca Alquran.

3. Bacaan Quran adalah Syafaat

Selain itu juga kita temukan adanya dalil yang menyebutkan tentang salah satu fungsi bacaan Quran sebagai syafaat yang akan menolong kita di hari akhir nanti. Dari Abu Umamah Al-Bahili berkata, saya telah mendengar Rasulullah bersabda, “Bacalah Alquran!, maka sesungguhnya ia akan datang pada Hari Kiamat sebagai syafaat bagi ahlinya.” (HR Muslim)

4. Diberi Pahala per Huruf

Dan semakin tegas lagi pentingnya membaca Alquran ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Dari Abdullah bin Mas`ud berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Kitabullah (Alquran) maka baginya satu kebaikan. Dan satu kebaikan akan dilipat gandakan dengan sepuluh kali lipat. Saya tidak mengatakan “Alif lam mim” itu satu huruf, tetapi “Alif” itu satu huruf, “Lam” itu satu huruf dan “Mim” itu satu huruf.” (HR At Tirmidzi dan berkata, “Hadits hasan shahih).

Betul-betul disebutkan bahwa membaca Alquran itu berpahala dan pahalanya dihitung perhuruf, di mana setiap huruf akan dikalikan sepuluh kebajikan. Semua dalil ini menunjukkan bahwa sekedar membaca Alquran tanpa memaham arti, juga sudah mendatangkan pahala. Namun kalau kita bandingkan dengan dalil-dalil yang lain, tentu pahalanya akan menjadi lebih berkah, lebih banyak dan lebih besar, manakala kita pun juga mengerti dan paham makna bacaan yang kita baca.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. []

INILAH MOZAIK

Bagaimanakah Suami dalam Menyikapi Kesalahan Istri?

Sebagai pemimpin keluarga seorang suami harus paham bagaimana menyikapi kesalahan istrinya

Suami, Pahamilah Kekurangan Istrimu

Di antara sebab awetnya sebuah rumah tangga adalah sikap suami yang pemaaf dan memahami kekurangan istrinya sebagaimana umumnya wanita yang lain. Ketika seorang istri berbuat kesalahan, maka tidak perlu setiap kesalahan istri itu harus ditegur, apalagi dijadikan sebagai sebuah masalah yang besar dan serius. Apalagi kemudian ditegur dengan kasar. Akan tetapi, hendaklah suami memilah dan memilih, manakah di antara kesalahan tersebut yang perlu ditegur, dan manakah kesalahan yang tidak perlu ditegur, alias dibiarkan saja. 

Tidak Semua Kesalahannya Harus Ditegur

Hal ini sama persis sebagaimana kita menyikapi kesalahan dan keteledoran anak kecil. Anak kecil belumlah sempurna akalnya. Kadang anak kecil berlari ke sana ke mari tanpa henti, membuat rumah berantakan, tidak bisa diam dan tenang. Akan tetapi, hal ini bisa kita maklumi. Tinggal kita awasi saja untuk memastikan keamanannya. 

Berbeda halnya jika anak kecil tersebut melakukan kesalahan yang serius, barulah ditegur. Misalnya, dia mengeluarkan kata-kata dan ungkapan (umpatan) kasar yang seharusnya tidak boleh diucapkan. Jika semua kesalahan anak kecil ditegur, yang muncul hanyalah stres dari orang-orang yang menegurnya.

Begitu juga menyikapi kesalahan dan keteledoran istri. Tidak perlu semuanya ditegur. Ketika istri salah sedikit, suami langsung menegur dan memarahi. Ini sikap seorang suami yang kurang tepat. Akan tetapi, sekali lagi, hendaknya suami memilah dan memilih, manakah di antara kesalahan tersebut yang memang perlu dan layak untuk ditegur. 

