Hari Itu Pasti Akan Tiba!

Allah Swt Berfirman :

إِنَّ يَوۡمَ ٱلۡفَصۡلِ مِيقَٰتُهُمۡ أَجۡمَعِينَ

“Sungguh, pada hari keputusan (hari Kiamat) itu adalah waktu yang dijanjikan bagi mereka semuanya.” (QS.Ad-Dukhan:40)

Ayat ini singkat namun bisa menggetarkan hati yang lalai. Ancaman bagi orang-orang yang dzalim. Penyejuk hati bagi orang-orang yang teraniaya. Dan kabar gembira bagi hati yang menyimpan cinta pada Tuhannya.

Kelak waktunya kan tiba. Semua kedzaliman akan terbalas dengan adil. Semua kesabaran akan berbuah dengan indah. Dan semua pengorbanan akan terbayarkan.

Waktu ini sangat singkat. Mungkin hari ini mereka yang dzalim masih bisa tertawa dan menghina, tapi esok hari mereka akan tertunduk dan merana. Dan mungkin hari ini orang-orang yang teraniaya akan menahan luka dengan kesabaran dan esok mereka pasti akan jadi pemenang.

Berhati-hati lah.. Jangan sampai kita menjadi mereka yang menyesal di saat hari itu telah tiba.

Ingatlah bahwa orang yang dzalim kelak pasti akan menyesal.

وَيَوۡمَ يَعَضُّ ٱلظَّالِمُ عَلَىٰ يَدَيۡهِ يَقُولُ يَٰلَيۡتَنِي ٱتَّخَذۡتُ مَعَ ٱلرَّسُولِ سَبِيلٗا

“Dan (ingatlah) pada hari (ketika) orang-orang zhalim menggigit dua jarinya, (menyesali perbuatannya) seraya berkata, “Wahai! Sekiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama Rasul.” (QS.Al-Furqan:27)

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Amalmu Tidak Terhenti dengan Kematianmu

Kita diperintahkan oleh Allah swt untuk selalu berlomba dalam beramal. Semua amal itu akan tercatat dengan detail dan kelak akan kembali kepada kita.

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ

Dan katakanlah, “Beramal-lah kalian, maka Allah akan melihat amalmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin.” (QS.At-Taubah:105)

Namun yang ingin kita kaji hari ini adalah bahwa ternyata amal itu tidak terhenti dengan kematian. Manusia masih bisa beramal setelah kematiannya.

Lalu bagaimana cara agar kita selalu dapat transfer pahala setelah kematian kita?

Beberapa ayat dalam Al-Qur’an menjelaskan bahwa amal manusia yang dicatat adalah amalan ketika ia hidup dan setelah ia mati.

Allah swt berfirman,

وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ

“Dan Kamilah yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka (tinggalkan). Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab yang jelas.” (QS.Ya-Sin:12)

يُنَبَّأُ الْإِنْسَانُ يَوْمَئِذٍ بِمَا قَدَّمَ وَأَخَّرَ

“Pada hari itu diberitakan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya.” (QS.Al-Qiyamah:13)

Semua yang kita lakukan di masa hidup meliputi ibadah, sosial dan apapun bentuk kebaikannya akan tercatat rapi.

Lalu bagaimana bentuk amal yang tetap mengalir setelah kematian kita?

Ada kebaikan-kebaikan yang memiliki efek jangka panjang.

Seperti nasehatmu kepada saudaramu…

Perbuatan baikmu yang menjadi inspirasi bagi orang lain…

Buku yang kau tulis…

Sesuatu yang kau wakafkan..

Sumur yang kau gali dan terus bermanfaat bagi manusia..

Sesuatu yang kita tinggalkan bisa menjadi sumber pahala setelah kematian kita. Asal bisa terus memberi kebaikan dan manfaat bagi manusia.

Dalam sebuah riwayat disebutkan,

“Siapa yang melakukan kebaikan akan memperoleh pahala kebaikan tersebut dan mendapat pahala orang yang terinspirasi oleh kebaikan tersebut hingga hari kiamat.

Dan apabila seseorang berbuat keburukan maka akan mendapatkan dosanya dan dosa orang yang terinspirasi dari perbuatannya hingga hari kiamat.

