Ayo Berwakaf di Pesantren Darus-Sunnah, Pesantren Hadis Pertama di Indonesia

Hari ini, jika kita berbicara mengenai hadis Nabi Saw., disadari atau tidak kesadaran masyarakat untuk berislam yang selalu memiliki sumber dari hadis – bersama dengan Al-Qur’an, sangat dan semakin tinggi. Dari pengalaman pribadi penulis sendiri selama menjadi redaksi di situs keislaman saja, pembaca mudah bertanya jika kita mengutip hadis, atau permasalahan yang memang ada perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan ulama lalu mengutip hadis, akan bertanya “hadisnya mana?”; “shahih atau tidak hadisnya?”; “ada hadisnya tidak pendapatnya?”; dan sekian pertanyaan lainnya.

Pertanyaan itu tidak keliru sebenarnya. Yang menjadi problem adalah ketika yang bertanya persoalan ini bukanlah orang yang belajar hadis secara tersusun, berurut, dengan guru dan sanad (jalur) keilmuan yang jelas, dan waktu yang lama. Orang yang bertanya ini kemudian hanya memahami bahwa yang benar hanya referensi hadis yang ia ketahui. Padahal khazanah hadis sebagai salah satu basis rujukan utama umat Islam setelah Al-Qur’an, adalah khazanah yang sangat luas sekali.

Disinilah diantara signifikansi kehadiran Pesantren Hadis Darus-Sunnah. Didirikan oleh mendiang Dr. K.H. Ali Mustafa Yaqub, mantan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta dan Guru Besar Ilmu Hadis IIQ Jakarta di tahun 1997, salah satu keprihatinan beliau adalah rendahnya kesadaran orang untuk mengetahui bahwa hadis itu ada yang shahih dan tidak shahih (lemah). Dan, status itu harus disebutkan dengan jujur karena jika tidak masyarakat menjadi tidak dididik untuk memahami bahwa yang kita amalkan ini memiliki rujukan yang otoritatif. Beliau bahkan mengistilahkan, “kebutuhan Al-Qur’an terhadap Hadis itu jauh lebih tinggi dibandingkan kebutuhan hadis terhadap Al-Qur’an” karena Hadis memainkan peran sangat penting untuk memahami Al-Qur’an dengan baik.

Berlokasi sekitar 300 m di sebelah selatan kompleks UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan pesantren dimulai awalnya dari pengajian tiga orang mahasiswa kepada beliau sejak tahun 1996. Semangat belajar yang tinggi, K.H. Ali Mustafa Yaqub terharu dan berinisiatif membangun pesantren secara bertahap. Saat selesai, dinamailah oleh mendiang K.H. Ali Mustafa Yaqub Pesantren itu dengan nama Darus-Sunnah.

Sampai hari ini, syarat masuk serta kegiatan pendidikan Pesantren tersebut bisa dikatakan ketat. Untuk tingkatan mahasiswa (namun tetap bisa sambil kuliah di kampus sekitar Darus-Sunnah seperti UIN, IIQ, dan PTIQ), diantara materi yang harus dikuasai dan diuji adalah bahasa Arab (lisan maupun tulisan seperti kaidah tata bahasa Arab adalah diantara syarat utama yang harus dipenuhi); Ilmu Hadis, sampai kemampuan memecahkan masalah Fikih. Bahasa Inggris juga diantara yang diujikan, meski di tes Lisan.

Pasca wafatnya K.H. Ali Mustafa Yaqub di tahun 2016, kini kepemimpinan Pesantren dinahkodai sang putra, K.H. Zia Ul Haramein, Lc., M.Si. dan Dewan Asatidz yang merupakan alumni-alumni pertama Pesantren Darus-Sunnah.

Lebih dari 20 tahun berlalu, kini pesantren Darus-Sunnah memiliki dua unit pendidikan, tingkat mahasantri (setingkat mahasiswa) dan MTs/MA sederajat. Total santri seluruhnya, putra dan putri sudah mencapai lebih dari 300 orang.

Saat ini Darus-Sunnah sedang membutuhkan kontribusi dari berbagai pihak untuk memperluas pesantrennya yang semakin tidak mencukupi jumlah santri. Secara finansial, Pesantren membutuhkan dana 2,5 Miliar untuk membeli tanah yang tersedia di samping kompleks Pesantren Darus-Sunnah. Untuk mewujudkan itu, Darus-Sunnah mengajak saudara-saudara sekalian untuk menginfakkan sebagian hartanya dalam bentuk program Wakaf.

Bagi pembaca sekalian yang tergugah untuk terlibat dalam program Wakaf ini, penyaluran wakaf bisa juga melalui NU Care.

Bisa juga, secara langsung transfer dana Wakaf-nya ke beberapa rekening di bawah ini,

  1. Bank Muamalat Indonesia

No. Rekening: 390.000.2461 a.n. YAYASAN WAKAF DARUS-SUNNAH

  1. Bank Central Asia

No. Rekening 676.041.6876 a.n. YAYASAN WAKAF DARUS-SUNNAH

  1. Bank Banten

No. Rekening 014.600.5772 a.n. PONDOK PESANTREN DARUS-SUNNAH

Setelah melakukan transfer, para muhsiniin dapat mengkonfirmasi wakafnya ke beberapa nomor berikut,

– 0856-4977-7597 (Ust. Hasan Shobary)

– 0838-7481-7473 (Ust. TB. Hasan Basri)

Bagi yang berminat untuk menyebarkan kampanye investasi akhirat ini, teman-teman dapat menyebarkan campaign ini di sosial media dengan menggunakan tagar #yukberwakafdiDarsun atau #WakafTanahDarsun. Semoga bermanfaat, dan menjadi ladang amal jariyah untuk kita semua, Amiin.

BINXANG SYARIAH

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Hujurat Ayat 11: Larangan dan Bahaya Perbuatan Body Shaming

Dewasa ini fenomena body shaming cukup marak terjadi. Pelaku body shaming bisa saja berasal dari kalangan orang terdekat atau orang yang tidak dikenal sama sekali. Sering kali terdengar kalimat candaan yang mengarah ke body shaming. Tidak sedikit juga yang dengan sengaja melontarkan kalimat-kalimat ejekan kepada orang yang memiliki penampilan fisik, yang menurutnya belum termasuk standar kriteria.

Misalnya, orang yang bertubuh gemuk dicerminkan dengan hewan yang berukuran besar, seperti sapi, kudanil, kingkong atau hewan besar lainnya. Tidak hanya orang bertubuh gemuk saja, orang yang bertubuh kurus, berkulit hitam, ataupun pendek, seringkali terdengar ejekan semacam itu tanpa memikirkan perasaannya. Dampak body shaming bagi korban antara lain, yaitu dapat menyebabkan gangguan makan, seperti bulimia nervosa, anorexia nervosa, dan binge.

Dalam sejarah umat Islam, body shaming pernah terjadi kepada istri Nabi Muhammad yaitu Ummu Salamah, yang diejek oleh istri-istri Nabi yang lain dengan mengatakan Ummu Salamah pendek. Al-Qur’an dan hadis dengan tegas telah menjelaskan beberapa kasus terebut walaupun tidak menyebutnya secara spesifik. Quraish Shihab dalam tafsirnya melarang tindakan body shaming baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, dan pelaku akan mendapat ganjaran berupa siksa dari Allah.

Dalam artikel ini penulis ingin memaparkan lebih jauh mengenai dampak, bahaya, dan larangan perbuatan body shaming ini, serta menjelaskan pandangan al-Qur’an mengenai body shaming.

Body Shaming Dalam Tinjauan Umum Dan Islam

Body shaming merupakan gabungan dari dua kata yaitu body (badan) dan shaming (mempermalukan). Body Shaming merupakan perilaku mengolok-olok fisik orang lain dengan mengomentari ukuran badan atau bentuk badan yang dianggap belum ideal.

Tindakan bullying terbagi menjadi dua yaitu bullying secara fisik dan bullying secara verbal. Bullying secara fisik meliputi mendesak, menampar, dan perbuatan yang menjurus kepada kekerasan fisik. Sedangkan body shaming termasuk ke dalam bullying bentuk verbal, yaitu dapat berbentuk mencela, mencaci, memaki, menertawakan, mengomentari, merendahkan, dan memanggil nama dengan sebutan yang buruk.

