Peluang Arab Saudi Gelar Haji Diprediksi Semakin Kecil

Arab Saudi sedang menghadapi gelombang kedua wabah Covid-19. Oleh sebab itu, pelaksanaan ibadah haji tahun ini semakin tak mungkin dilaksanakan.

Arab Saudi sebenarnya berhasil menurunkan angka penularan pada akhir Mei lalu. Kasus baru harian berhasil turun setengahnya, yakni menjadi 1.500 kasus. Setelah itu, otoritas memperlonggar pembatasan, mulai dari mengizinkan sholat jamaah, penerbangan domestik, hingga aktivitas bisnis.

Namun, sejak 1 Juni jumlah kasus kembali melonjak dan menjadi pertanda gelombang kedua tiba. Kementerian Kesehatan Arab Saudi melaporkan, pada hari Rabu (17/6) saja terdapat 4.919 kasus baru Covid-19. Itu adalah rekor tertinggi kasus harian di Arab Saudi sejak pandemi melanda.

Adapun total pasien meninggal karena Covid-19 telah mencapai 1.090 orang. Sedangkan total kasus positif sebanyak 141.000. Hal ini membuat Saudi menjadi negara dengan jumlah kasus terbanyak di antara negara-negara arab lainnya.

Melansir CBS News, Juru Bicara Kementerian Kesehatan Arab Saudi, Mohammed al-Abd al-Ali, pada Senin (15/6), mengatakan, kembali melonjaknya jumlah kasus positif dikarenakan masih banyak masyarakat yang mengabaikan protokol kesehatan pencegahan Covid-19.

Kendati demikian, Pemerintah Arab Saudi saat ini belum memutuskan soal pelaksanaan ibadah Haji tahun ini. Tapi, dengan gelombang kedua yang jumlah kasus hariannya lebih besar, pelaksanaan ibadah tahunan itu hampir tak mungkin dilaksanakan.

Ibadah haji tahun ini yang dijadwalkan akhir Juli. Hanya sekitar 1,5 bulan lagi. Setiap tahunnya, terdapat 2,5 juta jamaah yang melaksanakan ibadah Haji di Kota Makkah. Jika pembatalan benar dilakukan, itu akan menjadi kali pertama dalam sejarah modern kerjaan Saudi.

Sebelumya otoritas pemerintah Saudi yang bertanggung jawab atas ibadah Haji telah mendesak negara-negara Muslim untuk menunda rencana ibadah haji tahun ini. Sejauh ini telah ada empat negara yang membatalkan, yakni Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Negara lain masih dalam proses penentuan keputusan akhir.

IHRAM

Enam Negara Putuskan tak Berangkatkan Jamaah Haji 2020

Hingga berita ini dibuat, setidaknya ada enam negara yang memutuskan untuk tidak mengirim umat Muslim-nya melaksanakan haji tahun ini. Keputusan ini dibuat di tengah pandemi Covid-19 yang sedang berlangsung.

Ibadah haji merupakan ritual keagamaaan atau ziarah terbesar bagi umat Islam. Sejauh ini telah diklaim korban meninggal akibat Covid-19 mencapai 430.530 orang, termasuk 972 di Arab Saudi.

Pelaksanaan haji tahun ini bergantung pada penampakan bulan. Namun, menurut prediksi, ibadah haji akan dimulai pada 28 Juli dan berakhir pada 2 Agustus. Menunaikan ibadah haji hukumnya wajib bagi setiap Muslim yang mampu secara finansial dan fisik, sekali dalam hidupnya.

Dilansir di Dhaka Tribune, pihak berwenang Arab Saudi sedang mempertimbangkan membatalkan ibadah haji tahun ini atau melakukannya secara simbolis. Hal ini diketahui melalui beberapa sumber yang mengetahui perihal masalah tersebut.

Muslim di seluruh dunia, termasuk dari Bangladesh selaku negara Muslim terbesar ketiga di dunia, sedang menunggu keputusan Kerajaan Arab Saudi. Sekitar 2,5 juta orang mengambil bagian dalam pelaksanaan ibadah haji pada 2019.

Diketahui sebelumnya, Arab Saudi telah menangguhkan perjalanan umroh pada akhir Februari karena pandemi Covid-19. Hingga Ahad (14/6) sore, kasus positif Covid-19 di kerajaan tersebut mencapai 127.541 dengan tambahan 4.233 kasus. Selain itu, ada penambahan 40 pasien yang meninggal sehingga total menjadi 972 jiwa.

photo

Infografis daftar negara tak kirimkan jamaah haji 2020. – (Republika)

Dari enam negara yang memilih tidak mengambil bagian dalam pelaksanaan haji tahun ini, ada tiga negara dengan Muslim terbesar di dunia, yakni Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Tiga lainnya adalah negara dengan populasi Muslim kecil, yakni Singapura, Thailand, dan Kamboja.

Indonesia seharusnya mengirim lebih dari 220 ribu jamaah haji. Sementara itu, Malaysia mengirim 36 ribu jamaah dan Brunei 1.000 jamaah untuk tahun ini. Jumlah tiga negara lainnya tidak diketahui.

Menurut Kementerian Urusan Agama Bangladesh, negara itu seharusnya mengirim 137.198 jamaah haji ke Arab Saudi untuk melakukan haji tahun ini. Namun, dalam keadaan di tengah pandemi, hanya 64.594 orang yang telah mendaftar.

Pemerintah baru-baru ini menyatakan siap mengirim jamaah haji dan menunggu keputusan akhir Arab Saudi mengenai haji. Arab Saudi diperkirakan akan mengambil keputusan mengenai pelaksanaan ibadah haji tahun ini dalam pekan ini. Hal ini menurut media internasional dan pejabat Bangladesh.

Mereka mengatakan, pemerintah di Riyadh sedang mempertimbangkan beberapa opsi, termasuk melakukan pembatalan, dihadiri orang-orang dari Arab Saudi yang jumlahnya sangat terbatas, atau perwakilan jamaah yang sangat terbatas dari seluruh dunia. Apa pun opsi yang dipilih akan bergantung pada bagaimana situasi virus Covid-19 berkembang dalam beberapa hari mendatang. Jika ibadah haji 2020 ini dibatalkan, itu akan menjadi pertama kalinya dalam sejarah Arab Saudi, yang didirikan pada 1932. Sebelumnya sejak 630 M, pola haji terganggu selama puluhan kali karena alasan politik, ekonomi, atau kesehatan. 

