Jamaah Haji akan Tetap Dipantau Kesehatannya di Tanah Air, Ini Alasannya

Jamaah haji yang dinyatakan sehat saat kedatangan ke Indonesia tetap akan dipantau kesehatannya. Jamaah dipantau di daerah masing-masing selama 21 hari oleh dinas kesehatan masing masing.

“Apabila selama pemantauan ada gangguan kesehatan, diharapkan agar segera melapor ke faskes setempat,” kata Kepala Pusat Kesehatan Haji, dr  Budi Sylvana, MARS, Kamis (14/7/2022). 

Pemantauan ini dimaksudkan sebagai deteksi dini terhadap penyakit menular, diantaranya adalah Covid-19, Mers-Cov, Meningitis, polio, dan penyakit yang berpotensi menimbulkan public health emergency of international concern (PHEIOC). 

Hal ini sesuai dengan Surat Edaran Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit No. HK.02.02/C/2782/2022 Tentang Pemeriksaan dan Pengawasan Jamaah Haji di Embarkasi dan Debarkasi 

Jamaah haji akan dibekali dengan Kartu Kewaspadaan Kesehatan Jamaah haji (K3JH). Selama 21 hari masa pemantauan, apabila terdapat demam atau gejala sakit lainnya maka jamaah yang sakit segera ke Puskesmas atau fasilitas kesehatan terdekat dengan membawa K3JH. 

“Tentunya selama 21 hari jika timbul gejala sakit, jamaah harus segera lapor dan berobat ke fasilitas kesehatan terdekat dengan membawa K3JH,” jelasnya. 

Apabila dalam kurun waktu 21 hari gejala penyakit tidak muncul, maka jamaah tetap diminta untuk menyerahkan K3JH kepada puskesmas terdekat. Budi juga mengingatkan jamaah haji agar tetap menerapkan perilaku hidup bersih sehat (PHBS), seperti istirahat yang cukup, konsumsi makanan yang bergizi, dan jaga kebersihan diri setibanya jamaah di kampung halaman dan selama proses pemantauan kesehatan. “Untuk memastikan jamaah tetap sehat sekembalinya ke Tanah Air,” ujar budi. 

Nantinya, setibanya jamaah haji di Bandara Internasional (debarkasi) maka akan langsung dilakukan skrining kesehatan berupa pengecekan suhu melalui thermal scanner dan thermal gun, tanda dan gejala serta melakukan observasi terhadap jamaah di asrama haji debarkasi. 

Apabila didapati jamaah dengan gejala demam atau menunjukkan potensi penyakit menular, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dan test antigen. Selanjutnya, bila hasil reagen menunjukkan reaktif, maka akan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. 

Selain skrining kesehatan, Kementerian Kesehatan juga telah menyiapkan posko kesehatan di bandara untuk pelayanan rawat jalan, emergency, dan rujukan. 

Selain itu juga menyediakan mobil ambulans dan tenaga medis sebagai antisipasi terhadap penyakit menular. Kemenkes juga menyiapkan sistem surveilans kesehatan terhadap jamaah haji Indonesia yang tiba di Tanah Air besama dengan dinas kesehatan kabupaten/kota.  

IHRAM

Mengapa Nabi Muhammad Hanya Melakukan Haji Sekali Seumur Hidup?

Mengapa Nabi Muhammad Hanya Melakukan Haji Sekali Seumur Hidup?  Pasalnya, haji adalah ibadah wajib bagi seorang mukmin yang memenuhi syarat-syarat tertentu terutama kategori mampu. Kewajiban ibadah ini hanya dibebankan kepada mukmin yang mampu tersebut sekali seumur hidup.

Tapi sebagian masyarakat melakukannya hampir tiap tahun, sedangkan Nabi Muhammad hanya melakukan ibadah haji sekali seumur hidup. Mengenai syariat wajibnya haji yang diberikan kepada Nabi Muhammad dan umatnya memiliki beragam versi. Ibnu Hajar al-Asqolani mengutip pendapat Abu al-Farj al-Jauzi yang menyebutkan tahun ke-5 pasca hijrah.

Sedangkan Imam Nawawi mengatakan tahun ke-6, Imam Abu ar-Rof’ah tahun ke-8, dan beberapa versi lainnya. Namun mayoritas ulama berpendapat, bahwa kewajiban haji bagi umat muslim adalah setelah hijrah. Meskipun haji sudah menjadi ritual ibadah sebelum risalah kenabian Muhammad.

Artinya, pada saat itu, Nabi Muhammad dan beberapa sahabat sudah menjadi penduduk Madinah. Namun, berdasarkan pendapat mayoritas ulama, beliau baru melaksanakan haji pada tahun ke-10 Hijriah yang ternyata menjadi haji bagi beliau untuk pertama dan terakhir. Sebab, pada tahun berikutnya, beliau wafat.

Sebagaimana hadis shahih Bukhari melalui penuturan Anas bin Malik,

 سَأَلْتُ أنَسًا رَضيَ اللهُ عنه: كَمِ اعْتَمَرَ النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ؟ قالَ: أرْبَعٌ: عُمْرَةُ الحُدَيْبِيَةِ في ذِي القَعْدَةِ حَيْثُ صَدَّهُ المُشْرِكُونَ، وعُمْرَةٌ مِنَ العَامِ المُقْبِلِ في ذِي القَعْدَةِ حَيْثُ صَالَحَهُمْ، وعُمْرَةُ الجِعِرَّانَةِ إذْ قَسَمَ غَنِيمَةَ -أُرَاهُ- حُنَيْنٍ. قُلتُ: كَمْ حَجَّ؟ قالَ: واحِدَةً.

“Aku bertanya pada Anas Radhiyallahu ‘anhu, berapa kali Nabi Muhammad melaksanakan umroh?’ Anas menjawab, ‘empat, di antaranya umroh Hudaibiyah di bulan Dzulqo’dah saat kaum musyrik menghalangi beliau.

