Serba-serbi Haji (23): Mat ‘Robot’ Kelor Mendarat

TEPAT saat pesawat yang kami tumpangi mendarat menyapa tanah air Indonesia, air mata Mat Kelor deras mengalir. Awalnya dia sesenggukan pelan, kemudian semakin menderu.

Saya memeluknya, dia berkata: “Saya ini anak orang tak punya, saya diperkenankan haji. Allaaah.” Saya cuma berbisik untuk selalu bersyukur. Baju yang dikenakannya semenjak dari Madinah, yakni 5 lapis baju tetap dikenakannya. Entah sumuk atau tidak, nyaman atau tidak. Namun bahagia hati mampu menepis semua ketaknyamanan sebagaimana hati yang gelisah tak kan mampu menikmati kenyamanan.

Saya berusaha membuatnya tersenyum biar wajahnya menjadi berseri. Saya ceritakan kepada Mat Kelor sebuah kisah lucu di pemeriksaan X-Ray bandara Madinah. Seorang nenek 83 tahun membuat bingung polisi bandara gara-gara setiap memasuki gerbang pemeriksaan selalu saja berbunyi tanda ada barang yang dilarang terbawa olehnya. Padahal sabuk, sandal, gelang, cincin dan semua yang mengandung besi tembaga sudah dicopotnya. Polisi curiga dan marah-marah dalam bahasa Arab. Nenek itu diam karena tak paham. Diam dan kemudian memanggil saya sambil menangis sampai mulutnya menganga lebar.

Dari situ saya baru tahu penyebabnya mengapa nenek itu tak lolos-lolos pemeriksaan. Lalu saya sampaikan ke polisi. Tahu apa sebabnya? Ternyata gigi-gigi nenek itu hampir semua berlapis emas dan tembaga, khas orang kaya jaman dulu. Tak mungkin dicopot sebelum masuk gerbang. Polisi itu tertawa ngakak sampai guling-guling. Di Arab tidak ada model begini kata mereka. Mendengar cerita ini, Mat Kelor tertawa sambil menghapus air matanya.

Ketika antri pengambilan bagasi, Mat Kelor bersedih kembali. Saya heran mengapa Mat Kelor yang lucu, periang dan ekstrovert menjadi melow. Rupanya satu bagasi yang full oleh-oleh tak ada. Di dalamnya ada cermin, kurma dan minyak wangi. “Yang kusedihkan adalah gagalnya diriku untuk membahagiakan orang-orangku di kampung,” ucapnya.

Orang-orang sudah mulai meninggalkan lokasi pengambilan bagasi. Mat Kelor kumat-kamit membaca “mantra” berbahasa Madura, mantra yang hanya boleh dibaca saat kepepet, katanya. Tiba-tiba, kardus oleh-oleh itu terlihat ada bersama istrinya, tertutupi kakinya yang diangkat ke atas kardus itu karena ngilu asam uratnya naik. Mat Kelor tersenyum.

Nenek dengan gigi emas tadi ketemu lagi dengan saya dan saya kenalkan dengan Mat Kelor. Mat Kelor berbincang agak serius dengan nenek itu. Entah tentang apa. Lalu dia memuji kesungguhan semangat ibadah nenek itu. Nenek itu menjawab singkat: “Syukran.” Mat Kelor membalas: “Hambali.”

Nenek itu sebelum berpisah berkata dengan nada sedih menahan rasa: “Nak, sekarang aku siap mati, aku ridla dipanggil Allah. Aku sudah sowan ke rumahNya. Kemaren-kemaren aku tidak siap. Masak saya tinggal di bumiNya gratis sekian lama tapi tak mau bertamu ke rumahNya padahal saya mampu.” Kami terharu dengan kata-kata nenek itu. Mat Kelor kembali meneteskan air mata. Tiba-tiba nenek itu pingsan, dan sekarang masih dirawat di klinik bandara.

