Jomlo Bagian dari Zuhud, Tapi Menikah juga Ibadah

Bagi sebagian orang menyandang status jomlo (membujang) lalu tidak kunjung menikah, hal itu adalah sebuah momok. Karena orang yang jomlo acapkali menjadi objek perundungan dari lingkungan sekitarnya. Entah dari lingkungan pertemanan ataupun lingkungan keluarga.

Sebagian ulama seperti Syekh Zainuddin al-Malibari dalam kitabnya yang berjudul Hidayat al-Adzkiya ila Thariq al-Auliya mengulas tentang jomlo (‘azuban) dan memasukkannya dalam kategori zuhud. Ia menulis dalam kitabnya satu bait syair:

واترك من الأزواج من ما ساعدت # في طاعة واختر عزوبا فاضلا

Tinggalkanlah pasangan yang tidak dapat menolongmu dalam ketaatan. Pilihlah jalan kejomloan, itu lebih utama. (Dibandingkan pasangan yang melalaikan dari taat kepada Allah swt).

Dalam syarah kitab yang ditulis Syekh Abu Bakar ad-Dimyathi dengan judul Kifayatul Atqiya dijelaskan bahwa sebagai seorang murid (orang yang sedang menuju Allah Swt) harus bersikap zuhud dari  segala sesuatu yang dapat membuat lupa dari Allah Swt (kullu ma yusyghiluka ‘an Allah yajib an tazhada fih).

Perlu diingat bahwa anjuran memilih jomlo (membujang) dibandingkan dengan menikah di sini mesti diposisikan dari sudut pandang tasawuf. Bagi salik sifat zuhud merupakan bagian dari cara untuk menuju Allah Swt. Oleh karenanya, segala sesuatu yang dapat menjauhkan dari-Nya, termasuk jika memiliki pasangan, menjadi suatu keharusan.

Namun demikian, Syekh Abu Bakar melanjutkan penjelasannya ditinjau dari sisi fikih. Mengutip pendapat Imam mazhab, seperti mazhab Hanafi, yang menjadikan pernikahan sebagai bagian dari ibadah, maka menikah lebih utama dibandingkan menjomlo.

Begitu pun dengan Salik yang menikah, meski misalkan pasangannya menjadi ujian baginya, asalkan tidak menjadikannya lupa kepada Allah Swt, maka hal itu lebih utama.

Bagi kita yang memilih jomlo karena khawatir akan mengganggu fokus dalam meraih cita-cita dan ibadah, maka hal itu sudah sesuai dengan tuntunan sikap sufi yakni zuhud. Namun demikian, bagi sebagian orang yang sudah tidak kuat untuk menikah, maka hendaknya segera menikah. Wallahu A’lam.

BINCANG SYARIAH

Hukum Menulis Sebagian Ayat Al-Quran di Nisan Kuburan

Umumnya, nisan kuburan hanya ditulisi nama orang yang dikubur. Namun terdapat sebagian nisan kuburan yang tidak hanya ditulisi nama orang yang dikubur, tetapi juga ditulisi sebagian ayat Al-Quran, seperti ayat ‘Inna lillaahi wa innaa ilaihi roji’un’, dan ayat-ayat lainnya. Bagaimana hukum menulis sebagian ayat Al-Quran di nisan kuburan, apakah boleh?

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai hukum menulis ayat-ayat Al-Quran tertentu di nisan kuburan. Setidaknya, ada dua pendapat ulama dalam masalah ini.

Pertama, menurut ulama Malikiyah, menulis ayat-ayat Al-Quran tertentu di batu nisan kuburan adalah haram. Sementara jika yang ditulis adalah nama jenazah, tanggal lahir dan tanggal wafatnya, maka hukumnya adalah makruh.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah berikut;

المالكية قالوا: الكتابة على القبر إن كانت قرآنا حرمت، وإن كانت لبيان اسمه، أو تاريخ موته، فهي مكروهة

Ulama Malikiyah berkata; Menulis di atas kuburan, jika tulisan tersebut adalah Al-Quran, maka hukumnya haram. Namun jika tulisan tersebut adalah untuk menjelaskan nama dan tanggal wafat jenazah, maka dimakruhkan.

Kedua, menurut ulama Syafiiyah, menulis ayat-ayat Al-Quran di batu nisan kuburan, jika bukan kuburan orang alim atau orang shalih, maka hukumnya adalah makruh. Namun jika kuburan orang alim atau shalih, maka tidak masalah menulis ayat-ayat Al-Quran, nama, tanggal lahir dan tanggal wafat pada batu nisannya. Ini bertujuan untuk membedakan antara kuburan orang alim dan orang shalih dengan kuburan orang-orang pada umumnya.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah berikut;

الشافعية قالوا: الكتابة على القبر مكروهة، سواء كانت قرآنا أو غيره، إلا إذا كان قبر عالم أو صالح، فيندب كتابة اسمه، وما يميزه ليعرف

Ulama Syafiiyah berkata; Menulis di atas kuburan hukumnya makruh, baik tulisan tersebut berupa al-Quran atau lainnya. Kecuali kuburan orang alim atau orang shalih, maka sunah menulis namanya dan sesuatu yang bisa membedakannya agar bisa diketahui.

Dengan demikian, melalui penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa menurut ulama Malikiyah, menulis ayat-ayat Al-Quran di batu nisan kuburan hukumnya adalah haram. Sementara menurut ulama Syafiiyah, jika kuburan orang alim atau shalih, maka boleh menulis ayat Al-Quran di batu nisannya, dan adapun kuburan selain orang alim dan shalih tidak boleh.

BINCANG SYARIAH

Kisah Mualaf Wang Sun Hwa, Berawal dari ‘Puasa’ Ramadhan

Puasa Ramadhan yang diikuti secara coba-coba menjadi jalan hidayah untuk mualaf ini.

Selama empat tahun Rahmat menempuh pendidikan di Kota Nabi. Banyak ilmu dan keberkahan di sana.

Rahmat Hidayat merupakan seorang mualaf yang kini aktif di dunia dakwah. Lelaki berusia 29 tahun itu mengaku bersyukur, Allah SWT telah memberikan hidayah kepadanya untuk menjadi Muslim. Menurutnya, iman dan Islam merupakan anugerah terbesar yang pernah dirasakannya.

Pria keturunan Tionghoa ini lahir dengan nama Wang Sun Hwa, di Medan, Sumatra Utara. Sejak 2004 lalu, dia memeluk Islam. Adapun nama Rahmat Hidayat yang kini disandangnya merupakan pemberian dari ibu angkatnya. Perempuan itulah yang menjadi jalan petunjuk Allah sampai kepadanya.

Sebelum memeluk Islam, Rahmat tidaklah begitu tertarik pada hal-hal yang meningkatkan kesadaran spiritual. Ia menduga, kecenderungan itu bertolak belakang dengan pola pendidikan yang diterimanya sejak dini. Seisi rumah tidak pernah absen dalam melaksanakan ibadah tiap akhir pekan. Bahkan, ada tempat ibadah di kediamannya.

Rahmat agak berbeda dari kakak-kakaknya. Anak bungsu dari lima bersaudara itu tidak terlalu mementingkan ibadah. Sesekali, ia memang mengikuti orang tuanya ke tempat ibadah. Namun, ritual tersebut dianggapnya rutinitas belaka.  

“Kakak-kakak saya itu termasuk orang yang aktif (beribadah). Ya tidak tahu mengapa saya agak berbeda. Mungkin inilah awal mulanya hidayah sampai kepada saya,” tuturnya dalam video yang diunggah di platform YouTube, seperti dilihat Republika, beberapa waktu lalu.

Walaupun usianya masih anak-anak, Rahmat sering mengajukan pertanyaan yang sesungguhnya filosofis. Ia saat itu pun kerap heran dengan kepercayaan yang dipeluk kedua orang tua dan saudara-saudaranya. Ia seolah-olah menemukan alasan untuk tidak taat beribadah karena memang sudah ragu menyembah apa yang mereka sembah.

