Ungkapan yang Menyakitkan atau Nyelekit

SECARA sadar atau tidak banyak kita jumpai perkataan yang menjurus kepada mencaci, menghina, merendahkan, mengejek dan mempermainkan nama Allah, sifat-sifat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, ayat-ayat-Nya dan hukum-hukum-Nya serta hukum-hukum yang diterangkan oleh rasul-Nya. Dan juga perkataan yang menolak, menafikan dan mengingkari segala perkara dari alim ulama dimana semua orang tahu bahwa perkara itu dari agama.

Misalnya seperti katanya mengenai mana-mana hukum Islam:
“Hukum apa ini?”
“Hukum ini sudah usang.”
“Zaman sekarang tidak pantas diharamkan riba karena menghalangi kemajuan.”
“Dalam zaman yang serba maju ini kaum wanita tak perlu dibungkus-bungkus.”
“Berzina jikalau suka sama suka apalah haramnya?”
“Minum arak kalau dengan tujuan hendak menyehatkan badan untuk beribadat apalah salahnya?”
“Berjudi kalau masing-masing sudah rela menerima untung ruginya apa salahnya?”
“Kalau diberlakukan hukum-hukum Islam sampai kiamat kita tak maju-maju.”
“Ini perbuatan tidak beradab diceritakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam setelah makan: menjilat sisa makanan di jarinya.

Untuk itu Imam Al Bashri mengemukakan bahwa lidah orang berakal itu terletak di belakang akalnya. Jika ia hendak berkata, dipikirkannya lebih dahulu. Kalau perkataan itu kira-kira bakal bermanfaat baginya, ia akan mengucapkannya,. Kalau dirasakannya akan membahayakan dirinya, ia memilih diam. Sedangkan hati orang dungu terletak di belakang lidahnya. Jika ia mau berkata, langsung saja diucapkannya. “Apalagi mengatakan yang tidak pernah dikerjakan, dan membungkus keburukan hati dan keculasan perangai dengan ucapan indah yang berbunga-bunga. Barangkali manusia dapat dikelabui, tetapi apakah Allah Ta’ala dapat ditipu?

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2358947/ungkapan-yang-menyakitkan-atau-nyelekit#sthash.Tcccy5mR.dpuf

Tinggalkan Hal tak Penting, Ciri Islam Sejati

“Diriwayatkan dari Abi Hurairah radhiyallah anhu, ia berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “Termasuk dari kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tidak penting baginya.” (HR At-Tirmidzi dan periwayat lainnya).

Imam An-Nawawi rahimahullah (wafat 676H) mengatakan dalam kitabnya, “Al-Arbain” bahwa hadis ini derajatnya hasan. Syaikh Salim Al-Hilali mengatakan dalam kitab Sahih al-Adzkar wa dhifuhu bahwa hadis ini sahih lighairihi (sahih karena adanya riwayat lainnya). Kesimpulannya, hadis ini benar adanya dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.

Imam Ibnu Rajab rahimahullah (wafat 795H) mengatakan: “Hadis ini merupakan pondasi yang sangat agung di antara pondasi-fondasi adab.” Dia mengatakan pula tentang pengertian hadis ini: “Sesungguhnya barangsiapa yang baik keislamannya pasti ia meninggalkan ucapan dan perbuatan yang tidak penting baginya; ucapan dan perbuatannya terbatas dalam hal yang penting baginya.” ( lihat Kitab Jamiul Ulum wal Hikam).

Ukuran penting di sini bukan menurut rasa atau rasio/akal kita yang tidak lepas dari pengaruh hawa nafsu, akan tetapi berdasarkan tuntunan syariat Islam.

Termasuk meninggalkan ucapan dan perbuatan yang tidak penting adalah meninggalkan hal-hal yang haram, atau hal yang masih samar, atau sesuatu yang makruh, bahkan berlebihan dalam perkara-perkara yang mubah (dibolehkan) sekalipun, apabila tidak dibutuhkan maka termasuk kategori hal-hal yang tidak penting.

Imam Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan pula: “Kebanyakan pendapat yang ada tentang maksud meninggalkan apa-apa yang tidak penting adalah menjaga lisan dari ucapan yang tidak berguna, sebagaimana disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Taala:

“Tidaklah seorang mengucapkan satu ucapan kecuali padanya ada malaikat yang mengawasi dan mencatat.” (Qaaf: 18).

Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang membandingkan antara ucapan dan perbuatannya tentu ia akan sedikit berbicara kecuali dalam hal-hal yang penting.”