Jika dilihat dari sejarahnya, perilaku body shaming sebenarnya sudah terjadi sejak zaman Nabi. Namun, beberapa pakar mengemukakan bahwa istilah body shaming muncul di Amerika Serikat pada tahun 1900-an. Saat itu, di Amerika Serikat banyak yang tertarik membeli kartu pos bergambar wanita dengan postur tubuh gemuk hanya untuk dijadikan sebagai bahan ejekan semata. Pada era 2000-an, istilah body shaming kembali ramai diperbincangkan, khususnya melalui media sosial. Tidak sedikit pengguna media sosial menjadi korban dari perilaku body shaming.

Jika dilihat dari perkembangannya, perempuan cenderung lebih beresiko menjadi korban body shaming dibandingkan laki-laki. Perilaku body shaming sulit untuk dihindari, hal tersebut disebabkan adanya konstruk pemikiran masyarakat yang memiliki standar kesempurnaan cukup tinggi. Devie Rahmawati, selaku pengamat sosial, mengemukakan bahwa perilaku body shaming disebabkan oleh hal-hal diantaranya, yaitu, pertama, budaya patron klien, yaitu budaya di mana orang yang mempunyai kekuasaan atau kekayaan berlebih, dan dikenal bisa melakukan apapun. Kedua, budaya patriarki, yaitu ketika perempuan dijadikan sebagai objek. Misalnya, perempuan cenderung menjadi bahan ejekan terkait tubuh. Dan ketiga, minimnya pengetahuan bahwa body shaming merupakan perilaku yang buruk.

Tafsir Q.S. al-Hujurat ayat 11 Mengenai Body Shaming

Adapun ayat utama yang menjadi objek body shaming adalah: Q.S. al-Hujurat [49]: 11

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa sahabat Ṣābit bin Qais yang selalu hadir pada majelis Rasulullah dan duduk di dekat Rasulullah agar mendengar kajian rasulullah dengan jelas. Hal tersebut dikarenakan pendengarannya terganggu. Suatu hari ia terlambat datang pada majelis tersebut dan ia berjalan dengan melangkahi punggung sahabat.

Wahidi dan dari Ibnu Abbas meriwayatkan tentang asbāb al-nuzūl ayat ini sesungguhnya ditetapkan pada Ṣābit bin Qais bin Samas, saat itu ia mendengarkan dan menghormati majelis Nabi Muhammad saw dan dalam majelis ini sahabat berkata: “Meluaslah pada majelis ini supaya beliau bisa duduk di dekat Nabi dan mendengarkan kajian pada mejelis ini.” Kemudian seorang laki-laki berkata: “Anda sudah membuatkerusuhan pada majelis ini, maka duduklah”. Kemudian Sabit berkata “siapa ini?”. Kemudian, laki-laki itu menjawab: “Saya Fulan”. Kemudian Sabit berkata: “anaknya Fulanah lalu disebutkanlah nama ibunya yang pada masa Jahiliyah menjadi bahan hinaan”. Kemudian seorang laki-laki itu merasa malu, sehingga dari kejadian itulah ayat tersebut turun.

Terdapat riwayat lain yang menyatakan bahwa ayat ini diturunkan berkaitan dengan kecemburuan sebagian istri Nabi dengan Ummu Salamah. Kemudian, mereka menghina dengan mengatakan Ummu Salamah pendek, hal ini termasuk ejekan. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa istri Nabi, Aisyah pernah merasa cemburu dengan Shafiyah. Aisyah kemudian menghina Shafiyah karena memiliki tubuh yang pendek dengan isyarat.

Selain itu, Allah melarang perbuatan mencela orang lain, baik berupa al-Hamz (perbuatan) atau al-Lamz (ucapan). Selain itu ditegaskan bahwa larangan ini tidak hanya berlaku bagi laki-laki tetapi juga perempuan. Seorang wanita yang mencela wanita lain atau laki-laki yang mencela laki-laki lain sejatinya sedang merendahkan dirinya sendiri.

Dalam Q.S. al-Hujurat [49]: 11 kata body shaming memang tidak disebutkan secara spesifik dalam ayat ini. Namun, jika dilihat dari konteks pemaknaan, menghina dan mengolok-olok termasuk ke dalam perilaku body shaming. Adapun tindakan body shaming sendiri tidak hanya berupa perkataan saja, tetapi menggunakan isyarat juga termasuk tindakan body shaming. Perilaku body shaming merupakan perilaku tercela meskipun dilakukan dengan niat main-main. Hal tersebut disebabkan dapat berpotensi melukai perasaan korban body shaming.

Penghinaan Terhadap Tuhan Dan Utusan-Nya

Penghinaan terhadap Tuhan dan utusan-Nya telah terjadi sejak nabi-nabi terdahulu. Penghinaan yang terdapat di sub kelompok ini memiliki ruang lingkup yang lebih luas, sebab penghinaannya meliputi terhadap entitas Tuhan, risalah Tuhan, dan utusan Tuhan. Ayat yang menjelaskan tentang penghinaan terhadap Tuhan dan utusanNya adalah Q.S. al-An’am: 10, Q.S. al-Anbiya’: 41, Q.S. as-Saffat: 12 & 14, Q.S. ar-Rum: 10, Q.S. Yasin: 30, dan Q.S. az-Zukhruf: 7. Ayat-ayat tersebut menjelaskan terkait pengolok-olokan Nabi terdahulu dan ancaman yang disampaikan oleh Allah berupa azab.

Q.S. al-An’am: 10 dan Q.S. al-Anbiya’: 41 turun ketika Allah swt menghibur hati Rasul-Nya yang tersakiti oleh gangguan yang dilakukan oleh kaum kafir. Dalamdiskursus ayat tersebut mengisahkan tentang penghinaan yang dilakukan oleh kaum kafir kepada Nabi sehingga hal tersebut menimbulkan sebuah intervensi dari Tuhan. Dengan demikian, hal ini dapat ditarik sebuah nilai insāniyyah, sosok Nabi sebagai manusia memiliki perasaan yang sama dengan manusia lain ketika dihina. Hal ini juga menjadi legitimasi bahwa penghinaan tidak hanya dapat menyakiti hati Rasul, namun juga dapat menyakiti hati manusia lainnya.

Secara tidak langsung, selain ayat tersebut menjelaskan terjadinya penghinaan pada masa lalu, namun ayat tersebut juga memiliki nilai keadilan. Sebab, orang yang menghina tentu akan mendapatkan balasan, baik itu di dunia atau di hari akhir. Adapun balasan bagi penghina di dunia saat ini adalah berupa pengucilan atau hukuman sosial.

Bentuk penghinaan lainnya juga disebutkan dalam Q.S. Hud: 38, ayat tersebut menjelaskan tentang Nabi Nuh yang dicemooh oleh kaumnya sebab intruksinya tentang akan datang banjir yang besar, ayat tersebut turun ketika kaum Nabi Nuh melewati dan melihat nabi Nuh sedang membuat kapal. Mereka melontarkan bermacam-macam pertanyaan dengan nada mengejek. Ejekan tersebut muncul karena mereka belum mengenal kapal dan bagaimana cara memakainya, termasuk Nabi Nuh. Dalam hal ini bentuk penghinaan difokuskan kepada dakwah yang disampaikan Nabi Nuh.

Dalam Q.S at-Taubah: 58 juga terdapat penghinaan, ayat ini turun saat Rasulullah saw membagikan sedekah, ayat tersebut menjelaskan tentang adanya celaan yang dilakukan orang munafik kepada Nabi Muhammad karena kebijaksanaan beliau membagikan zakat kepada orang yang kurang mampu. Mereka berusaha menghalangi perkembangan Islam dengan melontarkan tuduhan palsu terhadap Nabi Muhammad agar orang yang imannya masih lemah terpengaruh. Mereka menuduh Nabi Muhammad tidak bisa berlaku adil dalam pembagian zakat tersebut.