Meskipun jarang terlihat beribadah, Rahmat jarang mendapatkan teguran. Keluarganya seakan-akan tidak terlalu memedulikannya. Keadaan itu terus bertahan hingga ia berumur remaja.

Tidak seperti sebelumnya, Rahmat muda mulai membuka wawasannya. Sebab, saat masih berusia anak-anak dirinya tinggal di lingkungan “monoton”. Dalam arti, tetangga dan kawan-kawannya tidak berbeda agama dengan keluarganya.

Kini, ia sudah memiliki cukup banyak teman dari kalangan Muslim. Sepanjang pergaulannya dengan mereka, Rahmat mulai mengetahui dan mengenal beberapa ajaran Islam. Lama kelamaan, ia pun tertarik mempelajari agama yang mengajarkan bahwa Tuhan hanyalah satu, yakni Allah Subhanahu wa Ta’ala, itu.

Waktu silih berganti. Tibalah bulan suci Ramadhan. Rahmat muda memperhatikan, kawan-kawannya yang Muslim mengamalkan puasa. Mereka tidak makan dan minum sejak pagi hingga azan maghrib berkumandang. Selain itu, teman-temannya itu tampak semakin rajin beribadah di masjid.

Waktu itu, Rahmat sangat tertarik untuk mengetahui seluk-beluk puasa Ramadhan. Tiap ada kesempatan, dia pun bertanya kepada seorang atau dua temannya. Ia kerap heran, mengapa Islam mengharuskan umatnya untuk menahan lapar dan dahaga seharian, selama sebulan penuh pula.

Puasa memang bukan perkara asing untuk Rahmat saat itu. Di agamanya (yang lama), sudah ada ketentuan untuk berpuasa. Namun, ajaran itu tidak diharuskan untuk pemeluk agama tersebut. Sifatnya semata-mata anjuran, bukan kewajiban.

“Saya pernah tanya ke kawan-kawan (yang Muslim), mengapa kok kalian itu setiap hari berpuasa gitu setiap bulan Ramadhan, tiap tahun pula,” ujarnya.

Keterarikan Rahmat terhadap Islam ternyata belum ditanggapi serius oleh teman-temannya saat itu. Mereka hanya menjawab sekenanya saja, seperti “kewajiban orang Islam memang berpuasa saat Ramadhan” atau sekadar “ya memang begitu”.

Untuk menunjukkan kesungguhannya, Rahmat akhirnya memilih untuk ikut berpuasa. Ia pun mengungkapkan niatnya itu kepada kawan-kawannya yang Muslim. Akan tetapi, maksud tersebut justru menjadi semacam bahan candaan mereka.

“Bagaimana bisa orang non-Muslim ikut-ikutan puasa?” ucap Rahmat meniru perkataan teman-temannya saat itu.

Akhirnya, seorang sahabatnya memberikan saran. Sebaiknya, Rahmat bertanya kepada orang yang lebih tua. Rahmat pun meminta teman dekatnya itu memberi tahu kepada ibunya. Di kemudian hari ketika akhirnya ia menjadi mualaf, sang ibu tersebut menjadi ibu angkatnya.

Ya, walaupun belum resmi menjadi Muslim, Rahmat saat itu sudah belajar berpuasa. Satu bulan penuh ia menjalankan ibadah Islam tersebut. “Boleh saya berpuasa, saya ‘diizinkan’ ikut puasa, sahur, dan buka puasa. Iftharnya disajikan ibu sahabat saya itu, yang akhirnya jadi ibu angkat saya. Tapi ya waktu itu sifatnya hanya ikut-ikutan saja,” tutur dia.

Itulah pengalaman pertamanya berpuasa Ramadhan. Memasuki tahun berikutnya, ia justru ingin kembali berpuasa. Ibu sahabatnya itu membaca keinginan Rahmat itu sebagai tanda bahwa memang dirinya ingin mendalami Islam.

Maka, Rahmat pun diperkenalkan dengan dasar-dasar ajaran Islam. Namun, jelas Rahmat, ibu angkatnya tidak pernah memaksa atau sengaja mempengaruhinya agar memeluk Islam. Sepenuhnya diserahkan kepada keputusannya sendiri. Apabila benar-benar bertekad kuat untuk mengkaji Islam, maka lebih baik bila menjadi Muslim.

Mulai saat itu, ia berkali-kali ke masjid. Hal itu dilakukannya terutama menjelang kumandang azan. Baginya, suara panggilan shalat itu membuat hatinya tenang.

Rahmat pun memeluk Islam. Waktu itu, usianya cukup belia, 13 tahun. Momennya mengucapkan dua kalimat syahadat terjadi beberapa hari sesudah lulus SMP. Prosesi itu dilangsungkan di Masjid Muhammadiyah, Jalan Pasundan, Medan.

Setelah bersyahadat, ibu angkatnya pun pernah berjanji, akan membantu Rahmat untuk mencari pesantren sehingga dia mendapatkan bimbingan dengan baik. Bagaimanapun, yang masih dipikirkannya adalah pertentangan dari orang tua.

Sesuai janji, ibu angkatnya pun mencarikan sebuah pesantren untuknya. Ternyata, lembaga itu memiliki syarat, tiap santri mesti lancar membaca Alquran dalam dua bulan. Hal itu sempat membuat Rahmat meragukan kemampuannya.

“Tapi, alhamdulillah, saya bisa membaca Alquran. Waktu itu, ibu angkat saya juga ikut membimbing,” kenangnya.

Pertentangan dari keluarga pun mampu dia hadapi. Baginya, iman dan Islam adalah perkara yang utama. Terusir dari rumah dan putus sekolah adalah risiko, tetapi tidak menjadi alasan untuk berpaling dari agama tauhid.  

Saat itu keluarganya mengetahui tentang keislaman Rahmat. Tanpa pikir panjang mereka mendatangi ibu angkat Rahmat.

Kedua orang tuanya saat itu berpikir bahwa keislaman Rahmat adalah hasil hasutan ibu angkatnya. Setelah dijelaskan duduk perkaranya, keduanya tetap bergeming. Maka, komunikasi antara orang tua dan anak itu sempat terputus.

Sampai Tanah Suci

Begitu lulus dari SMP, Rahmat melanjutkan pendidikan di pondok pesantren yang didirikan seorang mualaf Tionghoa di Deli Serdang. Syukurlah, waktu dua bulan cukup baginya untuk mengasah kemampuan tadarus Alquran. Ia merasa sangat berterima kasih dengan para ustaz setempat dan juga ibu angkatnya.

Setelah lulus pondok pesantren, Rahmat berniat untuk melanjutkan pendidikan. Namun, dia sempat ragu karena tidak memiliki biaya kuliah. Dia pun tak ingin membebani ibu angkatnya yang sudah cukup banyak membantunya.

Rahmat kemudian menemui kakak perempuannya yang pertama-tama menawarkannya ongkos kuliah. Tawaran itu bagaikan oasis di tengah padang sahara. Sayangnya, sang kakak menyimpan pamrih. Rahmat memang ditawari beasiswa, tetapi dengan syarat, dia harus kembali ke agama lama. Dengan tegas, Rahmat menolak hal itu.

Rahmat kemudian mencoba untuk mengikuti audisi dai muda di salah satu stasiun televisi swasta. Setelah lolos audisi untuk wilayah Medan, dia pun lolos hingga ke Jakarta. Namun, perjalanannya dalam proses tersebut hanya sampai pada delapan besar. Ia pun kembali ke daerah asal.

Karena tak juga menemukan kesempatan beasiswa, Rahmat dan seorang temannya mencoba peruntungan. Mereka merantau ke Jakarta. Pada 2014, berbekal kemampuan yang ada ia mendaftar beasiswa S-1 ke Madinah, Arab Saudi.