“Semoga cepat sembuh nenek. Semoga semua orang yang sudah mampu berhaji segera berhaji seperti nenek.” Kami melanjutkan terbang ke Surabaya. Mat Kelor berkata bahwa dalam waktu tak lama akan sowan ke rumah nenek mau membiayai total pemeriksaan dan pengobatan nenek. Saya belum tahu alasannya mengapa Mat Kelor sayang sekali pada nenek padahal baru pertama berjumpa. Memang ada beberapa kesamaan wajah sih di antara keduanya. Sepertinya ada yang ada yang misteri. Besok saya akan tanya Mat Kelor. Selamat datang di Juanda ya Pak Haji Mat Kelor. Salam, AIM. [*]

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Serba-serbi Haji (22): Mat Kelor Menjadi Robot

MAT Kelor dan isteri memang berjiwa sosial sekali. Tadi pagi adalah hari terakhir baginya di tanah suci. Sejak pagi saya tak melihat ujung hidungnya. Ternyata dia dan isterinya keliling toko dan pasar untuk menambah oleh-oleh. Padahal sudah ada beberapa kardus yang dikirimkannya via cargo.

“Wajah sanak kerabat dan tetangga hadir semua dalam bayangan saya. Tak nyaman hati ini jika tak berbagi oleh-oleh sementara setiap malam mereka mengaji dan berdoa mendoakan saya,” katanya beralasan.

Iya, benar. Tradisi di Madura memang unik. Orang naik haji itu memerlukan biaya relatif besar: selamatan keberangkatan haji, selamatan tiap malam selama berada di tanah suci, dan selamatan pulang haji. Bisa-bisa, tiga selamatan itu menghabiskan sapi satu kandang bahkan lebih. Karena itulah maka haji di Madura punya makna dan nilai yang mungkin saja berbeda dengan daerah lain. Bukan masalah relijiusitas semata, namun memiliki makna sosial dan kultural. Butuh satu semester untuk membahas “the socio-anthropological aspects of pilgrimage” masyarakat Madura.

Benar saja. Setibanya di bandara, Mat Kelor kebingungan mengatur bagasi yang overload, kelebihan timbangan. Berat timbangan barang dan timbangan badan memang menjadi isu sensitif di akhir prosesi haji. Tiap jamaah hanya dibatasi 2 koper bagasi masing-masing 23 kg untuk kelas ekonomi dan 30 kg untuk kelas bisnis. Mat Kelor agak galau dan mundur dari antrian untuk mengatur isi bagasinya.

Lalu, istri Mat Kelor maju ke counter untuk membawa dan menimbang kembali koper-koper itu. Alhamdulillah lolos, hanya lebih setengah kilo. Dia ditoleransi petugas. Namun, Mat Kelor tak tampak, diduga sedang berada dalam toilet. Menjelang antri imigrasi Mat Kelor menampakkan diri dengan tampilan aneh.

Dia tampak sangat gemuk dan sulit berjalan. Persis seperti robot. Setelah diamati, ternyata dia memakai baju 5 lapis dan celana dua lapis. Semua jamaah tertawa. Ketika ditanya mengapa, dia berkata: “Baju ini kukeluarkan dari koper yang kelebihan berat tadi. Mau dibuang sayang, ada barakah Mekah Madinah di baju dan celana ini. Aku pakai saja.” Diapun melangkah pelan-pelan. Semua mata memandang padanya. Mat Kelor semakin terkenal.

INILAH MOZAIK

Serba-serbi Haji (21): Silat ada di Tanah Suci?

PERTANYAAN tersebut sepertinya sudah lama bersarang di kepala Mat Kelor. Wajar saja kalimat tanya itu muncul darinya karena Mat Kelor itu sesungguhnya adalah aktifis pencak silat Madura yang dikenal dengan istilah “pencak pamor.”

“Pencak pamor adalah seni bertarung dengan gaya yang indah, elastis dan berwibawa,” kata Mat Kelor suatu malam saat ditanya polisi tentang apa yang dipraktekkan.

Ceritanya di suatu malam Mat Kelor ingin berkeringat karena badannya terlalu lama diam. Lalu dia berolahraga pencak silat itu. Baru masuk jurus ketujuh, polisi datang dikira ada yang berkelahi. Mat Kelor ditanya-tanya, saya terjemahkan dan polisi minta supaya adegan diulangi lagi untuk ditontonnya. Polisi Arab itu berkata: “Bagus. Tapi di sini tidak ada model begini karena di tanah suci tidak ada yang berkelahi. Paling parahnya bertengkar adalah bentakan dengan suara keras.” Akhirnya Mat Kelor mendapatkan jawaban.

