Metode Dakwah untuk Orang Awam

Dakwah merupakan amalan yang agung di dalam Islam. Tidaklah setiap rasul yang diutus di muka bumi, melainkan mereka mengemban amanah yang mulia ini. Sebagaimana firman Allah ‘Azza Wajalla,

۞ شَرَعَ لَكُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَا وَصّٰى بِهٖ نُوْحًا وَّالَّذِيْٓ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهٖٓ اِبْرٰهِيْمَ وَمُوْسٰى وَعِيْسٰٓى اَنْ اَقِيْمُوا الدِّيْنَ وَلَا تَتَفَرَّقُوْا فِيْهِۗ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِيْنَ مَا تَدْعُوْهُمْ اِلَيْهِۗ اَللّٰهُ يَجْتَبِيْٓ اِلَيْهِ مَنْ يَّشَاۤءُ وَيَهْدِيْٓ اِلَيْهِ مَنْ يُّنِيْبُۗ وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ فَلِذٰلِكَ فَادْعُ ۚوَاسْتَقِمْ كَمَآ اُمِرْتَۚ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَهُمْۚ وَقُلْ اٰمَنْتُ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ مِنْ كِتٰبٍۚ وَاُمِرْتُ لِاَعْدِلَ بَيْنَكُمْ ۗ اَللّٰهُ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ ۗ لَنَآ اَعْمَالُنَا وَلَكُمْ اَعْمَالُكُمْ ۗ لَاحُجَّةَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ ۗ اَللّٰهُ يَجْمَعُ بَيْنَنَا ۚوَاِلَيْهِ الْمَصِيْرُ ۗ

Dia (Allah) telah mensyariatkan bagi kamu agama yang Dia wasiatkan (juga) kepada Nuh, yang telah Kami wahyukan kepadamu (Nabi Muhammad), dan yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu: ‘Tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah-belah di dalamnya.’ Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang Dia kehendaki pada (agama)-Nya dan memberi petunjuk pada (agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya).

Mereka (Ahlul kitab) tidak berpecah-belah, kecuali setelah datang kepada mereka pengetahuan (tentang kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Seandainya tidak karena suatu ketetapan yang telah terlebih dahulu ada dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Sesungguhnya orang-orang yang mewarisi kitab suci (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Nabi Muhammad) benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentangnya (Al-Qur’an) itu.

Oleh karena itu, serulah (mereka untuk beriman), tetaplah (beriman dan berdakwah) sebagaimana diperintahkan kepadamu (Nabi Muhammad), dan janganlah mengikuti keinginan mereka. Katakanlah, ‘Aku beriman kepada kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan agar berlaku adil di antara kamu. Allah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami perbuatan kami dan bagimu perbuatanmu. Tidak (perlu) ada pertengkaran di antara kami dan kamu. Allah mengumpulkan kita dan kepada-Nyalah (kita) kembali.’” (QS. Asy-Syura: 13-15)

Begitu pun dalam firman Allah ‘Azza Wajalla,

لِكُلِّ اُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا هُمْ نَاسِكُوْهُ فَلَا يُنَازِعُنَّكَ فِى الْاَمْرِ وَادْعُ اِلٰى رَبِّكَۗ اِنَّكَ لَعَلٰى هُدًى مُّسْتَقِيْمٍ وَاِنْ جَادَلُوْكَ فَقُلِ اللّٰهُ اَعْلَمُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ اَللّٰهُ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ فِيْمَا كُنْتُمْ فِيْهِ تَخْتَلِفُوْنَ اَلَمْ تَعْلَمْ اَنَّ اللّٰهَ يَعْلَمُ مَا فِى السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِۗ اِنَّ ذٰلِكَ فِيْ كِتٰبٍۗ اِنَّ ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرٌ

Bagi setiap umat telah Kami tetapkan syariat tertentu yang (harus) mereka amalkan. Mereka sekali-kali tidak boleh membantahmu (Nabi Muhammad) dalam urusan (syariat) itu dan serulah (mereka) kepada Tuhanmu. Sesungguhnya engkau (Nabi Muhammad) benar-benar berada di atas petunjuk yang lurus. Jika mereka membantahmu, katakanlah, ‘Allah lebih tahu tentang apa yang kamu kerjakan.’ Allah akan memutuskan di antara kamu pada hari Kiamat apa yang selalu kamu perselisihkan. Tidakkah engkau tahu bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? Sesungguhnya hal itu sudah terdapat dalam Kitab (Lauhul mahfuz). Sesungguhnya yang demikian sangat mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hajj: 67-70)

Syekh Abdurrahman As-Sa’diy rahimahullahu menjelaskan,

ولهذا أمر الله رسوله أن يدعو إلى ربه بالحكمة والموعظة الحسنة، ويمضي على ذلك، سواء اعترض المعترضون أم لا وأنه لا ينبغي أن يثنيك عن الدعوة شيء

Oleh karenanya, Allah memerintahkan Rasul-Nya agar menyeru manusia kepada Allah dengan cara hikmah dan nasihat yang baik. Dan biarkan apapun yang terjadi setelahnya. Entah orang-orang yang ingkar menolaknya atau tidak. Hendaknya semua hal yang terjadi di dalam dakwah ini tidak menggentarkanmu sedikit pun.” (Tafsir As-Sa’diy, hal. 545)

Dan berdakwah merupakan perbuatan yang mulia yang langsung dipuji oleh Allah ‘Azza Wajalla dalam Al-Qur’an,

وَمَنْ اَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّنْ دَعَآ اِلَى اللّٰهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَّقَالَ اِنَّنِيْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan kebajikan, dan berkata, ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim (yang berserah diri).’?” (QS. Fusshilat: 33)

Syekh Abdurrahman As-Sa’diy rahimahullahu mengatakan,

لا أحد أحسن قولا. أي: كلامًا وطريقة، وحالة {مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ} بتعليم الجاهلين، ووعظ الغافلين والمعرضين، ومجادلة المبطلين، بالأمر بعبادة الله، بجميع أنواعها، والحث عليها، وتحسينها مهما أمكن، والزجر عما نهى الله عنه، وتقبيحه بكل طريق يوجب تركه، خصوصًا من هذه الدعوة إلى أصل دين الإسلام وتحسينه، ومجادلة أعدائه بالتي هي أحسن، والنهي عما يضاده من الكفر والشرك، والأمر بالمعروف، والنهي عن المنكر

Tidak ada yang lebih baik ucapan dan gerak-geriknya melebihi orang-orang yang menyeru manusia ke jalan Rabbnya dengan mengajarkan kepada mereka yang tidak tahu urusan agama, memperingatkan mereka yang lalai, mendebat mereka yang mengingkari, memerintahkan manusia dan memotivasi mereka untuk beribadah kepada Allah. Dan terus memperbaikinya tanpa lelah. Melarang dari berbuat yang dilarang Allah, berusaha menampakkan betapa buruknya perkara yang diharamkan Allah agar manusia meninggalkannya dan kembali ke jalan Islam. Serta mendebat musuh-musuh Islam dengan cara yang baik, melarang perbuatan-perbuatan yang berseberangan dengan nilai Islam, seperti kekufuran dan kesyirikan, mengajak kepada yang makruf, dan melarang dari kemungkaran.” (Tafsir As-Sa’diy, hal. 749)

Begitu pun disabdakan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bahwa mengajak satu orang saja kepada kebaikan itu lebih baik dibandingkan kendaraan yang paling megah sekalipun,

