Awas Hoaks: Bersikap Hati-Hati dalam Menyebarkan (Share) Berita

Sebagian kaum muslimin mungkin akan bersikap sangat hati-hati terhadap makanan dan minuman, jangan sampai makan dan minum yang diharamkan oleh syariat. Atau sebagian kaum muslimin yang sangat hati-hati menjaga diri dari benda atau bahan najis, jangan sampai badan atau pakaiannya terkena najis. Ini adalah di antara sikap dan perbuatan yang baik. Namun sayangnya, untuk urusan menyebarkan (men-share) berita, banyak di antara kita yang tidak bersikap hati-hati, atau bertindak ceroboh, tidak (mau) memilah dan memilih, manakah berita yang valid dan manakah yang bukan sebelum menyebarkannya.

 

Baik yang membuat berita dusta atau “sekedar” menyebarkannya, sama-sama disebut sebagai pendusta

Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah seseorang itu sebagai pendusta (pembohong), ketika dia menceritakan semua (berita) yang dia dengar.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahih Muslim no. 5, Abu Dawud no. 4992 dan An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra no. 11845)

‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata,

بِحَسْبِ الْمَرْءِ مِنَ الْكَذِبِ أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah seseorang itu termasuk dalam pendusta, ketika dia menceritakan semua (berita) yang dia dengar.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahih Muslim 1: 8)

Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga atsar dari sahabat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu di atas menunjukkan bahwa hukum orang yang membuat berita dusta dan orang yang “sekedar” menyebarkan berita dusta tersebut adalah sama, yaitu sama-sama disebut sebagai pendusta.

Sehingga seseorang tidak boleh meremehkan masalah ini, dengan mengatakan bahwa dia hanya menyebarkan (men-share) berita, bukan orang yang pertama kali membuatnya. Sehingga kaidah Islam dalam masalah ini adalah “Menyebarkan berita bohong adalah pembohong.”

Mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebut orang tersebut pembagai pembohong? Karena tentu saja tidak semua berita yang sampai kepadanya adalah berita yang benar, sebagiannya adalah berita palsu. Sehingga ketika dia menyebarkan semua berita yang dia dengar, bisa dipatikan dia adalah pembohong.

 

Seseorang itu tidak layak menjadi contoh teladan (panutan), sampai dia mampu memilah dan memilih berita mana yang akan disebarkan

Ibnu Wahab berkata,

قَالَ لِي مَالِكٌ: اعْلَمْ أَنَّهُ لَيْسَ يَسْلَمُ رَجُلٌ حَدَّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ، وَلَا يَكُونُ إِمَامًا أَبَدًا وَهُوَ يُحَدِّثُ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Imam Malik berkata kepadaku, “Ketahuilah, tidak akan selamat (dari dusta) seseorang yang menceritakan semua yang dia dengar. Dan tidaklah layak menjadi panutan (menjadi tokoh) ketika dia menceritakan semua berita yang dia dengar.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahih Muslim 1: 8)

‘Abdurrahman bin Mahdi rahimahullahu Ta’ala berkata,

لَا يَكُونُ الرَّجُلُ إِمَامًا يُقْتَدَى بِهِ حَتَّى يُمْسِكَ عَنْ بَعْضِ مَا سَمِعَ

“Seorang itu tidaklah menjadi imam (teladan atau panutan) yang diteladani sampai dia menahan diri dari menceritakan sebagian berita yang dia dengar.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahih Muslim 1: 8)

Perkataan Imam Malik di atas menunjukkan bahwa jika seseorang bermudah-mudah menyebarkan semua berita yang dia dengar atau dia baca, dia tidak akan selamat dari dusta. Selain itu, dua atsar di atas menunjukkan bahwa di antara sikap orang yang layak dijadikan sebagai tokoh, teladan, atau pemimpin adalah ketika dia tidak menyebarkan semua berita yang dia dengar. Namun dia mampu memilah dan memilih, manakah berita yang valid dan layak untuk disebarluaskan, dan manakah berita bohong yang tidak boleh disebarluaskan.

 

Tidak semua berita yang benar itu harus disebarluaskan

Ketika suatu berita itu terbukti valid, tidak selalu berarti bahwa berita tersebut layak untuk disebarluaskan. Karena bisa jadi berita valid tersebut akan menimbulkan kesalahpahaman di tengah-tengah masyarakat, lalu timbullah keresahan, kekacauan, dan keributan di tengah-tengah mereka. Hal ini sebagaimana perkataan sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

مَا أَنْتَ بِمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيثًا لَا تَبْلُغُهُ عُقُولُهُمْ، إِلَّا كَانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةً

“Tidaklah Engkau menceritakan (suatu berita) kepada sekelompok orang, berupa berita yang tidak bisa mereka pahami, kecuali akan menjadi sumber kerusakan (keributan atau kekacauan) bagi mereka.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahih Muslim 1: 9)

Untuk berita-berita semacam itu, kita serahkan kepada mereka yang memiliki wewenang. Bisa jadi informasi itu bermanfaat, namun untuk kalangan terbatas, bukan kepada semua orang dengan tingkat pemahaman mencerna berita yang berbeda-beda.

