Kenakalan Anak: Kenali Sebabnya, Jangan Nafikan

PADA pokoknya, tidak ada anak yang nakal. Kitalah yang salah didik sehingga mereka menjadi nakal. Tak ada anak yang lahir dalam keadaan nakal. Tetapi kita tak boleh menutup mata atau menyangkal bahwa kenakalan itu ada. Sesungguhnya, eufimisme hanya menyulitkan kita menemukan akar masalahnya. Memahami setiap sebab kenakalan akan memudahkan kita menentukan langkah yang tepat sesuai dengan sebab kenakalannya. Langkah terstruktur.

Menyangkal adanya kenakalan dapat membuat kita terkejut. Tiba-tiba saja ada berita kriminalitas anak. Bukan lagi sekedar kenakalan. Ungkapan sebagian trainer bahwa kenakalan hanyalah soal cara pandang, atau kenakalan adalah kreativitas terpendam, memang menghibur. Tetapi ungkapan ini sangat menjerumuskan. Menganggap biasa tiap kenakalan, memandangnya wajar sehingga tak ada tindakan, akibatnya sangat fatal. Kita menganggap kenakalan itu tidak pernah ada, tapi tiba-tiba saja dikejutkan oleh berita anak SD membunuh. Apakah ini bukan kenakalan? Bukan. Ini sudah kriminalitas. Jauh lebih berat daripada kenakalan.

Ketika ada yang gaduh di kelas, sebagian guru dengan ringan berkata “mereka anak kinestetik”. Tapi tak menjelaskan beda kinestetik dan liar. Teringat kisah seorang kawan di Melbourne. Suatu saat anaknya mengantuk di kelas. Catat: mengantuk. Itu pun sebentar. Tapi guru langsung koordinasi. Mereka ingin mengetahui sebab (ini mempengaruhi penanganan) mengantuknya anak. Karena kehilangan motivasi, terlambat tidur atau lainnya.

Point pentingnya adalah, masalah kecil pun perlu segera ditangani agar tak berkembang lebih parah atau justru jadi masalah kolektif.

Terdapat banyak literatur yang khusus membahas kenakalan anak, mengenali tanda dan sebabnya serta cara menangani. Ini menunjukkan bahwa kenakalan itu ada dan perlu langkah-langkah yang tepat untuk menanganinya. Bukan menafikan.

Jika setiap yang tak sesuai kita anggap biasa, maka ketika anak sudah berperilaku sangat menyimpang pun, kita sudah tak peka lagi. Kita menganggap biasa apa yang sebenarnya tak biasa tanpa mencoba memahami sebabnya dan akhirnya gagap ketika persoalan berkembang serius.

Ini sama dengan belajar anak. Kita perlu bedakan antara kemampuan dan kemauan. Jika anak goblog karena malas, jangan cari pembenaran. Berbakat tapi tak bersemangat akan kalah dibanding tak berbakat tapi gigih. Awalnya sulit, sesudah itu mereka akan menemukan kemudahan.

Sama halnya capek dan lelah. Capek (tired) bersifat fisik, lelah (fatigue) bersifat mental. Capek karena belajar seharian itu wajar.

Cukup beri kesempatan istirahat, dia akan segar kembali. Tapi lelah setelah belajar, full day atau pun half day, itu yang perlu diatasi. Dan itu tidak terkait dengan panjang pendeknya durasi belajar. Di sekolah yang durasi belajarnya pendek pun bisa saja banyak yang kelelahan.’

Jika anak kelewat bersemangat sehingga kecapekan belajar, paling-paling cuma badannya yang sakit. Bisa flu, bisa demam. Paling seminggu. Tapi sangat berbeda dengan kelelahan. Jika dibiarkan, anak dapat kehilangan motivasi belajar, apatis, gangguan perilaku atau kenakalan. Anak juga dapat menjadi trouble maker alias biang kerok. Ini jika anak tidak memperoleh stimulasi media. Nah, apalagi kalau media merusak dan memperparah.*

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim, Penulis buku “Mencapai Ketenangan di Tengah Kesibukan”, twitter: @kupinang

HIDAYATULLAH

Pengaruh Keshalihan Orang Tua Terhadap Anak

Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Inilah pepatah yang menggambarkan karakter, akhlak, dan keilmuwan seorang anak akan mirip atau tidak jauh beda dengan orang tua. Meskipun terkadang takdir Allah Azza wa Jalla menjadikan orang tua shalih namun anak-anaknya tidak taat beragama, atau sebaliknya.

