Fikih Haji (5): Larangan Ketika Ihram

Larangan ihram yang seandainya dilakukan oleh orang yang berhaji atau berumroh, maka wajib baginya menunaikan fidyah, puasa, atau memberi makan. Yang dilarang bagi orang yang berihram adalah sebagai berikut:

  1. Mencukur rambut dari seluruh badan (seperti rambut kepala, bulu ketiak, bulu kemaluan, kumis dan jenggot).
  2. Menggunting kuku.
  3. Menutup kepala dan menutup wajah bagi perempuan kecuali jika lewat laki-laki yang bukan mahrom di hadapannya.
  4. Mengenakan pakaian berjahit yang menampakkan bentuk lekuk tubuh bagi laki-laki seperti baju, celana dan sepatu.
  5. Menggunakan harum-haruman.
  6. Memburu hewan darat yang halal dimakan. Yang tidak termasuk dalam larangan adalah: (1) hewan ternak (seperti kambing, sapi, unta, dan ayam), (2) hasil tangkapan di air, (3) hewan yang haram dimakan (seperti hewan buas, hewan yang bertaring dan burung yang bercakar), (4) hewan yang diperintahkan untuk dibunuh (seperti kalajengking, tikus dan anjing), (5) hewan yang mengamuk (Shahih Fiqh Sunnah, 2: 210-211)
  7. Melakukan khitbah dan akad nikah.
  8. Jima’ (hubungan intim). Jika dilakukan sebelum tahallul awwal (sebelum melempar jumroh Aqobah), maka ibadah hajinya batal. Hanya saja ibadah tersebut wajib disempurnakan dan pelakunya wajib menyembelih seekor unta untuk dibagikan kepada orang miskin di tanah suci. Apabila tidak mampu, maka ia wajib berpuasa selama sepuluh hari, tiga hari pada masa haji dan tujuh hari ketika telah kembali ke negerinya. Jika dilakukan setelah tahallul awwal, maka ibadah hajinya tidak batal. Hanya saja ia wajib keluar ke tanah halal dan berihram kembali lalu melakukan thowaf ifadhoh lagi karena ia telah membatalkan ihramnya dan wajib memperbaharuinya. Dan ia wajib menyembelih seekor kambing.
  9. Mencumbu istri di selain kemaluan. Jika keluar mani, maka wajib menyembelih seekor unta. Jika tidak keluar mani, maka wajib menyembelih seekor kambing. Hajinya tidaklah batal dalam dua keadaan tersebut (Taisirul Fiqh, 358-359).

Tiga keadaan seseorang melakukan larangan ihram

  1. Dalam keadaan lupa, tidak tahu, atau dipaksa, maka tidak ada dosa dan tidak ada fidyah.
  2. Jika melakukannya dengan sengaja, namun karena ada uzur dan kebutuhan mendesak, maka ia dikenakan fidyah. Seperti terpaksa ingin mencukur rambut (baik rambut kepala atau ketiaknya), atau ingin mengenakan pakaian berjahit karena mungkin ada penyakit dan faktor pendorong lainnya.
  3. Jika melakukannya dengan sengaja dan tanpa adanya uzur atau tidak ada kebutuhan mendesak, maka ia dikenakan fidyah ditambah dan terkena dosa sehingga wajib bertaubat dengan taubat yang nashuhah (tulus).

Pembagian larangan ihram berdasarkan hukum fidyah yang dikenakan

  1. Yang tidak ada fidyah, yaitu akad nikah.
  2. Fidyah dengan seekor unta, yaitu jima’ (hubungan intim) sebelum tahallul awwal, ditambah ibadah hajinya tidak sah.
  3. Fidyah jaza’ atau yang semisalnya, yaitu ketika berburu hewan darat. Caranya adalah ia menyembelih hewan yang semisal, lalu ia memberi makan kepada orang miskin di tanah haram. Atau bisa pula ia membeli makanan (dengan harga semisal hewan tadi), lalu ia memberi makan setiap orang  miskin dengan satu mud, atau ia berpuasa selama beberapa hari sesuai dengan jumlah mud makanan yang harus ia beli.
  4. Selain tiga larangan di atas, maka fidyahnya adalah memilih: [1]  berpuasa tiga hari, [2] memberi makan kepada 6 orang miskin, setiap orang miskin diberi 1 mud dari burr (gandum) atau beras, [3] menyembelih seekor kambing. (Al Hajj Al Muyassar, 68-71)

Catatan:

  1. Jika wanita yang berniat tamattu’ mengalami haidh sebelum thowaf dan takut luput dari amalan haji, maka ia berihram dan meniatkannya menjadi qiron. Wanita haidh dan nifas melakukan seluruh manasik selain thowaf di Ka’bah.
  2. Wanita adalah seperti laki-laki dalam hal larangan-larangan saat ihram kecuali dalam beberapa keadaan: (1) mengenakan pakaian berjahit, wanita tetap boleh mengenakannya selama tidak bertabarruj (memamerkan kecantikan dirinya), (2) menutup kepala, (3) tidak menutup wajah kecuali jika terdapat laki-laki non mahram.
  3. Orang yang berihram maupun tidak berihram diharamkan memotong pepohonan dan rerumputan yang ada di tanah haram. Hal ini serupa dengan memburu hewan, jika dilakukan, maka ada fidyah. Begitu pula dilarang membunuh hewan buruan dan menebang pepohonan di Madinah, namun tidak ada fidyah jika melanggar hal itu.

Kaedah dalam masalah menggunakan harum-haruman ketika ihram

  1. Boleh menghirup bau tanaman yang memiliki aroma yang harum. Hal ini disepakati oleh para ulama.
  2. Boleh menghirup bau sesuatu yang memiliki aroma harum dan mengkonsumsinya seperti buah-buahan yang dimakan atau digunakan sebagai obat. Hal ini juga disepakati oleh para ulama.
  3. Jika sesuatu yang tujuan asalnya digunakan untuk parfum (harum-haruman) dan memang digunakan untuk maksud tersebut seperti minyak misik, kapur barus, minyak ambar, dan za’faron, maka ada fidyah jika digunakan ketika berihram.
  4. Jika sesuatu yang tujuan asalnya digunakan untuk parfum, namun digunakan untuk maksud lain, maka hal ini pun terkena fidyah (An Nawazil fil Hajj, 198).

Hal-hal yang dibolehkan ketika ihram

  1. Mandi dengan air dan sabun yang tidak berbau harum.
  2. Mencuci pakaian ihram dan mengganti dengan lainnya.
  3. Mengikat izar (pakaian bawah atau sarung ihram).
  4. Berbekam.
  5. Menutupi badan dengan pakaian berjahit asal tidak dipakai.
  6. Menyembelih hewan ternak (bukan hewan buruan).
  7. Bersiwak atau menggosok gigi walau ada bau harum dalam pasta giginya selama bukan maksud digunakan untuk parfum.
  8. Memakai kacamata.
  9. Berdagang.
  10. Menyisir rambut.

Tahallul

Tahallul artinya keluar dari keadaan ihram. Tahallul ada dua macam: (1) tahallul awwal (tahallul shugro), dan (2) tahalluts tsani (tahallul kubro).

Tahallul awwal ketika telah melakukan: (1) lempar jumroh pada hari Nahr (10 Dzulhijjah), (2) mencukur atau memendekkan rambut. Jika telah tahallul awwal, maka sudah boleh melakukan seluruh larangan ihram (seperti memakai minyak wangi), memakai pakaian berjahit dan yang masih tidak dibolehkan adalah yang berkaitan dengan istri.

Tahalluts tsani ditambah dengan melakukan thowaf ifadhoh (yang termasuk thowaf rukun). Ketika telah tahalluts tsani, maka telah halal segala sesuatu termasuk jima’ (hubungan intim) dengan istri (Fiqhus Sunah, 1: 500).

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/10165-fikih-haji-5-larangan-ketika-ihram.html

Fikih Haji (4): Wajib Haji

Wajib Haji

Ada beberapa wajib haji:

  1. Ihram dari miqot.
  2. Wukuf di Arafah hingga Maghrib bagi yang wukuf di siang hari.
  3. Mabit di malam hari nahr (malam 10 Dzulhijjah) di Muzdalifah pada sebagian besar malam yang ada.
  4. Mabit di Mina pada hari-hari tasyriq.
  5. Melempar jumroh secara berurutan.
  6. Mencukur habis atau memendekkan rambut.
  7. Thowaf wada’.

Jika wajib haji ditinggalkan, maka harus menunaikan dam.

Wajib pertama: Ihram dari miqot

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan tempat-tempat miqot, beliau bersabda,

هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ ، مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ ، وَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ ، حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ

Itulah ketentuan masing-masing bagi setiap penduduk negeri-negeri tersebut dan juga bagi mereka yang bukan penduduk negeri-negeri tersebut jika hendak melakukan ibadah haji dan umroh. Sedangkan mereka yang berada di dalam batasan miqot, maka dia memulai dari kediamannya, dan bagi penduduk Mekkah, mereka memulainya dari di Mekkah.” (HR. Bukhari no. 1524 dan Muslim no. 1181)

Wajib kedua: Wukuf di Arafah hingga maghrib bagi yang mulai wukuf di siang hari

Karena dalam hadits Jabir yang menceritakan cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan manasik, beliau wukuf di Arafah hingga waktu Maghrib.