فواللهِ لأنْ يهْدي اللهُ بك رجلًا واحدًا خيرٌ لك من أنْ يكونَ لك حُمرِ النعمِ

Demi Allah! Jika ada seseorang yang Allah berikan petunjuk dengan sebab engkau, niscaya itu lebih baik bagimu melebihi unta merah.” (HR. Muslim no. 2406)

Namun, tentu saja berdakwah tidak dengan sembarang cara. Terlebih kepada orang-orang awam yang belum banyak mengerti tentang masalah agama. Mengilmui kondisi mereka dan bagaimana cara mendakwahinya adalah salah satu hal yang wajib dikuasai oleh seorang dai. Sebagaimana dikatakan oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu,

والبصيرة تكون فيما يدعو إليه بأن يكون الداعية عالماً بالحكم الشرعي، وفي كيفية الدعوة، وفي حال ‌المدعو

Termasuk di antara bashirah (kecakapan) seseorang dalam berdakwah adalah mengilmui tentang konten dakwah, yaitu hukum syar’i, tentang bagaimana cara berdakwah, dan tentang kondisi objek dakwah.” (Syarh Al-Ushul Al-Tsalatsah, hal. 22)

Lantas, bagaimana cara mendakwahi masyarakat yang masih awam kepada kebaikan? Syekh Rabi bin Hadi Al-Madkhali rahimahullahu pernah ditanya pertanyaan yang mirip dan beliau menjawab,

الله وضع لنا منهجاً للدعوة إلى إليه، الله قال لنبيه : { ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ } [النحل:١٢٥]

الدعوة إلى الله بالحكمة، والحكمة هي العلم والبيان والحجة فتدعو بالعلم وبالأخلاق الطيبة وبالرفق واللين، العامي وغير العامي، لكن العامي أكثر تقبلاً، وقد يقبل منك الحق بدون مجادلة، فإن احتاج إلى مجادلة، كان عنده شيء من المناعة، شيء من التعلق بالباطل فجادله بالتي هي أحسن : { وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (٣٤) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (٣٥) } [فصلت:٣٤-٣٥]، فما يعطى هذه الحكمة إلاّ ذو حظ عظيم .

Allah sudah menentukan tata cara untuk berdakwah kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah ‘Azza Wajalla kepada Nabi-Nya,

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapatkan petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125)

(Di dalam ayat ini disebutkan) bahwa berdakwah kepada Allah dilakukan dengan cara yang hikmah. Yang dimaksud hikmah adalah dakwah dengan disertai ilmu, akhlak yang terpuji, lemah lembut, baik untuk orang awam maupun yang tidak awam. Bahkan, seringkali yang awam lebih mudah menerima dibandingkan yang lainnya. Mereka akan menerima penjelasan darimu tanpa banyak mendebat.

Tetapi, jika memang butuh untuk diadakan debat, karena ada sedikit sanggahan dari mereka, karena kebiasaannya berinteraksi dengan kebatilan, maka debatlah mereka dengan cara yang baik. Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala,

وَلَا تَسْتَوِى الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۗاِدْفَعْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ فَاِذَا الَّذِيْ بَيْنَكَ وَبَيْنَهٗ عَدَاوَةٌ كَاَنَّهٗ وَلِيٌّ حَمِيْمٌ وَمَا يُلَقّٰىهَآ اِلَّا الَّذِيْنَ صَبَرُوْاۚ وَمَا يُلَقّٰىهَآ اِلَّا ذُوْ حَظٍّ عَظِيْمٍ

Tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan) dengan perilaku yang lebih baik sehingga orang yang ada permusuhan denganmu serta-merta menjadi seperti teman yang sangat setia. (Sifat-sifat yang baik itu) tidak akan dianugerahkan, kecuali kepada orang-orang yang sabar; dan tidak (pula) dianugerahkan, kecuali kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS. Fusshilat: 34-35)

Perhatikan, bahwa tidaklah Allah memberikan sikap hikmah dalam berdakwah ini, kecuali itulah pertanda bahwa dai tersebut telah mendapatkan keberuntungan yang teramat besar.” (Dikutip dari laman اقوال ومقالات الشيخ ربيع المدخلي)

Semoga Allah limpahkan ilmu dan akhlak yang baik kepada kita, sehingga orang awam tergerak mengamalkan kebaikan karena melihat contoh yang baik pula. Barakallahu fikum.

***

Penulis: Muhammad Nur Faqih, S.Ag.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/87704-metode-dakwah-untuk-orang-awam.html

Hukum Membaca Al-Quran saat Haid

APA hukum membaca Al-Quran saat haid? Masalah ini termasuk masalah yang diperdebatkan para ulama.

Hukum Membaca Al-Quran Saat Haid: Jumhur ulama berpendapat diharamkan membaca Al-Quran bagi wanita haid sebelum dia suci.

Tidak dikecualikan hal tersebut kecual bacaan yang dibaca dengan tujuan berzikir dan berdoa, tidak ditujukan membaca Al-Quran. Seperti bacaaan bismillahrrahmaanirrahim, inna lillah wa inna ilaihi raajiun, rabbanaa aatina fiddunya hasanah… dst. Sebagaimana zikir dan doa lainnya yang terdapat dalam Al-Quran.

Pendapat mereka yang melarang hal tersebut dilandasi dengan beberapa dalil;

1- Hukum wanita haid sama dengan hukum orang yang junub, karena keduanya diwajibkan mandi janabah. Sementara terdapat riwayat shahih dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu,

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan mereka Al-Quran, tidak ada yang menghalanginya dari Al-Quran selain janabah.”

(HR. Abu Daud, 1/281, Tirmizi, no. 146, Nasai, no. 1/144, Ibnu Majah, no. 1/207, Ahmad, 1/84, Ibnu Khuzaimah, 1/104. Tirmizi berkata, “Haditsnya hasan shahih, Al-Hafiz Ibnu Hajar berkata, “Yang benar bahwa hadits ini termasuh hadits hasan dan layak menjadi hujjah/dalil.”

2. Apa yang diriwayatkan dari hadits Ibnu Umar radhiallahu anhuma, sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bersabda,

” لا تقرأ الحائض ولا الجنب شيئاً من القرآن ” رواه الترمذي، رقم 131)وابن ماجه، رقم 595 والدارقطني 1/117 والبيهقي،

“Hendaknya wanita haid dan orang yang junub tidak membaca Al-Quran sedikitpun.” (HR. Tirmizi, no. 121, Ibnu Majah, no. 595, Daruquthni, 1/117 dan Baihaqi, 1/89)

Ini merupakan hadits lemah, karena berasal dari riwayat Ismail bin Ayasy dari orang-orang Hijaz. Riwayat dia dari mereka dianggap lemah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (21/460) berkata, ‘Ini merupakan hadits lemah berdasarkan kesepakatan para pakar hadits.” (Lihat Nashburroyah, 1/195 dan Talkhis Habir, 1/183)

Hukum Membaca Al-Quran Saat Haid: Sebagian ulama berpendapat bolehnya membaca Al-Quran bagi wanita haid.

Ini merupakan mazhab Maliki, juga menjadi salah satu pendapat Ahmad, sertai pendapat yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiah, Asy-Syaukani menguatkannya. Mereke berdalil dengan pendapat tersebut dengan dalil-dalil berikut ini;

1- Asal dalam sebuah perkara adalah dibolehkan dan halal hingga ada dalil yang melarangnya. Sedangkan dalam masalah ini tidak ada dalil yang melarang wanita haid untuk membaca Al-Quran. Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata, “Dalam masalah pelarangan wanita haid untuk membaca Al-Quran, tidak terdapat nash yang jelas dan sah. Padahal telah diketahui bahwa kaum wanita mengalami haid pada zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam, akan tetapi beliau tidak mealrang mereka untuk membaca Al-Quran, sebagaimana beliau tidak melarang mereka untuk berzikir dan berdoa.