Salah satu kewajiban asasi orang tua adalah memberikan pendidikan agama yag sesuai dengan syariat Islam. Jadi sebelum menshalihkan anak, orang tua harus menjadikan dirinya paham agama baik akhlak serta ibadahnya dan mampu menjadi figur teladan dalam kebaikan baik itu ucapan mamupun perbuatan sehari-hari. Ketika orang tua shalih dan dekat dengan agama niscaya anak-anaknya akan mencontoh kedua orang tuanya karena melihat akhlak dan kebiasaan baik orang tua lebih mengena dan berbekas di hati dari pada seribu ucapan tanpa teladan konkret. Mendidik anak adalah amanah dan tanggung jawab. Allah Azza wa Jalla berfirman:

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ قُوۤا۟ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِیكُمۡ نَارࣰا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ

Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS. At-Tahrim: 6).

Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu berkata tentang arti ayat ini: “ajari dan didiklah keluarga dan anak-anak kalian” (Lihat Tuhfatu al-Maudud bi Ahkam al-Maulud, Ibnul Qayyim, Dar al-Kitab al-Arabi, hal.192).

Kewajiban utama orang tua adalah menjadikan anak-anaknya memahami agama yang benar, mendidik dengan nilai-nilai Islam baik dalam keyakinan, ibadah, akhlak mulia dan ilmu-ilmu yang lain bermanfaat untuk kehidupan dunia akhiratnya. Orang tua yang shalihlah yang akan mampu membersamai dan membimbing buah hatinya untuk cinta Islam. Ini akan dipertanggung-jawabkan kelak di akhirat.

Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam Tuhfatu al-Maudud, hal.192 membawakan perkataan sebagian ulama, bahwa Allah akan terlebih dahulu meminta pertanggung-jawaban orangtua terhadap pengelolaan anaknya sebelum meminta pertanggung-jawaban anak dalam bersikap terhadap orang tuanya. Seperti halnya orang tua memiliki hak yang wajib dipenuhi anaknya, maka anak pun memiliki hak yang wajib dipenuhi orangtuanya.

Keluarga Muslim butuh ilmu agar keberlangsungan hidupnya senantiasa dibimbing Kitabullah dan sunnah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam. Orang tualah lokomotif utama agar anak mampu bercermin pada keshalihan keduanya dalam kecintaannya pada ilmu syariat. Sosok ayah yang selalu bergelut dalam ilmu akan lahirlah sosok generasi yang juga mencintai ilmu. Dari pohon yang baik akan muncul buah yang manis.

Potret Keluarga Para Ulama

Imam as-Suyuthi rahimahullah yang dijuluki sebagai Ibnul Kutub (si anak buku), karena ia lahir di antara buku-buku ayahnya. Pada waktu itu, ayahnya ingin membaca suatu buku ia meminta tolong istrinya yang sedang hamil ntuk mengambilkannya di antara buku-buku yang lain di rumahnya. Sesampainya di tempat buku-buku tersebut Imam as-Suyuthi rahimahullah dilahirkan (An-Nur as-Safir, an Akhbaril Qarnil ‘Asyir, hlm. 51). Subhanallah di tengah keluarga yang sarat ilmu beliau dibesarkan hingga beliau menjadi ulama terpercaya. Dari orang tua berkualitas diharapkan keturunannya pun memiliki kapasitas ilmu dan amal yang shalih pula.

Lihat juga keluarga Imam Ahmad bin Hambal asy-Syaibani rahimahullah. Bermula dari pendidikan seorang ayah yang cinta ilmu dan amal. Abdullah bin Ahmad tumbuh menjadi anak yang shalih dan menjadi sosok ulama periwayat kitab Musnad ayahnya maupun kitab-kitab lainnya, sehingga menjadi orang nomor satu di dunia ini yang banyak meriwayatkan hadits. Imam Ahmad bin Hambal ibnu al-Munadi rahimahullah mengatakan, ”Tidak ada seorang pun di dunia ini yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Ahmad bin Hambal melibihi putranya (Abdullah bin Ahmad) karena ia telah belajar dari ayahnya 30.000 hadits dari kitab Musnad, 80.000 hadits dari kitab tafsir dan selebihnya adalah wijadah (mendapati hadits dari buku tulisan ayahnya). Ia juga belajar dari ayahnya tentang nasikh dan mansukh, tarikh, hadits riwayat syu’bah, ilmu yang berkaitan dengan al-Quran, kitab manasik yang besar maupun yang kecil dan lain sebagainya (Tarikh al-Islam wa Wafayat al-Masyahir al-A’lam, VI/762, karya adz-Dzahabi).