Wajib ketiga: Mabit di Muzdalifah

Alasan wajibnya hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan mabit di Muzdalifah. Begitu pula Allah Ta’ala memerintahkan berdzikir di Masy’aril haram (Muzdalifah) dalam ayat,

فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ

Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril haram (Muzdalifah)” (QS. Al Baqarah: 198).

Dalam hadits Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,

أَنَا مِمَّنْ قَدَّمَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – لَيْلَةَ الْمُزْدَلِفَةِ فِى ضَعَفَةِ أَهْلِهِ

Aku adalah di antara orang yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulukan pada malam Muzdalifah karena kondisi lemah keluarganya.” (HR. Bukhari no. 1678 dan Muslim no. 1295)

Mabit di Muzdalifah termasuk wajib haji. Jika ditinggalkan tanpa ada uzur, maka ada kewajiban dam. Namun kalau meninggalkannya karena ada uzur, maka tidak ada dam. Imam Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu’ (8: 136) berkata, “Wajib menunaikan dam bagi yang meninggalkan mabit (di Muzdalifah) jika kita katakan bahwa mabit di sana adalah wajib. Dam di sini ditunaikan bagi orang yang meninggalkannya tanpa adanya uzur. Adapun yang mengambil wukuf di Arafah hingga malam hari nahr (malam 10 Dzulhijjah), ia sibuk dengan wukufnya sampai meninggalkan mabit di Muzdalifah, maka tidak ada kewajiban apa-apa untuknya. Hal inilah yang disepakati ulama Syafi’iyah.”

Jadi barangsiapa yang tidak mampu masuk Muzdalifah hingga terbit matahari (keesokan harinya) karena jalanan macet (misalnya) dan sulitnya bergerak, juga tidak ada cara lain untuk pergi ke sana (seperti dengan berjalan kaki) karena khawatir pada diri, keluarga dan harta, maka ia tidak dikenai kewajiban dam karena adanya uzur. Demikian fatwa dari Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin dan Al Lajnah Ad Daimah (Lihat An Nawazil fil Hajj, 407-408).

Yang disebut telah melakukan mabit di Muzdalifah adalah bila telah bermalam di sebagian besar malam, bukan hanya selama separuh malam atau kurang dari itu. Di antara dalilnya adalah di mana Asma’ binti Abi Bakr mabit di Muzdalifah hingga bulan hilang, yaitu sekitar sepertiga malam terakhir dan bukan pada pertengahan malam. Dan juga seseorang dinamakan bermalam jika ia bermalam hingga waktu Shubuh atau hingga sebagian besar malam ia lewati (Lihat An Nawazil fil Hajj, 409-410).

Dari penjelasan ini, jika bus jama’ah haji hanya melewati Muzdalifah tanpa diam hingga sebagian besar malam dan tanpa adanya uzur, maka ia berarti meninggalkan mabit di Muzdalifah hingga sebagian besar malam dan wajib membayar dam (Lihat An Nawazil fil Hajj, 416-417).

Wajib keempat: Melempar Jumroh

Yang dimaksud di sini adalah melempar jumroh ‘Aqobah pada tanggal 10 Dzulhijah, melempar tiga jumroh lainnya di hari tasyriq (hari ke-11, 12 atau 13 jika masih tetap di Mina). Allah Ta’ala berfirman,

وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang (hari tasyriq). Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.” (QS. Al Baqarah: 203).

Yang dimaksud berdzikir di sini adalah dengan bertakbir ketika melempar jumroh (Tafsir Al Jalalain, 41). Pada tanggal 10 Dzulhijjah adalah saat melempar jumroh Aqobah dan dilakukan setelah terbit matahari. Sedangkan pada hari-hari tasyriq adalah waktu melempar tiga jumroh lainnya (mulai dari jumroh ula, lalu jumroh wustho dan jumroh aqobah) dan waktunya dimulai setelah matahari tergelincir ke barat (waktu zawal).

Wajib kelima: Mabit di Mina pada Hari-Hari Tasyriq

Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermalam (mabit) di Mina selama hari-hari tasyriq. Mabit ini dilakukan pada hari-hari tasyriq (ke-11, 12, dan 13 bagi yang masih ingin tetap di Mina). Yang disebut mabit adalah dilakukan pada sebagian besar malam baik dimulai dari awal malam atau dari tengah malam (Al Minhaj lii Muridil Hajj wal ‘Umroh, 133).

Wajib keenam: Mencukur atau Memendekkah Rambut

Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal ini dalam sabdanya,

وَلْيُقَصِّرْ ، وَلْيَحْلِلْ

Pendekkanlah rambut dan bertahallul-lah.” (HR. Bukhari no. 1691 dan Muslim no. 1227)

Mencukur atau memendekkan merupakan ibadah wajib dan akan membuat orang yang berhaji dianggap telah halal dari berbagai larangan ihram. Mencukur rambut di sini adalah bentuk merendahkan diri pada Allah karena telah menghilangkan rambut yang menjadi hiasan dirinya. Allah Ta’ala telah menyifati hamba-hamba-Nya yang sholeh,

مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ

Dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya” (QS. Al Fath: 27). Mencukur (halq) adalah menggunakan silet (muws), sedangkan menggunakan alat cukur selain itu berarti hanya memendekkan (taqshir). Mencukur rambut di sini boleh diakhirkan hingga akhir hari nahr (10 Dzulhijjah). Namun jangan diundur setelah itu karena sebagian ulama katakan seperti itu akan terkena dam (Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, 134-135).

Rambut dinamakan dicukur atau dipendekkan jika diambil dari semua rambut, bukan hanya mengambil tiga rambut atau sekitar itu. Yang terakhir ini bukan dinamakan halq (mencukur) atau qoshr (memendekkan) (Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, 135).

Sedangkan wanita cukup memotong satu ruas jari dari ujung rambutnya yang telah dikumpulkan (Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, 135).

Wajib ketujuh: Thowaf Wada’

Thowaf wada’ artinya thowaf ketika meninggalkan Ka’bah. Thowaf wada’ tidak ada roml di dalamnya (Fiqih Sunnah, 1: 518-519). Hukum thowaf ini adalah wajib karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal ini. Bagi yang meninggalkan thowaf wada’, maka ia dikenai dam. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَنْفِرَنَّ أَحَدٌ حَتَّى يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِ بِالْبَيْتِ

Janganlah seseorang pergi (meninggalkan Makkah), sampai akhir dari ibadah hajinya adalah thowaf di Ka’bah” (HR. Muslim no. 1327).

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma juga berkata,

أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ إِلاَّ أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ الْمَرْأَةِ الْحَائِضِ

Orang-orang diperintah agar akhir urusan ibadah hajinya adalah dengan thowaf di Ka’bah kecuali ada keringanan bagi wanita haidh.”(HR. Muslim no. 1328).

Sebagian ulama –seperti Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah, mufti Saudi Arabia sebelumnya- berkata bahwa thowaf ifadoh itu sudah bisa mencukupi thowaf wada’ . Namun jika melakukan thowaf ifadhoh sendiri, lalu thowaf wada’, maka itu adalah kebaikan demi kebaikan. Tetapi, jika dicukupkan dengan salah satunya, maka itu pun sudah cukup (Majmu’ Fatawa wa Maqolat Mutanawwi’ah, jilid ke-17).

Namun yang lebih hati-hati dalam hal ini adalah tetap mengerjakan thowaf ifadhoh sendiri dan thowaf wada’ sendiri. Karena thowaf wada’ itu berada di akhir setelah semua manasik selesai, sedangkan setelah thowaf ifadhoh mesti melakukan sa’i bagi yang belum menunaikan sa’i haji. Pendapat terakhir ini yang kami rasa lebih hati-hati (Mawqi’ Islam Web, fatwa no. 58685).

Thowaf wada’ ini dilakukan oleh selain penduduk Makkah. Adapun penduduk Makkah dan wanita haidh tidak disyari’atkan melakukan thowaf wada’ dan tidak ada kewajiban apa-apa (Fiqih Sunnah, 1: 519).

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/10163-fikih-haji-4-wajib-haji.html

Fikih Haji (3): Rukun Haji

Rukun Haji

  1. Ihram
  2. Thowaf ifadhoh
  3. Sa’i
  4. Wukuf di Arafah

Jika salah satu dari rukun haji ini tidak ada, maka haji yang dilakukan tidak sah.

Rukun pertama: Ihram

Rukun haji yang pertama adalah ihram. Yang dimaksud dengan ihram adalah niatan untuk masuk dalam manasik haji. Siapa yang meninggalkan niat ini, hajinya tidak sah. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)

Wajib ihram mencakup:

  1. Ihram dari miqot.
  2. Tidak memakai pakaian berjahit (yang menunjukkan lekuk badan atau anggota tubuh). Laki-laki tidak diperkenankan memakai baju, jubah, mantel, imamah, penutup kepala, khuf atau sepatu (kecuali jika tidak mendapati khuf). Wanita tidak diperkenankan memakai niqob (penutup wajah) dan sarung tangan.
  3. Bertalbiyah.

