Menag: Pemerintah tak akan Pakai Satu Rupiah Pun Dana Zakat

Pemerintah berencana mengoptimalkan penghimpunan zakat Aparatur Sipil Negara (ASN). Kebijakan itu dilaksanakan sesuai syar’i dan norma hukum positif.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan pemerintah tidak akan menggunakan satu rupiah pun dana zakat, apalagi untuk tujuan politis. Sebab, ada satu hal yang menjadi isu krusial dan mengapung ke permukaan bahwa rencana kebijakan itu karena dananya akan digunakan pemerintah untuk tujuan politis dalam menyambut tahun politik 2018 dan 2019.

“Kalaulah kebijakan pendayagunaan zakat di kalangan ASN akan dilaksanakan oleh pemerintah, maka harus terjamin dalam dua hal yakni hukum syari dan norma-norma hukum posisif dalam kehidupan bernegara,” ujarnya dalam keterangan tulis yang diterima Republika.co.id di Jakarta, Sabtu (10/3).

Seluruh penghimpunan dana zakat akan disampaikan kepada Baznas dan LAZ (Lembaga Amil Zakat) yang ada. Dua institusi inilah yang akan mendistribusikan penghimpuanan dana zakat, jadi pemerintah sama sekali tidak dalam posisi melakukan itu. “Jadi kekhwatiran dana zakat akan dimanfaatkan untuk tujuan politis tidak benar,” sambung Menag.

Diakui Menag, dalam persoalan zakat, Kemenag tengah menghadapi dua arus pandangan yang antara satu dan lain saling kontradiktif. Pandangan pertama menyatakan pemerintah harus tegas menangani zakat dengan segala aturan resminya. Sementara kutub lain menyatakan pemerintah tidak boleh intervensi lantaran zakat merupakan kewajiban individu dan bukanlah wewenang negara.

“Jadi dua hal inilah yang harus betul-betul dijamin tidak ada kontra kalaulah kebijakan ini dijalankan. Inilah dua padangan yang tentu tidak bisa kita abaikan begitu saja. Apalagi dua pandangan ini sangat memenuhi ruang publik seperti di sosial media,” ujar Menag.

Menurutnya, fakta lain alasan di balik Kemenag merasa perlu mengandeng komisi fatwa MUI dan ulama dalam Mudzakarah Zakat Nasional ini karena potensi zakat yang luar biasa. Indonesia adalah negara besar dengan mayoritas penduduk beragama Islam.

 

REPUBLIKA

Wahai Orangtua Milenial, Waspadai ‘Sharenting’

MEMBAGIKAN foto dan pengalaman tentang anak di media sosial sudah menjadi tren di kalangan orangtua generasi milenial. Kegiatan ini disebut sharenting (perpaduan kata “share” dan “parenting”), bahkan istilah ini resmi masuk ke dalam Collin English Dictionary pada tahun 2016.

Meski sharenting bernilai positif, seperti berbagi pengalaman dan tips kepengasuhan anak dengan sesama orangtua di media sosial, namun terlalu sering mendokumentasikan setiap tingkat perkembangan anak di media sosial, ada konsekuensi besar dibaliknya. Orangtua harus tetap berhati-hati.

Dikutip dari Internet Matters, inilah yang akan terjadi pada anak jika orangtua terlalu oversharing di media sosial:

Pertama, anak kehilangan hak privasi

Dengan melakukan sharenting, Anda memamerkan sisi kehidupan anak kepada pengikut Anda di media sosial, padahal anak Anda belum bisa mengatakan “tidak” atas apa yang Anda lakukan.

 

Anak-anak masih terlalu muda untuk memahaminya, tapi Anda telah mengambil hak privasi mereka, yang mana sebagai orangtua, Anda seharusnya melindungi privasi anak.

Kedua, anak merasa malu dan menjadi sasaran bullying.

Anda mungkin pernah memposting foto anak Anda dengan caption lucu yang berkomentar tentang ekspresi wajahnya atau kegiatan yang mereka lakukan. Bisa jadi ketika si anak mulai besar, justru hal tersebut membuatnya merasa tidak nyaman atau bahkan menjadi bahan ejekan teman-temannya.

Ketiga, orang lain menilai anak Anda dari apa yang Anda posting.

Apa saja yang Anda bagikan, berkontribusi kepada reputasi online Anda; seperti status, foto, link yang dibagikan, atau komentar. Semua hal ini adalah jejak yang sulit Anda hapus di internet. Jadi, ketika memposting tentang anak Anda, sebenarnya Anda sedang membentuk reputasi online mereka.

 

Seiring bertambahnya usia anak, kelak ia akan terjun ke dalam dunia pendidikan dan kerja. Apa yang Anda bagikan dapat mempengaruhi masa depan mereka. Misalnya, Anda pernah mengeluh tentang perilaku anak di media sosial. Hal itu akan menciptakan reputasi online negatif tentang anak.

Keempat, menjadi sasaran predator online.

Masih segar di ingatan kita kasus grup pedofil di Facebook. Atau kasus penipuan yang ternyata bermula dari infomasi yang didapat pihak yang tidak bertanggungjawab dari media sosial. Kasus-kasus tersebut hanyalah salah satu contoh akibat ketidaktahuan orangtua akan bahaya yang mengintai di dunia maya.

Jika Anda tidak memperhatikan pengaturan privasi media sosial Anda, orang asing manapun bisa dengan mudah mencari tahu nama anak Anda, sekolah, tanggal lahir, dan teman anak Anda. Logikanya, apakah Anda bersedia berbagi informasi seperti ini begitu saja dengan orang asing yang Anda temui di jalan? Tentu tidak, kan? Tapi tanpa sadar, ternyata Anda telah membagikannya kepada predator online.

Jadi, apakah sharenting berbahaya? Tentu ini kembali kepada orangtua. Sharenting bisa memberikan dampak positif jika dilakukan dengan aman dan benar. Berikut tips aman sharenting di media sosial.

Pengaturan Privasi

Cek siapa saja yang bisa melihat postingan Anda. Pastikan postingan tersebut tidak untuk publik atau semua kontak. Cari tahu bagaimana melakukan pengaturan privasi di media sosial mana saja yang Anda gunakan. Jika Anda menggunakan Instagram, ganti akun Anda menjadi akun privat.

Pertimbangkan dulu sebelum posting

Apakah foto ini akan membuat anak saya malu ketika ia besar nanti? Apakah orang lain nanti akan mengejek anak saya? Apa caption seperti ini nantinya akan disalahartikan? Jika ragu, jangan bagikan.

Pilah-pilih audiens

Daripada membagikan foto anak kepada semua pengikut, teman, atau kontak yang ada di media sosial, bagikan saja kepada orang-orang terdekat Anda yang memang ingin tahu tentang perkembangan anak Anda.

Bicarakan pada anak

Jika anak sudah bisa diajak berdiskusi dan tahu lebih banyak tentang media sosial, Anda harus meminta izin padanya jika ingin mengunggah foto atau memposting status tentang dirinya.*/Karina Chaffinch

 

HIDYATULLAH

Anda Memelihara Kuku hingga Panjang? Ini Hukumnya!

APA hukum memelihara atau memanjangkan kuku? Perlu dipahami bahwa Islam amat menyukai kebersihan. Kebersihan pada kuku pun diperhatikan oleh Islam.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Ada lima macam fitrah, yaitu : khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak.” (HR. Bukhari no. 5891 dan Muslim no. 258)

Kalau kuku ini tidak bersih, maka makan pun jadi tidak bersih dikarenakan kotoran yang ada di bawah kuku. Begitu pula dalam bersuci jadi tidak sempurna karena ada bagian kulit yang terhalang oleh kuku yang panjang. Karenanya memanjangkan kuku itu menyelisihi tuntunan dalam agama ini.