Larangan Body Shaming

Larangan mengenai perilaku body shaming secara tekstual dijelaskan dalam Q.S. al-Hujurat: 11. Dalam ayat tersebut Allah melarang kaum mukmin mengolok, mencela, dan memanggil dengan panggilan yang tidak baik terhadap kaum lain. Perilaku tersebut bertentangan dengan konsep fundamental Al-Qur’an yang menganjurkan untuk saling menjaga persatuan dengan cara menjaga perasaan orang lain. Selain itu, perbuatan body shaming juga dapat mengakibatkan renggangnya hubungan satu sama lain.

Kemudian, dalam Q.S. al-Hujurat: 12 dan Q.S al-Humazah: 1, menyebutkan larangan mengumpat, mencari kesalahan, dan menampakkan keburukan orang lain. Larangan tersebut selaras dengan perilaku body shaming yang tidak bisa dianggap remeh dampaknya, karena dapat mempengaruhi keadaan psikologis korban.

Ketiga ayat tersebut dengan keras melarang body shaming, meski tidak spesifik menyebutkan body shaming. Semakin jelas, dalam pelarangan ini menghadirkan haramnya perilaku body shaming. Dapat ditarik juga maksud dari pelarangan ini adalah agar manusia dihindarkan dari perilaku menghina, mencemooh, mengolok, dan mencela orang lain. Selain tidak membawa manfaat, perilaku body shaming dapat membuat keadaan masyarakat tidak kondusif. Suasana kondusifitas di masyarakat perlu untuk dikembangkan, sebab kondisi yang baik akan memberikan aura positif dalam perkembangan dan pertumbuhan masyarakat. Maka ayat di atas cukup menonjolkan dalam mengembangkan spirit nilai kemanusiaan.

ISLAMKAFFAH

Membedah Konsep Rezeki nan Indah

Melalui karyanya ini, Syekh Muhammad Mutawwalli Syarawi menjabarkan perihal hakikat rezeki

Sang pemegang kendali dan pembagi rezeki bagi umat manusia hanyalah Allah SWT. Sang Khalik telah menentukan rezeki setiap anak Adam yang hidup di muka bumi ini. Ada yang mendapat limpahan rezeki, tetapi banyak pula yang pundi-pundi rezekinya terbatas.

Kendati setiap orang selalu berharap dan berdoa agar senantiasa mendapat rezeki yang melimpah. Namun, tak ada yang bisa mengetahui kepastian mengenai rezeki. Soal kapan, di mana, dan jumlah rezeki yang akan diperoleh berada di luar batas kemampuan akal dan rasio manusia.

Upaya manusia untuk mengais rezeki pun sangat beragam. Ada orang yang bisa meraup jutaan atau bahkan miliaran rupiah dalam sekali tanda tangan.

Namun, banyak pula orang yang bekerja berat hanya mendapat belasan hingga puluhan ribu. Malah, tak sedikit orang yang pulang ke rumahnya dengan tangan hampa.

Di balik setiap rahasia pasti terkandung hikmah. Syekh Muhammad Mutawwalli Sya’rawi, seorang tokoh yang piawai menafsirkan Alquran, dengan analisisnya yang tajam mencoba menuliskan hasil pemikiran dan renungannya terhadap satu dimensi utama manusia, yakni mencari rezeki.

Sang syekh menjabarkan hal ihwal rezeki yang kerap ditanyakan banyak pihak. Menteri Urusan Wakaf dan Al-Azhar Republik Arab Mesir periode 1976-1978 itu menulis kitab berjudul Tilka Hiya al-Arzaq. Sebuah risalah sederhana yang berusaha menguak hikmah di balik sejumlah fenomena menarik soal pencarian rezeki.

Tokoh kelahiran Daqadus, sebuah desa di Provinsi Daqahlia, Mesir, ini memulai kitabnya dengan deretan pertanyaan yang mungkin kerap dilontarkan tiap orang: mengapa manusia ditakdirkan memiliki potensi dan kemampuan yang berbeda? Bukankah jika berkehendak, Allah pasti jadikan mereka dengan kapasitas dan kualitas diri yang sama?

Dengan adanya perbedaan, umat manusia bisa saling melengkapi satu sama lain.

Menurut Syekh Sya’rawi, di balik perbedaan tersebut ada manfaat dan hikmahnya. Allah SWT hendak menunjukkan dengan adanya perbedaan, umat manusia bisa saling melengkapi satu sama lain, sebagaimana malam yang membutuhkan siang, ujarnya.

Allah SWT berfirman dalam surah al-Lail (92) ayat 1-4: “Demi malam, apabila menutupi. Demi siang apabila terang-benderang. Demi penciptaan laki-laki dan perempuan. Sungguh usahamu memang beraneka macam.”

Menurut Syekh Sya’rawi, ayat itu menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan, lemah, dan kuat, mempunyai tugas dan peranan masing-masing. Adapun ayat keempat surah al-Lail, kata Syekh Sya’rawi, menunjukkan betapa usaha setiap manusia dalam menjemput rezeki amat beraneka ragam.

Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika kemampuan tersebut sama rata, tak akan ada lagi orang yang mau berprofesi sebagai pembantu, guru, tukang kebun, petani, ataupun nelayan. Syekh Sya’rawi menegaskan, dengan perbedaan itulah manusia saling melengkapi dan menguatkan.

Bersifat luas

Dalam perspektif Islam, menurut Syekh Sya’rawi, rezeki tak selalu identik dengan harta kekayaan. Rezeki Allah sangat luas. Prinsip ini kerap luput dari pemahaman umat. Mereka mengira Allah hanya memberi rezeki berupa uang, emas, perak, atau jenis kekayaan lainnya. Padahal, kata dia, hakikat rezeki itu amat luas.

Segala sesuatu yang dimanfaatkan oleh manusia dinamakan rezeki. Ilmu, akhlak, rupa yang cantik dan tampan, atau pangkat, semuanya itu dikategorikan sebagai rezeki yang diberikan oleh Allah, papar alumnus Universitas Al-Azhar itu.

Menurut dia, rezeki bisa dibagi ke dalam dua kutub besar: rezeki halal dan haram. Perbedaan antara keduanya sangat jelas. Rezeki haram manfaatnya tidak bertahan lama, akan habis dalam waktu sekejap. Sedangkan, rezeki yang halal, sekalipun manfaatnya sedikit di mata sebagian orang, tetapi sejatinya harta itu terus bertambah keberkahannya.

Syekh Sya’rawi mengajak umat Islam untuk merenungkan makna ayat ke-71 dari surah an-Nahl.

Syekh Sya’rawi mengajak umat Islam untuk merenungkan makna ayat ke-71 dari surah an-Nahl. Arti ayat itu: “Dan Allah melebihkan sebagian kamu atas sebagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezekinya kepada para hamba sahaya yang mereka miliki, sehingga mereka sama-sama (merasakan) rezeki itu. Mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?

Menurut figur yang pernah dinobatkan sebagai anggota komite tetap untuk konferensi keajaiban ilmu dalam Alquran dan Sunah Nabawi Organisasi Konferensi Islam itu, perbedaan tersebut dimaksudkan agar rezeki dapat mengalir ke individu dengan cara yang berbeda-beda.

Jika terjadi perbedaan rezeki, Allah akan memberikan haknya dalam bentuk yang lain. Hal ini karena, sekali lagi, rezeki bukan hanya uang semata, tetapi rezeki adalah segala sesuatu yang dirasakan manfaatnya oleh manusia.

Karena itu, bentuk rezeki yang diberikan Allah tidak terbatas. “Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS al-Baqarah [2]: 212).

Dalam ketentuan dan hitungan matematis, besaran output akan ditentukan oleh besaran input. Tetapi, itu tidak berlaku dalam konteks rezeki yang Allah berikan; Allah tidak memberikan batas. Bahkan, tak jarang Allah memberi rezeki di luar batas usaha yang telah ditempuh oleh seorang hamba—apa yang diperoleh bisa lebih banyak dari yang dikira dan telah diusahakan.

Sebagian Muslim lalu bersikap sinis dan terheran dengan rezeki lebih yang diterima oleh orang kafir. Tetapi, mengapa kaum Muslim itu tidak mencoba menghitung betapa besarnya nilai kebajikan yang Allah berikan kepada mereka?