Setahun lebih dirinya menunggu, ternyata doanya dikabulkan Allah SWT. Rahmat dinyatakan lolos seleksi. Ia pun berangkat ke Tanah Suci bersama 90 peserta lainnya.

Ia saat itu merasa, kemampuannya tidaklah setara dengan rekan-rekannya yang hafiz 30 juz Alquran. Bagaimanapun, Rahmat tetap optimistis karena pada faktanya ia pun ikut terpilih. Selama empat tahun Rahmat menempuh pendidikan di Kota Nabi.

Banyak ilmu dan keberkahan di sana. Setiap tahun, Rahmat bisa menjalan ibadah umrah dan haji tanpa biaya. Ia juga berhasil menyelesaikan pendidikannya tepat waktu.

Begitu lulus dari kampusnya, ia kembali ke Tanah Air. Selama dirinya menempuh studi di luar negeri, ternyata hati kedua orang tuanya mulai luluh. Bahkan, mereka merasa bangga dengan prestasi yang dicapai Rahmat. Itu tentu saja membuatnya bahagia.

Sayangnya, orang tuanya wafat dalam keadaan tak kunjung mendapatkan hidayah dari Allah. Meski demikian, Rahmat tetap bersyukur karena silaturahim terjalin kembali. Bahkan, ada seorang kakaknya yang kemudian tergerak hati untuk memeluk Islam.

Setelah lulus kuliah 2019 lalu, Rahmat menetap di Jakarta dan telah menikah. Kini Rahmat menghabiskan waktunya untuk berdakwah di jalan Allah.

OLEH RATNA AJENG TEJOMUKTI

KHAZANAH REPUBLIKA

Bahaya Tidak Mencatat Utang

Catatan dan persaksian ini penting agar seseorang bisa menjaga hartanya yang telah dia pinjamkan kepada ornag lain. Banyak kejadian saat ini menunjukkan bahwa orang yang berutang menggunakan berbagai cara untuk mengingkari utangnya. Tentu ini adalah perbuatan zalim. Pencatatan dan persaksian ini akan membuat orang yang berutang tidak bisa mengelak. Catatan ini juga sangat dibutuhkan untuk mengetahui jumlah utang sehingga tidak terjadi perselisihan di kemudian hari.

Ayat terpanjang dalam Al-Qur’an menyebutkan,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ۚ فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ ۚ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ ۖ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ ۚ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا ۚ وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَىٰ أَجَلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَىٰ أَلَّا تَرْتَابُوا ۖ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا ۗ وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 282)

Syaikh As-Sa’di rahimahullah mengatakan dalam kitab tafsirnya, “Ayat ini menerangkan perintah untuk mencatat setiap transaksi utang piutang, baik dianggap hukumnya wajib ataukah sunnah, karena mencatat ini amatlah penting. Tanpa adanya pencatatan biasa akan terjadi kekeliruan, kealpaan, cekcok, dan berbantah-bantahan. Ini semua dampak jelek karena tidak adanya pencatatan.” (Tafsri As-Sa’di, hlm. 110)

Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata pula tentang ayat di atas mengenai masalah persaksian, “Hendaklah ada persaksian dalam akad, walaupun hal ini disunnahkan (dianjurkan). Tujuan persaksian adalah untuk menjaga hak orang lain. Ini sangat bermanfaat bagi kita yang menjalankan transaksi (sebagai mukallaf).” (Tafsri As-Sa’di, hlm. 111)

Ada dua pendapat tentang masalah hukum pencatatan utang. Ulama salaf ada yang mewajibkan pencatatan seperti Ibnu ‘Abbas dan Ath-Thabari. Namun, kebanyakan ulama menganggap hukumnya istihbab (sunnah). Yang berpendapat sunnah adalah Asy-Sya’bi, Al-Hasan Al-Bashri, Malik, dan ulama lainnya. Alasan sunnahnya karena harta yang digunakan untuk dipinjamkan adalah milik yang punya. Ia punya hak menggugurkan utang itu, sebagaimana ia berhak untuk tidak mencatatnya. Namun, tentu mencatat utang dan mendatangkan saksi untuk perihal utang itu lebih menjaga hak, mencegah keraguan dan kelupaan. Lihat At-Tafsir wa Al-Bayan li Ahkam Al-Qur’an karya Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Marzuq Ath-Tharifi, 1:560.

Kesimpulan: Jangan lupa untuk mencatat utang dan hadirkan saksi. Itu lebih mencegah terjadinya cekcok dan perselisihan di masa akan datang, apalagi utang itu besar. Silakan praktikkan surah Al-Baqarah ayat 282 dan rasakan bagaimana manfaat bila kita mengikuti syariat.

Coba Anda renungkan rusaknya zaman ini karena tak sedikit yang sengaja melupakan utang.

Semoga Allah memberi taufik dan hidayah kepada penulis dan semua yang membaca tulisan ini. Moga kita dapat kemudahan untuk mengatasi masalah utang.

Darush Sholihin, sore 13 Dzulhijjah 1442 H

Muhammad Abduh Tuasikal 

Sumber https://rumaysho.com/28934-bahaya-tidak-mencatat-utang.html

Coba Kita Hitung-Hitung Antara Musibah dan Nikmat, Tetap Masih Banyak Nikmat Allah

Coba kita menghitung-hitung musibah yang kita hadapi dibandingkan dengan nikmat yang Allah beri. Lebih banyak mana di antara keduanya? Tetap akan lebih banyak nikmat. Sehingga kadang satu kondisi, kita malah bersyukur, padahal sedang mendapatkan musibah, bencana, ujian luar biasa.

Mari Kita Belajar dari Kisah Nabi Ayyub “Sang Penyabar”

Nabi Ayyub tidak banyak hitung musibah karena nikmat yang diberi Allah begitu banyak.

Nabi Ayyub diberi sehat 70 tahun. Ia diberi sakit berat.  Namun, beliau masih bersabar kala itu karena nikmat yang diperoleh masih lebih banyak dari musibahnya.

Ibnu Syihab mengatakan bahwa Anas menyebutkan bahwa Nabi Ayyub mendapat musibah selama 18 tahun. Wahb mengatakan selama pas hitungan tiga tahun. Ka’ab mengatakan bahwa Ayyub mengalami musibah selama 7 tahun, 7 bulan, 7 hari. Al-Hasan Al-Bashri menyatakan pula selama 7 tahun dan beberapa bulan. (Lihat Tafsir Al-Baghawi, 17:181, juga lihat riwayat-riwayat dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:351).

Namun, Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah menyatakan bahwa penyebutan jenis penyakitnya secara spesifik dan lamanya beliau menderita sakit sebenarnya berasal dari berita israiliyyat. (Lihat Adhwa’ Al-Bayan, 4:852)

Saat mengurus dan membawa bekal pada beliau, istrinya sampai pernah bertanya kepada Nabi Ayyub yang sudah menderita sakit sangat lama, “Wahai Ayyub andai engkau mau berdoa pada Rabbmu, tentu engkau akan diberikan jalan keluar.” Nabi Ayyub menjawab, “Aku telah diberi kesehatan selama 70 tahun. Sakit ini masih derita yang sedikit yang Allah timpakan sampai aku bisa bersabar sama seperti masa sehatku yaitu 70 tahun.” Istrinya pun semakin cemas. Akhirnya karena tak sanggup lagi, istrinya mempekerjakan orang lain untuk mengurus suaminya sampai memberi makan padanya. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:349-350)

Jangan Sampai Jadi Hamba yang Kanud

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:

Allah mencela orang yang disebut kanud yaitu yang tidak mensyukuri nikmat. Mengenai ayat,

إِنَّ الْإِنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ

Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Rabbnya.” (QS. Al-‘Adiyat: 6)

Baca juga: Hamba yang KANUD

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan mengenai ayat ini,

يَعُدُّ المَصَائِبَ وَيَنْسَى النِّعَمَ

“Orang yang kanud adalah yang terus menerus menghitung musibah demi musibah, lantas melupakan berbagai nikmat yang telah Allah beri.” (‘Uddah Ash-Shabirin wa Dzakhirah Ash-Shabirin, hlm. 151)

Ibnul Qayyim itu mengatakan bahwa karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa kebanyakan wanita menjadi penduduk neraka karena sifat di atas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ أَحْسَنْتَ إِلىَ إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ

Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang istri kalian pada suatu waktu, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata, ‘Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu’.” (HR. Bukhari, no. 5197 dan Muslim, no. 907).