Olah raga malam itu selesai. Namun Mat Kelor bertanya-tanya lagi, jangan-jangan pencak silat itu populer di negara yang kasus perkelahian juga populer. Saya hanya diam. Saya bersyukur di Asean Games kemaren cabang olahraga pencak silat memboyong banyak medali emas. Semoga bukan indikasi bahwa Indonesia jago berkelahi.

Tadi pagi, Mat Kelor hampir saja berkelahi saat plastik berisi air zamzam yang dibawanya dari masjid dengan di”sunggi” atau diletakkan di atas kepalanya dicoblos oleh orang Arab sambil ketawa-ketawa. Bagi orang Madura, air zamzam adalah air suci, membawanya harus hati-hati.

Saat marahnya memuncak hampir saja jurus silatnya keluar. Namun, dia ingat akan kata polisi bahwa di Arab tidak ada kelahi, paling kerasnya adalah bentakan keras. Mat Kelor mau membentak, tapi tak tahu cara mengungkapkannya dalam bahasa Arab. Mau memakai bahasa Madura atau Indonesia ya percuma saja orang Arabnya tidak akan paham.

Mat Kelor semakin marah melihat orang Arab itu terus cekikikan bersama temannya. Wajah Mat Kelor yang aslinya sudah hitam karena bersahabat dengan matahari gunung itu berpadu dengan aura merah di putih matanya. Didatangi orang Arab itu, dipegang leher bajunya kemudian dibentaknya dengan puncak oktav suara: “MAN RABBUKA.”

Orang Arab itu ketakutan dan minta maaf lalu lari. Terdengar kata-kata orang Arab itu pada temannya yang ikut lari: “Jangan-jangan orang itu temannya malaikat Munkar dan Nakir.” Saya tertawa, hahahaha. Apakah Anda tertawa juga? Kalau tidak: “MAN RABBUKA?” Salam, AIM. [*]

INILAH MOZAIK

Serba-serbi Haji (19): Unta Tak Punya Perasaan?

ISLAM mengajarkan kasih sayang pada binatang. Manusia sering menganggap binatang itu tak punya akal dan perasaan. Tak pernahkan melihat sapi meneteskan air mata saat disembelih? Tak pernahkah menyaksikan ayam dan kambing mengamuk melawan yang mengganggu diri dan keluarganya?

Mat Kelor punya pengalaman yang layak didengarkan. Kisah nyata saat ke Jabal Magnet bersama rombongan berhenti di kandang peternakan unta. Ingin coba merasakan nikmatnya air susu unta yang masih segar, fresh from the “source”nya. Semua penumpang turun menyaksikan pemilik unta memeras susu unta itu. Ternyata tak langsung main peras. Dielus-elus dulu punggungnya, si unta memberikan isyarat siap, lalu diperas, mengucur deras itu susu. Subhanallah. Semua membutuhkan cara dan kasih sayang.

Mat Kelor maju ingin mencoba memerasnya. Dia mengelus unta itu, si unta melirik. Dia memeras susu unta itu, untanya menendangnya. Semua rombongan tertawa terbahak-bahak. Ada yang bilang: “Walau pun unta, dia tahu hukum oy, belum ijab kabul tak mau dipegang.” Ada yang nyeletuk pula: “Hahaha, tangan pemilik dan tangan tamu terasa beda oleh unta. Unta juga punya perasaan.” Suasana jadi ramai, tapi semua anggota rombongan sudah merasakan nikmatnya susu unta.

Cerita lucu dan gojlokan ternyata tak berhenti di sana. Dalam perjalanan lanjutan di dalam mobil, Mat Kelor tetap menjadi bahan pembicaraan dan candaan. Mat Kelor hanya diam. Sesekali tersenyum tipis. Lalu dia berkata ringan: “Jangan terlalu keras sindir-sindir saya. Kita semua kan saudara sepersusuan. Yakni sama-sama menyusu pada satu unta. Sesama saudara dilarang saling buka aib dan malu.” Semua tertawa lagi, lalu diam.

Sayapun diam dan berupaya mengambil hikmah: semua ada caranya, semua ada aturannya, kasih sayang diperlukan siapa saja, senasib seperjuangan jangan saling olok dan bertengkar. Untung saya tidak ikut minum susu unta itu. Hahaaa.