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam kitabnya, Al-Adzkaar: “Ketahuilah, sesungguhnya setiap mukallaf (muslim yang dewasa dan berakal hingga terbebani hukum syariat) diharuskan menjaga lisannya dari segala ucapan kecuali yang mengandung maslahat. Apabila sama maslahatnya, baik ia berbicara ataupun diam, maka sunah untuk menahannya, karena kata-kata yang mubah dapat mengakibatkan suatu hal yang akhirnya menjurus kepada yang haram atau makruh, dan ini sering terjadi secara umum. Padahal mencari keselamatan itu tidak ada bandingannya.” Artinya mencari keselamatan itu sangat penting sekali.

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah (wafat th 751H) berkata: “Menjaga lisan adalah agar jangan sampai seseorang mengucapkan kata-kata yang sia-sia. Apabila ia berkata hendaklah berkata yang diharapkan terdapat kebaikan padanya dan manfaat bagi dien (agama)nya. Apabila ia akan berbicara hendaklah ia pikirkan, apakah dalam ucapan yang akan dikeluarkan terdapat manfaat dan kebaikan atau tidak? Apabila tidak bermanfaat hendaklah ia diam, dan apabila bermanfaat hendaklah ia pikirkan lagi, adakah kata-kata lain yang lebih bermanfaat atau tidak? Supaya ia tidak menyia-nyiakan waktunya dengan yang pertama (tidak bermanfaat) itu. (Dinukil dari Kitab Ad-Daau wad Dawaa).

Selanjutnya beliau dalam kitabnya itu pula mengatakan, “Adalah sangat mengherankan bahwa manusia mudah dalam hal menghindari dari memakan barang haram, berbuat zalim, berzina, mencuri, minum minuman keras, memandang pan-dangan yang diharamkan, dan lain sebagainya; tetapi sulit untuk menjaga gerakan lisannya. Sampai-sampai seseorang yang dipandang sebagai ahli agama, zuhud, gemar beribadah, tetapi dia berbicara dengan ucapan yang membuat Allah marah kepadanya. Dengan ucapannya tersebut, tanpa ia sangka-sangka menyebabkan ia terjerumus ke neraka jahanam lebih jauh jaraknya dibanding jarak antara timur dan barat.

Betapa banyak orang yang demikian, yang engkau lihat dalam hal wara, meninggalkan kekejian dan kezaliman, tetapi lisannya diumbar ke sana ke mari menodai kehormatan orang-orang yang hidup dan yang telah meninggal dunia, tanpa mempedulikan akibat dari kata-kata yang diucapkannya.”

Ancaman yang disebutkan itu berlandaskan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam :
“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan kata-kata, ia tidak memikirkan (apakah baik ataukah buruk) di dalamnya maka ia tergelincir disebabkan kata-kata itu ke dalam api neraka sejauh antara timur dan barat.” (Muttafaq alaih).

Marilah kita simak pula nasihat dari Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin hafizhahullah, yang kami ringksakan dari kitabnya, Syarah Riyadhus Shalihin:

Seorang muslim apabila ingin baik keislamannya maka hendaklah ia meninggalkan apa-apa yang tidak penting baginya. Contoh, apabila engkau bingung terhadap suatu amalan, apakah engkau kerjakan atau tidak, maka lihatlah amalan itu apakah penting untukmu dalam hal dien dan dunia atau tidak penting. Jika penting maka lakukanlah, kalau tidak maka tinggalkanlah, karena keselamatan itu harus lebih diutamakan.

Demikian pula janganlah engkau ikut mencampuri urusan orang lain jika kamu tidak memiliki kepentingan dengannya. Tidak seperti yang dilakukan oleh sebagian manusia pada hari ini, yaitu rasa ingin tahu terhadap urusan orang lain; apabila ada dua orang yang sedang berbincang-bincang lalu ia datangi keduanya dengan rasa ingin tahu apa yang sedang diucapkan oleh mereka berdua. Atau terkadang mengutus orang lain untuk men-dengarkannya.

Contoh (kurang baik) yang lain lagi, jika engkau berjumpa dengan orang lain engkau bertanya kepadanya dari mana kamu, apa yang telah dikatakan si fulan kepadamu, dan apa yang kamu katakan kepadanya, dan lain sebagainya dari perkara-perkara yang tidak ada gunanya dan tak ada faedahnya, bahkan hanya membuang-buang waktu, membuat hati gelisah, dan mengacaukan pikiran serta menyia-nyiakan sebagian besar hal-hal yang penting lagi bermanfaat.