Berita kekejaman syiah, bisa jadi menimbulkan keresahan dan ketakutan di sebagian kalangan, misalnya di kalangan muslimah ibu-ibu. Apalagi jika disertai gambar ilustrasi yang menakutkan. Padahal, peristiwa itu sendiri terjadi di negara lain, misalnya. Sehingga hendaknya kita senantiasa memikirkan dampak luas penyebaran berita valid yang kita sampaikan. Sehingga dakwah tentang agama Syi’ah, bisa disampaikan dengan cara-cara lain yang lebih tepat dan lebih bijak.

Sebagaimana dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu untuk menyampaikan suatu hadits, karena kekhawatiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kalau hadits tersebut bisa disalahpahami oleh para sahabatnya.

 

Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu berkata,

فَقَالَ: يَا مُعَاذُ، تَدْرِي مَا حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ؟ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ؟ قَالَ: قُلْتُ: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: فَإِنَّ حَقَّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوا اللهَ، وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، وَحَقَّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَفَلَا أُبَشِّرُ النَّاسَ، قَالَ: لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, “Wahai Mu’adz, apakah kamu tahu apa hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba dan apa hak hamba yang wajib dipenuhi oleh Allah?”

Aku menjawab, “Allah dan Rasul-nya yang lebih mengetahui.”

Beliau pun bersabda, “Hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya ialah supaya mereka beribadah kepada-Nya saja dan tidak berbuat syirik sedikit pun kepada-Nya. Adapun hak hamba yang wajib dipenuhi oleh Allah adalah Allah tidak akan mengazab mereka yang tidak berbuat syirik kepada-Nya.”

Lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau aku mengabarkan berita gembira ini kepada banyak orang?”

Rasulullah menjawab, “Jangan, nanti mereka bisa bersandar.” (HR. Bukhari no. 2856 dan Muslim no. 154)

 

Sikap seorang muslim yang benar

Seorang muslim yang menjadikan hadits dan atsar-atsar di atas sebagai pegangan dan dia letakkan di depan kedua matanya, tentu akan bersikap sangat hati-hati dalam memilah dan memilih berita yang berasal dari berita online, surat kabar cetak, atau dari grup whatsapp, atau dari sumber-sumber berita yang lainnya.

Namun perlu kita pahami bahwa bisa jadi cara (metode) untuk memastikan dan menyaring berita itu berbeda-beda tergantung pada topik berita masing-masing. Berita-berita terkait masalah kesehatan, tentu memiliki indikator untuk menilai apakah berita tersebut valid ataukah tidak. Betapa banyak keresahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat sebagai akibat penyebaran berita kesehatan yang tidak benar, alias informasi dusta, atau dengan bahasa kekinian: informasi hoaks. Demikian pula, berita terkait dengan masalah ekonomi dan politik, tentu memiliki indikator tertentu untuk menilai apakah suatu berita itu valid ataukah tidak.

Kemampuan untuk “menyaring” berita semacam ini, tentu tidak dimiliki oleh semua orang, termasuk ustadz sekalipun. Sehingga sikap yang terbaik adalah tawaqquf, atau kita serahkan kepada orang yang ahli dalam bidang tersebut untuk menilai.

Oleh karena itu, hendaknya kita mawas diri dan berkaca terhadap diri sendiri, apakah kita sudah cukup memiliki kelayakan dan kapasitas untuk menyaring sebuah berita? Atau kita akan termasuk dalam golongan orang-orang pembohong dan pendusta sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas?

Semoga tulisan ini menjadi bahan renungan bagi kaum muslimin.

[Selesai]

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/46935-awas-hoaks-bersikap-hati-hati-dalam-menyebarkan-share-berita.html

Dirjen Pendis: Mustahil Pemerintah Hapus Pendidikan Agama

Jakarta (Kemenag) — Viral rekaman seorang ibu yang mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo akan menghilangkan pendidikan agama di sekolah. Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama Kamaruddin Amin menegaskan bahwa tidak mungkin pendidikan agama dihapus dalam kurikulum sekolah, apalagi madrasah.

“Di negara sekuler seperti Inggris dan sejumlah negara Eropa Barat, bahkan pelajaran agama wajib di sekolah, baik di sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah (public schools) apalagi di sekolah yang diselenggarakan oleh gereja (faith based schools),” jelas Kamaruddin Amin di Jakarta, Selasa (05/03).

“Apalagi di Indonesia, negara bangsa yang dikenal sangat religius, mustahil pelajaran agama dianggap tidak penting, dan akan dihilangkan,” lanjutnya.

Menurut Kamaruddin, dalam empat tahun terakhir, Ditjen Pendidikan Islam Kemenag justru terus berupaya meningkatkan akses dan mutu pendidikan agama dan keagamaan. Banyak program afirmatif yang dilakukan. Keberadaan Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia (MAN IC) misalnya, sebagai madrasah unggulan terus dikembangkan hingga jumlahnya semakim banyak dan tersebar di berbagai provinsi.