Pahami Kapan Memaklumi dan Kapan Harus Menegur

Misalnya, pada pagi hari, suami meminta istri untuk membuatkan teh panas. Biasanya dengan senang hati sang istri akan membuatkan. Akan tetapi, pagi itu istri baru agak malas dan tidak mau melaksanakan perintah suami. Dalam kondisi ini, hendaklah suami maklum, dibiarkan saja, toh dia juga bisa membuat teh panas sendiri. Kita maklumi saja, mungkin istri baru ingin santai-santai, mungkin baru tidak fokus, dan pemakluman yang lain. 

Atau suatu sore sepulang kerja, kondisi rumah masih berantakan, makanan pun belum disiapkan. Ternyata istri ketiduran, dan belum lama bangun. Hal semacam ini hendaknya dimaklumi, dan tidak perlu dijadikan masalah besar.

Akan tetapi, ketika suatu saat istri membentak-bentak suami, maka kesalahan ini tidak bisa ditolerir sehingga perlu (langsung) ditegur dan diluruskan.

Teladan Terbaik dalam Menyikapi Kesalahan Istri

Apa yang kami uraikan di atas adalah teladan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menyikapi kesalahan-kesalahan istrinya. Demikianlah praktik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menegur istri beliau, sebagaimana yang diceritakan dalam firman Allah Ta’ala,

وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا فَلَمَّا نَبَّأَتْ بِهِ وَأَظْهَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ عَرَّفَ بَعْضَهُ وَأَعْرَضَ عَنْ بَعْضٍ فَلَمَّا نَبَّأَهَا بِهِ قَالَتْ مَنْ أَنْبَأَكَ هَذَا قَالَ نَبَّأَنِيَ الْعَلِيمُ الْخَبِيرُ

“Dan ingatlah ketika nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang istrinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka ketika (Hafsah) menceritakan peristiwa itu (kepada ‘Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (pembicaraan Hafsah dan ‘Aisyah) kepada Muhammad, lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan (membiarkan) sebagian yang lain (kepada Hafsah). 

Maka ketika (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan ‘Aisyah) lalu (Hafsah) bertanya, “Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?” Nabi menjawab, “Allah yang Maha mengetahui lagi Maha Mengenal telah memberitakan kepadaku.” (QS. At-Tahrim [66]: 3)

Kita mengetahui bahwa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wanita-wanita utama dan pilihan. Suatu ketika, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan beberapa perkara kepada istrinya, yaitu ibunda Hafshah radhiyallahu ‘anha, dan berpesan kepada Hafshah agar tidak menceritakannya kepada siapa pun. Akan tetapi, Hafshah radhiyallahu ‘anha tidak menunaikan wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hafshah justru menceritakan perkara tersebut kepada ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. 

Lalu, Allah Ta’ala pun memberi tahu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perihal kejadian tersebut. Sehingga akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menegur Hafshah atas sebagian kesalahannya saja, dan membiarkan (memaklumi) kesalahan yang lain. 

عَرَّفَ بَعْضَهُ وَأَعْرَضَ عَنْ بَعْضٍ

“ … lalu Muhammad memberitahukan sebagian (kesalahan yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan (membiarkan) sebagian (kesalahan) yang lain (kepada Hafsah) … “

Demikianlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menegur istrinya. Yaitu, beliau menegur sebagian kesalahan saja, dan memberikan toleransi atas sebagian kesalahan yang lain. Kurang lebihnya, jika seorang istri memiliki sepuluh kesalahan misalnya, tegurlah tiga, empat, atau lima kesalahan saja (yang memang betul-betul perlu ditegur). Dan biarkan (tidak menegur) sisa kesalahan yang lainnya. [1]

Motivasi Agar Mudah Memaafkan Kesalahan Istri

Allah Ta’ala juga memotivasi kita untuk mudah memafkan kesalahan dan keteledoran orang-orang yang berada di bawah kita. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin, dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah. Dan hendaklah mereka memaafkan (secara lahiriyah) dan berlapang dada (yaitu, memaafkan secara batin). Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nuur [24]: 22)

Semoga uraian singkat ini dapat menjadi masukan dan bahan renungan untuk para suami.