Demikian sekilas pentingnya keshalihan orang tua agar anak-anaknya tumbuh kecintaan pada agama sebagai modal besar untuk kebaikan dan keberkahan hidupnya. Keluarga harmonis dan bahagia ketika pasutri mampu menshalihkan dirinya terlebih dahulu sehingga dengan petunjuk Allah Azza wa Jalla anak-anaknya mengikuti jejaknya.

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/13714-pengaruh-keshalihan-orang-tua-terhadap-anak.html

3 Amal Anak Berbakti

Mujahid, seorang ulama era tabiin mengatakan, 

لَا يَنْبَغِي لِلْوَلَدِ أَنْ يَدْفَعَ يَدَ وَالِدِهِ إِذَا ضَرَبَهُ وَمَنْ شَدَّ النَّظَرَ إِلَى وَالِدِهِ لَمْ يَبِرَّهُمَا وَمَنْ أَدْخَلَ عَلَيْهِمَا مَا يُحْزِنُهُمَا فَقَدْ عَقَّهُمَا

“Tidak sepatutnya bagi seorang anak menahan tangan ayah yang hendak memukulnya. Siapa yang melototi kedua orang tuanya tidaklah berbakti kepadanya. Siapa yang membuat sedih kedua orang tuanya sungguh telah durhaka kepadanya.” (Birrul Walidain karya Ibnul Jauzi)

Ada tiga tips yang disampaikan oleh Mujahid agar kita tergolong anak berbakti:

PERTAMA:

Tidak menangkis atau menahan tangan orang tua yang mau memukul atau mencubit kita.

Pada dasarnya tidak mungkin ortu menghukum anak secara fisik kecuali karena anak sudah melakukan tindakan yang keterlaluan. 

Bakti kepada ortu adalah berupaya tidak membuat ortu kecewa. 

Menahan tangan ortu yang hendak menghukum adalah bentuk membuat ortu kecewa. 

Agar ortu tidak kecewa anak yang berbakti segera menyadari kesalahan yang dilakukan dan tidak menahan tangan ortu yang hendak mencubit, misalnya. 

KEDUA:

Tidak melototi ortu. Melototi ortu adalah bentuk durhaka.

Sebaliknya memandang ortu dengan penuh rasa hormat adalah bentuk amal shalih, berbakti kepada ortu. 

KETIGA:

Tidak membuat ortu sedih, kecewa dan menangis. 

Anak yang berbakti itu gemar melakukan hal yang membuat ortu senang dan bahagia. Sedangkan anak durhaka itu melakukan tindakan yang membuat sedih ortu. 

Diantara bentuk durhaka kepada ortu adalah:

  1. Memasukkan ortu ke panti jompo karena tidak mau merawat ortu.
  2. Tidak pernah mau menyuapi ortu yang tidak bisa sendiri karena merasa cukup dengan sekedar membayar pembantu untuk melakukan hal tersebut padahal anak dalam kondisi longgar.
  3. Tidak membezuk ortu yang sakit dengan sekedar alasan sibuk kerja.

Semoga Allah mudahkan penulis dan semua pembaca tulisan ini untuk menjadi anak yang benar-benar berbakti. Aamiin. 

Penulis: Ustadz Aris Munandar, S.S., M.P.I.

YUFIDIA

10 Kewajiban Anak Kepada Orang Tua

Anak merupakan anugerah dari Allah SWT. Anak adalah titipan yang harus dipenuhi haknya oleh kedua orang tuanya. Kita memiliki hak dan kewajiban sebagai manusia. Begitu pula dengan seorang anak. Namun, anakpun memiliki kewajiban tertentu yang harus dilakukan terhadap kedua orang tuanya.