Sumber: https://www.dhakatribune.com/world/2020/06/14/covid-19-6-countries-decide-to-skip-this-year-s-hajj

IHRAM


Negara tak Kirimkan Jamaah Haji Terus Bertambah

Negara yang memutuskan tak mengirimkan jamaah hajinya pada tahun ini bertambah. Setelah Singapura, Indonesia, dan India, sekarang bertambah Afrika Selatan dan Brunei Darussalam.

Pemerintah Afrika Selatan memutuskan menunda pemberangkatan jamaah haji 2020. Keputusan tersebut diambil, menimbang pandemi covid-19 yang masih menyelimuti banyak negara dan kemungkinan adanya gelombang kedua dari pandemi tersebut.

Sekretaris Jenderal Dewan Haji dan Umroh Afrika Selatan, Moaaz Casoo dalam siaran persnya menyatakan, Afrika Selatan tidak akan mengirimkan jamaah haji tahun ini ke Arab Saudi. 

“Dengan menyesal kami informasikan Afrika Selatan mengakreditasi Hujaaj bahwa pilgrim Afrika Selatan tidak akan bisa memulai Haji 1441/2020,” ujar Casoo dalam siaran persnya yang dilansir dari Sahuc.org pada Jumat (12/6).

Keputusan tersebut ujar Casoo diambil setelah menggelar pertemuan untuk membahas pelaksanaan haji 2020. Dewan Haji dan Umrah Afrika Selatan (SAHUC) telah berdiskusi dengan Kementerian Haji dan Umrah, Kedutaan Besar Kerajaan Arab Saudi di Pretoria serta Departemen Hubungan dan Kerjasama Internasional Afrika Selatan (DIRCO) sehubungan dengan Haji dalam situasi Pandemi. Pertemuan tersebut berlangsung pada Kamis (11/6). 

Menteri Departemen Hubungan Internasional dan Kerjasama, Menteri Kehormatan Naledi Pandor, menyatakan bahwa perbatasan Afrika Selatan saat ini masih ditutup dan tidak akan dibuka untuk perjalanan komersial maupun Internasional. Selain itu, dari hasil pemantauan kementerian saat ini, bahwa jumlah kasus di Arab Saudi pun terus melonjak sehingga dikhawatirkan akan terjadi penularan virus.

“Jumlah kasus aktif di Arab Saudi terus bertambah dan ada kekhawatiran tentang gelombang kedua coronavirus secara internasional,” kata Casoo.

Atas pertimbangan tersebut, Pemerintah Afrika Selatan memilih menunda pemberangkatan haji 2020. Keputusan ini, ungkapnya, tentu akan mengecewakan umat Islam yang akan melaksanakan ibadah haji.

Sebagaimana hadits yang juga diceritakan sahabat bahwa Nabi Muhamaad SAW pernah melarang bepergian dalam kondisi wabah. 

“Jika Anda mendengar wabah penyakit di suatu negeri, jangan memasukinya. Tetapi jika wabah itu terjadi di tempatkan Anda berada di dalamnya, (maka) jangan tinggalkan tempat itu.”

Casoo juga mengimbau kepada calon jamaah haji yang gagal berangkat untuk menghubungi operator haji yang terakreditasi masing-masing untuk mengatur pembebasan dari kontrak dan untuk pengembalian uang haji. Operator haji terakreditasi tidak akan memungut biaya administrasi apapun.

“Untuk tiket penerbangan, petugas akan mengembalikan uang (jamaah) sesuai dengan kebijakan pembatalan perusahaan penerbangan tersebut. Di mana setoran dibayarkan ke Kerajaan Arab Saudi Bagi operator, bagian-bagian pengembalian dana akan berkurang begitu dana diterima dari mitra Saudi. SAHUC Akan mengembalikan biaya akreditasi R1500 ke semua jamaah. Setelah Anda dibebaskan dari kontrak dengan operator haji, silakan kirim detail perbankan Anda bersama dengan nomor referensi akreditasi Anda ke info@sahuc.org.za ,” terang Casoo.

Sementara, Pemerintah Brunei Darussalam mengumumkan tahun ini pemberangkatan haji tidak akan dilakukan mengingat kondisi yang berisiko di tengah pendemi Covid-19. Menteri Agama Brunei Darussalam Awang Badaruddin Othman telah mengumumkan keputusan pembatalan keberangkatan jamaah haji ke tanah suci tahun ini.

“Negara tidak akan mengirim 1.000 jamaah haji yang dipilih setiap tahun dan begitu pula mereka yang bepergian dengan biaya sendiri untuk melakukan haji,” ujar Menteri Agama Brunei Darussalam, Awang Badaruddin Othman yang dikutip di Anadolu Agency, Jumat (12/6).

Baddarudin mengatakan, keputusan itu dibuat setelah Sultan Hassanal Bolkiah memberikan persetujuannya atas rekomendasi Dewan Agama Islam Brunei untuk membatalkan partisipasi jamaah Brunei dalam haji tahun ini. Menurutnya, penyebaran virus yang masih menjadi ancaman global dan masih dapat terselesaikan, menjadi alasan utama diputuskannya pembatalan haji.

“Mengenai keikutsertaan jamaah haji, dipastikan pandemi Covid-19 masih menjadi ancaman global dan bahwa penyebaran virus ini sepertinya tidak akan berhenti dalam waktu dekat,” ujar Baddarudin.

IHRAM

Memahami Psikologi Calon Haji Tahun 2020

Menteri Agama, Fachrul Razi (2/6) mengumumkan pembatalan haji tahun 2020. Ratusan ribu jemaah yang sudah melakukan pelunasan, dipastikan batal berangkat tahun ini. Mereka akan diberangkatkan pada penyelenggaraan haji 1442H/2021M.