Adapun umroh tahun berikutnya di bulan Dzulqo’dah setelah melakukan perjanjian damai dengan mereka, umroh al-Ji’ronah ketika beliau membagikan harta rampasan perang dan aku menduga itu adalah harta rampasan perang Hunain.’ Lalu aku bertanya lagi, ‘berapa kali beliau melaksanakan haji?’ Anas menjawab, ‘sekali.”

Saat haji menjadi syariat yang wajib bagi umat muslim dan menjadi salah satu rukun Islam, kondisi kota Mekkah masih berada di bawah kekuasaan orang-orang Kafir. Sehingga cukup sulit bagi Nabi dan umatnya kala itu untuk ziarah ke Mekkah.

Dalam proses rekonsiliasi dengan kaum kafir Mekkah, Nabi tidak serta merta nekat atau terburu-buru melaksanakan kewajiban haji demi keselamatan umat muslim. Maka Nabi baru melakukan haji beberapa tahun setelah diwajibkannya.

Selain itu, hikmah dari pelaksanaan haji yang dilakukan oleh Nabi hanya sekali adalah agar umatnya tidak merasa terbebani dan menyangka bahwa haji wajib dilaksanakan tiap tahun. Mengingat bahwa persiapannya yang cukup panjang terutama mengenai persiapan finansial baik untuk jamaah haji itu sendiri dan keluarga yang ditinggalkan.

Itulah mengapa haji yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad disebut haji Wada’ yang artinya haji perpisahan. Di ibadah tersebut Nabi membuka khotbahnya dengan kalimat,

أيها الناس ، اسمعوا قولي ، فإني لا أدري لعلي لا ألقاكم بعد عامي هذا

“wahai manusia! dengarkanlah ucapanku.. sesungguhnya aku tidak tahu, barangkali aku tidak akan berjumpa lagi dengan kalian pada tahun berikutnya….”

Lalu Nabi meneruskan pesan-pesannya kepada umat muslim. Kalimat yang seolah memberi pertanda sebuah salam perpisaan.

BINCANG SYARIAH

Hukum Jamuan Makan Sepulang Haji

Jama’ah haji yang pulang dari tanah suci biasanya mengadakan acara jamuan makan (walimah) atau sejenisnya ketika mereka tiba di tanah air. Bagaimana hukum mengadakan acara ini ?

Fatwa 1

Pertanyaan:

يا شيخنا … بارك الله فيكم.. و يوجد عندنا في الأزمنة المتأخرة عقد الوليمة بمناسبة السفر للحج فهل يمكن أن نعدها من العادات المباحة؟

Ya Syaikh, di zaman ini banyak orang yang mengadakan walimah ketika kembali dari safar dalam rangka ibadah haji. Apakah acara ini termasuk kebiasaan yang dibolehkan?

Syaikh Ali Hasan Al Halabi hafizhahullah menjawab:

إذا أصبح هذا شأنا مستمرا قد يؤاخذ تاركه:فهذا لا يجوز..أما إذا فعل تارة وتارة دون مثالا ذلك النكير لمن ترك:فأرجو أن لا بأس

Jika acara ini diadakan terus-menerus, atau kadang dicela orang yang tidak mengadakannya, maka ini tidak diperbolehkan. Namun bila diadakan kadang-kadang saja dan orang yang tidak melakukannya tidak tercela, maka mudah-mudahan tidak mengapa.

Sumber: http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=5532

Fatwa 2

Pertanyaan:

جرت العادة عندنا أنّ الحاجَّ إذا أراد الذهاب إلى الحجِّ صنع طعامًا ودعا الأقارب والأحباب والجيران إليه، ويفعل الشيء نفسه عند عودته، وتسمّى هذه الدعوة عندنا بقولهم: «عشاء الحاجّ»، فنرجو منكم بيانَ حكم صنع هذا الطعام، وبارك الله فيكم

Sudah menjadi kebiasaan, jika seorang ingin pergi haji ia mengadakan acara makan-makan yang mengundang kerabat, teman, serta tetangga. Ia juga mengadakan acara yang sama ketika pulang dari haji. Acara ini oleh masyarakat kami biasa disebut ‘asyaa-ul hajj. Kami mohon penjelasan dari anda tentang hukum mengadakan acara ini.

Syaikh Muhammad Ali Farkus hafizhahullah menjawab:

الحمدُ لله ربِّ العالمين، والصلاة والسلام على من أرسله اللهُ رحمةً للعالمين، وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، أمّا بعد:

Segala puji hanya bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat serta salam semoga terlimpah kepada Rasulullah yang diutus sebagai rahmat bagi alam semesta, juga kepada keluarganya, sahabatnya serta saudaranya seiman hingga hari kiamat. Amma ba’du.

فالطعامُ المعدُّ عند قدومِ المسافر يقال له «النقيعة»، وهو مُشتقٌّ من النَّقْعِ -وهو الغبار- لأنّ المسافر يأتي وعليه غبارُ السفر، وقد صحَّ عن النبيِّ صَلَّى الله عليه وآله وسَلَّم: «أَنَّهُ لَمَّا قَدِمَ المَدِينَةَ نَحَرَ جَزُورًا أَوْ بَقَرَةً»(١)، والحديثُ يدلّ على مشروعية الدعوة عند القدوم من السفر(٢)، وقد بوّب له البخاري: «باب الطعام عند القدوم، وكان ابنُ عمرَ رضي الله عنهما يُفطِر لمن يغشاه»(٣)، أي: يغشونه للسلام عليه والتهنئة بالقدوم، قال ابن بطال في الحديث السابق: «فيه إطعام الإمام والرئيس أصحابَه عند القدوم من السفر، وهو مستحبٌّ عند السلف، ويسمَّى النقيعة، ونقل عن المهلب أن ابن عمر رضي الله عنهما كان إذا قدم من سفر أطعم من يأتيه ويفطر معهم، ويترك قضاء رمضان لأنه كان لا يصوم في السفر فإذا انتهى الطعام ابتدأ قضاء رمضان».

