Yuk Biasakan Anak Perempuan Berhijab dari Kecil

BERDASARKAN firman Allah Ta’ala dalam QS. An-Nur ayat 31, yang artinya:

“Katakanlah kepada wanita-wanita beriman: Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) tampak daripadanya.”

Juga dalam QS. Al-Ahzab ayat 59 yang artinya:

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: Hendaklah mereka menjulurkan khimarnya (jilbab) ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar supaya mereka lebih mudah untuk dikenali, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:

“Ada dua macam golongan penghuni neraka yang belum pernah aku lihat sebelumnya: Sekelompok laki-laki yang menggenggam cambuk seperti ekor sapi, mereka mencambuk manusia dengannya. Dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang dan berlenggak lenggok. Di kepalanya ada sesuatu seperti punuk unta. Mereka itu tidak akan masuk surga dan tidak juga mencium baunya surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu bisa tercium dari jarak yang sangat jauh.” (HR. Muslim)

Perintah hijab diwajibkan bagi wanita yang sudah akil baligh, akil baligh pada anak perempuan ditandai dengan keluarnya darah haid. Tetapi alangkah baiknya pembiasaan menggunakan hijab sejak maka kanak-kanak agar ketika kewajiban telah sampai kepadanya, yaitu telah akil baligh maka berhijab akan menjadi kebiasaan yang mudah untuk dilakukan.

Banyak anak perempuan sudah akil baligh pada umur 11 tahun bahkan banyak juga pada umur 10 tahun, jadi umur 11 tahun sudah berkewajiban untuk menggunakan hijab keluar rumah, tidak hanya keluar rumah tetapi berhijab dari orang-orang yang bukan mahram kita, misalnya saudara sepupu.

[Ustadzah Novria]

 

 

Apakah Kalian Punya Anak yang Sudah Baligh?

DAHULU kala pada masa pemerintahan seorang Kisra di Negeri Persia, Iran, yang adil dan bijak hingga membuat masyarakatnya hidup penuh kebaikan, terjadi sebuah perselisihan antara seorang pembeli rumah dengan penjualnya.

Sang pembeli menemukan harta karun di rumah barunya, dan berniat mengembalikan harta tersebut kepada sang penjual yang merupakan pemilik lama rumah tersebut. Sang pembeli berkata, “Aku hanya membeli rumah itu. Bukan untuk harta karun di dalamnya.”

“Aku sudah menjualnya, jadi aku tidak peduli apa isi di dalamnya. Sekarang semua itu milikmu dan merupakan tanggung jawabmu,” jawab sang penjual.

Pertikaian terus terjadi karena tidak ada yang mau mengambil harta karun tersebut. Masing-masing merasa benar. Karena tak kunjung usai, ada seseorang yang melerai dan mengusulkan untuk mengajukan permasalahan tersebut ke Kisra.

Sesampainya di sana, Kisra bertanya, “Apakah kalian mempunyai anak yang sudah baligh?”

Sang penjual menjawab sambil terheran, “Aku mempunyai anak laki-laki yang sudah baligh.” Sementara sang pembeli pun mengatakan kalau dia memiliki seorang putri. “Dia sudah baligh,” tambahnya.

Kisra lalu melanjutkan, “Jika demikian, kenapa kalian tidak mempertemukan mereka berdua. Barangkali mereka berjodoh. Jika keduanya setuju untuk menikah, tentu kalian akan menjadi kerabat. Lalu wariskan harta itu kepada mereka untuk membiayai rumah tangganya.”

Sang pembeli dan sang penjual tersenyum. Mereka merasa memperoleh jawaban yang adil atas anjuran Kisra tersebut. Sesungguhnya Allah Swt telah melancarkan semua urusan atas kejujuran dan kebaikan mereka. Akhirnya anak keduanya pun menikah dan memperoleh warisan dari harta karun yang berasal dari rumah orangtua mereka. [An Nisaa Gettar]

INILAH MOZAIK

Putri Salehah

Anak-anak adalah perhiasan hidup. Firman Allah SWT:Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amal kebajikan yang terus-menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. (QS al-Kahfi: 46).

Namun, hanya anak yang terdidik dengan baik yang akan menjadi perhiasan hidup. Pembiasaan baik terhadap anak akan sangat ampuh dilakukan melalui keteladanan. Keteladanan hidup dari ayah dan ibu sangat menentukan kadar keberhasilan pendidikan di keluarga.

Pendidikan pada masa kecil bagaikan memahat batu. Bahkan, menurut Freud, sebagian besar dari kompleks kejiwaan yang tampak saat dewasa merupakan dampak dari perlakuan dan pengalaman saat kanak-kanak. Ibu, karena kedekatan dan keterikatan batinnya, berperan dalam pembentukan watak anak.

Saya teringat Syifa, putri semata wayang kesayangan kami. Sepanjang istri sakit dan meninggal dunia beberapa waktu lalu, sikap Syifa menyiratkan banyak pelajaran hidup, khususnya bagi saya sebagai seorang ayah. Sejak kecil, Syifa sudah dikenalkan dengan konsep kematian oleh ibunya. Kematian itu keniscayaan. Jangan takut dengan kematian, tetapi takutlah jika kita tak punya bekal amal kebajikan yang cukup untuk hidup setelah mati.

