Alasan Sahaya tak Wajib Haji

Seorang hamba sahaya tidak wajib melaksanakan ibadah haji karena ia sendiri tidak memiliki harta benda, bahkan, hartanya itu milik tuannya. Karena pada hakikatnya ibadah haji diwajibkan bagi hamba yang mampu secara mental, spiritual dan pendapatan.

Syaikh Sa’id bin Abdul Qadir Salim Basyanfar dalam kitabnya Al-Mughnie menuliskan pendapat Imam Nawawi yang menyampaikan alasan kenapa hamba sahaya tidak wajib haji. Alasan imam Nawawi ini disampaikannya dalam kitab al Majmu.

Menurutnya, seluruh umat telah sepakat bahwa seorang hamba sahaya tidak diwajibkan menunaikan ibadah haji. “Karena kemanfaatan yang ada pada dirinya itu adalah milik tuannya seandainya ia termasuk orang yang mampu,” katanya.

Akan tetapi kata Imam Nawawi, jika ia berhaji dengan atau tanpa izin tuannya, maka hajinya tetap sah. Ia menegaskan ketentuan ini tidak ada perbedaan pendapat dari kalangan ulama terdahulu.

“Dan ini tidak ada perbedaan di dalam mazhab kami tentang hal itu,” katanya.

Syaikh Sa’id bin Abdul Qadir Salim Basyanfar, membenarkan alasan Imam Nawawi karena haji merupakan ibadah yang memerlukan waktu  beberapa hari. Dengan melaksanakan haji, maka hak-hak tuannya yang ada kaitan dengan dirinya dapat terabaikan.

Sementara itu, Imam Ibnu Qudamah berkata dalam al Mughni, ‘Jika seorang anak kecil dan hamba sahaya naik haji, haji mereka berdua itu sah. Namun, haji itu tidak menggugurkan keduanya dari kewajiban menunaikan haji, setelah si anak kecil itu dewasa arau si hamba sahaya itu merdeka.

Kesimpulannya, bahwa merdeka merupakan syarat waijib haji. Ibadah haji tidak diwajibkan bagi siapa pun kecuali jika memenuhi lima syarat, yaitu muslim, berakal, balig, merdeka (bukanhamba sahaya), dan mampu.

Syarat utama kewajiban menunaikan haji adalah harus seorang muslim (beragama Islam). Oleh karena itu, orang kafir tidak diseru dan dituntut untuk melaksanakan syariat-syariat Islam sehingga tidak wajib bagi mereka dan tidak sah jika dilaksanakan.

Syarat kedua (dan ketiga) adalah harus berakal (danbaligh). Orang gila (dan anak kecil) tidak wajib melaksanakan perintah agama seperti dijelaskan dalam hadis dari Ali bin Abi Thalib Ra.

Dari Ali bin Abu Thalib ra. bahwa Rasululah SAW telah bersabda: “Pena itu diangkat (tidak dicatat amalan-amalan) bagi tiga kelompok muslin. Pertama, orang yang tidur hingga bangun, anak hinga dewasa, dan arang gila hingga sembuh berakal. (H.R Imam Abu Dawud, Imam Ibnu Majah dan Imam Tirmidji).

IHRAM

Berbakti pada Ibu, Mendatangkan Kasih Sayang Allah

BAGI seorang muslim, penghormatan kepada ibu termasuk bagian bakti kepada Allah SWT. Sebab Allah memerintahkan agar kita senantiasa berbakti kepada kedua orangtua, khususnya ibu. Sebaliknya, apabila kita kurang berbakti atau bahkan menyakiti hati dan perasaan ibu, maka kita mengundang murka Allah.

“Sembahlah Allah dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, dan terhadap kedua orang tua, ayah ibu harus berbakti (berbuat baik).” (QS. an-Nisa: 36)

Rasulullah saw mempertegas perintah Allah itu. Datanglah seseorang kepada Rasulullah dan bertanya, “Siapakah yang berhak aku layani sebaik-baiknya?” Jawab Rasul, “Ibumu.” “Kemudian siapa?” Jawab Rasul, “Ibumu.” “Kemudian siapa lagi?” Jawab Rasul, “Ibumu.” “Lalu siapa lagi?” Jawab Rasul, “Bapakmu.” (HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah ra)

Islam sangat besar perhatiannya terhadap nasib kaum ibu. Hal ini sekaligus menepis anggapan keliru kaum feminisme bahwa dalam Islam perempuan (baca: ibu) mempunyai tingkatan atau derajat di bawah laki-laki, bahkan eksistensinya sering terpinggirkan.