 

INILAH MOZAIK

Serba-serbi Haji (18): Tantangan Cium Hajar Aswad

SIAPA yang tak ingin cium hajar aswad, beberapa keping batu surga yang disatukan dan terletak di salah satu pojok ka’bah itu? Pojok hajar aswad menjadi pojok yang paling ramai. Kata “berlomba” lebih tepat digunakan dari pada kata “antri” untuk menggambarkan kedahsyatan rebutan mencium batu hitam itu.

Orang-orang bertubuh besar sangatlah menyulitkan orang-orang bertubuh kecil tipikal kebanyakan jamaah Indonesia. Namun ada juga jamaah Indonesia yang berhasil mencium hajar aswad itu.

Seorang jamaah yang bertubuh mungil asal Madura, Mat Tellor namanya, berhasil menyelinap di antara ketiak orang-orang bertubuh besar itu. Tekniknya mudah, cukup membuat geli ketiak orang besar-besar itu maka jalan kepala menjadi terbuka. Kami yang mendengar kisah perjuangan Mat Tellor tertawa.

Lalu, banyak teman yang menantang Mat Kelor untuk bisa cium hajar aswad. Hadiahnya menarik, umroh gratis. Mereka yang memberikan tantangan ini tak yakin bahwa Mat Kelor yang kalem dan tubuhnya tak kecil akan selincah Mat Telor. Namun, Mat Kelor menerima tantangan itu. Hitung-hitung, hadiah UMROH.

Setelah makan siang, Mat Kelor berangkat menuju Masjid dengan membawa tongkat. “Dia agak sakit kaki mungkin,” duga teman-temannya. Teman-temannya mendampingi sebagai saksi. Rupanya Mat Kelor salah duga. Setelah makan siang, walau panas menyengat ternyata jamaah penuh di halaman masjid. Mat Kelor tak langsung ke Masjid, dia menuju toko kacamata sebelah mall. Dia membeli kaca mata hitam. “Untuk menahan panas,” duga teman-temannya. Mat Kelor cuma diam saja.

Masuklah Mat Kelor ke dalam masjid lalu mulai ikut thawaf. Temannya terus mengikuti dan mengamati apa yang akan dilakukan Mat Kelor untuk cium hajar aswad. Kira-kira jarak 2 meter dari hajar aswad, Mat Kelor berlagak seperti orang buta, tongkatnya dipindah-pindah seperti mencari jalan, matanya dengan kaca mata hitamnya tolah toleh ke atas ke bawah ke kanan dan ke kiri persis orang buta sambil teriak: “Allaaaah, thariq thariq thariq.” Banyak orang yang kasihan kepadanya dan bahkan polisi (Askar) penjaga kabah membantunya membuka jalan dan menuntunnya sampai mencium hajar aswad.

Tersenyumlah Mat Kelor, lalu pergilah dia dengan melepas kacamata hitamnya. Orang-orang pada melongo. Ada yang tertawa dan ada pula yang jengkel. Lalu pulanglah Mat Kelor untuk bertemu Sang Penantang. Mat Kelor ditantang. Ada yang mau coba trick ini? Dosa apa tidak?

 

KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Serba-serbi Haji (17): Jangan Merasa Lebih Unggul

RASULULLAH yang menyatakan pada waktu haji Wada’ bahwa tak ada keutamaan orang Arab atas non Arab. Keutamaan seseorang itu ditentukan oleh kadar ketakwaannya.

Dalil ini dihafal betul oleh Mat Kelor semenjak dia mendengarnya dari khatib khutbah Arafah. Maka dia tak pernah kecil hati terlahir sebagai orang Madura dari kampung terpencil di desa terpencil. “Tuhan kita sama, mari berlomba untuk lebih dekat,” ujarnya dengan semangat.

Tadi pagi Mat Kelor terlibat dalam sebuah diskusi yang agak mengolok-ngoloknya sebagai orang Madura. Saya tak tahu asal-muasalnya. Namun Mat Kelor berkata bahwa orang Madura itu pekerja keras dan yakin bahwa dunia ini memang milik Allah, Tuhan mereka. Karena itu orang Madura itu ada di mana-mana termasuk di Saudi ini. Tak masalah bahwa pekerjaannya adalah pekerjaan “bawahan” yang penting penghasilannya “atasan.” Orang-orang tertawa mendengar pilihan kata atasan bawahan itu.