Lantas, bagaimana kita bisa memahami psikologi calon haji yang batal berangkat? Jangan kita menambah beban mereka dengan komentar yang kurang proporsional. Ingat, haji adalah rukun Islam kelima. Semua muslim menginginkannya. Bertahun-tahun nabung uang hanya untuk haji. Pak haji dan bu hajjah adalah titel sosial yang unik. Ada kebanggaan tersendiri. Rasanya tidak sempurna kalau mati belum haji. Dalam beberapa tradisi, status haji malah menjadi “tujuan” hidup. Akhirnya segala hal dilakukan untuknya. Termasuk menjual properti pokok.

Saat pembatalan, wajar kalau para calon haji sedih mendalam. Tentu bukan karena pengumuman Menag semata, tapi lebih menyesali keadaan pandemi yang belum membaik. Meski faktor utamanya bisa dibenarkan secara syar’i, namun ada saja yang belum terima.

Pembatalan haji pasti akan dicatat dalam sejarah modern. Ya, ibadah haji memang punya “maqam” khusus dalam Islam. Apalagi dalam budaya tertentu. Dengan segala tafsirnya, haji menjadi sub kultur. Bahkan haji sebagai wahana konsolidasi umat Islam dunia.

Ya, efek psikologis calon haji yang batal tahun ini sangat dirasakan. Untuk mengetahui secara lebih detail memang diperlukan survey. Namun, gambaran umumnya bisa diprediksi. Terutama bagi calon haji yang sudah berusia sepuh. Mereka pasti sangat sedih. Ada asumsi, usia tua mendapat prioritas. Semakin bertambah usia, kualitas kesehatan semakin menurun. Walaupun usia tidak berbanding lurus dengan ajal.

Tentu rasa sedih calon haji yang jumlahnya sekitar 200 ribuan orang itu berbeda-beda. Secara prinsip, rasa sedih bisa menimbulkan kekecewaan. Bahkan bisa mencapai frustasi. Ibadah haji memiliki syarat istitha’ah (kemampuan) yang sangat luas. Syarat satu terhubung dengan yang lain. Tali temali, termasuk keamanan jiwa. Sehingga,  syarat haji bukan syarat tunggal.

Hal yang perlu diketahui, setiap individu memiliki gambaran kesedihan yang berbeda. Semua tergantung dari faktor yang melingkupinya. Yang paling mempengaruhi adalah faktor “kemembalan” jiwa (resiliensi). Setiap calon haji punya daya tahan psikologis masing-masing dalam menghadapi masalah. Nah, gambaran kesedihan calon haji batal tahun ini bisa dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, denial (penyangkalan). Saat mendengar pengumuman batal haji, sadar atau tidak, ada penyangkalan dalam hati. Itu wajar. Denial merupakan tahapan rasa kecewa. Ada rasa “tidak terima” karena kehilangan kesempatan naik haji tahun ini. Penyangkalan biasanya diikuti kalimat misalnya: “seharusnya pemerintah bisa mengusahakan”. “Jika waktu persiapan kurang, kan sudah lama berpengalaman”, dan seterusnya. Pernyataan yang bisa disebut standar atas pembatalan haji di era teknologi ini.

Kedua, ungkapan kemarahan. Dari sikap menyangkal atas fakta, merembet ke ungkapan marah yang membuncah. Mungkin ada calon haji yang berpikir, hidup terasa tidak adil. Sudah lama menunggu antrian, pada tahun berangkat justru batal. Umumnya, marahnya dilampiaskan pada suatu obyek. Dalam konteks ini pemerintah. Di zaman Medsos seperti ini ada yang disalurkan melalui status atau postingan yang tidak layak. Mereka lupa bahwa haji adalah panggilan. Ada koneksi ketuhanan (QS: Ali Imran: 97). Saatnya nanti Allah akan panggil kembali.

Ketiga, rasa penyesalan. Saat situasi mengecewakan, sering muncul rasa menyesal. Apalagi jika kerinduan begitu membuncah. Kenapa begini dan kenapa begitu. Pada titik tertentu, penyesalan diri yang mendalam bisa melemahkan pikiran. Tanpa sadar, muncul penyesalan kenapa tidak daftar lebih awal sehingga bisa berangkat tahun lalu. Tentu tidak semua calon haji begitu. Ekspresi penyesalan berbeda-beda setiap orang. Menyesali karena kebijakan Arab Saudi dan pemerintah Indonesia. Menyesali atas kondisi. Menyesali atas kemungkinan usia belum tentu sampai tahun depan, dan sebagainya. 

Keempat, pada tahap tertentu muncul perasaan depresi. Apalagi jika tujuan hajinya ada muatan “hawa”. Misalnya kebelet ingin menjadi “pak haji” dan bu “hajjah” dalam budaya tertentu. Mungkin ada target-target duniawi lainnya. Tahapan depresi merupakan tahapan paling menyedihkan dalam diri seseorang. Semua terasa berat dan menekan jiwa. Orang yang mengalami depresi muncul ciri seperti sering mengurung diri, murung, atau menarik diri dari lingkungan sosial. Jika ada yang seperti ini, maka seharusnya belum cukup syarat pergi haji. Niatan hajinya tidak murni karena Allah, tapi karena tujuan jangka pendek.

Kelima, keiklasan dan menerima (acceptance). Gambaran psikologis calon haji ini memiliki insight cukup. Mereka menerima dan pasrah atas keputusan pemerintah. Semua sudah ada yang mengatur.  Ketetapan yang sudah ada dalam Lauhul Mahfudz. Ini merupakan tahapan emosi keikhlasan dan kepasrahan. Mereka mencoba menerima segala keputusan, keadaan dan juga kehidupan dengan hati yang lapang. Respon emosi dan spiritual yang paling jernih dan tinggi. Mereka menyadari bahwa haji adalah panggilan Tuhan. Maka tidak yang bisa memaksa kecuali iradah Tuhan. Niat Haji terhubung langsung dengan Sang Pencipta. Meski hampir seluruh amalannya secara fisik, tapi sasaran utamanya adalah pembentukan jiwa.