Mengapa dalam Islam perhatian terhadap kaum ibu sangat besar? Allah SWT memberikan penjelasan, “Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapih dalam dua tahun.” (QS. Luqman: 14)

Karena itu, bagi seorang muslim, ada atau tidak ada Hari Ibu yang biasanya dirayakan setiap tanggal 22 Desember, tetap berkewajiban berbakti kepadanya. Kewajiban ini sebagai bagian dari keimanan dan ibadah kepada Allah SWT. Kita harus tetap memuliakan dan menghormati ibu, apalagi jika orangtua kita itu telah tua renta dan lanjut usia.

“Apabila telah lanjut usia salah seorang ibu atau bapak atau keduanya, maka janganlah kamu berkata kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan jangan membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu kepada mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkan (doa): ‘Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.’” (QS. al-Isra: 23-24)

Jangan sampai kita membuat ibu kita hidupnya telantar, membiarkannya jadi pengemis di jalanan, atau menempatkannya di panti jompo. Padahal sudah begitu banyak pengorbanan yang telah dikorbankan oleh seorang ibu untuk membesarkan anaknya, dan itu tak mungkin dapat dibalas oleh anaknya sampai kapan pun. Tapi, kebaikan seorang ibu yang demikian besar itu malah dibalas dengan penderitaan teramat perih oleh anaknya.

Kita sering menyaksikan di televisi bagaimana seorang ibu meninggal dengan cara tak wajar akibat dibunuh oleh anaknya sendiri. Na’udzubillah. Jika seorang anak memarahi, memukul, melukai, bahkan membunuh ibunya, maka mereka tergolong anak durhaka.

“Dosa-dosa besar ialah mempersekutukan Allah dan durhaka kepada kedua ayah bundanya dan membunuh manusia dan sumpah palsu (sumpah yang menenggelamkan ke dalam neraka).” (HR. Bukhari)

Semoga kita bisa menjadikan setiap hari kita sebagai hari berbakti kepada ibu, tidak harus menunggu sebulan apalagi setahun sekali. Mumpung ibu kita masih diberi oleh Allah nafas kehidupan. Kalau pun ibu kita sudah meninggal, maka doa dan amal saleh yang kita lakukan semoga menjadi bagian amal saleh juga bagi ibu kita. Aamiin. 

MOESLIM CHOICE

Hukum Memindahkan Makam karena Ingin Dekat Keluarga

Belum lama ini kita mendengar kabar mengenai rencana pemindahan makam artis vanessa angel. Rencana pemindahan makam tersebut dilakukan dengan tujuan makam Vanessa Angel dapat lebih dekat dengan makam ibunya. Lantas, bagaimanakah hukum memindahkan makam karena ingin dekat keluarga?

Dalam literatur fikih Syafi’i, terdapat keterangan yang menjelaskan bahwa pemindahan makam hanya boleh dilakukan dalam keadaan darurat. Hal ini karena pemindahan jenazah dapat merusak kehormatan jenazah. Sebagaimana disebutkan dalam keterangan kitab Al-Sirajul Wahhaj berikut,

و كذلك يحرم نقله بعد دفنه الا لضرورة

Artinya : “Begitu juga haram memindahkan jenazah setelah dikuburkan kecuali karena darurat.”

Syekh Salim bin Sumair dalam kitabnya menjelaskan beberapa kondisi yang dapat dikategorikan sebagai udzur dibolehkannya membongkar dan memindahkan kuburan. Udzur – udzur tersebut diantaranya karena untuk memandikan jenazah bila kondisinya masih belum berubah, untuk menghadapkannya ke arah kiblat, karena adanya harta yang ikut terkubur bersamanya, dan bila si mayat seorang perempuan yang di dalam perutnya terdapat janin yang dimungkinkan masih hidup.