Engkau dapati seorang yang dinamis aktif dalam beramal, memiliki perhatian penuh terhadap kebaikan bagi dirinya dan hal-hal yang bermanfaat baginya, maka engkau dapatkan dia sebagai orang yang produktif.

Kesimpulannya, jika engkau ingin melakukan atau meninggalkan suatu pekerjaan, maka perhatikanlah: Apakah hal itu penting bagimu atau tidak. Jika tidak penting maka tinggalkanlah, apabila penting maka kerjakanlah sesuai dengan prioritasnya. Demikian-lah manusia yang berakal, dia sangat memperhatikan amal kebaikan sebagai persiapan menghadapi kematian. Dan dia selalu mengoreksi diri terhadap amal-amalnya selama ini.

Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita semua. [alsofwah]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2317946/tinggalkan-hal-tak-penting-ciri-islam-sejati#sthash.ILLION0Q.dpuf

Fenomena Afatul Lisan (Bahaya Lidah): Berbantahan, Bertengkar dan Debat Kusir

JIDAAL adalah menentang ucapan orang lain guna menyalahkan secara lafadz dan makna. Perdebatan dalam isu-isu agama dan ibadah tidak banyak faedah yang didapat kecuali jika dilangsungkan dengan etika debat yang benar, saling menghormati antar peserta dan dengan kekuatan ilmiah yang meyakinkan. Biasanya debat yang tidak dikawal oleh akhlak lebih banyak mengundang kepada pertengkaran dan permusuhan yang merugikan.

Tidak dinafikan debat merupakan salah satu uslub (cara) yang sangat efektif dan berkesan dalam menyebarkan Islam, dakwah dan kebenaran, tetapi ia adalah langkah ketiga dan terakhir, yaitu setelah terjadi kebuntuan dimana pendekatan dengan hikmah dan nasihat/pengajaran yang baik tidak berhasil. Itupun dilangsungkan dengan akhlak dan adab yang tinggi.

Allah berfirman: “Serulah ke jalan Tuhanmu wahai Muhammad dengan hikmat kebijaksanaan dan nasihat pengajaran yang baik dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang lebih baik.” (Al-Nahl: 125).

Ayat di atas meletakkan debat pada tempat terakhir, yaitu selepas pendekatan hikmah dan nasihat yang baik. Debat menjadi langkah terakhir, bukan karena kurang berkesan atau tidak ada faedahnya, tetapi karena kesukaran mematuhi aturan, akhlak, adab-adabnya. Debat selalu dirusak oleh tidak adanya ikhlas antara dua kubu yang terkait. Pendebat selalu menginginkan kemenangan sekalipun ia tidak mempunyai hujjah. Pendebat tidak bersedia mengalah, sekalipun ternyata ia berada pada pihak yang salah. Pendebat akan memilih untuk berkata ya apabila lawan berkata tidak dan berkata tidak apabila lawan berkata ya.

Debat selalu dikuasai oleh pihak yang handal bercakap, sekalipun tidak berisi. Keadaannya bagaikan dua pasukan pemain sepak bola yang masing-masing mempunyai suporter yang tidak pernah mengaku kalah sekalipun tidak pernah bermain. Kalaupun ada yang mengaku, tetapi hanya dalam gelanggang, di luar belum tentu. Begitulah debat yang tidak berakhlak dan biasa kita saksikan. Etika debat yang perlu dipatuhi untuk menghasilkan natijah yang baik bahkan sekaligus debat disifatkan sebagai terbaik ialah:

– Hindari penggunaan bahasa yang rendah, tindakan yang kasar dan tidak menghormati pemikiran lawan. Jika perlu, adakan penengah untuk menengahi perjalanan debat. Penengah perlu diberi hak memberi kartu kuning atau merah, bahkan menskor pendebat yang melanggar disiplin debat dan aturan.
– Hendaklah lebih banyak mencari titik persamaan antara kedua belah pihak. Kurangi usaha mencari titik perbedaan. Lebih banyak persamaan yang ditemui, lebih banyak hasil yang diperoleh. Arahkan sepenuhnya kepada titik-titik persamaan.

Debat Alquran yang berlangsung antara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan Yahudi dan Nashara bahkan dengan kaum musyrikin menjadi contoh untuk dipelajari, disiplin, akhlak dan etikanya. Dikemukakan di sini debat antara Nabi dengan musyrikin dalam ayat 24-26 surah Saba yang bermaksud.