Ayo kita berlomba selama masih ada kesempatan sebelum ajal tiba. Perbanyak investasi amal yang akan terus mengalirkan pahala bahkan setelah kematian kita.

Bangunlah fasilitas umum yang memberi manfaat bagi orang banyak. Sebarkan inspirasi-inspirasi kebaikan agar semakin banyak orang yang terdorong untuk berbuat baik.

Dan di waktu yang sama, jangan pernah kau tinggalkan contoh perbuatan yang buruk, karena sampai kapanpun keburukan yang menjadi ide bagi orang lain itu akan mengalir walau kita telah mati.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Anda ingin wakafkan Jam Masjid untuk masjid atau musholah? Klik di sini!

Syekh Siti Jenar Pernah Berhaji, Ini Beberapa Renungannya

Syekh Siti Jenar merupakan salah seorang ulama yang terkenal di nusantara. Dia lahir di daerah Gunung Jati, sebuah daerah di antara Indramayu-Cirebon. Selama hidupnya, Syekh Siti Jenar juga pernah menunaikan ibadah haji.

Dalam buku “Pengakuan-Pengakuan Syekh Siti Jenar” karya Argawi Kandito diceritakan, setelah beberapa waktu menimba ilmu di Baghdad dan menjelang kepulangannya ke Jawa, Syekh Siti Jenar menyempatkan diri untuk menunaikan ibadah haji ke tanah suci Makkah.

Selama melakukan ibadah haji, Syekh Siti Jenar merasa memperoleh inspirasi dari rangkaian ibadah haji. Dia pun memberikan pemaknaan terhadap ibadah haji yang dilakukannya. Tiap rukun haji juga dimaknainya secara mendalam.

Menurut Syekh Siti Jenar, haji ditandai dengan datangnya orang dari seluruh penjuru dunia. Dari bagian selatan, barat, utara, dan ujung timur bumi. Orang-orang datang menuju satu titik yang ditandai dengan bangunan Ka’bah.

Hal ini, menurut Syekh Siti Jenar, menunjukkan arti moniteisme, yaitu kepercayaan bahwa Tuhan itu tunggal. Menurut dia, ibadah haji merupakan wujud dari syahadat tauhid, yang berisi persaksian bahwa Tuhan itu esa. Yaitu, Asyhadu an la ilaha illallah yang artinya aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah.

Menurut Syekh Siti Jenar, kedatangan kedatangan kaum Muslimin ke Ka’bah untuk melakukan ritual-ritual yang berdasarkan rukun dan syaratnya menunjukkan manifestasi dari persaksiannya bahwa Nabi Muhammad SAW adalah benar-benar utusan Allah, Wa Asyhadu anna Muhammad Rasulullah.

Jadi, menurut Syekh Siti Jenar, ibadah haji itu menunjukkan dan membuktikan bahwa mereka betul-betul percaya bahwa apa yang disampaikan Rasulullah itu adalah benar-benar bersumber dari Allah SWT.

IHRAM

15 Wasiat Kebaikan Imam Husain bin Ali Cucu Rasulullah SAW

Imam Husain menyampaikan 15 wasiat kebaikan untuk segenap umat Islam.

 Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib, adalah cucu kesayangan Rasulullah SAW.  Semasa hidupnya, Husain yang wafat pada 10 Muharram, pada peristiwa Karbala 680 Masehi. 

Semasa hidupnya, Husain dikenal sebagai sosok yang bijak dan cerdik pandai. Banyak pesan-pesan hikmah yang disampaikan untuk umat. Berikut ini beberapa wasiat kebajian sebagaimana dikutip dari kitab Bihar al-Anwar dan Nuzhat an-Nadzir wa Tanbih al-Khathir, dilansir dari laman About Islam, Senin (24/8):   

1. Orang yang paling dermawan adalah orang yang menawarkan bantuan kepada mereka yang tidak mengharapkan dia untuk membantu 

2. Siapapun yang mencari kepuasan orang melalui ketidaktaatan pada Tuhan, Tuhan akan menundukkannya kepada orang-orang 

3. Hikmat tidak akan lengkap kecuali dengan mengikuti kebenaran 

4. Bagiku kematian tidak lain adalah kebahagiaan, dan hidup di bawah tiran hanyalah hidup di neraka 

5. Mereka yang menyembah Tuhan untuk harapan mendapatkan, mereka bukanlah penyembah sejati, mereka adalah pedagang. Mereka yang menyembah Tuhan karena takut (akan hukuman), mereka adalah budak. Mereka yang menyembah Tuhan untuk bersyukur kepada penciptanya, mereka adalah orang-orang merdeka, dan ibadah mereka adalah nyata  