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/53282-bagaimanakah-suami-dalam-menyikapi-kesalahan-istri.html

Wanita Itu Bagaikan Gelas Kaca

Jadilah suami yang pandai menjaga perasaan istrinya

Menjaga Gelas-Gelas Kaca

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui sebagian istrinya, sementara Ummu Sulaim bersama mereka. Maka beliau berkata, 

وَيْحَكَ يَا أَنْجَشَةُ، رُوَيْدَكَ سَوْقًا بِالقَوَارِيرِ

“Hati-hati wahai Anjasyah, pelan-pelanlah jika sedang mengawal gelas (piala) kaca (maksudnya para wanita, pent.).” (HR. Bukhari no. 6149 dan Muslim no. 2323) 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan Anjasyah agar tidak terlalu semangat dalam melantunkan syair ketika menggiring unta. Karena kalau terlalu semangat, unta-unta itu akan berjalan dengan sangat cepat. Padahal, di dalam rombongan ada para wanita. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingatkan agar Anjasyah memelankan lantunan syairnya, karena dia sedang mengawal gelas (piala) kaca, yaitu para wanita yang ada dalam rombongan.

Suami Berusaha Menjaga Hati Istri

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa wanita itu bagaikan gelas kaca …

Jika gelas kaca itu jatuh dan pecah, hampir mustahil bisa diperbaiki dan dikembalikan seperti semula. Berbeda halnya dengan gelas aluminium atau gelas besi.

Jadi, untuk para suami, perhatikanlah hal ini. Janganlah Engkau membuat hatinya terluka, karena akan sulit penyembuhannya. 

Seorang istri, bisa jadi dia sanggup melaksanakan banyak perkerjaan rumah tangga di satu waktu. Dalam kondisi hamil, istri masih bisa memasak, membersihkan rumah, itu pun sambil menyuapin anak yang masih kecil, dilanjutkan dengan menyeterika pakaian. Seorang suami dengan badan yang kekar, mungkin hanya mampu menggendong anak tidak lebih dari setengah jam. Berbeda dengan sang ibu yang tahan berjam-jam lamanya. Sungguh ketahanan fisik yang luar biasa.

Akan tetapi, sekali bentakan suami yang dia dengar dan rasakan, semua tubuhnya tiba-tiba lemas dan tidak berdaya. Lau dia pun hanya bisa menumpahkan air matanya di atas bantal, tidak membalas bentakan suaminya karena tingginya kedudukan suami di matanya.

Sekali saja suami memukulnya, rasa sakit dalam hatinya tidak akan pernah hilang, meskipun bisa jadi secara fisik tidak berbekas sama sekali.

Jadi ingatlah. wahai para suami, istri (wanita) itu bagaikan gelas-gelas atau piala kaca. Hati-hatilah dalam bersikap dengan para istri. Karena kalau sebuah kaca itu sudah pecah, sangat sulit untuk dikembalikan seperti keadaannya semula. 

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/53273-wanita-itu-bagaikan-gelas-kaca.html

Faedah Berharga dari Imam Nawawi tentang Tiga Amalan yang Tidak Terputus Pahalanya

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya, dan doa anak yang saleh yang selalu mendoakannya.” (HR. Muslim, no. 1631)

Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim membawakan judul bab untuk hadits di atas “Pahala yang terus mengalir pada seseorang setelah ia wafat.”

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan hadits di atas bahwa para ulama berkata, makna hadits adalah amalan yang dilakukan oleh yang telah meninggal dunia terputus saat meninggal dunia. Pahala baru baginya juga terputus kecuali tiga hal ini karena ia jadi sebab amalan itu ada. Anak itu hasil usahanya. Ilmu yang ia ajarkan dan ia tulis merupakan usahanya pula. Begitu pula sedekah jariyah berupa wakaf juga dari dirinya.