Intinya, semua kita perlu memahami pembatalan dengan bijak. Situasi global tidak memungkinkan dilaksanakan haji tahun ini. Pelaksanaan haji hampir tidak mungkin “physical distancing”. Tidak cukup pula hanya rajin cuci tangan dan pakai masker. Kenapa? Semua rangkian ibadahnya berkerumun, mulai thawaf, sai, wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah, stay di Mina, dan lontar Jumrah. Belum termasuk shalat Jumatnya. Mencium Hajar Aswad. Doa-doa di tempat mustajab, seperti Multazam, Hijr Ismail, Raudhah, dan lainnya. 

Pembatalan haji adalah keputusan yang sangat berat. Banyak pertimbangan yang dijadikan dasar. Tentu kritik atas keputusan pemerintah itu wajar. Sebagai negara demokrasi, sekaligus menjalankan mekanisme kontrol. Pemerintah memahami kesedihan jamaah Indonesia. Namun demi kepentingan kemanusiaan, keputusan pembatalan terpaksa dilakukan. Kita semua berharap, seluruh calon haji tahun 2020 akan tetap diberi kesempatan untuk berhaji tahun 2021 dalam kondisi lebih baik, lahir batin. Wallahu a’lam.

Thobib Al-Asyhar (Kabag KLN Kementerian Agama, Dosen Psikologi Islam Program Kajian Timteng dan Islam SKSG Universitas Indonesia)

KEMENAG RI

Wapres Pastikan Jamaah Haji 2020 Prioritas Berangkat 2021

Wakil Presiden Ma’ruf Amin memastikan jamaah haji yang ditunda jadwal keberangkatannya pada tahun ini karena pandemi Covid-19 akan memperoleh hak sama pada musim haji tahun depan. Ma’ruf mengatakan, jamaah haji yang tertunda akan otomatis prioritas berangkat haji tahun depan.

“Soal haji saya kira mereka tidak berangkat karena sesuatu hal, ketika dia ditunda haknya (tahun depan) tetap seperti yang kemarin. Itu sudah konsekuensi, dia pasti otomatis,” ujar Ma’ruf saat konferensi pers virtual dengan wartawan, Senin (8/6).

Ia menerangkan, penundaan keberangkatan jamaah haji Indonesia demi alasan keamanan dari virus Covid-19. Meskipun, Pemerintah Arab Saudi belum mengumumkan secara resmi mengenai kebijakan ibadah haji, Pemerintah RI harus mengeluarkan keputusan.

Sebab, persiapan pemberangkatan jamaah haji membutuhkan waktu yang cukup agar pelaksanaan berjalan lancar. Di tambah, adanya pandemi Covid-19 membuat persiapan tentu harus lebih siap, khususnya di bidang kesehatan dan keselamatan jamaah.

“Kan tidak mungkin (menunggu keputusan Arab) jaraknya kan pendek, memberangkatkan 210 ribu lebih jamaah dengan persiapan yang pendek itu tidak mungkin,” ujar Ma’ruf.

Apalagi, kata Ma’ruf, Pemerintah harus memastikan perjalanan jamaah dari daerahnya ke ke Arab Saudi  hingga kembali ke wilayah asal harus aman dari Covid-19.

“Disamping itu keamanan di jalan tidak terjamin tidak terjadi penularan, semua pesawat harus masuk karantina maka itu justru akan menyulitkan, sehingga di dalam perjalanan pun tidak aman, belum lagi tawaf. itu akan menyulitkan. karena itu yang paling maslahat tahun ini ditiadakan,” ujarnya.

IHRAM

Argumen Pembatalan Haji

Pada hari Selasa, 2 Juni 2020, Menteri Agama RI, Fachrul Razi, menyampaikan keputusan Pemerintah untuk tidak memberangkatkan jemaah Indonesia pada musim haji 1441 H/2020M. Keputusannya itu secara tertulis tertuang dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 494 tahun 2020 tentang Pembatalan Keberangkatan Jemaah Haji pada Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1441H/2020 M.

Tentu ini merupakan keputusan yang sangat pahit untuk diambil, tetapi memang itu adalah yang paling tepat. Keputusan Menteri Agama lalu disambut secara positif oleh berbagai kalangan, tak terkecuali oleh sejumlah organisasi masyarakat muslim besar di negeri ini, seperti Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pengurus Pusat Muhammadiyah (PP Muhammadiyah), dan Majelis Ulama Indonesia Pusat (MUI Pusat). Bahkan, tidak hanya dari organisasi masyarakat muslim, sejumlah organisasi lintas agama pun memberikan apresiasi atas keputusan itu. 

Menurut hemat penulis, keputusan Menteri Agama itu memang tepat untuk diambil. Meski ini berkonsekuensi pada semakin bertambahnya masa tunggu jemaah haji, tetapi keputusan ini memang harus segera diambil. Sekurang-kurangnya terdapat empat argumen yang membenarkan keputusan ini, yakni argumentasi syariat, regulasi, sejarah, dan pertimbangan teknis operasional.

Syariat

Setidaknya, terdapat dua hal mendasar dari Syariat Islam yang membenarkan keputusan ini. Pertama, dari aspek maqashid al-syariah atau maksud ditetapkannya syariat Islam. 

Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Syatibi yang biasa dikenal dengan Imam Al-Syatibi, filosof hukum Islam dari Spanyol yang bermazhab Maliki, merupakan tokoh utama yang mengembangkan perspektif Maqashid Syariah ini. Menurutnya, ditetapkannya suatu hukum adalah untuk kemaslahatan manusia. 

Teks-teks dalam ajaran Islam menunjukkan, bahwa sebuah syariat itu disebabkan karena adanya illat (faktor penyebab ditetapkannya sebuah hukum). Dalam pandangan Al-Syatibi, ternyata illat hukum itu bermuara kepada kemaslahatan manusia sendiri, baik secara global (baca Q.S. Al-Anbiya: 107) maupun secara parsial (baca Q.S. Al-Maidah: 6). Oleh karenanya, kemaslahatan manusia menjadi dasar pijakan sebuah hukum.