6. Berhati-hatilah karena kebutuhan orang-orang terhadap kamu termasuk di antara berkat-berkat Tuhan bagi kamu. Jadi jangan menakuti orang-orang yang membutuhkan ketika mereka datang kepada kamu, karena berkah Tuhan akan kembali dan pergi ke tempat lain 

7. Orang yang mengungkapkan kesalahan kamu seperti cermin adalah teman sejati kamu. Orang yang menyanjung kamu dan menutupi kesalahan kamu adalah musuh kamu 

8. Tergesa-gesa dan mudah marah adalah kebodohan 

9. Di antara tanda-tanda ketidaktahuan adalah berdebat dengan orang-orang yang tidak rasional 

10. Di antara tanda-tanda orang terpelajar adalah mengkritik kata-katanya sendiri dan diberitahu dari berbagai sudut pandang 

11. Bersyukur atas anugerah Tuhan membuat Tuhan memberimu anugerah lain 

12. Berhati-hatilah bahwa kebutuhan orang-orang untukmu ada di antara rahmat Tuhan, jadi jangan abaikan yang membutuhkan karena rahmat itu akan berubah menjadi kesulitan. Ketahuilah bahwa perbuatan baik memberi kamu rasa hormat dan pujian dan pahala dari Tuhan. Jika kamu dapat mempersonifikasikan dan memvisualisasikan perbuatan baik sebagai manusia, kamu akan melihatnya sebagai orang yang baik dan tampan, yang penglihatannya menyenangkan untuk dilihat semua orang. Dan jika kamu bisa membayangkan tindakan jahat, kamu akan melihatnya jelek dan menjijikkan, hati membencinya dan mata tertutup ke pandangannya 

13. Kekayaan terbaik adalah yang dengannya seseorang melindungi ketenaran dan martabatnya 

14. Hindari melakukan apa yang nantinya membuat kamu mungkin akan diminta untuk meminta maaf. Karena orang mukmin tidak merugikan dan tidak meminta maaf, sedangkan orang munafik selalu menyakiti dan meminta maaf 

15. Ketika kamu frustrasi dan tidak tahu jalan keluar, hanya fleksibilitas dan moderasi terhadap kesulitan yang akan menyelamatkan kamu  

Sumber: https://aboutislam.net/family-life/culture/15-quotes-wisdom-imam-al-hussain/

KHAZANAH REPUBLIKA

Pahala Infak Melimpah Ruah, Apalagi untuk Jihad Agama Allah

Pahala infak untuk menegakkan syiar agama Allah SWT akan berlipat ganda.

Jihad di jalan Allah SWT begitu besar pahalannya. Pahala jihad akan dilipat gandakan ratus ribuan kali lipat ketika berinfak sambil berjihad.  

Syekh Maulana Muhammad Yusuf Al-Kandahlawi dalam kitabnya “Hayatus Sahabah” mengatakan bahwa Thabrani meriwayatkan dari Muadz bin Jabal ra, Rasulullah SAW bersabda: 

“Berbahagialah orang yang memperbanyak berdzikir kepada Allah saat berjihad di jalan Allah.  Karena sesungguhnya, untuk setiap kalimat yang diucapkannya, akan dikaruniai pahala sebanyak 70 ribu kebaikan. Setiap kebaikan akan digandakan 10 kali lipat dan di sisi Allah masih terdapat tambahannya.”

Maka dikatakan kepada Rasulullah SAW, “wahai Rasulullah! Bagaimana kalau infak?” Rasulullah menjawab “infak mendapat pahala seperti itu juga.”

Abdurrahman berkata: “Aku berkata kepadamu Muadz, sesungguhnya infak yang dilakukan akan digandakan 700 kali lipat. 

Muadz berkata, “Amat rendah kepahamanmu! Itu adalah ganjaran untuk orang yang berinfak, sedangkan mereka duduk di rumah tanpa keluar menyertai perang. Apabila mereka keluar berperang dan berinfak. Allah akan memberi ganjaran dari Khazannah-Nya yang tidak diketahui oleh para hamba-Nya dan tidak bisa diungkapkan oleh mereka. Mereka adalah golongan Allah dan golongan Allah lah yang akan berjaya.”