Ada riwayat dari Al Baihaqi dan Ath Thobroni bahwa Abu Ayyub Al Azdi berkata, “Ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam, ia bertanya pada beliau mengenai berita langit. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengatakan, “Ada salah seorang di antara kalian bertanya mengenai berita langit sedangkan kuku-kukunya panjang seperti cakar burung di mana ia mengumpulkan janabah dan kotoran.” (Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Al Matholib Al Aliyah bahwa hadits tersebut mursal, termasuk hadits dhaif).

Hukum memanjangkan kuku adalah makruh menurut kebanyakan ulama. Jika memanjangkannya lebih dari 40 hari, lebih keras lagi larangannya. Bahkan sebagian ulama menyatakan haramnya. Pendapat terakhir ini dipilih oleh Imam Asy Syaukani dalam Nailul Author. Dasar dari pembatasan 40 hari tadi adalah perkataan Anas bin Malik radhiyallahu anhu.

Anas berkata, “Kami diberi batasan dalam memendekkan kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketika, mencukur bulu kemaluan, yaitu itu semua tidak dibiarkan lebih dari 40 malam.” (HR. Muslim no. 258). Yang dimaksud hadits ini adalah jangan sampai kuku dan rambut-rambut atau bulu-bulu yang disebut dalam hadits dibiarkan panjang lebih dari 40 hari (Lihat Syarh Shahih Muslim, 3: 133).

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Adapun batasan waktu memotong kuku, maka dilihat dari panjangnya kuku tersebut. Ketika telah panjang, maka dipotong. Ini berbeda satu orang dan lainnya, juga dilihat dari kondisi. Hal ini jugalah yang jadi standar dalam menipiskan kumis, mencabut bulu ketiak dan mencabut bulu kemaluan.” (Al Majmu, 1: 158).

Imam Syafii dan ulama Syafiiyah berkata bahwa memotong kuku, mencukur bulu kemaluan dan mencabut buku ketikan disunnahkan pada hari Jumat. (Idem).

Kuku yang tidak bersih bisa membawa dampak masalah. Apa masalahnya? Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, “Seandainya di bawah kuku ada kotoran namun masih membuat air mengenai anggota wudhu karena kotorannya hanyalah secuil, wudhunya tetaplah sah. Namun jika kotoran tersebut menghalangi kulit terkena air, maka wudhunya jadilah tidak sah dan tidak bisa menghilangkan hadats.” (Idem)

Semoga bermanfaat bagi pembaca. Hanya Allah yang memberi taufik. [Muhammad Abduh Tuasikal]

INILAH MOZAIK

Berniatlah untuk Melakukan Suatu Amalan Baik

Setiap kali kita mendengar tentang sesuatu fadhilah atau amal kebaikan, yang kita sendiri tak memiliki kemampuan atau kecakapan mengerjakannya, hendaknya meniatkan dengan tulus amalan tersebut meski Anda belum bisa mengerjakan atau terlibat di dalamnya.

SETIAP mukmin yang bersungguh-sungguh mencari keridhaan Allah, mendapatkan kedudukan yang dekat kepada-Nya, dan beroleh kemuliaan dan tempat kediaman di sisi-Nya, hendaknya bersungguh-sungguh berdaya upaya meraih semua keutamaan yang bersifat keagamaan serta kebaikan-kebaikan ukhrawi yang diketahuinya. Hendaknya ia juga benar-benar mengamalkannya sejauh tidak terhambat oleh tiadanya kesempatan ataupun kemampuan.

Di antara fadha’il (fadhilah-fadhilah) dan amal-amal khair(kebaikan) ada yang dapat dikerjakan oleh setiap orang, seperti shalat-shalat sunnah, puasa-puasa sunnah, tilawah Al-Quran, zikir, dan lain sebagainya. Ada lagi yang tidak mampu atau tidak sempat mengerjakannya kecuali beberapa orang saja. Ada pula fadha’il yang sebagian dari kaum mukmin mampu mengerjakannya, tetapi terhalang karena mereka sedang sibuk mengerjakan suatu fadhilah atau amal khair yang lebih utama dan lebih wajib bagi mereka, dan di samping itu tak ada kemungkinan mengerjakan keduanya dalam saat yang bersamaan.

Oleh sebab itu, setiap kali Anda mendengar tentang sesuatu fadhilah atau amal khair apa pun, yang Anda sendiri tak memiliki kemampuan atau kecakapan untuk mengerjakannya –atau Anda mampu mengerjakannya tetapi Anda harus meninggalkan suatu amal khair lainnya yang lebih utama dan lebih baik untuk Anda– hendaknya Anda meniatkan dengan tulus amal khair tersebut meski Anda belum bisa mengerjakan atau terlibat di dalamnya.

Selanjutnya, jika Anda tak pandai atau tak sempat mengerjakan amal khair –atau Anda pandai mengerjakannya tetapi tak ada kesempatan untuk itu kecuali apabila Anda meninggalkan pekerjaan yang lebih utama dan lebih baik untuk Anda sendiri– hendaknya Anda berazam mengerjakannya segera setelah Anda beroleh kesempatan. Dengan demikian, dengan niat kuat yang baik tersebut, Anda akan termasuk dalam kelompok orang yang mengerjakannya dan memerhatikannya. Sebab, niat seorang mukmin lebih utama daripada amalnya, dan adakalanya niatnya itu akan menyampaikannya ke tingkatan yang justru tak dapat dicapai oleh amalannya.

Sebagai misal, pada suatu saat, Anda mendengar tentang keutamaan-keutamaan jihad fi sabilillah, sedangkan Anda tak mampu atau tak sempat mengerjakannya. Atau, tentang keutamaan-keutamaan (fadha’il) sedekah dan memberi makan orang miskin, sedangkan Anda tak memiliki kemampuan untuk itu disebabkan kemiskinan atau sedikitnya harta milikAnda. Atau, tentang fadha’il dalam pemerintahan yang adil atau menegakkan amr bi al-ma’ruf wa nahi ‘an al-munkar, sedangkan Anda tak mampu untuk itu karena tak memiliki jabatan kekuasaan atau kekuatan, maka dalam keadaan-keadaan seperti itu hendaknya Anda niatkan sekiranya ada kemampuan dan kesempatan, niscaya Anda mengerjakan amal-amal khair tersebut, serta akan berusaha sungguh-sungguh dan mencurahkan segala daya upaya dan kecakapan sepenuhnya untuk itu.

Selain dari itu, sudah seharusnya pula Anda memberikan bantuan kepada orang-orang yang mengerjakan fadha’il ini serta kewajiban-kewajiban keagamaan lainnya sesuai dengan kemampuan Anda walaupun –paling sedikit– dengan mendoakan mereka, juga dengan mencintai mereka mengingat tugas keagamaan yang mereka laksanakan demi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sepatutnya pula Anda tak segan-segan mengajak, mengimbau, dan memberi semangat kepada mereka agar dapat melaksanakan tugas-tugas dan amal-amal saleh yang sedang mereka tangani itu dengan cara sebaik-baiknya sehingga dengan begitu, terbukalah kemungkinan bagi Anda memperoleh pahala besar seperti pahala yang mereka peroleh. Hal ini sebagaimana tersebut dalam sabda Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam:

Orang yang menunjukkan jalan ke arah amal khair sama seperti orang yang mengerjakannya.” (HR Al-Bazzar dari Ibn Mas’ud).