Menurut Al-Syatibi, ajaran Islam sesungguhnya berorientasi pada lima kebutuhan dasar (al-dlaruriyat al-khamsah), yakni hifzh al-din (menjaga agama), hifzh al-nafs (menjaga jiwa), hifzh al-‘aql (menjaga nalar), hifzh al-nasl (menjaga keturunan), dan hifzh al-mal (menjaga harta benda).

Di tingkat implementasinya, kelima kebutuhan dasar ini akan dikategorisasikan menjadi dlaruriyah (primer), hajiyat (sekunder), dan tahsiniyah (tertier). Bisa jadi, bentuk ritualitas ibadah pada kondisi tertentu menjadi dlaruriyah (primer), tetapi dalam kondisi yang berbeda menjadi hajiyat (sekunder), karena mempertimbangkan fakta lokalitas dan pertimbangan implementasinya dari kelima kebutuhan dasar (al-dlaruriyat al-khamsah) tersebut.

Dalam konteks ibadah haji tahun 2020 M/1441 H, perspektif Maqashid Al-Syariah Al-Syatibi penting untuk dijadikan analisa. Ibadah haji ini merupakan perintah Allah SWT, sebagaimana dinyatakan dalam QS.Ali Imran: 97, dan ia merupakan bagian dari prinsip menjaga agama (hifzh al-din). Akan tetapi, pada aspek implementasinya di tengah situasi wabah pandemi coronavirus disease 2019 (Covid-19), ternyata pelaksanaan ibadah haji di tahun 2020 sangat potensial bertentangan dengan kesehatan dan keselamatan jemaah. Tentu, kesehatan dan keselamatan atas jiwa manusia sebagai dari menjaga jiwa (hifzh al-nafs) menjadi kebutuhan yang harus diprioritaskan (dlaruriyah) dibanding dengan pelaksanaan ibadah haji itu sendiri. 

Di antara kaidah ushuliyah (kaidah yang dijadikan panduan dalam merumuskan hukum islam) menyebutkan bahwa hukum Islam harus dibangun atas prinsip La dharara wa La dhirara, tidak memudaratkan dan tidak pula dimudaratkan, atau tidak menularkan dan tidak pula tertularkan suatu penyakit. Dalam konteks pandemi saat ini, jemaah haji berpotensi akan tertular maupun menularkan covid-19 dari atau kepada jemaah lainnya. 

Pada aspek ini, kita menjadi mafhum atas alasan yang dikemukakan oleh Menteri Agama, sebagaimana yang dinyatakan dalam website resmi Kementerian Agama RI, yang mengutamakan keselamatan jemaah dengan membatalkan keberangkatan haji 1441H/2020M.

Menurut Menteri yang berpangkat Jenderal itu, selain mampu secara ekonomi dan fisik, kesehatan, keselamatan, dan keamanaan jemaah haji harus dijamin dan diutamakan, sejak dari embarkasi atau debarkasi, dalam perjalanan, dan juga saat di Arab Saudi.

Kedua, dari aspek fiqh, syarat wajib ibadah haji sekurang-kurangnya meliputi lima hal, yakni Islam, berakal, baligh, merdeka, dan mampu (istitha’ah). Khusus aspek mampu (istitha’ah) dalam ibadah haji itu setidaknya meliputi mampu secara ekonomi, mampu secara fisik, dan kemampuan dalam perjalanan yang diwujudkan dalam bentuk aman selama perjalanan. 

Dalam konteks keamanan dalam perjalanan ibadah haji di tengah pandemik covid-19, tentu ini menjadi pertanyaan sendiri. Pasalnya, Covid-19 yang kini tengah melanda lebih dari 200 (dua ratus) negara dan lebih dari 6,4 juta kasus itu sangat mengancam keselamatan dalam perjalanan ibadah haji. Dengan demikian, menurut hemat penulis, andai tanpa adanya keputusan pemerintah pun, masyarakat muslim Indonesia tidak memenuhi syarat wajibnya perjalanan ibadah haji itu sendiri, karena tidak amannya dalam perjalanan.

Regulasi

Meski negeri ini secara formal bukanlah negara agama, tetapi hampir seluruh kepentingan umat beragama telah diberikan regulasi dan fasilitas yang memadai oleh pemerintah, tak terkecuali dalam penyelenggaraan ibadah haji. Dengan adanya regulasi ini, pemerintah berkewajiban untuk melindungi serta memberikan fasilitas yang cukup dalam penyelenggaraan ibadah haji.

Melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah yang telah disahkan pada 26 April 2019, kedudukan ibadah haji demikian kuat. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 ini merupakan penyempurnaan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji yang ditetapkan pada tanggal 28 April 2008 sebelumnya. Dalam bagian keempat paragraf kedelapan pasal 41 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019, Menteri Agama dinyatakan “Bertanggung jawab memberikan perlindungan kepada jemaah haji dan petugas haji sebelum, selama, dan setelah Jemaah haji dan petugas haji melaksanakan ibadah haji”. 

Amanah ini tentu menjadi kewenangan Menteri Agama untuk memastikan perlindungan bagi seluruh warga negara yang menunaikan ibadah haji. Akan tetapi, dalam situasi Covid-19 ini, perlindungan warga negara yang menunaikan ibadah haji tidak ada yang mampu melakukan jaminan itu. Sebab, sebagaimana dimafhumi, berbagai sebab dan kondisi orang yang terkena covid-19 memiliki dimensi yang cukup beragam. 

Misalnya, mereka yang memiliki imunitas tinggi, sehingga meskipun terpapar Covid-19 tetapi tergolong orang tanpa gejala (OTG), dalam waktu bersamaan justru dapat menularkan virus kepada orang lain yang memiliki daya imunitas lemah. 

Oleh karenanya, Menteri Agama sebagai penanggung jawab dalam pelaksanaan ibadah haji ini, ia memiliki otoritas dalam memutuskan penundaan keberangkatan jemaah. Hal ini secara konkret diwujudkan dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 494 tahun 2020 tentang Pembatalan Keberangkatan Jemaah Haji pada Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1441H/2020 M.