Belum lagi rezeki berupa rasa nyaman yang dirasakan oleh hati. Terlebih jika mereka mengetahui bahwa hari pembalasan pasti akan tiba. Allah akan memberi balasan sesuai dengan keyakinan dan amal yang telah diperbuat selama di dunia (QS an-Nahl [16]: 96-97).

photo

Pentingnya qanaah

Menurut Syekh, di sinilah umat Islam perlu bersikap qanaah, menerima bagian yang telah diterima. Hidup akan tambah bermakna dengan sikap qanaah terhadap rezeki yang halal. Hendaknya menjaga etika jika melihat orang lain diberi rezeki lebih. Tidak ada yang tahu apa hikmah di balik pemberian yang berlimpah itu.

Tetapi, kata dia, perlu diperhatikan bahwa rezeki adalah ujian. Rezeki yang dianugerahkan tak boleh digunakan sebagai sarana untuk saling menyanjung atau menghina satu sama lain.

Kemuliaan bukan terdapat pada bertambahnya rezeki. Kemuliaan itu terletak pada sejauh mana ia mampu memanfaatkan sebaik-baiknya dalam pendayagunaan rezeki itu, ujar Syekh Sya’rawi. Minimnya rezeki yang diperoleh bukan berarti seseorang rendah dan hina.

Maka, tenanglah wahai mereka kaum miskin dhuafa. Allah tak akan menelantarkan hamba-Nya tanpa rezeki sedikit pun. Dan, bersikaplah hati-hati bagi mereka yang berkecukupan dan lebih rezekinya. Apa yang mereka peroleh adalah ajang ujian untuk mereka, tuturnya mengingatkan.

Simaklah surah al-Fajr (89): 14-15. “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Dia akan berkata, ‘Tuhanku telah memuliakanku.’ Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya, dia berkata, ‘Tuhanku menghinakanku’.”

REPUBLIKA

Dahsyat! 7 Amalan Mendatangkan Rezeki Secepat Kilat

Amalan mendatangkan rezeki secepat kilat bisa dilakukan secara rutin serta jangan lupa untuk tetap bekerja keras dan bersyukur kepada Allah.

Allah SWT telah mengatur rezeki untuk setiap orang yang ada di muka bumi ini jadi seberapa pun rezeki yang didapatkan sudah seharusnya kita bersyukur.

Meski begitu, ada beberapa amalan mendatangkan rezeki secepat kilat yang bisa seseorang coba lakukan.

Sebagai manusia, kita harus tetap berusaha dan berdoa agar Allah SWT memberikan kelancaran dalam setiap langkah kita mencari rezeki. Untuk memperlancar rezeki, kita akan membahas bersama tentang amalan apa saja yang bisa dilakukan.

Baca juga:   Rezeki Sudah Diatur dan Dijamin Allah SWT, Jangan Khawatir

7 Amalan Mendatangkan Rezeki Secepat Kilat yang Harus Diketahui

1. Sholat Malam

Sholat Tahajud

Sholat malam atau tahajud menjadi salah satu amalan yang biasanya dilakukan untuk lebih mendekatkan diri pada Allah SWT. Bukan hanya itu, sholat malam juga memiliki keutamaan lain sebagai amalan mendatangkan rezeki secepat kilat.

Selagi semua orang tidur di malam hari, seorang hamba yang bertaqwa dan bertawakal akan memanfaatkan waktu tersebut untuk melakukan berbagai amalan. Banyak keutamaan yang bisa didapatkan dari sholat malam secara rutin atau istiqomah.

Setelah sholat malam jangan lupa untuk memanjatkan doa kepada Allah SWT untuk kelancaran hari ini, termasuk kelancaran dalam mencari rezeki.

2. Sholat Dhuha

Sholat Dhuha

Bukan hanya sholat malam, lebih baik juga bisa menyempatkan waktu untuk menunaikan sholat dhuha. Banyak orang yang melewatkan sholat dhuha karena berbagai aktivitas lain, khususnya bekerja, padahal amalan ini bisa mendatangkan rezeki yang lebih dari Allah SWT.

Sholat empat rakaat di pagi hari ini memiliki keutamaan dalam memperlancar rezeki, bahkan Allah SWT akan menjamin kecukupan rezeki sepanjang hari.

Dengan mengetahui keutamaan tersebut, mulailah menyempatkan waktu di pagi hari untuk menunaikan sholat empat rakaat.

Amalan rezeki lancar ini bisa dilakukan sebelum melakukan aktivitas sehingga Allah akan mempermudah pekerjaan dan memberikan keutamaan lainnya.

3. Berbakti pada Orang Tua

Berbakti pada Orang Tua

Sebagai anak, sudah seharusnya jika kita hormat dan berbakti kepada orang tua karena sebanyak apapun perbuatan baik tidak akan cukup untuk membalas kebaikan orang tua.

Bahkan, berbakti pada orang tua juga memiliki keutamaan yang baik untuk kehidupan anak.

Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa kita akan memperoleh keberuntungan besar dari Allah SWT ketika berbakti kepada orang tua, yakni menambah umur.

Bertambahnya umur ini termasuk rezeki yang harus kita syukuri agar bisa menikmati kehidupan lebih lama.

4. Menjalin Silaturahmi

Sebagai umat Islam, kita diharuskan menjalin silaturahmi yang baik dengan sesama manusia, khususnya sesama muslim.

Banyak keuntungan yang akan didapatkan dengan memperbanyak silaturahmi dan menjaganya, salah satunya adalah mendatangkan rezeki.

Rezeki yang dimaksud bukan hanya rezeki dalam bentuk harta benda, tapi juga dipanjangkan umurnya.

Semakin banyak silaturahmi yang dijaga dengan baik, maka kesempatan untuk mendapatkan rezeki juga semakin luas jadi jagalah jalinan silaturahmi yang sudah terbentuk.

5. Perbanyak Istighfar Setiap Waktu

Perbanyak Istighfar Setiap Waktu

Jika belum bisa menunaikan sholat malam di waktu tertentu, maka masih bisa melakukan amalan mendatangkan rezeki secepat kilat yang lain, yakni memperbanyak istighfar waktu sahur atau menjelang adzan subuh, baik di rumah, di masjid, atau di mana saja.

Bulan Ramadhan menjadi momen paling tepat untuk memperbaiki iman dan memperbanyak amalan karena pahala dan keberkahan akan berlipat ganda.

Salah satu ibadah terbaik yang bisa dilakukan di waktu sahur adalah istighfar dengan fokus dan berdiam diri. Allah memberikan banyak kemudahan dan cara untuk hamba-Nya dalam memperoleh rezeki.

Tidak hanya sekedar melakukan amalan saja, tentu seseorang juga perlu melakukan berbagai macam usaha yang halal sebagai usaha menjemputnya.

6. Perbanyak Dzikir

Perbanyak Dzikir

Jika amalan sebelumnya terkait dengan amalan saat bulan Ramadhan, seseorang juga bisa melakukan dzikir di bulan-bulan lainnya.

Waktu paling utama untuk melakukan dzikir adalah pagi dan sore hari karena memiliki keutamaan berupa mendatangkan rezeki.

Usahakan untuk melakukan amalan ini secara istiqomah dan jangan sampai melewatkannya agar keutamaan yang didapatkan lebih besar.

Amalan ini juga bisa membuat hati lebih tenang dalam menjalani hari, apalagi jika sudah menjadi kebiasaan sepanjang hidup.

7. Perbanyak Sedekah

perbanyak sedekah

Amalan terakhir yang tidak boleh dilewatkan untuk mendapatkan rezeki melimpah dan berkah adalah bersedekah.

Tidak penting berapa nominal uang atau harta yang disedekahkan, tapi bagaimana seseorang bersedekah dengan ikhlas dan istiqomah.

Banyak kesempatan dalam hidup yang bisa dimanfaatkan untuk bersedekah, mulai dari pagi, siang, hingga malam hari.

Allah SWT bahkan memberikan jaminan kepada orang yang gemar bersedekah bahwa Allah akan menggantinya lebih banyak dan dahsyat.

Bersedekah dengan ikhlas dan istiqomah bisa mendatangkan rezeki yang lebih besar karena inilah janji Allah SWT.