Udzur di atas sangat diperhatikan karena pada dasarnya seseorang diharamkan untuk memindahkan makam kecuali dalam kondisi tertentu. Sedangkan alasan pemindahan karena ingin dekat dengan makam keluarga itu masih belum memenuhi syarat untuk bolehnya memindahkan kuburan. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Safinatun Naja, halaman 53 berikut,

ينبش الميت لأربع خصال: للغسل إذا لم يتغير ولتوجيهه إلى القبلة وللمال اذا دفن معه وللمرأة اذا دفن جنينها معها وأمكنت حياته

 Artinya: “Mayit yang telah dikubur boleh digali kembali dengan empat alasan: untuk memandikannya bila kondisinya masih belum berubah, untuk menghadapkannya ke arah kiblat, karena adanya harta yang ikut terkubur bersamanya, dan bila si mayat seorang perempuan yang di dalam perutnya terdapat janin yang dimungkinkan masih hidup.”

Namun demikian, mazhab Maliki memperbolehkan pemindahan jenazah setelah dikuburkan dengan tujuan supaya lebih dekat dengan keluarganya. Hal ini dengan syarat pemindahan tersebut tidak merusak tubuh jenazah sehingga akan menodai kehormatan mayyit. Sebagaimana dalam Kitab al-Syarh al-Kabir juz 1 hal. 421 berikut,

و) جاز (نقل) الميت قبل الدفن وكذا بعده من مكان إلى آخر بشرط أن لا ينفجر حال نقله وأن لا تنتهك حرمته وأن يكون لمصلحة كأن يخاف عليه أن يأكله البحر أو ترجى بركة الموضع المنقول إليه أو ليدفن بين أهله أو لأجل قرب زيارة أهله (وإن) كان النقل (من بدو) إلى حضر

Artinya : “Diperbolehkan memindahkan mayit baik sebelum maupun setelah dikuburkan asal pemindahan tersebut tidak sampai menyebabkan mayit terpecah sehingga dapat menodai kehormatan mayit (menyebabkan aib bagi mayit), dan disyaratkan adanya maslahat dalam pemindahan itu seperti dipindahkan karena khawatir mayit akan tergerus air laut, atau pemindahan mayit tersebut untuk dipindahkan ketempat yang lebih berkah atau akan dimakamkan diantara keluarganya atau supaya keluarganya lebih dekat untuk menziarahi kuburannya.”

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa dalam literatur fikih Syafi’i, pemindahan jenazah karena ingin dekat dengan makam keluarga itu masih belum memenuhi syarat untuk bolehnya memindahkan kuburan. Namun, mazhab Maliki masih memperbolehkan hal itu dengan syarat pemindahan tersebut tidak merusak tubuh jenazah.

Demikian. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Bacaan Rasulullah Muhammad SAW Usai Sholat

Rasulullah ﷺ biasa membaca dzikir setelah melakukan Sholat. Beliau juga membaca dua bacaan ini sebelum menghadap kepada makmum.

Dikutip dari buku Sifat Sholat Nabi ﷺ karya Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al Jibrin, pertama, beliau membaca istighfar,

أَسْتَغْفِرُاللَّهَ

Astaghfirullah (Dibaca tiga kali)

“Aku memohon ampun kepada Allah”

Dan beliau membaca:

اَللَّــهُمَّ أَنْتَ السَّلامُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا اْلجَلالِ وَاْلإكْرَامِ

Allahumma antas salaam, wa minkas salaam Tabaarokta yaa dzal jalaali wal ikroom.

“Ya Allah, Engkaulah As–Salaam (Yang selamat dari kejelekan–kejelekan, kekurangan–kekurangan dan kerusakan–kerusakan) dan dari–Mu as–salaam (keselamatan), Maha Berkah Engkau Wahai Dzat Yang Maha Agung dan Maha Baik.” (HR Muslim)

Dua bacaan di atas beliau ﷺ ucapkan sebelum menghadap kepada para makmum, dan beliau tetap menghadap kiblat ketika membaca dua bacaan di atas.

Kemudian Nabi berpaling menghadap wajahnya kepada para makmum. Ketika berpaling ke arah makmum, seringnya beliau memutar tubuhnya ke arah kanan (180 derajat). Namun kadang beliau memutarnya ke arah kiri (180 derajat).