2- Sesungguhnya Allah Ta’al telah memerintahkan untuk membaca Al-Quran dan memuji orang yang membacanya serta menjanjikannya dengan pahala yang banyak dan besar. Maka semestinya hal tersebut tidak terhalang kecuali dengan dalil yang telah jelas. Sementara tidak ada dalil yang mencegah wanita haid untuk membaca Al-Quran sebagaimana telah dijelaskan.

3- Mengqiyaskan wanita haid dengan orang yang sedang junub dalam hal larangan membaca Al-Quran adalah qiyas untuk sesuatu yang berbeda, karena orang yang junub dapat memilih untuk menghilangkan pencegah tersebut dengan mandi, berbeda dengan wanita haid. Demikian pula masa haid itu lama biasanya. Berbeda dengan orang yang junub, dia tetap diperintahkan untuk shalat jika telah masuk waktunya.

4- Dengan melarang wanita haid untuk membaca Al-Quran dapat menyebabkannya kehilangan kesempatan pahala, juga dapat membuatnya melupakan hafalan Al-Quran, atau dia sendiri butuh untuk membacanya untuk belajar dan mengajar.

Hukum Membaca Al-Quran Saat Haid: Sikap yang Lebih Hati-hati

Dengan uraian di atas, jelaslah kekuatan dalil pihak yang membolehkan membaca Al-Quran bagi wanita haid. Namun jika wanita tersebut membatasi dirinya dengan membacanya apabila takut lupat hafalan yang dimilikinya, maka dia mengambil sikap yang lebih hati-hati.

Yang layak diperingatkan dalam masalah ini adalah bahwa perkara ini apabila wanita tersebut membacanya dengan cara menghafal, adapun membaca lewat mushaf, maka ada hukum lain. Karena pendapat yang kuat dari beberapa pendapat ulama adalah diharamkan menyentuh mushaf bagi yang berhadats. Berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala,

لا يمسه إلا المطهرون

“Tidak boleh menyentuhnya kecuali orang yang suci.”

Begitupula berdasarkan riwayat tentang surat untuk Amr bin Hazm yang ditulis oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk penduduk Yaman, di dalamnya terdapat ungkapan,

ألا يمس القرآن إلا طاهر (رواه مالك 1/199 والنسائي 8/57 وابن حبان 793 والبيهقي 1/87)

“Tidak boleh menyentuhnya kecuali orang yang suci.” (HR. Malik, 1/199, Nasai, 8/57, Ibnu Hibban, no. 793 dan Baihaqi, 1/87)

Al-Hafiz Ibnu Hajar berkata, “Hadits ini dishahihkan oleh sejumlah tokoh ulama dari sisi keterkenalannya. Asy-Syafii berkata, “Terdapat riwayat yang kuat itu merupakan surat dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.” Ibnu Abdul Bar berkata, “Ini surat yang terkenal di kalangan ahli sejarah dan sangat dikenal di kalangan para ulama sehingga tidak membutuhkan sanad, karena lebih mirip sebagai riwayat mutawatir yang diterima manusia dengan baik dan telah dikenal.”

Syaikh Al-Albany berkata tentang riwayat ini, “Shahih.” (Talkhisul Habir, 4/17. Lihat Nashbur-Rayah, 1/196 dan Irwa’ul Ghalil, 1/158)

Lihat: Hasyiah Ibnu Abidin, 1/159, Al-Majmu, 1/356, Kasyaful Qana, 1/147, Al-Mughni, 3/461, Nailul Authar, 1/226, Majmu Fatawa, 21/460, Asy-Syarhul Mumti, Ibnu Utsaimin, 1/291.

Hukum Membaca Al-Quran Saat Haid: Kesimpulan

Karena itu, jika seorang wanita haid hendak membaca melalui mushaf, hendaknya dia memegangnya melalui sesuatu yang memisahkannya dari mushaf, seperti dengan menggunakan kain yang suci atau menggunakan sarung tangan atau membalik halaman dengan gagang, pulpen atau semacamnya. Kulit mushaf yang dijahit atau menempel, hukumnya sama dengan mushaf dalam hal menyentuhnya.

Wallahua’lam. []

SUMBER: ISLAMQA

Baca Al Fatihah Biar Acara Lancar, Apa Hukumnya?

Ulama Madzhab Hanbali Syeikh Yusuf bin Abdil Hadi Al-Hanbali menulis sebuah risalah “Istianah bi Al Fatihah `Ala Najah Al Umur” mengajarkan memperbanyak membaca Al Fatihah terhadap persoalan-persoalan dan hajat yang kita hadapi

MEMBACA Surat Al Fatihah di awal-awal acara sering dilakukan oleh umat Islam, khususnya di Indonesia. Apa hukumnya membaca Surat Al Fatihah untuk kelancaran acara dibolehkan? dan apakah hal ini membari manfaat? Nah, bagaimana sejatinya hukum membaca surat tersebut di awal-awal acara?

Para ulama dari berbagai madzhab telah membahas mengenai hukum membaca Al Fatihah dalam memperoleh hajat tertentu. Sedangkan membaca Surat Al Fatihah untuk kelancaran acara dan hajat lainnya, masuk dalam bab ini.

Madzhab Hanafi

Al Allamah Ali Qari Al Hanafi berkata setelah menyebut sebuah atsar dari Atha` mengenai membaca Al-Qur`an untuk terkabulnya hajat; ”Inilah asal bagi apa yang populer bagi manusia dari pembacaan Al Fatihah dalam rangka pemenuhan hajat-hajat dan diperolehnya perkara-perkara penting.” (dalam Al Asrar Al Marfu`ah, hal. 252).

Membaca Surat Al Fatihah di awal acara, dengan bertujuan agar acara berjalan dengan lancar termasuk dalam apa yang dikatakan oleh Syeikh Ali Qari Al Hanafi ini, yakni membaca Al Fatihah dengan tujuan agar hajat terkabul.

Madzhab Syafi`i

Dalam Madzhab Asy-Syafi`i, Ibnu Allan Ash-Shiddiqi dalam Syarh Riyadh Ash Shalihin menyimpulkan dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwasannya hajat bisa terkabulkan dengan membaca Al Fatihah dan akhir Surat Al Baqarah. (Dalil Al Falihin, 6/200).

Madzhab Hanbali

Syeikh Yusuf bin Abdil Hadi Al-Hanbali yang masyhur dengan sebutan Ibnu Al Mibrad menulis sebuah risalah “Istianah bi Al Fatihah `Ala Najah Al Umur.” Dalam risalah itu Ibnu Abdil Hadi menyampaikan; ”Maka hendaklah engkau- semoga Allah merahmatimu- memperbanyak membaca Al Fatihah terhadap persoalan-persoalan dan hajat-hajatmu serta obat-obatmu serta kepentingan-kepentinganmu juga untuk setiap hal yang engkau hadapi.” (Istianah bi Al Fatihah `Ala Najah Al Umur, hal. 375).

Ibnu Abdil Hadi juga mengatakan, ”Guru saya Abu Al Farraj bin Al Habbal banyak menggunakannya (Al-Fatihah) untuk menunaikan hajatnya dan keberhasilan persoalannya dan perkara yang besar.” (Istianah bi Al Fatihah `Ala Najah Al Umur, hal. 375).