Sunnah ihram:

  1. Mandi.
  2. Memakai wewangian di badan.
  3. Memotong bulu kemaluan, bulu ketiak, memendekkan kumis, memotong kuku sehingga dalam keadaan ihram tidak perlu membersihkan hal-hal tadi, apalagi itu terlarang saat ihram.
  4. Memakai izar (sarung) dan rida’ (kain atasan) yang berwarna putih bersih dan memakai sandal. Sedangkan wanita memakai pakaian apa saja yang ia sukai, tidak mesti warna tertentu, asalkan tidak menyerupai pakaian pria dan tidak menimbulkan fitnah.
  5. Berniat ihram setelah shalat.
  6. Memperbanyak bacaan talbiyah.

Mengucapkan niat haji atau umroh atau kedua-duanya, sebaiknya dilakukan setelah shalat, setelah berniat untuk manasik. Namun jika berniat ketika telah naik kendaraan, maka itu juga boleh sebelum sampai di miqot. Jika telah sampai miqot namun belum berniat, berarti dianggap telah melewati miqot tanpa berihram.

Lafazh talbiyah:

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ.لَبَّيْكَ لَا شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ.إِنَّ الحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالمُلْكُ.لاَ شَرِيْكَ لَكَ

Labbaik Allahumma labbaik. Labbaik laa syariika laka labbaik. Innalhamda wan ni’mata, laka wal mulk, laa syariika lak”. (Aku menjawab panggilan-Mu ya Allah, aku menjawab panggilan-Mu, aku menjawab panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu,  aku menjawab panggilan-Mu. Sesungguhnya segala pujian, kenikmatan dan kekuasaan hanya milik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu). Ketika bertalbiyah, laki-laki disunnahkan mengeraskan suara.

Rukun kedua: Thowaf Ifadhoh (Thowaf Ziyaroh)

Thowaf adalah mengitari Ka’bah sebanyak tujuh kali. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ

Dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS. Al Hajj: 29)

Syarat-syarat thowaf:

  1. Berniat ketika melakukan thowaf.
  2. Suci dari hadats (menurut pendapat mayoritas ulama).
  3. Menutup aurat karena thowaf itu seperti shalat.
  4. Thowaf dilakukan di dalam masjid walau jauh dari Ka’bah.
  5. Ka’bah berada di sebelah kiri orang yang berthowaf.
  6. Thowaf dilakukan sebanyak tujuh kali putaran.
  7. Thowaf dilakukan berturut-turut tanpa ada selang jika tidak ada hajat.
  8. Memulai thowaf dari Hajar Aswad.

Sunnah-sunnah ketika thowaf, yaitu:

  1. Ketika memulai putaran pertama mengucapkan, “Bismillah, wallahu akbar. Allahumma iimaanan bika, wa tashdiiqon bi kitaabika, wa wafaa-an bi’ahdika, wat tibaa’an li sunnati nabiyyika Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Dan setiap putaran bertakbir ketika bertemu Hajar Aswad bertakbir “Allahu akbar”.
  2. Menghadap Hajar Aswad ketika memulai thowaf dan mengangkat tangan sambil bertakbir ketika menghadap Hajar Aswad.
  3. Memulai thowaf dari dekat dengan Hajar Aswad dari arah rukun Yamani. Memulai thowaf dari Hajar Aswad itu wajib. Namun memulainya dengan seluruh badan dari Hajar Aswad tidaklah wajib.
  4. Istilam (mengusap) dan mencium Hajar Aswad ketika memulai thowaf dan pada setiap putaran. Cara istilam adalah meletakkan tangan pada Hajar Aswad dan menempelkan mulut pada tangannya dan menciumnya.
  5. Roml, yaitu berjalan cepat dengan langkah kaki yang pendek. Roml ini disunnahkan bagi laki-laki, tidak bagi perempuan. Roml dilakukan ketika thowaf qudum (kedatangan) atau thowaf umroh pada tiga putaran pertama.
  6. Idh-tibaa’, yaitu membuka pundak sebelah kanan. Hal ini dilakukan pada thowaf qudum (kedatangan) atau thowaf umroh dan dilakukan oleh laki-laki saja, tidak pada perempuan.
  7. Istilam (mengusap) rukun Yamani. Rukun Yamani tidak perlu dicium dan tidak perlu sujud di hadapannya. Adapun selain Hajar Aswad dan Rukun Yamani, maka tidak disunnahkan untuk diusap.
  8. Berdo’a di antara Hajar Aswad dan Rukun Yamani. Dari ‘Abdullah bin As Saaib, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata di antara dua rukun: Robbanaa aatina fid dunya hasanah wa fil aakhirooti hasanah, wa qinaa ‘adzaban naar (Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami kebaikan di dunia dan di akhirat, serta selamatkanlah kami dari adzab neraka).” (HR. Abu Daud no. 1892. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
  9. Berjalan mendekati Ka’bah bagi laki-laki dan menjauh dari Ka’bah bagi perempuan.
  10. Menjaga pandangan dari berbagai hal yang melalaikan.
  11. Berdzikir dan berdo’a secara siir (lirih).
  12. Membaca Al Qur’an ketika thowaf tanpa mengeraskan suara.
  13. Beriltizam pada Multazam. Ini dilakukan dalam rangka mencontoh Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam di mana beliau beriltizam dengan cara menempelkan dadanya dan pipinya yang kanan, kemudian pula kedua tangan dan telapak tangan membentang pada dinding tersebut. Ini semua dalam rangka merendahkan diri pada pemilik rumah tersebut yaitu Allah Ta’ala. Multazam juga di antara tempat terkabulnya do’a berdasarkan hadits yang derajatnya hasan. Kata Syaikh As Sadlan (Taisirul Fiqih, 347-348), “Berdo’a di multazam disunnahkan setelah selesai thowaf dan multazam terletak  antara pintu Ka’bah dan Hajar Aswad.”
  14. Melaksanakan shalat dua raka’at setelah thowaf di belakang maqam Ibrahim. Ketika itu setelah membaca Al Fatihah pada raka’at pertama, disunnahkan membaca surat Al Kafirun dan rakaat kedua, disunnahkan membaca surat Al Ikhlas. Ketika melaksanakan shalat ini, pundak tidak lagi dalam keadaan idh-tibaa’.
  15. Minum air zam-zam dan menuangkannya di atas kepala setelah melaksanakan shalat dua raka’at sesudah thowaf.
  16. Kembali mengusap Hajar Aswad sebelum menuju ke tempat sa’i.

Catatan:

  1. Ulama Syafi’iyah berkata, “Jika idh-tibaa’ dan roml dilakukan saat thowaf qudum kemudian melakukan sa’i setelah itu, maka idh-tibaa’ dan roml tidak perlu diulangi lagi dalam thowaf ifadhoh. Namun jika sa’i (haji) diakhirkan hingga thowaf ifadhoh, maka disunnahkan melakukan idh-tibaa’ dan roml ketika itu (Fiqih Sunnah, 1: 480).
  2. Tidak ada bacaan dzikir atau do’a tertentu untuk setiap putaran saat thowaf. Sebagian jama’ah menganjurkan demikian, namun tidak ada dalil pendukung dalam hal ini, bahkan sering memberatkan.

Rukun ketiga: Sa’i

Sa’i adalah berjalan antara Shofa dan Marwah dalam rangka ibadah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اسْعَوْا إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ السَّعْىَ

Lakukanlah sa’i karena Allah mewajibkan kepada kalian untuk melakukannya.” (HR. Ahmad 6: 421. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits tersebut hasan).

Syarat sa’i:

  1. Niat.
  2. Berurutan antara thowaf, lalu sa’i.
  3. Dilakukan berturut-turut antara setiap putaran. Namun jika ada sela waktu sebentar antara putaran, maka tidak mengapa, apalagi jika benar-benar butuh.
  4. Menyempurnakan hingga tujuh kali putaran.
  5. Dilakukan setelah melakukan thowaf yang shahih.

Sunnah-sunnah sa’i:

  1. Ketika mendekati Shofa, mengucapkan, “Innash shofaa wal marwata min sya’airillah. Abda-u bimaa badaa-allahu bih.”
  2. Berhenti sejenak di antara Shafa untuk berdo’a. Menghadap kiblat lalu mengucapkan, “Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qodiir. Laa ilaha illallahu wahdah, shodaqo wa’dah wa nashoro ‘abdah wa hazamal ahzaaba wahdah.”  Ketika di Marwah melakukan hal yang sama.
  3. Berlari kencang antara dua lampu hijau bagi laki-laki yang mampu.
  4. Berdo’a dengan do’a apa saja di setiap putaran, tanpa dikhususkan dengan do’a, dzikir atau bacaan tertentu.
  5. Berturut-turut sa’i dilakukan setelah thowaf, tidak dilakukan dengan selang waktu yang lama kecuali jika ada uzur yang dibenarkan.