Beberapa orang mungkin ingin menyalurkan sejumlah hartanya tapi bingung di mana dan bagaimana cara bersedekah agar tepat sasaran.

Bagi yang ingin bersedekah dengan aman dan nyaman, percayakan saja pada lembaga yang telah lama berpengalaman mengelola dana umat, Yayasan Yatim Mandiri.

Sedekah dengan ikhlas dan istiqomah akan menjadi amalan mendatangkan rezeki secepat kilat dan lebih berkah.

YATIM MANDIRI

Banyak Pesantren Terdampak Virus Radikal, Ini Nasehat Imam Gazali untuk Pencari Ilmu

Kasus-kasus pesantren terafiliasi paham radikal terus bermunculan. Teranyar adalah Pesantren al Zaitun yang terindikasi menjadi gerbong penyebaran virus radikalisme, bahkan menjadi sarang kelompok Negara Islam Indonesia yang terbukti telah melakukan pemberontakan. Ternyata, kegagalan mereka dulu terus menyemai dendam kepada negara Indonesia dan berusaha akan mengulanginya.

Hal ini menjadi ancaman bagi generasi muda muslim yang berniat menimba ilmu di pesantren. Dunia pesantren telah disusupi oleh kelompok radikal dan kelompok pemberontak. Oleh karena itu, harus selektif memilih pesantren. Kriteria paling mudah memilih pesantren yang baik adalah, pesantren tersebut telah ada sejak dulu dan bertahan sampai saat ini, terutama pesantren-pesantren NU.

Karena itu, dalam agama Islam ada beberapa peringatan bagi para penuntut ilmu yang harus direnungkan. Sebagai alarm peringatan supaya ketika mencari ilmu tidak terjebak pada tujuan yang salah sehingga menimbulkan mafsadat bagi diri dan orang lain.

Peringatan tersebut salah satunya disampaikan melalui lisan Imam Ghazali, kemudian beliau menuangkannya berbentuk tulisan dalam karyanya Bidayatul Hidayah.

Pertama, mencari ilmu hendaklah diniatkan sebagai bekal kehidupan akhirat kelak. Dalam mencari ilmu niat utamanya adalah ingin menggapai ridha Allah dan kehidupan akhirat yang baik. Sehingga dalam menuntut ilmu tidak terbersit sedikitpun keinginan untuk menggunakan ilmu agama yang diperoleh untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.

Ciri pencari ilmu model ini selalu menebarkan kebaikan, tidak senang bermusuhan, apalagi melakukan tindakan kekerasan seperti aksi-aksi terorisme. Dalam dirinya tersimpan keyakinan yang kuat bahwa segala aktifitas yang menciderai nilai-nilai kemanusiaan adalah larangan agama. Perbedaan pada manusia; agama, suku, etnis dan sebagainya merupakan kodrat Tuhan.

Kedua, mencari ilmu untuk tujuan duniawi. Ilmunya hanya dimanfaatkan untuk memperoleh kemanfaatan duniawi, seperti kekuasaan, kemuliaan dan harta. Padahal dirinya memahami bahwa hal semacam itu termasuk kehinaan, hatinya lemah dan niatnya hina.

Namun, karena dorongan hawa nafsu duniawi semua itu tetap dilakukan. Alarm peringatan ini, zaman sekarang juga berlaku bagi para pendiri lembaga pendidikan seperti pesantren yang didirikan hanya untuk tujuan duniawi semata. Apalagi, kalau tujuan mendirikan pesantren tersebut hanya tipu daya untuk mengelabuhi masyarakat.

Lanjut Imam Ghazali, tipe manusia seperti dikhawatirkan tetap tenggelam dalam kehinaan tersebut sampai ajal menjemput, sehingga ia masuk pada golongan orang celaka dalam golongan yang ketiga berikut ini.

Ketiga, kelompok yang terpedaya oleh setan. Ilmunya dimanfaatkan sebagai media menumpuk harta, berbangga dengan jabatan dan sombong dengan banyaknya orang-orang yang mengikuti atau tunduk kepadanya.

Ciri kelompok ini bangga terhadap pengetahuan yang dimilikinya. Seolah-olah hanya dirinya orang yang berilmu dan yang lain salah. Ciri lainnya mereka pandai bicara layaknya seorang ulama, padahal dirinya tamak Dunai lahir batin. Mereka menyerukan orang lain berbuat baik, padahal dirinya tersesat.

Kelompok ketiga ini sangat dikhawatirkan menjadi orang yang sesat dan merugi. Bagaimana mungkin dirinya akan bertaubat karena mengira dirinya adalah orang yang baik. Contoh kelompok ini di masa kini adalah para mubaligh yang tidak memiliki kecukupan dan kecakapan ilmu agama, mereka tenar karena media, kemudia memiliki banyak pengikut, lalu menyampaikan materi keagamaan sekalipun salah.

Akhirnya, banyak orang yang tertipu dan berujung pada penyesatan massal. Semakin berkembangnya paham-paham keagamaan yang menyimpang saat ini, termasuk paham radikal, merupakan buah dari kelompok ketiga ini.

ISLAMKAFFAH

Mengenal Syiah: Antara Syiah Dan Rafidhah

Seorang muslim selain dituntut untuk mempelajari kebenaran, juga harus mengetahui kebatilan. Di dalam Al Qur’an pun Allah ta’ala selain menjelaskan jalan kebenaran (sabilul mu’minin)1 juga menjelaskan jalan kebatilan (sabilul mujrimin)2. Hal ini menunjukan bahwa seorang muslim harus memahamai kedua hal tersebut. Sebagaimana yang dipahami oleh sahabat Hudzaifah bin Yaman Radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata “dahulu orang orang bertanya kepada Rosulullah Shallalllahu ‘Alaihi Wasallam tentang kebaikan, dan aku bertanya kepada nya tentang keburukan, karena takut terjerumus kepadanya”.3

Dan betul apa yang dikatakan oleh seorang penyair :

عرفت الشرّ لا للشرّ……………. ولكن لتوقّيه

ومن لا يعرف الشرّ……………. من الناس يقع فيه

aku mengetahui keburukan bukan untuk berbuat keburukan, akan tetapi untuk menghindarinya.

Dan barangsiapa yang tidak mengetahui keburukan dari manusia, dia akan terjatuh kedalamnya

Diantara bentuk kebatilan yang sekarang sedang menjadi isu sentral di masyarakat dunia secara umum dan di masayarakat indonesia seara khusus adalah isu syiah. Di indonesia sendiri, mereka sudah membuat keresahan dimana mana. Mereka begitu aktif menyebarkan dan mendakwahkan ajarannya. Baik dengan tulisan, ceramah, gerakan sosial, politik, hingga aksi kekerasan pun mereka lakukan demi melancarkan tujuannya. Berbagai macam teror, intimidasi, keonaran, ancaman dan lainnya sudah mereka lakukan. Kita pun menyaksikan, banyak kaum muslimin yang dangkal akidahnya, sudah terpengaruh oleh ajaran mereka.

Maka menjadi penting bagi umat islam indonesia untuk sedikit banyak mengetahui ajaran ini. Dan di makalah ini –serta makalah makalah selanjutnya insya Allah– akan dibahas secara ringkas tentang syiah, definisi, akidah, sejarah dan hal yang lainnya. Dengan harapan Allah ta’ala menyelamatkan diri kita dari syubhat-syubhat mereka. Dan tetap menjaga diri kita dalam kebenaran ajaran islam yang murni sebagaimana yang dipahami oleh para pendahulu kita.

Siapakah yang dimaksud dengan syiah

Secara bahasa syiah bermakna kelompok, penolong, dan pengikut4. Adapun secara istilah para ulama berbeda beda5 dalam mendefinisikannya.6 Namun bila dicermati kembali, perbedaan tersebut tidak terlepas dari keberadaan ajaran syiah yang terus mengalami perkembangan. Syiah di awal kemunculannya berbeda dengan syiah di jaman jaman setelahnya. Dahulu tidak lah dinamakan syiah kecuali mereka yang mengutamakan Ali bin Abi Thalib diatas Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘Anhu, 7dengan tetap mengutamakan Abu Bakar dan Umar bin khatab Radhiyallahu ‘Anhu.8

Namun pada masa perkembangannya syiah mengalami banyak sekali perubahan. Berbagai penyimpangan akidah disusupkan dalam ajaran syiah. Orang orang yang memiliki kebencian dan dendam kesumat kepada umat islam bersembunyi dibalik topeng syiah. Sehingga akhirnya para ulama pun enggan menyebut mereka dengan syiah dan lebih suka menyebut mereka dengan nama Rafidhah.