“Pesantren salafiyah dan ma’had aly (perguruan tinggi di pesantren) juga kita rekognisi dalam bentuk penyetaraan atau muadalah. Pemerintah juga siapkan RUU Pesantren untuk memberikan afirmasi dan rekognisi bahkan fasilitasi pada tradisi dan kekhasan keilmuan di pesantren,” tuturnya.

“Sarana prasarana pendidikan tinggi keagamaan Islam Negeri (PTKIN) maju pesat. 58 PTKIN, semuanya memiliki gedung perkuliahan baru,” sambungnya.

Intinya, penguatan pendidikan agama dan keagamaan,  kata Kamaruddin, telah banyak dilakukan Kemenag. Tidak hanya fisik, penguatan itu juga dilakukan  pada aspek pengembangan SDM (beasiswa), kurikulum maupun penguatan proses belajar mengajar.

“Saya justru optimis, pendidikan agama ke depan di Indonesia akan semakin kuat dan berkualitas,” tandasnya. (Siaran Pers)

 

Tidak Semua Kejadian Viral Harus Dikomentari

Ada benarnya ungkapan:

“Manusia butuh waktu 2 tahun untuk belajar bicara, tetapi butuh waktu berpuluh-puluh tahun untuk belajar diam”

Adanya sosial media di saat ini memudahkan semua orang bisa kerkomentar tentang apapun. Terlebih apabila ada kejadian viral yang yang membuah heboh, padahal belum tentu berita itu benar (bisa jadi HOAX). Beberapa orang terdorong untuk segera men-sharing berita tersebut sekaligus memberikan komentar. Tidak jarang komentar tersebut adalah komentar yang tidak dibangun di atas ilmu karena yang berkomentar bukanlah ahlinya dalam bidang tersebut, sehingga terkadang memperkeruh suasana atau menimbulkan efek yang lebih buruk serta tidak memberikan solusi. Hal ini bisa jadi terdorong karena ingin sifat ingin selalu menonjolkan diri dan menjadi perhatian serta mencari ketenaran

Hendaknya kita berhati-hati dalam berkomentar dan menahan diri untuk berkomentar terhadap semua yang kejadian yang kita lihat dan kita dengar. Hendaknya kita perhatikan beberapa poin-poin berikut:

  1. Hendaknya kita paham bahwa terlalu banyak berbicara bisa mengeraskan hati. Camkan juga bahwa lisan adalah salah satu penyebab utama masuk ke neraka

Al-Fudhail bin Iyadh berkata,

خصلتان تقسيان القلب:كثرة الكلام وكثرة

“Ada dua perkara yang menjadikan hati menjadi keras: Terlalu banyak bicara dan terlalu banyak makan.” (Nuzhah Al-Fudhala’: 779)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يَضْمَنَّ لِي مَابَيْنَ لِحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

“Barangsiapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada di antara dua janggutnya (lisan) dan dua kakinya (kemaluan), maka kuberikan kepadanya jaminan masuk surga” (HR. Bukhari)

  1. Jika kita bukan ahlinya atau tidak berilmu mengenai hal tersebut, hendaknya kita tidak ikut memberikan komentar, apalagi komentar di sosial media dan publik

Jika yang berkomentar bukan ahlinya, maka akan timbul hasil atau pemikiran yang aneh dan memperkeruh suasana serta tidak memberikan solusi.

Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata,

من تكلم بغير فنه أتى بالعجائب

“Barangsiapa yang berbicara tentang sesuatu yang bukan bidangnya, maka ia akan memunculkan banyak keanehan” (Fathul Bari 3/584)

Perlu diperhatikan bahwa semua ucapan kita akan dipertanggung-jawabkan kelak. Allah berfirman.

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban” (Al-Israa : 36)

  1. Hendaknya kita hati-hati ketika men-share dan mengomentari kejadian atau berita, karena bisa jadi berita tersebut tidak benar atau berita HOAX.

Karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam menyifati sebagai pendusta orang yang selalu menceritakan apa yang dia dapat dan dia dengar.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah sebagai bukti kedustaan seseorang bila ia menceritakan segala hal yang ia dengar.”(HR. Muslim)

  1. Ketika ada berita yang terbukti kebenarannya pun, kita tidak boleh asal-asalkan menyebarkannya ke publik secara luas, karena tidak semua berita harus disebarkan ke publik dan manusia secara umum. Harus menimbang mashalahat dan mafsadatnya. Hal ini berlaku untuk berita baik maupun berita buruk.

 

Terdapat hadits bahwa ada kabar gembira dari Rasulullah shallallahu ‘aiahi wa sallam kepada Mu’adz bahwa semua orang yang yang bersyahadat (selama syahdatnya tidak batal) dengan JUJUR pasti Allah haramkan neraka baginya. Kemudian Mu’adz dengan semangat ingin menyebarkan, tetapi ditahan oleh beliau karena berita ini jika disebarkan pada saat itu dan kondisi itu akan membuat manusia malas beramal. Mu’adz pun menahan berita gembira ini dan menyampaikannya menjelang kematiannya.

Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, beliau mengisahkan bahwa suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memboncengkan Mu’adz di atas seekor binatang tunggangan (keledai bernama ‘Ufair). Nabi berkata, “Wahai Mu’adz.” Mu’adz menjawab, “Kupenuhi panggilanmu dengan senang hati, wahai Rasulullah.” Lalu Nabi berkata, “Hai Mu’adz.” Mu’adz menjawab, “Kupenuhi panggilanmu dengan senang hati, wahai Rasulullah.” Sampai tiga kali. Lalu Nabi bersabda, “Tidak ada seorang pun yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah secara jujur dari dalam hatinya kecuali Allah pasti mengharamkan dia tersentuh api neraka.” Mu’adz berkata, “Wahai Rasulullah, apakah tidak sebaiknya saya menyampaikan kabar ini kepada orang-orang agar mereka bergembira?”. Beliau menjawab, “Kalau hal itu disampaikan, nantinya mereka justru bersandar kepadanya (malas beramal)?”. Menjelang kematiannya, Mu’adz pun menyampaikan hadits ini karena khawatir terjerumus dalam dosa [akibat menyembunyikan ilmu] (HR. Bukhari dan Muslim)

  1. Ada baiknya kita diam ketika mendapatkan berita yang kita tidak punya ilmu dalam hal tersebut. Hendaknya kita serahkan kepada ahlinya atau yang berilmu baik dari kalangan umara’ mampun ulama serta para ilmuan.

Ini adalah perintah Allah dalam Al-Quran agar tidak langsung menyiarkan berita (lalu menambahkan komentar) lalu meimbulkan ketakutan dan kegaduhan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا جَاءهُمْ أَمْرٌ مِّنَ الأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُواْ بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلاَ فَضْلُ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاَتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلاَّ قَلِيلاً

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri) . Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).” (An-Nisa: 83)

Syaikh Abdurrahman bin Nasir As-Sa’diy rahimahullah menfsirkan ayat ini,

هذا تأديب من الله لعباده عن فعلهم هذا غير اللائق. وأنه ينبغي لهم إذا جاءهم أمر من الأمور المهمة والمصالح العامة ما يتعلق بالأمن وسرور المؤمنين، أو بالخوف الذي فيه مصيبة عليهم أن يتثبتوا ولا يستعجلوا بإشاعة ذلك الخبر، بل يردونه إلى الرسول وإلى أولي الأمر منهم، أهلِ الرأي والعلم والنصح والعقل والرزانة، الذين يعرفون الأمور ويعرفون المصالح وضدها. فإن رأوا في إذاعته مصلحة ونشاطا للمؤمنين وسرورا لهم وتحرزا من أعدائهم فعلوا ذلك. وإن رأوا أنه ليس فيه مصلحة أو فيه مصلحة ولكن مضرته تزيد على مصلحته، لم يذيعوه

“Ini adalah pengajaran dari Allah kepada hamba-Nya bahwa perbuatan mereka [menyebarkan berita tidak jelas] tidak selayaknya dilakukan. Selayaknya jika datang kepada mereka suatu perkara yang penting, perkara kemaslahatan umum yang berkaitan dengan keamanan dan ketenangan kaum mukminin, atau berkaitan dengan ketakutan akan musibah pada mereka, agar mencari kepastian dan tidak terburu-buru menyebarkan berita tersebut. Bahkan mengembalikan perkara tersebut kepada Rasulullah (pemerintah) dan yang berwenang mengurusi perkara tersebut yaitu cendikiawan, ilmuan, peneliti, penasehat dan pembuat kebijaksanan. Merekalah yang mengetahui berbagai perkara dan mengetahui kemaslahatan dan kebalikannya. Jika mereka melihat bahwa dengan menyebarkannya ada kemaslahatan, kegembiraan dan kebahagiaan bagi kaum mukminin serta menjaga dari musuh, maka mereka akan menyebarkannya. Dan jika mereka melihat tidak ada kemaslahatan [menyebarkannya] atau ada kemaslahatan tetapi madharatnya lebih besar, maka mereka tidak menyebarkannya.” (Taisir Karimir Rahmah hal 17)

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/43108-tidak-semua-kejadian-viral-harus-dikomentari.html

Saudaraku, Jaga Lisan dan Tanganmu

DARI Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya,. (HR Bukhari dan Muslim)

Seorang muslim hendaknya menegakkan hak Allah dengan benar, dan menunaikan hak sesama dengan benar pula. Dan menjadi kewajibannya adalah bergaul dengan orang lain tanpa menyakiti mereka, baik dengan lisannya maupun tangannya.

Seorang muslim adalah orang yang selamat dan menyelamatkan (aslam). Yakni selamat dari berbuat dzalim dan menyelamatkan orang lain dari perbuatan dzalimnya.