Sabda beliau pula:

Barang siapa menyeru pada jalan kebaikan, niscaya ia memperoleh pahala sebanyak pahala-pahala semua orang yang mengikutinya, sementara hal itu tidak mengurangi sedikit pun pahala-pahala untuk mereka.” (HR Ahmad dan Al-Thurmudzi dari Abu Hurairah).

Kemudian, apa saja amal-amal khair yang Anda dapat kerjakan pada waktu yang bersamaan, kerjakanlah. Apa yang tidak dapat Anda gabungkan, pilihlah yang lebih afdhal dan lebih sempurna sesuai dengan kemampuan dan kesempatan Anda sendiri. Dan, apa saja yang tidak dapat Anda kerjakan, hendaknya Anda memiliki niat baik untuk sewaktu-waktu melaksanakannya apabila keadaan telah memungkinkan seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

Di antara amal-amal kebaikan ada yang tidak mengandung bahaya sejak awal maupun sampai akhir, misalnya mempelajari ilmu yang bermanfaat, memperbanyak shalat, puasa sunnah, dan sebagainya. Amal-amal khair seperti itu hendaknya Anda berusaha dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakannya dengan segala kemungkinan dan kemampuan.

Tetapi, di antara amal-amal kebaikan ada pula yang mengandung bahaya dan kekhawatiran terjerumus dalam kejahatan dan pantangan-pantangan bagi orang yang terlibat di dalamnya. Yaitu, seperti jabatan-jabatan kekuasaan pemerintahan dan yang berkaitan dengan keuangan, serta lain-lainnya yang serupa dengan itu. Seorang yang berakal dan bijaksana sebaiknya tidak melibatkan diri atau berusaha mendapatkan jabatan-jabatan seperti itu. Sebab, dikhawatirkan apabila ia memperoleh sesuatu darinya, justru akan mendatangkan kebinasaannya seperti yang telah terjadi pada banyak orang yang melibatkan diri dalam jabatan-jabatan tersebut. Sehingga, hilanglah agama dan dunia mereka, dan terjerumuslah mereka ke dalam jurang kemurkaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Oleh sebab itu, sehubungan dengan fadha’il yang mungkin diraih oleh orang-orang yang beroleh taufik Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menangani jabatan-jabatan kekuasaan dan keuangan itu dengan baik, cukupkan diri Anda dengan niat yang baik saja antara Anda dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala andaikata Anda meraih sebagian dari jabatan itu atau ditunjuk untuk menduduki posisi-posisi itu, Anda berjanji akan mengelolanya demi Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan melaksanakannya demi mencapai keridhaan-Nya serta mendekatkan diri kepada-Nya. Cukup itu saja bagimu dan mudah-mudahan Anda beroleh pahala dengan niat yang tulus dan baik itu seperti yang didapat oleh pelaksana jabatan-jabatan tersebut –yang mengelolanya demi Allah– seraya terhindar dari bahaya dan cobaan-cobaan padanya.

Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda kepada seorang sahabatnya:

Jangan sekali-kali meminta suatu jabatan kepemimpinan. Sebab, apabila Anda mendapatkannya berdasarkan permintaan Anda, akan beratlah tanggung jawab Anda. Namun, jika hal itu diberikan tanpa permintaan dari Anda, niscaya Allah akan memberikan bantuan-Nya kepada Anda.” (HR Muslim dari ‘Abdurrahman bin Samurah)

Demikian pula kisah yang masyhur tentang Tsa’labah yang meminta Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam mendoakan dirinya agar Allah memberinya banyak rezeki, harta yang berlimpah, untuk ia sedekahkan nantinya dan berbuat kebajikan dengannya. Namun, ketika hal tersebut dikabulkan, ia mengingkari janjinya sehingga ditimpa murka Allah.

Berkenaan dengan itu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan firman-Nya:

Dan, di antara mereka ada yang membuat perjanjian dengan Allah, ‘Jika Allah memberikan karunia-Nya kepada kami, pastilah kami memberi sedekah dan masuk golongan orangyang saleh.’ Tetapi, setelah datang kepada mereka karunia Allah, mereka menjadi kikir dengan karunia itu, berpaling dan menolak memenuhi janjinya. Maka, Allah menghukum mereka disebabkan kemunafikan dalam hati mereka, sampai hari mereka bertemu dengan Allah, karena mereka melanggar apa yang mereka janjikan kepada-Nya dan berdusta.” (QS Al-Taubah [9]: 75-77).*Al-‘Allamah ‘Abdullah Al-Hadad, dikutip dari bukunya Meraih Kebahagiaan Sejati.

 

HIDAYATULLAH

Jauhkan Anak dari Tathoyyur!

Tathoyur secara istilah diartikan menanggap adanya kesialan karena adanya sesuatu

 

DUK! Terdengar suara keras dari halaman. Ternyata si kecil Fida’ terjatuh keras. Lalu sang ibu pun tergopoh-gopoh berlari dari dalam. “Nah… nak… itu tandanya harus berhenti main. Ayo masuk rumah!” Lain lagi di rumah tetangga. Sang anak yang sudah berusia 11 tahun mendengar pembantu di dapur berkata, “Aduh… nasinya basah… siapa ya yang sakit di kampung?”

Wahai ibu… kasihanilah anakmu dan keluarga yang menjadi tanggung jawabmu di rumah. Sungguh dengan terbiasa melihat dan mendengar kejadian semacam itu, maka akan mengendap dalam benak mereka perbuatan-perbuatan yang tidak lain merupakan tathoyyur. Padahal tidaklah tathoyyur itu melainkan termasuk kesyirikan. Apakah kita hendak mengajarkan kepada anak kesayangan kita dengan kesyirikan yang merusak fitrah tauhid kepada Allah? Wal’iyyadzubillah.

Tathoyyur

Tathoyyur atau thiyaroh secara bahasa diambil dari kata thair (burung). Hal ini dikarenakan tathoyyur merupakan kebiasaan mengundi nasib dengan menerbangkan burung; jika sang burung terbang ke kanan, maka diartikan bernasib baik atau sebaliknya jika terbang ke kiri maka berarti bernasib buruk. Dan tathoyur secara istilah diartikan menanggap adanya kesialan karena adanya sesuatu (An Nihayah Ibnul Atsir 3/152, Al Qoulul Mufid Ibnu Utsaimin, 2/77. Lihat majalah Al-Furqon, Gresik). Walaupun pada asalnya anggapan sial ini dengan melihat burung namun ini hanya keumuman saja. Adapun penyandaran suatu hal dengan menghubungkan suatu kejadian untuk kejadian lain yang tidak ada memiliki hubungan sebab dan hanya merupakan tahayul semata merupakan tathoyur. Misalnya, jika ada yang bersin berarti ada yang membicarakan, jika ada cicak jatuh ke badan berarti mendapat rezeki, jika ada makanan jatuh berarti ada yang menginginkan dan kepercayaan-kepercayaan yang tidak ada dasarnya sama sekali.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

أَلا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِندَ اللّهُ وَلَـكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ

Artinya, “Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al A’raaf [7]:131)

Syaikh Abdurrahman berkata, “Ibnu Abbas rodhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Kesialan mereka, yaitu ‘Apa yang ditakdirkan kepada mereka.’ Dalam suatu riwayat, ‘Kesialan mereka adalah di sisi Allah dan dari-Nya.’ maksudnya kesialan mereka adalah dari Allah disebabkan kekafiran dan keingkaran mereka terhadap ayat-Nya dan rasul-rasul-Nya.” (Fathul Majid).