Para ulama menyatakan bolehnya mengawali doa dengan membaca Al Fatihah menggunakan beberapa dalil, di antaranya adalah:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ صَلَّى صَلَاةً لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فَهِيَ خِدَاجٌ» ثَلَاثًا غَيْرُ تَمَامٍ. فَقِيلَ لِأَبِي هُرَيْرَةَ: إِنَّا نَكُونُ وَرَاءَ الْإِمَامِ؟ فَقَالَ: «اقْرَأْ بِهَا فِي نَفْسِكَ»؛ فإنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:” قَالَ اللهُ تَعَالَى: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ}. قَالَ اللهُ تَعَالَى: حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ}. قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: {مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ}، قَالَ: مَجَّدَنِي عَبْدِي، وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي، فَإِذَا قَالَ: {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}.  قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ: {اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ}. قَالَ: هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ (أخرجه مسلم: 395, 1/296)

Artinya: Dar Abu Hurairah radhiyallahu `anhu dari Nabi ﷺ beliau bersabda, ”Barang siapa melaksanakan shalat dan di dalam shalat itu ia tidak membaca Umm Al-Quran (Al-Fatihah) maka shalat itu kurang.” Tiga kali. Tidak sempurna (penjelasan periwayat Hadits). Maka dikatakan kepada Abu Hurairah: ”Sesungguhnya kami berada di belakang imam.” Maka Abu Hurairah pun berkata, ”Bacalah Al Fatihah sendiri, sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah  bersabda,  ”Allah Ta’ala berfirman, “Aku telah membagi shalat antara Aku dengan hamba-Ku dua bagian. Dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta. Jika ia berkata: {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ}, maka Allah berfirman, ”Telah memujiku, hambaku.” Dan jika ia berkata: {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ}, Allah Ta’ala berfirman, ”Telah memuji-Ku hamba-Ku. Jika ia berkata: {مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ}, Allah Ta’ala berfirman, ”Telah mengagungkan-Ku hamba-ku.” Dan sekali Ia juga berfirman, ”Telah menyerahkan kepada-Ku hamba-Ku.” Dan jika ia berkata: {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}, Allah Ta’ala berfirman, “Ini adalah antara Aku dan hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.” Jika ia berkata: {اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ}, Allah Ta’ala berfirman: “Ini bagi hamba-Ku apa yang ia minta.” (Riwayat Muslim: 395, 1/296).

Syeikh Ibnu Abdil Hadi Al Hanbali berkata, ”Sebagian dari mereka (para ulama) berhujjah dengan hadits ini bahwa tidak seorang pun membaca Al Fatihah dengan diniatkan untuk tertunaikannya hajat dan ia memohon hajatnya kecuali ia akan tertunaikan.” (Al Isti`anah bi Al Fatihah `ala Najah Al Umur, hal. 372).

Sedangkan hadits lain yang dijadikan para ulama sebagai dalil dalam masalah ini adalah hadist berikut:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: بَيْنَمَا جِبْرِيلُ قَاعِدٌ عِنْدَ النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، سَمِعَ نَقِيضًا مِنْ فَوْقِهِ، فَرَفَعَ رَأسَه، فَقَالَ: هَذَا بَابٌ مِنَ السَّمَاءِ فُتِحَ اليَوْمَ، لَمْ يُفْتَحْ قَطُّ إِلا اليَوْمَ، فَنَزَلَ مِنْهُ مَلَكٌ، فَقَالَ: هَذَا مَلَكٌ نَزَلَ إِلَى الأَرْضِ، لَمْ يَنْزِلْ قَطُّ إِلا اليَوْمَ، فَسَلَّمَ وَقَال: أَبْشِرْ بِنُورَيْنِ أَوتِيتَهُمَا لَمْ يُؤْتَهُمَا نبي قَبْلَكَ، فَاتِحَةُ الكِتَابِ وَخَوَاتِيَمُ سُورَةِ البَقَرَةِ، لَنْ تَقْرَأَ بِحَرْفٍ مِنْهُمَا إِلا أُعْطِيتَهُ. (أخرجه مسلم: 806, 1/554)

Artinya: Dari Ibnu Abbas ia berkata,”Sewaktu Jibril duduk bersama Rasulullah  ia (Jibril) mendengar suara (seperti terbukanya pintu), maka ia pun menengadahkan kepalanya, lantas berkata,”Ini adalah pintu langit dibuka hari ini, ia tidak pernah dibuka sama sekali, kecuali hari ini.” Lantas turunlah dari pintu itu malaikat.” Jibril berkata, ”Malaikat ini tidak pernah turun kecuali hari ini.” Lantas ia malaikat itu pun berkata, ”Aku memberi kabar gembira dengan dua cahaya yang diberikan kepadamu dan tidak pernah diberikan kepada seorang nabi pun sebelum engkau, Fatihah Al Kitab dan penutup surat Al Baqarah. Engkau tidak akan membaca satu huruf pun dari keduanya, kecuali engkau diberinya.” (Riwayat Muslim).

Ibnu Allan Ash Shiddiqi menyimpulkan dari Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas, bahwasannya hajat bisa terkabulkan dengan membaca Al Fatihah dan akhir Surat Al Baqarah. (Dalil Al Falihin, 6/200).

Amalan Salaf

Dari Atha` ia berkata,”Jika engkau menginginkan hajat maka bacalah Fatihah Al Kitab hingga engkau menyelesaikannya, maka hajatmu akan tertunaikan, dengan izin Allah.” (Riwayat Abu Asy Syaikh dalam Kitab Ats Tsawab).

Diriwayatkan Al Hafidzz Ibnu Abdil Hadi dengan sadanya dalam risalahnya Isti`nah bi Al fatihah ‘ala Al Umur (1/371); Al Allamah Mulla Ali Al Qari Al Hanafi berkata mengenai atsar tersebut, ”Ini adalah pokok- terhadap apa yang dikenal oleh manusia dari bacaan Al Fatihah untuk menunaikan hajat-hajat dan untuk memperoleh hal-hal penting.” (dalam Al Asrar Al Marfua`ah, hal. 253).

Walhasil, membaca surat Al Fatihah di awal acara dengan tujuan agar acara berjalan lancar termasuk dalam bab ini. Wallahu a`lam bish shawab.*/Thoriq, LC, MA, pengasuh rubrik Fikih Majalah Hidayatullah

HIDAYATULLAH

Makna Allahu Akbar Menurut Ahlusunnah Wal Jamaah

Di antara kesunnahan di hari raya adalah bertakbir, dengan mengumandangkan lafadz “Allahu Akbar”. Takbir untuk hari raya di bagi menjadi dua; Pertama, takbir mursal, yaitu takbir yang dilakukan selain setelah selesai shalat. Kedua, takbir muqayyad, yaitu takbir yang dilakukan setelah shalat baik shalat fardhu atau shalat sunnah. Menurut pendapat yang kuat, takbir muqayyad ini hanya dilakukan pada hari raya Idhul Adha. Sementara pada Idhul Fitri tidak sunnah melakukan takbir ini. Kecuali menurut imam Nawawi yang dinilai dhoif oleh syeikh al Bajuri.