Selain atas dasar Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, Menteri Agama selaku unsur pemerintah wajib turut serta dalam penanggulangan wabah. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular, terutama dalam Pasal 10, yang menyatakan “Pemerintah bertanggung jawab untuk melaksanakan upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)”. Jika merujuk pada tersebut, di antara upaya penanggulangan itu adalah melakukan upaya penanggulangan lainnya.

Menag mewujudkan upaya penanggulangan lainnya tersebut dengan tidak memberangkatkan jemaah haji guna mengurangi risiko penyebaran wabah Covid-19 . Sebaliknya, jika Menag tetap melakukan pemberangkatan jemaah haji, maka ia dinilai berpotensi turut serta menyebarkan wabah.

Sejarah

Sejatinya, pembatalan pemberangkatan ibadah haji baik dalam konteks Indonesia maupun di Arab Saudi sendiri, kali ini bukanlah yang pertama kalinya. Telah ada preseden dan kejadian serupa yang mendahuluinya. Dalam konteks negara Indonesia pasca merdeka, pada tahun 1947, Menteri Agama Fathurrahman Kafrawi, mengeluarkan Maklumat Kementerian Agama Nomor 4 Tahun 1947 tentang Penghentian Ibadah Haji di Masa Perang. Keputusan Menteri Agama saat itu didorong oleh pernyataan Hadratusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari, pada tanggal 20 April 1946, yang disampaikan dalam orasinya melalui Radio bahwa berangkat haji tahun itu hukumnya haram karena kemerdekaan bangsa sedang terancam direbut kembali oleh penjajah Belanda, dan perjalanannya tidak aman. Ancaman penjajah Belanda, sebagai salah satu unsur penting indikator istatha’ah dalam wujud keamanan perjalanan, dijadikan dasar atas pembatalan ibadah haji.

Pemerintah Indonesia bukanlah yang pertama memutuskan pembatalan keberangkan jemaah haji untuk tahun 2020 M/1441 H. Sebelumnya pada akhir Maret 2020, Pemerintah Mesir melalui Kementerian Wakaf meminta warganya untuk menunda niat haji tahun ini, karena anggaran negara untuk haji dialihkan untuk penanganan Covid-19. 

Dari sisi sejarah ibadah haji di tanah suci, pembatalan ibadah haji juga telah beberapa kali dilakukan. Merujuk tulisan Oman Fathurrahman, guru besar UIN Jakarta sekaligus juru bicara Kementerian Agama RI, musim haji tahun 749 H/1348-1349 M dibatalkan karena terjadi wabah di Mekah yang menyebabkan sejumlah besar jemaah haji meninggal dunia.

Pada tahun 1865 M, rute perjalanan ibadah haji ke dan dari Mekkah/Madinah menjadi kluster penyebaran wabah kolera yang amat mengerikan hingga korban sebanyak 15.000 jemaah haji meninggal akibat wabah tersebut. Bahkan, pada November 2009, WHO mencatat sebanyak 17.000 korban jemaah haji akibat flu A H1N1. 

Berdasarkan data-data ini, kita semua semakin yakin bahwa sebuah wabah itu dapat menimpa kepada siapapun. Ia tidak memandang agama, negara, dan sedang melakukan aktivitas apapun. Umat Islam yang sedang menunaikan ibadah haji pun bisa menjadi bagian dari korban atas terjadinya wabah itu. Demikian halnya dengan wabah Covid-19, ia juga berpotensi akan menimpa siapapun, termasuk kepada jamaah haji jika ia melaksanakannya.

Teknis Operasional

Argumen keempat atas dimakluminya pembatalan keberangkatan jemaah haji adalah dari sisi teknis-operasional pelaksanaan ibadah haji. Sebagaimana dimaklumi, Pemerintah Arab Saudi hingga tanggal 1 Juni 2020 belum memberikan kepastian tentang pelaksanaan ibadah haji untuk tahun 2020 M/1441 H. Sementara, pemerintah Indonesia dengan jumlah jemaah yang demikian besar, direncanakan seharusnya sudah menerbangkan kelompok terbang (kloter) pertama pada 26 Juni 2020 menuju Madinah. Artinya, hanya terdapat rentang selama 25 hari saja sejak 1 Juni 2020.

Sementara, proses penerbitan visa, sewa perbangan, sewa hotel, pemesanan makanan, dan lain-lain belum dipastikan, sebab belum adanya kepastian dari Pemerintah Saudi sendiri. Bahkan, andaipun hal tersebut telah dilakukan, dalam situasi Covid-19 ini, diperlukan waktu 28 (dua puluh delapan) hari untuk masa karantina sesuai protokol kesehatan, yakni 14 hari karantina di embarkasi di Indonesia, dan 14 hari karantika di demarkasi di Saudi Arabia. 

Melihat waktu yang tidak memungkinkan ini, tentu menjadi persoalan tersendiri yang memiliki dampak mudarat yang lebih besar jika ibadah haji tetap dilaksanakan.

Kerumitan secara teknis penyelenggaraan ibadah haji memang bukanlah hal yang mudah. Tidak semua hal-hal teknis penyelenggaraan ibadah haji sepenuhnya menjadi otoritas pemerintah Indonesia, tetapi sebagian besar memang sangat tergantung dari otoritas Pemerintah Saudi Arabia. Ketika jemaah itu sudah berada di tanah suci, Makkah Madinah, dan beberapa tempat di Saudi Arabia, maka tentu jemaah haji telah terikat dengan ketentuan-ketentuan yang diberlakukan oleh pemerintah Arab Saudi. Apalagi dengan persoalan sewa hotel, persediaan makan, tenda di Arafah dan Mina, visa haji dan penerbangan, serta hal-hal teknis lainnya, itu semua sangatlah rumit dan sama sekali tidak sederhana.

Belum lagi dari aspek jumlah pembiayaan yang harus dikeluarkan. Dari sisi penerbangan, misalnya, jumlah satu kloter yang biasanya diisi oleh sekitar 400 jemaah, oleh karena harus mengikuti ketentuan jaga jarak (physical distancing), maka hanya dapat diisi oleh separuhnya saja, yakni sekitar 200 (dua ratus) jemaah. Belum lagi, jumlah jemaah untuk setiap kamar, maka tentu dibutuhkan banyak kamar dan hotel yang harus disiapkan. Jumlah pembiayaan yang digunakan untuk penerbangan dan hotel, menurut hemat penulis, akan menimbulkan biaya yang jauh lebih besar; tentu ini juga akan menjadi perhatian kita semua. 