“Bagaimana kok bahasanya kok gak jelas Pak Haji,” kata sebagian pendengar. Mat Kelor menjawab: “Begitulah ciri khas orang Madura kalau bicara bahasa Indonesia, yang penting kalian paham. Lagian bahasa itu kan berubah-ubah. Dulu orang tulis “okay” lalu menjadi “oke” lalu menjadi “ok.” Semakin pendek kan?” Orang-orang tertawa.

Banyak yang heran akan pengamatan Mat Kelor tentang perkembangan bahasa. Belajar dari mana dia. Mat Kelor semakin percaya diri menjelaskan bahasa bagi masyarakat Madura bahwa orang Madura istiqamah memberikan E di awal banyak kata.

Itu punya makna tersembunyi, katanya. SIP menjadi ESSIP, TEH menjadi ETTEH, TEST menjadi ETTEST, SAH menjadi ESSAH, dan sebagainya. “Tapi tak sembarangan, ada grammarnya. Nikmati keragaman, jangan saling menghina,” tutup Mat Kelor. Sebagai pendengar, saya nyeletuk: “Essiiiiip.” Semua tertawa.

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

INILAH MOZAIK

 

 

Serba-serbi Haji (16): Mendadak Masuk Rumah Sakit

TADI malam Mat Kalor harus ke rumah sakit mengantarkan tetangga kamarnya yang mengalami migrain berat semenjak tiba di tanah suci. Saat di Indonesia, sepasang suami istri ini tak pernah mengalami migrain alias sakit kepala seberat ini. Sebagai orang desa, biasanya dengan minum obat bintang tujuh sakit kepala sudah beres. Migrain kali ini unik, tidak sembuh-sembuh.

Sepasang suami istri ini berembuk dengan Mat Kelor tentang hal ini. Dugaan mistik pun muncul, jangan-jangan selama di Indonesia sering membuat tetangga sakit kepala. Dugaan lainnya adalah masalah menu makanan, jangan-jangan makanan Arab tak cocok untuk tubuhnya. Mau ke dokter, dana terbatas karena sudah dihabiskan belanja oleh-oleh untuk anak cucu, kerabat dan tetangga. Mat Kelorlah yang kemudian menanggung biaya ke rumah sakit.

Walau tak berbekal bahasa Arab yang cukup selain SYUKRON dan HAMBALI, Mat Kelor nekat ke rumah sakit demi sahabat. Sahabat yang baik adalah yang mau menanggung derita sahabatnya, ujarnya. Setelah cek kesehatan lengkap, ternyata tak ditemukan kelainan apapun. Maka dugaan mistik kembali semakin menguat. Dalam perjalanan pulang dari rumah sakit, Mat Kelor usul untuk sowan ke Kiai yang kebetulan masih ada di Mekah. Kata Mat Kelor, kiai ini biasa melihat masalah dengan berbagai pendekatan.

Saat menghadap Sang Kiai, sepasang suami isteri itu sibuk menghubungi semua keluarganya di tanah air mengabarkan penyakitnya dan kekhawatirannya. Kelihatan dari cara menelponnya bahwa mereka itu masih baru punya hape. Suaranya agak nyaring setengah teriak-teriak karena lawan bicaranya jauh ada di Indonesia.

Cara mengetik keyboardnya pun masih kaku. Jam sudah menunjukkan jam 23.00 (sebelas malam). Kiai itu langsung berkata: “Tolong ya malam ini Hapenya titip ke saya. Ada syetannya di hape itu.” Langsung saja mereka taat dan menyerahkan hape itu. Lalu disuruh pulang, wudlu ‘ dan rebahan di kamarnya.

Barusan, Mat Kelor laporan bahwa mereka tidur nyenyak. Bahkan setelah subuh tidur lagi. Mat Kelor bertanya tentang syetan di hape itu. Kiai menjawab: “Juallah hape smartphone itu dan ganti dengan hape jadul yang biasa yang tak berinternet, maka dia akan rukun dan tidur nyenyak.” Mat Kelor tersenyum paham. Mat Kelor berterimakasih kepada kiai itu, “SYUKRON.” Kia menjawab: “HAMBALI.”