Kesunnahan bertakbir pada hari raya ini tidak lepas dari hadits yang diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyah ra:

كُنَّا نُؤْمَرُ أَنْ نَخْرُجَ يَوْمَ الْعِيدِ حَتَّى نُخْرِجَ الْبِكْرَ مِنْ خِدْرِهَا حَتَّى نُخْرِجَ الْحُيَّضَ فَيَكُنَّ خَلْفَ النَّاسِ فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيرِهِمْ وَيَدْعُونَ بِدُعَائِهِمْ يَرْجُونَ بَرَكَةَ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَطُهْرَتَهُ

Artinya: “Kami diperintahkan keluar di hari raya, sampai kami mengajak para anak gadis dari kamarnya dan juga para wanita yang sedang haid. Mereka duduk di belakang barisan kaum laki-laki dan mengucapkan takbir mengikuti takbirnya kaum laki-laki, dan berdoa mengikuti doanya mereka dengan mengharap barakah dan kesucian hari raya tersebut” (HR. Bukhari dan Lainnya)

Dalam riwayat imam Muslim, menggunakan redaksi “فِي الْعِيْدَيْنِ” artinya di dua hari Raya Fitri dan hari Raya Adha.

Lalu apa makna Takbir atau lafadz Allahu Akbar itu ?

Lafadz Allahu Akbar merupakan bagian dari lafadz Mutasyabih. Di mana maknanya tidak bisa sekedar menggunakan makna hakikat lughawi (makna asli yang diambil dari bahasa), tetapi harus menggunakan makna majaz (pemalingan makna yang lebih cocok dengan dzat Allah swt) atau menggunakan makna tafwid (menyerahkan makna sebenarnya kepada Allah swt).

Secara harfiyah, lafadz Allahu Akbar memiliki makna “Allah Maha Besar”. Makna ini memberikan indikasi pemahaman bahwa ukuran dzat Allah swt melebihi ukuran apapun yang besar di jagat alam ini. Jika di dalam beberapa keterangan, ‘Arys adalah makhluk yang paling besar, maka ukuran Allah swt lebih besar dari ‘Arsy. Model pemahaman seperti ini yang biasa digunakan oleh kelompok Mujassimah dan Musyabbihah (yang sekarang di adopsi oleh Salafi Wahhabi). Tentu pemahaman model seperti ini tidak bisa dibenarkan. Sekalipun model di atas sangat logis, tetapi dalam aspek lain menyekutukan Allah swt dengan makhluknya dalam sifat batas terhadap suatu ukuran tertentu. Di samping itu, juga mentajsim Allah swt (mengganggap Allah swt berbentuh suatu benda yang mengandung unsur-unsur dan bagian-bagian).

Sedangkan menurut Ahlussunnah wal Jama’ah yang menggunakan pendekatan takwil atau majaz, maka makna “Allah maha besar” adalah kekuasaan dan kehendak Allah swt maha besar dari yang lainnya, sebagaimana yang disampaikan syaikh al Bajuri dalam kitab Hasyiyah al Bajuri:

اَللهُ أَكْبَرُ أَيْ اَللهُ أَعْظَمُ مِنْ غَيْرِهِ

Artinya: “Allahu akbar artinya Allah lebih agung dari selainnya”

Metode pemahaman ini di dalam ilmu Ushul Fiqh dikenal dengan Majaz Nuqshan, yaitu majaz dengan mengurangi lafadznya.

Bahkan Syeikh Ismail Haqqi bin Musthafa, salah satu ulama’ dari madzhab Hanafi menjelaskan bahwa makna Allahu Akbar adalah Allah lebih besar dari apa yang tergambar dari dalam fikiran manusia, bahkan seandainya manusia memahami keagungan Allah swt dengan suatu hal, maka hakikat keagungan Allah swt lebih dari itu. Di dalam kitab Tafsir Ruhul Bayan dijelaskan:

فَمَعْنَى اَللهُ أَكْبَرُ أَيْ أَكْبَرُ مِنْ أَنْ يَنَالَهُ الْحَوَّاسُ وَيُدْرَكَ جَلَالُهُ بِالْعَقْلِ وَالْقِيَاسِ بَلْ أَكْبَرُ مِنْ أَنْ يُدْرَكَ كُنْهُ جَلَالِهِ غَيْرَهُ بَلْ أَكْبَرُ مِنْ أَنْ يَعْرِفَهُ فَإِنَّهُ لَا يَعْرِفُ اللهَ إِلَّا اللهُ

Artinya: “Makna Allahu Akbar adalah Allah lebih besar dari pengetahuan melalui panca indra, dan Allah lebih besar dari pengetahuan tentang keagungannya berdasarkan akal dan qiyas, Allah lebih besar dibanding dengan pengetahuan tentang keagungan Allah dari selainnya, bahkan Allah lebih besar dari mengetahui Allah, sebab tidak ada satu dzat pun mengetahui hakikat Allah kecuali Allah”

Kedua bentuk penafsiran di atas dalam Ahlussunnah wal Jama’ah sama-sama dapat dibenarkan. Karena kaduanya sama-sama mensucikan Allah swt dari kesamaan dengan makhluk dari aspek apapun. Padahal Allah swt tidak sama dengan apapun.

Wallahu a’lam

ISLAMKAFFAH

4 Dalil Boleh Maulid Nabi

Berikut 4 dalil boleh Maulid Nabi Muhammad SAW. Perayaan maulid Nabi selalu menuai pro dan kontra lantaran hal tersebut tidak pernah dilakukan pada zaman Rasulullah Saw.

Hal itu terbukti dengan adanya kelompok yang membid’ahkan perayaan maulid. Namun bagi ulama yang membolehkan perayaan maulid, mereka memiliki dalil tersendiri yang mendasari kebolehan melakukan perayaan Maulid Nabi Saw.

Dalil Boleh Maulid Nabi

Di antara dalil yang mendasari kebolehan merayakan maulid adalah empat dalil berikut;

Pertama, adalah bunyi  ayat Al-Qur’an surat Yunus ayat 58 yaitu :

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُون

Artinya : “Katakanlah, dengan anugerah Allah dan rahmatNya (Nabi Muhammad Saw) hendaklah mereka menyambut dengan senang gembira.” (QS.Yunus: 58).

Melalui ayat diatas Allah swt. memberikan anjuran kepada umat islam untuk menyambut gembira anugerah dan rahmat Allah swt. Dalam menafsiri kata  al-Fadl dan ar-Rahmah ulama masih berbeda pendapat. Ada yang menafsiri kedua kata tersebut dengan Al-qur’an itu sendiri.

Dan ada yang menafsiri bahwa kata al-Fadl adalah ilmu, sedangkan kata ar-Rahmah adalah diutusnya Nabi Muhammad Saw. Hal ini dikemukakan oleh Abu Syaikh yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas RA. Pendapat yang kedua adalah pendapat yang masyhur dipilih oleh ulama hal itu berdasarkan dengan dalil Al-qur’an surat al-Anbiya’ ayat 107.

Kedua, dalil Al-qur’an surat Al-anbiya’ ayat 107 yang berbunyi :

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِين

Artinya : : “Kami tidak mengutus engkau melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya’:107).

Ayat ini memiliki keterkaitan makna yang erat dengan surat yunus ayat 58 karena pemaknaan kata ar-Rahmah, ini juga yang diartikan sebagai terutusnya Nabi Muhammad Saw. Sehingga ulama menjadikan ayat ini sebagai dalil kebolehan merayakan maulid Nabi Saw. Kemudian dalil berikutnya datang dari Hadist.

Ketiga, hadist yang diriwayatkan oleh Al- Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani dalam kitabnya Fathul Bari tentang cerita diringankannya siksa Abu Lahab setiap hari Senin karena dia bergembira atas kelahiran baginda Nabi Muhammad Saw. Yang mana bentuk bahagianya dia buktikan dengan memerdekakan budaknya.