Inti dari semuanya, mulai dari aspek syariat hingga aspek teknis operasionalnya, jika ibadah haji tetap dilaksanakan memang cenderung menyulitkan dan tidak mudah untuk dilaksanakan. Oleh karenanya, keputusan Menteri Agama untuk membatalkan perjalanan ibadah haji ini sungguh sangatlah tepat.

Demikian, semoga manfaat.

Dr. Hj. Mesraini, SH. M.Ag

Dosen Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

KEMENAG RI

Inilah Daftar Kasus Jamaah Haji Gagal Berangkat di Indonesia

Pemerintah melalui Kementerian Agama pada Selasa (2/6), telah mengumumkan keputusan tidak memberangkatkan jamaah haji dari Indonesia ke Arab Saudi pada musim haji 2020. Hal tersebut lantaran masih terjadinya pandemi covid-19 dan Arab Saudi yang tak kunjung memutuskan apakah perhelatan haji tahun ini jadi atau tidak.

Namun ternyata, kasus jamaah haji gagal berangkat asal Indonesia tidak hanya terjadi di tahun ini. Meskipun, skalanya tidak sebesar jamaah haji gagal berangkat pada 2020 ini yang sifatnya nasional. Berikut ini adalah beberapa kasus jamaah haji gagal berangkat di Indonesia.


*1456
Rombongan jamaah haji Sultan Aceh, Sultan Manshur Shah. Gagal berangkat karena menunggu kapal yang tidak kunjung tiba

*1477
Rombongan jamaah haji Sultan Aceh, Sultan Alauddin Riayat Shah. Gagal berangkat jarena kapal tidak datang


*1940-1945
Tak ada pengiriman jamaah haji dari Hindia Belanda karena larangan penjajah Belanda dan Jepang akibat perang dunia kedua


*1945-1948

Tak ada pengiriman jamaah haji dari Indonesia secara resmi. Hal ini berdasarka fatwa KH Hasyim Asyari yang mengharamkan pergi haji karena kemerdekaan bangsa terancam direbut kembali oleh penjajah. Fatwa ini menjadi dasar pijakan Menag Fathurrahman Kafrawi untuk mengeluarkan Maklumat Kementerian Agama No. 4/1947 tentang Penghentian Ibadah Haji di Masa Perang.


*1967

a. Yayasan Dana Bantuan dan Tabungan Haji Indonesia (YDBTHI)  gagal memberangkatkan jamaah hajinya karena sistem yang dilakukan tidak seimbang dengan biaya yang harus dikeluarkan yayasan.

b.  Yayasan Al-Ikhlas gagal memberangkatkan ratusan jamaah haji karena tidak berkoordinasi dengan pihak pelayaran ada tahun 1966.

*1970

Yayasan Muawanah Lil Muslimin (Ya Muallim) gagal berangkatkan 1.000 jamaah haji karena belum daftarkan jamaahnya pada PT Arafat sebagai penyelenggara perjalanan haji melalui kapal laut.

*1978

Banyak  jamaah haji yang telah mendaftar dan masuk dalam manifest keberangkatan PT Arafat, namun tak berangkat. Ini karena izin operasionalnya dicabut oleh Departemen Perhubungan.

*1995

Jumlah jamaah haji pada saat itu telah melebih kuota sebanyak 180.000 jamaah. Sehingga, terdapat ribuan jamaah yang terpaksa tidak bisa berangkat dan waktu itu menjadi keresahan nasional. Itulah yang kemudian menghilhami dibangunnya Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat).

*2004

Hal serupa terjadi lagi pada 2004 ketika Pemerintah RI meminta tambahan kuota kepada Pemerintah Arab Saudi sebanyak 30 ribu jamaah. Sayangnya, pemerintah terlanjur mengumumkan dan mempersiapkan tambahan kuota tersebut. Padahal, Pemerintah Arab Saudi belum mengabulkan. Hal tersebut cukup menghebohkan, sehingga penyelenggaraan haji kala itu dikritik dan mendapat catatan dari masyarakat. Sebanyak 30 ribu jamaah haji tidak jadi berangkat dan diprioritaskan pada tahun berikutnya.

*2020

Kementerian Agama memutuskan tidak memberangkatkan 221 ribu jamaah haji yang siap berangkat. Ini lantaran masih terjadinya pandemi covid-19 yang membuat Arab Saudi tak kunjung memutuskan nasib penyelenggaraan haji. Sehingga, persiapan yang dilakukan Kemenag RI untuk melayani jamaaj habi tak akan terkejar.

photo
infografis deretan kasus jamaah haji gagal berangkat di Indonesia. – (Republika)



Sumber: Haji Dari Masa ke Masa (2012) / Kemenag

IHRAM

Niat Calon Jamaah Haji 2020 Sudah Dicatat Allah

Kesedihan meliputi calon jamaah haji Indonesia yang gagal berangkat pada tahun ini. Hal tersebut lantaran pemerintah memutuskan tidak mengirimkan jamaah haji akibat masih terjadinya pandemi covid-19 dan belum adanya kepastian dari Arab Saudi soal penyelenggaraan ibadah haji.

Namun, meski calon jamaah haji yang dinyatakan berhak berangkat pada tahun ini, insya Allah niat hajinya sudah dicatat Allah. Maulana Muhammad Zakariyya Al Khandahlawi dalam kitab Fadhilah Haji mengutip sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Disebutkan “Sesungguhnya Allah mencatat berbagai kejelekan dan kebaikan lalu Dia menjelaskannya. Barangsiapa yang bertekad untuk melakukan kebaikan lantas tidak bisa terlaksana, maka Allah catat baginya satu kebaikan yang sempurna. Jika ia bertekad lantas bisa ia penuhi dengan melakukannya, maka Allah mencatat baginya 10 kebaikan hingga 700 kali lipatnya sampai lipatan yang banyak.”