Syifa memiliki kesabaran dan ketabahan dalam menjalani ujian hidup yang seolah terwariskan dari ibunya. Saat kami dihadapkan dengan kenyataan sulit, istri harus keluar masuk rumah sakit untuk mengobati penyakit yang dideritanya maka Syifa sering kami tinggalkan. Jika waktu libur sekolah, Syifa ikut bersama kami tinggal di rumah sakit. Luar biasanya, kemandirian belajar dan kemandirian hidup Syifa terbangun dengan sendirinya.

Syifa tetap menjalani hari-hari indah di sekolah dengan penuh kec eriaan. Hal tersebut membuat guru- guru Syifa heran sekaligus menimbul kan rasa salut karena Syifa sangat tegar menghadapi satu kenyataan hidup, ibunya sedang sakit. Sikap hidup Syifa merupakan cerminan sikap hidup ibunya. Sosok ibu yang memahami puncak kesabaran, tetap tersenyum menikmati ujian sakit yang mendera, mensyukuri ujian sakit yang Allah berikan. Allah SWT berfirman:Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik. (QS al-Ma’arij: 5).

Syifa punya sifat penyayang dan mudah berempati dengan kesusahan orang lain. Tulisan penyemangat Syifa untuk ibunya sungguh mengharukan. Saat ibunya dilanda sakit hebat, secarik kertas berisi tulisan Syifa dititipkan kepada saya agar dibacakan khusus untuk ibunya, Syifa sayang Bunda (pang gilan sayang untuk ibunya). Bunda harus kuat. Bunda harus semangat. Aku yakin Bunda bisa sembuh.

Tak terasa air mata menetes di pelupuk mata saya. Tiba-tiba Syifa sudah berada di belakang saya dan mengusap punggung saya sambil berucap, Ayah sabar ya! Tangis saya tertahan, lalu saya anggukkan kepala dan mengusap kepala Syifa.

Menjelang detik-detik terakhir kepergian istri, kami menyaksikan dokter dan perawat berjibaku mengembalikan kesadaran istri setelah mengalami koma selama enam jam. IIkhtiar sudah sempurna dilakukan. Di satu titik, kami sudah ikhlas melepas kepergian sosok yang sangat kami sayangi.

Syifa menghampiri ibunya dan berbisik di telinga kiri ibunya, Syifa sayang Bunda. Syifa ikhlas Bunda pergi. Ketegaran Syifa menguatkan saya untuk melakukan hal serupa, membisikkan kata-kata di telinga kanan istri saya, Ayah tahu Bunda sudah berjuang luar biasa melawan sakit ini. Terima kasih sudah menemani perjuangan Ayah selama ini. Ayah ikhlas melepas kepergian Bunda. Ayah dan Syifa sayang Bunda.

Saat dokter menyatakan istri sudah meninggal dunia, Syifa memeluk saya dan berkata, Alhamdulillah Bunda gak akan merasa sakit lagi, Yah. Syifa, putri salehah. Anugerah terindah dari Allah SWT yang dihadiahkan untuk kami.Wallahu a’lam bishawab.

OLEH ASEP SAPA’AT

 

KHAZANAH REPUBLKA

Memahami Psikologi Anak

Islam mengajarkan agar para orangtua tak mengabaikan perkembangan anak-anaknya. Sebab jika tidak, malapetaka yang terjadi. Anak-anak bisa berperilaku kurang baik dan terganggu emosinya.

Di pundak orangtualah, tanggung jawab untuk memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya. Sebuah pendidikan dan peningkatan akhlak Islam, yang didasarkan karakter mulia yang ditetapkan Nabi SAW.

Menurut Syekh Muhammad Ali Hasyimi dalam buku /Hidup Saleh dengan Nilai-nilai Spiritual Muslim/, tugas di atas hendaknya menjadi perhatian bersama. Sebab, lingkungan pun akan memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan mereka.

Oleh karenanya, semua pihak harus memahami psikologi anak. Mereka harus mengetahui cara bergaul dengan mereka, menerapkan metode terbaik serta paling efektif dalam perawatan dan pendidikannya.

Aisyah RA meriwayatkan, ”Anak-anak kita adalah hati kita, yang berjalan di antara kita di muka bumi. Bahkan jika sebuah angin dingin kecil menimpa mereka, kita tidak dapat tidur karena mengkhawatirkan mereka.”

 

Muslim sejati, sambung Syekh Muhammad, tidak dapat mengabaikan anak-anaknya dan membiarkan mereka dalam kesengsaraan. ”Wahai orang-orang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu-batu.” (QS: at-Tahrim [66] : 6)

Nabi SAW, sejak 1500 tahun lampau, telah memberikan contoh terbaik akan metode membimbing dan mendidik anak. Beliau menunjukkannya langsung dalam kata dan perbuatan.