IHRAM

Misi Nabi Hud yang Dikisahkan Alquran

Dalam Surah Al-A’raf Ayat 65 diterangkan:

 وَاِلٰى عَادٍ اَخَاهُمْ هُوْدًاۗ قَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗۗ اَفَلَا تَتَّقُوْنَ

Dan kepada kaum ‘Ad (Kami utus) Hud, saudara mereka. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. Maka mengapa kamu tidak bertakwa?” (QS Al-A’raf: 65).

Menurut Tafsir Kementerian Agama, ayat ini menerangkan bahwa Allah mengutus Nabi Hud kepada kaum ‘Ad. Nabi Hud dari kalangan kaum ‘Ad sendiri. Allah memerintahkan Nabi Hud untuk menyeru kaumnya agar menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa.

Nabi Hud juga menyeru kaumnya agar meninggalkan segala sesuatu yang dituhankan mereka, karena selain Allah tidak ada Tuhan dan tidak patut disembah. Sebab segala ibadah hanya diperuntukkan kepada Allah. Oleh sebab itu, Nabi Hud menganjurkan kepada mereka agar bertakwa kepada Allah dan meninggalkan segala sesuatu yang dimurkai-Nya untuk menghindarkan diri dari siksaan-Nya.

Pada waktu dan kesempatan yang lain, Nabi Hud memerintahkan kepada kaumnya agar mereka menggunakan akal pikirannya.

Allah berfirman, “Dan kepada kaum ‘Ad (Kami utus) saudara mereka, Hud.” Dia (Nabi Hud) berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada tuhan bagimu selain Dia. (Selama ini) kamu hanyalah mengada-ada. Wahai kaumku! Aku tidak meminta imbalan kepadamu atas (seruanku) ini. Imbalanku hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Tidakkah kamu mengerti?” (QS Hud: 50-51)

‘Ad adalah anak Iram bin Aus bin Sam bin Nuh. Demikian diterangkan oleh Muhammad bin Ishak. Menurut Ibnu Ishak bahwa al-Kalby mengatakan, kaum ‘Ad adalah penyembah berhala sebagaimana halnya kaum Nabi Nuh yang mematungkan orang-orang yang dipandang keramat setelah mati. Kemudian patung-patung itu dianggap sebagai Tuhan. Kaum ‘Ad pun membuat patung-patung, mereka namakan Tsamud dan yang lain lagi mereka namakan al-Hatar.

Mereka kaum ‘Ad tinggal di Yaman di daerah Ahqaf antara Oman dan Hadramaut. Mereka adalah kaum yang berbuat kerusakan di bumi ini karena mereka bangga dengan kekuatan fisik yang tidak dimiliki oleh kaum yang lain. Karena mereka memperlakukan penduduk bumi ini sekehendak mereka secara zalim.

Allah mengutus Nabi Hud dari kalangan mereka sebab sudah menjadi ketetapan Allah bahwa Rasul-rasul yang diutus itu diambil dari kaumnya sendiri yang lebih mengerti tentang kaumnya dan lebih dapat diterima seruannya karena mengetahui kepribadiannya. Akan tetapi ketika Nabi Hud menyampaikan risalahnya, yaitu menyeru kaumnya agar menyembah Allah Tuhan Yang Maha Esa dan meninggalkan perbuatan yang zalim, seruan Nabi Hud tersebut mereka dustakan. 

Mereka menentang Nabi Hud, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah, “Maka adapun kaum ‘Ad, mereka menyombongkan diri di bumi tanpa (mengindahkan) kebenaran dan mereka berkata, ‘Siapakah yang lebih hebat kekuatannya dari kami?’ Tidakkah mereka memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah yang menciptakan mereka. Dia lebih hebat kekuatan-Nya dari mereka? Dan mereka telah mengingkari tanda-tanda (kebesaran) Kami.” (QS Fushshilat: 15)

IHRAM

Alasan Khadijah Tidak Dipoligami oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Suami Tidak Boleh Berpoligami selama Istri Pertama Masih Hidup?