Lalu apa saja kewajiban anak terhadap orang tua? Sedikitnya ada 10 kewajiban anak terhadap orang tua, berikut ulasannya:

  1. Menyambut Jika dipanggil.
    Sesibuk apapun kita, usahakan disempatkan untuk menjawab panggilan mereka, usahakan jangan sampai membuat mereka marah, karena murka orang tua adalah murka ALLAH juga.
  2. Menaati jika diperintah.
    Selama apa yang diperintahkan tidak melanggar perintah ALLAH, maka kita harus menjalankan perintah itu.
  3. Memberi pelayanan jika diminta. Hal ini harus kita lakukan dengan ikhlas dan sabar.
  4. Berbicara dengan lemah lembut (sopan). Kita harus selalu berusaha melakukannya, minimal tingkah laku kita harus sopan kepada mereka.
  5. Memberi makan jika dibutuhkan.
    Ada kalanya mereka mengalami kesulitan ekonomi, sehingga untuk mencari sesuap nasi pun mereka masih sungkan / malu meminta uluran dari kita, padahal mereka sangat mengharapkan uluran tangan kita, oleh karena itu kita harus rajin2 menjenguk / silaturahmi kepada mereka (apabila tempat tinggal kita berjarak), sehingga kita bisa tau apa yang sedang mereka butuhkan.
  6. Memberi pakaian jika diperlukan.
    Harga mahal bukanlah suatu jaminan untuk membuat mereka senang, tapi perhatian dan keikhlasan kitalah yang mereka harapkan.
  7. Apabila berjalan bersama, tidak boleh mendahului. Ini merupakan salah satu cerminan sikap hormat kita kepada mereka.
  8. Menyukai baginya apa yang ia suka bagi dirinya sendiri. Termasuk memberitahukan kabar baik kita supaya mereka ikut merasakan senang.
  9. Menjauhkan dari apa yang tidak disukainya. Salah satunya adalah jangan memberitahukan kabar buruk / kesedihan kita kepada mereka agar mereka tidak ikut bersedih.
  10. Berdoa memintakan ampun baginya setiap kita berdoa untuk diri kita sendiri. Salah satu hal yang menghindarkan mereka dari api neraka kelak adalah doa dari kita meski mereka sudah di alam kubur. []

RUANG MUSLIMAH

Ini Tiga Tanda Anak Dikatakan Baligh

KALI ini pelajaran pertama dari Safinatun Najah karya Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadrami, dan ikuti catatan dalilnya paling akhir.

[Tanda Baligh] Fasal: Tanda baligh ada tiga, yaitu [1] umur 15 tahun sempurna bagi lelaki maupun perempuan. [2] ihtilam (mimpi basah) bagi lelaki maupun perempuan yang (biasanya) berumur 9 tahun, dan [3] haidh bagi perempuan yang (biasanya) berumur 9 tahun.

[Syarat Istinja] Fasal: Syarat sah bersuci dengan batu (istinja) ada 8, yaitu: [1] jumlah batunya tiga, [2] membersihkan tempat najis, [3] najisnya belum kering, [4] najis belum berpindah tempat, [5] tidak tercampur dengan najis lain, [6] tidak melampaui shofhah (daerah yang tertutup dari kedua pantat saat berdiri) dan hasyafah (daerah/kuncup yang nampak dari penis lelaki setelah dikhitan), [7] tidak terkena air, dan [8] batu tersebut haruslah suci.

[Rukun Wudhu] Fasal: Fardhu (rukun) wudhu ada 6, yaitu: [1] niat, [2] membasuh wajah, [3] membasuh dua tangan hingga siku, [4] mengusap sebagian kepala, [5] membasuh dua kaki hingga mata-kaki, dan [6] tertib (berurutan).

Catatan Dalil

Pertama: Dalil tentang istinja dengan batu (istijmar)

Dari Salman, ia berkata bahwa ada yang bertanya padanya, Apakah nabi kalian mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai pun dalam hal buang kotoran? Salman menjawab, Iya. Nabi kami shallallahu alaihi wa sallam telah melarang kami menghadap kiblat ketika buang air besar maupun air kecil. Beliau juga melarang kami beristinja dengan tangan kanan. Beliau juga melarang kami beristinja dengan kurang dari tiga batu. Begitu pula kami dilarang beristinja dengan menggunakan kotoran dan tulang. (HR. Muslim, no. 262)

Kedua: Ayat yang membicarakan tentang wudhu

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. (QS. Al-Maidah: 6)

INILAH MOZAIK

Anak-Anak yang Penuh Berkah ialah…

BERKAH adalah kata yang diinginkan oleh hampir semua hamba yang beriman, karenanya orang akan mendapat limpahan kebaikan dalam hidup.