Metode pembimbingan sesuai arahan Nabi antara lain memberikan contoh yang baik, melihat tingkat perkembangan usia mereka, memperlakukan anak dengan baik, tunjukkan kasih sayang, cinta, dukungan, nasihat, koreksi dan bimbingan.

Banyak hadis dan riwayat yang menggambarkan kasih sayang beliau kepada Hasan dan Husein, cucu beliau, juga anak-anak lainnya. Nabi memperlakukan mereka dengan penuh cinta, kelembutan dan perhatian.

 

REPUBLIKA

Penyejuk Mata dan Hati

Dalam setiap doa orang tua hampir selalu disebutkan keinginan untuk memiliki anak yang saleh penyejuk mata dan hati. Anak yang mem buat kedua orang tua menjadi bangga dan penuh kasih setiap mengingatnya. Anak yang dengan kesalehan nya dapat mengangkat derajat orang tua menjadi orang terhormat dan ter pandang sehingga membuat orang tua merasa bahagia karena amal dan perbuatan anaknya.

Terkadang, tanpa disadari, orang tua menjadikan doa-doanya sebagai tun tutan terhadap anak-anaknya. Menuntut anak untuk selalu bersikap baik, tidak banyak ribut, tidak rewel, dan lainlain. Berharap anak dapat menjadi baik dan saleh, secara otomatis menuruti semua nasihat dan perintah orang tuanya.

Pernahkah orang tua memikirkan bahwa untuk menjadi anak yang baik dibutuhkan contoh-contoh dan panduan yang juga baik, bukan hanya sekadar kata-kata? Bayangkan kesulitan yang dihadapi anak-anak yang diharapkan menjadi anak saleh tanpa diberikan contoh, arahan, dan panduan untuk menjadi anak saleh.

Padahal, pendidikan anak secara utuh adalah tanggung jawab orang tua sebagaimana firman Allah SWT dalam QS at-Tahrim ayat 6 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” Kemudian, sabda Rasulullah SAW diriwayatkan oleh al- Hakim yang artinya: “Tiada suatu pemberian yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya selain pendidikan yang baik.”

Cara paling efektif dalam mem beri kan nasihat adalah dengan memberi kan contoh yang baik. Anak-anak akan le bih mudah untuk mengikuti dan me nu ruti jika orang tua telah melakukan apa yang diperintahkan. Orang tua se baiknya selalu memberikan contohcon toh perbuatan yang baik dan tidak me lakukan hal-hal buruk. Sebagai con toh, akan sulit melarang anak untuk ti dak merokok sedangkan ayahnya merokok.

Rasulullah SAW adalah suri teladan yang sempurna. Beliau mengajarkan para sahabat dengan perbuatannya. Memberikan contoh dan perkataan langsung untuk hal-hal yang dilarang, segala sesuatu yang dikerjakannya adalah panutan umat, baik dalam beribadah maupun berakhlak. Rasulullah SAW memberikan contoh cara berakhlak yang baik, termasuk dalam hal mendidik anak.

Oleh karena itu, sebagai orang tua, kita seharus nya menjaga sikap dan per buatan kita, menerapkan pola kehidupan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW sehingga anak-anak mempunyai panutan dan dapat mengikuti contoh yang diberikan orang tua. Semoga kita akan dapat memiliki anak keturunan yang saleh penyejuk mata dan hati.

oleh: Dian Nuraini

 

REPUBLIKA

Cinta Kasih Ibu Dapat Tumbuhkan Kecerdasan Emosional Anak

PENDIDIKAN yang baik dan benar adalah pendidikan yang mampu membentuk kepribadian anak dengan ciri-ciri, di antaranya, sebagai berikut:

  • Pemberani
  • Penyabar
  • Penyantun
  • Hormat, tunduk, dan patuh kepada kebenaran
  • Menjauhi kezaliman dan mengembangkan keadilan
  • Berbakti kepada orang tua
  • Tunduk dan patuh kepada perintah Allah Subhanalah Wa Ta’ala
  • Mencintai sesama makhluk Allah Subhanalah Wa Ta’ala

Pendeknya, pendidikan anak yang baik dan benar adalah pendidikan yang dapat membentuk kecerdasan dan kesholehan pada diri anak. Pertanyaan yang muncul dari sini adalah: pendidikan yang berlandaskan apakah pendidikan yang dapat membentuk kecerdasan dan keSholehan pada diri anak?

Saya tidak memiliki jawaban yang lain untuk menjawab pertanyaan di atas, kecuali jawaban Islam. Hanya paradigma. Islamlah yang akan mampu membentuk pribadi anak menjadi cerdas dan sholeh. Saya tidak menemukan konsep lain, ideologi lain, isme lain, atau teologi lain yang dapat membentuk kepribadian anak itu menjadi cerdas dan sholeh. Sebaliknya, konsep, ideologi, isme, atau teologi lain justru seringkali membentuk kepribadian anak yang timpang:

  • Anak menjadi cerdas tetapi sekaligus rusak akhlaknya.
  • Atau anak menjadi sholeh tetapi bodoh.
  • Atau anak menjadi tidak sholeh sekaligus menjadi tidak

 

Pendidikan model Barat, misalnya, adalah pendidikan yang menghasilkan anak cerdas tetapi rusak akhlak atau moralitasnya sehingga Anda jangan heran apabila melihat anak-anak Barat demikian brilian otaknya, tetapi sekaligus demikian ‘brilian’ dalam mengumbar nafsu syahwat. Model yang seperti ini tidak akan pernah terjadi apabila orang tua menerapkan pendidikan berparadigma Islam sebab tujuan pendidikan Islam adalah membentuk anak menjadi cerdas sekaligus sholeh.