Definisi Rafidhah dan sebab penamaannya9

Adapun rafidhah secara bahasa bermakna meninggalkan. Adapun secara istilah rafidhah adalah suatu aliran yang menisbatkan dirinya kepada syiah (pengikut) ahlul bait, namun mereka berlepas diri (baro’) dari Abu Bakar dan Umar bin Khathab, serta seluruh sahabat yang lain kecuali beberapa dari mereka, juga mengkafirkan dan mencela mereka.

Sebagian ulama menyatakan bahwa sebab penamaan Rafidhah adalah karena mereka meninggalkan dan menolak (rofadho) kepemimpinan (imaamah) Abu Bakar dan Umar. Dengan meyakini bahwa kepemimpinan yang seharusnya sepeninggal Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah ditangan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhum.

Namun mayoritas ulama menyatakan bahwa penamaan rafidhah bermula pada masa Zaid bin Ali Rahimahullah. Yang mana ketika itu beliau meyakini bahwa Ali lebih utama dibandingkan Utsman. Beliaupun masih memberikan loyalitasnya kepada Abu Bakar dan Umar dan menganggap mereka sebagai manusia terbaik sepeninggal Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Namun ternyata diantara pengikutnya yang telah berbaiat kepadanya ada sebagian orang yang justru mencela Abu bakar dan Umar. Maka zaid pun langsung menegur dan mengingkari mereka, hingga akhirnya mereka berpecah belah dan meninggalkan Zaid bin Ali. Maka Zaid pun berkata kepada mereka, “kalian telah meninggalkanku” (rofadhtumuunii), maka sejak saat itulah mereka dikenal dengan nama Rafidhah.

Syiah atau Rafidhah?

Berdasarkan penjelasan diatas, bisa kita lihat bahwasanya kata syiah memiliki makna yang positif dan baik, apalagi jika dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib, yang bermakna pengikut atau penolong Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu. Adapun kata Rafidhah berkonotasi negatif. Karena bermakna penolakan terhadap Abu Bakar dan Umar Rodhiyallahu Anhu atau kepada Zaid bin Ali menurut pendapat jumhur. Hal ini lah yang menyebabkan orang orang syiah tidak suka disebut sebagai Rafidhah.10 Mereka menganggap bahwa penamaan ini berasal dari orang orang yang benci dengan ajaran syiah. Meskipun jika melihat keadaan mereka yang sebenarnya penamaan Rafidhah lebih tepat disematkan kepada mereka.

Selain itu juga penamaan syiah kepada mereka akan menimbulkan kerancuan. Sebab syiah sendiri terpecah menjadi berkelompok kelompok, yang diantaranya syiah zaidiyah, yang masih dekat dengan Ahlu Sunnah. Sehingga jika dimutlakan istilah syiah, maka akan mencakup seluruh aliran syiah, termasuk zaidiyah. Belum lagi jika kita melihat syiah diawal kemunculannya. Yang hanya mengedepankan Ali bin Abi Thalib dihadapan Utsman. Penamaan syiah secara mutlak kepada orang orang Rafidhah akan menjadikan munculnya kesalahpahaman sebagian orang. Dengan menganggap orang orang syiah diawal kemunculannya sama dengan orang orang Rafidhah saat ini.

Meskipun memang tidak bisa kita pungkiri, jika melihat realitasnya saat ini, tidaklah disebutkan nama syiah secara mutlak kecuali maknanya akan kembali kepada syiah Rafidhah. Hal tersebut selain karena syiah Rafidhah ajarannya mereprentasikan akidah kelompok syiah yang lainnya secara umum, juga jika melihat sumber ajaran mereka yang disebutkan dalam hadis dan riwayat yang tercantum dalam kitab kitab mereka, telah mencakup ajaran berbagai macam kelompok syiah dalam berbagai kurun waktu dimasa perkembangannya.11

Maka jikapun hendak menggunakan kata syiah, sebaiknya disertai dengan kata yang khusus menunjukan kepada mereka orang orang Rafidhah. Baik menyebutnya dengan syiah Rafidhah, atau syiah imamiyah, atau syiah itsna asyariyah, ataupun syiah ja’fariyah. Yang merupakan nama lain dari syiah Rafidhah.12

Wallahu ‘Alam bis Showab

Bersambung insya Allah….

***

Catatan kaki

1 Lihat An Nisa ayat 115

2 Lihat Al An’am : 55

3 HR. Bukhori : 3606

4 Ushul madzhabis Syiah, Dr. Nashir Al Qifari (Dar Khulafaur Rosyidin, Cet 1; 1433 H) hal. 27

5 Lihat perbedaan para ulama dan krittikannya dalam ushul madhabis Syiah, hal. 35-45

6 Diantara definisi yang paling mendekati kebenaran adalah definisi As Syahrstani, beliau berkata, “syiah adalah mereka yang mengikuti Ali Radhiyallahu ‘Anhu secara khusus. Meyakini kepemimpinan dan kekhalifahannya secara nash dan wasiat, baik secara terang terangan maupun sembunyi sembunyi. Dan meyakini bahwa kepemimpinan tidak lepas dari keturunannya. Jika kemudian keluar dari keturunannya, maka itu terjadi karena kedholiman dari orang lain atau taqiyah darinya. Mereka mengatakan bahwa kepemimpinan bukanlah masalah kemaslahatan yang dilakukan berdasarkan pemilihan umum dan diberlakukan oleh umum. Namun imamah merupakan masalah pokok dan rukun agama yang tidak boleh bagi para rosul menyepelekan dan melalaikannya, juga tidak boleh menyerahkannya kepada masyarakat umum. (Lihat : Al Milal Wan Nihal 6/146)

7 Dan memang salaf dahulu berbeda pendapat mana yang lebih mulia antara Utsman dan Ali. Namun perbedaan ini termasuk dalam ranah ijtihad. Bukan merupakan masalah pokok dalam ajaran islam. sehingga karenanya kesalahan dalam masalah ini tidak menjadikan seseorang sesat. Para sahabatpun ketika itu tidak saling menyesatkan. (lihat penjelasan hal ini dalam Aqidah Wasathiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)

8 Yang karenanya meskipun mereka dinamakan syiah, pada hakekatnya mereka adalah ahlu sunnah wal jama’ah. (Ushul Madzhabis Syiah, hal. 56)

9 Lihat Aqidatur Rafidhah Wa Mauqifuhum Min Ahlis Sunnah, Dr Ibrohim Ar Ruhaili, (Darun Nasihah, Cet 1; 1432 H) Hal. 15-17

10 Fikrul Khowarij Was Syiah Fie Miizani Ahlus Sunnah, Dr Ali As Shalabi (Darul Andalus, Cet 1; 1429 H0 Hal. 100

11 Lihat Ushul Madzhabils Syiah hal 88

12 Fikrul Khowarij Was Syiah, hal. 101

Penulis: Muhammad Singgih Pamungkas

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/25664-mengenal-syiah-antara-syiah-dan-rafidhah.html

Rasa Cemburu Seorang Kepala Keluarga

Kita mungkin pernah menjumpai seorang kepala rumah tangga yang tidak mempunyai rasa cemburu dan tidak marah meskipun istri dan anaknya melakukan kemaksiatan kepada Allah Ta’ala. Dia hanya mendiamkan semua perbuatan maksiat tersebut. Inilah laki-laki dayyuts yang dicela oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ثَلَاثَةٌ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ، وَالْمَرْأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ، وَالدَّيُّوثُ

”Tiga jenis manusia yang tidak dilihat oleh Allah pada hari kiamat: 1) orang yang durhaka kepada kedua orang tua, 2) wanita yang menyerupai lelaki, dan 3) dayyuts.” (HR. An-Nasa’i no. 2562, Ahmad 2: 134. Hadis ini disahihkan oleh Adz-Dzahabi rahimahullah)

Dayyuts adalah seorang lelaki (suami atau kepala rumah tangga) yang membiarkan dan mendiamkan istrinya ketika melakukan perbuatan maksiat. Dirinya tidak memiliki rasa cemburu dan juga tidak memiliki rasa marah sama sekali ketika melihat dan mengetahui perbuatan jelek tersebut.

