Hari Pertama Ramadhan, Umat Diminta Perbanyak Ibadah

Umat Islam Indonesia akan melaksanakan ibadah puasa Bulan Ramadhan 1439 H/2018 M secara serentak pada Kamis (17/6). Di hari pertama Ramadhan ini, sejumlah tokoh ormas Islam di Indonesia mengimbau agar umat memperbanyak ibadah, baik ibadah mahdhah maupun ibadah sosial (ibadah ghairu mahdhah).

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Muhammad Sulton Fatoni mengatakan, Rasulullah SAW telah menganjurkan agar di bulan suci Ramadhan ini umat Islam memperbanyak ibadah. “Pesan di Ramadhan ini, sebagaimana anjuran Rasulullah hendaknya masyarakat memperbanyak ibadah, meningkatkan kuantitas ibadah di luar kewajiban Ramadhan (puasa),” ujar Sulton, Rabu (16/5).

Selama sebulan penuh umat Islam hendaknya melakukan tadarusan, yaitu dengan memperbanyak membaca Alquran. Selain itu, memperbanyak sedekah, memperbanyak zikir, dan melakukan shalat malam.

Di samping memperbanyak ibadah, lanjut dia, umat juga harus menjaga tutur kata, menjaga emosi, dan menahan diri dari godaan-godaan ibadah puasa lainnya. “Itu proses peningkatan kuantitas yang diharapkan bisa memberikan bekas atau output positif untuk pribadi Muslim pasca Ramadhan,” ucapnya.

Sementara, dalam konteks kebangsaan, menurut dia, umat juga harus meningkatkan ibadah sosial di bulan suci Ramadhan, serta meningkatkan rasa kepedulian dan keberpihakan terhadap rakyat kecil. “Yang paling penting di di situ, meningkatkan rasa keberpihakan dan kepedulian terhadap orang yang membutuhkan di sekeliling kita,” katanya.

Hal senada juga disampaikan Ketua PP Muhammadiyah, Anwar Abbas. Menurut dia, Bulan Ramadhan merupakan momentum bagi umat Islam untuk melakukan ibadah dengan penuh keimanan dan ketakwaan. “Ini kan momentum ini, tidak ada bulan seperti ini. Karena hidup kita tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat,” ujar Abbas saat dihubungi lebih lanjut.

Dia menuturkan, bulan suci ini merupakan peluang besar bagi umat Islam agar sadar sebagai makhluk yang mempunyai banyak kelemahan. Namun, di bulan Ramadhan ini, Allah telah berjanji mengampuni dosa hambanya yang melakukan ibadah dengan ikhlas.

“Tuhan menjanjikan barang siapa yang berpuasa pada Bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan keikhlasan diampunilah dosanya yang terdahulu,” jelasnya.

Selain persoalan ibadah, Abbas juga menyoroti gaya hidup umat Islam ketika Ramadhan datang. Menurut dia, di Bulan Ramadhan biasanya tingkat konsumsi umat Islam naik, sehingga harga kebutuhan pokok juga turut naik.

Karena itu, dia mengimbau agar umat Islam tidak berlebihan dalam mengonsumsi makanan di bulan puasa. “Imbauannya kita ini oleh nabi dilarang berlebih-lebihan termasuk dalam makan dan minum. Kita mengimbau agar supaya prinsip makan dan minum yang sehat yang diajarkan nabi hendaknya menjadi perhatian bagi umat dalam melaksanakan ibadah puasa,” katanya.

Sementara itu, Wakil Ketua MUI Pusat, Yunahar Ilyas mengimbau agar umat mempersiapkan diri untuk melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh, baik secara ruhiyah maupun moril. Menurut dia, Bulan Ramadhan harus selalu disambut dengan kegembiraan.

“Sambutlah bulan Ramadhan ini dengan penuh kegembiraan. Siapkan diri untuk melaksanakan ibadah puasa, seperti shalat malam atau shalat tarawih, membaca Alquran, zikir, doa, perbanyak sedekah,” ucapnya.

Selain itu, menurut dia, selama melaksanakan puasa di Bulan Ramadhan ini, hendaknya umat Islam juga saling menghormati. Walaupun ada perbedaan-perbedaan kecil, tidak harus dijadikan persoalan. “Dan saling menghormati. Tidak mempersoalkan perbedaan-pebedaan,” kata Yunahar.

Dihubungi secara terpisah, Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Albertus Patty mengucapkan selamat kepada umat Islam yang akan menjalani ibadah puasa. Menurut dia, puasa hendaknya juga menjadi latihan bagi umat agama lain.