Dari hadist tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kelahiran Nabi Muhammad mendatangkan banyak manfaat bahkan kepada orang kafir sekalipun. [Baca juga: Hukum Berjoget Saat Maulid]

Keempat, hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim perihal Ketika Rasulullah Saw menyampaikan kesunnahan berpuasa setiap hari Senin lalu beliau bersabda :

فِيهِ وُلِدْتُ وَفِيهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ

Artinya : “Pada hari itu aku dilahirkan dan pada hari itu (Al-Quran)diturunkan kepadaku.” (HR.Imam Muslim).

Dari hadist ini bisa dipahami bahwa Rasulullah juga merayakan kelahirannya dengan cara bersyukur melalui ibadah puasa yang beliau lakukan.

Dari empat dalil diatas bisa dipahami perayaan maulid Nabi bukanlah perkara yang bidahi karena memang dianjurkan dan bahkan dilakukan oleh Rasulullah Saw sendiri. Demikian 4 dalil boleh maulid Nabi Muhammad. Semoga bermanfaat.  Wallahu alam.

BINCANG SYARIAH

Pandangan Ulama tentang Maulid Nabi

Berikut ini pandangan ulama tentang maulid Nabi. Memasuki bulan Maulid, masyarakat Islam Nusantara berbondong-bondong untuk menabung buah guna perayaan maulid Nabi di tanggal 12 Rabiul Awal. Demikian adalah sebuah ekspresi kebahagiaan mereka atas diberikannya nikmat yang agung, yaitu dijadikan sebagai umatnya Nabi Muhammad Saw.

Sayyid Muhammad Alawi al Maliki menyatakan bahwa maulid ini adalah bukti nyata seorang hamba dalam mencintai Nabi Muhammad;

“Tidak layak bagi seorang yang berakal, bertanya: ‘Mengapa kalian memperingati maulid?’ karena hal tersebut seolah-olah dia bertanya: ‘Mengapa kalian bergembira dengan lahirnya Nabi Muhammad?’

Maka apakah pantas pertanyaan semacam itu berasal dari seseorang yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah? Pertanyaan tersebut tidak memerlukan jawaban dan orang yang ditanya cukup menjawab:

“Saya memperingati (maulid) karena saya bahagia dan senang kepada Nabi Muhammad. Saya senang dan bahagia kepada Nabi karena saya cinta kepadanya. Saya cinta kepadanya karena saya beriman”. (al-Ilam bi Fatawa Aimmat al-Islam Haul Maulidihi alaih al-Shalat wa al-Salam,  H. 9).

Pandangan Ulama tentang Maulid Nabi

Dengan demikian tidak perlu menyangsikan amaliyah ini, lalu bagaimana komentar ulama terkait merayakan maulid Nabi ini? Abi Bakar Syatha mereportasekan dalam kitab I’anah Thalibin sebagaimana redaksi berikut;

 قال الحسن البصري، قدس الله سره: وددت لو كان لي مثل جبل أحد ذهبا لأنفقته على قراءة مولد الرسول

Artinya; Imam Hasan Basri berkata; Andai aku memiliki emas sekadar Gunung Uhud, niscaya akan aku infakkan untuk acara pembacaan maulid Nabi.

Sementara itu, Junaid al Baghdadi menyebutkan bahwa orang yang melaksanakan maulid akan mendapatkan keimanan yang sempurna. Ia berkata;

قال الجنيدي البغدادي رحمه الله; من حضر مولد الرسول وعظم قدره فقد فاز بالإيمان.

Artinya; Imam Junaid Al-Baghdadi; sesiapa yang menghadiri acara maulid Nabi dan mengagungkannya, niscaya dia akan memperoleh iman (yang sempurna)

Syekh Ma’ruf Kurkhi menyebutkan bahwa orang yang merayakan maulid akan dikumpulkan bersama orang yang shalih dan para kekasaih Allah lainnya;

قال معروف الكرخي قدس الله سره:من هيأ لأجل قراءة مولد الرسول طعاما، وجمع إخوانا، وأوقد سراجا، ولبس جديدا، وتعطر وتجمل تعظيما لمولده حشره الله تعالى يوم القيامة مع الفرقة الأولى من النبيين، وكان في أعلى عليين.

Artinya; Imam Al-Ma’ruf Al-Kurkhi;  Barang siapa menyiapkan diri dengan makanan untuk acara membaca maulid nabi, dan untuk jama’ah persaudaraan sesama muslim, dan menyalakan lampu-lampu untuk acara, dan memakai pakaian baru, berwangi-wangian,  dan berhias yang cakep, demi mengagungkan Maulid Nabi, maka Allah swt akan mengumpulkan mereka bersama golongan orang-orang terdahulu dari para nabi, dan ia berada di tempat yang paling tinggi.

ومن قرأ مولد الرسول – صلى الله عليه وسلم – على دراهم مسكوكة فضة كانت أو ذهبا وخلط تلك الدراهم مع دراهم أخر وقعت فيها البركة ولا يفتقر صاحبها ولا تفرغ يده ببركة مولد الرسول – صلى الله عليه وسلم -.

Artinya; Barang siapa membaca Maulid Rasululloh saw, atas beberapa uang dirham yang tercetak dari logam perak atau emas, kemudian logam-logam dirham tersebut menjadi berkumpul menempel)  antara satu dengan lainnya, maka mereka mendapatkan keberkahan dan orang tersebut tidak faqir dan tidak putus-putus mendapat berkah Rasulullah saw.

Selanjutnya, Al-Imam Ay-Yafi’i menyebutkan akan mendapatkan kelak di surga akan dibangkitkan bersama orang yang shaleh. Ia berkata;

وقال الإمام اليافعي اليمنى: من جمع لمولد النبي – صلى الله عليه وسلم – إخوانا وهيأ طعاما وأخلى مكانا وعمل إحسانا وصار سببا لقراءة مولد الرسول بعثه الله يوم القيامة مع الصديقين والشهداء والصالحين ويكون في جنات النعيم.

Artinya; Imam Ay-Yafi’i Al-Yamani; Barangsiapa berkumpul-kumpul untuk acara Maulid Rasululloh saw atas dasar persaudaraan, menyiapkan makanan, memisah dari tempat-tempat tertentu,  beramal bagus dan menjadikan membaca maulid Rasululloh saw maka dihari kiamat Alloh saw membangkitkannya bersama orang-orang yang benar,  orang-orang yang mati syahid, dan para sholihin, dan mereka semua di surga Naim.

Jalaluddin As-Suyuthi menyebutkan bahwa kelak orang yang merayakan maulid kelak akan mendapatkan doa dari malaikat. Dan bersama orang yang shaleh;

 قال سلطان العارفين جلال الدين السيوطي في كتابه الوسائل في شرح الشمائل: ما من بيت أو مسجد أو محلة قرئ فيه مولد النبي – صلى الله عليه وسلم – هلا حفت الملائكة بأهل ذلك المكان وعمهم الله بالرحمة والمطوقون بالنور – يعني جبريل وميكائل وإسرافيل وقربائيل وعينائيل والصافون والحافون والكروبيون – فإنهم يصلون على ما كان سببا لقراءة مولد النبي – صلى الله عليه وسلم – قال: وما من مسلم قرئ في بيته مولد النبي – صلى الله عليه وسلم – إلا رفع الله تعالى القحط والوباء والحرق. والآفات والبليات والنكبات والبغض والحسد وعين السوء واللصوص عن أهل ذلك البيت، فإذا مات هون الله تعالى عليه جواب منكر ونكير، وكان في مقعد صدق عند مليك مقتدر.