Sedangkan firman Allah yang artinya,

“Kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib malang)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampui batas.” (QS. Yaasiin [36]:19)

Ibnul Qoyyim rohimahullah menjelaskan bahwa bisa jadi maksudnya adalah kemalangan itu berbalik menimpa dirimu sendiri. Artinya, tathoyyur yang kamu lakukan akan berbalik menimpamu (Fathul Majid).

Syaikh Abdurrahman bin Hasan menjelaskan bahwa relevansi kedua ayat dalam masalah tathoyyur adalah tathoyyur berasal dari perbuatan orang-orang jahiliyah dan orang-orang musyrik. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam juga telah menafikan adanya tathoyyur dalam sabdanya,

لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَ لاَ هَامَةَ صَفَرَ، زَادَ مُسلِمُ: وَلاَ نَوْءَ وَلاَ غُوْلَ

Artinya, “Tidak ada ‘adwa, tidak ada tathoyyur, tidak ada hamah dan tidak ada shafar.” (HR. Bukhori dan Muslim). Imam Muslim menambahkan dengan, “Tidak ada bintang dan tidak ada ghul (hantu).” (*)

(*) Penulis pada kesempatan ini hanya akan membahas penafian Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam dengan adanya tathoyyur. Adapun pengertian istilah-istilah dalam hadits ini akan dibahas tersendiri dalam rubrik akidah, insya Allah.

Bahaya Mempercayai Tathoyyur

Ketahuilah wahai Ibu, sesungguhnya tathoyyur adalah perbuatan yang dapat merusak tauhid karena ia termasuk kesyirikan. Terdapat riwayat dari Ibnu Mas’ud rodhiallahu ‘anhu secara marfu’,

الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، وماَ مِنَّا إلاَّ، وَلَكِنَّ اللّهض يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ

“Tathoyyur adalah kesyirikan, tathoyyur adalah kesyirikan, dan tidak ada seorang pun dari kita kecuali (telah terjadi dalam dirinya sesuatu dari hal itu), akan tetapi Allah menghilangannya dengan tawakal.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi dan ia menyatakan shahih dan menjadikan perkataan terakhir adalah dari perkataan Ibnu Mas’ud. Lihat Fathul Majid)

Syaikh Abdurahman bin Hasan menjelaskan bahwa thiyarah termasuk kesyirikan yang menghalangi kesempurnaan tauhid karena ia berasal dari godaan rasa takut dan bisikan yang berasal dari setan (Fathul Majid).

Wahai ibu… kesyirikan merupakan dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah hingga sang pelaku bertaubat atas kesalahannya. Lalu bagaimana lagi jika kesyirikan yang kita lakukan diikuti oleh anak cucu kita. Itu berarti kita menanggung dosa-dosa mereka (karena telah mengikuti bertathoyyur) dengan tidak mengurangi dosa mereka sedikitpun. Na’udzubillah mindzalik. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa melakukan amal keburukan maka baginya dosa dan dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim)

Keyakinan Adanya Tathoyyur

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Sebaliknya manusia adalah jiwa yang lemah yang juga memiliki musuh-musuh yang akan selalu membisikan was-was dari arah depan, belakang, samping kiri dan kanan. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallambersabda,

“Dari Mu’awiyah bin Al Hakam bahwasannya ia berkata kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, ‘Di antara kami ada orang-orang yang bertathoyyur.’ Beliau menjawab, ‘Itu adalah sesuatu yang akan kalian temukan dalam diri kalian, akan tetapi janganlah engkau jadikan ia sebagai penghalang bagimu’.” (HR. Muslim)

Syaikh Abdurrahman bin Hasan berkata ketika mengomentari hadits ini, “Dengan ini Beliau mengabarkan bahwa rasa sial dan nasib malang yang ditimbukan dari sikap tathoyyur ini hanya pada diri dan keyakinannya, bukan pada sesuatu yang di-tathoyyurkan. Maka prasangka, rasa takut dan kemusyrikannya itulah yang membuatnya ber-tathoyyur dan menghalangi dirinya, bukan apa yang dilihat dan didengarnya.”

Hal ini jelas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikan satu tanda apapun yang menunjukkan adanya kesialan atau menjadi sebab bagi sesuatu yang dikhawatirkan manusia. Ini adalah termasuk kasih sayang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala karena jika ada tanda-tanda semacam itu, tentu manusia tidak akan tenang dalam menjalankan aktifias di dunia. Maka jika muncul rasa was-was dalam hati seseorang karena mendengar atau melihat sesuatu yang itu merupakan tathoyyur, maka hendaklah ia mengucapkan,

اللّهُمَّ لاَ يَأْتِي بِااْحَسَنَاتِ إلاَّ أَنْتَ وَلاَ يَدْفَعُ السَّيِّآتِ إلاَّ أنْتَ وَلاَ حَوْلَ وَ لاَ قُوَّةَ إلاَّ بشكَ

“Ya Allah, tidak ada yang mendatangkan kebaikan kecuali Engkau, dan tidak ada yang menolak keburukan kecuali Engkau, dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Engkau.” (HR. Abu Daud dengan sanad shahih)

Adapula riwayat hadits dari Ibnu ‘Amr, “Barangsiapa yang mengurungkan hajatnya karena tathoyyur, maka ia benar-benar telah berbuat kemusyrikan. Mereka berkata, ‘Lalu apa yang dapat menghapus itu?’ Ia berkata, ‘Hendaknya orang itu berkata,

اللًّهُمَّ لاَ خَيْرَ إلاَّ خَيْرُكَ وَلاَ طَيْرَ إلاَّ طَيْرُكَ

‘Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan-Mu dan tidak ada kesialan kecuali kesialan dari engkau dan tidak ada Ilah yang haq selain Engkau.’” (HR.Ahmad)

Jauhkan Anak dari Tathoyyur

Terkadang memang terjadi pada diri sang ibu atau anggota keluarga lain yang mengeluarkan kalimat atau perbuatan yang pada hakekatnya adalah tathoyyur baik disadari atau tidak. Maka kini ketika menyadari bahwa itu adalah kalimat tathoyyur, hendaknya anggota keluarga saling mengingatkan dan menggantinya dengan kalimat yang mengarahkan anak untuk kecintaannya pada dinul Islam. Hal ini dikarenakan anak sangat mudah menyerap hal-hal yang didengar atau dilihatnya dan akan terus membekas sampai sang anak dewasa (dengan tanpa menyadari itu adalah sebuah kesalahan atau kebaikan). Penulis memberikan beberapa contoh yang mungkin biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Ketika anak jatuh atau terluka, maka tidak dikatakan, “Itu tandanya kamu begini dan begitu. Tidak usah diteruskan, dll.” Tetapi karena ia kesakitan dan menangis maka doakanlah ia semacam doa, “La ba’sa thohurun insya Allah.” Dengan demikian anak terbiasa mendengar doa tersebut dan sang ibu menjalankan salah satu sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam.

Termasuk kesalahan dalam mendidik adalah ketika mereka terluka kemudian yang disalahkan adalah benda-benda di sekitarnya semisal, “Batunya nakal ya”. Ini hanya akan mengajarkan anak selalu mencari-cari kesalahan pada yang lain tanpa melihat kesalahan dirinya sendiri.

