Sejarah Panggilan Haji di Indonesia

Haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang memiliki kemampuan melaksanakannya. Karena untuk melaksanakan haji memerlukan biaya yang tidak murah dan juga menuntut kemampuan yang tidak mudah, acapkali kaum muslim menganggap ibadah ini sebagai ibadah paling spesial dan memiliki tempat tersendiri di hati kaum muslim khususnya di Indonesia. Hal itu terlihat dari panggilan “Haji” yang disematkan bagi orang yang pernah melaksanakan ibadah tersebut.

Sejarah mencatat, sesudah ibadah haji disyariatkan, Rasulullah hanya berhaji satu kali, yakni haji wada’. Hal ini menjadi dasar bahwa haji yang diwajibkan hanyalah satu kali seumur hidup. Riwayat juga menyebutkan bahwa semua Nabi dan Rasul pernah melaksanakan ibadah haji.

Demikian pula dengan para Sahabat, Tabiin, dan generasi Ulama sesudahnya, dikisahkan bahwa kebanyakan diantara mereka melaksanakan ibadah haji karena merupakan rukun Islam. Menarik untuk dikaji bahwa mereka para generasi Salaf, tidak pernah ada yang tercatat diberikan gelar “Haji”. Tidak ada panggilan “Haji” Muhammad SAW, “Haji” Abu Bakar RA, “Haji” Umar RA, “Haji” Utsman RA, tidak pula “Haji” Ali bin Abi Thalib KW. Pertimbangan demikianlah yang menjadikan beberapa ulama kelompok Salafi di zaman now yang menyatakan bahwa panggilan “Haji” merupakan bidah karena tidak ada contohnya dari generasi Salaf dan mencerminkan sifat riya.

Pemberian gelar haji dimulai pada tahun 654H, di mana pada saat itu, di kota Mekah sedang terjadi pertikain yang mengganggu keamanan kota Mekah sehingga bagi orang yang akan melaksanakan haji, perlu persiapan yang sangat ekstra sampai harus membawa persenjataan lengkap ibarat hendak pergi ke medan perang.

Sekembalinya mereka dari ibadah haji, mereka disambut dengan upacara kebesaran bagaikan menyambut pahlawan yang pulang dari medan perang, dan dielu-elukan dengan sebutan “Ya Hajj, Ya Hajj”. Maka berawal dari situ, setiap orang yang pulang haji diberi gelar “Haji”.

Gelar haji nyatanya bukan hanya digunakan di Indonesia, tapi juga digunakan di negara-negara lain dengan penyesuaian bahasa lokal mereka. Dalam bahasa Farsi dan Pashto ditulis: haajii (h-a-j-ii), bahasa Yunani: Χατζής, Albania: Haxhi, Bulgaria: Хаджия, Kurdi: Hecî, Serbia/Bosnia/Kroasia: Хаџи atau Hadži, Turki: Hacı, Hausa: Alhaji dan bahasa Romania: hagiu. Di beberapa negara, gelar haji dapat diwariskan turun-temurun sehingga menjadi nama keluarga seperti Hadžiosmanović dalam bahasa Bosnia yang berarti ‘Bani Haji Usman’ alias ‘anak Haji Usman’.

Dalam sejarah Nusantara, tercatat bahwa Bratalegawa putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora penguasa kerajaan Galuh (1357-1371) menikah dengan seorang muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad. Melalui pernikahan ini, Bratalegawa memeluk Islam. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaan Galuh, ia dikenal dengan sebutan Haji Purwa (Atja, 1981:47).

Dalam Carita Purwaka Caruban Nagari dan naskah-naskah tradisi Cirebon seperti Wawacan Sunan Gunung Jati, Wawacan Walangsungsang, dan Babad Cirebon. Dalam naskah-naskah tersebut disebutkan adanya tokoh lain yang pernah menunaikan ibadah haji yaitu Raden Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang. Keduanya adalah putra Prabu Siliwangi. Sebagai seorang haji, Walangsungsang kemudian berganti nama menjadi Haji Abdullah Iman, sementara Rarasantang berganti nama menjadi Hajjah Syarifah Mudaim.

Dari kesultanan Banten, jemaah haji yang dikirim pertama kali adalah utusan Sultan Ageng Tirtayasa, termasuk diantaranya putranya, Sultan Abdul Kahar, ke Mekah untuk menemui Sultan Mekah sambil melaksanakan ibadah haji, lalu melanjutkan perjalanan ke Turki. Karena kunjungannya ke Mekah dan menunaikan ibadah haji, Abdul Kahar kemudian dikenal dengan sebutan Sultan Haji. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1671.

Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda, pemberian gelar “Haji” sengaja dilakukan oleh pihak kolonial sebagai identifikasi bagi mereka yang telah melaksanakan ibadah haji dan tentunya mendapatkan pengalaman berinteraksi dengan bangsa-bangsa luar.

Interaksi tersebut kerapkali menimbulkan semangat bagi para haji untuk melakukan pemberontakan baik secara fisik seperti yang dilakukan oleh Imam Bonjol maupun Pangeran Diponegoro, maupun secara pergerakan seperti Muhammad Darwis yang pergi haji dan ketika pulang mendirikan Muhammadiyah, Hasyim Asyari yang pergi haji dan kemudian mendirikan Nadhlatul Ulama, Samanhudi yang pergi haji dan kemudian mendirikan Sarekat Dagang Islam, Cokroaminoto yang juga berhaji dan mendirikan Sarekat Islam.