Menurut dia, satu pesan berpuasa ini adalah untuk bisa mengontrol diri dan untuk mengatakan tidak pada egoisme. “Karena itu, apa yang dilakukan teman-teman umat Islam ini merupakan sesuatu yang seharusnya bahkan dilakukan oleh umat beragama lain termasuk Kristen ya. Kemampuan untuk belajar dan menahan diri dari segala hal,” kata Albertus.

Menjelang Ramadhan tahun ini, masyarakat Indonesia sempat dikagetkan dengan adanya aksi terorisme. Karena itu, menurut Albertus, di Bulan Ramadhan ini masyarakat hendaknya mengurangi kemarahan.

“Jadi kita harus saling memaafkan dan kita juga mengutangi kemarahan dan kebencian di bumi Indonesia. Biarkanlah kita jadi saudara bersama apapun agamanya dan etnisnya,” jelasnya.

 

REPUBLIKA

Tips Menyambut Ramadhan

Beberapa hari lagi  kita akan bertemu dengan bulan agung, bulan mulia yang penuh berkah,  yaitu bulan Ramadhan. Kaum Muslimin seluruh dunia tentu merindukan kedatangannya. Kita, sebagai kaum Muslimin, ingin segera bertemu dengan tamu agung ini. Suatu kerinduan yang cukup beralasan karena ia datang setahun sekali. Ibarat seorang kekasih, setelah sekian lama tak bertemu, ia sangat merindukannya. Demikian pula dengan Ramadhan, ia ibarat kekasih bagi orang yang beriman.

Sedemikian mulianya bulan ini hingga Rasulullah dan para sahabatnya mempersiapkan kedatangan bulan Ramadhan jauh-jauh hari sebelumnya. Seperti apa sih, Rasulullah dan para sahabatnya menyambut bulan Ramadhan?  Dalam buku  Indahnya Ramadhan di Rumah Kita, karya Dr Akram Ridha (terbitan Robbani Press), disebutkan beberapa tips menyambut Ramadhan.  Dijelaskan bahwa masa penyambutan bulan Ramadhan setidaknya berlangsung selama bulan Sya’ban hingga Ramadhan tiba.

Ada dua bentuk persiapan yang mesti dilakukan kaum Muslimin, yaitu persiapan mental dan persiapan amal. Persiapan mental, yaitu dengan mengingat-ingat keutamaan Ramadhan dan berdoa. Adapun persiapan amal adalah dengan banyak berpuasa dan banyak membaca Alquran.

Agar mental kita lebih siap dalam memasuki bulan Ramadhan, maka cara terbaik adalah dengan mengingat-ingat keutamaan Ramadhan. Sebab, keutamaan inilah yang akan memotivasi seorang Muslim untuk menjalani kewajiban puasa Ramadhan dan berbagai amalan-amalan pendukungnya dengan penuh semangat.

Banyak sekali keutamaan bulan Ramadhan, di antaranya Ramadhan sebagai bulan berkah, bulan diampuninya dosa, bulan diturunkannya Al-Qur’an, setan dibelenggu, malam lailatul qadr, dan masih banyak lagi. Tidak salah jika Ramadhan disebut sebagai bulan investasi amal dan panen pahala.

Di samping mengingat keutamaan Ramadhan, yang utama juga adalah berdoa. Berdoa berarti mempersiapkan mental dan hati. Rasulullah SAW, jika telah memasuki bulan Rajab, beliau memanjatkan doa, “Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban, dan berkahi pula kami di bulan Ramadhan.” (HR Imam Ahmad)

Yahya bin Abi Katsir berkata, “Di antara doa-doa orang saleh ketika menyambut Ramadhan adalah sebagai berikut: ‘Ya Allah, pertemukanlah aku dengan bulan Ramadhan, dan selamatkanlah Ramadhan bagiku, dan terimalah Ramadhan itu dariku.”

Di samping persiapan mental, persiapan lainnya adalah persiapan amal. Seperti telah disebutkan di awal, yaitu membiasakan berpuasa sebelum memasuki bulan Ramadhan dan memperbanyak tilawah Alquran.

Terkait memperbanyak puasa sebelum Ramadhan, terdapat riwayat dari Bukhari, “Diriwayatkan dari Aisyah ra,  ia berkata, ‘Rasulullah SAW berpuasa hingga kami mengira beliau tidak berbuka, dan beliau berbuka hingga kami mengira beliau tidak puasa. Tidaklah kami melihat Rasulullah menyempurnakan puasanya sebulan penuh selain bulan Ramadhan, dan tidaklah kami melihat beliau puasa lebih banyak selain bulan Sya’ban.” (HR Bukhari)

Ibnu Rajab berkata, “Sebagian ulama berpendapat bahwa puasa di bulan Sya’ban itu ibarat latihan untuk menghadapi puasa Ramadhan agar seseorang tidak merasa terbebani dengan puasanya ketika Ramadhan tiba.”