Berkah bukanlah cukup dan mencukupi saja, tapi berkah ialah bertambahnya ketaatanmu kepada Allah Ta’ala dengan segala keadaan yang ada, baik berlimpah atau sebaliknya.

Berkah itu, “Albarokatu tuziidukum fi thoah” (Berkah menambah taatmu kepada Allah)

Hidup yang berkah bukan hanya sehat, tapi kadang sakit itu justru berkah sebagaimana Nabi Ayub, sakitnya menambah taatnya kepada Allah. Berkah itu tak selalu panjang umur, ada yang umurnya pendek tapi dahsyat taatnya layaknya Musab ibn Umair.

Tanah yang berkah itu bukan karena subur dan panoramanya indah, karena tanah yang tandus seperti Mekkah punya keutamaan di hadapan Allah tiada yang menandingi. Makanan berkah itu bukan yang komposisi gizinya lengkap, tapi makanan itu mampu mendorong pemakannya menjadi lebih taat setelah makan.

Ilmu yang berkah itu bukan yang banyak riwayat dan catatan kakinya, tapi yang berkah ialah yang mampu menjadikan seseorang meneteskan keringat dan darahnya dalam beramal dan berjuang untuk agama Allah.

Penghasilan berkah juga bukan gaji yang besar dan bertambah, tapi sejauh mana ia bisa jadi jalan rizki bagi yang lainnya dan semakin banyak orang ysng terbantu dengan penghasilan tersebut.

Anak-anak yang berkah bukanlah saat kecil mereka lucu dan imut atau setelah dewasa mereka sukses bergelar dan mempunyai pekerjaan dan jabatan hebat, tapi anak yang berkah ialah yang senantiasa taat kepada Rabb-Nya dan kelak di antara mereka ada yang lebih saleh dan tak henti-hentinya mendoakan kedua orangtuanya.

Semoga segala aktifitas kita hari ini berkah. “Barang siapa yang mengajarkan satu ilmu dan orang tersebut mengamalkannya maka pahala bagi orang yang memberikan ilmu tersebut tanpa mengurangi pahala orang yang mengamalkan ilmu tersebut.” (HR.Bukhori Muslim) []

INILAH MOZAIK

Berkah Memuliakan Ibu

Durhaka kepada ibu adalah dosa besar yang harus dihindari.

Di sudut Ka’bah, tampak seorang laki-laki tengah menggendong ibunya dan bertawaf bersama. Sang anak lalu bersandung puisi, “Saya akan menggendongnya tiada henti, ketika penumpang beranjak, saya tidak akan pergi. Ibuku mengandung dan menyusuiku lebih dari itu, Allah Tuhanku yang Mulia dan Mahabesar.” Ia melihat Abdullah bin Umar dan bertanya, apakah segala yang telah ia lakukan tersebut cukup membalas pengorbanan ibunya? “Tidak sedikit pun,” jawab Ibn Umar.

Kasih sayang ibu tak terhingga. Kebaikan yang telah ia curahkan kepada anak-anaknya tak akan pernah terhitung. Cinta kasih ibu laksana mentari menyinari dunia. Terus berbagi cahaya untuk alam semesta, tanpa pamrih. Sekali pun ia dipenuhi dengan panas yang membara.

Seorang ibu mengandung anak dengan segala kelelahan dan risiko yang ada. Bersusah payah melahirkan, lalu membesarkannya. Karena itu, Allah SWT memerintahkan agar manusia mengingat pengorbanan tersebut. “Ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).” (QS al-Ahqaaf [46]:15).

Bagi generasi salaf, penghormatan atas jerih payah mereka tekankan. Mereka menempuh bermacam cara untuk menunjukkan bakti terhadap ibundanya. Muhammad bin al-Munakkar, misalnya. Ia sengaja meletakkan kedua pipinya di tanah. Hal ini bertujuan agar dijadikan sebagai pijakan melangkah ibunya.

Selain itu, Ali bin al-Husain tak ingin makan satu meja dengan ibundanya. Alasannya? Ia takut bila merebut menu yang diinginkan ibunya. Ada lagi Usamah yang pernah memanjat pohon kurma, lalu mengupasnya dan menyuapi ibunya. Mengapa ia melakukan hal itu? Ia menjawab, “Ibuku memintanya. Apa pun yang ia minta dan saya mampu, pasti saya penuhi.”