Al-Haitsami berkata dalam sanadnya terdapat seorang laki-laki yang tidak disebut.  

Diriwayatkan al Qazwini  secara majhul dan mursal sebagaimana tersebut dalam Jamul Fawaid dari Hasan, dari Ali, Abu Darda, Abu Hurairah, Abu Umamah, Ibnu Amr Bin al-‘ash, Jabir dan, Imran bin Hushain  mereka semua memarfu’kannya (hadits marfu’).  

“Barangsiapa yang mengantarkan infak di jalan Allah dan tinggal di rumahnya, maka untuk setiap di dirhamnya akan digandakan pahalanya sebanyak 700 diram. Barangsiapa yang berperang dijalan Allah dan berinfak semata-mata karena Allah maka untuk setiap dirham akan digandakan pahalanya sebanyak 700 ribu dirham. Kemudian beliau membaca ayat berikut. 

وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ ۗ “Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki.”

Berinfak dan berjihad telah dilakukan Abu Bakar, Umar, Utsman, Thalhah, Abdurrahman bin Auf, al-Abbas Said bin Ubadah, Muhammad bin Maslamah, Ashim bin Adi dan banyak sahabat lainnya. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Jauh Dari Al-Qur’an, Bagai Jasad Tanpa Ruh

Allah Swt Berfirman :

ٱلرَّحۡمَٰنُ – عَلَّمَ ٱلۡقُرۡءَانَ – خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ

“(Allah) Yang Maha Pengasih, Yang telah mengajarkan Al-Qur’an. Dia menciptakan manusia.” (QS.Ar-Rahman:1-3)

Surat Ar-Rahman adalah surat yang memiliki bermacam kemuliaan dan keagungan. Tak hanya itu, banyak pula fadilah dan keutamaan yang luar biasa bila kita membacanya.

Uniknya, dalam ayat ini Allah Swt mendahulukan nikmat pengajaran Al-Qur’an sebelum nikmat penciptaan manusia.

عَلَّمَ ٱلۡقُرۡءَانَ – خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ

“Yang telah mengajarkan Al-Qur’an. Dia menciptakan manusia.”

Karena Al-Qur’an berisi tentang kehidupan Ruh, sementara penciptaan manusia berkaitan dengan kehidupan jasad.

Lalu apa nilai jasad tanpa Ruh?

Karena itu Allah Swt menamakan Al-Qur’an sebagai Ruh.

Allah Swt berfirman :

وَكَذَٰلِكَ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ رُوحٗا مِّنۡ أَمۡرِنَاۚ مَا كُنتَ تَدۡرِي مَا ٱلۡكِتَٰبُ وَلَا ٱلۡإِيمَٰنُ وَلَٰكِن جَعَلۡنَٰهُ نُورٗا نَّهۡدِي بِهِۦ مَن نَّشَآءُ مِنۡ عِبَادِنَاۚ وَإِنَّكَ لَتَهۡدِيٓ إِلَىٰ صِرَٰطٖ مُّسۡتَقِيمٖ

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) rµh (Al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya engkau tidaklah mengetahui apakah Kitab (Al-Qur’an) dan apakah iman itu, tetapi Kami jadikan Al-Qur’an itu cahaya, dengan itu Kami memberi petunjuk siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus.” (QS.Asy-Syura:52)

Maka jelas siapapun yang menjauh dari Al-Qur’an dan berpaling darinya maka dia lah manusia yang “kehilangan” Ruhnya.

Dia tuli walau telinganya bisa mendengar…

Dia bisu walau lisannya bisa berbicara…

Dia buta walau matanya bisa melihat…

صُمُّۢ بُكۡمٌ عُمۡيٞ فَهُمۡ لَا يَرۡجِعُونَ

“Mereka tuli, bisu dan buta, sehingga mereka tidak dapat kembali.” (QS.Al-Baqarah:18)

Dia sebenarnya adalah mayat walau berjalan di atas bumi…

إِنَّكَ لَا تُسۡمِعُ ٱلۡمَوۡتَىٰ وَلَا تُسۡمِعُ ٱلصُّمَّ ٱلدُّعَآءَ إِذَا وَلَّوۡاْ مُدۡبِرِينَ

“Sungguh, engkau tidak dapat menjadikan orang yang mati dapat mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang yang tuli dapat mendengar seruan, apabila mereka telah berpaling ke belakang.” (QS.An-Naml:80)

Selama Al-Quran adalah kitab petunjuk, cahaya, rahmat serta barokah maka siapapun yang menjauh darinya maka ia menjauh dari sifat-sifat itu. Lalu bagaimana seseorang dapat hidup tanpa petunjuk, cahaya, rahmat dan barokah?