Seorang suami bisa saja membiarkan sang istri berbuat maksiat karena berbagai sebab dan alasan. Bisa jadi karena rasa cinta dan rasa sayang kepada istri yang sangat dalam. Atau karena suami mempunyai utang kepada istrinya dan dirinya belum bisa membayarnya. Atau karena suami menggantungkan hidup dari harta istri. Atau karena sebab-sebab lainnya sehingga dia tidak lagi memiliki kewibawaan di hadapan istrinya. Pada hakikatnya, status suami tersebut berada di bawah kendali sang istri. Suami model seperti inilah yang disebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai lelaki dayyuts.

Sungguh tidak tepat sikap sebagian suami yang hanya fokus dalam mencari harta (nafkah). Mereka menyibukkan diri dengan berbagai macam aktivitas pekerjaan dari pagi hingga petang, sehingga mereka pun lalai dengan anak, istri, dan keluarganya. Padahal hendaknya dia menyisihkan sebagian pikiran dan tenaga untuk mendidik anak dan istri, agar mereka senantiasa berada dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)

Menjaga diri dan istri dari neraka tidaklah mungkin direalisasikan, kecuali dengan mendidik mereka di atas ketaatan dan ibadah kepada Allah Ta’ala. Berdasarkan ayat ini, Allah Ta’ala telah memberikan tanggung jawab yang berkaitan dengan mendidik anggota keluarga kepada para suami (kepala keluarga). Allah tidak memerintahkan suami untuk menjaga dirinya sendiri saja. Akan tetapi, juga menjaga diri sendiri dan juga anggota keluarga mereka.

Sungguh mengherankan, seandainya ketika ada api di dunia yang hampir mengenai sedikit saja anggota badan anak dan istrinya, niscaya dia akan berusaha semaksimal mungkin untuk mencegah hal tersebut. Lalu, mengapa mereka tidak berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan anak dan istrinya dari api neraka yang panasnya berkali lipat dari api dunia?

Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban setiap kepala rumah tangga untuk mengawasi gerak-gerik dirinya sendiri, anak, serta istrinya. Sang suami hendaknya mengawasi ke mana mereka pergi, dengan siapa saja mereka pergi, untuk keperluan apa mereka pergi, siapa sahabat (teman dekat) anaknya, dan seterusnya. Sehingga seorang kepala rumah tangga mengetahui dengan persis bagaimanakah kondisi dan keadaan anak dan istrinya. Jika mereka berbuat baik, maka kita puji dan apresiasi mereka. Sehingga mereka senantiasa termotivasi untuk terus berbuat kebaikan. Sebaliknya, jika mereka hendak melakukan perbuatan yang tidak baik atau perbuatan maksiat, kita ingkari dan cegah mereka. Kita pun nasihati mereka agar kembali kepada jalan yang benar.

Jika seseorang suami tidak melaksanakan tugasnya tersebut, lalu siapa lagi yang akan mengurusi mereka? Apakah mereka membiarkan anak-anaknya seperti dedaunan, yang dibiarkan saja sehingga mereka bisa tertiup angin pemikiran yang menyesatkan, memiliki tujuan hidup yang menyimpang, dan akhlak yang menghancurkan?

Akibatnya, akan muncul dari laki-laki dayyuts, sebuah generasi rusak yang tidak mempunyai perhatian terhadap hak Allah dan hak manusia yang lain. Mereka tidak mengetahui perbuatan mana yang termasuk dalam perbuatan yang baik (makruf) dan perbuatan mana yang termasuk dalam perbuatan mungkar. Generasi seperti ini adalah generasi yang terbebas dari segala belenggu, kecuali dari belenggu syahwat saja. Keadaan seperti inilah yang merupakan akibat yang akan terjadi jika para suami tidak melakukan kewajiban mereka untuk mendidik anak dan keluarganya.

Agar anak-anak senantiasa patuh dan taat kepada kita (kepala keluarga), hendaklah suami tidak meremehkan perintah Allah Ta’ala berkaitan dengan mereka ketika mereka masih kecil. Jangan biarkan anak-anak tersebut berbuat bebas semaunya seperti yang mereka inginkan sejak mereka masih kecil. Kita luangkan waktu untuk duduk berkumpul dengan anak-anak, meskipun untuk makan siang atau makan malam. Kita ajak mereka untuk beribadah ke masjid atau menghadiri pengajian. Hendaknya kita bertanya kepada anak, untuk apa uang saku yang telah diberikan? Dengan perhatian semacam itu, semoga anak-anak kita mau tunduk, taat, dan mau menerima nasihat-nasihat kita. Tentunya, hidayah hanyalah milik Allah Ta’ala semata.

Ketika suami bertakwa kepada Allah Ta’ala dengan melakukan perintah-Nya untuk mendidik anak-anak pada saat mereka masih kecil, semoga urusan dunia dan akhirat kita akan menjadi semakin baik. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماً

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah mendapatkan kemenangan yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 70-71)

***

@Rumah Kasongan, 12 Dzulhijjah 1444/ 1 Juli 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

Disarikan dari penjelasan Ustaz Dr. Aris Munandar, SS., MPI., ketika membaca kitab Al-Kabair, karya Adz-Dzahabi rahimahullah (dosa kedua puluh tujuh).

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85937-rasa-cemburu-seorang-kepala-keluarga.html

4 Macam Hidayah Menurut Ibnu Qayyim

Artikel di bawah ini akan menjelaskan 4 macam hidayah menurut Ibnu Qayyim al Jauziah. Hidayah secara bahasa mempunyai arti petunjuk dan bimbingan. Sedangkan hidayah secara istilah adalah petunjuk yang sangat halus yang dapat mengantarkan manusia kepada jalan kebenaran dan kebaikan.

Syekh Muhammad bin Ahmad bin Salim As-Sifaarini Al-Hanbali dalam karyanya Ghidzaul Albab Syarhu Mandhumatil Adab Juz, 1, halaman 30, mengutip pernyataan Ibnu Qayyim. Menurut penuturan Ibnu Qayyim bahwa hidayah terbagi menjadi empat bagian:

Pertama, hidayah umum yang diperuntukkan bagi manusia dan hewan. Hidayah untuk manusia, yaitu, bisa bersemangat dalam melakukan kebajikan dan pengabdian kepada Allah SWT. Sedangkan hidayah kepada hewan, yaitu, bisa bergerak atau melata di muka bumi, dengan tujuan untuk memperoleh makanan dan bisa terhindar dari mara bahaya.

 Manusia dan hewan mereka saling menyukai kepada lawan jenisnya, sehingga mereka dapat berkembang dan mempunyai keturunan, itu semua karena hidayah atau petunjuk dari Allah. Allah SWT berfirman:

 الَّذِيْٓ اَعْطٰى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهٗ ثُمَّ هَدٰى

Artinya:  “Yang telah memberikan bentuk kejadian kepada segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk.” (QS. Taha: 50)

Kedua, hidayah mengetahui dalil-dalil. Orang-orang yang mengetahui dalil-dalil dapat membedakan kebaikan dan kejelekan. Dan dengan hidayah mengetahui dalil-dalil ia dapat mengetahui jalan keberuntungan dan jalan kesesatan.

Allah SWT berfirman:

وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus”. (QS. Asy-Syura : 52)

Ketiga, hidayah pertolongan dan ilham. Hidayah ini, diperuntukkan kepada orang-orang yang dikehendaki atau dipilih oleh Allah SWT. Dalam artian hidayah pertolongan dan ilham adalah hak prerogatif Allah SWT.

Allah SWT, berfirman: 

فَإِنَّ ٱللَّهَ يُضِلُّ مَن يَشَآءُ وَيَهْدِى مَن يَشَآءُ

Artinya: “Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya“.(QS. Fatir: 8)

Keempat, hidayah di masukkan ke surga atau di masukkan ke neraka. Hidayah ini, adalah hidayah pemungkas, karena semua manusia nanti di akhirat hanya ada dua pilihan, kalau tidak masuk surga, pasti masuk neraka. Oleh karena itu, perbanyaklah berbuat kebajikan dan jauhi larangan supaya kelak kita dimasukkan ke dalam surga. 