Perbuatan dzalim dapat melingkupi perbuatan, persangkaan, dan perkataan. Jangankan perbuatan, perkataan seseorang pun dapat mendatangkan mudharat atau melukai hati orang lain. Dan seorang muslim adalah orang yang orang lain dapat selamat dari lisan dan tangannya.

Di antara keburukan lisan manusia adalah tajassus (mencari-cari kesalahan oranglain), ghibah (menggunjing keburukan orang lain), berdusta dan menyebarkan kedustaan (termasuk hoax), mencela dan mengumpat orang lain.

Mencela dan mengumpat termasuk dengan menyebut orang lain dengan sebutan atau gelar buruk. Juga apa yang dilakukan sebagian orang di dunia maya dengan menuliskan atau menyebut orang lain dengan (akronim) umpatan anjg, bgsd, dan yang semisalnya.

Di antara kedzaliman yang dilakukan oleh tangan dan dapat menyebabkan tetangga atau orang lain terdzalimi adalah membuang sampah sembarangan. Membuang sampah sembarangan mengakibatkan pemandangan yang tidak rapi dan aroma yang tidak sedap. Tentu itu menyakitkan tetangga kita.

Pilar akhlak yang baik adalah menempatkan dan menggunakan lisan dan perbuatannya dengan benar. Sedangkan akhlak yang baik akan mengantarkan pelakunya kepada surga. Karena berakhlak baik adalah perintah Allah dan Rasul-Nya.

Allahu A’lam. [*]

 

INILAH MOZAIK

Kewajiban Minta Maaf Pelaku Hoaks kepada Objek yang Difitnah

Pimpinan Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong, KH Muhammad Hasan Mutawakil Alallah, menyatakan penyebaran hoaks merupakan dosa besar dalam perspektif agama.

Dia mengatakan, penyebaran hoaks guna menjatuhkan lawan politik merupakan cara yang tidak sehat.

“Hoaks itu mengancam juga keutuhan NKRI, kebersamaam, keragaman berakibat melemahnya kedaulatan rakyat, kewibawaan rakyat dan ini berlangsung terus,” kata Kiai Muhammad Hasan Mutawakil Alallah di Probolinggo, Ahad (27/1).

Pernyataan itu disampaikan Kiai Muhammad Hasan Mutawakil Alallah saat menerima kunjungan safari kebangsaan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ke Jawa Timur. Safari dipimpin oleh Sekretaris Jendral PDIP Hasto Kristiyanto dan Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat.

Kiai Muhammad Hasan kemudian mengimbau masyarakat ataupun pendukung pasangan calon manapun untuk menghindari penyebaran hoaks.

Dia mengatakan, ada tanggungjawab moral yang harus dipertanggunggjawabkan kelak di sisi Allah atas penyebaran hoaks tersebut.

“Di samping harus minta maaf juga kepada yang dirasani, yang dijelekkan,” katanya.

Kiai Muhammad Hasan menegaskan, penyebaran hoaks tidak dibenarkan dan tak diperbolehkan dalam ajaran agama apapun.

Penyebaran kabar bohong merupakan perbuatan tercela dan tidak baik dalam arti interaksi sosial dengan sesama masyarakat.

Secara terpisah, saat Harlah ke-73 Muslimat Nahdlatul Ulama (NU), Ketua Umum Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa menyatakan pihaknya menginisiasi dilakukannya deklarasi anti hoaks, anti fitnah, dan anti ghibah.

“Kalau anti hoaks, anti ujaran kebencian itu kan sanksinya di UU ITE. Tapi kalau ditambah lagi anti fitnah anti ghibah, ghibah itu bergunjing. Itu artinya ada sanksi yang bersifat spiritual,” katanya.

Oleh karena itu, ia berharap semuanya membangun diri secara produktif, pola pikir juga pola pikir konstruktif dan pola pikir positif.

“Saya rasa itu akan menjadi bagian dari fondasi untuk menjadi bangsa yang besar kokoh kuat dan berkemajuan,” katanya.

Hadir pada kesempatan itu Ketua Panitia Penyelenggara Harlah Muslimat NU ke-73 Yenny Wahid, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, dan Gubernur DKI Anies Baswedan.

Jihad Memberantas Hoax

Medsos di zaman sekarang memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Namun sayangnya, banyak sekali medsos sekarang ini berisi sampah berupa berita-berita hoax yang tidak jelas sumbernya sehingga menimbulkan kekacauan dan kegaduhan.

Oleh karenanya, kita harus cerdas menyikapi hal ini agar tidak menjadi korban hoax.

Islam mengajarkan kepada kita agar selektif dalam menyikapi berita, sebab tidak semua berita yang terima mesti benar adanya sesuai dengan fakta, lebih-lebih pada zaman sekarang di mana kejujuran sangat mahal harganya.