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Suami di PHK, Istri Boleh Minta Cerai

AKHIR-AKHIR ini banyak orang yang kehilangan pekerjaannya sebagai dampak dari pandemi Covid-19. Perusahaan tempat mereka bekerja tutup. Angka perceraian dikabarkan meningkat. Bagaimana ajaran Islam mengenai hal itu?

FIQIH mengatur segala aspek kehidupan manusia agar sesuai dengan syariat (syar’i). Baik kehidupan pribadi maupun hubungannya dengan makhluk lain. Selama 24 jam dalam sehari, dan 7 hari dalam seminggu. Kelak, semua itu harus ia pertanggungjawabkan di hadapan Allah.

Sementara Akhlak Mahmudah adalah tabiat, tingkah laku atau perangai baik dan patut, yang harus dijaga oleh setiap muslim agar senantiasa terjaga keharmonisan hubungan dengan makhluk di sekitarnya, khususnya antar sesama manusia.

Dalam hal pernikahan, misalnya;

Ketika suami tidak mampu menafkahi istri dan anak-anaknya dengan baik, entah karena ia belum mendapat pekerjaan yang layak, atau tertimpa musibah PHK, maka istri boleh meminta cerai darinya.

Meminta cerai dari suami dalam kasus di atas itu “Syar’i, Tapi Tidak Patut.”

Mengapa?

Sebab rumah tangga dibangun untuk menciptakan ‘sakinah’ (ketentraman/kenyamanan). Dan ‘sakinah’ akan tercipta ketika suami-istri saling mengokohkan di saat yang lain rapuh. Saling menopang di saat yang lain terpuruk. Bukan meninggalkan di saat pasangannya tertimpa musibah.

Wallahu A’lam Bishshawab. [Aini Aryani, Lc]

INILAH MOZAIK

Pahala Membaca Surah Al Ikhlas

Sesungguhnya surah al-Ikhlas sebanding (dengan) sepertiga Alquran.

Ada pahala bagi siapa saja yang membaca surah al-Ikhlas. Nabi SAW bersabda, “Demi (Allah) yang jiwaku di tangan-Nya, sesungguhnya surah al-Ikhlas sebanding (dengan) sepertiga Alquran.” (HR. Bukhari). Itu artinya bagi yang membacanya akan mendapat ganjaran pahala seperti membaca sepertiga Alquran.

Namun Nabi SAW tidak memberi rekomendasi untuk membaca tiga kali surah al-Ikhlas dan tidak perlu lagi membaca surah-surah lainnya. Dalam konteks ini, Nabi SAW sedang menunjukkan bahwa setiap surat di dalam Alquran  memiliki kelebihan masing-masing. Informasi ini diharapkan jadi motivasi.

Secara sosio-histrois, seperti yang ditulis oleh Jalaluddin al-Suyuthi dalam Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, surah al-Ikhlas turun terkait dengan pertanyaan orang-orang musyrik kepada Nabi SAW, “Gambarkanlah kepada kami bagaimana Tuhanmu itu?”  Lalu Allah SWT menurunkan surah ini, empat ayat sekaligus.

Ayat pertama surah al-Ikhlas adalah, “Katakanlah, “Dialah Allah Yang Maha Esa.” (QS. al-Ikhlas/112: 1). Terkait ayat ini, Syaikh Nawawi Banten dalam karya magnum-opus-nya, yakni Tafsir Munir mengutip cerita al-Dahhak tentang orang-orang musyrik yang mengutus Amir Ibnu Tufail untuk membujuk Rasullullah SAW.