Contoh lainnya, ketika ada yang bersin, tidak dikatakan, “Wah ada yang ngomongin tuh” atau perkataan-perkataan yang tidak berdasar lainnya. Tetapi jika yang bersin mengucapkan “Alhamdulillah”, maka jawablah dengan “Yarhamukallah” yang kemudian akan dijawab kembali oleh yang bersin dengan bacaan, “Yahdikumullah wa yushlih baalakum”.

Bacaan-bacaan ini adalah termasuk sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam yang perlu dibiasakan pada diri anak. Dalam hal pendidikan pada anak yang banyak memerlukan pembiasaan, perlu adanya kerjasama dari anggota keluarga untuk saling mendukung dalam mendidik anak. Pembiasaan pada anak juga terpengaruh dari kebiasaan yang ada pada orang tua dan keluarga. (Lihat kitab Hisnul Muslim karya Sa’id bin Wahf al Qothoni -sudah diterjemahkan- untuk mengetahui do’a-do’a menurut sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari).

Sungguh manis apa yang bisa kita tanamkan kepada sang anak ketika kecil jika mengikuti sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam. Insya Allah buahnya akan kita rasakan baik dalam waktu yang relatif dekat atau ketika sang anak telah besar nantinya. Ini juga menunjukkan betapa Nabi kita shollallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan segala hal yang baik untuk umatnya. Segala puji bagi Allah yang telah mengutus Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam kepada kita.

 

Penyusun: Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ust. Abu Mushlih Ari Wahyudi

MUSLIMAH.or.id

Hukum Thiyarah (Tathayyur, Menganggap Sial karena Sesuatu)

Ahlus Sunnah tidak percaya kepada thiyarah atau tathayyur. Tathayyur atau thiyarah yaitu merasa bernasib sial karena sesuatu[2]. Diambil dari kalimat: زَجَرَ الطَّيْرَ (menerbangkan burung).

Ibnul Qayyim (wafat th. 751 H) rahimahullah berkata: “Dahulu, mereka suka menerbangkan atau melepas burung, jika burung itu terbang ke kanan, maka mereka menamakannya dengan ‘saa-ih’, bila burung itu terbang ke kiri, mereka namakan dengan ‘baarih’. Kalau terbangnya ke depan disebut ‘na-thih’, dan manakala ke belakang, maka mereka menyebutnya ‘qa-id’. Sebagian kaum bangsa Arab menganggap sial dengan ‘baarih’ (burungnya terbang ke kiri) dan menganggap mujur dengan ‘saa-ih’ (burungnya terbang ke kanan) dan ada lagi yang berpendapat lain.” [3]

Tathayyur (merasa sial) tidak terbatas hanya pada terbangnya burung saja, tetapi pada nama-nama, bilangan, angka, orang-orang cacat dan sejenisnya. Semua itu diharamkan dalam syari’at Islam dan dimasukkan dalam kategori perbuatan syirik oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena orang yang bertathayyur menganggap hal-hal tersebut membawa untung dan celaka. Keyakinan seperti ini jelas menyalahi keyakinan terhadap taqdir (ketentuan) Allah Azza wa Jalla.

Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin (wafat th. 1421 H) rahimahullah : “Tathayyur adalah menganggap sial atas apa yang dilihat, didengar, atau yang diketahui. Seperti yang dilihat yaitu, melihat sesuatu yang menakutkan. Yang didengar seperti mendengar burung gagak, dan yang diketahui seperti mengetahui tanggal, angka atau bilangan. Tathayyur menafikan (meniadakan) tauhid dari dua segi:

Pertama, orang yang bertathayyur tidak memiliki rasa tawakkal kepada Allah Azza wa Jalla dan senantiasa bergantung kepada selain Allah.

Kedua, ia bergantung kepada sesuatu yang tidak ada hakekatnya dan merupakan sesuatu yang termasuk takhayyul dan keragu-raguan.” [4]

Ibnul Qayyim rahimahullah kembali menuturkan: “Orang yang bertathayyur itu tersiksa jiwanya, sempit dadanya, tidak pernah tenang, buruk akhlaknya, dan mudah terpengaruh oleh apa yang dilihat dan didengarnya. Mereka menjadi orang yang paling penakut, paling sempit hidupnya dan paling gelisah jiwanya. Banyak memelihara dan menjaga hal-hal yang tidak memberi manfaat dan mudharat kepadanya, tidak sedikit dari mereka yang kehilangan peluang dan kesempatan (untuk berbuat kebajikan-pent.).” [5]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَٰذِهِ ۖ وَإِن تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَىٰ وَمَن مَّعَهُ ۗ أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِندَ اللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: ‘Ini disebabkan (usaha) kami.’ Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang bersamanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” [Al-A’raaf: 131]

Ibnu Jarir ath-Thabari (wafat th. 310 H) rahimahullah dalam Tafsiirnya mengatakan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menceritakan bahwa apabila pengikut Fir’aun mendapat keselamatan, kesuburan, keuntungan, kemakmuran dan banyak rizqi, serta menemukan kesenangan duniawi, mereka mengatakan: ‘Kami memang lebih pantas mendapatkan semua ini.’ Sebaliknya, manakala tertimpa kejelekan berupa kekeringan, bencana dan musibah, mereka bertathayyur kepada Musa Alaihissallam dan orang-orang yang besertanya, yakni melemparkan penyebabnya kepada Musa dan orang-orangnya. Mereka mengatakan: ‘Sejak kedatangan Musa, kita kehilangan kemakmuran, kesuburan dan tertimpa krisis.’”

Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah berkata: “Allah Azza wa Jalla menyebutkan bahwa keberuntungan, kemakmuran, dan keburukan serta bencana kaum Fir’aun dan yang lainnya tidak lain adalah ketetapan yang baik dan yang buruk semuanya dari Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui sehingga mereka menuduh Musa Alaihissallam dan pengikutnya sebagai penyebabnya.”[6]

Thiyarah termasuk syirik yang menafikan kesempurnaan tauhid, karena ia berasal dari apa yang disampaikan syaithan berupa godaan dan bisikannya.

اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، وَمَا مِنَّا إِلاَّ، وَلَكِنَّ اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ.

“Thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik dan setiap orang pasti (pernah terlintas dalam hatinya sesuatu dari hal ini). Hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal kepada-Nya.” [7]

Dalam Shahiih Muslim disebutkan, dari Mu’awiyah bin al-Hakam as-Sulami Radhiyallahu anhu, bahwasanya ia berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Di antara kami ada orang-orang yang bertathayyur.” Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Itu adalah sesuatu yang akan kalian temui dalam diri kalian, akan tetapi janganlah engkau jadikan ia sebagai penghalang bagimu.’” [8]

Dengan ini beliau mengabarkan bahwa rasa sial dan nasib malang yang ditimbulkan dari sikap tathayyur ini hanya pada diri dan keyakinannya, bukan pada sesuatu yang ditathayyurkan. Maka prasangka, rasa takut dan kemusyrikannya itulah yang membuatnya bertathayyur dan menghalangi dirinya untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat, bukan apa yang dilihat dan didengarnya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian menerangkan permasalahan tersebut kepada umatnya tentang kesesatan tathayyur supaya mereka mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberikan kepada mereka suatu alamat atau tanda atas kesialan, atau menjadikannya sebab bagi apa yang mereka takutkan dan khawatirkan. Supaya hati mereka menjadi tenang dan jiwa mereka menjadi damai di hadapan Allah Yang Mahasuci.