Acara makan-makan ketika datangnya orang yang safar disebut An Naqi’ah. Istilah An Naqi’ah dari kata dasar An Naq’u yang artinya debu. Karena orang yang safar biasanya terkena debu diperjalanan. Terdapat hadits shahih dari Nabi Shallalahu’alaihi Wasallam:

أَنَّهُ لَمَّا قَدِمَ المَدِينَةَ نَحَرَ جَزُورًا أَوْ بَقَرَةً

Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam datang ke Madinah, beliau menyembelih unta atau sapi betina” (HR. Bukhari no.2923 bab Ath Tha’am Indal Qudum)

Hadits ini juga menunjukkan bahwa mengundang orang untuk mendatangi An Naqi’ah itu disyariatkan (Lihat Aunul Ma’bud, 10/211). Imam Al Bukhari membuat judul Bab “Bab jamuan ketika ada musafir yang datang, Ibnu Umar Radhiallahu’anhuma biasa menjamu makan orang yang datang kepadanya” (Fathul Baari, 6/194). Maksudnya, orang-orang yang mendatangi Ibnu Umar untuk memberi salam dan menyambut kedatangannya. Ibnu Bathal menjelaskan hadits di atas: “Hadits ini dalil disyariatkannya seorang imam atau pemimpin memberi jamuan makan bagi kaumnya ketika datang dari safar. Hukumnya mustahab menurut para salaf. Acara ini disebut An Naqi’ah. Dinukil riwayat dari Muhallab bahwa Ibnu Umar Radhiallahu’anhuma jika beliau datang dari safar, ia menjamu makan orang yang mendatanginya lalu makan bersama mereka. Walaupun beliau memiliki hutang puasa Ramadhan karena baru saja safar, beliau tidak mulai membayar hutang puasa tersebut hingga jamuan makan selesai”.

هذا، ومذهبُ جمهورِ الصحابة والتابعين وجوبُ الإجابة إلى سائرِ الولائم، وهي على ما ذكره القاضي عياض والنووي ثمان(٤) منها: «النقيعة»، مع اختلافهم هل الطعام يصنعه المسافرُ أم يصنعه غيرُه له؟ ومن النصِّ السابقِ والأثرِ يظهر ترجيحُ القولِ الأَوَّل.

Demikianlah hukumnya. Lalu, madzhab jumhur sahabat dan tabi’in berpendapat wajibnya memenuhi undangan untuk semua jenis jamuan makan. Al Qadhi ‘Iyadh dan An Nawawi menyebutkan ada 8 jamuan yang wajib didatangi, salah satunya An Naqi’ah (Lihat Syarah Muslim, 9/171;Tuhfatul Maudud, 127; Nailul Authar, 6/238). Namun memang para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang membuat hidangannya, apakah si musafir ataukah orang yang menyambut dia? Namun berdasarkan nash hadits di atas dan berdasarkan atsar, nampaknya pendapat yang rajih adalah pendapat pertama.

أمَّا إعدادُ الطعام قبل السفر فلا يُعلم دخوله تحت تَعداد الولائم المشروعة؛ لأنها وليمة ارتبطت بالحجّ وأضيفت إليه، و«كُلُّ مَا أُضِيفَ إِلَى حُكْمٍ شَرْعِيٍّ يَحْتَاجُ إِلَى دَلِيلٍ يُصَحِّحُهُ».

Adapun mengenai jamuan makan sebelum berangkat haji, aku tidak mengetahui bahwa ini adalah jamuan yang disyariatkan. Karena hal ini dikait-kaitkan dengan haji dan kaidah mengatakan “segala sesuatu yang dikaitkan dengan sebuah hukum syar’i, butuh dalil untuk membenarkannya“.

Sumber: http://www.ferkous.com/rep/Bh27.php

Fatwa 3

Pertanyaan:

ظاهرة تنتشر في القرى خاصة بعد عودة الحجاج من مكة يعملون ولائم يسمونها ” ذبيحة للحجاج ” أو ” فرحة بالحجاج ” أو ” سلامة الحجاج ” ، وقد تكون هذه اللحوم من لحوم الأضاحي ، أو لحوم ذبائح جديدة ، ويصاحبها نوع من التبذير ، فما رأي فضيلتكم من الناحية الشرعية ، ومن الناحية الاجتماعية

Suatu hal yang sedang marak dilakukan oleh orang-orang, khususnya orang desa, ketika mereka kembali dari ibadah haji di Mekkah, mereka mengadakan jamuan makan yang dinamakan Dzabihah Lil Hujjaj atau Farhah Bil Hujjaj atau Salamatul Hujjaj. Terkadang makanannya adalah daging sembelihan biasa, terkadang daging sembelihan model baru. Dan biasanya dalam acara ini banyak pemborosan. Bagaimana pandangan anda wahai Syaikh, baik dari segi syar’i maupun dari segi sosial?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjawab:

هذا لا بأس به ، لا بأس بإكرام الحجاج عند قدومهم ؛ لأن هذا يدل على الاحتفاء بهم ، ويشجعهم أيضاً على الحج ، لكن التبذير الذي أشرت إليه والإسراف هو الذي ينهى عنه ؛ لأن الإسراف منهي عنه ، سواء بهذه المناسبة ، أو غيرها ، قال الله تبارك وتعالى : ( وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ ) الأنعام/141 ، وقال تعالى : ( إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ) الإسراء/27 ، لكن إذا كانت وليمة مناسبة ، على قدر الحاضرين ، أو تزيد قليلاً : فهذا لا بأس به من الناحية الشرعية ،

Tidak mengapa mengadakannya. Boleh melakukannya dalam rangka memuliakan para jama’ah haji ketika mereka datang, karena acara ini merupakan bentuk penyambutan bagi mereka. Selain itu dapat memacu orang untuk berhaji. Namun pemborosan, sebagaimana yang engkau ceritakan, inilah yang terlarang. Karena pemborosan itu dilarang agama, baik dalam acara seperti ini maupun dalam acara lain. Allah Ta’ala berfirman:

وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Jangan kalian berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan” (QS. Al An’am:141)

Allah Ta’ala juga berfirman:

إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ

Sesungguhnya para pemboros itu saudaranya para setan” (QS. Al Isra: 27)

Bila jamuan makan ini hanya mengundang orang secukupnya atau lebih banyak sedikit, maka ini tidak mengapa (bukan pemborosan, pent.) dari segi syari’at.