Ibnu Baadis mengatakan, “Tidak semua yang kita dengar dan kita lihat harus diyakini oleh hati-hati kita, namun hendaknya kita mengeceknya dan memikirkannya secara matang. Jika memang terbukti dengan bukti nyata maka kita mempercayainya, namun jika tidak maka kita meninggalkannya.” (Ushul Hidayah hln. 97

Dalam al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan sebuah prinsip dasar dalam menyikapi sebuah isu yang beredar dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (QS Al-Hujurat [49]: 6)

Asy-Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab berkata, “Ketahuilah dan renungkanlah ayat ini baik-baik.” (Ad Durar Saniyyah 1/35)

Di dalam ayat ini terdapat pelajaran berharga bagi setiap mukmin yang perhatian terhadap agama dalam berinteraksi dengan saudaranya seiman, hendaknya selektif terhadap hembusan isu yang bertujuan untuk meretakkan barisan, memperuncing api permusuhan, dan memperlebar sayap perpecahan.

Lebih-lebih lagi jika hal itu menyangkut kehormatan negara, pemerintah, atau ulama maka sikap selektif harus lebih ditingkatkan.

Alangkah bagusnya apa yang dikatakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar, “Diharuskan bagi seorang yang ingin menilai suatu ucapan, perbuatan, atau golongan untuk berhati-hati dalam menukil dan tidak memastikan kecuali benar-benar terbukti. Tidak boleh mencukupkan diri hanya pada isu yang beredar, apalagi jika hal itu menjurus kepada celaan kepada seorang ulama.” (Dzail Tibril Masbuk hlm. 4 karya As Sakhowi)

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/44396-jihad-memberantas-hoax.html

Alasan Mengapa Saudi Tolak Paspor Israel

Larangan paspor Israel menjadi salah satu isu penting dalam hoaks terkait larangan haji buat warga Palestina. Sejak 1948 Kerajaan Arab Saudi tidak mengakui negara Israel, demikian pula halnya dengan negara-negara Islam lainnya yang tidak mengakui negara tersebut hingga hari ini.

Peneliti Center for Research & Intercommunication Knowledge (CRIK) Arab Saudi Dr Ali Mauof menjelaskan, di antara negara-negara Islam yang tidak mengakui Israel adalah Indonesia. Sikap tidak mengakui negara Israel tersebut diikuti dengan kebijakan tidak mengakui paspor negara itu ketika masuk ke Arab Saudi.

“Sistem ini juga berlaku di Indonesia, di mana tidak dibenarkan bagi pemegang paspor Israel untuk masuk ke Indonesia kecuali ketika perpindahan pesawat saja (transit),” kata dia dalam keterangannya kepada Republika.co.id, Jumat (21/12).

Bahkan, kata dia, Arab Saudi melarang keras warganya untuk mengunjungi Israel. Larangan ini dikeluarkan dalam upaya mendukung kemerdekaan Palestina yang diinisiasi Kerajaan Arab Saudi dan negara-negara Arab Islam lainnya.

Dia mengatakan, kendati tidak mengakui paspor negara Israel untuk memasuki Arab Saudi, namun guna memperhatikan kondisi umat Islam Palestina yang memegang paspor Isreal dan untuk memudahkan mereka agar bisa mengunjungi tanah suci dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu, Kerajaan Arab Saudi telah sepakat untuk memberikan jalan keluar yang tepat.

Oleh karena itu, ungkap dia, Yordania memberikan izin bagi jamaah haji Palestina yang memegang kewarganegaraan Isreal untuk memperoleh paspor Yordania sementara, sehingga mereka diizinkan masuk ke Arab Saudi guna menunaikan haji dan umrah.

Dia menyayangkan sejumlah surat kabar telah mengubah isu sistemik ini menjadi isu politik. Tidak berhenti sampai di situ. Beberapa surat kabar lainnya bahkan mencitrakan Kerajaan Arab Saudi sebagai sebuah negara kriminal dalam kasus ini dengan menggambarkan bahwa Arab Saudi ingin menaturalisasi orang-orang Palestina di negara-negara di luar Palestina.

“Hal demikian dinyatakan tanpa bukti apa pun, bahkan tanpa meminta keterangan dari negara yang berhubungan langsung dengan masalah ini yaitu Kerajaan Arab Saudi,” tutur dia.

Tak ayal, imbuh Ali beberapa surat kabar di Indonesia pun ikut tertipu dengan berita-berita bohong dan palsu itu, yang nyatanya tidak berasal dari satupun sumber resmi yaitu lembaga yang memiliki hubungan dengan urusan kunjungan, deportasi, dan migrasi dalam salah satu negara yang disebutkan dalam berita-berita bohong tersebut. Khususnya dari negara yang berhubungan langsung, yaitu negara yang di dalamnya terdapat dua masjid suci, yaitu Kerajaan Arab Saudi.

Padahal, kata dia, sudah menjadi tugas media yang kredibel dan profesional ketika merilis berita-berita semacam ini dari sumber mana pun agar mendatangi lembaga-lembaga resmi yang bertanggung jawab di negara yang bersangkutan untuk melakukan konfirmasi.