Telah diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ مِنْ حَاجَةٍ فَقَدْ أَشْرَكَ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا كَفَّارَةُ ذَلِكَ؟ قَالَ: أَنْ يَقُوْلَ أَحَدُهُمْ :اَللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ.

‘Barangsiapa mengurungkan niatnya karena thiyarah, maka ia telah berbuat syirik.” Para Sahabat bertanya: “Lalu apakah tebusannya?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Hendaklah ia mengucapkan: ‘Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, tiadalah burung itu (yang dijadikan objek tathayyur) melainkan makhluk-Mu dan tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau.’” [9]

Pengharaman thiyarah didasarkan pada beberapa hal:
1. Dalam thiyarah terkandung sikap bergantung kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala

2. Thiyarah melahirkan perasaan takut, tidak aman dari banyak hal dalam diri seseorang, sesuatu yang pada gilirannya menyebabkan kegoncangan jiwa yang dapat mempengaruhi proses kerjanya sebagai khalifah di muka bumi.

3. Thiyarah membuka jalan penyebaran khurafat dalam masyarakat dengan jalan memberikan kemampuan mendatangkan manfaat dan mudharat atau mempengaruhi jalan hidup manusia kepada berbagai jenis makhluk yang sebenarnya tidak mereka miliki. Pada gilirannya, itu akan mengantar kepada perbuatan syirik besar.

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]

Sumber: https://almanhaj.or.id/2397-hukum-thiyarah-tathayyur-menganggap-sial-karena-sesuatu.html

Ridha Sikap Terbaik Menghadapi Takdir Dibenci

KETAHUILAH bahwasanya dalam menghadapi takdir yang tidak disenangi, seorang hamba terbagi dalam tiga keadaan:

a. Dia ridha dengan takdir tersebut

Ini merupakan tingkatan yang paling tinggi, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya dia akan memberi petunjuk kepada hatinya… ” (At-Taghabun [64]: 11).

Al-Qamah berkata, “Maksud musibah dalam ayat di atas adalah sebuah musibah yang menimpa seseorang dan dia menyadari bahwa takdir tersebut datang dari sisi Allah, kemudian ia pasrah dan ridha dengannya.”

Imam At Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits dari Anas bin Malik bahwasanya Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala apabila mencintai sebuah kaum, maka Dia mengujinya. Barangsiapa yang ridha maka dia mendapatkan keridhaan dan siapa yang benci maka dia hanya akan mendapatkan kebencian.

Dalam salah satu doanya Rasulullah menyebutkan: “Aku memohon kepada-Mu sikap ridha setelah mendapatkan takdir.” (HR An-Nasa’i).

Salah satu hal yang bisa memotivasi seorang mukmin untuk bersikap ridha dengan takdir Allah adalah merealisasikan makna keimanannya, sebagaimana sabda Rasulullah,

Menakjubkan bagi seorang mukmin, Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak menetapkan sesuatu bagi seorang mukmin kecuali (sesuatu itu-edt) baik baginya.

Seseorang datang menemui Rasulullah dan meminta kepada beliau untuk berwasiat kepadanya, dengan wasiat yang ringkas dan padat. Rasulullah bersabda:

Janganlah engkau menuduh Allah (salah) dalam keputusan yang telah ditetapkan-Nya kepadamu.” (HR Ahmad).

Abu Darda radiyallahu anhu berkata, “Sesungguhnya apabila Allah Subhanahu Wa Ta’alamenetapkan sebuah takdir, Dia ingin agar takdir tersebut diterima dengan ridha.” Sikap ridha adalah jika seorang hamba tidak menginginkan selain apa yang dia rasakan, baik kesukaran atau kemudahan.

Umar bin Abdul Aziz radiyallahu anhu berkata, “Saya berada di waktu pagi dan tidak memiliki rasa senang, kecuali terhadap kejadian-kejadian qadha’ dan qadar (takdir).”

b. Sabar menerima musibah

Tingkatan ini diperuntukkan bagi orang yang tidak bisa ridha dengan keputusan Allah. Sikap ridha adalah karunia yang dianjurkan dan disunnahkan, sementara sabar adalah sesuatu yang secara pasti diwajibkan kepada seorang mukmin.

Kesabaran memiliki kebaikan yang banyak. Allah memerintahkan untuk bersabar dan menjanjikan pahala yang besar kepada pelakunya, sebagaimana firman-Nya:

“…Sesungguhnya, hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Az-Zumar [39]: 10).

Perbedaan antara ridha dan sabar bahwa sabar merupakan sikap menahan dan menjaga diri dari marah sekalipun ada perasaan sakit, dan menginginkan hilangnya sakit tersebut.

Juga menjaga anggota badan dari melakukan tindakan-tindakan yang menggambarkan ketidaksukaan, seperti keluhan dengan lisan, gerakan tangan atau gambaran tanda-tanda kemarahan di wajahnya.

Ada pun ridha adalah ketenangan hati dan kelapangan jiwa, menerima takdir Allah dan tidak menginginkan hilangnya kedukaan itu, sekalipun merasakan sakit dalam dirinya. Dengan demikian, keridhaannya telah membuat semuanya ringan, karena hatinya telah dipenuhi yakin dan ma’rifah (mengenal Allah).

c. Marah dengan keputusan Allah

Dengan bersikap seperti ini, seseorang bisa dinyatakan keluar dari lingkup orang-orang yang bertawakal menuju kelompok orang-orang yang menuduh Allah Rabb semesta alam dengan kejelekan, na’udzubillahi min dzalik!

Untuk lebih memahami ketiga sikap di atas, kita perlu mengetahui bahwa dalam menghadapi segala sesuatu yang tidak disukainya, seorang hamba memerlukan enam prinsip:

1. Prinsip tauhid

Yaitu bahwa segala sesuatu telah dikehendaki, diciptakan, dan ditakdirkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Apa yang dikehendaki oleh Allah pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak akan terjadi.

2. Prinsip adil

Yaitu bahwa sesungguhnya Allah akan tetap menjalankan hukum-Nya dan adil dalam keputusan-Nya.

3. Prinsip rahmat

Maksudnya, seseorang memiliki pendirian bahwa rahmat Allah dalam semua ketentuan-Nya mengalahkan murka dan kemarahan-Nya.

4. Prinsip hikmah

Yaitu pemahaman yang menyebutkan bahwa sesungguhnya hikmah Allah mengharuskan demikian. Allah tidak pernah menakdirkan sesuatu yang sia-sia, tidak pula menetapkan sesuatu yang tidak berguna.

5. Prinsip al-hamdu (pujian)

Yaitu pemahaman bahwa sesungguhnya Allah memiliki pujian yang sempurna dalam segala segi.

6. Prinsip al-‘ubudiyah (dan ini yang paling tinggi dan mulia)

Yakni pemahaman yang berawal dari sebuah kesadaran bahwa manusia hanyalah seorang hamba dari segala aspek, berlaku ke atasnya semua hukum dan keputusan majikannya, dengan hukuman atas keberadaannya sebagai seorang hamba yang dimiliki.

Dia Subhanahu Wa Ta’ala memperlakukannya di bawah hukum yang telah ditentukan-Nya, sebagaimana dia menjalankannya di bawah hukum-hukum agama. Hal itu merupakan tempat dijalankan segala keputusan-Nya.*Dr. Hani Kisyik, dikutip dari bukunya Kunci Sukses Hidup Bahagia.