ومن الناحية الاجتماعية ، وهذا لعله يكون في القرى ، أما في المدن فهو مفقود ، ونرى كثيراً من الناس يأتون من الحج ولا يقام لهم ولائم ، لكن في القرى الصغيرة هذه قد توجد ، ولا بأس به ، وأهل القرى عندهم كرم ، ولا يحب أحدهم أن يُقَصِّر على الآخر

Adapun dari segi sosial, sepertinya acara ini hanya ada di pedesaan saja, di perkotaan nampaknya sudah tidak ada lagi. Saya sudah sering melihat banyak orang datang dari haji namun mereka tidak mengadakan apa-apa. Namun di daerah pedesaan kecil memang terkadang masih kita jumpai, dan ini boleh-boleh saja. Orang pun desa memiliki keutamaan, dan tidak boleh meremehkan satu dengan yang lain.

(Liqaa Baabil Maftuh, kaset 154 pertanyaan no.12,  dikutip dari:http://www.islamqa.com/ar/ref/97879 )

Penyusun: Yulian Purnama

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/7001-hukum-jamuan-makan-sepulang-haji.html

Ibadah Haji, Gaya Hidup Instan Kita, dan Refleksi Syariati

Haji bukan sekadar ritual, melainkan juga memahami makna di balik prosesi haji.

“Tak akan raih kemuliaan siapapun yang tak menyentuh kesulitan

Barang siapa ingin kehormatan tanpa bersusah payah maka ia akan nihil”

(Shafiyuddin al-Hilli, 750 H)

Ali Syari’ati. Nama cendekiawan kelahiran 1933 di Mazinan, Iran, itu tak lagi asing. Pemikirannya dikenal progresif. Gagasannya merupakan refleksi dari ragam problematika yang dihadapi masyarakat Iran ketika itu. Syari’ati mencetuskan teori yang tak lazim di masanya: kodifikasi antara prinsip Islam yang tradisionalis dan filsafat Barat modern.

Sikapnya dikritik, juga dipuja. Dalam waktu singkat, ceramah dan kuliahnya menyedot perhatian publik. Tetapi, progresivitas pemikirannya dianggap ancaman. Kalangan tradisonalis yang mendominasi menganggap keberadaannya sebagai ancaman. Syariati dicekal. Pernah pula dijebloskan ke penjara. Hingga pada 19 Juni 1977 ia wafat terbunuh. Muncul spekulasi, agen-agen SAVAK pendukung Ayatullah Khumaini berada di balik tragedi tersebut.

Syari’ati meninggalkan warisan intelektual yang luar biasa. Sebagian besar karangannya tentang filsafat. Salah satu karyanya yang monumental ialah buku berjudul Hajj (pilgrimage).

Buku yang banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa itu berisi tentang refleksi, kritik, dan sebuah konklusi dari seorang Syari’ati, perihal subtansi ibadah haji. Baginya, haji adalah sebuah aksi yang berkesinambungan, tak terhenti pada tumpukan teori di atas kertas. Haji juga penuh dengan simbol, bukan sebatas ritual.

Jangan-jangan, seperti kekhawatiran seorang qadi asal Kufah yang hidup pada tahun 70-an Hijriyah, Syuraih al-Qadhi, sedikit sekali mereka yang benar-benar pergi dengan berniat haji, banyak yang hanya niat berwisata. Begitu banyak para pengamal kebajikan, tetapi sedikit sekali yang tulus mencari ridha-Nya.

Dalam refleksi Ali Syariati, seperti termaktub dalam al-Faridhal al-Khamisah (terjamah lain dalam bahasa Arab), ibadah haji bukan hanya sekadar ibadah ritual dengan memakai ihram, melakukan tawaf (mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh putaran), sai (berlari-lari kecil antara Bukit Shafa dan Marwah), melempar jumrah (dengan batu kerikil ke tiang Jamarah), wukuf (berdiam diri) di Padang Arafah, lalu bertahalul (memotong rambut). Menurutnya, seorang manusia penting untuk memahami fungsi dan perannya masing-masing. Manusia sebagai khalifah di muka bumi berkewajiban melaksanakan segala amanah yang diberikan oleh Allah, termasuk dalam melaksanakan ibadah haji. Bukan hanya sekadar ritual, melainkan juga memahami makna di balik setiap prosesi ibadah haji.

Syariati juga menekankan bahwa pelaksanaan ibadah haji seharusnya menjadi kesempatan bagi setiap jamaah untuk meningkatkan kualitas keimanannya. Sebab, itulah tujuan dari pelaksanaan ibadah haji, yakni menggapai haji mabrur.

Bila ibadah haji berhasil dilaksanakan dengan baik, sesuai dengan syarat dan rukunnya, niscaya dirinya akan menjadi seorang Muslim yang baik, patuh, dan taat dalam menjalankan ibadah. Di sinilah, tegas Syariati, pentingnya seorang Muslim memahami dan mengambil manfaat dari manasik haji.

Maka, tibalah tahapan puncak, sebuah tingkatan klimaks yang diteladankan Ibrahim AS yaitu berqurban. Prosesi berqurban tersebut terlampaui usai ritual-ritual transendental. Peneguhan tauhid kala bertawaf, menyelami perjuangan Hajar ketika sa’i, lalu ‘merasakan’ kehadiran Adam ketika menuju Arafah. Di Padang itu, tebersitlah akan arti dan kedudukan manusia di hadapan-Nya.

