3 Sifat Manusia yang Disenangi Oleh Iblis

Syekh Husain bin Nasir Ibnu Khamis dalam karyanya Munakib Al-Abrar wa Muhasini Al-Ahyar Juz, 1, halaman 339, mengutip pernyataan Syekh Hamdun bin Ahmad Al-Qusshar bahwasannya, ada tiga sifat manusia yang paling disenangi oleh Iblis.

Adapun kutipannya sebagai berikut: 

إذا اجتمع إبليس وجنوده لم يفرحوا بشيء كفرحهم بثلاثة أشياء: رجل مؤمن قتل مؤمنا، ورجل مات على الكفر، وقلب فيه خوف الفقر

Artinya; Ketika Iblis dan tentaranya berkumpul, mereka tidak bergembira dalam sesuatu, karena mereka bergembira dalam tiga perkara, lelaki mukmin yang membunuh lelaki mukmin lainnya, lelaki yang meninggal dalam kekafiran, dan di hatinya ketakutan akan kemiskinan.

Menurut penuturan Syekh Hamdun bin Ahmad Al-Qusshar di atas, bahwa Iblis sangat bergembira bila mereka telah berhasil menggoda dan menjerumuskan manusia ke dalam tiga perkara. Adapun tiga perkara tersebut terperinci sebagai berikut: 

Pertama, lelaki yang membunuh lelaki lainya. Pembunuhan tersebut sengaja tanpa hak (tidak dibenarkan oleh syariat) Iblis sangat bergembira apabila orang mukmin saling bunuh. Adapun balasan orang yang membunuh tersebut kelak akan dimasukkan ke neraka Jahannam. Allah murka kepadanya dan dijauhkan dari rahmat-Nya, serta disediakan baginya azab yang sangat pedih.

Kedua, lelaki yang meninggal dalam kekafiran (tidak membawa iman) Ujian terberat yang akan dihadapi manusia yaitu, ketika menjelang kematian. Pada detik-detik menjelang kematian Iblis hadir untuk menggoda, godaan tersebut mengajak kepada kekafiran atau menyekutukan Allah. Apabila Iblis berhasil menggodanya, ia sangat bergembira sekali, karena kelak orang yang berhasil digodanya akan menjadi teman Iblis untuk menghuni neraka. 

Ketiga, hati yang takut akan kefakiran. Jika dalam hati seseorang terbesit rasa takut akan kefakiran, disaat itu, Iblis dan tentaranya sangat senang sekali, kenapa mereka sangat senang? Karena orang yang takut kepada kefakiran akan mudah untuk melakukan larangan dan cenderung menghalalkan segala cara untuk menyambung hidupnya. 

Karena ketidakberdayaannya secara ekonomi, orang yang fakir terkadang tidak pernah mengenal tuhan-Nya. Mereka tidak pernah melakukan kewajiban yang telah dibebankan kepadanya. Banyak orang fakir yang akhirnya berpindah agama, karena adanya bantuan-bantuan ekonomi yang mampu mensejahterakan hidupnya. 

Demikian penjelasan terkait tiga sifat manusia yang disenangi oleh iblis. Wallahu A’lam Bissawab.

BINCANG SYARIAH

Kapan Waktu Pelaksanaan Salat Jenazah?

Fatwa Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin

Pertanyaan:

Apakah salat jenazah memiliki waktu tertentu? Apakah diperbolehkan memakamkan jenazah di malam hari? Apakah salat jenazah harus dilaksanakan sejumlah orang tertentu? Apakah diperbolehkan salat jenazah di pemakaman dan menghadap kubur?

Jawaban:

Salat jenazah itu tidak memiliki waktu tertentu, karena kematian itu juga tidak memiliki waktu tertentu. Kapan pun ada seseorang yang meninggal dunia, maka jenazahnya dimandikan, dikafani, kemudian disalatkan di waktu kapan pun, baik malam atau siang hari. Dan juga dimakamkan di waktu kapan pun, baik malam atau siang hari, kecuali di tiga waktu yang tidak diperbolehkan untuk memakamkan (dan mensalatkan) jenazah. Yaitu, (1) sejak terbitnya matahari sampai meninggi (naik) seukuran satu tombak, (2) ketika matahari tepat di tengah-tengah sampai bergeser (condong) ke barat, yaitu sekitar 10 menit sebelum zawal (bergesernya matahari dari tengah-tengah langit ke arah barat, pent.), dan (3) ketika matahari sedang proses terbenam di ufuk barat sampai benar-benar tenggelam. Matahari itu hampir terbenam di ufuk barat ketika antara matahari dan ufuk barat itu seukuran tombak.

Inilah tiga waktu yang terlarang untuk memakamkan (dan mensalatkan) jenazah. Larangan untuk memakamkan jenazah di waktu-waktu tersebut menunjukkan hukum haram. Hal ini berdasarkan hadis dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu,

ثَلَاثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِنَّ، أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا

Ada tiga waktu, yang mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang kita untuk salat atau menguburkan jenazah pada waktu-waktu tersebut.” (HR. Muslim no. 831) [1]

Salat jenazah tidak memiliki syarat sejumlah orang tertentu. Bahkan, jika salat jenazah tersebut hanya dilakukan oleh satu orang, niscaya hal itu telah mencukupi.

Salat jenazah boleh dikerjakan di pemakaman. Oleh karena itu, para ulama rahimahumullah mengecualikan salat jenazah dari larangan mendirikan salat di pemakaman secara umum. Mereka mengatakan, “Diperbolehkan untuk salat jenazah di pemakaman, sebagaimana diperbolehkan salat menghadapnya.” Terdapat riwayat yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau salat jenazah menghadap makam seorang wanita yang ketika masih hidup, wanita itu tinggal di masjid. Wanita tersebut meninggal di malam hari dan dimakamkan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,

دُلُّونِي عَلَى قَبْرِهِا

Tunjukkanlah kepadaku, di mana makamnya.