 

HIDAYATULLAH

Sedikit Memperturutkan Hawa Nafsu, Sedikit Pula Kelelahannya

ORANG yang paling besar ke-rahah (senang memperturutkan kesenangan dunia)-annya, terlampau gemar akan kesenangan dan kelezatannya, dan paling giat mengejar kemewahannya, adalah juga (orang) yang paling besar kepayahannya dan kesulitannya. Paling banyak menghadapi ancaman bahaya dan paling sering diliputi kerisauan, kegundahan, dan kesedihan. Sebagai contoh para raja dan hartawan.

Ada pun seseorang yang paling sedikit merasakan kerahahan serta kelezatan duniawi, dan paling sedikit kegemaran dalam mencari kemewahan, adalah juga yang paling ringan kepayahan dan kesulitan yang dihadapinya. Paling sedikit bahaya yang mengancamnya, dan paling sedikit kerisauan dan kegundahan yang dialaminya. Contohnya, kaum fakir miskin (yang sabar).

Hal itu disebabkan kelezatan dunia, kesenangan, serta gejolak syahwatnya, pada hakikatnya lebih banyak mengakibatkan kekeruhan hati, kesusahan, dan kegelisahan. Dan bahwa orang yang bersaing, berebut, dan cemburu untuk mendapatkan kelezatan dunia, sungguh amat banyak jumlahnya. Itu pulalah penyebab makin besarnya kesulitan, bahaya, serta kegundahan yang dialami dalam upaya memperolehnya, menikmatinya, menjaganya, serta mengembangkannya. Dan, makin berlipat gandalah –bersamaan dengan itu– segala kesulitan, bahaya, kegelisahan, dan kegundahan hati, dengan bertambah gencarnya pencarian dan memuncaknya kegemaran padanya.

Sebaliknya, makin lemah keinginan meraih kelezatan dunia dan makin redup kegemaran memperolehnya, makin sedikit pula kepayahan, bahaya, kegelisahan, dan kegundahan yang dialami. Itulah sebabnya Anda melihat para raja dan hartawan adalah orang-orang yang paling lelah hidupnya, paling banyak mengalami kegundahan dan keresahan, serta paling besar ancaman yang dihadapinya. Sehingga, mereka bersedia berjudi dengan nyawanya dan mengorbankan hidupnya demi meraih idaman hatinya dan memenuhi syahwat nafsunya atau demi menjaga miliknya dan mengembangkannya. Keadaan seperti itu dapat disaksikan dengan jelas oleh setiap orang yang menggunakan akalnya.

Ada pun kaum fakir miskin, mereka itu adalah manusia yang paling sedikit kegundahan dan kegelisahannya disebabkan oleh sedikitnya tuntutan akan kelezatan dunia dan kemewahan hidup. Hal itu juga disebabkan oleh lemahnya keinginan mereka untuk meraih hal-hal tersebut, baik dengan cara sukarela — seperti keadaan para ahli zuhud–, atau karena terpaksa seperti dalam keadaan kaum yang lemah. Yakni, orang-orang yang tidak membiarkan hati mereka membicarakan kehidupan duniawi yang berlebih-lebihan, dan karena itu tidak berkeinginan untuk meraihnya atau bersusah payah mempertahankannya. Sebagai akibatnya, sedikit pula kepayahan dan kegundahan yang mereka alami.

Ketahuilah bahwa orang yang hanya mencari kehidupan untuk hidupnya sehari, lebih sedikit kepayahan dan kegundahannya daripada yang mencari kecukupan untuk hidupnya seminggu. Orang yang mencari kecukupan untuk seminggu lebih sedikit kegundahannya daripada yang mencari kecukupan untuk sebulan. Dan, yang mencari kecukupan sebulan lebih sedikit kegundahannya daripada yang mencari kecukupan untuk setahun.

Selanjutnya, orang yang mencari kecukupan untuk dirinya sendiri lebih sedikit kepayahan dan kegundahannya daripada yang mencari kecukupan untuk dirinya sendiri ditambah untuk orang lain. Makin banyak tuntutan hidup, makin besar pula kepayahan dan kesulitan serta kegundahan dan kegelisahan. Dengan demikian, kesenangan dan kerahahan duniawi yang diperoleh seorang manusia, semuanya itu berada di atas sebuah lengan neraca, sedangkan kepayahan, bahaya, serta kegundahan yang dialami dan dideritanya berada di sebuah lengan neraca lainnya. Persis sama banyaknya, kendati ada kemungkinan salah satu dari keduanya sedikit lebih banyak atau lebih ringan. Manusia dalam hal ini memang agak berbeda antara yang satu dan lainnya.

Inilah yang diperoleh oleh kedua kelompok dalam kehidupan dunia. Ada pun di akhirat kelak, masing-masing masih akan mengalami balasannya sendiri-sendiri. Para pencari kelezatan duniawi dan pengumbar syahwat hawa nafsu akan mengalami balasan yang berupa perhitungan, hukuman, dan malapetaka. Demikian pula kaum tak berpunya yang ikhlas, yang –di dunia ini– terhalang atau menahan diri dari kelezatan duniawi dan syahwat hawa nafsu. Mereka itu akan menerima balasan berupa kehormatan, kenikmatan, kejayaan, dan kesenangan. Semua itu telah dikenal dan masyhur dalam berbagai berita, dalam Al-Quran dan hadis-hadis yang amat panjang sebutannya dan sangat sulit dicakup bilangannya.

Oleh sebab itu, jika Anda benar-benar menginginkan “kerahahan sejati” dalam kehidupan dunia, Anda dapat memperolehnya dengan meninggalkan kerahahan di dalamnya. Kepada seorang bijak bestari pernah diajukan pertanyaan, “Untuk siapakah akhirat itu?”

Jawabnya, “Untuk siapa yang mencarinya.”

Ketika ditanyakan pula, “Untuk siapakah dunia itu?” Jawabnya ialah, “Untuk siapa yang meninggalkannya.”

Ibrahim bin Adham rahimahuliah (seorang pangeran dari Balakh yang meninggalkan istana demi mencari kepuasan batin dengan mendekatkan diri pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala) pernah berkata kepada seorang miskin yang dilihatnya sedang murung, “Jangan risau dan jangan bersedih hati, kawan. Sekiranya para raja mengetahui ‘ke-rahah-an (sejati)’ yang sedang kita alami, niscaya mereka akan memerangi kita dengan pedang untuk merebutnya.”

Ada pun sebab Ibrahim bin Adham mengeluarkan diri dari kemewahan kehidupan dan melepaskan kerajaannya yang fana ialah ketika pada suatu siang ia melongok dari istananya, dilihatnya seorang pengemis sedang berteduh di bawah dinding istana itu. Sang pengemis mengeluarkan sekerat roti dari buntelannya, lalu minum air. Selesai itu tidur dengan sangat lelapnya dalam bayang-bayang istana.

Ibrahim bin Adham sangat terkesan dan kagum akan keadaan orang itu dan merasa iri atas ke-rahahan (sejati)nya. Ia memerintahkan seorang pengawal istana agar menghadapkan orang itu apabila ia telah terjaga. Ketika orang itu datang, Ibrahim berkata kepadanya, “Telah Anda makan roti itu dalam keadaan lapar, lalu merasa kenyang dengannya?”

“Ya,” jawab orang itu.