Allah berfirman: “Bertanyalah wahai Muhammad, siapa yang memberi rezeki kepada kamu dari langit dan bumi? Terangkanlah jawabnya ialah Allah. Sesungguhnya tiap-tiap satu golongan, sama ada kami atau kamu tetap di atas hidayat atau tenggelam dalam kesesatan. Katakanlah: Tuhan akan menghimpunkan kita semua pada hari kiamat, kemudian akan menyelesaikan krisis di antara kita dengan penyelesaian yang benar.”

Debat nabi-nabi jelas beretika dan halus budi bahasanya. Setiap patah kata dalam ungkapannya dapat menjadi contoh bagi para dai yang mencintai kebenaran. Tetapi sayang, sebagian pendebat sekarang banyak menyimpang jauh dari panduan nabi-nabi, mereka berdebat seolah-olah berperang. Segala isu yang muncul dalam dakwah, besar kemungkinan ada persamaannya dalam politik.

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2358943/berbantahan-bertengkar-dan-debat-kusir#sthash.DlXJO6q6.dpuf

Fenomena Afatul Lisan (Bahaya Lidah): Banyak Omong yang Berlebihan ingin Dapatkan Haknya

MULUTMU harimaumu. Pepatah ini mengingatkan kita agar lebih hati-hati dalam berucap dan mengeluarkan pernyataan. Bahwa sumber dari segala bencana di dunia ini bukan pada bencana alam, letusan gunung berapi, banjir, ataupun gempa bumi, melainkan bersumber pada mulut kita sendiri.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang yang amat dibenci di sisi Allah adalah orang yang banyak omong.” (al hadits)

Menurut ilmu kedokteran, dalam tubuh manusia terdapat banyak lubang, tetapi di antara lubang-lubang itu, hanya lubang mulut yang paling banyak mengandung virus. Ada lubang telinga, lubang hidung, bahkan lubang saluran pembuangan kotoran, tetapi semua itu tidak ada artinya jika dibandingkan dengan lubang mulut. Mulut manusia memang berbisa.

Secara lahiriyah mulut manusia itu mengandung banyak virus, terlebih secara batiniah. Itulah sebabnya, ketika Rasulullah didatangi seseorang yang hendak menanyakan tentang Islam dengan satu pertanyaan yang tidak perlu dan disusul dengan pertanyaan lainnya, maka Rasulullah memberi jawaban singkat:

Katakanlah aku beriman kepada Allah, kemudian beristiqamalah. Sahabat tersebut bertanya, dengan cara apa kami memeliharanya? Rasulullah memberi isyarat kepada lisannya.

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2358944/banyak-omong-yang-berlebihan-ingin-dapatkan-haknya#sthash.oHpskqIo.dpuf

Pastikanlah, Apakah Perkataanmu Aman dari Azab?

SUATU kali Ibrahim bin Adham lewat di depan seorang laki-laki yang tengah membicarakan sesuatu yang tidak penting. Ibrahim berhenti di depan laki-laki itu.

Ibrahim bertanya, “Apakah engkau mengharapkan pahala dari perkataanmu ini?”

Laki-laki itu menjawab, “Tidak.”

Ibrahim bin Adham bertanya lagi, “Apakah engkau merasa aman dari azab akibat pembicaraanmu itu?”

Laki-laki itu menggelengkan kepalanya, “Tidak.”

Ibrahim bin Adham langsung berkata, “Lalu apa yang engkau perbuat dengan perkataan yang tidak engkau harapkan pahalanya dan engkau tidak merasa aman dari azab yang diakibatkannya?”

Allah berfirman:

“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”. (Qaaf: 18). []

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2339084/pastikanlah-apakah-perkataanmu-aman-dari-azab#sthash.TatgNY3B.dpuf

Fenomena Afatul Lisan (Bahaya Lidah): Berbicara yang Berlebihan

LIDAH memiliki kesempatan yang sangat luas untuk taat kepada Allah dan berzikir kepadanya, tetapi juga memungkinkan untuk digunakan dalam kemaksiatan dan berbicara berlebihan. Semestinya kita mampu mengendalikan lidah untuk berzikir dan taat kepada Allah, sehingga bisa meninggikan derajat kita. Sedangkan banyak berbicara tanpa zikir kepada Allah akan mengeraskan hati, dan menjauhkan diri dari Allah Azza wa Jalla.