Qurban hanyalah simbol dari berserah diri yang sempurna. ‘Ismail’ manakah yang hendak Anda qurbankan? Apakah gelar, profesi, harta, status sosial? Atau apakah yang hendak Anda sucikan? Bagi Syari’ati, bukan perkara mudah membatasi dan memutuskan perkara apa yang hendak dipurifikasi. Syari’ati hanya memberikan batasan, apa pun yang membuat iman lemah, maka “sembelihlah”. Segala hal yang melenakan dari kewajiban, tanggung jawab, dan kebaikan, maka jauhkanlah. Begitulah hakikat kurban.

Syari’ati meletakkan pemahaman akan pentingnya prioritas. Mengedepankan hak-hak ilahi ketimbang maslahat duniawi. Ikhtiar yang demikian lebih sulit. Sebab, kondisi itu akan menimbulkan dialektika kepentingan. Tarik ulur hasrat. Hasilnya akan sangat menentukan. Siapa memilih dunia, maka ia telah kalah dalam pertempuran besar.

Melawan hawa nafsu. Bahkan, pertarungan ‘kepentingan’ itu dalam konteks Ibrahim AS, nabi yang dikenal sebagai Bapak Agama Samawi itu, sangat kompleks. Ia sangat mendambakan seorang putra selama berpuluh-puluh tahun.

Dan, anak yang dinanti itu justru diperintahkan Allah untuk dikurbankan. Bagi Syari’ati pula, pelaksanaan qurban, bentuk dari penyempurnaan hakikat berserah diri dan keikhlasan yang sebenarnya. Tetap jaga agar tak tergelincir. Sebab, terpeleset dari tangga kemuliaan itu berarti petaka yang sangat disesalkan.

Sebagai bagian tak terlepaskan dari ritual haji, qurban adalah simbol dari kontinuitas kesalehan. Kebaikan tak boleh terhenti lantaran risalah Islam berselaras dan dinamis dengan kehidupan. Qurban meneguhkan arti pentingnya pengorbanan dalam hidup. Mengikis ego pribadi, sektoral, dan komunal. Hidup adalah soal pengorbanan. Sejauh mana komitmen berusaha dan tidak berputus asa, tak pamrih memberi dan bukan hanya menerima.

Maka, dalam konteks keindonesiaan, sangat tepat bila spirit berqurban itu diterapkan. Hidup berbangsa dan bernegara bukan hanya didasari semangat transaksional an sich. Pola ini, tentu hanya akan membudayakan paradigma menerima dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya. Ini jauh dari filosofi berkurban.

Bagi seorang sastrawan abad ke-7 Hijriyah, Shafiyuddin al-Hilli, kejayaan yang hakiki diperoleh dari rangkaian proses, bukan budaya instan. Kegemaran akan perilaku instan hanya menyisakan manusia-manusia dengan watak instan. Kaya secara instan, kepintaran yang instan sekaligus prematur, dan paradigma yang serba instan. Atau, barangkali hidup yang instan pula.  

Oleh : Nashih Nasrullah, Jurnalis Republika.co.id

KHAZANAH REPUBLIKA

Antara Haji Kasab dan Haji Nasab

TADI malam, saat mabit di Muzdalifah, ada satu rombongan Kelompok Bimbingan Haji (KBIH) yang mengadakan tausiyah. Sang pemateri memberikan motivasi haji, tentang perjuangan dan pahala yang akan diraih.

Di sela materi, dai yang berlogat Sunda ini menceritakan macam-macam orang naik haji. Ia menyebutkan ada 3 jenis orang yang naik haji:

Pertama: haji kasab, yaitu haji dengan usaha yang dia miliki. Dengan uang, seseorang menabung, lalu bisa berangkat haji ke tanah suci.

Kedua, haji nasab, yaitu seseorang berangkat haji karena turunan. Dia punya orang tua kaya. Ikut berangkat haji diajak keluarganya.

Ketiga, haji nasib, yaitu karena nasib baik yang Allah takdirkan kepadanya. Berangkat haji begitu saja. Tanpa punya modal dan bukan dari keluarga kaya.

Saya yang sedang rebahan, asyik mendengarkan penjelasan sang ustadz. Ada banyak poin yang beliau sampaikan, tapi pembahasan tentang 3 jenis orang naik haji ini yang sangat menarik perhatian saya.

Saya sangat terenyuh mendengarnya. Tausyiahnya sangat menyentuh sekali.

Saya terlahir dari keluarga sederhana. Saya bukan anak orang kaya. Masih ingat banget, dulu, di rumah, ibu sering menangis karena untuk makan esok hari gak ada.

Allah memberikan karunia yang luar biasa. Diluar dugaan akal sehat dan dugaan manusia, di saat ongkos haji itu mahal, Allah justeru memanggil hamba-Nya bagi yang dikehendaki-Nya.

Tahun 2016 saya mendapat undangan haji Raja Salman. Ini murni undangan.

Bahkan saya tidak mengeluarkan uang sepeserpun. Saya sendiri belum paham apa motif undangan ini. Sebab saya orang biasa. Saya bukan tokoh politik, bukan pejabat, apalagi anak orang terkenal.

Undangan itu sangat mengagetkan. Awalnya saya menduga itu bercanda. Tapi ketika pihak Kedutaan Arab Saudi di Jakarta menelpon saya berkali-kali agar segera menyerahkan passport, di situlah saya paham.

Sebelum berangkat, waktu itu berkumpul dulu di rumah dinas Dubes Saudi di Menteng, Jakarta. Saat itu, Dubesnya masih Syaikh Musthofa Al Mubarak.

Pas diantar ke Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, saya diantar semua keluarga. Ada bapak, ibu, nenek, uwak, paman, adik, tetangga, dll.  Semua menangis, saya juga menangis.

Saya menulis juga menangis, kakrena mengingat momen itu. Momen selanjutnya, juga tidak disangka juga.

Saya kembali mendapat panggilan dari Allah. Tepatnya pada Januari 2018 saya berangkat ke Arab Saudi untuk melanjutkan kuliah.