Para sahabat pun menunjukkan letak makam wanita tersebut, kemudian Nabi mensalatinya di sana. (HR. Bukhari no. 1337 dan Muslim no. 956) [2]

***

@Rumah Lendah, 24 Muharram 1445/ 11 Agustus 2023

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

[1] Teks lengkap hadis tersebut adalah,

ثَلَاثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِنَّ، أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا: حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَمِيلَ الشَّمْسُ، وَحِينَ تَضَيَّفُ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ

Ada tiga waktu, yang mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang kita untuk salat atau menguburkan jenazah pada waktu-waktu tersebut. (Pertama), saat matahari terbit hingga ia agak meninggi. (Kedua), saat matahari tepat berada di pertengahan langit (tengah hari tepat) hingga ia telah condong ke barat. (Ketiga), saat matahari hampir terbenam, hingga ia terbenam sempurna.” (HR. Muslim no. 831)

[2] Diterjemahkan dari kitab Fatawa Arkanil Islam, hal. 495-496, pertanyaan no. 348.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/87080-kapan-waktu-pelaksanaan-salat-jenazah.html

Perbanyaklah Mengingat Kematian

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan kita untuk memperbanyak mengingat mati. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ يَعْنِي الْمَوْتَ

Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan, yaitu kematian.” (HR. Tirmidzi no. 2307, An-Nasa’i no. 1824. Hadis ini dinilai hasan sahih oleh Al-Albani)

Di dalam hadis ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,

أَكْثِرُوا

Ini adalah perintah untuk memperbanyak melakukan sesuatu, yaitu perbanyaklah mengingat kematian, baik sendirian maupun ketika bersama orang lain. Hukum asal dari kalimat perintah ini adalah menunjukkan hukum wajib, selama tidak ada indikasi yang memalingkannya dari hukum wajib tersebut.

Adapun kata,

هَاذِمِ اللَّذَّاتِ

Maksudnya adalah pemutus kenikmatan. Hal ini karena dengan mengingat kematian, hal itu bisa memutus kenikmatan dunia dan bisa menjadikan seseorang zuhud dari kenikmatan duniawi.

Akan tetapi, bisa juga dibaca dengan,

هَادمِ اللَّذَّاتِ

Maksudnya adalah penghancur kenikmatan, semisal dengan kata,

هدم البناء

Bangunan yang hancur (runtuh).

Sehingga terdapat penyerupaan antara hancurnya kenikmatan duniawi dengan runtuhnya sebuah bangunan. Sedangkan yang menghancurkannya adalah kematian tersebut.

Lafaz tersebut diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewati suatu kaum dari golongan Anshar yang sedang tertawa. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,

أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَادمِ اللَّذَّاتِ

Perbanyaklah mengingat penghancur kenikmatan.” (HR. Al-Bazzar dalam Mukhtashar Zawaid, 2: 466; Ath-Thabrani dalam Al-Ausath, 1: 395; Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 9: 252. Dinilai hasan oleh Al-Munziri dalam At-Targhib wa At-Tarhib, 4: 236. Namun, diingkari oleh Abu Hatim dengan mengatakan, “Hadis ini batil.” (Al-‘Ilal, 2: 131) Imam Bukhari berkata, “Hadis munkar.” Lihat Tahziibul Kamal, 29: 178.)

Diriwayatkan juga dengan,

هَازمِ اللَّذَّاتِ

Maksudnya adalah yang mengalahkan atau menaklukkan kenikmatan.

Baca juga: Ketika Kematian Disembelih

Kandungan hadis

Hadis ini merupakan dalil bahwa hendaknya seorang mukmin itu memperbanyak mengingat kematian dan tidak lalai darinya. Kematian itu pasti datang dan pasti terjadi, sehingga hendaknya senantiasa dalam benak seorang mukmin di setiap waktu dan dia pun mempersiapkannya dengan baik. Dengan mengingat kematian, seseorang menjadi zuhud dari kehidupan dunia dan menjadi bersemangat mengejar akhirat. Selain itu, bisa mengurangi ketergantungannya dengan dunia dan mengurangi dari sikap berlebih-lebihan dalam mengejar dunia.

Berbeda dengan orang-orang yang lalai dari mengingat kematian. Kita bisa melihat bahwa tujuan hidupnya hanyalah untuk mengejar dunia dan rakus untuk mengumpulkan materi duniawi. Dia mencurahkan waktu dan tenaganya untuk mengejar pencapaian-pencapaian duniawi.

Ketika di dunia, seseorang berada dalam dua keadaan, bisa jadi dia dalam kondisi lapang (mendapatkan nikmat) atau dalam kondisi kesusahan (mendapatkan musibah). Dalam dua keadaan tersebut, dia tetap butuh untuk mengingat mati. Jika dia senantiasa mengingat mati ketika sedang mendapatkan nikmat, maka dia tidak akan lalai. Sedangkan jika dia senantiasa mengingat mati ketika sedang mendapatkan musibah, maka dia tidak cemas dan berkeluh kesah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ: الْمَوْتَ، فَإِنَّهُ لَمْ يَذْكُرْهُ أَحَدٌ فِيْ ضِيْقٍ مِنَ الْعَيْشِ إِلاَّ وَسَّعَهُ عَلَيْهِ، وَلاَ ذَكَرَهُ فِيْ سَعَةٍ إِلاَّ ضَيَّقَهَا عَلَيْهِ

Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan, yaitu kematian. Karena jika kematian itu diingat oleh orang yang sedang berada dalam kesusahan hidup, maka hal itu akan bisa meringankan kesusahannya. Dan jika diingat oleh orang yang sedang dalam kelapangan (senang), maka akan bisa membatasi kebahagiaannya itu (tidak membuatnya lalai, pent.).” (HR. Ath-Thabrani dan Al-Hakim. Lihat Shahih Al-Jami’ush Shaghir no. 1222 dan Shahihut Targhib no. 3333)

Dalam riwayat yang lain disebutkan,

أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ، فَإِنَّهُ لَا يَكُونُ فِي كَثِيرٍ إِلَّا قَلَّلَهُ، وَلَا فِي قَلِيلٍ إِلَّا أَجْزَاهُ

Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan (yaitu kematian). Karena tidaklah dia mengingatnya ketika lapang (banyak mendapat nikmat, pent.), kecuali akan mempersedikit/memperpendek (angan-angannya). Dan tidaklah dia mengingatnya ketika sempit, kecuali dia akan mendapatkan balasannya.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Ausath no. 5780, Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 10074. Hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Albani dalam Dha’if At-Targhib wat Tarhib no. 1943 dan Dha’if Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 1112)

Selain itu, mengingat kematian juga akan memotivasi seseorang untuk memperbanyak amal ketaatan kepada Allah Ta’ala dan menjauhi berbagai kemaksiatan, karena dia khawatir bahwa bisa saja kematian itu tiba-tiba menjumpainya. Dia pun mempersiapkan bekal menuju kematian itu dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, benarlah bahwa mengingat mati adalah nasihat yang paling agung.

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ditanya, “Siapakah manusia yang paling cerdas?” Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Manusia yang paling banyak mengingat mati dan paling bagus dalam menyiapkan bekal setelah mati. Itulah manusia yang paling cerdas.” (Lihat Taudhihul Ahkam, 3: 134)

Tsabit Al-Banani berkata, “Beruntunglah orang yang mengingat waktu kematian. Tidaklah seorang hamba memperbanyak mengingat mati, kecuali dia akan melihatnya ketika beramal.” (Hilyatul Auliya’, 2: 326)

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan bahwa seorang muslim tidak dianjurkan untuk menyiapkan (mengkapling) kubur sebelum meninggal. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya tidak melakukan hal tersebut. Selain itu, seorang hamba juga tidak tahu, kapan dan di mana dia akan meninggal dunia. Oleh karena itu, jika maksudnya adalah untuk menyiapkan kematian, maka hanyalah dengan memperbanyak amal saleh dan bertobat kepada Allah Ta’ala. (Lihat Taudhihul Ahkam, 3: 134)

Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam.

***

@Rumah Kasongan, 12 Shafar 1445/ 29 Agustus 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber:

Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 230-232) dan Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram (3: 133-134). Kutipan-kutipan selain dari dua kitab di atas adalah melalui perantaraan kitab Minhatul ‘Allam.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/87559-perbanyaklah-mengingat-kematian.html

Petualangan Terjerat Pinjaman Online: Pelajaran Hidup yang Menggetarkan dan Pemahaman Agama tentang Riba

Dulu, di dunia modern yang penuh dengan kemudahan teknologi, ada seorang pria bernama Alex. Alex adalah sosok yang cerdas, tetapi seperti banyak dari kita, dia pernah merasakan kesulitan keuangan dalam hidupnya. Saat krisis keuangan menimpanya, dia menemukan sebuah pintu keluar yang menggiurkan: pinjaman online.

Ketika pertama kali Alex mengetahui tentang pinjaman online, dia merasa seperti telah menemukan harta karun. Prosesnya begitu mudah dan cepat, tanpa prosedur yang rumit. Sebagai orang yang sedang dalam kebingungan keuangan, pinjaman online ini tampak seperti penyelamat yang sempurna.

Pada awalnya, semuanya berjalan dengan baik. Alex menggunakan pinjaman online untuk mengatasi krisis keuangannya, dan semuanya terlihat cerah. Namun, seperti yang sering terjadi dalam kehidupan, ketika kita terlalu terlena oleh kenyamanan, kita sering kali mengabaikan konsekuensinya.

Salah satu kesalahan terbesar yang pernah dilakukan Alex adalah dia seringkali terlambat membayar pinjamannya. Ketika tanggal jatuh tempo tiba, dia mendapati dirinya tidak memiliki cukup dana untuk melunasi utangnya. Alasan-alasan terlambat ini seringkali berkaitan dengan kejadian tak terduga dalam hidup kita, seperti kesehatan yang memburuk atau kerusakan properti.

Namun, masalah sebenarnya dimulai ketika bunga cicilan mulai menumpuk. Alex terkejut saat mengetahui bahwa bunga ini tidak hanya dikenakan pada pokok utang, tetapi juga terus bertambah setiap harinya. Upaya untuk mengatasi situasi ini dengan mengambil pinjaman online dari platform lain hanya membuatnya semakin terjerat dalam jeratan hutang yang semakin kompleks.

Ketika Alex terperangkap dalam lingkaran setan ini, semakin sulit baginya untuk menemukan jalan keluar. Rasanya seperti berada dalam labirin tanpa akhir yang hanya akan membuatnya semakin bingung dan putus asa. Dia harus menghadapi tingkat bunga yang tidak masuk akal, tenggat waktu yang terus bergerak, dan ancaman dari penagih yang semakin agresif.

Namun, di tengah semua ini, Alex mendapati dirinya mendalami ajaran agamanya dengan lebih dalam. Dia menemukan pemahaman agama tentang riba yang sangat serius dan menakutkan. Dalam agamanya, dia menyadari bahwa riba adalah perbuatan haram. Hadis Nabi Muhammad SAW menyatakan,

“Riba terbagi menjadi enam puluh bagian. Bagian yang paling ringan adalah seperti seorang laki-laki yang menikahi ibu kandungnya sendiri.” (HR. Ahmad)

Hadis ini menekankan betapa seriusnya riba dalam Islam dan menunjukkan bahwa riba adalah salah satu perbuatan yang paling terlarang dalam agama Islam. Hal ini sejalan dengan ajaran Islam bahwa riba adalah perbuatan haram yang harus dihindari oleh umat Islam.