Menuju surga cepat dengan lisan, menuju nerakapun cepat dengan lisan. Lisan bagai jaring kalau menjaringnya baik akan mendapatkan hasil yang baik, sebaliknya jika tidak hasilnya akan sedikit dan melelahkan. Kata orang lidah tidak bertulang, maka lebih senang mengatakan apa-apa tanpa berpikir. Bahaya lidah ini sebenarnya besar sekali.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda, “Tiada akan lurus keimanan seorang hamba, sehingga lurus pula hatinya, dan tiada akan lurus hatinya, sehingga lurus pula lidahnya dan seorang hamba tidak akan memasuki surga, selagi tetangganya belum aman dari kejahatannya.”

Allah telah memberikan batasan tentang pembicaraan agar arahan pembicaran kita bermanfaat dan berdampak terhadap sesama, sebagaimana firman-Nya: “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi shodaqoh atau berbuat maruf atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS Annisa: 114)

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2358940/berbicara-yang-berlebihan#sthash.WU5AGDDh.dpuf

Warga Gaza Impikan Ka’bah Meski Hidup Terkurung

Setiap 10 hari terakhir di buan Ramadhan selama dua dekade terakhir, Mouin Mushtaha selalu pergi umrah ke Makkah. Namun, kali ini –pada 2012- ada pengecualian. Meski Ramadhan telah tiba, dia hanya duduk murung sembari menonton tayangan televisi yang diputar di kantornya yang berada di Gazza City Palestna.

Perasaan dia bercampur aduk. Bagi Musthaha pengalaman spiritual pergi ke tanah suci kini lenyap. Tak hanya itu, peluang melakukan bisnis memberangkatkan jamaah melakukan ziarah Ramadhan ke Arab Saudi kini ikut terlepas dari genggaman. Kepergian ke Makkah kini tak mungkin bisa dilakukan karena kini pintu gerbang Raffah yang menuju Mesir tertutup rapat sebagai imbas adanya peristiwa serangan yang menewaskan 16 tentara Mesir.

“Saya, istri saya, dan 500 klien kami seharusnya berada di Makkah sekarang,” kata Mushtaha (64 tahun), sembari menunjuk televisi di kantor ber-AC dari agensinya, Perusahaan Mushtaha Pariwisata dan Travel, kepada The New York Times (17/8/2012).

“Apalagi istri saya mengucurkan air mata ketika ia melihat Ka’bah,” tambah dengan suara sedih karena mengingat kembali pada bangunan berbentuk kubus yang berada di tengah Masjidil Haram, Makkah.

Saat itu, sepekan setelah terjadinya serangan kepada para penjaga gerbang Rafah, para pejabat Mesir memutuskan menutup jalur itu secara penuh. Mereka melakukan hal itu karena menduga bila para pelaku penyerangan yang ditengarai dari warga yang datang dari Gurun Sinai, memiiki hubungan khusus dengan warga yang tinggal di Jalur Gaza.

Memang pintu perbatasan Rafah sempat dibuka kembali dalam beberapa hari sebelum pekan terakhir di bulan Ramadhan tiba. Namun, warga yang kemudian mendapat izin pergi ke luar negeri adalah bukan warga yang akan ke Saudi Arabia, melainkan hanya diberikan secara terbatas kepada mereka yang akan pergi ke berbagai negara Arab yang lain atau negara Eropa untuk kepentingan bantuan kemanusiaan. Alhasil Musthaha pun hanya bisa gigit jari.

Hamas sebenarnya selaku pengatur keamanan di Gaza sebenarnya telah membantanh tudingan Mesir bahwa ada warganya yang terlibat dalam serangan fatal kepada para tentara Mesir itu. Mereka saat itu juga telah menutup terowongan penyelundupan ke Mesir sebagai tanda bahwa Hamas bersedia melakukan kerja sama.

Bagi warga Gazza yang akan ke Makkah untuk umrah, pintu gerbang Rafah mempunya posisi yang sangat penting karena mereka tidak bisa melintas di pintu gerbang yang lain, misalnya melakukan perjalanan melalui Israel. Maka dengan ditutupnya pintu gerbang Rafah itu jelas menjadi pertanda buruk bahwa kepergian ke Makkah pada akhir Ramadhan ini tak bisa dilakukan. Ziarah umrah yang dianggap sebagai ‘haji kecil’ pun hanya menjadi impian. Padahal, bagi mereka banyak yang percaya bahwa melakukan umrah di akhir Ramadhan pahalanya setara dengan naik haji di bulan Dzulhijah.