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menikah lagi atau berpoligami selama Khadijah Radhiallahu ‘anha masih hidup. Beliau baru menikah dan berpoligami setelah Khadijah Radhiallahu ‘anha wafat.

‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata,

لَمْ يَتَزَوَّجْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى خَدِيجَةَ حَتَّى مَاتَتْ

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menikahi wanita lain saat Khadijah (masih hidup pent.) sampai Khadijah wafat” (HR. Muslim).

Sebagian orang berdalil dengan dalil yang tidak tepat, lalu berkesimpulan bahwa seorang laki-laki baru bisa melakukan poligami setelah istri pertama wafat sebagaimana Khadijah dan Fatimah Radhiallahu ‘anhuma. Pernyataan yang benar bahwa boleh saja menikah lagi saat istri pertama masih hidup, karena para sahabat melakukan poligami saat istri pertama mereka masih hidup.

Perlu diketahui bahwa ulama menjelaskan mengapa Nabi Shallallahu ‘alahi wasallam tidak berpoligami selama Khadijah masih hidup. Beberapa ulama menjelaskan karena pada sosok Khadijah sudah terpenuhi semua tujuan rumah tangga, dan dukungan terhadap dakwah lahir dan batin. Saat itu poligami dilakukan oleh mayoritas orang Quraisy. Akan tetapi, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mencukupkan dengan satu istri saja.

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan,

و لم يتزوج في حياتها بسواها ، لجلالها و عظم محلها عنده

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menikah lagi semasa Khadijah hidup karena kemuliaan Khadijah dan agungnya kedudukan beliau di sisi Nabi Shallallahu ‘alahi wasallam” (Al-Fuhsul Fii Siratir Rasul, hal. 104).

Begitu besar kedudukan Khadijah di sisi suami tercinta. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sampai-sampai masih menyebut-nyebut Khadijah setelah beliau meninggal, dan mengirimkan hadiah kepada sahabat-sahabat Khadijah. Tentu hal ini membuat para istri lainnya cemburu termasuk ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha. Ketika ‘Aisyah “protes” kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan kepada ‘Aisyah bahwa cinta beliau kepada Khadijah adalah anugrah terindah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنِّي قَدْ رُزِقْتُ حُبَّهَا

“Sungguh Allah telah menganugrahkan kepadaku rasa cinta kepada Khadijah” (HR. Muslim no. 2435).

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan,

.. وكونه لم يتزوج عليها حتى ماتت ، إكراما لها ، وتقديرا لإسلامِها ” انتهى

“Alasan Nabi Shallallahu ‘alahi wasallam tidak mempoligami Khadijah sampai Khadijah wafat adalah untuk memuliakannya dan memuliakan keislamannya” (Al-Bidayah Wan Nihayah, 3: 159).

Keutamaan Khadijah

Apa saja keutamaan Khadijah yang membuat Nabi Shallallahu ‘alahi wasallam mencukupkan diri dengan satu istri? Syekh Shalih Al-Ushaimi Hafidzahullah menjelaskan beberapa poin keutamaan Khadijah Radhiallahu ‘anha. Keistimewaan Khadijah Radhiallahu ‘anha dibandingkan istri-istri beliau lainnya, antara lain:

Pertama, Khadijah istri pertama beliau;

Kedua, beliau tidak melakukan poligami selama Khadijah masih hidup;

Ketiga, Khadijah wanita yang pertama beriman dari kalangan wanita;

Keempat, Khadijah adalah wanita yang paling banyak membantu dakwah beliau dengan jiwa dan hartanya;

Baca Juga: Benarkah Rasulullah Melarang Ali bin Abi Thalib Poligami?

Kelima, Khadijah memiliki kekhususan mendapatkan salam dari Allah yang disampaikan oleh Jibril;

Keenam,  Khadijah adalah ibu dari mayoritas anak-anak beliau. Khadijah berkunyah dengan nama Ummul Qasim, yang mana Qasim merupakan anak dari Rasulullah dan Khadijah;

Ketujuh, Khadijah diberi kabar gembira dengan dibangunkan rumah di surga, yang tidak ada keributan dan kesusahan di dalamnya (Syarh Al-Muniirah fii mMuhimmi ‘Ilmis Siirah, hal. 19-20).