Kalau tidak mensyukuri pemberian suami saja hukumannya seperti ini, padahal hakikatnya nikmat tersebut juga berasal dari Allah, bagaimana lagi jika kita enggan bersyukur atas nikmat Allah sama sekali. Lihat ‘Uddah Ash-Shabirin wa Dzakhirah Asy-Syakirin karya Ibnul Qayyim rahimahullah, hlm. 151.

Referensi:

‘Uddah Ash-Shabirin wa Dzakhirah Asy-Syakirin. Cetakan kedua, Tahun 1429 H. Abu ‘Abdillah Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub Az-Zar’i (Ibnu Qayyim Al-Jauzi). Penerbit Maktabah Ar-Rusyd.

Darush Sholihin, Malam 13 Dzulhijjah 1442 H

Muhammad Abduh Tuasikal 

Sumber https://rumaysho.com/28908-coba-kita-hitung-hitung-antara-musibah-dan-nikmat-tetap-masih-banyak-nikmat-allah.html

Sikap Terhadap Ibu yang Zalim dan Cara Menasihatinya

Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus

Soal:

Saya adalah perempuan yang telah menikah, mempunyai dua anak perempuan. Adapun suami saya adalah pengangguran. Ketika kami tidak mampu membayar uang sewa, kami pun pindah ke rumah Ayah. Tapi Ibuku sangatlah kejam kepada kami sehingga dia memotong air kami hingga saya pun terpaksa memasak di dalam kamar tidur.

Terkadang, Ibu masuk kamar kami tanpa permisi sedangkan saya bersama suami di dalamnya. Kami pun tidak jarang dihina dan dicaci bahkan Ibu menganggap kami menganut ajaran Murabathah (sejenis aliran sufi). Kemudian beliau berencana mengadukan kami kepada hakim yang bernama Abdurrahman as-Tsa’labi rahimahullah. Ketika aku meminta saudara-saudariku menasihati Ibu, mereka malah enggan sebab takut pada Ibu.

Pertanyaanku, apakah benar bahwa tidak boleh menasihati Ibu -meskipun dengan lembut- yang melakukan kesalahan?

Akhirnya, saya berdoa kepada Allah untuk diberikan pertolongan dan kemudahan. jazakumullah khairan.

Jawab:

Seorang muslim diwajibkan untuk berbuat baik dan dilarang berbuat keburukan kepada kedua orang tua, kerabat dan seluruh muslimin sebagaimana yang ia kehendaki bagi dirinya sendiri. Membenci untuk berbuat sesuatu kepada mereka apa yang ia benci untuk dirinya. Melaksanakan kewajiban saling menasihati dengan mereka sebagai wujud amalan atas sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ قُلْنَا : لِمَنْ ؟ قَالَ للهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ

Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau menjawab, “Bagi Allah, bagi kitab-Nya, bagi rasul-Nya, bagi pemimpin-pemimpin kaum muslimin, serta bagi umat Islam umumnya.” (HR. Muslim dalam Kitabnya “al-Iman” [55] dari Hadis Tamim ad-Dari radhiyallahu ‘anhu dan hadis yang diriwayatkan Bukhari dalam kitabnya “al-Iman” [42]).

Begitu pula sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ، حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

”Tidaklah salah seorang di antara kalian beriman (dengan keimanan yang sempurna) sampai dia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dalam kitab “al-Iman”, bab “Minal Iimaani an Yuhibba Liakhiihi ma yuhibbu linafsihi” no.13 dan Muslim dalam kitab “al-Iman” no.45 dari hadis Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu).

Hendaknya dalam mendakwahi, menasihati dan mengajari orang tua juga dilakukan dengan lemah lembut. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَنْ لَا يَرْحَمُ لَا يُرْحَمُ

“Barang siapa yang tidak menyayangi, maka dia tidak akan disayangi” (HR. Bukhari dalam kitab “al-Adab” no. 5997, bab “Rahmatul Walad wa Taqbilihi wa Mu’aaniqatihi”, Muslim dalam kitab “al-Fadhail” no. 2318).

Demikian juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

لَيْسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيرَنَا، وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا، وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا

“Bukan dari golongan umatku seorang yang tidak menghormati orang-orang tua di kalangan kami, dan tidak menyayangi anak-anak kecil di antara kami, dan juga seorang yang tidak mengetahui hak-hak dari Ulama-Ulama di antara kami”.  (HR. Ahmad dalam al-Musnad no.22755, dari hadis ‘Ubadah bin Shomit radhiyallahu ‘anhu, dan dihasankan oleh al-Albani dalam kitab Silsilah as-Shahihah [231/5]).

Hendaknya pula kita tidak menyakiti mereka baik dengan perkataan maupun perbuatan, meskipun mereka menyakiti kita. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,

المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Yang disebut dengan muslim sejati adalah orang yang selamat orang muslim lainnya dari lisan dan tangannya”. (HR. Bukhari dalam kitab “al-Iman” no.10, bab “al-Muslimu man salimal muslimuna min lisanihi wa yadihi”, dan Muslim dalam kitab “al-Iman” no.40, dari hadis Abdillah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma).

Kita juga dianjurkan untuk menjadikan sabar dan menahan diri untuk tidak menyakiti mereka karena Allah ‘Azza wa Jalla. Oleh karenanya, jangan pula kita membalas keburukan dengan keburukan atau bahkan dengan sesuatu yang lebih buruk darinya. Namun hendaklah kita membalas keburukan dengan kebaikan, bersabar dan memaafkan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَلَمَن صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذَٰلِكَ لَمِنۡ عَزۡمِ ٱلۡأُمُورِ

“Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan”. (QS. As-Syura : 43).

Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَسۡتَوِي ٱلۡحَسَنَةُ وَلَا ٱلسَّيِّئَةُۚ ٱدۡفَعۡ بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik”. (QS. Fushilat : 34).

Terlebih kepada kedua orang tua. Karena mereka adalah sebab kita dilahirkan di dunia. Kebahagiaan atau kesengsaraan seseorang sangat erat kaitannya dengan orang tuanya. Rasulullah shallahi ‘alaihi wasallam bersabda,

رَغِمَ أَنْفُ، ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ، ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ»، قِيلَ: مَنْ؟ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: «مَنْ أَدْرَكَ أَبَوَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ، أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا فَلَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ

“Dia celaka! Dia celaka! Dia celaka!” lalu beliau ditanya; “Siapakah yang celaka, ya Rasulullah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Barang siapa yang mendapati kedua orang tuanya (dalam usia lanjut), atau salah satu dari keduanya, tetapi dia tidak berusaha masuk surga (dengan berusaha berbakti kepadanya dengan sebaik-baiknya).” (HR. Muslim dalam kitab “al-Birru wa as-Shilatu wa al-adabu” no.2551, dari hadis Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu).