Tetapi, akhirnya, Alex menyadari betapa berbahayanya pinjaman online ini. Mereka bukanlah solusi jangka panjang untuk masalah keuangan. Sebaliknya, mereka adalah perangkap yang bisa merusak stabilitas keuangan Anda. Ini adalah pengalaman yang sangat pahit, dan Alex menceritakan kisahnya untuk mengingatkan semua orang bahwa kenyamanan sejenak dari pinjaman online dapat berubah menjadi penyesalan mendalam jika kita tidak berhati-hati, baik dari perspektif keuangan maupun agama. Alih-alih terjerat dalam pinjaman online yang berbahaya, Alex dan kita semua harus mencari solusi keuangan yang lebih aman dan berkelanjutan untuk mengatasi masalah keuangan kita.

sumber: Maskarja.blogspot.com

Bagaimana Hukum Pinjol dalam Syariat Islam?

PINJAM-MEMINJAM dibolehkan dalam Islam. Demikian juga utang-piutang. Namun, bagaimana dengan pinjaman online atau pinjol yang marak saat ini? Bagaimana hukum pinjol dalam syariat Islam?

Dilansir dari laman mui.or.id, menurut kajian fikih muamalah kontemporer, hukum pinjol atau pinjam uang dengan cara online itu boleh. Meski demikian, orang atau lembaga yang mempraktikan pinjaman online hendaknya memperhatikan beberapa hal.

Berdasarkan syariat Islam, berikut beberapa hal yang harus diperhatikan terkait pinjol atau pinjaman online:

1. Tidak menggunakan praktik ribawi

Riba dalam berpiutang adalah sebuah penambahan nilai atau bunga melebihi jumlah pinjaman saat dikembalikan dengan nilai tertentu yang diambil dari jumlah pokok pinjaman untuk dibayarkan oleh peminjam. Larangan (keharaman) praktik riba disebut secara eksplisit (shorih) dalam Al-Quran,

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah [2]: 275).

2. Tidak menunda pembayaran utang

Hukum menunda untuk membayar hutang jika sudah mampu hukum haram. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.” (HR. Nasa’i)

Dalam hadis riwayat Imam Bukhori disebutkan, “Penundaan (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman….” (HR. Bukhori).

3. Memberi keringanan kepada orang yang tidak mampu membayar utang

Memaafkan orang yang tidak mampu bayar utang termasuk perbuatan mulia. Hakikatnya utang harus dibayar. Bahkan jika yang berutang sudah meninggal, maka ahli warisnya punya kewajiban untuk melunasinya. Namun, bagi orang yang meminjamkan, jika yang orang yang meminjam uang betul-betul tidak bisa melunasi utangnya, maka memaafkan adalah suatu perbuatan yang mulia dalam ajaran Islam.

Penjelasan MUI tentang hukum pinjol

Pinjol dinilai memudahkan masyarakat untuk mendapatkan sejumlah dana dengan cara utang-piutang. Tanpa jaminan, hanya bermodalkan foto dan KTP, banyak orang akhirnya memanfaatkan layanan keuangan baru ini. Namun, tidak sedikit yang terjebak dan malah terjerat  kerugian karenanya.

Ketua MUI Bidang Ekonomi Syariah dan Halal, KH Sholahuddin Al Aiyub pun menyampaikan bahwa pinjol menyimpan risiko yang besar di kedua pihak, baik pemberi pinjaman maupun penerima pinjaman. Tanpa menyelidiki profil calon nasabah dan tanpa ada jaminan, perusahaan penyedia Pinjol berisiko mengalami kredit macet yang besar.

Peminjam juga berisiko karena kerap menyetujui tanpa membaca “syarat dan ketentuan” yang banyak dan ditulis dengan huruf kecil-kecil. Padahal, di dalamnya tertuang ketentuan seperti bunga maupun konsekuensi bila pinjaman tidak melunasi sesuai waktu yang disepakati.

“Oleh karena itu, penting dilakukan literasi kepada masyarakat agar memahami lebih teliti perusahaan fintech untuk memenuhi kebutuhannya. Penting memberikan literasi kepada masyarakat agar harus mempelajari syarat dan ketentuan sebelum menyetujui pinjaman,” seperti dikutip dari laman MUI.

Sholahudin juga mendorong pemerintah untuk menutup celah pinjaman online ilegal yang semakin menjamur karena meningkatkan kebutuhan dana di masyarakat di tengah Covid-19. Menurut dia, bank wakaf mikro dapat menjadi alternatif bagi masyarakat dalam melakukan pinjaman dana, di tengah masalah pinjaman online ilegal yang belakangan ini sangat meresahkan.

“Penting untuk mendorong pemerintah menyediakan lembaga keuangan yang bisa menjangkau masyarakat lapisan paling bawah. Mereka umumnya tidak punya akses ke lembaga keuangan karena tidak bankable (memiliki aset sebagai syarat peminjam). Bank wakaf mikro yang sejatinya didesain untuk memenuhi kebutuhan (dana) mereka, masih sangat sedikit (Bank Wakaf Mikro), sehingga perlu diperbanyak lagi,” ujarnya. []

SUMBER: MUI

Membongkar Konsep Ad-Diin: Hanya Ada Satu Agama yang Benar

Wakil Ketua Komisi Penelitian MUI Pusat, Wido Supraha, menerangkan pentingnya memahami konsep Ad-Diin agar lahir para pemimpin dengan pemikiran beragama yang tepat.