Rukun keempat: Wukuf di Arafah

Wukuf di Arafah adalah rukun haji yang paling penting. Siapa yang luput dari wukuf di Arafah, hajinya tidak sah. Ibnu Rusyd berkata, “Para ulama sepakat bahwa wukuf di Arafah adalah bagian dari rukun haji dan siapa yang luput, maka harus ada haji pengganti (di tahun yang lain).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْحَجُّ عَرَفَةُ

Haji adalah wukuf di Arafah.” (HR. An Nasai no. 3016, Tirmidzi no. 889, Ibnu Majah no. 3015. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Yang dimaksud wukuf adalah hadir dan berada di daerah mana saja di Arafah, walaupun dalam keadaan tidur, sadar, berkendaraan, duduk, berbaring atau berjalan, baik pula dalam keadaan suci atau tidak suci (seperti haidh, nifas atau junub) (Fiqih Sunnah, 1: 494). Waktu dikatakan wukuf di Arafah adalah waktu mulai dari matahari tergelincir (waktu zawal) pada hari Arafah (9 Dzulhijjah) hingga waktu terbit fajar Shubuh (masuk waktu Shubuh) pada hari nahr (10 Dzulhijjah). Jika seseorang wukuf di Arafah selain waktu tersebut, wukufnya tidak sah berdasarkan kesepakatan para ulama (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 17: 49-50).

Jika seseorang wukuf di waktu mana saja dari waktu tadi, baik di sebagian siang atau malam, maka itu sudah cukup. Namun jika ia wukuf di siang hari, maka ia wajib wukuf hingga matahari telah tenggelam. Jika ia wukuf di malam hari, ia tidak punya keharusan apa-apa. Madzab Imam Syafi’i berpendapat bahwa wukuf di Arafah hingga malam adalah sunnah (Fiqih Sunnah, 1: 494).

Sayid Sabiq mengatakan, “Naik ke Jabal Rahmah dan meyakini wukuf di situ afdhol (lebih utama), itu keliru, itu bukan termasuk ajaran Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (Fiqih Sunnah, 1: 495)

Itulah 4 rukun haji yang wajib dilakukan agar haji yang kita lakukan sah. Allahu a’lam.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/10114-fikih-haji-3-rukun-haji.html

Fikih Haji (2): Tiga Cara Manasik Haji

Haji dapat dilakukan dengan memilih salah satu dari tiga cara manasik:

  1. Ifrod, yaitu meniatkan haji saja ketika berihram dan mengamalkan haji saja setelah itu.
  2. Qiron, yaitu meniatkan umroh dan haji sekaligus dalam satu manasik. Wajib bagi yang mengambil tata cara manasik qiron untuk menyembelih hadyu.
  3. Tamattu’, yaitu berniat menunaikan umroh saja di bulan-bulan haji, lalu melakukan manasik umroh dan bertahalul. Kemudian diam di Makkah dalam keadaan telah bertahalul. Kemudian ketika datang waktu haji, melakukan amalan haji. Wajib bagi yang mengambil tata cara manasik tamattu’ untuk menyembelih hadyu.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Telah terdapat ijma’ (kesepakatan para ulama) bolehnya memilih melakukan salah satu dari tiga cara manasik: ifrod, tamattu’ dan qiron, tanpa dikatakan makruh. Namun yang diperselisihkan para ulama adalah manakah tata cara manasik yang afdhol (lebih utama).” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8: 169)

Mengenai kewajiban hadyu bagi yang mengambil tata cara manasik qiron dan tamattu’ disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,

فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ

Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) hadyu (qurban) yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang qurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.” (QS. Al Baqarah: 196).

Wajibnya hadyu bagi yang mengambil manasik qiron dan tamattu’ adalah berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama.

Manakah dari tiga tata cara manasik tersebut yang lebih utama? Dalam hadits mengenai tata cara manasik haji Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan bahwa beliau bersabda,

لَوْ أَنِّى اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِى مَا اسْتَدْبَرْتُ لَمْ أَسُقِ الْهَدْىَ وَجَعَلْتُهَا عُمْرَةً فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ لَيْسَ مَعَهُ هَدْىٌ فَلْيَحِلَّ وَلْيَجْعَلْهَا عُمْرَةً

Jikalau aku mengetahui apa yang akan terjadi pada diriku maka aku tidak akan membawa hewan hadyu dan aku akan jadikan ihramku ini umrah, maka barangsiapa dari kalian yang tidak bersamanya hewan hadyu maka hendaklah dia bertahallul dan menjadikannya sebagai umrah.” (HR. Muslim no. 1218). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan para sahabat untuk memilih tamattu’ dan berkeinginan dirinya sendiri melakukannya. Tidaklah beliau memerintahkan dan berkeinginan kecuali menunjukkan tamattu’ itu afdhol (lebih utama) (Fiqhus Sunnah, 1: 447-448).  Selain itu, manasik dengan tamattu’ itu lebih banyak amalannya dan lebih mudah secara umum (Syarhul Mumthi’, 7: 76-77)

Catatan: Dam yang dikeluarkan untuk manasik qiron dan tamattu’ adalah dalam rangka syukur dan bukan dalam rangka menutup kekurangan saat manasik (Ar Rafiq fil Hajj, 35).

Problem: Dalam tata cara manasik tamattu’ telah disebutkan bahwa umroh dilakukan terlebih dahulu sebelum haji. Artinya ia melakukan ritual umrah dahulu yang di dalamnya terdapat thowaf umrah dan sa’i umrah. Setelah itu ia bertahallul dengan sebelumnya memendekkan rambut. Lantas bagaimana jika sebelum wukuf di Arafah, seseorang terhalangi tidak bisa melakukan umrah? Pilihannya adalah mengganti niat hajinya dari tamattu’ menjadi qiran. Contoh dalam kasus ini adalah wanita yang telah berihram dari miqot dengan niat tamattu’. Lantas ia mengalami haidh atau nifas sebelum ia melakukan thowaf umrah. Ia barulah suci ketika datang waktu wukuf di Arafah. Artinya, ia belum sempat melakukan umrah pada haji tamattu’nya. Pada saat itu, ia mengganti niatnya menjadi niatan qiron, dan ia terus dalam keadaan berihram. Ia tetap melakukan rukun dan kewajiban haji lainnya selain thowaf di Ka’bah. Karena ia baru dibolehkan thowaf jika ia telah suci dan telah mandi (Al Minhaj li Muriidil Hajj wal ‘Umroh, 31-34).

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/10110-fikih-haji-2-tiga-cara-manasik-haji.html

Fikih Haji (1): Hukum dan Syarat Haji

Sudah tahukah anda tentang hukum dan syarat haji? Simak penjelasannya di artikel berikut ini. Barakallahu fiikum.

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Bahasan ini sengaja kami susun bagi kaum muslimin yang akan menunaikan haji, barangkali tahun ini atau tahun-tahun akan datang. Materi ini amatlah ringkas, yang kami sarikan dari beberapa buku haji. Semoga kami pun bisa mengambil manfaat dari apa yang kami susun. Bahasan ini dibagi menjadi delapan pembahasan:

  1. Hukum dan syarat haji
  2. Tiga cara manasik haji
  3. Rukun haji
  4. Wajib haji
  5. Larangan ketika ihram
  6. Miqot
  7. Amalan-amalan haji
  8. Kesalahan-kesalahan ketika haji

Mari kita bahas bagian pertama yaitu hukum dan syarat haji.

Hukum Haji

Hukum haji adalah fardhu ‘ain, wajib bagi setiap muslim yang mampu, wajibnya sekali seumur hidup. Haji merupakan bagian dari rukun Islam. Mengenai wajibnya haji telah disebutkan dalam Al Qur’an, As Sunnah dan ijma’ (kesepakatan para ulama).

1. Dalil Al Qur’an

Allah Ta’ala berfirman,

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali Imron: 97).

Ayat ini adalah dalil tentang wajibnya haji. Kalimat dalam ayat tersebut menggunakan kalimat perintah yang berarti wajib. Kewajiban ini dikuatkan lagi pada akhir ayat (yang artinya), “Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”. Di sini, Allah menjadikan lawan dari kewajiban dengan kekufuran. Artinya, meninggalkan haji bukanlah perilaku muslim, namun perilaku non muslim.

2. Dalil As Sunnah

Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ

Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mengaku Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji dan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16).

Hadits ini menunjukkan bahwa haji adalah bagian dari rukun Islam. Ini berarti menunjukkan wajibnya.

Dari Abu Hurairah, ia berkata,

« أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحُجُّوا ». فَقَالَ رَجُلٌ أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَسَكَتَ حَتَّى قَالَهَا ثَلاَثًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah di tengah-tengah kami. Beliau bersabda, “Wahai sekalian manusia, Allah telah mewajibkan haji bagi kalian, maka berhajilah.” Lantas ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah setiap tahun (kami mesti berhaji)?” Beliau lantas diam, sampai orang tadi bertanya hingga tiga kali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Seandainya aku mengatakan ‘iya’, maka tentu haji akan diwajibkan bagi kalian setiap tahun, dan belum tentu kalian sanggup.” (HR. Muslim no. 1337).