Singkatnya, kata dia, inilah hal paling minimal yang wajib dilakukan  media-media ini, terlebih lagi ketika media-media tersebut berada di tengah masyarakat yang memiliki tataran nilai Islam yang tinggi seperti masyarakat Indonesia.

Sebab, masyarakat Muslim yang taat dengan nilai-nilai Islam yang toleran dan prinsip-prinsip Islam yang mulia seperti masyarakat Indonesia mengetahui firman Allah dalam Alquran: “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (QS Al-Hujuraat: 6)

Dia menyebutkan, kabar bohong Arab Saudi telah menormalisasi hubungannya dengan Israel menyebar di berbagai kawasan, termasuk Indonesia. Sejumlah media yang beroposisi dengan pemerintahan Arab Saudi menyebarkan berita tentang tidak diizinkannya orang-orang yang memegang paspor Israel untuk masuk ke Arab Saudi dalam sebuah upaya menjelekkan citra Kerajaan Arab Saudi di kalangan masyarakat Muslim, khususnya dalam hal manajemen haji.

Dia mengatakan, berita-berita bohong tersebut tersebar dalam bentuk bahwa pemerintah Arab Saudi melarang orang-orang Palestina untuk beribadah haji. Orang-orang yang menunggangi upaya menjelek-jelekkan ini mengambil keuntungan berupa simpati publik yang besar dari negara-negara Islam terhadap orang-orang Palestina dan masalah Palestina.

“Akan tetapi, simpati saja tidak cukup untuk sampai kepada kebenaran,” tutur dia.

Menurut dia, sekiranya surat kabar-surat kabar yang menyebarluaskan berita-berita bohong khususnya di negara-negara Islam itu menahan diri dan berpikir tentang hal tersebut, niscaya mereka akan menyadari bahwa target tersembunyi dari upaya itu adalah untuk memberikan tekanan kepada Kerajaan Arab Saudi guna mengakui Isreal dan paspor Israel.

Selain itu, kata dia, berbagai surat kabar yang tertipu dengan kebohongan-kebohongan tersebut juga akan menyadari bahwa mereka telah ikut terlibat tanpa sadar dalam tekanan ini guna mewujudkan target tersembunyi tersebut.

Ali menegaskan, berita-berita bohong tersebut datang dari sumber-sumber informasi yang sama dan dari media-media serupa untuk menentang kebohongan-kebohongan sebelumnya yang diciptakan media-media informasi itu sendiri, bahwa Kerajaan Arab Saudi memimpin upaya normalisasi hubungan dengan Israel.

Dia mengutip pepatah Arab: Tali kebohongan itu pendek. Sumber-sumber yang menyebarluaskan berita-berita bohong sejak beberapa bulan yang lalu bahwa Arab Saudi menormalisasi hubungannya dengan Israel, pada hari ini mengatakan sesungguhnya Arab Saudi menghalang-halangi orang-orang Palestina untuk beribadah haji dikarenakan mereka adalah pemegang paspor Israel.

Lihat, kata Ali, bagaimana mungkin Arab Saudi menormalisasi hubungannya dengan Israel, sementara pada saat yang sama mereka menghalang-halangi umat Islam yang memegang paspor Israel untuk masuk ke negaranya guna beribadah haji dan tujuan-tujuan lain di luar haji?

“Jelas, tidak mungkin bersatu antara upaya menormalisasi hubungan bilateral dengan sikap tidak memberikan pengakuan terhadap paspor sebuah negara,” kata dia.

REPUBLIKA

HOAX, Jemaah Haji Khusus Diimbau segera Lunasi Biaya Haji

Jakarta (Kemenag) — Beredar di media sosial, surat berkop Kementerian Agama yang berisi permintaan agar jemaah haji khusus segera melakukan pelunasan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) khusus tahun 1440H/2019M.

Dalam surat bertanggal 27 November 2018 tersebut juga tertulis arahan agar Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) segera menyelesaikan administrasi calon jemaah haji khusus yang akan berangkat dan masuk cadangan. Caranya, dengan menghubungi Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus Arfi Hatim di no 08126849971.

Arfi Hatim selaku Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus memastikan kalau surat itu palsu alias hoax. Dari sisi struktur dan tata naskah, surat imbuan tersebut salah dan tidak benar. Hal itu sudah menjadi salah satu bukti bahwa surat edaran tersebut hoax.

“Abaikan saja. Itu jelas hoax,” jelas Arfi saat dikonfirmasi melalui pesan singkat, Selasa (27/11).

Kemenag mengimbau masyarakat ataupun PIHK tidak tertipu dengan hal-hal seperti itu. Menurut Arfi,  persiapan penyelenggaraan haji masih di tahap awal. Kemenag bahkan belum menerbitkan Keputusan Menteri Agama (KMA) tentang kuota, baik reguler maupun khusus. Setelah itu,  baru akan diterbitkan KMA tentang BPIH Khusus, lalu dikeluarkan Keputusan Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) tentang Pelunasan BPIH Khusus.