Setelah itu Imam Nawawi rahimahullah membawakan faedah lainnya dari hadits di atas sebagai berikut:

  • Hadits ini jadi dalil akan keutamaan menikah untuk mendapatkan keturunan yang saleh. Dan sudah dijelaskan mengenai hukum menikah tergantung keadaan tiap orang, sebagaimana dijelaskan dalam kitab nikah.
  • Hadits ini juga jadi dalil disyariatkannya wakaf dan besarnya pahala wakaf.
  • Hadits ini juga jadi dalil keutamaan ilmu dan dorongan untuk terus memperbanyak ilmu, dan kita harus semangat mewariskannya dengan mengajarkan, menulis, dan menjelaskan. Ilmu juga hendaknya dipilih dari ilmu yang punya manfaat besar dan ilmu yang penuh manfaat lainnya.
  • Hadits ini juga jadi dalil bahwa doa itu bermanfaat untuk orang yang telah meninggal dunia. Begitu pula sedekah bermanfaat juga untuk yang telah meninggal dunia. Akan sampainya pahala pada mayat untuk dua amalan ini (doa dan sedekah) telah disepakati oleh para ulama. Begitu pula melunasi utang sebagaimana telah dijelaskan.
  • Sedangkan amalan haji jika dibadalkan untuk orang yang telah meninggal dunia dianggap sah sebagaimana pendapat Imam Syafii dan yang sependapat dengannya. Membadalkan haji sama dengan melunasi utang jika haji tersebut haji yang wajib. Jika haji tersebut sunnah, maka termasuk dalam masalah wasiat.
  • Sedangkan amalan puasa jika yang meninggal dunia dibayarkan puasanya oleh yang hidup, maka yang tepat wali si mayat boleh mempuasakan dirinya. Hal ini sudah diterangkan dalam kitab puasa.
  • Adapun membaca Alquran dan menjadikan pahalanya untuk orang yang telah meninggal dunia, begitu pula shalat dan ibadah semacam itu, maka menurut madzhab Syafii dan jumhur ulama, pahalanya tidak sampai pada orang yang telah meninggal dunia. Walaupun dalam masalah ini ada perbedaan pendapat di dalamnya.

Lihat penjelasan Imam Nawawi rahimahullah dalam Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 11:77.

Referensi:

Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj. Cetakan pertama, Tahun 1433 H. Al-Imam Muhyiddin Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm.


Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/22901-faedah-berharga-dari-imam-nawawi-tentang-tiga-amalan-yang-tidak-terputus-pahalanya.html

Ayat Paling Berat di Seluruh Alquran: Istiqomah

AYAT tentang Istiqomah ini adalah ayat yang paling berat konsekuensinya. Yakni, penerimaan kita terhadap perintah untuk tetap beristiqomah, khususnya dalam pelaksanaannya manakala harus bersikap menghadapi orang-orang zalim, termasuk penguasa.

Allah Swt berfirman:

“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah tobat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Huud 112).

“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain dari pada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan” (QS. Huud 113).

Diriwayatkan oleh at Tirmidzi dari Ibnu Abbas bahwa Abu Bakar ra berkata kepada beliau saw: Wahai Rasulullah saw kami melihat anda beruban (pertanda tua). Beliau saw menjawab : telah membuat aku beruban (tua) Surat Huud dkk. Dan dikatakan bahwa sesungguhnya yang membuat beruban (tua) Rasulullah SAW dari surat Huud adalah firmanNya : “. fastaqim kamaa umirta” Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar!

Imam Az Zamakhsyari dalam tafsir Kasysyaf Juz II/416 menyebut bahwa Ibnu Abbas mengatakan: Tidak ada ayat di seluruh Alquran yang diturunkan kepada Rasulullah saw yang lebih berat dan lebih sulit dari pada ayat ini.