Jalaluddin As-Suyuthiy didalam kitabnya al-Wasail fi Syarhi Asy-Syamil; “tiada sebuah rumah atau masjid atau tempat pun yang dibacakan didalamnya Maulid Nabi melainkan dipenuhi Malaikat yang meramaikan penghuni tempat itu (menyelubunyi tempat itu) dan Allah merantai Malaikat itu dengan rahmat dan Malaikat bercahaya (menerangi) itu antara lain Malaikat Jibril, Mikail, Israfil, Qarbail, ‘Aynail, ash-Shaafun, al-Haafun dan al-Karubiyyun.

Maka sesungguhnya mereka (malaikat) itulah yang mendo’akannya karena membaca Maulid Nabi. Tiada seorang Muslim pun yang didalam rumahnya dilakukan pembacaan Maulid Nabi Saw kecuali Allah akan mengangkat wabah kemarau, kebakaran, karam, kebinasaan, kecelakaan, kebencian, hasad dan pendengaran yang jahat, (terhindar) dari pencuri ahli-ahli rumah tersebut.

Maka jika apabila mati, Allah akan memudahkan baginya dalam menjawab (pertanyaan) Malaikat Munkar dan Nakir. Dan mereka akan ditempatkan didalam tempat yang benar pada sisi-sisi raja yang berkuasa.

Sebagai closing statement, ada ungkapan syair yang cukup menarik. Dikatakan;

ورحم الله القائل، وهو حافظ الشام شمس الدين محمد بن ناصر، حيث قال: إذا كان هذا كافرا جاء ذمه وتبت يداه في الجحيم مخلدا أتى أنه في يوم الإثنين دائما يخفف عنه للسرور بأحمد فما الظن بالعبد الذي كان عمره بأحمد مسرورا ومات موحدا.

“Jika orang seperti Abu Lahab saja yang  jelas-jelas tercela dan kekal di neraka, setiap hari senin diringankan siksanya sebab ia bergembira dengan lahirnya Nabi Muhammad SAW. Maka apalagi jika yang bergembira seorang muslim, yang sepanjang hidupnya bergembira atas lahirnya Nabi Muhammad SAW dan wafat dalam keadaan Islam”.

Keterangan ini disarikan dari kitabnya Abi Bakar Syatha yang berjudul I’anah Al-Thalibin,  Juz 3 H. 414. Demikian penjelasan terkait pandangan ulama tentang Maulid Nabi. Wallahu a’lam bi al-Shawab. [Baca juga: 4 Dalil Boleh Maulid Nabi].

BINCANG SYARIAH

Amalan Mulia di Hari Jumat

عن  أبي عبدِ الله سَلْمان الفارِسي رضي الله عنه قال : قال رسول الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم :« لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الجُمُعة وَيَتَطهّرُ ما اسْتَطاعَ منْ طُهر وَيدَّهنُ منْ دُهْنِهِ أوْ يَمسُّ مِنْ طيب بَيْته ثُمَّ يَخْرُجُ فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنينْ ثُمَّ يُصَلّي ما كُتِبَ له ُ ثُمَّ يُنْصِتُ إذَا تَكَلَّمَ الإمامُ إلا غُفِرَ لهُ ما بَيْنَهُ وَبَين الجمُعَةِ الأُخْرَى » رواه البخاري

“Dari Abu Abdillah iaitu Salman al-Farisi رضي الله عنه  berkata : Rasulullah صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم  bersabda yang maskudnya :  “Tidaklah seseorang itu mandi pada hari Jum’at dan ia bersuci sekuasa yang dapat ia lakukan, juga berminyak dari minyaknya atau pun mengenakan sesuatu dari minyak harum yang ada di rumahnya, kemudian ia keluar – ke masjid, lalu ia tidak memisah-misahkan antara dua orang – yang sedang duduk, selanjutnya ia shalat apa yang ditentukan atasnya – yakni shalat sunnah tahiyyatul masjid – dan seterusnya ia mendengarkan jikalau imam berbicara – atau berkhutbah, melainkan orang yang melakukan semua itu tentu diampunkan untuknya antara hari Jum’at yang dilakukan itu dengan hari Jum’at yang lainnya – iaitu hari Jum’at berikutnya.”*

Hari Jum’at adalah Hari Raya

عَنْ عَامِرِ بْنِ لُدَيْنٍ الْأَشْعَرِيِّ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ عَنْ صَوْمِ الْجُمُعَةِ فَقَالَ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ يَوْمُ عِيدٍ فَلَا تَجْعَلُوا يَوْمَ عِيدِكُمْ يَوْمَ صِيَامٍ إِلَّا أَنْ تَصُومُوا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ

Dari ‘Amir bin Ludain Al Asy’ari ia berkata; Aku bertanya kepada Abu Hurairah tentang puasa pada hari jumat, maka ia menjawab; Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Hari Jumat adalah hari raya, maka janganlah kalian jadikan hari raya kalian untuk berpuasa, kecuali jika engkau berpuasa sebelum atau sesudahnya.”
(HR. Imam Ahmad no. 10470 Kitab Baqi Musnad Al Mukatsirin)

أَكْثِرُوا عَلَىَّ مِنَ الصَّلاَةِ فِى كُلِّ يَوْمِ جُمُعَةٍ فَإِنَّ صَلاَةَ أُمَّتِى تُعْرَضُ عَلَىَّ فِى كُلِّ يَوْمِ جُمُعَةٍ ، فَمَنْ كَانَ أَكْثَرَهُمْ عَلَىَّ صَلاَةً كَانَ أَقْرَبَهُمْ مِنِّى مَنْزِلَةً

“Perbanyaklah shalawat kepadaku pada setiap Jum’at. Karena shalawat umatku akan diperlihatkan padaku pada setiap Jum’at. Barangsiapa yg banyak bershalawat kepadaku, dialah yang paling dekat denganku pada hari kiamat nanti.”
(HR. Baihaqi,Hadits Hasan lighairihi dalam Sunan Al Kubra)

مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ فِى يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ

“Barangsiapa yang membaca surat Al Kahfi pada hari Jum’at, dia akan disinari cahaya di antara dua Jum’at.”

(HR. An Nasa’i dan Baihaqi hadits Shahih / Shahihul Jami’ no 6470

sumber: HIDAYATULLAH

Fikih Taysir Mudahkan Pelaksanaan Haji

Dibutuhkan kajian fikih yang komprehensif untuk memudahkan haji.

Dalam aspek manasik dan penyelenggaraan haji, sikap moderasi dinilai sangat diperlukan. Hal ini disampaikan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Dirjen PHU) Hilman Latief saat membuka Kegiatan Orientasi Penguatan Moderasi Beragama Bagi ASN Ditjen PHU Angkatan III.

Dalam paparannya, ia menyebut keberagaman latar belakang dari masing-masing jamaah haji bisa menjadi salah satu faktor munculnya perbedaan sudut pandang, utamanya dalam memahami masalah-masalah fikih dalam berhaji.

“Secara khusus dalam penyelenggaraan haji juga kita masih punya banyak PR. Karena itu saya setuju sekali dengan moderasi dalam manasik haji, karena untuk haji pun ada orang yang membawa jamaah kepada titik-titik ekstrim yang mungkin agak berat buat mereka,” kata dia dalam keterangan yang didapat Republika pada Rabu (20/9/2023).

Hilman lantas menyebut, untuk mencapai kesempurnaan ibadah mungkin juga tidak mudah, hanya karena itu yang sesuai dalam fikih yang diyakininya. Karena itu, ke depan memang moderasi itu diperlukan sekali.