Dalam hadis lain, Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الْوَالِدُ أَوْسَطُ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ

“Orang adalah pintu surga yang paling tengah.” (HR. at-Tirmidzi dalam kitab “Abwabu al Birri wa as-Shilah” no.1900, bab “Maa Ja-a min al-fadhli fi ridhaa al-walidaini”, Ibnu Majah dalam kitab “al-Adabu” no.3663, bab “Birrul walidaini”, Ahmad dalam al-Musnad no.21717, dari hadits Abid Darda’ radhiyallahu ‘anhu, dan disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no.7145).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ: عُقُوقَ الأُمَّهَاتِ

“Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla mengharamkan atas kalian mendurhakai ibu” (HR. al-Bukhari dalam kitab “al-Adabu” no.5975, bab “’uquuqul walidaini minal Kaba’ir”, Muslim dalam kitab “al-Aqdhiyah” no.593, dari hadis Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu).

Dalam hadis lain, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

«أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الكَبَائِرِ؟» ثَلَاثًا، قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: «الإِشْرَاكُ بِاللَّهِ، وَعُقُوقُ الوَالِدَيْنِ» وَجَلَسَ ـ وَكَانَ مُتَّكِئًا ـ فَقَالَ: «أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ»، فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا: لَيْتَهُ سَكَتَ

“Maukah aku beritahukan kepada kalian sesuatu yang termasuk dari dosa besar? Kami menjawab, “Tentu wahai Rasulullah”. Beliau mengulanginya tiga kali seraya bersabda, “Menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua” -ketika itu beliau tengah bersandar, kemudian duduk lalu melanjutkan sabdanya, “Perkataan dusta dan kesaksian palsu, perkataan dusta dan kesaksian palsu”. Beliau terus saja mengulanginya hingga saya mengira (khawatir) beliau tidak akan diam” (HR. Bukhari dalam kitab “as-Syahaadaat” no.2654, bab “Maa qiila fii syahaadati az-zuuri”, Muslim dalam kitab “al-Imaan” no.87, dari hadits Abi Bakrah radhiyallahu ‘anhu).

Dan banyak nushush serta aatsaar juga yang berkaitan dengan hal tersebut.

Oleh karenanya, apabila salah satu atau kedua orang tua melakukan perbuatan kufur, jelas tampak kesyirikan yang mereka lakukan seperti berdoa kepada mayit, memohon kepada selain Allah, berbuat kesyirikan dan ingkar terhadap wujud Allah atau mencela Allah dan rasul-Nya serta agamanya dan berbagai perbuatan kekufuran lainnya. Maka wajib bagi kita untuk berlepas diri secara mutlak dari mereka. Mengingkari dan membenci perbuatan mereka serta tidak meletakkan cinta dan kasih sayang kepada mereka sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَأَنذِرۡ عَشِيرَتَكَ ٱلۡأَقۡرَبِينَ . وَٱخۡفِضۡ جَنَاحَكَ لِمَنِ ٱتَّبَعَكَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ.  فَإِنۡ عَصَوۡكَ فَقُلۡ إِنِّي بَرِيٓءٞ مِّمَّا تَعۡمَلُونَ.

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah, “Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan” (QS. Asy-Syu’ara : 214-216).

Allah Ta’ala juga berfirman,

لَّا تَجِدُ قَوۡمٗا يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ يُوَآدُّونَ مَنۡ حَآدَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَوۡ كَانُوٓاْ ءَابَآءَهُمۡ أَوۡ أَبۡنَآءَهُمۡ أَوۡ إِخۡوَٰنَهُمۡ أَوۡ عَشِيرَتَهُمۡۚ

“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka”. (QS. Asy-Syu’ara: 22).

Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُواْ عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمۡ أَوۡلِيَآءَ تُلۡقُونَ إِلَيۡهِم بِٱلۡمَوَدَّةِ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang”. (QS. Al-Mumtahanah: 1).

Ketahuilah bahwa dalam praktik akidah al-bara’ melarang kita berbuat keburukan kepada mereka baik dengan perkataan maupun perbuatan selama mereka tidak memerangi kita. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

لَّا يَنۡهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يُقَٰتِلُوكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَلَمۡ يُخۡرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمۡ أَن تَبَرُّوهُمۡ وَتُقۡسِطُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ . إِنَّمَا يَنۡهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ قَٰتَلُوكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَأَخۡرَجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمۡ وَظَٰهَرُواْ عَلَىٰٓ إِخۡرَاجِكُمۡ أَن تَوَلَّوۡهُمۡ‌ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُمۡ فَأُوْلَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّـٰلِمُونَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah : 8-9)

Maksudnya bahwa Allah Ta’ala tidak melarang kita untuk berbuat kebaikan dan menyambung silaturahmi kepada kaum musyrikin dari kerabat-kerabat kita selama mereka tidak memerangi agama kita dan tidak mengusir kita dari kediaman kita.

Maka tidak mengapa bagi kita untuk menyambung persaudaraan dengan mereka. Sebab menyambung persaudaraan dengan mereka dalam perkara tersebut tidaklah terlarang dan tidak pula merusak. (lihat Tafsir as-Sa’diy: 865).

Terlebih lagi menyambung hubungan kekerabatan dengan kedua orang tua yang merupakan kewajiban untuk berbuat baik kepada mereka meskipun mereka berbuat kesyirikan. Memperlakukan mereka dengan cara yang baik dengan batasan tidak bermaksiat kepada Allah dan tidak pula melanggar syariat-Nya. Karena Allah Ta’ala mewajibkan kita untuk taat dan berbuat baik kepada kedua orang tua bahkan Allah Ta’ala memposisikan kewajiban berbuat baik kepada kedua orang tua menjadi ibadah tersendiri. Allah Ta’ala berfirman,

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنًاۚ إِمَّا يَبۡلُغَنَّ عِندَكَ ٱلۡكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوۡ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفّٖ وَلَا تَنۡهَرۡهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوۡلٗا كَرِيمٗا٢٣ وَٱخۡفِضۡ لَهُمَا جَنَاحَ ٱلذُّلِّ مِنَ ٱلرَّحۡمَةِ وَقُل رَّبِّ ٱرۡحَمۡهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرٗا

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia” (QS. Al-Isra’ : 23-24).

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَإِن جَٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشۡرِكَ بِي مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٞ فَلَا تُطِعۡهُمَاۖ وَصَاحِبۡهُمَا فِي ٱلدُّنۡيَا مَعۡرُوفٗ

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku” (QS. Luqman: 15).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla” (HR. Ahmad dalam al-Musnad no.1095, dari hadis ‘Ali radhiyallahu ‘anhu dan disahihkan oleh al-Albani dalam kitabnya as-Silsilah as-Shahihah no.179).

Perkara ini (yaitu berbuat kebaikan) tidak hanya terbatas kepada kedua orang tua saja. Namun juga meliputi perbuatan baik kepada para kerabat dan orang lain berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala,

وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡـٔٗا وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗا وَبِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱلۡجَارِ ذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡجَارِ ٱلۡجُنُبِ وَٱلصَّاحِبِ بِٱلۡجَنۢبِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۗ

“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya yang kamu miliki”. (QS. an-Nisa : 36)

Semoga Allah menganugerahkan petunjuk, takwa, rezeki dan ampunan serta kesabaran, kebaikan, ketabahan dan perilaku terpuji. Semoga Allah juga meluaskan pintu kebaikan dan menambah kemuliaan-Nya.

Semoga Allah menghilangkan segala kegelisahan dan kesulitan dari ibu anda. Semoga Allah melindungi dari segala kemalangan dan  ketakutan. Semoga Allah menghilangkan segala keburukan dari dirinya. Semoga Allah mudahkan semua kebaikan atasnya. Semoga Allah berikan itu semua juga kepada kaum muslimin. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar dan Maha Menjawab Doa.