Allah SWT meminta Nabi saw agar bersikap istiqomah. Dia berfirman: fastaqim; “Bersikaplah istiqomah”. Tuntutan Allah SWT kepada Nabi Muhammad dan umatnya agar terus menerus di jalan yang lurus tanpa menyimpang ke kiri dan ke kanan. Untuk itu seorang muslim harus senantiasa waspada, selalu menilai halal-haram, mendisiplinkan perasaan yang mau melenceng sedikit atau banyak.

Menurut Imam Az Zamakhsyari (idem), lafazh waman taba maaka mengandung pengertian bahwa seruan bersikap istiqomah itu juga ditujukan kepada orang-orang yang telah bertobat dari kekufuran dan beriman kepadamu (wahai Muhammad saw).

Diriwayatkan di dalam Shahih Muslim bahwa Sufyan bin Abdullah as Tsaqafi berkata : Aku berkata wahai Rasulullah saw : Katakanlah kepadaku dalam Islam, suatu ucapan yang aku tak akan bertanya lagi tentang hal itu sesudahmu. Rasulullah saw menjawab : “Katakanlah : Aku beriman kepada Allah, lalu tetapilah”

Istiqomah bukan berlebihan

Bersikap istiqomah bukan berarti bersikap berlebihan. Allah SWT berfirman: Walaa tathghau janganlah kalian melampaui batas. Artinya janganlah kalian melampaui batas-batas hukum Allah SWT. Larangan ini diberikan setelah perintah untuk istiqomah adalah sebagai antisipasi agar manusia tidak berlebihan, sehingga mempersulit pelaksanaan aturan agama Allah (diinullah). Dalam ayat lain Allah SWT berfirman:

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. Al Baqarah 185).

Tidak boleh berpihak kepada orang zalim

Salah satu tanda sikap istiqomah seseorang adalah manakala dirinya diminta untuk mendukung atau paling tidak menyetujui dan diam atas tindakan kezaliman yang dilakukan seseorang. Allah SWT berfirman walaa tarkanuu ila janganlah cenderung. Lafazh Walaa tarkanuu berasal dari kata ar rukun yang artinya bersandar dan diam pada sesuatu serta ridha kepadanya.

Ibnu Juraij mengatakan janan cenderung kepadanya, Qathadah mengatakan : Jangan bermesraan dan jangan mentaatinya, Abu Aliyah mengatakan : Jangan meridai perbuatan-perbuatannya.

Larangan cenderung tersebut ditujukan kepada orang-orang mukmin agar tidak cenderung terhadap orang-orang yang melakukan tindakan kezaliman. Allah SWT berfirman alladziina dzolamu orang-orang yang berbuat zalim yakni, ahli perbuatan syirik dan maksiat, orang-orang kasar yang melampaui batas, orang-orang yang puna kekuatan dan kekuasaan mereka.

Allah melarang cenderung kepada mereka karena dalam kecenderungan itu terkandung pengakuan atas kekufuran, kedzaliman dan kefasikan mereka. Pengakuan itu dipandang sebagai peran serta dalam dosa dan siksa.

Imam Sufyan at Tsuari berkata: Di neraka Jahanam nanti ada satu lembah yang tidak dihuni oleh orang kecuali para pembaca Alquran yang suka berkunjung kepada raja. Imam Auzai mengatakan: Termasuk yang dibenci oleh Allah adalah ulama yang suka berkunjung kepada penguasa.

Diriwayatkan oleh Imam Baihaqi Rasulullah saw bersabda: Siapa yang berdoa atau mengajak orang zalim tetap berkuasa, maka dia telah menyukai orang itu bermaksiat kepada Allah di bumiNya.

Imam Az Zamakhsyari (idem) mengutip riwayat yang menyebut bahwa ketika Imam Az Zuhri bergaul dengan para penguasa yang terkenal tidak memenuhi hak-hak masyarakat dan tidak meninggalkan kebatilan, maka ada seseorang mengirimi surat nasihat kepadanya agar menjauhi fitnah.