Pertanyaannya, bagaimana wujud pendidikan yang demikian itu pada anak, khususnya yang harus dilakukan oleh seorang ibu? Di sini, saya hanya akan memfokuskan pembahasan pada tanggung jawab dan kewajiban seorang ibu dalam mendidik anak-anaknya.

Islam mengajarkan bahwa tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak itu terbagi menjadi empat, yakni:

  • merawat
  • mengasuh
  • mendidik
  • membelajarkan

Karena ibu adalah perempuan, sedangkan perempuan memiliki kecenderungan yang amat besar dalam cinta, kasih, dan sayang, dan kecenderungan yang demikian ini sudah sepantasnya diberikan kepada anak-anaknya, maka tugas pendidikan yang paling penting dan pokok dilakukan oleh ibu adalah merawat dan mengasuh anak-anaknya. Tugas ini paling sesuai dengan eksistensi ibu sebagai seorang perempuan. Tugas ini pula yang paling sesuai dengan unsur kedekatan kepada anak-anaknya.

Lihatlah hubungan seorang ibu dan anaknya. Ibu memiliki rahim. Dalam rahim tersebut ibu mengandung anaknya selama kurang lebih sembilan bulan sepuluh hari. Selama itu, si ibu tidak pernah berpisah sedikit pun dengan anak yang dikandungnya. Lalu si ibu ini melahirkan dan menyusui. Semua ini telah membawa hubungan dan ikatan eimosional, spiritual, dan intelektual yang amat dekat dengan anaknya. Oleh karena itu, dalam masa-masa seperti ini, si ibu haruslah memberikan perawatan dan pengasuhan kepada anak-anaknya.

Saya mengatakan kepada Anda bahwa hanya ibu yang mampu memberikan perawatan dan pengasuhan yang baik kepada anak-anaknya. Seorang ayah pun sesungguhnya bisa melakukan hal ini. Namun, seorang ayah terlalu lemah dalam masalah-masalah yang seperti ini jika dibandingkan dengan seorang ibu. Dengan kata lain, kelebihan yang dimiliki oleh semua ibu jika dibandingkan dengan kelebihan yang dimiliki oleh seorang ayah adalah dalam memberikan perawatan dan pengasuhan terhadap anak-anaknya.

Sebagai seorang ibu, Anda haruslah memberikan rawatan dan asuhan yang sebaik-baiknya kepada putra dan putri Anda. Perhatikanlah pertumbuhan dan perkembangan anak Anda. Jaga kesehatan fisiknya. Jaga pula kesehatan mental dan spiritualnya.

Dalam masa-masa melaksanakan tanggung jawab pendidikan ini, Anda harus terus mengembangkan sifat-sifat khas Anda sebagai seorang perempuan:

  • sabar
  • lembut
  • penyayang
  • santun
  • cinta kasih

Anda harus mengembangkan sifat-sifat ini, sebab sifat-sifat ini akan membuahkan kecerdasan emosional pada anak Anda sebagai ladang yang akan ditanami oleh nilai-nilai spiritual. Anda tidak usah mencontoh ibu-ibu yang bersikap keras, kasar dan tidak sabar yang seringkali banyak kita jumpai.

 

 

*/Muhammad Muhyidindikutip dari bukunya Bangga Menjadi Muslimah

HDAYATULLAH

Anak Penyebab Lima Keburukan Bagi Orangtua

Saat anak disebut sebagai cobaan hidup dalam Al Quran (Al Anfal: 28 dan At Taghabun: 15), maka para orangtua harus berhati-hati. Layaknya sebuah cobaan, sering kali menjerumuskan jika tidak lulus dari ujian tersebut. Potensi keburukan yang disebabkan oleh ujian tersebut harus diketahui sehingga bisa dijaga sedini mungkin oleh para orangtua, agar lulus dengan sempurna dari ujian anak.

Keasyikan orangtua menikmati keindahan anak. Kesibukan orangtua mengurus anak. Waktu dan kemampuan yang tersita untuk memakmurkan anak dan sebagainya menjadi masalah yang berakhir buruk bagi kehidupan orangtua jika tidak mengerti.

Ada 5 potensi keburukan dari keberadaan anak bagi orangtua yang tidak lulus dalam mendidik mereka menjadi anak yang baik dan menyejukkan mata. Berikut ini ke 5 potensi buruk itu:

  1. Menjauhkan dari dzikir kepada Allah

Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Qs Al Munafiqun: 9)

Dzikir adalah kewajiban seorang hidup di dunia. Mengingat Allah dalam keadaan apapun. Sedang dalam aktifitas apapun. Dan dengan berbagai cara; lisan, hati dan bukti perbuatan yang sesuai dengan keridhoan Nya.