Ini sama sekali tidak terduga sebelumnya. Selama kuliah di Jakarta, saya bukan termasuk mahasiswa yang pintar. Banyak teman seangkatan saya tahu ini.

Karena saya tinggal di Saudi, tahun 2018 ikut gabung dalam PPIH (Panitia Penyelenggara Ibadah Haji) Arab Saudi. Waktu itu saya masuk tim Daker Bandara, yang bertugas di Bandara Jeddah dan Madinah. Dan hari-hari puncak haji diterjunkan di Arafah.

Masya Allah. 2018 bisa haji kembali. Sambil bertugas melayani jamaah. Sungguh karunia luar baisa. Alhamdulillah. Tsuma Alhamdulillah.

Tahun berikutnya, 2019, saya kembali ikut dalam rombongan panitia haji. Waktu itu ikut bagian transportasi shalawat. Saya dapat penugasan di Misfalah, melayani jamaah asal Jawa Barat.

Pada puncak haji, di sela tugas di Arafah dan Muzdalifah, saya ikut menjalankan manasik. Ya Allah. Sungguh ini adalah karunia yang besar.

Tahun 2020 dan 2021 pandemi corona dan Covid-19 melanda dunia. Pemerintah Saudi rupanya tidak membuka haji dari luar Saudi, dan aaya pulang ke kampung halaman.

Tahun ini, masya Allah, saya diberi kesempatan Allah kembali, menemani istri dari sejak ke Arafah, Muzdalifah, hingga lempar jumrah. Dan insya Allah beberapa hari ke depan akan mabit di Mina.

Akhirnya saya baru ingat, saya pernah berdoa, bunyinya begini, “Ya Allah! Ingin kami bisa haji berdua dengan istri.” Dan Allah telah mengabulkan, meski jalannya terjal dan sulit dilalui.

Semoga sisa manasik yang akan dilakukan ini berjalan lancar. Doa saya selanjutnya, ingin bisa mengajak kedua orang tua haji. “Ya Allah, kabulkan permintaan ini. Amin.”

Haji adalah panggilan dari Allah. Siapapun dia, kalau sudah dipanggil-Nya, maka akan bisa berangkat, bahkan dengan cara yang tak pernah disangka sebelumnya.

Bagi yang belum menunaikan ibadah haji, teruslah berdoa. Dan semoga panggilan Allah akan datang kepada Anda. Selamat hari Raya Idul Adha.*/Budi Marta Saudin, Makkah, 10 Dzulhijjah 1443 H

HIDAYATULLAH

Tangisan Kegembiraan Warga China Saat Berhaji Tahun Ini

Jamaah haji asing bersyukur diberi kemudahan menunaikan haji.

Dengan air mata kegembiraan yang luar biasa, warga negara China Ahmed Al-Seeny tampak mengenakan jubah Ihram putihnya. Ia merasa bangga menuju Tanah Suci Makkah untuk melakukan haji pertamanya.

“Tahun ini menandai tahun pertama memiliki aplikasi haji setelah pandemi dan sebagai seorang Muslim muda, saya ingin menyelesaikan rukun kelima seperti Nabi Muhammad SAW bersabda, ‘Siapa pun yang ingin melakukan haji harus bergegas,’” katanya kepada Arab News. 

Al-Seeny adalah seorang ekspatriat Tionghoa yang tinggal dan belajar di Madinah. Ia mengambil jurusan studi Islam di Universitas Islam Madinah. Saat namanya terpilih untuk menunaikan ibadah haji tahun ini, ia tak mampu membendung air matanya. Ia menangis dengan penuh kegembiraan. 

“Ketika saya mendengar nama saya terpilih sebagai salah satu orang yang paling beruntung untuk melakukan haji, saya menangis. Saya sangat senang berada di sini,” ucapnya. 

Arab News bertemu Al-Seeny di Mina pada Kamis (7/7/2022), hari pertama jamaah memulai perjalanan haji mereka. Saat itu, jamaah bermalam di Mina untuk berdoa dan mengikuti sunnah Nabi.

Orang-orang mencium aroma yang berbeda saat memasuki Mina, seperti rempah-rempah yang lezat ketika melewati bagian Asia Selatan. Setiap musim haji, para penjual selalu semangat bisa untuk melayani jamaah dengan hidangan yang biasa mereka makan di negara asal mereka.

Arab News melihat beberapa jamaah menikmati cuaca dan makan makanan ringan di trotoar Mina, termasuk sepasang suami istri dari Afrika Selatan. “Saya dan suami saya mengajukan haji pada  2016, dan kami diterima untuk tahun ini, jadi ada daftar tunggu yang panjang di Afrika Selatan, jadi terima kasih Tuhan atas berkahnya,” kata jamaah asal Afrika Selatan, Khadijah.

Sebelum Khadijah berangkat haji, semuanya telah diatur dengan sangat baik dan bahkan dapat melakukan pemesanan paket haji yang sangat mudah. Khadijah dan suaminya telah membayar semuanya terlebih dahulu secara online sehingga ia hanya perlu datang ke Makkah untuk melakukan ibadah. 

“Ini lebih nyaman dan lebih mudah daripada yang dilakukan orang tua kami, jadi kami bersyukur,” ungkap pasangan itu.

Menteri Haji dan Umrah Arab Saudi Tawfiq Al-Rabiah menjelaskan musim haji tahun ini menampung satu juta jamaah sambil memastikan keselamatan dan kualitas layanan mereka, meskipun ada Covid-19 yang sedang berlangsung.

IHRAM

Jamaah dengan Penyakit Jantung Diminta tidak Paksakan Diri Melontar Jumrah

Kepala Pos Kesehatan Mina Enny Nuryanti Enny mengimbau seluruh tenaga kesehatan haji (TKH) kelompok terbang (kloter) mengarahkan agar jamaah risiko tinggi (risti), terutama penyakit jantung melontar jumrohnya dibadalkan. Karena secara medis jamaah yang memiliki riwayat penyakit jantung tidak boleh kelelahan.