Dalam suratnya itu antara lain dia menyebut bahwa tindakan bergaul rapat dengan penguasa zalaim itu akan menimbulkan konsekwensi akan dijadikan oleh para penguasa itu sebagai poros (legitimasi) beredarnya kebatilan yang mereka lakukan, jembatan (pengakuan) atas bencana yang mereka timbulkan, dan sebagai tangga (pembenaran) atas kesesatan mereka, juga akan menimbulkan keraguan para ulama, dan akan menjadi tambatan atau ikutan orang-orang bodoh.

Orang itu menutup surat dengan kalimat: “Betapa banyak (keuntungan) yang mereka ambil dari anda disamping kerusakan yang mereka timbulkan kepada anda”. []

Alquran Dibaca, Syirik Jalan, Tauhid Ditinggalkan

TIDAK diragukan lagi bahwa Alquran telah menjelaskan segala aspek yang dibutuhkan oleh manusia.

Allah Taala berfirman:

“dan Kami telah menurunkan Alkitab kepadamu sebagai penjelasan atas segala sesuatu serta sebagai petunjuk dan rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang Muslim” (QS. An Nahl: 89).

Dan penjelasan yang paling dibutuhkan serta paling urgen bagi manusia di dalam Alquran adalah tentang tauhid dan syirik. Karena perkara ini adalah pokok agama dan hal mendasar dalam Islam. Tauhidlah yang menjadi pondasi dari semua amalan yang dilakukan seorang Muslim, dan syiriklah yang bisa membatalkan semua amalan tersebut.

Karena itu Allah Subhanahu wa Taala telah menjelaskan kedua perkara ini di dalam Alquran dengan penjelasan yang gamblang dan jelas. Allah Taala berfirman:

“Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas; dan tak ada yang ingkar kepadanya, melainkan orang-orang yang fasik.” (QS. Al Baqarah: 99).

Bahkan semua bagian dari Alquran adalah penjelasan mengenai tauhid dan syirik. Ibnul Qayyim mengatakan bahwa Alquran seluruhnya menjelaskan tentang tauhid. Karena isi dari Alquran pasti tidak lepas dari:

– Perintah untuk beribadah kepada Allah dan meninggalkan syirik

– Penjelasan tentang balasan baik bagi ahli tauhid, dan balasan buruk bagi ahli syirik

– Penjelasan tentang hukum halal dan haram, yang ini merupakan konsekuensi tauhid

– Kisah-kisah tentang para Rasul dan umat mereka, dan pergolakan yang mereka alami, yang ini merupakan pelajaran mengenai balasan atas tauhid dan syirik” (Syarh Al Ushul As Sittah, Syaikh Shalih Al Fauzan, 16).

Maka Alquran yang dibaca siang dan malam, dalam salat, di luar salat, dilantunkan oleh para qaari, dan dihafal oleh banyak orang, semuanya berisi tentang tauhid. Namun sayang sungguh sayang, masih banyak orang yang terluput dari hal ini. Mereka membaca dan mendengarkan Alquran namun tauhid tidak nampak dalam perilaku mereka, bahkan mereka terjerumus dalam kesyirikan.

Tujuan membaca Alquran

Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan mengatakan: “anda dapati banyak orang yang membaca Alquran namun mereka terjerumus dalam kesyirikan dan meninggalkan tauhid. Padahal perkara tauhid ini sangat jelas di dalam Kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam. Karena mereka melestarikan apa yang mereka dapati dari kakek moyang mereka, para syaikh mereka, dan kebiasaan penduduk daerah mereka. Mereka tidak merenungkan barang satu hari pun, dan tidak mentadabburi, apa yang ada di dalam Alquran. Dan mereka tidak berusaha mengkiritis apa yang dilakukan orang-orang, apakah hal tersebut sudah benar atau tidak?”.

Beliau melanjutkan, “bahkan mereka mempraktikkan taklid buta kepada kakek moyang mereka. Mereka menganggap Alquran hanya dibaca sekadar untuk mengambil berkahnya saja dan meraih pahala dari membacanya. Mereka tidak bermaksud untuk mentadabburi dan mengamalkan apa yang ada di dalamnya” (Syarh Al Ushul As Sittah, Syaikh Shalih Al Fauzan, 10).