Bagi Mushtaha dan juga bagi kebanyakan para agen perjalanan di Gaza yang menangani  binis ‘wisata religi’. Travel haji dan umrah, merupakan bisnis yang menggiurkan. Ini mengingat minat warga Gaza untuk melakun umrah ternyata begitu membeludak.

Seorang pemilik agen perjalanan haji dan umrah di Gazza, Awad Abu Mazkour, mengatakan setidaknya saat itu telah ada sekitar 3.000 warga Palestina yang akan melakukan perjalanan umrah pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan. Dan sebagai akibat penutupan gerang Rafah ini, maka bila ditaksir besaran angka kerugian yang harus ditanggung oleh perusahaan travel yang ada di Gaza bila ditotal jumlanya memang fantastis, mencapai lebih dari dua juta dolar AS.

Mushtaha mengakui bila setiap kliennya  yang akan pergi umrah ke Makkah dipungut biaya sekitar 1.000 dolar AS. Dana sebesar itu dipergunakan sebagai biaya sewa bus, tiket pesawat, dan sewa kamar hotel. Celakanya uang itu pun sudah lebih dahulu dibayarkan sebelum ke luar larangan melintas di gerbang Rafah. Nah, adanya kasus gagal berangkat ke Makkah ini tentu saja para calon jamaah umrah pun meminta pengembalian uang yang telah dibayarkan. Namun, untungnya pemerintah Hamas, kata Mushtaha, ikut merasa tak tega atas kejadian itu sehingga mereka ikut turun tangan menyelesaikannya.

“Bagian dari biaya tiket mungkin dikembalikan. Tapi pengembalian uang untuk pemesanan hotel susah dikembalikan karena waku pemesanan yang sudah mepet sehingga pihak hotel tak mau mengembalikan pesanan kamar yang mendadak dibatalkan,’’ katanya.

Dia mengatakan, apa yang terjadi pada saat ini adalah krisis terburuk yang dihadapi oleh perusahaan yang didirkan sejak ayahnya masih muda, yakni sekitar 46 tahun yang lalu. “Tidak pernah ada penutupan seperti ini selama acara-acara keagamaan,” kata Mushtaha. Ia pun berharap agar kerugian dapat ditanggung bersama di antara para pelanggan perusahaan. Bahkan dia meminta bila sebagian kerugian bisa ditutup oleh pemerintah Hamas.

Namun, meski sudah ada keputusan bila umrah di akhir Ramadhan kali ini tidak dapat dilakukan, panggilan telepon kepada Musthaha terus berlangsung. Para pelanggan travel-nya masih tetap mencari jaminan bahwa mereka masih bisa ke Makkah. Setiap kali ada panggilan telepon seperti itu, Musthaha selalu dengan tegas mengatakan: “Sudah tak ada lagi!”

Dalam pembicaraan melalui telepon, seorang pelanggan travel-nya, Subhia al-Masri, mengeluh seperti ini: “Saya telah menghabiskan tiga tahun menabung dan memimpikan saat ini bisa ke Makkah,” katanya.

Menurut dia kehilangan kesempatan ke Makkah adalah sangat menyedihkan, dan tak sebanding artinya dengan kehilangan uang.

“Kehilangan uang saya tidak seberapa dibandingkan dengan kehilangan kesempatan untuk mengunjungi Ka’bah,” lanjut Subhia lagi.

Alhasil, pergi umrah dan berhaji ke Makkah ternyata memang impian semua Muslim, termasuk warga Palestina yang kini masih hidup terkurung oleh tentara Israel di Jalur Gaza.

 

sumber:Ihram.Co.id

Allah Mengetahui Urusan Kita

KITA adalah milik Allah. Dia yang menciptakan kita. Allah yang paling tahu keadaan kita, termasuk yang mengurus diri ini setiap saat. Kita sesungguhnya tidak pernah tahu bagaimana cara mengurus diri sendiri. Tidak tahu cara kerja jantung, paru-paru, otak atau organ tubuh lainnya. Kita hanya tahu sedikit saja. Jadi, hanya Allah yang paling tahu dan yang paling bisa mengurus kita.

Semua yang terucap, lisan maupun isi hati, dosa dan kejelekan, termasuk masalah-masalah kita pun diketahui-Nya. Allah juga mengetahui solusi dari setiap kesulitan yang kita alami. Allah Yang Maha Mengetahui jalan keluarnya. Kita sebagai makhluk ciptaan-Nya tidak akan bisa menyelesaikan setiap masalah oleh diri sendiri dengan benar, bila tanpa petunjuk Allah.