Sungguh banyak sekali hadits yang menyebutkan wajibnya haji hingga mencapai derajat mutawatir (jalur yang amat banyak) sehingga kita dapat memastikan hukum haji itu wajib.

3. Dalil Ijma’ (Konsensus Ulama)

Para ulama pun sepakat bahwa hukum haji itu wajib sekali seumur hidup bagi yang mampu. Bahkan kewajiban haji termasuk perkara al ma’lum minad diini bidh dhoruroh (dengan sendirinya sudah diketahui wajibnya) dan yang mengingkari kewajibannya dinyatakan kafir.

Syarat Wajib Haji

  1. Islam
  2. Berakal
  3. Baligh
  4. Merdeka
  5. Mampu

Kelima syarat di atas adalah syarat yang disepakati oleh para ulama. Sampai-sampai Ibnu Qudamah dalam Al Mughni berkata, “Saya tidak mengetahui ada khilaf (perselisihan) dalam penetapan syarat-syarat ini.” (Al Mughni, 3:164)

Catatan:

  1. Seandainya anak kecil berhaji, maka hajinya sah. Namun hajinya tersebut dianggap haji tathowwu’ (sunnah). Jika sudah baligh, ia masih tetap terkena kewajiban haji. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama (baca: ijma’).
  2. Syarat mampu bagi laki-laki dan perempuan adalah: (a) mampu dari sisi bekal dan kendaraan, (b) sehat badan, (c) jalan penuh rasa aman, (d) mampu melakukan perjalanan.
  3. Mampu dari sisi bekal mencakup kelebihan dari tiga kebutuhan: (1) nafkah bagi keluarga yang ditinggal dan yang diberi nafkah, (2) kebutuhan keluarga berupa tempat tinggal dan pakaian, (3) penunaian utang.
  4.  Syarat mampu yang khusus bagi perempuan adalah: (1) ditemani suami atau mahrom, (2) tidak berada dalam masa ‘iddah.

Syarat Sah Haji

  1. Islam
  2. Berakal
  3. Miqot zamani, artinya haji dilakukan di waktu tertentu (pada bulan-bulan haji), tidak di waktu lainnya. ‘Abullah bin ‘Umar, mayoritas sahabat dan ulama sesudahnya berkata bahwa waktu tersebut adalah bulan Syawwal, Dzulqo’dah, dan sepuluh hari (pertama) dari bulan Dzulhijjah.
  4. Miqot makani, artinya haji (penunaian rukun dan wajib haji) dilakukan di tempat tertentu yang telah ditetapkan, tidak sah dilakukan tempat lainnya. Wukuf dilakukan di daerah Arafah. Thowaf dilakukan di sekeliling Ka’bah. Sa’i dilakukan di jalan antara Shofa dan Marwah. Dan seterusnya.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/10091-fiqih-haji-1-hukum-dan-syarat-haji.html

Hukum Sai Menggunakan Kursi Roda Saat Mampu Berjalan

Bagaimana hukum sai menggunakan kursi roda saat mampu berjalan? Sai merupakan salah satu rukun ibadah haji yang dilakukan dengan berjalan diantara bukit shafa dan marwah sebanyak 7 kali.

Ibadah ini sekaligus merupakan pengingat akan syiar Allah sebagaimana dijelaskan dalam surah al-Baqarah [2]: 158,

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ ۖ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا ۚ وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ

“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber’umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui”.

Hukum Sai Menggunakan Kursi Roda Saat Mampu Berjalan

Dalam perkembangan pelaksanaan ibadah haji saat ini, kita dihadapkan pada kenyataan dimana ada sebagian jamaah haji yang melaksanakan sa’i, yang sebenarnya ia mampu untuk berjalan, namun memilih menggunakan kursi roda.

Persoalan menggunakan kursi roda dalam pelaksanaan ibadah sa’i ini jika kita lihat pada referensi fikih klasik, sama halnya dengan hukum seseorang yang menggunakan kendaraan di masa lalu, baik itu unta, kuda, keledai, dan lainnya.

Dalam persoalan tersebut, mazhab Syafi’iyah menyatakan hal ini tidak bermasalah. Hanya saja ketika dilakukan dengan tanpa adanya uzur, maka hukumnya menyalahi tatacara yang utama (khilâf al-aulâ).

Pendapat Syafi’iyah ini dilatarbelakangi oleh kenyataan sejarah bahwa Rasulullah pernah juga melaksanakan sa’i dengan kendaraan, tidak dengan berjalan kaki. Pendapat Syafi’iyah ini senada dengan imam Malik dan imam ‘Atho.

Berbeda dengan keterangan yang dicetuskan Imam Mujahid. Menurutnya, jika tidak ada dalam kondisi dlarurat, maka sa’i harus dilakukan dengan berjalan kaki. Sementara imam Abu Hanifah memberikan argumen yang lebih berat dengan cara membebankan kewajiban untuk mengulangi sa’i jika masih mungkin mengulanginya.

Jika tak lagi memungkinkan mengulanginya, maka pelaksana sa’i dengan eskalator harus membayar dam setelah ia kembali ke tanah airnya. Penjelasan tersebut bisa kita simak dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab (j. 8 h. 77),

(فرع) ذكرنا أن مذهبنا أنه لو سعى راكباً جاز ولا يقال مكروه لكنه خلاف الأولى ولا دم عليه وبه قال أنس بن مالك وعطاء ومجاهد قال ابن المنذر وكره الركوب عائشة وعروة وأحمد وإسحاق، وقال أبو ثور لا يجزئه ويلزمه الإعادة وقال مجاهد لا يركب إلا لضرورة وقال أبو حنيفة إن كان بمكة أعاده ولا دم وإن رجع إلى وطنه بلا إعادة لزمه دم دليلنا الحديث الصحيح السابق أن النبى صلى الله عليه وسلم سعى راكب

“(Cabangan Masalah) Kami menuturkan bahwasanya madzhab kami (Syafiiyah) menyebutkan bahwasanya jika seseorang melaksanakan sa’i dengan menaiki kendaraan, maka hukumnya boleh, dan tidak disebutkan bahwa hal tersebut makruh. Tetapi, hal itu khilaf aula (sebaiknya ditinggalkan), dan tidak ada dam yang diwajibkan padanya.

Hal ini selaras dengan pernyatan Anas bin Malik, ‘Atho, dan Mujahid. Ibnu Mundzir berkata: “Aisyah, Urwah, Ahmad, dan Ishaq Memakruhkan hal tersebut”. Abu Tsur berkata: “Sa’i menggunakan kendaraan tidak sah dan wajib mengulanginya”.

Mujahid berkata: “Tidak boleh naik kendaraan kecuali darurat”. Abu Hanifah berkata: “Jika ia berada di Makkah, maka ia wajib mengulanginya dan tidak ada kewajiban dam, kecuali jika ia telah kembali ke negaranya dan belum sempat mengulanginya, maka wajib baginya dam”. Dalil yang kami pakai dalam hal ini adalah hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW melaksanakan Sai dengan menggunakan kendaraan”.

Dengan demikian, kesimpulannya, hukum pelaksanaan sa’i dengan menggunakan kursi roda meski mampu berjalan kaki terjadi khilaf. Menurut Imam Abu Hanifah, hal tersebut tidak diperbolehkan, jika dilakukan, maka sa’i harus diulangi. Jika tidak lagi memungkinkan untuk mengulanginya, maka wajib membayar dam (denda).

Sedang menurut Imam Mujahid, diperbolehkan kalau memang ada hal hal yang mendesak (dlarurat). Dan menurut kalangan Syafi’iyah mutlak diperbolehkan, namun termasuk hal yang menyalahi keutamaan (khilâf al-aulâ).

Demikian penjelasan hukum sai menggunakan kursi roda saat mampu berjalan. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Doa Lengkap Jemaah Haji; Mulai dari Berangkat hingga Sampai ke Makkah

Adakah doa-doa yang bisa dibaca oleh jemaah haji ketika hendak berangkat dari rumah, selama di perjalanan, dan ketika sampai di Makkah? Jawabannya ada. Berikut ini adalah doa-doa dan beberapa amalan dan doa lengkap jemaah haji ketika hendak berangkat ke Makkah.

Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali (wafat 505 H) dalam salah satu karya monumentalnya mengatakan bahwa jemaah haji dianjurkan untuk melakukan shalat sunnah dan membaca doa-doa berikut ketika hendak berangkat menunaikan ibadah haji. Berikut tata cara dan bacaan doa lengkap jemaah haji:

Doa Lengkap Jemaah Haji
  1. Shalat Sunnah Dua Rakaat dan Doa

Amalan kedua yang dianjurkan bagi jemaah haji adalah shalat dua rakaat ketika hendak berangkat. Tata caranya adalah sebagaimana shalat sunnah pada umumnya. Hanya saja, pada rakaat pertama membaca  surat Al-Kafirun setelah membaca surat Al-Fatihah, dan membaca surat Al-Ikhlas di rakaat kedua setelah surat Al-Fatihah. Setelah shalat ini selesai, maka membaca doa berikut:

اللهم أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ وَأَنْتَ الْخَلِيْفَةُ فِي الْأَهْلِ وَالْمَالِ وَالْوَلَدِ وَالْأَصْحَابِ اِحْفَظْنَا وَإِيَّاهُمْ مِنْ كُلِّ آفَةٍ وَعَاهَةٍ اللهم إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي مَسِيْرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى اللهم إِنَّا نَسْأَلُكَ أَنْ تَطْوَى لَنَا الْأَرْضَ وَتُهَوِّنَ عَلَيْنَا السَّفَرَ وَأَنْ تَرْزُقَنَا فِي سَفَرِنَا سَلَامَةَ الْبَدَنِ وَالدِّيْنِ وَالْمَالِ وَتُبَلِّغَنَا حَجَّ بَيْتِكَ وَزِيَارَةَ قَبْرِ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Artinya, “Ya Allah, Engkau adalah kawan dalam perjalanan dan Engkau adalah penjaga keluarga, harta, anak, dan teman, selamatkan kami dan mereka dari setiap petaka dan penyakit. Ya Allah, dalam perjalanan ini kami memohon kepada-Mu kebaikan, ketakwaan, dan amal yang Engkau ridhai.

Ya Allah, dekatkan dan mudahkanlah perjalanan ini untuk kami. Anugerahkan pada kami dalam perjalanan ini keselamatan badan, agama, harta, serta sampaikanlah kami untuk menunaikan haji ke rumah-Mu dan menziarahi makam Nabi-Mu Muhammad saw.

Kemudian setelah selesai membaca doa ini, dan keluar hingga sampai pada pintu rumah sebelum melangkah keluar, maka dianjurkan membaca doa berikut:

بِسْمِ اللهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ وَلاَ حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ أَعُوْذُ بِاللهِ رَبِّ أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أَضِلَّ أَوْ أُضِلَّ أَوْ أَذِلَّ أَوْ أُذِلَّ أَوْ أَزِلَّ أَوْ أُزِلَّ أَوْ أَظْلَمَ أَوْ أُظْلِمَ أَوْ أَجْهَلَ أَوْ يُجْهَلَ عَلَيَّ اللهم إِنِّي لَمْ أَخْرُجْ أَشِرًا وَلاَ بَطَرًا وَلاَ رِيَاءً وَلاَ سُمْعَةً بَلْ خَرَجْتُ اتِّقَاءَ سَخَطِكَ وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِكَ وَقَضَاء فَرْضِكَ وَاتِّبَاعَ سُنَّةِ نَبِيِّكَ وَشَوْقًا إِلَى لِقَائِكَ

Artinya, “Dengan menyebut nama Allah, aku bertawakal kepada Allah, tidak ada daya dan kekuatan selain dengan pertolongan Allah. Tuhanku, aku berlindung kepada-Mu dari kesesatan dan yang menyesatkan, dari hina dan dihinakan, dari tergelincir dan yang digelincirkan, dari perbuatan zalim dan dizalimi, atau dari kebodohan dan memperbodoh.

Ya Allah, aku keluar bukan untuk kejelekan, tidak pula terburu-buru, tidak karena ingin dipuji dan pamer, tapi aku keluar untuk menjauhi amarah-Mu dan mengharap ridha-Mu, dan untuk menunaikan kewajiban-Mu, mengikuti sunnah Nabi-Mu, dank arena kerinduan ingin bertemu dengan-Mu.”

Setelah selesai membaca doa tersebut, dan sudah mulai melangkah keluar untuk meninggalkan rumah, maka dianjurkan membaca doa berikut:

للهم بِكَ انْتَشَرْتُ وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَبِكَ اعْتَصَمْتُ وَإِلَيْكَ تَوَجَّهْتُ اللهم أَنْتَ ثِقَتِي وَأَنْتَ رَجَائِيْ فَاكْفِنِيْ مَا أَهَمَّنِيْ وَمَا لاَ أَهْتَمُ بِهِ وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّيْ عَزَّ جَارُكَ وَجَلَّ ثَنَاؤُكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ اللهم زَوِّدْنِيْ التَّقْوَى وَاغْفِرْ لِيْ ذَنْبِيْ وَوَجَّهْنِيْ لِلْخَيْرِ أَيْنَمَا تَوَجَّهْتُ

Artinya, “Ya Allah, bersama-Mu aku pergi, kepada-Mu aku berserah diri, kepada-Mu aku berpegang teguh, dan untuk-Mu aku mengarahkan diriku. Ya Allah, Engkau adalah kepercayaanku, dan Engkau adalah harapanku, cukuplah apa yang penting bagiku, dan (juga) apa yang tidak aku angap penting, dan Engkau lebih mengetahui daripada aku tentang hal ini.

Sungguh mulia perlindunga-Mu, dan agung pujian kepada-Mu, tiada Tuhan selain Engkau. Ya Allah, tambahkanlah ketakwaan padaku, ampunilah dosaku, dan arahkan aku ke jalan kebaikan , kemana pun aku menuju.”

  1. Membaca Doa ketika Hendak Menaiki Kendaraan

Amalan yang dianjurkan selanjutnya adalah ketika hendak menaiki kendaraan. Dalam hal ini, orang-orang yang hendak menunaikan ibadah haji dianjurkan untuk membaca doa berikut:

بِسْمِ اللَّهِ وَبِاللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ، تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ، مَا شَاءَ اللَّهُ كَانَ، وَمَا لم يشاء لَمْ يَكُنْ، سُبْحَانَ اللَّهِ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ، وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ. اللهم إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيْ إِلَيْكَ وَفَوَّضْتُ أَمْرِيْ كُلَّهُ إِلَيْكَ وَتَوَكَّلْتُ فِي جَمِيْعِ أُمُوْرِيْ عَلَيْكَ أَنْتَ حَسْبِيْ وَنِعْمَ الْوَكِيْل

Artinya, “Dengan menyebut nama Allah, dengan (pertolongan) Allah, dan Allah Maha Besar. Aku berserah diri kepada Allah, taiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Mulia, dan Maha Agung. Apa yang Allah kehendaki, maka ia aka nada, dan apa yang tidak Dia kehendaki, maka tidak ada.

Mahasuci Allah, yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami. Ya Allah, sungguh aku menghadapkan wajahku kepada-Mu, dan memasrahkan semua urusanku kepada-Mu, aku berserah kepada-Mu dalam semua urusanku, Engkau yang mencukupiku dan dan sebaik-baik pelindung.”

Selanjutnya, setelah sempurna menaiki kendaraan, maka dianjurkan untuk membaca tasbih dan doa berikut:

سُبْحَانَ اللَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ

Artinya, “Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, tiada tuhan selain Allah, dan Allah Mahabesar.” Bacaan tasbih ini dibaca sebanyak tiga kali, kemudian membaca doa berikut:

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ اللهم أَنْتَ الْحَامِلُ عَلَى الظَّهْرِ وَأَنْتَ الْمُسْتَعَانُ عَلىَ الْأُمُوْرِ

Artinya, “Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kami ke (surga) ini. Kami tidak akan mendapat petunjuk sekiranya Allah tidak menunjukkan kami. Ya Allah, Engkau adalah Zat yang menanggung punggung, dan Engkaulah yang diminta pertolongan atas semua urusan.”

  1. Shalat Dua Rakaat dan Membaca Doa ketika Sampai

Sebagaimana dianjurkan shalat sunnah dua rakaat ketika hendak berangkat menunaikan ibadah haji, maka ketika sampai pada tempat tujuan pun juga dianjurkan untuk shalat sunnah dua rakaat sebagaimana shalat sunnah ketika hendak berangkat, kemudian membaca doa berikut:

أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ الَّتِى لاَ يُجَاوِزُهُنَّ بَرٌّ، وَلاَ فَاجِرٌ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ

Artinya, “Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, yang tidak dapat dijangkau orang yang baik dan yang jahat dari keburukan semua makhluk.”

Demikian penjelasan doa lengkap jemaah haji; mulai dari berangkat hingga sampai ke Makkah, yang bersumber dari Imam al-Ghazali dalam kitab karyanya, Ihya Ulumiddin, cetakan Beirut: Darul Ma’rifah, juz 1, halaman 247. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Solusi Jemaah Haji yang Tidak Bisa Mencium Hajar Aswad

Berikut ini adalah solusi bagi jemaah haji yang tidak bisa mencium  hajar aswad agar tetap mendapatkan kesunnahan menciumnya. Setiap jemaah haji disunnahkan ketika melakukan tawaf untuk mencium dan ber-istilam (menyentuh) hajar  aswad.

Pengertian istilam adalah menyentuh hajar aswad dengan tangan di setiap awal putaran tawaf. Kesunnahan tersebut didasarkan kepada hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya dari Sahabat Jabir Ra;

عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: طَافَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‌بِالْبَيْتِ ‌فِى ‌حَجَّةِ ‌الْوَدَاعِ عَلَى رَاحِلَتِهِ، يَسْتَلِمُ الْحَجَرَ بِمِحْجَنِهِ لأَنْ يَرَاهُ النَّاسُ، وَليُشْرِفَ وَلِيَسْأَلُوهُ، فَإِنَّ النَّاسَ غَشُوهُ.