Ibnu Tufail berkata, “Kamu telah mencaci-maki tuhan-tuhan sembahan kami dan kamu telah menentang agama nenek-moyang kami. Kalau kamu miskin, maka kami dapat membuat kamu kaya. Andaikata kamu gila, maka kami akan mengobatimu. Termasuk kalau kamu mencintai seorang wanita, kami kawinkan  kamu.”

Nabi SAW menjawab, “Aku bukanlah orang miskin, bukan pula orang gila, dan bukan juga seorang laki-laki sedang jatuh cinta kepada seorang wanita. Sungguh, aku adalah utusan Allah yang mengajak kamu menyembah Allah dan meninggalkan menyembah berhala.”  Sungguh tegas dan jelas jawaban Nabi SAW ini.

Namun justru orang-orang musyrik itu yang tidak puas atas jawaban Nabi SAW. Kembali mereka, tulis Syaikh Nawawi Banten, mengutus  Amir Ibnu Tufail untuk kedua kalinya. Mereka meminta Amir Ibnu Tufail menanyakan bahan dasar sesembahan Nabi SAW, apakah terbuat dari emas ataukah terbuat dari perak? Lalu turunlah surah ini.

Diceritakan, ketika mereka mengetahui bahwa Tuhan Nabi Muhammad SAW itu Mahaesa, mereka makin terperangah. Syaikh Nawawi Banten mengutip keheranan mereka, “360 berhala saja tidak cukup untuk memenuhi hajat kami, maka mungkinkah satu Tuhan dapat memenuhi segala kebutuhan seluruh makhluk?”

Pertanyaan ini dijawab oleh Allah SWT dengan menurunkan surah al-Shaffat/ :1-4), “Demi (rombongan) yang bershaf-shaf dengan sebenar-benarnya. Dan demi (rombongan) yang melarang dengan sebenar-benarnya (dari perbuatan-perbuatan maksiat).  Dan demi (rombongan) yang membacakan pelajaran. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Esa.”

Berdasar informasi di atas, jelaslah bahwa sesuai dengan namanya “Surah al-Ikhlas”, maka seorang muslim harus ikhlas mempertuhankan Allah SWT Yang Mahaesa. Nabi SAW diutus untuk memberi kabar gembira kepada seluruh penduduk bumi bahwa ada Tuhan yang betul-betul pantas disembah untuk dijadikan Tuhan sekalian alam.

Ikhlas dalam konteks ini, sistem ketuhanan Allah SWT memenuhi keingin hati manusia dan tidak bertentangan akal sehat. Allah SWT berfirman, “Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.” (QS. al-Ikhlas/112: 2-4). Sudahkah kita membaca surah al-Ikhlas?

Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA

KHAZANAH REPUBLIKA

Jadwal Puasa Sunnah Bulan Muharram, Ayo Panen Pahalanya!

Puasa di hari Asyura pada bulan Muharram bisa menggugurkan dosa selama satu tahun.

Bulan Muharram memiliki keistimewaan karena di dalamnya ada hari penting agar umat Muslim dianjurkan berpuasa yakni pada hari Asyura. Fadilah yang didapatkan bagi seorang Muslim yang Puasa Asyura sangat besar karena keutamaannya dapat menggugurkan dosa selama setahun.

Seperti diriwayatkan dari Abu Qatadah RA, Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda: “Puasa di hari Asyura, sungguh saya mengharap kepada Allah bisa menggugurkan dosa setahun yang lalu,” (H.R. Abu Daud).

Berikut jadwal puasa sunnah di Bulan Muharram:

1. Kamis, 8 Muharram/ 27 Agustus : Puasa Kamis
2. Jumat, 9 Muharram/ 28 Agustus: Puasa Tasu’a
3. Sabtu, 10 Muharram/ 29 Agustus: Puasa ‘Asyura
4. Ahad, 11 Muharram/ 30 Agustus: Puasa Setelah ‘Asyura
5. Senin, 12 Muharram/ 31 Agustus: Puasa Senin
6. Selasa, 13 Muharram/ 1 September: Puasa Ayamul Bidh
7. Rabu, 14 Muharram/ 2 September: Puasa Ayamul Bidh
8. Kamis, 15 Muharram/ 3 September: Puasa Ayamul Bidh & Puasa Kamis.