Hal ini dilakukan agar bisa kritis menelaah paham dari Frithjof Schuon, the transcendent unity of religions, yang berarti kesatuan agama-agama yang memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk kebaikan.

Demikian salah satu materi kajian Sekolah Pemikiran Islam (SPI) angkatan 13bertema “Konsep Ad-Diin” di Aula Imam Al-Ghazali INSISTS, Kalibata, Jakarta belum lama ini.

Menurut Wido, paham “kesatuan agama-agama” bertentangan dengan konsep Islam yang memandang bahwa agama yang diakui hanya satu yaitu Islam. Sedangkan, toleransi artinya menerima perbedaan bukan memaksakan untuk menjadi sama.

Founder dari Sekolah Adab ini memberikan contoh tokoh-tokoh yang mendukung paham tersebut di Indonesia dan juga memaparkan buku-buku yang berpotensi menyuarakan suara untuk menghargai keberagaman agama tersebut.

Dalam kajian ini peserta diajak untuk menjelajahi beragam jenis agama yang ada di dunia saat ini. Secara umum dapat dibedakan menjadi dua kategori; Agama Samawi, didasarkan pada wahyu Tuhan seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, serta agama Ardhi, yang tumbuh berdasarkan budaya dan pemikiran manusia, seperti Hindu dan Budha di Indonesia.

Namun, sorotan sebenarnya jatuh pada agama Islam. Wido menjelaskan bahwa Islam adalah Ad-Diin yang diridhai Allah Swt, karena bermuara pada penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah Swt yang sesuai dengan arti dari konsep Ad-Diin itu sendiri. 

Ad-Diin dengan demikian bermakna keadaan diri berhutang, menaklukkan diri untuk menuruti perintah, dan menjadikan diri bersifat keinsanan serta berperikemanusiaan, berlawanan dengan sifat kebinatangannya, Manusia senantiasa berhutang diri, budi, dan daya kepada Allah Swt yang telah menjadikannya dari tiada kepada ada.

Lebih jelasnya, Wido memaparkan kata Ad-Diin yang mengandung makna agama, kepercayaan, tauhid, hari pembalasan, tunduk, dan patuh. Ia kemudian menjelaskan akar kata Diin (d-y-n).

Debtor atau creditor (da-in) memiliki kewajiban (dayn), berkaitan dengan penghakiman (daynunah) dan pemberian hukuman (idanah), yang mungkin terjadi dalam aktivitas perdagangan (mudun atau mada-in) dalam sebuah kota (madinah) dengan hakim, penguasa, atau pemerintah (dayyan), dalam proses membangun atau membina kota, membangun peradaban, memurnikan, memanusiakan (maddana), sehingga lahirlah peradaban dan perbaikan dalam budaya sosial (tamaddun).

Keseluruhan makna dengan akar kata d-y-n memiliki hubungan secara konseptual, kesatuan makna yang tidak terpisahkan, dan semua ini terkait dengan upaya menghambakan diri (dana nafsahu).

Pertemuan keenam kelas SPI Jakarta ini, begitu berkesan bagi salah satu murid, yakni Afra, “Materinya sangat menarik. Saya menjadi semakin yakin bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan tidak terbantahkan, ” ujar mahasiswi LIPIA ini mengungkapkan.

Wido kemudian menutup kelas dengan menukil kalimat dari Prof. Syed Muhammad Naquib Al Attas yang berbunyi, “Hanya ada satu agama wahyu yang asli dan namanya diberikan sebagai Islam dan orang-orang yang menganut agama ini dipuji oleh Tuhan sebagai yang terbaik di antara umat manusia. Islam, kemudian, bukan sekedar kata benda verbal yang menandakan ketundukan; itu juga merupakan nama agama tertentu yang menggambarkan ketundukan yang sebenarnya, serta definisi agama: ketundukan kepada Tuhan”.*/Shabrina Khansa dan Amrina Husna

HIDAYATULLAH

Hukum Memungut Pajak dari Judi Online

Bagaimana hukum memungut pajak dari judi online? Pasalnya, publik digegerkan dengan wacana yang digaungkan oleh Menkominfo, yang hendak menarik pajak dari situs judi online. Melansir dari CNN Indonesia, Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi mengungkap ada usulan untuk menerapkan pajak buat judi online di kala dirinya menggencarkan pembasmian praktek tersebut. 

Hal itu disampaikan Budi saat ia dicecar pertanyaan oleh Anggota Komisi I DPR RI Christina Ariyani dalam Rapat Kerja dengan Komisi I DPR, di Jakarta, Senin (4/9). Lalu bagaimana hukumnya mengambil pajak dari judi online? Yang demikian adalah boleh, namun pemerintah harus tetap berupaya untuk menutup giat tersebut. 

Ilmuwan tata negara Islam terkemuka, Imam Al-Mawardi menyatakan bahwasanya boleh mengambil pajak dari sesuatu yang haram. Beliau mencontohkannya dalam kasus seorang pemimpin yang diperkenankan untuk mengambil pajak dari hartanya non muslim, padahal tentunya harta mereka ini tidak bisa dipastikan halal adanya. Imam Al-Mawardi mengatakan;

وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَلَا يَخْلُو حَالُ مَنْ تُعَامِلُهِ بِبَيْعٍ أَوْ قَرْضٍ أَوْ تَقَبُّلِ هِبَةٍ أَوْ هَدِيَّةٍ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:

Kondisi seseorang yang bertransaksi melalui jual beli, hutang piutang, hibah, dan hadiah ini pasti akan berkisar pada 3 aspek berikut;

أَحَدُهَا: أَنْ يكون ممن يتوقى الشبهة وَيَعْلَمُ أَنَّ مَالَهُ حَلَالٌ فَمُعَامَلَةُ مِثْلِهِ هِيَ الْمُسْتَحَقَّةُ.