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

INILAH MOZAIK

Serba-serbi Haji (15): Pahami Bahasa dan Budaya

MENGUNJUNGI negeri asing itu memerlukan pengetahuan tentang bahasa dan budaya negeri itu yang sangat mungkin berbeda banyak dengan bahasa dan budaya di negeri sendiri. Di Saudi Arabia, memegang jenggot orang lain adalah sebuah tanda penghormatan. Di Indonesia, itu bisa bermakna mengajak kelahi. Masalah kecup kepala dan cium tangan juga memiliki makna beda. Belum lagi masalah bahasa.

Mat Kelor termasuk orang yang cepat belajar budaya Arab. Melihat banyak orang sedekah roti, minuman dan makanan ringan di hari Jum’at ini, dia tak mau kalah. Dia membagi-bagikan kurma. Namun dia geleng kepala sambil penasaran ketika banyak orang yang disalaminya dengan senyum memanggilnya “syukron.”

Dia bertanya pada muthawwif (guide haji) mengapa banyak orang memanggilnya “SYUKRON.” Muthawwif menjawab bahwa SYUKRON itu bukan nama, itu ungkapan Arab yang bermakna TERIMAKASIH. Mat Kelor sedikit malu tapi dia mengangguk-angguk paham.

Selesai Jum’atan, kurma Mat Kelor masih tersisa. Lalu dibagikanlah kembali kepada orang yang mau. Orang-orang kembali mengucapkan SYUKRON. Dijawablah dengan senyum oleh Mat Kelor yang sudah paham maknanya dengan ungkapan “HAMBALI.” Maksud Mat Kelor adalah bahwa HAMBALI itu bahasa Arab dari bahasa Indonesia “KEMBALI.” SYUKRON dijawab HAMBALI. Hahahaaa.

Banyak orang Arab yang mengernyitkan dahi tidak paham dengan kata HAMBALI itu. Namun ada yang menyangka bahwa Mat Kelor sedang menyebut nama dirinya. Maka ada juga orang yang dapat kurma itu berkata: SYUKRON YA HAMBALI (Terimakasih Pak Hambali). Sejak itulah Mat Kelor oleh teman-temannya dijuluki HAJI HAMBALI. Hahahaaaa, lucu kan? Bagi yang tersenyum atau tertawa lalu komentar saya sampaikan SYUKRON.

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

INILAH MOZAIK

Serba-serbi Haji (14): Oleh-oleh Haji Mat Kelor

ADA yang mengagetkan saya saat saya sidak ke kamar para jamaah. Koper-koper sudah mulai banyak tidak muat, penuh dengan oleh-oleh. Tak terkecuali koper Mat Kelor. Yang paling mengagetkan saya adalah bahwa oleh-oleh terbanyak yang dibeli Mat Kelor adalah kaca cermin.

Bukankah cermin di Indonesia banyak dijual? Mungkin saja jawabannya adalah mengharap barakah tanah suci atau karena ada gambar Mekah Madinahnya. Ternyata jawaban Mat Kelor sangat filosofis, setara dengan pola pikir para bijak masa lalu. Dari mana Mat Kelor belajar?

Kata Mat Kelor: “Cermin itu adalah guru kejujuran, mengajarkan obyektifitas. Wajah jelek ya ditampilkan jelek, wajah ganteng ya ditampilkan ganteng. Tak peduli apakah orang jelek yang bercermin menganggap dirinya ganteng atau tidak. Ingat cermin, ingat kejujuran apa adanya.” Saya menikmati uraian Mat Kelor sambil tersenyum saat ada upil di ujung hidungnya. Rupanya dia lupa bercermin

Mat Kelor melanjutkan kata: “Cermin itu adalah guru kehidupan yang baik. Walau ia tahu kejelekan wajah orang yang bercermin padanya, ia tidak pernah pengumuman kepada orang lain. Ingat cermin, ingat untuk tidak menyebarkan aib orang lain.”

Waduh, saya semakin kagum akan kedalaman makna cermin. Tidak seperti biasanya, Mat Kelor sering menatap ke lantai, tak menatap wajah saya. Saya berpikir jangan-jangan dia menunduk itu sedang kesurupan para ahli filsafat masa lalu. Tiba-tiba dia bilang: “Punggung saya sakit, kayaknya kolestrol saya naik.”