Dzikir adalah bukti orangtua telah menjadi seorang hamba Allah yang baik.

Anak berpotensi menjadi penjauh dan penghalang orangtua dari dzikir dan mendekatkan diri kepada Allah. Sehingga para orangtua harus menyeimbangkan dirinya antara menjaga amanah anak tersebut dengan kepentingan dirinya untuk menjadi hamba Allah yang baik.

  1. Menyebabkan munculnya sifat pelit

Rasululloh bersabda:

إن الولد مبخلة مجبنة مجهلة محزنة

“Sesungguhnya anak menjadi penyebab sifat pelit, pengecut, bodoh dan sedih.” (HR. Hakim dan Thabrani, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Al Jami’ hadits no. 1990)

Pelit pada akhirnya berhubungan dengan harta. Orangtua yang merasa terbebani dengan amanah anak yang memerlukan biaya besar dalam mendidik mereka, berubah menjadi orangtua yang pelit. Padahal pada harta kita tidak hanya ada hak anak. Tetapi ada banyak orang lain yang berhak terhadap harta kita.

Ini artinya, para orangtua harus tetap menjaga sifat dermawan walaupun tugas membesarkan anak-anak memerlukan biaya yang tidak kecil.

  1. Penyebab munculnya sifat pengecut

Dalam hadits tersebut di atas, Rasululloh menyebutkan bahwa anak bisa menyebabkan tumbuhnya sifat pengecut dalam hati orangtua.

Kecintaan orangtua terhadap anak. Rasa takut kehilangan mereka. Tidak mau berpisah jauh dari mereka. Semua ini bisa membuat orangtua mendadak menjadi seorang pengecut dalam menghadapi kehidupan ini. Rasa takut begitu dominan. Takut mati tiba-tiba hadir. Tidak berani bertindak tegas dalam hidupnya dengan alasan keberadaan anak-anak.

Maka, para orangtua harus tetap memiliki sifat berani dalam mengarungi dan memutuskan langkah dalam hidup ini. Ada saat harus bahagia bersama mereka. Ada saat harus berpisah jauh dari mereka. Ada saat mereka bisa dipenuhi kebutuhannya. Ada saat keputusan harus diambil dalam hidup orangtua walau berisiko kehidupan anak-anak harus lebih prihatin.

Bersandar kepada Allah yang Maha Pemberi dan keyakinan bahwa apa saja yang dititipkan kepada Allah tak akan pernah rusak dan hilang, akan membuat orangtua tidak kehilangan keberaniannya dalam mengarungi tugas hidup di dunia.

  1. Penyebab kebodohan

Hadits Nabi di atas menyebutkan bahwa anak juga bisa menyebabkan kebodohan bagi orangtuanya. Kebodohan berhubungan dengan ilmu.

Orangtua yang terlalu sibuk mengurusi anaknya, memperhatikan mereka, sering menjadikan anak sebagai alasan dari ketidakberilmuan dirinya. Kesempatan belajar memang jadi berkurang. Minat belajar juga mulai pupus, seiring kelelahan fisik yang mendera karena kesibukan bersama anak-anak dan untuk mereka.

Tetapi kebodohan tidak boleh terjadi pada kehidupan orangtua. Apalagi ilmu adalah modal untuk mendidik mereka. Bagaimana diharapkan keberhasilan pendidikan anak, jika orangtuanya menghapus ilmu baik mereka dengan tindakan dan lisan orangtua tanpa disadari. Semuanya berawal dari kosongnya kepala orangtua dari ilmu.

Sehingga, anak tidak boleh menjadi alasan orangtua hilang kesempatan menuntut ilmu. Orangtua harus tetap mempunyai waktu dan tenaga untuk belajar dan terus belajar.

  1. Penyebab kesedihan

Di akhir hadits disebutkan bahwa anak bisa menyebabkan kesedihan bagi orangtua. Banyak faktornya. Anak sakit umpamanya, bisa jadi hanya sakit panas biasa. Tetapi orangtua bisa sangat panik karenanya. Kepanikan itu menyebabkan terhentinya banyak kebaikan. Atau kesedihan yang disebabkan oleh ulah anak di rumah atau di luar rumah.

Kesedihan sering bermunculan disebabkan oleh anak. Maka ini peringatan dari Nabi, agar para orangtua menjaga kestabilan jiwanya. Kesedihan adalah hal yang manusiawi. Tetapi kesedihan tidak boleh terus menerus meliputi seluruh kehidupan kita bersama anak-anak. Juga, kesedihan tidak boleh menghentikan potensi kebaikan dan amal shaleh para orangtua.

Ya jadikanlah anak-anak kami kebaikan bagi kami.

Amin…

Ustadz Budi Ashari, Lc.

 

ARRAHMAH

Makna Dalam dari “Mak…Udah!”

“Mak…udah!”

Apa yang terpikirkan dengan kalimat di atas? Penulis mencoba mengatakan kepada seorang teman di kantor mengenai kalimat pendek di atas. Kontan ia langsung tertawa terbahak. Pikirannya langsung teringat masa kecil ketika sedang pup atau awal-awal belajar pup di kamar mandi. Lalu memanggil ibu dengan kalimat pamungkas “Mak…udah!”