Hal-hal seperti inilah yang merisaukan pihak Belanda. Maka salah satu upaya belanda untuk mengawasi dan memantau aktivitas serta gerak-gerik ulama-ulama ini adalah dengan mengharuskan penambahan gelar haji di depan nama orang yang telah menunaikan ibadah haji dan kembali ke tanah air. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903.

Di masa sekarang ini, panggilan haji lebih bersifat sebagai sebuah penghormatan karena yang bersangkutan dianggap telah melaksanakan rukun Islam secara sempurna. Tentu saja hal ini tidaklah bertentangan dengan syariat, karena panggilan semacam itu menunjukkan sikap hormat dan penghargaan kita terhadap saudara seiman kita.

Anjuran untuk saling menghargai seperti itu sangat jelas sebagaimana dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dalam risalahnya berjudul  Al-Adab fid Din dalam Majmu’ah Rasail al-Imam al-Ghazali (Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, halaman 444), sebagai berikut

آداب الإخوان: الاستبشار بهم عند اللقاء، والابتداء بالسلام، والمؤانسة والتوسعة عند الجلوس، والتشييع عند القيام، والإنصات عند الكلام، وتكره المجادلة في المقال، وحسن القول للحكايات، وترك الجواب عند انقضاء الخطاب، والنداء بأحب الأسماء

“Adab berteman, yakni: Menunjukkan rasa gembira ketika bertemu, mendahului beruluk salam, bersikap ramah dan lapang dada ketika duduk bersama, turut melepas saat teman berdiri, memperhatikan saat teman berbicara dan tidak mendebat ketika sedang berbicara, menceritakan hal-hal yang baik, tidak memotong pembicaraan dan memanggil dengan nama yang disenangi.”

Demikian, semoga bermanfaat.

Tulisan ini sudah pernah dimuat di islami.co

BINCANG SYARIAH

Arab Saudi Umumkan Jamaah yang Ikut Haji Tahun Ini

Kementerian Haji dan Umroh Arab Saudi akan mengumumkan nama-nama dari 60.000 jamaah yang terpilih menunaikan haji tahun ini. Pengumuman akan dilakukan hari ini, Jumat (25/6). 

Seperti dilansir Arab News, Kementerian Kementerian Haji dan Umroh Arab Saudi mengatakan bahwa portal elektronik untuk jamaah haji domestik menerima lebih dari 540.000 aplikasi dari warga dan penduduk Saudi sebelum pendaftaran ditutup pada Rabu (23/6). Kementerian juga menegaskan tidak  ada prioritas untuk pendaftaran awal.

Kementerian juga mengatakan jamaah yang terpilih bisa mulai memesan dan membeli paket pada pukul 1 siang pada Jumat.

Karena pandemi virus corona (COVID-19) dan munculnya mutasi baru, Kementerian Kesehatan dan Haji mengumumkan awal bulan ini bahwa mereka akan membatasi jumlah orang yang diizinkan untuk melakukan haji tahun ini sebanyak 60.000 orang saja. Pendaftaran hanya terbuka untuk warga negara dan penduduk Kerajaan Arab Saudi

Jamaah laki-laki menyumbang 59 persen dari peziarah yang terdaftar. Sementara kelompok usia antara 31 dan 40 tahun menempati slot pendaftaran paling banyak yaitu 38 persen. Jamaah haji yang terdaftar berusia 60 tahun ke atas mewakili kelompok usia terendah sebesar dua persen.

Berdasarkan protokol kesehatan Kerajaan Arab Saudi, jamaah yang ingin melakukan haji harus bebas dari penyakit kronis apa pun. Selain itu jamaah yang harus divaksin dan  berusia antara 18 hingga 65 tahun. 

Jamaah haji harus menerima vaksinasi secara lengkap. Atau bagi jamaah yang mengambil dosis vaksin Covid-19 pertama setidaknya 14 hari sebelumnya, atau yang divaksinasi setelah sembuh dari infeksi virus corona.

IHRAM

Saudi akan Umumkan 60 Ribu Nama Calon Jamaah Haji

Kementerian Haji dan Umrah akan mengumumkan nama-nama pendaftar haji yang telah dipilih untuk melakukan haji tahun ini, pada Jumat (25/6). Sebanyak 60 ribu peziarah domestik, termasuk warga negara dan penduduk, akan dipilih dari 540 ribu pendaftar yang masuk.

Dilansir dari Saudi Gazette, Jumat (25/6) Kementerian menekankan bahwa tidak akan ada prioritas bagi mereka yang melakukan pendaftaran awal. Pemesanan dan pembelian paket haji akan dimulai pada Jumat (25/6) pukul 13.00 waktu setempat.

Kementeriam sebelumnya telah menegaskan, bahwa pendaftaran bagi mereka yang ingin melakukan ritual haji tahun ini telah dibatasi hanya untuk warga negara dan penduduk yang saat ini berada di dalam Kerajaan. Pendaftaran pun hanya satu pintu, yakni melalui aplikasi resmi milik pemerintah Saudi, Tawakkalna.

Kementerian telah menutup pendaftaran pada Rabu (23/6) kemarin pukul 10 malam.  Kementerian menggarisbawahi, bahwa mereka yang ingin melakukan ritual haji harus bebas dari penyakit kronis, dan berada dalam kelompok usia antara 18 dan 65 tahun.

Peziarah wajib diinokulasi terhadap virus corona dan itu sesuai dengan kontrol dan mekanisme yang diikuti di Kerajaan untuk kategori imunisasi, dengan mengambil dua dosis vaksin atau menyelesaikan 14 hari setelah mengambil dosis pertama atau telah pulih dari infeksi Covid-19.

IHRAM