Terdapat pula beberapa nash yang menunjukkan keutamaan Khadijah dibandingkan istri beliau lainnya. Begitu mulianya Khadijah Radhiallahu ‘anha, Allah Rabb Semesta Alam menitipkan salam kepada Khadijah Radhiallahu ‘anha melalui Jibril ‘Alaihis salaam. Ini adalah kedudukan yang luar biasa.

Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu menceritakan, “Pada suatu ketika Jibril mendatangi Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam sambil mengatakan pada beliau,

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ خَدِيجَةُ قَدْ أَتَتْ مَعَهَا إِنَاءٌ فِيهِ إِدَامٌ أَوْ طَعَامٌ أَوْ شَرَابٌ فَإِذَا هِيَ أَتَتْكَ فَاقْرَأْ عَلَيْهَا السَّلَامَ مِنْ رَبِّهَا وَمِنِّي وَبَشِّرْهَا بِبَيْتٍ فِي الْجَنَّةِ مِنْ قَصَبٍ لَا صَخَبَ فِيهِ وَلَا نَصَبَ

‘Wahai Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, Khadijah telah datang. Bersamanya sebuah bejana yang berisi lauk, makanan, dan minuman. Jika dirinya sampai, katakan padanya bahwa Rabbnya dan diriku mengucapkan salam untuknya. Kabarkan pula bahwa untuknya rumah dari emas di surga, yang nyaman, tidak bising, dan tidak merasa letih’ (HR. Bukhari dan Muslim).”

Keutamaan lainnya bahwa Khadijah adalah salah satu dari wanita terbaik di dunia. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

حَسْبُكَ مِنْ نِسَاءِ العَالَمِينَ: مَرْيَمُ ابْنَةُ عِمْرَانَ، وَخَدِيجَةُ بِنْتُ خُوَيْلِدٍ، وَفَاطِمَةُ بِنْتُ مُحَمَّدٍ وَآسِيَةُ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ

“Cukup bagimu empat wanita terbaik di dunia: Maryam bintu Imran (Ibu dari nabi Isa), Khadijah bintu Khuwailid, Fatimah bintu Muhammad, dan Asiyah Istri Firaun” (HR. Ahmad, disahihkan Syuaib Al-Arnauth).

Dalam riwayat yang lain,

خَيْرُ نِسَائِهَا مَرْيَمُ ابْنَةُ عِمْرَانَ وَخَيْرُ نِسَائِهَا خَدِيجَةُ

“Sebaik-baik wanita dunia adalah Maryam bintu Imran dan sebaik-baik wanita dunia di zamannya adalah Khadijah” (HR. Bukhari dan Muslim).

Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat.

***

Penulis: Raehanul Bahraen

Sumber: https://muslim.or.id/70956-alasan-khadijah-tidak-dipoligami-oleh-nabi-shallallahu-alaihi-wa-sallam.html

Sifat Sholat Nabi dari Bersuci hingga Niat

Seorang muslim hendaknya melakukan ibadah Sholat sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ. Dikutip dari buku Sifat Sholat Nabi ﷺ karya Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al Jibrin, Berikut di antara beberapa sifat Sholat nabi dari bersuci hingga niat:

1. Bersuci

Apabila hendak melakukan Sholat, seorang muslim diwajibkan untuk bersuci terlebih dahulu dari hadats kecil maupun hadats besar. Hadats besar dapat hilang dengan melakukan mandi jinabat, sedangkan hadats kecil akan hilang dengan melakukan wudhu. Hendaklah ia menyempurnakan wudhunya sebagaimana wudhu Nabi ﷺ. 

2. Sutrah (Penghalang/Pembatas) 

Ia memulai dengan menjadikan sesuatu sebagai sutrah (penghalang/pembatas) di mana ia Sholat dengannya (HR Bukhari). Hal ini dilakukan apabila ia menjadi imam atau ia Sholat sendirian (tinggi sutrah minimal 46,2 cm, lihat kitab al-Qaulul Mubin). 

3. Meluruskan Shaff/Barisan 

Kemudian apabila menjadi imam, hendaklah ia menoleh ke kanan seraya berkata, ‘Istawuu’ (lurus) (Silsilah ash-Shahiihah-Mukhtasharah), dan menoleh ke kiri seraya mengucapkan ‘Istawuu’ (luruskan).