Ibu kemudian datang dengan segera, gerakannya langsung cekatan mengambil gayung lalu membersihkan kotoran kita yang baunya semerbak khas. Ibu tidak jijik atau menutup kedua lubang hidungnya.

Anda mengalami hal yang sama ketika kecil? Ibu kita tampak begitu heroik, menjadi pahlawan pertama pembasmi ketidakberesan di rumah. Setelah kita dewasa, ibu kita secara biologis pun makin menua. Lalu, bagaimana kita memperlakukannya?

Penulis jadi teringat sesuatu. Ketika memberikan tautan video murottal seorang reciter suatu malam, tiba-tiba kawan penulis memberikan sebuah foto. Seorang perempuan tua mengenakan kerudung putih, berkacamata plus, bergamis batik biru, sepatu putih dan di depannya tas selempang berwarna kuning. Di tas itu terpampang foto sang perempuan tua dan sebuah tulisan “cek out”.

“Tadi ada jamaah umrah yang tersesat. Kasihan nenek-nenek,” kata kawan, malam itu pukul 21.56 WIB.

Kawan ini bernama Abdurrahman Nasrullah Erwin. Ia sedang menempuh pendidikan sarjananya di Universitas Islam Madinah, Saudi Arabia.

“Beliau sudah tidak kuat berjalan,” lanjut Anas, begitu teman akrab disapa. Nenek yang berusia sekitar 70-an tahun itu terbawa arus jamaah luar negeri lainnya. Anas tak terlalu paham dengan penuturan nenek yang bernama Cekoni Jamal Wahid–terlihat dari identitas name tagnya. “Saya tidak terlalu paham bahasanya. Bahasa yang beliau pakai bahasa Melayu, lebih ke bahasa Palembang,” tutur Anas. Namun ada sedikit yang ia pahami, “Ia bilang ‘tadi saya ikutin orang-orang yang jalan, dekat fly over di luar Nabawi’,” kata pemuda yang pernah kuliah di STIU Al-Hikmah Jakarta itu, menirukan kalimat nenek Cekoni. Jarak yang lumayan jauh. Circa lima kilometer.

Nenek yang masih bagus pendengarannya tersebut menurutnya tidak tampak mengeluh sama sekali. Hanya saja, nek Cekoni banyak terdiam.

Anas bersama keempat temannya yang bergegas menghubungi travel yang tertulis di name tag nek Cekoni. Travel Zafa Tour. Tak lebih dari 45 menit, mutawwif sang nenek pun datang. Kata mutawwifnya, nek Cekoni awalnya mengisi air zam-zam, setelah itu ia mengikut jamaah yang lain. Di saat itulah nenek kehilangan arah.

Ketika dijemput oleh mutawwifnya, awalnya sang nenek ketakutan dan tidak mau diajak. Namun setelah dibujuk sedemikian rupa akhirnya ia mau ikut ke rombongan kembali.

“Ya Allah, bayangkan kalau itu orangtua kita..” tutur Anas tidak tega.

Al Birr bermakna kebaikan. Rasulullah SAW. bersabda: “Al Birr adalah baiknya akhlak.” (HR. Muslim).

Sehingga Birrul Walidain berarti berbuat baik kepada kedua orangtua, menjauhi apa-apa yang tidak mereka sukai, serta mentaati mereka (selama tidak dalam rangka bermaksiat kepada Allah).

Sang kawan tadi benar, bagaimana kalau itu orangtua? Bukan tentang anak dari orangtua tersebut, namun tentang kita memperlakukan orangtua. Orangtua yang sudah mengalami masa senja akan mengalami penurunan pula pada fungsi fisiknya. Apalagi jika orangtua mengalami kelumpuhan yang mengganggu saraf motoriknya, ia hanya hidup di atas tempat tidur atau kursi roda. Maka, yang akan membersihkannya adalah kita. Anak-anaknya. Ketika pup pun kita yang akan merawatnya. Maka kalimat pamungkas “Mak..udah!” yang kita gaungkan ketika kecil berubah menjadi “Mak, udah?”

Fawwaz La’bun pernah mengatakan bahwa yatim itu ada dua macam. Pertama yatim kecil, yang artinya kehilangan orangtua. Yang kedua, yatim besar: kehilangan ridha orangtua. Semoga kita tak yatim yang terakhir itu.

Wallahua’lam.

 

BersamaDakwah

 

Mandul, Allah akan Siapkan Anak di Surga

ADA wanita yang bertahun-tahun belum ditakdirkan memiliki keturunan. Dan ia sangat merindukan sekali dengan kehadiran bayi di rumahnya. Sebagai hiburan, ketika Allah tidak menghendaki buah hati hadir di tengah-tengah kita saat ini, janganlah khawatir sesungguhnya Allah telah menyiapkan gantinya di surga kelak.

Dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Seorang mukmin itu bila sangat menginginkan anak (namun tidak mendapatkannya), di surga ia akan mengandungnya, menyusuinya dan tumbuh besar dalam sekejap, sebagaimana ia menginginkannya.” (HR. Tirmidzi, no. 2563; Ibnu Majah, no. 4338. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Dari hadits di atas, kebanyakan ulama berpendapat bahwa bagi yang menginginkan anak namun tidak mendapatkannya di dunia, maka ia akan mendapatkannya di surga. Sedangkan ulama lain berpendapat bahwa di surga memang ada jima (hubungan intim), namun tidak menghasilkan anak atau keturunan. Inilah pendapat yang diriwayatkan dari Thawus, Mujahid, dan Ibrahim An-Nakhai.

Dalil dari pendapat kedua di atas adalah hadits dari Abu Razin Al-Uqailiy radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Wanita shalih dengan pria shalih di surga akan saling merasakan kelezatan sebagaimana yang mereka rasakan di dunia. Wanita-wanita itu akan bersenang-senang dengan kalian. Namun mereka tidak memiliki anak.” (HR. Ahmad, 4: 13. Syuaib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini dhaif karena musalsal bil mahajahil)

Ibnul Qayyim sampai-sampai menjelaskan, “Surga bukanlah negeri untuk menghasilkan keturunan. Surga adalah negeri yang tetap dan kekal di dalamnya. Orang yang berada dalam surga tidak mengalami kematian dan tidak pula menghasilkan keturunan untuk menggantikan yang mati.” (Haadi Al-Arwah, 1: 173)

Namun cara kompromi yang baik dari dua dalil yang kelihatan kontradiksi di atas adalah seperti yang dikatakan oleh Al-Munawi berikut. Al-Munawi menjelaskan dalam Faidh Al-Qadir (6: 335) bahwa, “Hadits tersebut tidak bertentangan dengan hadits Al-Uqaili dengan sanad shahih “Sesungguhnya di surga itu tidak ada anak kecil.” Karena itu, bagi orang yang tidak menginginkannya, ia tidak akan melahirkan anak. Namun apabila seseorang menginginkan anak maka akan seperti yang dijelaskan dalam hadits tersebut.”

Karena memang di surga, seseorang akan mendapatkan apa yang ia inginkan termasuk kerinduan mendapatkan anak. Dalam ayat disebutkan, “Dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kamu kekal di dalamnya.” (QS. Az-Zukhruf: 71). Semoga Allah memberikan yang terbaik untuk urusan dunia dan akhirat kita. Yang belum mendapatkan keturunan, moga Allah mudahkan atau ganti dengan yang lebih baik. [Muhammad Abduh Tuasikal]

 

INILAH MOZAIK

Kisah Foto Mengharukan: Anak Peluk Hangat Ayah nan Renta

GARA-gara pemandangan di depannya, pegawai negeri sipil itu nyaris menangis dalam perjalanan di atas kereta api. Cerita bermula dari “pertemuannya” dengan seorang kakek renta di ruang tunggu penumpang Stasiun Jenar Purworejo, Jawa Tengah.

Ia melihat kakek yang ditaksir berusia 75-80 tahun itu datang untuk duduk di ruang tunggu dengan dipapah oleh anaknya, diperkirakan berumur 50 tahun.

Ternyata kemudian, pagi itu, ia dan dua orang yang disebut bapak-anak itu satu perjalanan di atas Kereta Api Prambanan Ekspress (KA Prameks) relasi Kutoarjo-Solo. Ia kebagian tempat duduk di depan keduanya, sehingga bisa melihat secara dekat dan jelas aktivitas mereka.

“Saat itu belum terbersit sesuatu yang istimewa dari apa yang ada di depan saya,” ungkap Restoris A Fatiha, nama pria itu, saat mengobrol dengan hidayatullah.com, Jumat, 27 Oktober 2017.

Singkat cerita, pandangan Restoris terus tertuju ke arah kedua penumpang “istimewa” di depannya. Ia melihat kakek itu tidak memakai alas kaki, hanya menggunakan kaos kaki.

Di dalam kereta, dua penumpang “istimewa” itu duduk berdampingan kursi. Sejurus kemudian, sekitar pukul 06.20 WIB, tiba-tiba kakek itu mengubah posisi duduknya. Ia bersandar dan berbaring di dada dan paha anak yang duduk di sisi kirinya. Kedua tangan dan kakinya dilipat, dirapatkan karena sempitnya kursi.

Seketika itu pula anaknya yang baru menerima panggilan telepon memeluk orangtua itu dengan tangan kanannya. Selesai menelepon, ia pun memeluk dengan kedua tangannya. Kehangatan itu seperti orangtua yang sedang memeluk anak yang masih kecil.

“Momen yang bikin saya terenyuh dan terharu dan berpikiran untuk mengabadikan,” ungkap PNS di Pemerintah Kabupaten Kulon Progo ini. “Saya melihat sesuatu yang membuat hati saya langsung merindukan orangtuaku, langsung membuat ‘trenyuh’ dan rasanya pengenmeneteskan air mata.”

Episode keharuan itu bertambah saat pemandangan lain tertangkap oleh pandangan mata dan perasaan Restoris, masih dalam perjalanan itu.