Begitu pun jika ingin menikmati hidup, hanya Allah yang bisa memberikannya. Dengan bersyukur pada Allah, nikmat hidup akan diberikan oleh-Nya. Allah Yang Maha Pengasih berfirman, “…Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS. Ibrahim [14]: 7)

Apa pun profesinya, aktivitas kita harus dalam upaya mencari ridho Allah. Jika niatnya karena Allah, rezeki pasti menghampiri. Atau ketika kita ditakdirkan Allah diuji dengan terlilit utang yang belum terlunasi, meski sudah tahajud dan beramal saleh. Padahal jika dibandingkan dengan orang lain yang belum tahajud, mereka tetap mendapat rezeki.

Jika ini yang terjadi, maka segera mencari hikmahnya. Boleh jadi ketika utang lunas, tahajud yang biasa dilakukan juga turut hilang. Yakinlah bahwa Allah suka melihat hamba yang tahajud, merintihkan segala derita dan kepayahannya kepada Allah.

Tidak ada satu pun perbuatan Allah yang sia-sia. Allah selalu memberikan yang terbaik kepada setiap makhluk. Berprasangka baiklah pada Allah. Yakin dan berikhtiarlah sesuai tuntunan Allah. [*]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2359070/allah-mengetahui-urusan-kita#sthash.RHIhHe5n.dpuf

Para Calon Haji Bersiaplah Agar Mampu Berjalan Jauh!

Tanpa terasa renovasi Masjidil Haram akan segera tuntas. Semenjak Ramadhan lalu bentuk perluasan mataf (pelataran tawaf) sudah bisa terlihat. Bagian bangunan berbentuk kerucut putih peninggalan Kesultanan Otoman sudah tidak akan terlihat lagi. Satu persatu pilar, atap, dan tembok banguan yang berdiri pada 1920-an dirobohkan. Lantai mataf kian leluasa hingga makin terasa lapang ketika melakukan tawaf,

Saat itu, sebelum tiba bulan Ramadhan, atau berbarengan dengan penggusuran bangunan atap berbentuk kubus putih tersebut, tempat tawaf sementara knock down juga ikut dibongkar. Satu persatu besi penyangganya dicopoti. Pagi, siang, malam, ratusan pekerja sibuk melakukan pembongkaran. Pekerjaan hanya berhenti ketika waktu shalat tiba.

Maka keluhan bila melakukan tawaf di lantai dasar atau berada di tempat tawaf yang di seputaran Ka’bah terasa sesak kini mereda. Namun, meski berbagai penyekat dari proyek perluasan masjidil haram dan bangunan lama di sekitar mataf itu sudah tak ada lagi, khusus untuk jamaah yang memakai kursi roda  tetap dilarang melakukan tawaf di mataf. Mereka diminta melakukan tawaf di lantai dua Masjidil Haram.

Sebagai akibat kian purnanya perluasan Masjidil Haram, maka bangunan ini pun akan segera semakin luas. Bangunan masjid baru yang berada di samping belakang kini sudah siap disambungkan. Tinggal beberapa pengerjaan finishing yang tengah dilakukan seperti pembuatan jembatan, pemasangan lantai, dan pengerjaan berbagai panel listrik, pendingin udara, dan lainnya.

Memang bagi jamaah umrah atau jamaah haji yang muda dan berbadan sehat suasana masjid yang lapang dan indah kini telah hadir di depan mata. Luas lantai tawaf (maaf) menjadi berlipat-lipat, kapasitasnya empat kali dari yang dahulu. Dipastikan, suasana berdesakan akan lumayan terurai terutama di masa akhir Ramadhan dan puncak haji.

Namun, setelah pacaperluasan lantai mataf usai,  beban baru jamaah lanjut usia atau mereka yang jamaah yang mengunakan kursi roda bertambah berat. Mereka harus melakukan tawaf di lantai dua Masjidil Haram. Akibatnya, jarak tempuh putaran tawaf enjadi semakin panjang. Setiap satu putarannya akan mencapai sekitar  satu kilo meter. Jadi kalau jumlah putaran tawaf mencapai tujuh putaran, maka nanti jamaah lansia dan mengenakan kursi roda tersebut, harus menempuh perjaanan hingga lebih dari tujuh kilo meter.