“Dan, Anda telah tidur dan puas beristirahat?” “Ya,” jawabnya lagi. •

Mendengar itu, Ibrahim berkata kepada dirinya sendiri, “Jika nafsu manusia dapat merasakan kepuasan dengan sesuatu seperti ini, apa artinya kemewahan dunia ini bagiku?”

Pada malam harinya, Ibrahim bin Adham keluar dari istananya, meninggalkan kebiasaan hidupnya sebelum itu, dan mencurahkan semua waktunya menuju Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Maka, jadilah ia seorang tokoh sufi yang besar.

Dengan uraian di atas, Anda mengetahui bahwa kesenangan-kesenangan duniawi, kelezatan-kelezatannya, serta pengumbaran syahwat nafsu di dalamnya, semua itu mengundang kepayahan, bahaya, kegundahan, kerisauan, dan kesedihan. Makin besar yang “itu” makin besar pula yang “ini”, dan makin patut seorang manusia menderita karenanya. Sebaliknya, makin sedikit kelezatan, kerahahan, dan pengumbaran syahwat nafsu di dalamnya, makin sedikit pula kepayahan, bahaya, kegundahan dan kerisauannya, serta makin damai pula hati manusia karenanya.

Di samping itu semua, masih ada lagi risiko dan konsekuensi di akhirat bagi mereka yang berfoya-foya di dunia. Dan, masih ada pula kemuliaan yang disediakan bagi siapa yang meninggalkan tuntutan hawa nafsu duniawi dan yang berpaling darinya, baik secara sukarela maupun karena terpaksa. Demikianlah, semuanya itu terang dan jelas bagi siapa saja yang memerhatikannya dan bersikap tulus terhadap dirinya sendiri.*Al-Allamah ‘Abdullah Al-Haddad, dari bukunya Meraih Kebahagiaan Sejati.

 

HIDAYATULLAH

Ini Cara Membangun Semangat Melaksanakan Shalat Tahajud

KITA mengetahui bahwa tidak mudah bisa konsisten bangun pada sepertiga malam terakhir untuk melakukan shalat Tahajud karena berbagai sebab. Mungkin, terkadang kita tidur terlalu larut malam, keletihan, atau bisa jadi sedang sakit, dan sebagainya. Oleh karena itu, untuk mengatasi hal-hal semacam itu, berikut beberapa kiat yang dapat Anda coba agar bisa bangun malam untuk melaksanakan shalat Tahajud.

Pertama, beribadahlah secara ikhlas hanya karena mengharap ridha Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana Dia telah memerintahkan dalam firman-Nya:

Padahal, mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (hal menjalankan) agama yang lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS A1-Bayyinah [98]: 5).

Kedua, meyakini bahwa Allah-lah yang memerintahkan hamba untuk menegakkan shalat malam. Jika seorang hamba menyadari bahwa Rabb-nya, yang Mahakaya lagi tidak memerlukan sesuatu apa pun dari hamba, telah memerintahnya untuk mengerjakan shalat malam, maka ia pasti akan mengerti betapa pentingnya ibadah itu bagi dirinya.

Ketiga, memahami keutamaan qiyamul lail dan kedudukan orang-orang yang mengerjakan ibadah tersebut di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Orang yang terbiasa qiyamul lail bisa dikategorikan sebagai orang bertakwa. Salah satu kriteria orang bertakwa terdapat dalam firman Allah, “Mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan pada waktu pagi sebelum fajar.” (QS Adz-Dzariyat [51]: 17-18).

Keempat, berusahalah semaksimal mungkin meninggalkan dosa dan maksiat karena dosa dan maksiat dapat memalingkan hamba dari kebaikan.

Al-Fudhail bin ‘Iyadh radiyallahu anhu berkata, “Apabila tidak mampu mengerjakan shalat malam dan puasa pada siang hari, engkau adalah orang yang terhalang dari (kebaikan) lagi terbelenggu. Dosa-dosamu telah membelenggumu.”

Kelima, berusaha semaksimal mungkin meniru perilaku kaum Salaf dan orang-orang saleh terdahulu –dari kalangan sahabat, tabiin, dan sesudahnya– tentang keseriusan mereka dalam hal mengejar pahala shalat malam.

Abu Dzar Al-Ghifari radiyallahu anhu pernah berkata, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku adalah penasihat untuk kalian dan orang yang sangat mengasihi kalian, kerjakanlah shalat oleh kalian pada kegelapan malam guna bekal ke (alam) kubur, berpuasalah di dunia untuk terik panas hari kebangkitan, dan bersedekahlah sebagai rasa takut terhadap hari yang penuh dengan kesulitan.”

Keenam, memendekkan angan-angan dan banyak mengingat kematian. Hal ini penting karena dapat memicu semangat seorang hamba dalam melaksanakan ketaatan dan menghilangkan rasa malas. Dari Ibnu Umar, beliau berkata, Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallammemegang bahuku seraya berkata, “Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau pengembara yang sekadar berlalu.”

Ketujuh, mengingat nikmat kesehatan dan waktu luang (guna bersegera melaksanakan shalat malam). Hal ini sebagaimana diriwayatkan Ibnu ‘Abbas radiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam menasihati seorang lelaki seraya bersabda, “Dua nikmat yang banyak manusia melalaikannya: kesehatan dan waktu luang.”

Kedelapan, segeralah tidur pada awal malam. Dalam hadist Abi Barzakh radiyallahu anhu, beliau berkata, “Adalah (Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam) membenci tidur sebelum (mengerjakan shalat) Isya dan berbincang-bincang setelah (mengerjakan shalat Isya) tersebut.”

Kesembilan, menjaga adab tidur yang dituntunkan oleh Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam, seperti tidur dalam keadaan berwudhu, membaca surah “tiga qul” (yakni Surah Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas), ayat kursi, dua ayat terakhir dari Surah Al-Baqarah, zikir-zikir yang disyariatkan untuk dibaca ketika tidur, serta tidur dengan bertumpu di atas rusuk kanan.

Kesepuluh, menghindari berbagai sebab yang melalaikan seorang hamba terhadap shalat malamnya. Para ulama menyebutkan bahwa di antara sebab tersebut adalah terlalu banyak makan dan minum, terlalu meletihkan diri pada siang hari dengan berbagai amalan tidak bermanfaat, tidak melakukan qailulah (tidur siang), dan selainnya.

Diriwayatkan bahwa iblis menampakkan diri kepada Nabi Yahya bin Zakariya alaihis salamdengan membawa banyak sendok. Yahya bertanya kepadanya, “Ada apa dengan sendok-sendok itu?” Iblis menjawab, “Ini adalah syahwat yang aku gunakan untuk menjebak manusia.”

Yahya bertanya lagi kepadanya, “Apakah engkau mendapatkan sesuatu pada diriku yang bisa kau jerat dengan perangkapmu itu?”

Iblis menjawab, “Ya. Pada suatu malam, engkau sangat kenyang sehingga aku bisa membuatmu merasa berat untuk mengerjakan shalat malam.” Yahya berkata, “Kalau begitu, sesudah ini, aku tidak akan mau berkenyang-kenyang selamanya.” Iblis kemudian berkata, “Baiklah, tetapi hal itu janganlah engkau nasihatkan kepada orang lain sesudahmu.”

Demikianlah, beberapa kiat yang bisa kita coba praktikkan agar mudah mengerjakan shalat malam. Semoga uraian ini dapat menjadi pendorong bagi kita agar lebih bersemangat dalam melaksanakan shalat malam.*Haris Priyatna dan Lisdy Rahayu, dari bukunya Amalan Pembuka Rezeki.

 

HIDAYATULLAH