KHAZANAH REPUBLIKA

Hakikat Amal Shalih

Dua Syarat Amal Shalih

Semua bentuk ibadah baik lahir maupun batin harus memenuhi dua syarat, yaitu ikhlas dan mutaba’ah (sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Sehingga setiap amalan yang tidak ikhlas untuk mencari wajah Allah maka itu adalah batil. Demikian pula setiap amalan yang tidak sesuai dengan ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tertolak. Amalan yang memenuhi kedua syarat inilah yang diterima di sisi Allah Ta’ala. (lihat ad-Durrah al-Fakhirah fit Ta’liq ‘ala Manzhumah as-Sair ila Allah wad Daril Akhirah karya Syaikh as-Sa’di, hal. 15)

Kedua syarat ini telah tercakup di dalam ayat,

يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُواْ نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَنِّي فَضَّلْتُكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ

“Benar, barangsiapa yang memasrahkan wajahnya kepada Allah dalam keadaan dia berbuat ihsan/kebaikan, maka baginya pahala di sisi Rabbnya, dan mereka tidak akan takut ataupun bersedih.” (QS. Al-Baqarah: 112)

Kalimat “memasrahkan wajahnya kepada Allah” artinya niat dan keinginannya semata-mata untuk Allah; yaitu dia mengikhlaskan ibadahnya untuk Allah. Adapun “dia berbuat ihsan” maksudnya adalah mengikuti tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menjauhi bid’ah. (lihat at-Ta’liq al-Mukhtashar ‘ala al-Qashidah an-Nuniyah karya Syaikh Shalih al-Fauzan, 2/824-825) 

Dengan demikian hakikat amal salih itu adalah yang ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidaklah disebut sebagai amal salih yang sebenarnya kecuali apabila memenuhi kedua syarat ini. Dikarenakan begitu pentingnya ikhlas dalam beribadah maka Allah menegaskan hal itu secara khusus dalam firman-Nya,

فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً

“Hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (QS. Al-Kahfi: 110)

Dan ketika jelas bagi kita bahwa Allah adalah satu-satunya Rabb, pencipta, penguasa dan pengatur alam semesta ini maka tidak layak Allah dipersekutukan dalam hal ibadah dengan siapa pun juga. (lihat Tafsir Surah al-Kahfi karya Syaikh al-Utsaimin, hal. 153)  

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan bahwa amal salih ialah amalan yang sesuai dengan syari’at Allah, sedangkan tidak mempersekutukan Allah maksudnya adalah amalan yang diniatkan untuk mencari wajah Allah (ikhlas), inilah dua rukun amal yang akan diterima di sisi-Nya. (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [5/154] cet. al-Maktabah at-Taufiqiyah)

Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Sesungguhnya amalan jika ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima. Demikian pula apabila amalan itu benar tapi tidak ikhlas juga tidak diterima sampai ia ikhlas dan benar. Ikhlas itu jika diperuntukkan bagi Allah, sedangkan benar jika berada di atas Sunnah/tuntunan.” (lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 19 cet. Dar al-Hadits)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي، تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ 

“Allah tabaraka wa ta’ala berfirman, ‘Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya dia mempersekutukan selain-Ku bersama diri-Ku maka Kutinggalkan dia bersama kesyirikannya.” (HR. Muslim)

Dari Ummul Mukminin Ummu Abdillah ‘Aisyah radhiyallahu’anha beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda, 

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengada-adakan suatu perkara di dalam urusan [agama] kami ini yang bukan berasal darinya, maka ia pasti tertolak.”

Di dalam riwayat Muslim, 

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka ia pasti tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnul Majisyun berkata, Aku pernah mendengar Malik berkata, “Barangsiapa yang mengada-adakan di dalam Islam suatu bid’ah yang dia anggap baik (baca: bid’ah hasanah), maka sesungguhnya dia telah menuduh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhianati risalah. Sebab Allah berfirman,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian.” 