والعلم عند الله تعالى، وآخِرُ دعوانا أنِ الحمدُ لله ربِّ العالمين، وصلَّى الله على نبيِّنا محمَّدٍ وعلى آله وصحبِه وإخوانِه إلى يوم الدِّين، وسلَّم تسليمًا

Sumber: https://ferkous.com/home/?q=fatwa-1258

Penerjemah: Fauzan Hidayat, S.STP., MPA

Sumber: https://muslim.or.id/67508-sikap-terhadap-ibu-yang-zalim-dan-cara-menasihatinya.html

Mualaf Wahyu Salman, Shalawat Nabi Kembalikannya ke Islam

Muhammad Wahyu Salman Alfarisi pernah keluar Islam dan kembali menganutnya

Muhammad Wahyu Salman Alfarisi menuturkan perjalanan panjangnya dalam menemukan kebenaran, hingga akhirnya kembali menerima Islam. Lelaki yang kini berusia 26 tahun itu mengakui, ada banyak ujian kehidupan yang harus dilalui sebelum menjadi mualaf. Lika-liku tersebut mengantarkannya pada kemantapan hati untuk terus memeluk Islam. 

Pria ini lahir dengan nama Wahyu Sajiwo di Bali. Menurut dia, kisah masa kecilnya tidaklah bahagia, seperti anak-anak pada umumnya. Sejak lahir, ibundanya telah wafat. Ia pun dibesarkan oleh ayahnya yang berasal dari Aceh. Di Tanah Rencong, dirinya melalui fase anak-anak.

Pada 26 Desember 2004, gempa bumi dahsyat yang diiringi tsunami mengguncang provinsi tersebut. Nyaris seluruh Aceh dan daerah sekitarnya porak poranda. Ayah Wahyu ikut meninggal dunia dalam peristiwa ini. Sesudah hari-hari duka, Wahyu kecil pun diasuh kakeknya.

Namun, pengasuhan tersebut tidak bisa lama.Sebab, sang kakek pun menghembuskan napas ter akhir. Tanpa siapa-siapa sebagai penyokong, ia pun dititipkan di sebuah panti asuhan. Saat ber usia 11 tahun, bocah lelaki ini diadopsi sebuah keluarga angkat.

Dari nasab baik ayah dan ibunya, ia sesungguhnya merupakan Muslim. Akan tetapi, dirinya tidak bisa berbuat apa-apa saat diasuh keluarga yang non-Muslim. Apalagi, mereka membesarkan dan merawatnya dengan baik. Dengan terpaksa, Wahyu mengikuti agama kedua orang tua angkatnya.

“Saya sudah dapat berpikir saat itu, namun karena kebutuhan hidup dan sekolah, tak apalah saya mengikuti agama mereka, asalkan saya bisa makan dan sekolah,” ujar dia menuturkan kisahnya kepada Republika.co.id, beberapa waktu lalu.

Lambat laun, Wahyu menjadi pribadi yang taat beribadah. Bahkan, keluarga angkatnya pun menawarinya untuk menjadi seorang agamawan. Namun, keinginan mereka tidak sempat terlaksana. Sebab, ia berhasil mendapat beasiswa untuk menempuh SMA di Batu, Jawa Timur. 

Orang tua angkatnya mengizinkan Wahyu muda untuk hijrah dari Aceh ke sana. Maka, berangkatlah remaja ini seorang diri merantau ke kota tersebut. Di daerah yang terkenal akan agrowisata itu, ia tinggal di sebuah asrama. Mayoritas penghuninya menganut agama yang sama dengannya.

Di Batu, pergaulan Wahyu makin luas. Lagi pula, sekolah tempatnya belajar menjadi tempat berkumpulnya banyak murid dari beragam kalangan. Tidak sedikit kawannya yang beragama Islam. Perlahan namun pasti, ia mulai menemukan kembali agama fitrah yang dahulu ditinggalkannya.

Selama di perantauan, Wahyu lebih sering hidup mandiri. Dari kedua orang tua angkat, dirinya jarang mendapatkan kiriman uang. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ia pun harus bekerja keras.

Pernah pemuda ini mencoba-coba berjualan kerupuk secara keliling dari pintu ke pintu. Semua dilakukannya tanpa malu atau risih.Sebab, tidak ada salahnya selama pekerjaan tersebut tidak merugikan siapa-siapa.   

Saat itu, ia masih berada di kelas dua SMA.Sewaktu mata pelajaran agama Islam, ia kadang kala tetap bertahan di kelas. Mungkin muridmurid dan guru menganggapnya biasa atau sedang malas keluar.

Akan tetapi, diam-diam Wahyu menyimpan rasa ingin tahu tentang Islam.Di luar waktu sekolah, Wahyu juga menyempatkan diri untuk membersihkan masjid dan mushala yang tak jauh dari sekitar asramanya.Ia sangat senang ketika mendengar suara azan.

Ia juga mulai belajar berpuasa Senin Kamis dan Ramadhan. Bahkan, ia pun menyisihkan uangnya untuk membeli baju koko yang sangat disukainya.

“Saya sangat senang mengenakan koko putih.Jadi, saya beli beberapa dan sering memakainya.Sem pat ditegur ibu asrama karena saya mengenakan pakaian Muslim, padahal saya merasa nyaman-nyaman saja,” katanya.

Sebelum lulus SMA, Wahyu pun makin bertekad untuk mempelajari Islam. Akan tetapi, niat untuk bersyahadat belum ada. Ia memang mulai belajar sholat, meski sempat temannya menolak untuk mengajarkannya gerakan-gerakan ibadah ini.

Wahyu tidak putus asa. Ia pun mencari teman lain yang mau membimbingnya. Baginya, lebih leluasa belajar Islam karena memang sedang menetap jauh dari keluarga angkat. Ia pun tidak pernah pulang ke Aceh ketika masa liburan sekolah.

Waktu luang dimanfaatkannya banyak-banyak untuk belajar Islam dan mencari tambahan uang. Sampai satu ketika, Wahyu bermimpi aneh.

Dalam mimpinya, ia bertemu dengan seorang wanita berparas cantik, berpakaian serbaputih.Perempuan tersebut memberi isyarat ingin menggandeng tangannya. Namun, Wahyu tak sampai menyentuhnya.

Begitu bangun, lelaki ini masih menyimpan rasa penasaran. Keesokan harinya, Wahyu bertanya kepada seorang ustadz yang juga bertugas menjaga asrama. Sang ustadz lantas bertanya soal agama dan orang tuanya. Setelah mendengar cerita Wahyu, ustadz tersebut menyimpulkan bahwa wanita itu adalah ibunya yang berbeda agama, saat itu, dengannya.

Mimpi kedua adalah Wahyu bertemu ayahnya. Namun, seperti mimpi sebelumnya, ia enggan digandeng ayahnya. Saat ditanya perihal itu, ustadz ini kembali menjelaskan bahwa kedua orang tuanya yang Muslim berbeda agama dengan Wahyu sendiri. Alhasil, kemungkinan besar doa-doanya tidak akan sampai diijabah; doa anak yang berbeda agama tidak akan sampai. 

Mereka seperti berharap agar Wahyu kembali kepada agama lamanya, yakni Islam. Dengan begitu, ia pun bisa mendoakan mereka. Sebelum (kembali) menjadi Muslim, Wahyu sangat ketakutan jika mendengar ada orang meninggal.

Sebab, ajaran agama sebelumnya, yakni agama orang tua angkatnya,meyakini bahwa ketika seseorang meninggal maka akan dilahirkan kembali. Jika sebelumnya berbuat baik, yang lahir kemudian reinkarnasi yang baik. Kalau selama hidup sering berbuat keburukan maka akan lahir kembali dengan kondisi yang lebih jelek dari sebelumnya.

Wahyu selama ini hanya beribadah fokus untuk dirinya sendiri. Tidak pernah memikirkan orang tuanya.   

Di Islam, Wahyu mulai kembali mengingat kedua orang tuanya. Saat terbangun dari mimpi-mimpi itu, Wahyu menangis sedih.