Padahal Alquran dibaca untuk diamalkan, karena ia adalah sumber hidayah, Allah Taala berfirman:

“Sesungguhnya Alquran ini memberikan hidayah kepada (jalan) yang lebih lurus” (QS. Al Isra: 9).

Allah Taala juga memerintahkan kita untuk mentadabburi isi Alquran, bukan sekadar membaca tanpa perenungan. Allah Taala berfirman:

“Maka apakah mereka tidak mentadabburi Alquran ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad: 24).

Bahkan sebaik-baik manusia adalah orang yang mempelajarinya, berusaha memahami isinya dan mengajarkannya kepada orang lain. Bukan sekadar membacanya tanpa pemahaman. Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bersabda:

“..sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Alquran dan mengajarkannya” (HR. Al Bukhari 4639).

Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan melanjutkan, “Sedikit sekali orang yang membaca Alquran dengan tujuan ini. Kebanyakan mereka hanya membacanya untuk mencari berkah atau sekadar bernikmat-nikmat mendengarkan tilawah sang qaari, atau untuk mengobati orang sakit. Adapun membaca Alquran untuk mengamalkannya, serta mentadabburinya, dan mengembalikan apa yang dilakukan oleh orang-orang kepada Alquran, ini semua tidak ditemukan kecuali hanya pada sedikit orang saja” (Syarh Al Ushul As Sittah, Syaikh Shalih Al Fauzan, 11-12).

Terlalu perhatian pada tajwid, namun lalai para tauhid

Sebagian orang, memberikan perhatian yang begitu serius dalam tajwid (membaguskan bacaan Alquran). Atau sangat perhatian pada langgam-langgam dalam membaca Alquran, menghafal dan melatih langgam-langgamnya, atau mengoleksi banyak rekaman para qaari dan menirukan bacaan serta iramanya. Namun justru mereka lalai terhadap esensi dari apa yang dibaca.

Syaikh Shalih Al Fauzan menyebutkan, “orang-orang membaca Alquran, memperbanyak bacaannya, mengkhatamkannya berkali-kali, menghafalnya, mentartilkannya, mereka sangat perhatian pada lafadz-lafadz dan tajwidnya. Sangat perhatian pada hukum-hukum mad, hukum-hukum idgham, ghunnah, iqlab, izhar, ikhfa, dan mencurahkan perhatian yang sangat besar dalam hal itu. Ini memang baik. Namun tujuan yang lebih urgen bukanlah ini. Tujuan yang lebih urgen adalah mentadabburinya, memahami Kitabullah, dan mengembalikan amalan kita serta amalan manusia kepada Kitabullah, apakah amalan-amalan tersebut sesuai dengan Kitabullah atau bertentangan?” (Syarh Al Ushul As Sittah, 13).

Tantangan berat bagi pada dai tauhid

Beliau juga mengatakan, “bahkan jika ada seorang dai yang ingin memperbaharui kebiasaan buruk yang ada pada diri mereka, mereka akan marah dan menuduhnya berbuat kesesatan. Bahkan mereka juga menuduhnya telah keluar dari ajaran agama, atau ia telah membaca ajaran baru, dan tuduhan-tuduhan lainnya” (Syarh Al Ushul As Sittah, 12).

Sudah menjadi sebuah keniscayaan bahwa orang mendakwahkan untuk kembali kepada Alquran dan As Sunnah, mengajak manusia untuk bertauhid yang benar dan meninggalkan kesyirikan, akan mendapat penentangan dari orang-orang. Hal itu tidak akan membuat mereka menjadi rendah dan hina, justru akan mengangkat derajat mereka di sisi Allah. Justru orang-orang yang menyelisih Alquran dan sunah yang hakikatnya hina dan rendah.

Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bersabda:

“Allah mengangkat derajat kaum-kaum dengan Alquran ini, dan merendahkan kaum-kaum yang lainnya dengannya” (HR. Muslim).

Mereka telah didahului oleh para Nabi dan Rasul Allah yang juga mengalami hal yang serupa, bahkan lebih dahsyat lagi. Oleh karena itu Allah menghibur Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam serta para dai ilallah yang berjalan di atas jalannya:

“Tidaklah ada yang dikatakan (oleh orang-orang kafir) kepadamu (wahai Muhammad) kecuali sesungguhnya hal serupa telah dikatakan kepada rasul-rasul sebelum kamu. Sesungguhnya Rabb-mu benar-benar mempunyai ampunan dan hukuman yang pedih” (QS. Fushilat: 43).[Muslimorid]

INILAH MOZAIK

Lupa Membaca Surah Al-Fatihah Saat Shalat, Apa Hukumnya?

Membaca surah al-Fatihah sangat utama saat shalat.

Assalaamu ‘alaikum wr wb.

Saya terkadang merasa membaca al-Fatihah dua kali karena lupa atau takut belum terbaca. 

Kadangkala saya juga merasa pada salah satu rakaat belum membacanya. Apa yang harus saya lakukan? Bolehkah saya menambahnya pada saat duduk tasyahud sebelum salam? 

Wassalam.

Farida

Kuningan, Jawa Barat

Jawaban Oleh Pendiri Pusat Studi Alquran (PSQ) Jakarta, Prof M Quraish Shihab:

Lupa atau keliru adalah manusiawi. Karena itu, agama tidak menuntut tanggung jawab seseorang bila ia lupa atau keliru. Dalam konteks ini Nabi SAW bersabda: “Allah tidak akan menghukum umat-Nya akibat salah, lupa, atau dipaksa?” (HR at-Thabrani).

Dalam Alquran pun ditegaskan bahwa Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (QS al-Baqarah:286).

Kendati demikian ayat tersebut melanjutkan; (Mereka berdoa): “Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” Permohonan ini karena bukan semua kekeliruan atau lupa pasti diampuni Allah.

Ada lupa dan kekeliruan yang dapat dihindari karena ada di antaranya yang merupakan akibat kecerobohan, atau kelalaian. Seorang yang diberi tugas memberi obat seorang anak, lalu ia keliru dengan memberinya obat lain sehingga penyakitnya bertambah parah atau ia lupa memberinya obat karena dia asyik bermain, maka di sini tentu saja ia wajar dikecam dan dituntut.

Seorang yang diberi tugas mengantar surat penting, kemudian surat itu lupa dia antar karena pergi menonton, maka kelupaan semacam ini tentu tidak dapat dibiarkan berlalu, seakan tidak terjadi apa-apa. Itulah yang dimaksud dengan permohonan ini.

Selanjutnya soal lupa atau takut terlupa yakni ragu bisa juga diakibatkan oleh gangguan setan, karena kurangnya konsentrasi. Karena itu bertaawwuzlah, mohonlah perlindungan Allah dari godaannya.

Kalau Anda dalam shalat membaca dua kali dengan alasan lupa atau takut lupa maka itu tidak mengapa. Di sisi lain jika Anda benar-benar merasa lupa tidak membaca Al-Fatihah, maka jika itu terjadi sebelum rukuk dan Anda sedang membaca surah pendek misalnya, maka Anda harus menghentikan pembacaan surah pendek itu dan membaca al-Fatihah. 

Tetapi jika Anda teringat di dalam shalat dan setelah selesainya rukuk, maka rakaat shalat itu tidak sah, menurut pandangan Imam Syafi`i. Anda harus mengulangnya bukan ketika Anda rukuk, sujud atau tasyahud tetapi dalam keadaan berdiri sebelum rukuk karena al-Fatihah harus dibaca setiap rakaat dalam keadaan tersebut. Dengan demikian Anda tidak boleh membacanya saat duduk bertasyahud.  

KHAZANAH REPUBLIKA