4. Berdiri dan Niat di Dalam Hati

Kemudian ia menghadapkan seluruh badannya ke kiblat (Muttafaq alaih), dan niat dengan hatinya untuk mengerjakan Sholat yang ia kehendaki.

Jangan melafalkan niatnya dengan mengucapkan ‘Ushalli Lillaahi shalaata kadzaa wa kadzaa (saya niat karena Allah untuk Sholat anu.. anu..)’ karena melafalkan niat itu mengada-ada dalam urusan agama.

IHRAM

Saat Kita Lupa dan Ragu Jumlah Rakaat Shalat, Ini yang Harus Dilakukan

Lupa adalah sifat bawaan manusia seperti bunyi maqolah al-insan mahallul khatha’ wan nisyan. Begitu akutnya lupa bagi manusia, sehingga fiqih pun memberikan ruang istimewa bagi mereka yang benar-benar lupa. Misalkan lupa makan atau minum ketika berpuasa, maka hal itu dianggap sebagai rezeki dan tidak membatalkan puasa. Hadits Rasulullah saw mengatakan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَكَلَ أَوْ شَرِبَ نَاسِيًا فَلَا يُفْطِرْ فَإِنَّمَا هُوَ رِزْقٌ رَزَقَهُ

Barang siapa yang lupa, lalu makan atau minum ketika berpuasa, maka janganlah membatalkan puasanya, karena hal itu adalah rezeki yang Allah berikan kepadanya. Bahkan dalam Lubbul Ushul Imam Zakariya Al-Anshari dalam muqaddimahnya mengatakan bahwa:

وَالأَصَحُّ إِمْتِنَاعُ تَكْلِيْفِ الْغَافِلِ وَالْمُلْجَأِ، لاَ الْمُكْرَهِ.

Demikianlah syariat memberikan jalan keluar bagi mereka yang lupa. Lupa biasa terjadi pada sesuatu yang sering dilakukan. Begitulah manusia, semakin sering melakukan sesuatu semakin tinggi kemungkinan terjadi lupa. Karena jika tidak melakukan sesuatu pastilah ia tidak lupa, begitu logikanya. Hanya orang yang melaksanakan shalatlah yang lupakan rukuk atau sujud. Dan hanya orang yang wudhu yang akan terancam lupa membasuh muka atau tangan.

Lalu bagaimanakah jika hal ini benar-benar terjadi? Jikalau memang seseorang benar-benar lupa mengerjakan satu rukun tertentu, dan ia sama sekali tidak ingat dan tidak ada orang yang mengingatkannya maka ibadah itu hukumnya tetap syah.

Namun jika ia teringat kembali dan meyakini adanya kelalaian itu hendaklah ia memperbaikinya. Misalkan seseorang lupa meninggalkan satu atau dua rakaat dalam shalatnya, sedangkan ia telah mengucap salam sebagai tanda finish dalam shalat. Maka jikalau ingatan itu datang dalam waktu dekat hendaklah ia menambah rakaat yang ditinggalkannya dan mengakhirinya dengan sujud sahwi. Tetapi jikalau ingatan itu baru datang setelah beberapa lama (misalkan baru teringat setelah baca dzikir) maka orang tersebut wajib mengulangi shalatnya kembali.  Begitu keterangan dalam Majmu’

اذا سلم من صلاته ثم تيقن انه ترك ركعة او ركعتين اوثلاثا او انه ترك ركوعا اوسجودا اوغيرهما من الاركان سوى النية وتكبرة الاحرام فان ذكر السهوقبل طول الفصل لزمه البناء على صلاته فيأتى بالباقى ويسجد للسهو وان ذكر بعد طول الفصل لزمه استئناف الصلاة

Apabila seseorang telah salam (usai shalatnya) kemudian ia baru teringat bahwa ia telah melupakan (meninggalkan) satu atau dua atau tiga rakaat atau ia lupa telah meninggalkan rukuk atau sujud atau rukun lainnya kecuali niat dan takbiratul ihram, maka ia cukup menambahi (menyusuli) apa yang telah dilupakannya itu dengan sujud sahwi, jikalau ingatan itu segera datang. Tetapi jikalau ingatan itu datangnya setelah beberapa lama maka hendaklah ia mengulangi shalatnya kembali.