Menurut ustaz tersebut, kesedihan itu adalah jalan hidayah untuk Wahyu. Ia yakin betul, Allah menghendakinya untuk kembali kepada Islam. Wahyu kemudian belajar sholat Jumat dan diajak mengaji di sebuah majelis shalawat. 

Saat bershalawat, ada bayangan kerinduan akan Nabi Muhammad SAW. Karena itu, hatinya kian mantap untuk mengikrarkan dua kalimat syahadat. Masjid At Taqwa, Batu, Jawa Timur, menjadi saksi deklarasi keimanannya.

Waktu itu, Desember 2016.Momen tersebut bertepatan dengan dirinya lulus SMA. Wahyu pun harus keluar dari asrama tempatnya menetap selama ini. Beruntung, ustadz pengawas asrama mengajaknya untuk tinggal di sebuah pondok pesantren di Malang.

“Setelah lulus, saya ingin kuliah, namun tak tahu biaya dari mana, bersyukur sejak di ponpes, Wahyu mendapatkan beasiswa S-1, bahkan dua sekaligus,” jelasnya.     

Saat itu, ia hanya mendapatkan beasiswa untuk biaya sekolah sedangkan untuk biaya hidup dan kebutuhan lain tidak ada.Wahyu harus pindah meski ilmu agamanya belum cukup dia timba.

Banyak teman ponpes yang menyalahkannya karena ia pindah artinya tidak percaya dengan Allah yang Mahapemberi rezeki. Namun, prinsip Wahyu berbeda. Wahyu tidak ingin bergantung berdakwah untuk membiayai hidup, tetapi justru dengan berbisnis yang akan membiayai dakwah.

Berbagai bisnis ia lakukan karena selain ingin membantu pondok pesantren, ia juga menjadi kakak asuh bagi beberapa anak-anak yatim di panti asuhan.

“Alhamdulillah, saya bisa kirim beras untuk ponpes dan adik-adik panti asuhan, bisnis kuliner dan fotokopi saya lakukan, “ujar dia.

Dari sejak saat itu, santri di ponpes berubah pandangan tentang bisnis dan dakwah.Mereka mulai mengikuti jejak Wahyu untuk berbisnis demi mengembangkan pondok pesantren.

Menjadi Muslim, perjalanan hidupnya makin lancar. Namun, di sisi lain, hubungan Wahyu dengan keluarga angkatnya makin renggang.

Setelah memeluk Islam, teman-teman dari agama lamanya di Malang menyampaikan kabar kepada keluarga angkatnya. Tentu mereka kecewa. Tak sampai di situ, bahkan tetangga mereka pun mengucilkan orang tua angkatnya karena Wahyu memeluk Islam.

Menjadi Muslim memang memiliki banyak tantangan, apalagi ketika berhijrah.Wahyu pun mengalaminya. Dijauhi teman dan keluarga merupakan bagian dari ujian, berkaca dari perjuangan Rasulullah pun hampir sama, bahkan Rasul dilempari batu dan dihina sangat parah.

Dari kisah Rasulullah ini membuatnya makin istiqamah. Wahyu lebih fokus untuk memperbaiki sholat, membaca Alquran, dan makin berusaha untuk mengembangkan usahanya.

Dengan latar belakang sebagai sarjana pertanian dan manajemen, Wahyu pun mengembangkan usaha sayur organik. Bahkan, ia meruntuhkan hinaan orang lain dan menunjukkan bahwa anak yatim piatu bisa sukses jika berusaha.

Tak hanya beasiswa, ia pun lulus S-1 di dua tempat dan mendapatkan beasiswa ke Brunei Darrusalam untuk S-2. Namun, pandemi Covid telanjur menyerang sehingga keberangkatannya batal.

Allah memiliki rencana lebih indah.Ternyata, jodoh pasangan hidup yang lebih dahulu didekatkan. Pada Februari 2020, Wahyu melangsungkan pernikahan.

Keluarga istri pun menyambut dengan tangan terbuka kondisi Wahyu. Bagi mereka, tidak ada alasan untuk tidak menerima Wahyu menjadi bagian dari keluarganya.

Kini, Wahyu bersama istri menetap di Malang. Wahyu dan rekan-rekan lainnya juga membentuk komunitas sosial dengan berbagai kegiatan. Salah satunya adalah wakaf Alquran ke berbagai daerah.    

KHAZANAH REPUBLIKA

Kiat-Kiat agar Doa Dikabulkan (Bag. 6)

Kiat Kesembilan: Serius dan Mengulang-ulang dalam Berdoa Serta Tidak Tergesa-gesa Ingin Dikabulkan

Dari Abu Hurairah , bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يُعَجِّلْ يَقُوْلُ: دَعَـوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِيْ

“ Doa seseorang di antara kalian akan dikabulkan selama dia tidak tergesa-gesa sehingga  mengucapkan: “Aku telah berdoa, namun doaku belum terkabulkan.” (HR. Bukhari)

Di antara adab doa yang agung adalah memohon dengan serius, mengulang-ulang bacaan doa, terus-menerus berdoa, serta mencari waktu yang utama untuk berdoa.  Barangsiapa yang terus menerus mengetuk pintu-pintu doa akan semakin dekat kemungkinan dibuka pintu untuknya.

Barangsiapa merenungkan doa ulil albaab yang Allah sebutkan di akhir surat Ali Imran tentang bagaimana mereka mengulangi ucapan “Rabbanaa” sebanyak lima kali dalam doa mereka, maka akhirnya  Allah sebutkan di akhir surat  :

فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ

“ Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya  “  (Ali Imran : 195)

Hendaknya seorang hamba tidak tergesa-gesa ingin dikabulkan doanya, karena sikap tergesa-gesa adalah  di antara hal merusak yang  merupakan penghalang terkabulnya doa. Sesungguhnya sikap tergesa-gesa akan memperlambat pengkabulan doa. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menekankan dalam perkataan beliau :

و الحّ عليه في المسألة, و تملّقه

“ Bersikap serius dalam meminta, dan penuh adab dalam berdoa

Yang dimaksud adalah bersikap tamalluq adalah pelan dan lemah lembut dalam meminta. Beliau rahimahullah mengisyaratkan dengan hal ini bahwasanya berdoa hendaknya pelan-pelan, penuh adab, dan menampakkan rasa butuh kepada Allah Rabbul’ aalamin.

Kiat Kesepuluh: Berdoa Disertai dengan Penuh Harap dan Takut

Menggabungkan antara raghbah (rasa harap) dan rahbah (rasa cemas/takut) merupakan perkara penting untuk mendapat keberhasilan dalam berdoa dan ibadah yang lainnya. Seorang mukmin seyogyanya dalam ibadahnya menggabungkan antara harap dan takut. Ketika Allah menyebutkan kisah para nabi dalam surat Al Anbiya’ dan bagaimana mereka selamat dari berbagai kesulitan dan ujian, di akhir ayat Allah menyebutkan :

فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَى وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُ إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَباً وَرَهَباً وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

“ Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.  “ (Al Anbiya’:90)

Mereka menggabungkan dalam doa mereka antara takut dan harap. Raghbah adalah berharap dengan apa yang ada di sisi Allah, maka orang yang berdoa meminta kepada Rabbnya dalam keadaan berharap dengan keutamaan dan nikmat dari_nya. Adapun rahbah adalah rasa takut dari azab-Nya dan pedihnya hukuman dari-Nya.

Di antara sifat orang mukmin yang sempurna adalah :

وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوا وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ

“ Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut. “ (Al Mukminun : 60)

Mereka bersungguh-sungguh dalam ibadah berharap pahala dari Rabbul ‘alamin, namun hati mereka disertai kekhawatiran tidak diterimanya amal-amal mereka. Mereka senantiasa menggabungkan dalam ibadah mereka  antara raghbah dan rahbah.