Hal itu demi mengurangi risiko kematian akibat kelelahan. “Kami meminta teman-teman TKH, yang mau melontar, agar jamaahnya yang memiliki penyakit jantung diarahkan untuk dibadalkan saja,” katanya, Sabtu (9/7/2022).

Seorang jamaah haji dengan penyakit jantung meninggal dunia saat berangkat ke jamarat untuk melontar jumroh, Sabtu pukul 05.45 WAS. Jamaah asal Bandung, Jawa Barat ini wafat karena kelelahan saat perjalanan melontar jumrah. 

“Menurut keterangan keluarga, almarhum disarankan badal melontar jumroh, tapi memaksakan diri ingin melontar sendiri,” kata Enny. 

Enny menuturkan, masih menurut keluaganya, almarhum memang memiliki riwayat jantung sejak di Tanah Air. Untuk itu, almarhum membawa obat-obatan pribadinya untuk diminum selama di Tanah Suci. 

Enny mengatakan, saat ini banyak jamaah dengan penyakit jantung yang mengalami serangan akut karena memaksakan diri untuk melontar. “Mohon ini menjadi perhatian teman-teman di kloter,” katanya.

Dokter Spesialis Jantung Pos Kesehatan Mina Muhaimin Munizu mengatakan sampai pukul 10.12 WAS, ada 18 jamaah haji yang dirawat dengan penyakit jantung. Hampir seluruh jamaah kelelahan menjalani prosesi Armuzna. 

“Beberapa diantaranya memaksakan diri tetap melaksanakan lontar jumrah sehingga mengalami serangan jantung dan gagal jantung akut,” katanya.

Untuk itu, Muhaimin menghimbau kembali kepada TKH agar mengingatkan jamaahnya terutama yang memiliki riwayat penyakit jantung agar prosesi lontar jumrahnya dibadalkan. “Demi menjaga jiwa, melontar jumrahnya lebih baik dibadalkan saja,” katanya.

IHRAM

Ini Doa Rasulullah Waktu Sore Hari Arafah

Ini doa Rasulullah waktu sore hari Arafah. Doa ini terdapat dalam kitab Al-Mu’jam Al-Kabir, Imam Al-Thabrani. Pada kitab tersebut  termaktub sebuah riwayat yang bersumber dari Abdullah Ibnu Abbas, dia berkata bahwa doa yang dibaca oleh Rasulullah di waktu sore hari Arafah adalah sebagai berikut; 

اللَّهُمَّ إِنَّكَ تَسْمَعُ كَلاَمِي وَتَرَى مَكَانِي وَتَعْلَمُ سِرِّي وَعَلاَنِيَتِي لاَ يَخْفَى عَلَيْكَ شَيْءٌ مِنْ أَمْرِي أَنَا الْبَائِسُ الْفَقِيرُ الْمُسْتَغِيثُ الْمُسْتَجِيرُ الْوَجِل الْمُشْفِقُ الْمُقِرُّ الْمُعْتَرِفُ بِذَنْبِهِ أَسْأَلُكَ مَسْأَلَةَ الْمِسْكِينِ وَأَبْتَهِل إِلَيْكَ ابْتِهَال الْمُذْنِبِ الذَّلِيلِ وَأَدْعُوكَ دُعَاءَ الْخَائِفِ الضَّرِيرِ مَنْ خَضَعَتْ لَكَ رَقَبَتُهُ وَفَاضَتْ لَكَ عَيْنَاهُ وَذَل لَكَ جَسَدُهُ وَرَغِمَ أَنْفُهُ لَكَ اللَّهُمَّ لاَ تَجْعَلْنِي بِدُعَائِكِ شَقِيًّا، وَكُنْ بِي رَؤُوفًا رَحِيمًا يَا خَيْرَ الْمَسْؤُولِينَ وَيَا خَيْرَ الْمُعْطِينَ

Allohumma innaka tasma’u kalaamii wa taroo makaanii wa ta’lamu sirrii wa ‘alaaniyatii laa yakhfaa ‘alaika syai-un min amrii. Anal yaa-isul faqiirul mustaghiitsul mustajiirul wajilul musyfiqul muqirrul mu’tarifu bidzanbihii.

As-aluka mas-alatal miskiini wa abtahilu ilaika ibtihaalal mudznibidz dzaliil wa ad’uuka du’aa-al khoo-ifidh dhoriir, man khodho’at laka roqobatuhuu wa faadhot laka ‘ainaahu wa dzalla laka jasaduhuu wa roghima anfuhuu laka.

Allohumma laa taj’alnii bidu’aa-ika syaqiyyan wa kun bii rouufan rohiiman yaa khoirol mas-uulinn wa yaa khoirol mu’thiin.

Ya Allah, sesungguhnya Engkau mendengar ucapanku dan melihat tempatku, Engkau mengetahui batinku dan lahiriahku, tiada sesuatu pun dari urusanku yang samar bagi-Mu. Aku orang yang butuh,  fakir, meminta pertolongan, meminta perlindungan, malu, mohon belas kasihan, dan orang yang mengakui serta menyadari dosa-dosanya.

 Aku memohon kepada-Mu seperti layaknya orang miskin memohon, aku beribtihal kepada-Mu seperti layaknya orang yang berdosa lagi hina melakukan ibtihal, aku memohon kepada-Mu.  

Seperti layaknya orang sebagaimana layaknya orang yang takut lagi terpaksa memohon, yaitu doa orang yang tunduk patuh kepada-Mu, air matanya mengalir karena-Mu, dan jasadnya hina karena-Mu, serta menyerahkan dirinya kepada-Mu.

Ya Allah, janganlah Engkau jadikan diriku orang yang kecewa dalam berdoa kepada-Mu, belas kasihanilah aku dan sayangilah aku. Wahai Tuhan  sebaik-baik yang diminta, Wahai Tuhan  sebaik-baik yang memberi.

Demikian Ini Doa Rasulullah Waktu Sore Hari Arafah. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Doa Nabi Saat Wukuf di Arafah

Doa Nabi saat wukuf di Arafah. Doa ini bisa diamalkan seorang muslim ketika Wukuf di Arafah.