Berbeda ketika seseorang lupa meninggalkan satu rukun tertentu (ruku’ atau baca Fatihah) maka ketika ia ingat dan ia belum melakukan rukun yang sama pada rekaat setelahnya, hendaklah ia segera mengganti rukun yang ditinggalkan itu. Dan apabila ia lupa, maka itulah apapun yang dilakukannya sudah cukup dan dianggap sah karena memang lupa. Begitu keterangan dalam Fathul Mu’in Hamisy I’anathut Thalibin

ولو سها غير مأموم فى الترتيب بترك ركن كأن سجد قبل الركوع أو ركع قبل الفاتحة لغا مافعله حتى يأتي بالمتروك فان تذكر قبل بلوغ مثله أتى به والا فسيأتى بيانه… وإلا أي وان لم يتذكر حتى فعل مثله فى ركعة أخرى أجزأه عن متروكه ولغا ما بينهما هذا كله ان علم عين المتروك ومحله… 

Ragu di tengah-tengah Shalat
Lupa berbeda dengan ragu-ragu. Jikalau yang terjadi adalah keragu-raguan, maka perlu meninjau masalahnya secara detail. Ketika seseorang mengalami keraguan di tengah-tengah shalatnya, apakah dia sudah melakukan satu fardhu tertentu (ruku,misalnya) atau belum. Maka masalah ini perlu diperinci lagi, jika keraguan terjadi sebelum orang itu melakukan fardhu yang ditinggal (ruku’) tersebut pada rakaat setelahnya, maka ia harus kembali untuk melakukan fardhu yang ditinggal (ruku’).

Namun jika keraguan itu datang setelah ia melakukan fardhu yang sama yang ditinggalkannya (ruku’) pada rakaat setelahnya, cukuplah baginya meneruskan shalat dan menambah satu rakaat lagi, sebagai pengganti satu rukun yang ditinggalkannya itu. Begitu keterangan dalam Fathul Mu’in Hamisy I’anathut Thalibin

… أو شك هو أي غير المأموم فى ركن هل فعل أم لا كأن شك راكعا هل قرأ الفاتحة أوساجدا هل ركع أواعتدل أتى به فورا وجوبا ان كان الشك قبل فعله مثله أي مثل المشكوك فيه من ركعة أخرى

Ragu Setelah Shalat Selesai
Begitu juga ketika terjadi keraguan setelah shalat, apakah shalat yang telah dikerjakan itu telah lengkap ataukah ada rukun tertentu yang tertinggal, maka shalat semacam itu secara fiqih tetap dianggap syah dan tidak perlu mengulanginya kembali. Kitab Khasiyah Qulyubi wa Umairah menjelaskan

ولوشك بعد السلام فى ترك فرض لم يؤثر على المشهور – لان الظاهر وقوع السلام عن تمام

Jikalau setelah salam (selesai shalat) seseorang ragu dalam meninggalkan/ melaksanakan satu fardhu tertentu, maka hal itu tidak berpengaruh (tetap sah) menurut pendapat yang mashur. Karena dalam kenyataannya ia telah melakukan salam dan (shalat dianggap) sempurna.

Dengan kata lain, lupa dan ragu adalah dua hal yang berbeda. Begitu pula cara penyelesaiannya. Hukum lupa segera dicabut ketika datang ingatan. Selama seseorang dalam kondisi lupa ia akan terbebas dari tuntutan syariah, dan ketika ia teringat kembali, maka orang tersebut kembali terkena tuntutan syariah.

Seperti contoh berpuasa, ketika seseorang lupa bahwa ia sedang menjalankan puasa, maka ia terbebas dari tuntutan syari’ah boleh makan dan minum. Namun ketika ia teringat kembali bahwa ia puasa, maka ia wajib menahan semuanya dan kembali berpuasa. Sedangkan ragu-ragu bisa hilang karena adanya keyakinan. Dan tidak ada keraguan yang dibarengi dengan keyakinan.

MANDANI