Begitulah perhatian salaf terhadap ibu mereka. Aisyah bahkan pernah bertutur, ada dua nama yang ia nilai paling berbakti kepada sosok ibu, yaitu Usman bin Affan dan Haritsah bin an-Nu’man. Nama yang pertama tak pernah menunda-nunda perintah ibundanya. Sedangkan yang kedua, rajin membasuh kepala sang ibu, menyuapinya, dan tidak banyak bertanya saat ibundanya memerintahkan suatu hal.

Menurut Syekh Muhammad bin Ali Asa’awy dalam artikelnya yang berjudul “al-Ihsan ila al-Umm”, pengabdian dan bakti kepada kedua orang tua, terutama ibu, wajib hukumnya. Ini merujuk pada surah al-Isra’ ayat 23-24. Tingkat kewajiban berbuat baik (ihsan) kepada ibu itu bertambah kuat saat anak-anaknya dewasa.

Ia menjelaskan, bentuk ihsan kepada ibu bervariasi. Di level pertama ialah menjauhkan segala perkara buruk darinya, memberikan hal positif, berinteraksi dengan pekerti yang luhur dan etika kesopanan, peka terhadap perkara yang ia suka dan tidak, berdoa untuknya, dan segala ihsan yang dilakukan bertujuan untuk menggapai ridanya.

Berbakti dan berihsan kepada ibu adalah kunci dikabulkannya doa. Pengabdian kepada sosok ibu juga dikategorikan sebagai sebab masuk surga. Ini seperti tertuang dalam kisah Uwais. Tabiin tersebut adalah orang yang beruntung.

Rasulullah SAW menyebut bahwa siapa pun yang melihat Uwais maka hendaknya  meminta doa ampunan kepadanya. Ini lantaran dirinya terkenal taat dan berbakti pada sang ibunda. Itulah yang mendorong Umar bin Khatab mencari keberadaan Uwais. Kisah pencarian Umar itu seperti tertuang di riwayat Muslim.

Syekh Asa’awy menjelaskan, pengabdian yang penuh (ikhlas) kepada ibu bisa mengantarkan seorang anak ke surga. Hal ini sebagaimana terjadi kepada Haritsah bin an-Nu’man. Dalam riwayat Ahmad disebutkan, Haritsah masuk surga berkat ihsan yang ia tujukan kepada ibunda. Dan, Haritsah adalah sosok paling berbakti untuk ibu.

Sebaliknya, mereka yang durhaka kepada kedua orang tua, khususnya ibu, akan mendapatkan ganjaran setimpal. Sanksi yang akan ia terima bukan hanya di akhirat. Akan tetapi, ia akan menerima akibat ulahnya itu di dunia.

Seperti ditegaskan dalam riwayat Muslim, setiap perbuatan dosa, Allah akan menunda siksaannya kapan pun Ia berkehendak hingga kiamat. Kecuali, durhaka kepada kedua orang tua. Allah akan mempercepat siksa bagi pelakunya di kehidupan dunia, sebelum mati. Ini mengingat durhaka—sebagaimana riwayat Bukhari—termasuk pelanggaran berat, dosa besar. Imam Syafi’i pernah bertutur dalam syairnya, “Tunduk dan carilah rida ibumu karena mendurhakainya termasuk dosa besar.

 

REPUBLIKA

Apakah Anak Hasil Zina Tak Mungkin jadi Soleh?

JIKA saat berhubungan Allah takdirkan jadi anak, apakah anaknya akan menjadi durhaka jika kita lupa membaca doa sebelum jimak?

Salah satu sebab untuk melindungi anak dari godaan setan adalah dengan membaca doa sebelum melakukan hubungan badan. Hanya saja perlu dipahami, bahwa itu hanya salah satu sebab. Artinya, masih ada sebab lain yang membentuk karakter seorang anak. Ulama menegaskan bahwa hadis ini tidaklah menunjukkan bahwa setiap anak terlahir dari hasil hubungan badan yang sebelumnya diawali dengan doa, dia akan menjadi manusia yang makshum, terbebas dari setiap dosa dan godaan setan.