Demikian penjelasan terkait 4 macam hidayah menurut Ibnu Qayyim al Jauziah. Semoga bermanfaat. Wallahu’ A’lam Bissawab.

BINCANG SYARIAH

Sudah Berdoa dan Shalat Dhuha, Tapi Rejeki Masih Sempit, Apa yang Salah?

Ada yang mengatakan bahwa shalat dhuha merupakan shalat yang dapat melancarkan rejeki. Dari mana asal pemahaman ini? Pemahaman ini tidak sepenuhnya salah karena ada sandaran hadistnya.

Dari Nu’aim bin Hammar al-Ghatha faniu, Rasulullah bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Wahai anak Adam, janganlah engkau tinggalkan empat raka’at shalat di awal siang (di waktu Dhuha). Maka itu akan mencukupimu di akhir siang.” (HR. Ahmad, 5: 286; Abu Daud, no. 1289; At Tirmidzi, no. 475; Ad Darimi, no. 1451).

Hadist tersebut seringkali dijadikan sandaran tentang keistimewaan shalat dhuha. Shalat Dhuha dilakukan dari jam 7 pagi sebelum seseorang mulai melakukan kegiatan duniawi hingga sebelum dhuhur.

Meski diidentikkan dengan ibadah pembuka rejeki, namun pada kenyataannya banyak kita jumpai seseorang yang melakukan ibadah shalat dhuha dan berdoa tiada henti, tetapi masih dalam keadaan kekurangan.

Lantas mengapa hal tersebut bisa terjadi, bukankah apapun yang telah dijanjikan Allah maka akan dipenuhi-Nya?

Seorang hamba tentu dilarang untuk berprasangka buruk kepada Allah, terlebih jika tidak mempercayai apapun yang telah dijanjikannya. Karena itulah penting memahami dan mengerti maksud dari apa yang telah dijanjikan olehNya.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi, mengapa seseorang meski telah berdoa dan menjalankan ibadah shalat dhuha, namun tetap saja rejeki yang didapatkan terbilang biasa aja atau bahkan kurang.

Faktor pertama, karena umat tersebut mengharapkan sesuatu pada selain Allah.

Masih ada keraguan dan ketidakyakinan sehingga menggantungkan harapan kepada selain Allah.  Dalam al-Quran Allah berfirman, “Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (Al-Insyirah: 8)

Sebagai manusia kita hendaknya menggantungkan semua harapan hanya kepada Allah. Jadi jika menjalankan Shalat Dhuha hanya bertujuan untuk melapangkan rejeki harta atau uang belaka, maka ketahuilah kalian termasuk umat yang tidak memasrahkan urusan kepada Allah.

Kedua, masih mengkonsumsi makanan yang haram untuk dikonsumsi sebagai umat muslim.

Tentu saja, sebagai seorang muslim kita memiliki larangan-larangan akan apa makanan yang boleh kita makan dan tidak boleh kita makan. Memakan makanan yang haram entah dalam bentuk fisiknya maupun cara memperolehnya akan membuat terhambatnya doa harapan rejeki yang kita dapatkan.

Hadits dari Ibnu Abbas bahwa Sa’ad bin Abi Waqash berkata kepada Nabi SAW, “Ya Rasulullah, doakanlah aku agar menjadi orang yang dikabulkan doa-doanya oleh Allah”. Apa jawaban Rasulullah SAW, “Wahai Sa’ad perbaikilah makananmu (makanlah makanan yang halal) niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan doanya.

Ketiga, menyinggung perasaan orang tua 

Tentu kita tahu bahwasanya ridha Allah merupakan ridha orang tua. Dengan menyinggung dan menyakiti hati orang tua terlebih ibu akan mampu memutuskan rejeki kita.

Itulah mengapa kita sebagai seorang anak penting untuk menghormati, menjaga, menyayangi, dan merawat orang tua dengan sepenuh hati. Jika kita mendapatkan rejeki lebih, ingatlah kepada orang tua, berikan sebagian rejeki yang kita dapatkan kepada orang tua, dengan membahagiakan orang tua insyaallah, Allah akan membuka pintu rejeki kita lebar-lebar.

ISLAMKAFFAH

Kisah Dzun Nun Al-Mishri Dituduh Sesat

Di masa kepemimpinan Khalifah Al-Mutawakkil Alallah, ada seorang tokoh ulama sufi yang dianggap sesat, bahkan dituduh kafir zindiq, ulama sufi tersebut yaitu, Syekh Dzun Nun Al-Mishri. Artikel ini akan mengulik kisah Dzun Nun Al-Mishri dituduh sesat.

Imam Adz-Dzahabi dalam karyanya Siyar A’lam an-Nubala Juz, 11 Hlm. 533, mengisahkan tentang badai fitnah yang menimpa Syekh Dzun Nun Al-Mishri. Ungkapan Syekh Dzun Nun Al-Mishri tentang ilmu tasawuf dan maqam-maqam kewalian, dianggap sesat oleh sebagian penduduk kota Mesir.

Diantara orang yang menyatakan sesat atas pemikiran Syekh Dzun Nun Al-Mishri, yaitu, gubernur Mesir yang bernama Abdullah bin Abdul Hakim. Ia menyatakan, “Syekh Dzun Nun Al-Mishri mengada-ngada, pemikirannya tidak sama dengan para ulama yang mendahuluinya”.

Khalifah Al-Mutawakkil Alallah memerintahkan kepada gubernur Mesir itu, untuk menananyakan tentang aqidah Syekh Dzun Nun Al-Mishri, bahkan Syekh Dzun Nun Al-Mishri direncanakan untuk dibunuh, karena ia dianggap menyimpang dan menyesatkan.

Akhirnya Syekh Dzun Nun Al-Mishri dipanggil ke istana untuk menghadap kepada Khalifah Al-Mutawakkil Alallah. Kemudian Khalifah Al-Mutawakkil Alallah berkata, “Wahai Dzun Nun jelaskan padaku tentang ciri-ciri-ciri waliyulllah (kekasih Allah)”. Syekh Dzun Nun Al-Mishri menjawab:

يا أمير المؤمنين، هم قوم ألبسهم الله النور الساطع من محبته، وجللهم بالبهاء من إرادة كرامته، ووضع على مفارقهم تيجان مسرته

Artinya; Wahai Amirul mukminin, mereka adalah kaum yang diberi Allah nur  yang terang benderang dari kecintaan Allah kepada mereka. Dan Allah memuliakan mereka dari kehendak kemuliaan Allah, dan Allah memberikan atas keterasingan mereka mahkota kebahagiaannya.

Mendengar ungkapan Syekh Dzun Nun Al-Mishri, Khalifah Al-Mutawakkil Alallah tertarik dan mencintai Syekh Dzun Nun Al-Mishri, bahkan kalau diceritakan tentang orang-orang sholeh di hadapan Khalifah Al-Mutawakkil, maka ia menyebut nama Syekh Dzun Nun Al-Mishri.

Amru bin Sarah berkata kepada Syekh Dzun Nun Al-Mishri, “Sebab apa kamu bisa bebas dari ancaman Khalifah Al-Mutawakkil Alallah, ia sudah memerintahkan untuk membunuhmu”. Syekh Dzun Nun Al-Mishri menjawab,

 “Saat itu aku berdoa! Wahai Dzat, yang tiada tetes di lautan, tiada hembusan angin yang bertiup, tiada tambang di dalam perut bumi, tiada siratan hati, kecuali semuanya itu, merupakan tanda kebesaranmu.

Dan semuanya bersaksi atas kehebatanmu, dan mengakui akan ketuhanan. Maka dengan kuasamu yang mampu menjalankan bumi dan langit, berikanlah rahmat ta’dzim kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, dan tundukkanlah hati Khalifah al-Mutawakkil Alallah kepadaku”. 

Demikian kisah Dzun Nun Al-Mishri dituduh sesat. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam Bishawab.

BINCANG SYARIAH