Haji merupakan ibadah yang memiliki rangkaian tahapan yang cukup panjang. Semua ketentuannya pun telah dijelaskan dan dipraktikkan oleh Nabi Muhammad Saw sendiri sebagai utusan terakhir Tuhan.

Sebagaimana yang sabda, haji telah dan menjadi bagian dari ibadah yang wajib dilakukan sesuai tuntunan dari Nabi Muhammad Saw sendiri.

خذوا عني مناسككم

Ambillah dariku ibadah haji kalian

Salah satu rukun ibadah Haji yang harus dilaksanakan oleh seorang muslim yang sedang berhaji ialah wukuf di Arafah. Atau berdiam diri meski sejenak pada tanggal 09 Dzulhijjah di tanah Arafah. Wukuf tersebut sendiri memiliki batas waktu sampai pada fajar hari raya Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah.

Ada banyak hal yang sunnah dilakukan pada saat wukuf di Arafah, seperti: berdzikir, membaca shalawat, membaca talbiah dan lain sebagainya. Namun, dari do’a-do’a yang ada dan warid dibaca oleh Nabi, ada satu do’a yang sering dibaca Nabi Saw pada saat wukuf di Arafah.

Hal tersebut, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitab al-Adzkar an-Nawawi” hal 281, Imam Nawawi meriwayatkan hadits dari at-Tirmidzi dari jalur Ali bin Abi Thalib berkata, yang artinya:

“Doa yang paling banyak dibaca oleh Nabi Muhammad Saw  pada saat wukuf di Arafah ialah:

اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ كَالَّذِيْ نَقُوْلُ, وَخَيْرًا مِمَّا نَقُوْلُ. اللَّهُمَّ لَكَ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ, وَإِلَيْكَ مَأَبِيْ, وَلَكَ رَبِّ تُرَاثِيْ. اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ, وَوَسْوَسَةِ الصَّدْرِ وَشَتَّاتِ الْأَمْرِ. اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا تَجِيْءُ بِهِ الرِّيْحُ.

Allahumma lakal hamdu kalladzi naquulu wa khoyron mimmaa naquulu. Allahumma laka sholaatii wa  nusukii wa mahyaaya wa mamaatii, wa ilaika ma-aabii, wa laka Robbi turootsii.

Allahumma innii a’uudzu bika min ‘adzaabil qobri, wa waswasatis sodri wa syattaatil amri. Allahumma innii a’uudzu bika min syarri ma tajii-u bihir riihu.

Artinya: “Ya Allah segala puji bagi-Mu seperti yang kami ucapkan. Ya Allah hanya untuk-Mu shalatku, ibadah hajiku, hidupku dan matiku. Hanya kepada Engkau kembaliku dan bagi-Mu ya Tuhanku segala yang kumiliki.

Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, gangguan pada hati dan banyaknya urusan. Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari keburukan sesuatu yang dibawa oleh angin”.

Demikian doa yang paling banyak dibaca Nabi Saw pada saat wukuf di Arafah. Wallahu a’lam .

BINCANG SYARIAH

Batal Wudhu Saat Tawaf, Apakah Harus Mengulanginya?

Dalam ihram, yang merupakan tahap pertama melakukan haji atau umroh, seseorang harus bebas dari hadas besar atau kecil. Tabu waktu juga telah ditetapkan.

Ada kegiatan yang harus dilakukan dalam kondisi suci dari hadas selama ihram, seperti sholat sunnah dan pendapat sebagian besar ulama bahkan selama tawaf. Orang yang sedang tawaf baik itu tawaf sunnah, qudum, umroh, ataupun ifadah jika berhadas saat tawafnya, maka harus keluar dan mengambil wudhu lagi.

Tapi apakah harus mengulang kembali tawafnya dari hitungan awal atau melanjutkan hitungan sejak batalnya? Dalam hal ini mayoritas para ulama mengatakan setelah berwudhu, dia bisa mulai lagi dan melanjutkan sejak hitungannya yang batal.

Menurut buku Perihal Penting Haji yang Sering Ditanyakan karya Siti Chozanah, berikut pembahasannya. Misalkan saat tawaf di hitungan ke empat dia batal, maka dia mulai lagi tawafnya untuk putaran ke empat setelah berwudhu. Demikian yang dijelaskan oleh Darul Ifta dengan menukil dari kitab Mughnil Muhtaj.

Permasalahannya adalah banyak jamaah yang tidak tahu kalau di Masjidil Haram ternyata ada tempat wudhu dan mereka tidak perlu keluar masjid untuk menuju toilet.

Cobalah keliling masjid, Kalau Anda berada di dekat Kabah, perhatikan semua tangga besar dan lebar dari lantai 1 untuk turun ke pelataran Kabah. Ada lima tangga di berbagai arah Ka’bah, dan di bawah semua tangga besar ini tersembunyi tempat wudhu yang tidak diketahui orang. Berwudhulah di situ.

Namun, jika terjadi hadas kecil (batalnya wudhu) ketika sedang tawaf dalam keadaan jamaah penuh sesak, terutama di saat puncak haji ketika tawaf ifadah (yang termasuk rukun haji) dan tidak memungkinkan mendapatkan air atau jika pun bisa mendapatkan air akan menyusahkan dan memberatkan, maka berdasarkan prinsip taisir (memudahkan) dan ‘adamul-haraj (meniadakan kesulitan), tawaf tetap dilanjutkan tanpa mengulangi wuduk dengan dasar keringanan dan menghindari mudarat.

Dengan demikian, langkah hati-hatinya adalah tetap berwudhu dan mengulangi wudhu jika batal saat melakukan tawaf manakala tidak menimbulkan kesulitan. Jika sulit karena kondisi yang penuh sesak saat tawaf, maka kita boleh mengambil keringanan. Jadi tawaf yang keadaan sucinya batal karena hadas kecil tetap memadai (mujzi’).

IHRAM