Contoh lain adalah doa Nabi Ibrahim khalilur rahman ketika Allah memerintahkan beliau untuk membangun Baitullah al Haraam, maka beliau berdoa :

رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.“ (Al Baqarah :127)

Beliau adalah termasuk rasul ‘ulul azmi yang juga merupakan kekasih Allah yang dijuluki khalilur rahman. Beliau pula lah yang melakukan amalan yang paling mulia yaitu membangun dan memakmurkan Baitullah. Meskipun begitu, beliau masih tetap berdoa kepada Allah dengan berharap Allah menerima darinya amal tersebut.

Oleh karena itu Wuhaib bin Ward rahimahullah tatkala membaca ayat ini beliau menangis seraya berkata :

يا خليل الرحمٰن ترفع قوائم بيت الرحمٰن وأنت مُشفق أن لا يتقبّل منك

“ Wahai khalilur rahman, engkau membangun baitur rahman, namun engkau sangat khawatir Allah tidak menerima amalmu 

Insyaallah bersambung dengan penjelasan kiat-kiat lainnya agar doa dikabulkan. Semoga bermanfaat.

[Bersambung]

***

Sumber : Ad Duaa alladzii Laa Yurod  karya  Syaikh Prof. Dr. ‘Aburrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al Badr hafidzahullah yang diunduh dari : https://www.al-badr.net/ebook/192

Penulis: dr. Adika Mianoki, Sp.S

Sumber: https://muslim.or.id/67535-kiat-kiat-agar-doa-dikabulkan-bag-6.html

Jangan-Jangan Kita Terkena Penyakit Waswas, Ini Cara Mengobatinya

Bagaimana cara mengobati penyakit waswas?

Ada orang yang sudah kencing sebelum shalat. Dalam shalat, ia ada perasaan seperti ada yang menetes. Ketika selesai shalat, ia periksa, ternyata tidak ada apa-apa, tidak ada pula bau kencing. Kejadian ini terus berulang.

Kejadian di atas termasuk waswas.

Waswas atau waswasah adalah bisikan jiwa dan setan yang tak mengandung manfaat dan kebajikan.

Bedakan antara syakk dan waswasah. Syakk merupakan kebimbangan antara terjadi atau tidaknya sesuatu yang kemungkinan keduanya seimbang, dan merupakan keyakinan keseimbangan yang sama kuat antara keduanya, tak ada kelebihan yang satu atas yang lain. Sedangkan waswasah adalah bisikan jiwa dan setan yang tidak dilandaskan pada keyakinan dasar. Lain hal dengan syakk yang dilandasi suatu keyakinan dasar.

Waswasah merupakan penghilang khusyuk paling dominan. Maka bila hamba selamat dari penyakit berbahaya ini, berarti ia selamat dari banyak keburukan. Al-waswas (yang selalu membisikkan gangguan) adalah setan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam ayat,

مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ

Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi.” (QS. An-Naas: 4)

Sebab-Sebab Munculnya Waswasah

  1. Minimnya ilmu syari, yaitu pengetahuan tentang Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ajaran para sahabat serta orang-orang yang mengikuti mereka.
  2. Lemahnya keimanan, dan setan itu hanya mampu menguasai ahli maksiat, bukan menguasai orang yang kuat imannya.
  3. Lalai dari mengingat Allah, sebab dzikir itu mampu mengusir setan dan gangguan-gangguannya.
  4. Kelemahan akal, sebab yang memiliki akal sempurna akan selamat dari waswasah, dengan karunia Allah.
  5. Tidak bergaul dengan orang-orang yang memiliki ilmu dan iman sempurna.
  6. Tidak mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Gejala-Gelaja Waswasah pada Orang yang Mengidapnya

  1. Lama dalam melakukan istinjak, wudhu, atau mandi.
  2. Mengulang-ulang wudhu, thaharah, atau shalat, berlebih-lebihan dalam menggunakan air untuk bersuci dan mengulangi ibadah-ibadah ini karena menganggapnya tidak sah.
  3. Mengulang-ulang huruf dalam melafalkan bacaan-bacaan Al-Qur’an, doa-doa shalat dan lainnya.
  4. Mengganti baju karena menyangkanya terkena najis.
  5. Bisikan yang terkait dengan hal akidah.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَأْتِى الشَّيْطَانُ أَحَدَكُمْ فَيَقُولُ مَنْ خَلَقَ كَذَا مَنْ خَلَقَ كَذَا حَتَّى يَقُولَ مَنْ خَلَقَ رَبَّكَ فَإِذَا بَلَغَهُ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللَّهِ ، وَلْيَنْتَهِ

Setan datang pada salah seorang kalian lalu mengatakan, siapa yang menciptakan ini? Siapa yang menciptakan ini? Hingga ia mengatakan, siapa yang menciptakan Rabbmu? Bila ia sampai pada yang demikian itu hendaknya ia berlindung kepada Allah dan segera berhenti darinya.” (HR. Bukhari, no. 3276 dan Muslim, no. 134)

Dalam redaksi riwayat Muslim, “Tak henti-hentinya manusia saling bertanya, hingga dikatakan, ini Allah telah menciptakan semua makhluk, lalu siapa yang menciptakan Allah? Siapa mendapati sesuatu dari hal ini hendaknya ia mengatakan, aku beriman kepada Allah.”

Dalam riwayat Muslim yang lain, “Setan mendatangi salah seorang kalian lalu mengucapkan, siapa yang menciptakan langit? Siapa yang menciptakan bumi? Maka ia menjawab, “Allah ….”

Muslim menyebutkan riwayat di atas dan menambahkan, “(Aku beriman kepada Allah) dan rasul-rasul-Nya.”

Mengobati Waswasah

  1. Menuntut ilmu syariat (mendalami ilmu agama).
  2. Memperkuat keimanan dengan mengerjakan amal-amal ketaatan dan ibadah-ibadah sunnah.
  3. Senantiasa ingat pada Allah di segala kondisi.
  4. Bergaul dengan orang saleh dan orang-orang yang dapat memberi manfaat.
  5. Mengetahui bahwa kebenaran itu hanya apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  6. Mengakui bahwa waswasah adalah kebatilan yang paling batil.
  7. Memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan.
  8. Tidak lama-lama berada di dalam kamar mandi atau WC melebihi kebutuhan. Karena jamban dan WC adalah tempat setan dan ruh-ruh yang jahat.
  9. Memercikkan air pada kemaluan setelah istinjak dan celana untuk mengantisipasi waswasah dari jiwa.

Dalam hadits Al-Hakam bin Sufyan Ats-Tsaqafi, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا بَالَ يَتَوَضَّأُ وَيَنْتَضِحُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila kencing, beliau berwudhu dan memercikkan air pada kemaluan.” (HR. Abu Daud, no. 166; Ibnu Majah, no. 461; An-Nasai, no. 134. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Apabila seseorang yakin telah melakukan thaharah (baik wudhu atau lainnya), kemudian ragu telah berhadats ataukah belum, ia boleh shalat dengan thaharahnya itu. Sebab, ia dalam keadaan suci. Sebaliknya bila ia yakin telah berhadats kemudian ragu telah bersuci ataukah belum, ia tidak perlu mempedulikan keraguan itu, kecuali bila ia yakin telah bersuci. Kemudian bila banyak keraguan yang muncul, maka ia tidak perlu mempedulikannya.

Baca juga: Kaidah Fikih, Ragu Tidak Bisa Mengalahkan yang Yakin

Semoga Allah beri taufik dan hidayah kepada penulis dan setiap yang membaca tulisan ini.

Referensi:

Al-Khusyu’ fii Ash-Shalah fii Dhau Al-Kitab wa As-Sunnah. Cetakan kedua, Tahun 1434 H. Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahthani.

Darush Sholihin, 12 Dzulhijjah 1442 H

Muhammad Abduh Tuasikal 

Sumber https://rumaysho.com/28887-jangan-jangan-kita-terkena-penyakit-waswas-ini-cara-mengobatinya.html