Karena setiap kejadian ada sebab dan ada penghalang. Usaha orang tua, yang berdoa ketika hendak berhubungan badan, merupakan salah satu sebab agar anak tersebut selamat dari godaan setan. Akan tetapi, dalam perjalanan hidupnya, terdapat banyak penghalang dan sebab lainnya, yang membuat anak ini tidak bisa bersih dari godaan setan, sehingga dia melakukan kemaksiatan. (Taisirul Alam Syarah Umdatul Ahkam, 1/588)

Karena itu, bukan jaminan bahwa setiap anak yang terlahir dari hubungan badan yang diawali dengan doa, pasti akan menjadi anak yang soleh. Demikian pula sebaliknya, bukan jaminan, setiap anak yang terlahir dari hubungan badan tanpa diawali doa, atau bahkan terlahir dari hubungan haram (zina), pasti akan menjadi anak setan, atau bala tentara iblis. Diantara usaha yang bisa dilakukan orang tua adalah memperhatikan pendidikan selama masa tumbuh kembang anak. Allah berfirman, Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. (QS. at-Tahrim: 6)

Termasuk mendoakan agar keluarga selalu mendapat penjagaan, dan diberi hidayah. Seperti doa yang Allah sebutkan di surat al-Furqan ketika Allah bercerita tentang karakter ibadurrahman, Dan orang orang yang berkata: Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. al-Furqan: 74).

Demikian, Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

 

INILAH MOZAIK

Renungan Hubungan Hati Anak dengan Orang Tua

“ORANG tua kita tidak pernah takut miskin walau mengeluarkan uang berapapun untuk membesarkan dan mendidik kita. Lalu mengapa kini kita selalu takut kekurangan harta saat harus memberikan sesuatu kepada orang tua kita?”

Saat orang tua kita meninggal dunia, barulah kita menyesal karena ternyata kita salah duga. Harta yang kita miliki ternyata adalah buah doa beliau, berkah tetesan air mata beliau, dan hasil jerih payah beliau. Kitapun menangis dan menangisi yang telah berlalu. Lalu kita bertanya-tanya apakah gerangan yang bisa dilakukan kini demi kebahagiaan orang tua yang sudah meninggal.

Jangan lupakan berdoa untuk beliau dan kenanglah kebaikan-kebaikannya agar talian kasih sayang bersambung sampai akhirat kelak. Jangan lupakan melakukan apa yang paling suka dilakukan oleh orang tua kita yang sudah meninggal dan jangan berhenti menyambung tali kasih dengan orang-orang yang bersahabat akrab dengan orang tua kita. Lebih dari itu, sempatkan bershadaqah atas nama orang tua kita sehingga ada pahala yang terus mengalir kepadanya.

Talian hati antara anak dan orang tua adalah talian hati yang sulit untuk diputuskan. Yang mampu memutuskan hanyalah kesombongan dan ketamakan. Salam, AIM. [*]

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

INILAH MOZAIK

Yuk Biasakan Anak Perempuan Berhijab dari Kecil

BERDASARKAN firman Allah Ta’ala dalam QS. An-Nur ayat 31, yang artinya:

“Katakanlah kepada wanita-wanita beriman: Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) tampak daripadanya.”

Juga dalam QS. Al-Ahzab ayat 59 yang artinya:

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: Hendaklah mereka menjulurkan khimarnya (jilbab) ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar supaya mereka lebih mudah untuk dikenali, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:

“Ada dua macam golongan penghuni neraka yang belum pernah aku lihat sebelumnya: Sekelompok laki-laki yang menggenggam cambuk seperti ekor sapi, mereka mencambuk manusia dengannya. Dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang dan berlenggak lenggok. Di kepalanya ada sesuatu seperti punuk unta. Mereka itu tidak akan masuk surga dan tidak juga mencium baunya surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu bisa tercium dari jarak yang sangat jauh.” (HR. Muslim)

Perintah hijab diwajibkan bagi wanita yang sudah akil baligh, akil baligh pada anak perempuan ditandai dengan keluarnya darah haid. Tetapi alangkah baiknya pembiasaan menggunakan hijab sejak maka kanak-kanak agar ketika kewajiban telah sampai kepadanya, yaitu telah akil baligh maka berhijab akan menjadi kebiasaan yang mudah untuk dilakukan.

Banyak anak perempuan sudah akil baligh pada umur 11 tahun bahkan banyak juga pada umur 10 tahun, jadi umur 11 tahun sudah berkewajiban untuk menggunakan hijab keluar rumah, tidak hanya keluar rumah tetapi berhijab dari orang-orang yang bukan mahram kita, misalnya saudara sepupu.

[Ustadzah Novria]