Maulana Zakariyya juga mengutip pernyataan, Sa’id bin Al Musayyib, seorang ulama yang termasuk golongan tabi’in berkata, “Barangsiapa bertekad melaksanakan shalat, puasa, haji, umroh atau berjihad, lantas ia terhalangi melakukannya, maka Allah akan mencatat apa yang ia niatkan.”

Ketua Pimpinan Wilayah (PW) Muhammadiyah Sumatra Barat, Shofwan Karim juga berpendapat, niatan dari calon haji untuk menunaikan rukun Islam keenam sudah dicatat oleh Allah SWT walaupun pelaksanaan haji harus tertunda dulu.

“Niat mereka (calon jamaah haji) sudah sampai. Allah akan memberikan ganjaran bagi mereka yang sudah berniat. Kondisi sekarang sudah di luar kemampuan kita sebagai manusia. Mudah-mudahan tahun depan sudah bisa naik haji,” kata Shofwan kepada Republika beberapa hari lalu.

IHRAM

Manfaatkan Penundaan Haji untuk Maksimalkan Manasik

Penundaan haji bisa dimanfaatkan untuk mematangkan manasik.

Pengamat Haji dan Umroh Ade Marfuddin menilai penundaan pelaksanaan ibadah haji 2020 memiliki hikmah. Salah satunya persiapan pembekalan ibadah atau manasik yang lebih matang. “Dengan rentang waktu satu tahun penundaan haji, pembinaan (manasik) ini menjadi penting. Dalam masa tunggu ini ruh ibadah jangan sampai luntur,” ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (3/6).

Pemerintah melalui Kementerian Agama disebut harus memanfaatkan waktu yang ada untuk memberikan bimbingan manasik yang maksimal kepada jamaah haji. Dengan jangka waktu satu tahun, pengetahuan manasik haji harus diperkuat dan lebih didalami oleh jamaah.

Sebelum melaksanakan ibadah haji, jamaah diharap sudah paham betul esensi dan simbol-simbol ibadah. Mereka yang berangkat melaksanakan ibadah haji 2021 nanti sudah harus betul-betul memahami dan memaknai kemandiriannya dari sisi ibadah.

“Nanti, tidak ada lagi, misal, jamaah yang kebalik tawafnya. Tidak ada lagi yang tidak tuntas melaksanakan sa’i. Masa tunggu ini cukup panjang, harus dimanfaatkan dengan optimal dan semaksimal mungkin. Ini hikmah yang bisa diambil,” ujarnya.

Pemerintah juga disebut dapat membuat skema manasik yang lebih komprehensif. Di satu sisi, jamaah juga menyadari hal ini sebagai masa untuk menggali pengetahuan tentang manasik.

Nantinya ketika berangkat, dengan persiapan yang sudah dilakukan selama ini, jamaah Indonesia menjadi rombongan yang memahami makna spiritual dan filosofis ibadah haji.

Terkait pengelolaan dana haji, mengutip pernyataan dari Kementerian Agama, ia menyebut dua skema sudah disiapkan. Salah satunya adalah pengembalian biaya pelunasan jamaah.

Untuk proses ini, Ade berharap sebaiknya dipermudah dan tidak dipersulit. Aspek ini dinilai penting karena uang tersebut adalah milik jamaah.

“Bagi jamaah yang memerlukan dana itu, silakan diproses. Tapi bukan berarti mereka yang menarik dananya lantas berarti membatalkan keberangkatan. Mereka tetap menjadi prioritas,” kata dia.

Dia mengingatkan jangan sampai ada kesan di masyarakat dengan mengambil uang pelunasan, status calon hajinya tahun depan berarti mundur atau harus antre ulang. Kalaupun nantinya jamaah tidak mengambil uang pelunasannya, lantas oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) ada akad akan dikelola, maka BPKH tidak boleh menutup diri dan harus transparan.

“Misal dana ini akan diinvestasikan untuk sektor syariah, atau sukuk syariah, hasilnya akan disalurkan ke virtual akun jamaah. Hasilnya bukan lagi ke dana optimalisasi. Hal-hal seperti ini harus diperjelas,” ujarnya.

Ade pun menegaskan jika uang tersebut adalah uang titipan jamaah kepada BPKH untuk dikelola selama satu tahun, sampai musim haji berikutnya.

IHRAM

Pembatalan Keberangkatan Jemaah, Dirjen: Saudi Belum Buka Akses Layanan

Jakarta (Kemenag) — Kementerian Agama memutuskan membatalkan keberangkatan jemaah haji 1441H/2020M. Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Nizar mengatakan keputusan ini diambil antara lain karena hingga saat ini Saudi belum membuka akses layanan Penyelenggaraan Ibadah Haji 1441H/2020M. 

“Pemerintah Arab Saudi sampai saat ini belum memberikan kepastian kapan akan dibukanya akses layanan penyelenggaraan haji 1441H/2020M, tidak hanya bagi Indonesia, tapi juga bagi negara-negara pengirim jemaah haji lainnya,” terang Nizar di Jakarta, Selasa (02/06).

Nizar mengatakan, pihaknya memahami jika Arab Saudi hingga kini belum membuka akses tersebut. Pasalnya, hingga saat ini Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) juga masih menjadi pandemi. Sebagaimana di Indonesia, hal itu juga berpengaruh pada proses persiapan penyelenggaraan haji yang mereka lakukan. Apalagi, Covid-19 juga dapat mengancam keselamatan jemaah. Sementara agama mengajarkan, menjaga jiwa adalah kewajiban yang harus diutamakan. 

“Pandemi Covid-19 tentu juga menjadi pertimbangan, baik Saudi maupun Indonesia, karena itu terkait kesehatan jemaah,” ujarnya.

Dibuka atau tidaknya akses layanan penyelenggaraan dari Arab Saudi sangat penting dan akan berpengaruh pada persiapan yang dilakukan negara pengirim jemaah, termasuk Indonesia. Tentu persiapan itu membutuhkan waktu. “Sampai saat ini belum ada kepastian sehingga sudah tidak ada waktu lagi untuk melakukan persiapan,” tandasnya.

Humas Kemenag RI