Mat Kelor masih terus berfilsafat: “Cermin itu adalah guru persahabatan yang baik, mengajarkan bagaimana harus berempati. Saat aku menangis, cermin tak mentertawaiku. Cermin ikut menangis. Itulah sahabat sejati.” Saya ngakak sengakak ngakaknya. Sambil menepuk punggung Mat Kelor saya berkata: “Kalau kamu menangis tapi cerminmu tertawa, yakinlah bahwa cerminmu itu hantu.” Mat Kelor ikut ketawa ngakak menyadari bahwa kesimpulan terakhir itu ada yang kurang pas.

Kami terdiam. Lalu Mat Kelor tolah toleh dan kepalanya dangak ke atas. Dia berkata: “Lho, punggungku sembuh. Alhamdulillaah.” Saya bilang: “Pola pikir yang salah memang bisa menjadi sebab sakit punggung. Tertawa itu adalah sebagian obatnya. Jangan lupa, punggungmu sembuh setelah aku tepuk. Apanya yang masih sakit, kan kutepuk.” Tiba-tiba adzan berkumandang.

INILAH MOZAIK

Serba-serbi Haji (13): Pertengkaran yang Tak Perlu

HARUSNYA saat ini kita bersama-sama merasa bangga dan bahagia karena pencapaian perolehan medali Sea Games telah melampaui target. Ternyata di pojok sebuah hotel di Mekah ada tiga orang bertengkar karena rokok. Seorang kakek, sepertinya dari desa, berusia sekitar 81 tahun diadili oleh dua pemuda gara-gara si kakek itu merokok. “Haram…haram…haraaam. Hajimu tidak mabrur. Haji mabrur tidak merokok.”

Awalnya kakek itu diam tidak membeli jualan dua pemuda tadi. Namun akhirnya kakek itu mengeluarkan nada suara tertinggi yang dimilikinya: “Sejak kapan rokok menjadi penghalang haji mabrur. Ente jangan ngarang. Rasul tidak pernah bilang gitu. Jaman Rasul tidak ada rokok, apalagi rokok merek seperti ini, mana ada Rasul sebut rokok. Bid’ah kelas berat ente.” Suasana memanas hampir kakek ini dipukul. Bersyukurlah Mat Kelor segera datang membawa tongkat, tepatnya tongkat tongsis.

Mat Kelor melerai dan menasehati agar jangan ramai-ramai di tanah suci. Satu-satunya ramai yang boleh adalah talbiah dan takbir. Dua pemuda ini terus bicara bahaya rokok yang katanya memperpendek umur. Kakek itu menjawab: “Faktanya saya sudah usia 81 tahun lho, merokok mulai usia 9 tahun.” Pemuda itu kaget dengan jawabannya. Lalu pemuda itu mengemukakan data rusaknya paru-paru karena rokok.

Mat Kelor membantu mendamaikan bahwa benar rokok itu mengandung bahaya, tapi minuman energi dan bersoda yang dipegang dua pemuda itu juga berbahaya untuk ginjal dan diabetes. Pemuda itu bilang tak bahaya kalau sedikit. Kakek bersuara lagi bahwa rokok juga tak apa kalau sedikit.

Mat Kelor akhirnya berkata: “Sudahlah. Berhentilah bertengkar bab rokok ini. Malu sesama Indonesia bertengkar. Rokok memang berpotensi membuat badan sakit. Tapi merengut, melotot dan marah itu berpotensi membuat hati sakit. Mana yang lebih bahaya? Tersenyumlah dan akrablah, lalu diskusilah bagaimana cara agar korupsi di negeri kita itu teratasi. Koruptor lebih pantas diharamkan dan dimarahi ketimbang perokok. Kakek ini merokok untuk menenangkan diri karena pajak yang dibayarkannya dikorupsi.”

Kakek itu senang dibela Mat Kelor. Sebungkus rokok diberikan kepada Mat Kelor. Mat Kelor tersenyum dan berkata: “Maaf, saya tidak merokok, kakek. Saya lebih suka daun kelor dan bijinya, mengobati banyak penyakit kronis.” Luar biasa santunnya Mat Kelor.

 

INILAH MOZAIK