“Jadi KMA BPIH khusus 2019, belum diterbitkan, bagaimana akan melakukan pelunasan,” tukas Arfi.

Sambil menunggu itu, Kementerian Agama saat ini sedang melakukan proses akurasi data pendaftaran haji khusus. Proses ini akan berlangsung dari 16 November – 7 Desember 2018. Pengecekan itu dilakukan sampai nomor porsi 3000759964, ditambah untuk kuota cadangan sebesar 20% atau sebanyak 3.132 (3000763743)

“Untuk memantau perkembangan persiapan haji 1440H/2018M, jemaah bisa mengakses website Ditjen Penyelenggaran Haji dan Umrah, www.haji.kemenag.go.id,” tutupnya. (Humas)

KEMENAG RI

Hukum Penyebar Hoax

Kami ingin menanyakan, bagaimana hukum orang yang menyebarkan berita hoax di media sosial? Bagaimana juga hukum orang yang menyebar luaskannya padahal ia tidak mengetahui berita itu sejatinya adalah bohong. Terima kasih (Astrid, 085790226xxx).

Jawaban:

Hoax adalah kebohongan yang dibuat dengan sengaja untuk berpura-pura menjadi sebuah kebenaran. Dalam Islam terdapat istilah “khabar, qila wa qala”. Bahkan dalam Ilmu Hadis terdapat istilah “hadis mawdlu’ (hadis palsu)”.

Di antara ciri-ciri berita hoax adalah semua kata-katanya sama pada semua situs. Karena hanya copy paste dari situs satu ke situs lainnya. Selain itu semua hoax sumbernya tidak jelas dan isinya terkesan mengada-ada atau dibesar-besarkan dan beritanya tidak jelas.

Dalam Islam, khabar (berita) mengandung dua kemungkinan. Yaitu benar (shidq) dan salah (kidzb). Istilah “qila wa qala : katanya” dimaksudkan untuk menggambarkan berita yang tidak jelas sumbernya. Dalam Ilmu Hadis, sumber berita yang tidak jelas sumbernya itu diungkapkan dengan kata “an : dari”. Sebagai sebuah ungkapan yang menunjukkan sumber yang tidak jelas. Atau bahkan terputus persambungan sumber beritanya. Sehingga dalam hal itu, berita tidak boleh diterima sebagai berita yang benar (sahih). Oleh sebab itu, terhadap setiap berita, terutama persoalan agama, dihadapi dengan sikap yang sangat ketat dan selektif dalam menerima berita. Bahkan harus dilakukan klarifikasi (tabayun).

Menyebarkan hoax di medsos merupakan tindakan gegabah. Karena tanpa klarifikasi terlebih dahulu. Alquran surat al-Hujurat ayat 6 menyebutkan : “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.

Menyebarkan berita hoax  berdampak negatif. Di antaranya adalah saling mencaci-maki, menggunjing, terpecahnya suatu kelompok, dan tersebarnya fitnah. Allah melarang mencaci maki sebagaimana pada QS. Al-Hujurat, 11: “hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”.

Larangan pada ayat itu sebagaimana dalam hadis riwayat Imam Muslim dari ‘Abd Allah ibn Mas’ud sebagaimana pada bab tahrim al-kibr wa bayanih, Rasul Allah SAW bersabda : “…. kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia”. Jika merendahkan sesama manusia adalah kesombongan, dan kesombongan sekecil apapun menghalangi masuk surge, sebagaimana pada awal hadis itu, maka hal ini dihukumi haram sebab terdapat ancaman tidak masuk surga.

Perbuatan saling ghibah (menggunjing atau menceritakan kejelekan orang lain) juga dilarang Allah Ta’ala, sebagaimana pada QS. al-Hujurat, 12 : “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”.

Menyebarkan berita hoax dalam kajian hukum Islam merupakan perantara (wasilah) seseorang melakukan perbuatan dosa. Sedangkan wasilah dihukumi sebagaimana tujuan (maqasid) dilakukannya. Yaitu munculnya dampak negatif, yang jelas diharamkan, sebagaimana uraian di atas, di antaranya saling mengolok-olok atau mencaci maki, menggunjing, terpecahnya suatu kelompok dan tersebarnya fitnah. Keterangan itu menunjukan, bahwa semua  perantara, dalam hal ini menyebarkan berita hoax, dihukumi sama dengan tujuan, yaitu larangan menggunjing dan yang lainnya. Dari kaedah ini dapat kita ketahui, bahwa hukum menyebarkan berita hoax adalah haram, seperti keharaman menggunjing dan keharaman yang lainnya. Karena itu, kita harus berhati-hati dalam menerima berita, dengan melakukan pelacakan sumber berita dan klarifikasi terlebih dahulu. Baru berita boleh dan tidak harus diinformasikan kepada orang lain, setelah melakukan klarifikasi. (Khamim dosen pengajar IAIN Kediri).

RADAR KEDIRI