Artinya; “Dari Jabir Ra ia berkata; ‘Pada saat haji wada` Rasulullah Saw tawaf di baitullah di atas kendaraan. Lalu Rasulullah Saw ber-istilam kepada hajar aswad dengan tongkatnya agar manusia bisa melihatnya dan mendekat sembari bertanya. Karena pada saat itu para jemaah mengerumuninya.” (HR. Muslim).

Lalu apakah ada solusi agar tetap mendapatkan keutamaan mencium batu hitam yang sangat didambakan oleh banyak orang? Mari simak penjelasannya.

Banyak sekali keterangan dalam literatur kitab fikih yang menjelaskan solusi yang bisa dilakukan oleh jemaah haji agar tetap mendapatkan keutamaan mencium dan istilam hajar aswad.

Salah satunya sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Abu Bakar Syatha Ad-Dimyathi dalam kitabnya I`anatut Thalibin;

فإن عجز عن التقبيل استلم بيده اليمنى، فإن عجز عنه فباليسرى، فإن عجز عن استلامه استلمه بنحو عود ثم قبل ما استلم به، فإن عجز عن استلامه أشار إليه بيده أو بشئ فيها ثم قبل ما أشار به.

Artinya; “Jika tidak mampu mencium (hajar aswad) maka beristilam dengan tangan kanannya, jika tak mampu dengan tangan kirinya, jika tidak mampu istilam dengan tangan, maka istilam dengan kayu kemudian mencium kayu yang digunakan istilam tersebut.

Jika sama sekali tak mampu  ber-istilam, maka istilam dengan isyarah tangan atau dengan sesuatu yang ada di tangan lalu menciumnya (barang yang digunakan isyarah).

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa solusi bagi jemaah haji yang sulit untuk mencium dan menyentuh langsung hajar aswad (istilam) maka cukup dengan berisyarah dengan tangan atau sesuatu yang lain dan lalu menciumnya. Wallahu a`lam.

BINCANG SYARIAH

Salat: Bagian dari Zikir yang Paling Utama

Bismillah.

Salah satu perkara yang tidak boleh luput dari perhatian kita setiap hari adalah wajibnya menunaikan salat lima waktu. Kewajiban menunaikan salat ini tentu bukan sekadar rutinitas atau kebiasaan. Lebih daripada itu, salat merupakan bentuk amalan yang sangat mulia dan menjadi sebab seorang hamba dicintai oleh Allah.

Disebutkan dalam hadis qudsi bahwa Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيهِ

“Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu amalan yang lebih Aku cintai daripada apa-apa yang telah Aku wajibkan kepadanya.” (HR. Bukhari)

Salat wajib lima waktu merupakan kewajiban yang sangat agung. Ia menempati kedudukan sebagai pilar dan rukun di dalam Islam. Sebuah pilar yang terpenting setelah dua kalimat syahadat.

Ketika mengutus sahabat Mu’adz ke Yaman, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَىْهِ شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ

“Hendaklah yang paling pertama kamu serukan kepada mereka adalah syahadat ‘laa ilaha illallah’ dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah …” (HR. Bukhari dan Muslim)

Yang paling pertama diajarkan adalah tauhid dan makna dari dua kalimat syahadat serta apa-apa yang menjadi pokok-pokok keimanan. Oleh sebab itu, dalam periode Makkah (sebelum hijrah) banyak ayat-ayat yang turun berkenaan dengan tauhid dan akidah, tentang iman kepada Allah dan hari akhir. Kewajiban salat pun baru turun pada akhir-akhir periode Makkah dalam peristiwa isra’ mi’raj yang sangat masyhur.

Salat merupakan bentuk zikir. Hal ini bisa kita pahami dari keterangan Sa’id bin Jubair rahimahullah. Beliau berkata,

الذكر طاعة الله فمن أطاع الله فقد ذكره، ومن لم يطعه فليس بذاكر وإن أكثر التسبيح وتلاوة القرآن

“Hakikat zikir adalah menaati Allah. Maka barangsiapa yang taat kepada Allah, sungguh dia telah berzikir (mengingat-Nya). Barangsiapa yang tidak taat kepada-Nya, maka dia bukanlah orang yang berzikir (dengan sebenarnya), meskipun dia banyak mengucapkan kalimat tasbih dan banyak membaca Al-Qur’an.” (dinukil dari Min A’lamis Salaf link: https://shamela.ws/book/37370/171)

Di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي

“Sesungguhnya Aku adalah Allah. Tiada yang berhak disembah, selain Aku. Maka, sembahlah Aku dan tegakkanlah salat untuk berzikir/mengingat-Ku.” (QS. Thaha: 14)

Al-Qurthubi rahimahullah menyebutkan salah satu penafsiran terhadap ayat ini. Beliau berkata, “Ada juga yang menafsirkan bahwa maknanya adalah peliharalah salat setelah tegaknya tauhid. Ini mengandung peringatan dan perhatian tentang betapa agung kedudukan tauhid karena di dalamnya terkandung perendahan diri dan ketundukan kepada Allah serta berdiri menghadap-Nya. Dengan demikian, maka salat merupakan bentuk dari zikir.” (dinukil dari Tafsir Al-Qurthubi link: https://quran.ksu.edu.sa/tafseer/qortobi/sura20-aya14.html)

Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Orang-orang yang beriman dan hatinya merasa tentram dengan mengingat Allah, ingatlah bahwa dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28)

Salat menempati kedudukan yang sangat agung dalam hati kaum mukminin. Tidak kurang lima kali dalam sehari semalam kaum muslimin menunaikan kewajiban salat. Dan setiap kali salat kita selalu membaca atau mendengar bacaan surat Al-Fatihah yang di dalamnya terkandung pokok-pokok ajaran Islam dan kunci-kunci kebaikan. Di dalam surat Al-Fatihah, kita memuji Allah, menyanjung, dan mengagungkan-Nya. Di dalamnya juga terkandung kecintaan, harapan dan rasa takut kepada Allah. Di dalamnya juga terkandung prinsip tauhid, bahwa kita hanya beribadah kepada Allah dan memohon pertolongan kepada-Nya. Di dalamnya juga terkandung doa yang paling bermanfaat, yaitu meminta hidayah untuk bisa berjalan di atas jalan yang lurus.

Kita juga mengetahui bahwa salah satu bentuk amal yang paling dicintai oleh Allah adalah yang dilakukan secara terus-menerus. Oleh sebab itu, zikir (dengan makna yang luas) termasuk amalan yang paling utama. Demikian juga salat. Bahkan, kalimat tauhid juga termasuk ucapan zikir yang paling utama dan cabang keimanan yang paling tinggi. Di dalam salat pun terkandung ketaatan kepada Allah dan ajaran tauhid, permunian ibadah kepada Allah. Tauhid ini pula yang menjadi perkara paling utama yang akan menyucikan jiwa-jiwa manusia. Syekh Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah menyebutkan di dalam kitabnya ‘Asyru Qawa’id fi Tazkiyatin Nafs (hal. 9) bahwa tauhid merupakan pokok dan landasan utama untuk menyucikan jiwa.

Apabila kita telah mengetahui bahwa salat merupakan bentuk zikir kepada Allah yang juga mengandung ajaran tauhid kepada-Nya dan bahwa salat itu akan memberikan ketenangan ke dalam hati kaum mukminin serta tauhid merupakan faktor utama yang akan membersihkan jiwa, maka dapatlah kita ambil kesimpulan bahwa ketenangan hati hanya akan diraih dengan tauhid, keikhlasan, dan bersihnya hati dari hal-hal yang mengotorinya. Oleh sebab itulah, kita diperintahkan untuk banyak-banyak berzikir dan sering-sering beristigfar. Dengan mengingat Allah, maka Allah akan mengingat kita, membantu urusan kita. Sedangkan dengan istigfar, maka Allah akan mengampuni dosa serta menjadi sebab bersihnya hati dari kotoran dan noda-noda kemaksiatan.

Banyak-banyak berzikir kepada Allah akan mendatangkan cinta kepada-Nya. Dan dengan banyak beristigfar, akan semakin menundukkan hati dan jiwa kita di hadapan Allah. Kecintaan dan perendahan diri kepada Allah inilah dua pilar utama yang menjadi pondasi tegaknya penghambaan kepada Allah. Kecintaan akan timbul dengan selalu memperhatikan betapa banyak curahan nikmat yang Allah berikan kepada kita. Sedangkan ketundukan dan perendahan diri kepada Allah akan semakin berkembang dengan selalu memperhatikan aib pada diri dan amal kita.

Demikian sedikit catatan faedah yang dapat kami sampaikan dari para ulama. Semoga Allah berikan taufik kepada kita untuk mengamalkan kebaikan yang telah kita ketahui. Dan kita juga berlindung kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85315-zikir-yang-paling-utama.html

Inilah Ciri Haji Mabrur menurut Para Ulama

Imam An-Nawawi berpendapat di antara tanda diterimanya haji seseorang adalah adanya perubahan menuju yang lebih baik setelah pulang dari Baitullah 

HAJI mernurut bahasa adalah menuju ke suatu tempat berulang kali atau menuju kepada sesuatu yang dibesarkan. Allah swt telah menjadikan Baitullah sebagai suatu tempat yang dituju manusia pada setiap tahun.