Pertama, harta tersebut berasal dari orang yang menjauhi syubhat dan diketahui bahwasanya hartanya halal. Maka bertransaksi dengannya ini dihukumi boleh. 

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مِمَّنْ يَبِيعُ الْحَرَامَ وَقَدْ تَعَيَّنَ لَنَا تَحْرِيمُ مَالِهِ فَمُعَامَلَةُ هَذَا حَرَامٌ وَالْعُقُودُ مَعَهُ عَلَى أَعْيَانِ مَا بِيَدِهِ مِنْ هَذِهِ الْأَمْوَالِ بَاطِلَةٌ لَا يَجُوزُ لِأَحَدٍ أَنْ يَتَمَلَّكَ عَلَيْهِ شَيْئًا مِنْهَا.

Kedua, transaksi dengan pihak yang jelas-jelas mendapatkan uangnya dari menjual sesuatu yang haram. Maka bertransaksi dengannya ini dihukumi haram dan tidak berhak siapapun untuk mengambil hartanya. 

وَالثَّالِثُ: أَنْ يكون من طالبي الشبهة وَمُلْتَمِسِي الْحَرَامَ لَكِنْ لَيْسَ يَتَعَيَّنُ ذَلِكَ الْمَالُ لِاخْتِلَاطِهِ بِغَيْرِهِ مِنَ الْحَلَالِ كَالْيَهُودِ الَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمُ الرِّبَا وَأَثْمَانِ الْخُمُورِ وَقُطَّاعِ الطَّرِيقِ وَعُمَّالِ الضَّرَائِبِ وَكَالسُّلْطَانِ الْجَائِرِ الَّذِي قَدْ يَأْخُذُ الْأَمْوَالَ مِنْ غَيْرِ وَجْهِهَا إِلَى مَنْ جَرَى مَجْرَاهُ فَتُكْرَهُ مُعَامَلَتُهُمْ لِمَا وَصَفْنَا وَرَعًا وَاحْتِيَاطًا وَلَا يُحَرَّمُ ذَلِكَ فِي الْحُكْمِ بَلْ يَجُوزُ، لِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – اقْتَرَضَ مِنْ أَبِي الشَّحْمِ الْيَهُودِيِّ آصُعًا مِنْ شَعِيرٍ وَقَدْ كَانَ مِمَّنْ لَا يَتَوَقَّى الرِّبَا. مَعَ مَا أَخْبَرَ اللَّهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ عَنْ كَافَّةِ الْيَهُودِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: ” {سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أكالون للسحت} وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ أَمَرَنَا بِأَخْذِ الْجِزْيَةِ مِنَ الْيَهُودِ وَلَوْ حُرِّمَتْ عَلَيْنَا أَمْوَالُهُمْ لَمَا جَازَ أَنْ نَأْخُذَهَا فِي جِزْيَتِهِمْ.

Ketiga, transaksi dengan pihak yang terbiasa dengan hal syubhat, bersentuhan dengan keharaman, tapi hasilnya sudah tercampur dengan uang halal. Contohnya seperti hartanya orang Yahudi yang mana tentunya jumlah tersebut berasal dari riba, laba penjualan minuman keras, penyamun, petugas pajak (yang tidak resmi atau syar’i).

Dan seperti pemimpin yang keji, di mana terkadang merampas hartanya rakyat. Maka makruh bertransaksi dengan mereka, atas dasar berhati-hati dan wirai.  Namun yang demikian ini tidak diharamkan, berdasarkan riwayat yang menjelaskan bahwasanya Nabi Saw meminjam beberapa so’ gandum dari orang Yahudi yang bernama Abi Al-Syahm, yang mana ia tidak terlepas dari riba.

Dan karena Allah swt memerintahkan kita untuk mengambil pajak dari orang Yahudi. Andai kata harta mereka diharamkan bagi kita, tentunya kita tidak akan diperbolehkan menarik pajak dari mereka. (Al-Hawi Al-Kabir, Juz 5 H. 311)

Dengan demikian bisa diketahui bahwa hukum memungut pajak dari judi online boleh mengambil pajak dari transaksi judi online, ketika memang hartanya yang diambil itu tidak jelas asal muasalnya dan bukan sebuah hasil dari giat judinya. 

Adapun ketika pengambilan pajaknya jelas dari giat judinya, maka pemerintah tidak bisa menggunakan uang tersebut untuk apapun sebagaimana keterangan di atas. 

Demikian penjelasan terkait hukum memungut pajak dari judi online. Wallahu A’lam bi al-shawab. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Bolehkah Menjamak Shalat Saat Nonton Bola?

Nonton bola merupakan salah satu hobi yang amat digemari masyarakat Indonesia. Momen nonton bola ini, sering kali kita kedapatan di jam-jam shalat. Sedangkan lokasi musala di stadion biasanya jauh dan juga harus antri panjang. Lantas bagaimana cara kita menyiasatinya? Dan apakah boleh menjamak shalat saat nonton bola?

Kewajiban Shalat

Sebelum dibahas lebih dalam tentunya kita tahu bahwa shalat merupakan kewajiban yang memiliki ketentuan, di antaranya adalah terkait waktu pelaksanaannya. 

اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا

Sungguh, shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (an-Nisa’:103)

Melihat dari penjelasan ayat di atas maka hukum asal pelaksanaan shalat fardhu adalah dilaksanakan pada waktunya masing-masing. Namun perlu kita ketahui bahwa  Allah SWT penuh kasih sayang pada hambanya, maka diberikanlah rukhshah (keringanan) dalam melaksanakan shalat, yaitu bolehnya dua shalat dilaksanakan pada satu waktu (shalat jamak) pada kondisi tertentu.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا فَإِنْ زَاغَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ  – متفق عليه

Artinya: “Diriwayatkan dari Anas RA, ia berkata bahwa Rasulullah saw jika  berangkat dalam bepergiannya sebelum terdelincir matahari, beliau mengakhirkan shalat dhuhur ke waktu shalat ‘ashar; kemudian beliau turun dari kendaraan kemudian beliau menjama’ dua shalat tersebut. Apabila sudah tergelincir matahari sebelum beliau berangkat, beliau shalat dhuhur terlebih  dahulu kemudian naik kendaraan.” (Muttafaq ‘Alaih).

Dari hadis di atas para ulama bersepakat bahwa kondisi seseorang yang membuatnya sulit melaksanakan shalat pada waktunya membolehkannya melaksanakan shalat jamak. Kondisi sulit di antaranya adalah perang, dalam perjalanan, sakit, dan hujan.

Menjamak Shalat karena Keperluan Lain

Namun bagaimana jika shalat jamak dilakukan bukan karena alasan di atas? Misalnya menjamak shalat karena alasan nonton bola di stadion.Maka perlu dilihat pula beberapa hadis berikut:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: «صَلَّى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا بِالْمَدِينَةِ، ‌فِي ‌غَيْرِ ‌خَوْفٍ، وَلَا سَفَرٍ» قَالَ أَبُو الزُّبَيْرِ: فَسَأَلْتُ سَعِيدًا، لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ؟ فَقَالَ: سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ كَمَا سَأَلْتَنِي، فَقَالَ: «أَرَادَ أَنْ لَا يُحْرِجَ أَحَدًا مِنْ أُمَّتِهِ»

Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah SAW pernah menjamak shalat Dhuhur dengan Ashar di Madinah, tidak dalam keadaan takut, juga tidak dalam keadaan safar (bepergian). Abu Az-Zubair berkata: saya bertanya kepada Sa’id, mengapa Rasulullah berbuat demikian? Maka Said menjawab: “Saya pernah menanyakan pertanyaan seperti itu kepada Ibnu Abbas, ia menjawab: Rasulullah ingin agar tidak memberatkan umatnya.” (HR Muslim No. 705).

Hadis lain yang juga diriwayatkan oleh Muslim:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: «جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ، وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ فِي الْمَدِينَةِ ‌فِي ‌غَيْرِ ‌خَوْفٍ ‌وَلَا ‌مَطَرٍ»، قَالَ: فَقِيلَ لِابْنِ عَبَّاسٍ: لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ؟ قَالَ: أَرَادَ التَّوْسِعَةَ عَلَى أُمَّتِهِ

Dari Ibnu Abbas ia berkata: Rasulullah SAW pernah menjamak shalat Dhuhur dengan Ashar, Maghrib dengan Isya’, di Madinah, tidak dalam keadaan takut juga tidak sedang hujan. (HR Muslim, No. 8230).

Pendapat Sejumlah Ulama

At-Tirmidzi berpendapat yang juga dibenarkan oleh An-Nawawi bahwa tidak ada kesepakatan ulama untuk meninggalkan hadis tersebut. Artinya hadis di atas dapat diamalkan, bahwa shalat jamak dapat dilakukan meskipun tidak sedang perang, tidak sedang dalam perjalanan maupun tidak sedang ada hujan.

Namun ada juga ulama yang menolak keras hadis Ibnu Abbas di atas untuk dijadikan hujjah dalil, alasan). Di antaranya adalah As-Shanani, penyusun Subul as-Salam. Karena itu menurut as-Shan’ani lebih baik berpegang pada aturan yang sudah jelas, yaitu seperti shalat yang dikerjakan pada waktunya masing-masing. 

Jadi terkait hadis dari Ibnu Abbas di atas, dalam melakukan jamak bukan dalam perjalanan jika menjadi kemantapan kebolehannya agar tidak dijadikan kebiasaan. Jadi hanya dalam keadaan yang sangat memerlukan seperti orang sakit, takut mengalami mudharat apabila tidak melakukan jamak.

Selain itu menurut Pakar Fikih Kontemporer, Prof. Dr. KH Ahmad Zahro, menjelaskan hukum seseorang menjamak shalat karena menonton pertandingan sepak bola. Misal menjamak dzuhur dan ashar serta maghrib dan isya. Jadi jika sulit dimungkinkan untuk shalat dalam waktu yang telah ditentukan, jika tidak memungkinkan atau sulit untuk shalat secara normal menjamak shalat adalah solusi terbaik, daripada tidak shalat.

Demikian penjelasan terkait bolehkah menjamak shalat saat nonton bola? Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARAIAH

Tiga Tingkatan Mengenal Allah Menurut Imam Ar-Rifa’i

Imam Ar-Rifa’i dalam karyanya Halatu Ahli Al-Haqiqati Ma’a Allahi Ta’ala Juz, 1, halaman 18, menjelaskan tentang  tiga tingkatan mengenal Allah. Imam Ar-Rifa’i menyatakan: 

أي سادة، اعلموا أن العارفين على اصناف مختلفة، ومناهج متفاوته، ومراتب متلونة، وأنواع متفرقة، ومنازل متنوعة 

Artinya; Wahai para pemimpin, ketahuilah bahwasanya para ulama ahli makrifat itu terdiri dari berbagai macam golongan (kalangan) metodenya berbeda-beda, tingkatannya bermacam-macam, modelnya berbeda-beda, kedudukannya bermacam-macam. 