Tentu saja, setelah melakukan tawaf untuk menuntaskan ibadah haji atau umrah sebelum diperbolehkan melakukan tahalul, para jamaah harus juga melakukan sa’i. Prosesi untuk mengenang gerak Siti Hajar yang ini dilakukan dengan berjalan biasa hingga berlari kecil antara buit Safa dan Marwah sebanyak tujuh kali, maka bila satu putaran tawaf jaraknya mencapai 500 meter, maka untuk tujuh kali jalan tersebut jamaah pun harus berjalan hingga 3,5 kilometer.

Alhasil bila ditotal, untuk menyelesaikan prosesi tawaf dan sa’i seorang jamaah haji dan umrah harus menempuh perjalanan sekitar 11 kilometer. Sebuah jarak yang lumayan jauh.

 

Lalu berapa lama tawaf diselesaikan seandainya ada jamaah yang mengantarkan orang tuanya melakukan tawaf dengan menggunakan kursi roda? Jawabnya: Memang relatif!

Mengapa demikian? Ini karena tergantung dari kemampuan jasmani, kesempatan waktu, suasana kepadatan area  tawaf yang ada di Masjidil Haram. Pada hari ketika tidak ada jamaah umrah (yakni setelah Idul Fitri sampai datangnya rombongan pertama jamaah haji), suasana arena tawaf memang masih lenggang. Orang tawaf memang masih tetap ada sepanjang waktu, cuma jumlahnya tak terlalu banyak. Bahkan antrean untuk mencium Hajar Aswad hanya sekitar sepuluh orang saja.

Nah, pada saat itu orang yang berada di Masjidil Haram dapat mencium Hajar Aswad secara lebih leluasa. Waktu untuk tawaf pun sangat singkat, tak lebih hanya 10 menit untuk tujuh putaran. Saking longgarnya pada saat itu bisa shalat sunat di Hijir Ismail sepuasnya atau berulang kali.

Namun, suasana ini sontak berbalik ketika jamaah haji sudah mulai berdatangan atau pada bulan-bulan biasa ketika kesempatan umrah dibuka. Area tawaf menjad hiruk-pikuk. Mencium Hajar Aswad dan shalat di Hijir Ismail atau berdoa persis di depan Multazam menjadi barang langka.

Nah, dalam suasana padat itu maka tawaf di lantai dua bersama para lansia dan jamaah yang memakai kursi roda benar-benar jadi pilihan. Bahkan, para asykar yang pada hari biasa masih mau memberikan sedikit kelonggaran bagi jamaah berkursi roda untuk tawaf di mataf, maka kala itu yakni bila  menjumpai jamaah seperti ini mereka pun  langsung mengarahkan agar naik tempat tawaf yang berada di lantai dua.

Alhasil, karena memakai area tawaf di lantai dua itu, waktu tawaf menjadi panjang yang awalnya tak lebih dari 10 menit itu. Berangkat dari pengalaman melakukan umrah pada awal pertengahan tahun lalu, bila melakukan tawaf di lantai dua sembari mendorong kursi roda, proses ini bisa memakan waktu hingga 3,5 jam. Dan total jendral, bila disertai dengan Sa’i ditambah istirahat serta mengerjaan berbagai shalat sunat dan istirahat, maka proses ini akan memakan waktu sekitar lima jam. Ini dijalani dalam suasana hari umrah biasa, bukan pada masa puncak haji atau akhir Ramadhan.

Semakin panjangnya jalur tawaf setelah usainya proyek perluasan Masjidil Haram dibenarkan salah satu pejabat di Kantor Urusan Haji (KUH) KBRI di Jeddah. Menurutnya, dengan semakin luasnya area tawaf, maka proses tawaf akan memakan jarak yang lama. Memang kalau memakai tempat tawaf di lantai dua dan sealigus menyelesaikan sa’i maka setiap jamaah harus menempuh perjalanan sepanjang 11 kiometer.

“Maka para calon jamaah haji harus menyiapkan kebugaran jasmani yang baik. Ingat ibadah haji itu lebih banyak merupakan ibadah fisik,’’ katanya.

Menyadari kenyataan tersebut, terutama untuk para calon haji dan umrah yang lanjut usia atau memakai kursi roda, mulai sekarang bersiaplah secara serius. Pahamilah bahwa haji itu ibadah yang membutuhkan kesemaptaan fisik. Paling tidak kepada para calon jamaah yang akan berangkat pada tahun ini, hendaklah semenjak hari ini hingga tiba waktu keberangkatan haji, merekai sudah terbiasa berjalan jauh.

 

sumber:RepublikaOnline