Allah swt. berfirman:

وَإِذْ جَعَلْنَا ٱلْبَيْتَ مَثَابَةً لِّلنَّاسِ وَأَمْنًا وَٱتَّخِذُوا۟ مِن مَّقَامِ إِبْرَٰهِۦمَ مُصَلًّى ۖ وَعَهِدْنَآ إِلَىٰٓ إِبْرَٰهِۦمَ وَإِسْمَٰعِيلَ أَن طَهِّرَا بَيْتِىَ لِلطَّآئِفِينَ وَٱلْعَٰكِفِينَ وَٱلرُّكَّعِ ٱلسُّجُودِ

“Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.” (QS: al-Baqarah: 125).

Baitullah adalah suatu tempat yang didatangi manusia pada setiap tahunnya. Lazimnya mereka yang sudah pernah mengunjungi Baitullah, timbul keinginan untuk kembali lagi yang kedua kalinya.

Maka haji menurut syara’ adalah mengunjungi Baitullah dengan sifat yang tertentu, di waktu tertentu, disertai oleh perbuatan-perbuatan yang tertentu pula.

Syariat Islam mewajibkan haji atas setiap mukallaf sekali dalam seumur hidup. Seluruh ulama sepakat menetapkan bahwasanya haji itu tidak berulang-ulang, sekali saja seumur hidup kecuali kalau dinazarkan.

Selain satu kali yang wajib, maka yang lebih dari satu kali dipandang sunah.

فِيْهِ اٰيٰتٌۢ بَيِّنٰتٌ مَّقَامُ اِبْرٰهِيْمَ ەۚ وَمَنْ دَخَلَهٗ كَانَ اٰمِنًا ۗ وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ

“Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” (QS: Ali Imran; 97

Ibadah haji adalah salah satu ibadah yang paling utama, berdasarkan hadits Rasulullah ﷺ:

عن أبي هريرة قال: سيل رسول الله : أي العمل أفضل؟ قال: (إيمان بالله و رسوله)، قيل: ثم ماذا؟ قال: الجهاد في سبيل الله، قيل: ثم

ماذا؟ قال: حج مبرور

“Dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu ia berkata: Rasulullah ditanya: “Amal ibadah apakah yang paling utama? Beliau bersabda: Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dikatakan (kepadanya): Kemudian apa? Beliau bersabda: Jihad dijalan Allah’. Dikatakan (kepadanya): Kemudian apa?’ Beliau bersabda: ‘Haji yang mabrur.” (HR: Al-Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Hurairah, RA Rasulullah ﷺ bersabda,

العمرةُ إلى العمرةِ كفَّارَةٌ لمَا بينَهمَا ، والحجُّ المبرورُ ليسَ لهُ جزاءٌ إلا الجنَّةُ

Antara satu umrah dengan umrah berikutnya terdapat penghapusan dosa-dosa di antara keduanya.  Haji yang mabrur, tidak ada pahala bagi pelakunya, melainkan surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Defenisi Mabrur menurut Ulama

Terdapat beberapa pandangan para ulama berkenaan dengan haji mabrur. Hal ini telah dinukilkan oleh Imam al-Syaukani (w. 1255 H) di dalam kitabnya Nail al-Authar.

Ibnu Khalawaih salah seorang pakar bahasa Arab berasal dari Yaman (w. 370H) berpendapat bahwa haji mabrur adalah haji yang maqbul (diterima oleh Allah SWT).

Ulama lain berpendapat bahwa ia adalah haji yang (pelaksanaannya) tidak dinodai oleh dosa. Pendapat ini dipilih dan dikuatkan oleh Imam al-Nawawi (w.676 H). Beliau adalah seorang ulama yang cukup memiliki otoritas di dalam Mazhab Syafi’i.

Menurut Imam al-Qurtubi (w. 671 H) pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh lain itu saling berdekatan maknanya. Kesimpulannya, haji yang mabrur adalah haji yang sempurna hukum-hukumnya sehingga terlaksana secara sempurna sebagaimana diperintah syarak.

Ciri Haji Mabrur

Rasulullah ﷺ bersabda, bahwa ganjaran terbaik bagi orang mendapatkan peringkat haji mabrur adalah surga.

الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ

Tidak ada balasan (yang pantas diberikan) bagi haji mabrur kecuali surga.” (HR: Bukhari).

Hanya saja, predikat haji mabrur itu adalah hak prerogratif Allah Swt. Kita hanya menerka berdasarkan ciri-ciri yang disampaikan hadis, atau para ulama.

Di antara ciri yang banyak diungkapkan adalah terjadinya perubahan signifikan dalam konteks ketawadhuan dan ketaatan kepada Allah Swt sepulang ibadah.

Selain itu, ia lebih banyak berdzikir dan berdoa kepada Allah Swt. Ini sangat sesuai dengan firman Tuhan:

فَإِذَا قَضَيْتُم مَّنَـسِكَكُمْ فَٱذْكُرواہ اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آَاَاءَاكُمْ وْ Aَ شَدَّ ذكْرً ۗ

“Maka apabila kamu telah selesai menunaikan ibadah hajimu, maka hendaklah kamu menyebut dan mengingat Allah (dengan mengagungkan-Nya) sebagaimana kamu dahulu menyebut (memuji) kakek nenekmu, bahkan dengan sebutan yang lebih banyak lagi.” (Surah al-Baqarah: 200).

Selain itu tanda berikutnya adalah memberi makan dan menyebarkan salam.

Dari Jabir dia berkata, “Rasulullah telah bersabda, haji mabrur tidak ada balasan baginya kecuali Surga.” Mereka (para sahabat bertanya), Ya Rasullah apa kebaikan dari haji mabrur? yaitu memberi makan dan menyebarkan salam.” (HR: Ahmad, 14482).

Dan, telah disebutkan pula beberapa ayat yang membahas hal ini, yakni: QS. al-Ma’idah [5]: ayat 2, dan QS. al-Baqarah [2]: ayat 224.

Pada riwayat dengan redaksi matan yang lain, Rasulullah bersabda: “Orang-orang yang berhaji dan berumrah adalah para tamu Allah, bila mereka berdo’a, Allah SWT akan mengabulkannya dan bila beristigfar Allah akan mengampuninya.” (HR: Nasa’I, Ibn Majah, Ibn Khúzaimah, dan Ibn Hibban).

Imam An-Nawawi berpendapat bahwa di antara tanda diterimanya haji seseorang adalah adanya perubahan menuju yang lebih baik setelah pulang dari pergi haji dan tidak membiasakan diri melakukan berbagai maksiat.

Dari ringkasan tulisan di atas; ada 3 (tiga) ciri atau tanda dari haji mabrur, yaitu:

1. lth’ämu ath-tha’am, yaitu memberi makan, peduli pada pengentasan kemiskinan dan masalah sosial kemasyarakatan.

2. Ifsyāu al-Salăm, senantiasa menebarkan salam dan kedamaian.

3. Thayyibu al-Kalāmi, yaitu bijak dalam bicara, santun dalam berbuat, dan baik dalam bersikap. Maksudnya bahwa ketika berbicara lemah lembut tidak menyakiti hati orang lain, menghormati dan menghargai pendapat orang lain dan berkepribadian luhur dan berakhlak mulia.

Selain itu juga yang merupakan tanda haji mabrur adalah:

  • Banyak mengingat Allah Swt
  • Amal perbuatannya lebih baik dari sebelum menunaikan ibadah
  • haji.
  • Melaksanakan shalat tepat waktu dan membiasakan shalat sunah.
  • Tabah dan sabar dalam menghadapi musibah, berlindung dan bertawakal kepada-Nya.
  • Berupaya mewujudkan kebahagiaan dalam keluarga.

Nabi ﷺ menggambarkan bahwa haji yang mabrur adalah lebih baik dari Jihad. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a.

Beliau pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ.

يَا رَسُولَ اللَّهِ نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ أَفَلَا نُجَاهِدُ قَالَ لَا لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ

Artinya: “Wahai Rasulullah, kami memandang jihad sebagai amalan yang paling baik. Apakah perlu bagi kita untuk berjihad? Baginda berkata “Tidak, tapi jihad terbaik adalah Haji Mabrur.” (HR: Bukhari 1423).

Dalam riwayat lain disebutkan:

يَا رَسُولَ اللَّهِ نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ أَفَلاَ نُجَاهِدُ مَعَكَ? قَالَ :« لاَ وَلَكُنَّ أَفْضَلُ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ

“Wahai Rasulullah , kami memandang jihad sebagai amalan yang paling baik. Apakah perlu bagi kami untuk berjihad  bersamamu? Nabi, , berkata: Tidak perlu, tapi jihad terbaik (untukmu) adalah Haji Mabrur.” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Kitab Sunan-nya).*

HIDAYATULLAH