Sebagian orang mengenal Allah yaitu melalui sifat Qudrat (kekuasaan Allah) sehingga mereka menjadi orang yang takut kepada Allah. Ada yang mengenal Allah melalui sifat Al-Fadlu (keutamaan Allah) sehingga mereka selalu berbaik sangka kepada Allah. Ada yang mengenal Allah melalui Muraqabah (mendekatkan diri kepada Allah) sehingga keyakinan mereka menjadi kokoh dan kuat. 

Dan sebagian orang mengenal Allah melalui sifat Al-Adimah (keagungan Allah) sehingga mereka bertambah takut kepada Allah. Ada yang mengenal Allah melalui sifat Al-Kifayah (Allah yang mencukupi kebutuhan hambanya) sehingga mereka selalu merasa hina di sisi Allah. Dan ada yang mengenal Allah melalui sifat AlFardaniyyah (maha esanya Allah)  sehingga mereka meyakini atas segala pilihan dan ketentuan Allah. 

Dari penjelasan di atas, kita dapat mengetahui bahwa banyak cara dan jalan untuk mengenal Allah. Selanjutnya Imam Ar-Rifa’i membagi tingkatan orang yang mengenal Allah atas tiga tingkatan: 

Pertama, orang yang mengenal Allah dari kalangan awam atau umum. Mereka mengenal Allah melalui kabar dalam menuhankan Allah, dan membenarkan kabar yang datang dari Nabi Muhammad SAW. Tetapi sebagian dari mereka mengotori dengan perbuatan dosa dan maksiat, sehingga mereka hidup di dunia dalam kebodohan dan kelalaian, mereka kelak akan celaka, kecuali Allah merahmatinya. 

Kedua, orang yang mengenal Allah melalui dalil-dalil. Mereka adalah orang yang berakal cerdas, keyakinan mereka bertambah setelah mengkaji dalil Al-Qur’an dan Hadits, jalan yang mereka tempuh tergolong jalan kebaikan. Tetapi mereka terhalangi untuk dekat dengan Allah, karena mereka hanya sebatas mengetahui dalil-dalil untuk mengenal Allah. 

Ketiga, orang yang mengenal Allah melalui kuatnya keyakinan. Mereka adalah orang khusus atau orang pilihan, keyakinan mereka tetap kokoh dan kuat. Sudah tidak tergambar lagi dalil-dalil bagi mereka, dalil mereka yaitu mengikuti sunnah Rasulullah SAW, dan Imam mereka adalah Al-Qur’an, hati mereka bersih dan bercahaya.

Demikian penjelasan terkait tiga tingkatan mengenal Allah Menurut Imam Ar-Rifa’i. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

4 Keutamaan Ayat Kursi

Sudah tahukah Anda keutamaan ayat kursi?

Ayat kursi adalah ayat yang terletak dalam surat Al Baqarah ayat 255:

اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”

Di dalamnya terdapat pemaparan 3 macam tauhid: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid nama dan sifat Allah.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, “ayat kursi ini memiliki kedudukan yang sangat agung. Dalam hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan bahwa ia merupakan ayat teragung yang terdapat dalam Al-Quran” (Tafsir Al-Quran Al-‘Azhim).

Banyak sekali keutamaan dari ayat kursi. Penulis akan memaparkan beberapa saja dari keutamaan dari ayat kursi.

Ayat yang Paling Agung dalam Al-Quran

Sebagaimana yang ada pada pertanyaan yang diajukan oleh Rasulullah kepada Ubay bin Ka’ab, “Ayat mana yang paling agung dalam kitabullah?” Ubay menjawab, “Ayat kursi.” Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menepuk dada Ubay kemudian berkata, “Wahai Abu Mundzir, semoga engkau berbahagia dengan ilmu yang engkau miliki.” (HR. Muslim).

Ayat Kursi dikategorikan sebagai ayat yang paling agung karena di dalamnya terdapat nama Allah yang paling agung, yaitu Al Hayyu dan Al Qayyum. Namun ulama berselisih pendapat manakah nama Allah yang paling agung.

Keagungannya Melebihi Langit dan Bumi

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah Allah menciptakan langit dan bumi melebihi agungnya Ayat Kursi (karena di dalam ayat tersebut telah mencakup Nama dan Sifat Allah)”

Sufyan ats-Tsauri berkata, “Sebab ayat kursi merupakan (salah satu) kalamullah (perkataan Allah), sedangkan kalamullah itu lebih agung dari ciptaan Allah yang berupa langit dan bumi” (HR. At-Tirmidzi)

Salah Satu Bacaan Dzikir Sebelum Tidur

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila engkau mendatangi tempat tidur (di malam hari), bacalah Ayat Kursi, niscaya Allah akan senantiasa menjagamu dan setan tidak akan mendekatimu hingga waktu pagi” (HR. Al-Bukhari).

Jadikanlah ayat kursi sebagai dzikir rutin yang dibaca ketika hendak tidur. Selain itu, ayat kursi juga termasuk bacaan dzikir pagi dan petang.

Salah Satu Sebab Masuk Surga

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang membaca Ayat Kursi setelah selesai shalat, maka tidak ada yang menghalanginya masuk surga kecuali kematian” (HR. An Nasa-i, dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani).

Beberapa hadits di atas menunjukkan keutamaan Ayat Kursi. Apabila kita merutinkannya, maka kita akan mendapatkan keutamaan yang sangat banyak. Hendaknya setiap muslim bersemangat untuk hal yang bermanfaat bagi dirinya, terkhusus untuk akhiratnya. Ayat Kursi sendiri bukanlah ayat yang panjang dan sulit untuk dihapal. Semoga Allah mudahkan kita untuk mengamalkannya. Wallahul Muwaffiq.

***

Referensi: Terjemahan tafsir ayat kursi karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin

Penulis: Wiwit Hardi P.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/24531-4-keutamaan-ayat-kursi.html