Menurutnya, perlu keseriusan dalam membahas moderasi dalam berhaji, khususnya dalam manasiknya. Indonesia dengan jumlah jamaah 221 ribu, yang punya kepentingan untuk memberikan kemudahan pada jamaahnya, perlu berbicara tentang Fikih Taysir, yakni kemudahan-kemudahan berhaji secara lebih serius.

Pada kesempatan yang sama, Hilman juga mengingatkan agar setiap ASN dapat membentengi diri dengan paham-paham yang moderat, terlebih lagi menjelang tahun pemilu.

“Ini yang menjadi PR bagi Kementerian Agama, apalagi saat ini menjelang tahun pemilu, sekarang jadi sangat mungkin muncul isu-isu SARA menjelang Pilpres,” lanjut dia.

Oleh karena itu, ia mengajak jajarannya agar membentengi diri dengan satu konsep yang kuat sebagai pegawai di PHU dan aparat negara (ASN). Setiap pihak disebut memiliki tanggung jawab untuk menjaga amanah dari peran kita sebagai ASN.

“Cara kita memandang masalah-masalah yang ada di sekitar kita, itu juga harus mencerminkan sikap seorang ASN,” kata Hilman.

Kegiatan Orientasi Penguatan Moderasi Beragama Bagi ASN Ditjen PHU Angkatan III ini diikuti oleh 50 ASN di lingkungan Ditjen PHU dan UPT Asrama Haji. Peserta akan dibekali materi-materi terkait Moderasi Beragama oleh para fasilitator dari Tim Pokja (Kelompok Kerja) Moderasi Beragama Kementerian Agama RI. 

IHRAM

Analogi Gus Baha Tentang Kebolehan Maulid

Berikut ini analogi Gus Baha tentang kebolehan Maulid. Hal ini ia sampaikan ketika mengisi ceramah dalam salah satu acara maulid. Pendapat mengenai kebolehan merayakan maulid dikutip dari kitab karya Abuya Assayyid Muhammad Bin Alawi Al Maliki yang berjudul Haula al-Ihtifal bi dzikri Maulid an-Nabawiyi al-Syarif beliau menjelaskan beberapa dalil mengenai kebolehan merayakan maulid 

Pertama: Beliau membacakan dawuh Abuya Sayyid Muhammad yang menceritakan dalam kitabnya perihal sosok Abu Lahab yang senang terhadap hari lahirnya Nabi Muhammad. Yang mana Abu Lahab mendapat keringanan siksa setiap hari senin lantaran dia memerdekakan budaknya yang bernama Tsuaibah. 

 Menurut Gus Baha’ hal itu dilakukan oleh Abu Lahab sebagai bentuk partisipasi dari rasa senang dan Bahagia atas lahirnya Baginda Nabi Muhammad Saw. Lalu beliau membacakan kutipan Sayyid Muhammad dari muhaddist Addimisykiy bahwa beliau berkata;

 “Jika seorang Abu Lahab yang orang kafir dan orang yang dicela oleh Allah bahkan celaannya abadi dalam Al-qur’an yaitu surat Al-lahab bisa mendapat keberkahan maulid karena partisipasinya yaitu dengan memerdekakan budaknya, lantas bagaimana dengan orang yang sepanjang umurnya mencintai dan senang terhadap lahirnya Nabi Muhammad dan dia mati dalam keadaan bertauhid”.

Kedua: Adalah analogi beliau yang berbunyi “misalnya ada seorang anak yang belum jelas prospeknya apakah saleh atau tidak saja orang tuanya merasa bahagia dan senang dengan kelahirannya, dan itupun tidak ada yang menggugat kenapa dia senang? Padahal tidak jelas prospek sang anak, lalu bagaimana dengan Nabi Muhammad yang Sudah jelas kesalehannya” . 

Perkataan beliau yang demikian didapat dari teori analogi yang dikemukakan oleh Abuya Sayyid Muhammad dalam kitab Haula al-Ihtifal bi dzikri Maulid an-Nabawiyi al-Syarif  bahwa “ tidak dibenarkan bagi orang yang berakal bertanya karena apa kamu merayakan maulid?”. Lalu Sayyid Muhammad melanjutkan dawuhnya “apakah terbayang bagi seorang muslim yang membaca syahadat bertanya kenapa senang merayakan maulid Nabi Muhammad Saw”.

Gus Baha mengatakan bahwa ada kajian ilmiah dari dua dalil yang mendasari kebolehan merayakan maulid di atas. Dua dalil yang dikemukakan oleh Sayyid Muhammad di atas juga sebagai bentuk counter terhadap kelompok yang membid’ahkan adanya perayaan maulid Nabi. Jadi, kebolehan merayakan Maulid Menurut Gus Baha’ adalah dengan cara mengambil pemahaman dari dua dalil yang dikemukakan oleh Abuya Sayyid Muhammad.

Demikian penjelasan mengenai penjalasan Gus Baha tentang kebolehan merayakan Maulid. Semoga bermanfaat. Wallahu ‘alam.

BINCANG SYARIAH

Doa Terhindar dari Rasa Malas 

Berikut ini adalah doa terhindar dari rasa malas. Banyak hal dikeluhkan oleh rekan-rekan sesama muslim terkait perilaku malas. Tak terkecuali para mahasiswa yang sedang dihadapkan oleh tugas-tugas akhir perkuliahan skripsi, jurnal, ataupun tesis. 

Nah sayangnya rasa malas inilah yang menghambat lancarnya aktivitas keseharian. Dan jelas merugikan sekali, saat kesibukan menumpuk namun rasa itu tiba-tiba muncul. Walhasil, setelah beberapa waktu berlalu, kita baru sadar ternyata tugas semakin menumpuk sedangkan waktu semakin sempit. 

Dua Keadaan Lalai Manusia

Perlu diketahui, terdapat dua keadaan yang sering kita lalaikan dalam kehidupan kita, dan Rasulullah memang sudah mewanti-wanti akan kelalaian seorang Muslim ketika mendapatkan dua anugerah ini, yaitu sehat dan waktu yang luang.  

Di waktu sehat terkadang kita jarang memanfaatkannya untuk melakukan ketaatan kepada Allah subhanahu wata’ala. Di saat sakit tiba, barulah kita tersadar akan pentingnya sehat. 

Begitupun dengan waktu yang luang, seringkali kita melalaikannya, namun tatkala ia pergi menghilang saat kita membutuhkannya, sadarlah kita akan tidak produktifnya kita dalam menggunakannya.

Lagi-lagi memang rasa malas mudah menyerang saat kedua kondisi di atas berlangsung, saat sehat kita malas bersyukur, saat memiliki waktu luang kita malas memanfaatkannya.  

Selain itu, malas dalam beribadah dan berbuat ketaatan pun kadang ditunggangi oleh banyaknya maksiat yang kita lakukan, nauzubillah. Lantas, doa terhindar dari rasa malas? 

Doa Terhindar dari Rasa Malas 

Sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, dari Anas bin Malik RA menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah memohon perlindungan dengan berdoa:

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْكَسَلِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَرَمِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْبُخْل 

Allâhumma innî a‘ûdzubika minal kasali wa a‘ûdzubika minal jubni wa a‘ûdzubika minal harami wa a’ûdzubika minal bukhli 

Artinya : “Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari rasa malas, dan aku berlindung kepada-Mu dari sikap pengecut, dan aku aku berlindung pkeadaMu dari pikun, dan aku berlindung kepadaMu dari sifat pelit.” 

Demikian doa untuk menghilangkan rasa malas, semoga kita selalu dilindungi Allah dari segala hal yang menyebabkan malas melakukan ketaatan. Wallahu a‘lam.

BINCANG SYARIAH