“Awalnya saya cuma fokus untuk ambil gambar si anak dan si bapak tersebut,” tuturnya. “Tapi tiba-tiba pandangan saya juga tertarik pada kursi di sebelah beliau yang saat itu saya lihat (duduk) seorang bapak dan ibu sedang bercanda, gurau dengan cucunya.”

Pria 30 tahun ini tak sendirian hanyut dalam suasana “bawa perasaan”. Pemandangan di depannya juga mengundang “baper” banyak kalangan warga bahkan yang nun jauh darinya.

Pasalnya, momentum keakraban dua keluarga itu ia abadikan dengan kamera di genggamannya. Lalu, 30-60 menit kemudian, akunya, foto-foto kisah penuh kasih itu diunggahnya ke akun medsosnya di Facebook, pada hari “istimewa” itu, Rabu, 18 Oktober 2017.

Sontak saja, para pengguna media sosial dibikin terenyuh oleh kiriman Restoris berupa foto dan tulisannya. Jagat dunia maya mengharu biru. Sudah sepekan lebih kehangatannya masih terasa hingga kini, dibicarakan dan disyiarkan di berbagai media sosial, termasuk aplikasi berbagi foto, Instagram.

Pengamatan hidayatullah.com, kehangatan dua keluarga tersebut memang begitu menyentuh perasaan. Sebagaimana foto unggahan Restoris, di sisi kanan ada sepasang pria dan wanita berjilbab –tampaknya suami-istri–begitu akrab dengan seorang bocah laki mungkin anak atau cucunya. Tatapan ketiganya sama-sama mengarah pada sebuah telepon genggam, dengan raut wajah terlihat penuh senyum dan keceriaan. Melambangkan kebahagiaan.

Sementara di sisi kiri, seorang pria merangkul hangat orangtua berpeci yang wajahnya terlihat sudah mengerut. Kedua manusia beda generasi itu seakan berbicara dari hati ke hati. Melambangkan kedekatan, kesetiaan.

Sedangkan para penumpang lain tampak sibuk dengan aktivitas masing-masing.

Drama itu menampilkan siklus nilai-nilai kemanusiaan yang rasa-rasanya sudah jadi barang langka di era modern saat ini; anak menyayangi orangtua dan orangtua mengakrabi anak.

Widya Restianda, salah satu warganet, menggambarkan foto itu dengan sebuah komentar pada unggahan tersebut:

“Foto yang kanan seperti flashbacknya si bapak yang fotonya sebelah kiri, ketika dia dipeluk bapaknya dan diajak bercanda oleh bapak ketika ada maknya juga. Dan sekarang tinggal dia sama bapaknya dan sekarang giliran si bapak itu pula yang memeluk bapaknya. Sebuah ‘kebetulan’ yang luar biasa. MasyaAllah.”

“Saat itu pula saya teringat masa kecil saya. Dan terbayang bahwa ini seperti sebuah siklus kasih sayang. Dirawat dan kemudian merawat,” ungkap Restoris.

 

“Sayangi Orangtuamu”

Tapi ada yang ia sayangkan. “Saya belum sempat ngobrol dengan beliau-beliau yang ada di foto. Cuma sesekali terdengar obrolan antara si bapak yang memeluk anaknya dengan yang bapak dan ibu yang bawa cucu itu.”

“Sepertinya mereka akan pergi ke Jogja/Solo untuk berobat/kontrol. Biasanya mereka naik bis, tapi ini mereka baru sekali nyoba pakai kereta api Prameks. (Tentang) itu yang samar-samar saya dengar dari percakapan (mereka),” ungkapnya.

Ia terpaksa berpisah dengan para penumpang “istimewa” itu karena ia harus segera turun di Stasiun Wates dan berganti kereta tujuan Jakarta.

Jadinya, penumpang- penumpang itu sejauh ini belum ia ketahui identitasnya. Yang pasti, pesan-pesan moral tentang berkasih sayang dalam keluarga sudah menyebar luas di dunia siber.

Termasuk yang ia sampaikan kepada para pembaca:

“Sayangilah orang tuamu, sebagaimana orang tuamu menyayangimu, membesarkanmu, mendidikmu, dan merawatmu dgn sepenuh hati…

Sungguh pemandangan yg sangat sederhana ini mampu menggugah hati dan mengingatkan kita sebagai seorang anak untuk selalu menyayangi dan mencintai orang tua kita walaupun dgn cara yg sederhana…. -RAF-.”

Pesan-pesan itu, pantauan hidayatullah.com hingga Sabtu  (28/10/2017) malam sekitar pukul 20.00 WIB, setidaknya sudah 7.381 kali dibagikan dan diganjar 15 ribu tanggapan positif dan apresiatif.

“Sedih, Mas, bacanya. Semoga nanti saya bisa seperti itu,” komentar Ananta Putra Achmad.

“Ya Allah beri hamba kekuatan dan kemampuan untuk selalu membahagiakan orangtua saya di dunia dan akhirat,” tulis Iwan Hermansyah.*

 

HIDAYATULLAH

 

—————————————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!