Apa-apa yang pada hari itu bukan termasuk ajaran agama, maka hari ini hal itu bukan termasuk agama.” (lihat al-I’tisham, [1/64-65])

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, ada dua buah pertanyaan yang semestinya diajukan kepada diri kita sebelum mengerjakan suatu amalan. Yaitu: Untuk siapa? dan Bagaimana? Pertanyaan pertama adalah pertanyaan tentang keikhlasan. Pertanyaan kedua adalah pertanyaan tentang kesetiaan terhadap tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab amal tidak akan diterima jika tidak memenuhi kedua-duanya. (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 113)

Pentingnya Ikhlas

Syaikh as-Sa’di rahimahullah menerangkan, “Barangsiapa mengikhlaskan amal-amalnya untuk Allah serta dalam beramal itu dia mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka inilah orang yang amalnya diterima. Barangsiapa yang kehilangan dua perkara ini -ikhlas dan mengikuti tuntunan- atau salah satunya maka amalnya tertolak. Sehingga ia termasuk dalam cakupan hukum firman Allah Ta’ala,

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاء مَّنثُوراً

‘Dan Kami hadapi segala amal yang telah mereka perbuat kemudian Kami jadikan ia bagaikan debu-debu yang beterbangan.’ (QS. Al-Furqan: 23).” (lihat Bahjah al-Qulub al-Abrar, hal. 14 cet. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwasanya ibadah dan segala bentuk amalan tidaklah menjadi benar kecuali dengan dua syarat; ikhlas kepada Allah ‘azza wa jalla, dan harus sesuai dengan tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian sebagaimana beliau terangkan dalam I’anatul Mustafid (Jilid 1, hal. 60-61).

Beliau juga memaparkan, bahwasanya kedua syarat ini merupakan kandungan dari kedua kalimat syahadat. Syahadat “laa ilaha illallah” bermakna kita harus mengikhlaskan seluruh ibadah hanya untuk Allah. Syahadat “Muhammad rasulullah” bermakna kita harus mengikuti tuntunan dan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (lihat I’anatul Mustafid, Jilid 1, hal. 61)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka bukanlah perkara yang terpenting adalah bagaimana orang itu melakukan puasa atau sholat, atau memperbanyak ibadah-ibadah. Sebab yang terpenting adalah ikhlas. Oleh sebab itu sedikit namun dibarengi dengan keikhlasan itu lebih baik daripada banyak tanpa disertai keikhlasan. Seandainya ada seorang insan yang melakukan sholat di malam hari dan di siang hari, bersedekah dengan harta-hartanya, dan melakukan berbagai macam amalan akan tetapi tanpa keikhlasan maka tidak ada faidah pada amalnya itu; karena itulah dibutuhkan keikhlasan … ” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 17-18)

Perintah Mengikuti Sunnah

Di dalam hadits Irbadh bin Sariyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى

“Hendaklah kalian berpegang dengan Sunnahku …” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, Tirmidzi berkata : hadits ini hasan sahih). 

Yang dimaksud dengan istilah “sunnah” di sini adalah jalan yang ditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Artinya janganlah kalian mengada-adakan di dalam agama ini sesuatu yang bukan termasuk bagian dari ajarannya dan jangan keluar dari syari’at beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Syarh al-Arba’in oleh al-Utsaimin, hal. 302)

Dengan demikian istilah “sunnah” di sini bermakna umum mencakup keyakinan, amalan, dan ucapan. Inilah sunnah dengan makna yang lengkap. Oleh sebab itu para ulama salaf tidak memakai istilah sunnah kecuali dengan maksud yang mencakup ini semua/seluruh ajaran agama. Kemudian para ulama belakangan setelah mereka sering menggunakan istilah “sunnah” dengan makna yang lebih khusus yaitu yang berkaitan dengan urusan akidah atau keyakinan. Hal ini bisa dipahami karena masalah akidah merupakan pondasi agama sehingga orang yang menyimpang dalam perkara ini berada dalam bahaya yang sangat besar. (lihat Jami’ al-‘Ulum wal Hikam, hal. 333)

Istilah “sunnah” inilah yang sering kita dengar dalam penyebutan ahlus sunnah wal jama’ah. Sebab sunnah di sini maknanya adalah jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya sebelum munculnya berbagai bentuk bid’ah dan pendapat-pendapat yang menyimpang. Adapun istilah “jama’ah” di sini maksudnya adalah orang-orang yang berkumpul di atas kebenaran yaitu para sahabat dan tabi’in; para pendahulu yang salih dari umat ini (lihat Syarh al-Wasithiyah oleh Syaikh Muhammad Khalil Harras, hal. 61 tahqiq Alawi Abdul Qadir as-Saqqaf)

Semoga yang singkat ini bermanfaat. Wallahul muwaffiq.

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si

Artikel: Muslim.or.id