Hikmah memperbanyak puasa di bulan Sya’ban adalah sebagai persiapan dan pembiasaan untuk melaksanakan puasa wajib di bulan Ramadhan. Sebab,  orang yang belum terbiasa berpuasa kadang lupa bahwa mereka sedang berada di bulan Ramadhan.

Adapun persiapan amal yang kedua adalah memperbanyak baca Alquran.  Anas bin Malik ra berkata, “Ketika kaum Muslimin memasuki bulan Sya’ban, mereka sibuk membaca Alquran dan mengeluarkan zakat mal untuk membantu fakir miskin yang berpuasa.” Seorang salafush-shalih juga pernah berkata, “Sya’ban adalah bulan para pembaca Alquran.”

Muslim yang terbiasa menjaga wirid Alquran (sebelum Ramadhan) akan bisa menjaga kebiasaan tersebut pada bulan Ramadhan. Seseorang yang baru mulai membaca Alquran setelah lama tidak membaca Alquran, kemudian ia mencoba membaca beberapa ayat saja, ia akan tidak sanggup untuk melanjutkannya.

Itulah kondisi Alquran bersama orang-orang yang lalai. Alquran adalah obat jiwa. Jika kita sering menjauh darinya,  menjadikan hati kita  kotor penuh karat dan titik hitam. Jadi, ketika hati merasa berat dan sulit, ayat-ayat yang pertama kita baca akan menjadi pembersih hati. Jika kita mau melawan perasaan tersebut maka Alquran memainkan perannya sehingga hati kembali menjadi bersih dan siap menerima cahayanya. Dalam kondisi seperti ini,  maka seseorang akan menjadi “mukmin”, sebagaimana firman Allah berikut,

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang jika disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan jika dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah keimanan mereka (karenanya) dan kepada Rabb-lah mereka bertawakal.”  (QS al-Anfal [6]: 2)

Demikianlah beberapa tips singkat menyambut bulan suci Ramadhan. Selamat mencoba!  Ingat, menyambut Ramadhan bukan dengan sibuk menyiapkan seabreg menu dan penunjangnya.

Selamat menyambut Ramadhan!!!

 

Oleh Nashihin Nizhamuddin

REPUBLIKA

“Ramadhan Bulan Pendidikan”

Pada awal April 2018, saya meluncurkan buku berjudul “Pendidikan Islam: Mewujudkan Generasi Gemilang, menuju Negara Adidaya 2045” (Depok: YPI at-Taqwa, 2018). Alhamdulillah, dalam waktu kurang sebulan, buku itu telah dicetak ulang. Seorang pembaca di Jawa Tengah menyarankan agar buku ini dibaca oleh para pejabat di bidang pendidikan.

Gagasan pokok buku ini telah saya sampaikan dalam acara Roundtable Discussion  (Diskusi Satu Meja) di Lembaga Pengkajian MPR-RI pada tanggal 24 Oktober 2017.  Melalui buku ini saya menegaskan lagi, bahwa Islam memiliki  model pendidikan yang sudah baku, yaitu pendidikan berbasis adab. Jika pendidikan ini diterapkan, maka insyaAllah akan terwujud generasi gemilang yang akan membawa Indonesia menjadi negara adidaya.

Model pendidikan ini telah disampaikan oleh Umar bin Khathab r.a.: “Taaddabuu tsumma ta’allamuu!” (Beradablah kalian, kemudian berilmulah). Ini pula yang ditegaskan oleh Ali bin Abi Thalib r.a. dalam menjelaskan makna QS at-Tahrim ayat 6. (Yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”). Agar diri kita dan keluarga kita tidak masuk neraka, kata Ali bin Abi Thalib, maka “Jadikanlah keluargamu beradab dan berilmu.” (Lihat, Tafsir Ibn Katsir).

Model pendidikan berpola “beradab dan berilmu” itu kemudian diterapkan sepanjang sejarah umat Islam. Guru utamanya adalah Nabi Muhammad saw. Sang Nabi-lah yang mendidik langsung para sahabat dengan model pendidikan berbasis adab ini. Adab utama adalah sikap dan tindakan yang betul kepada Allah SWT, yakni dengan men-Tauhid-kan Allah, dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun juga. Adab berikutnya adalah kecintaan, keikhlasan, dan kesungguhan dalam meneladani seluruh aspek kehidupan Nabi saw.

Dengan model pendidikan ini, para sahabat nabi kemudian menjelma menjadi satu generasi gemilang; generasi terbaik yang pernah dilahirkan di muka bumi. Satu generasi yang terdiri dari orang-orang baik, dalam jumlah banyak dan hidup bersama di satu waktu dan satu tempat. Pada tahun 636 M — hanya lima tahun sepeninggal Rasulullah saw —  generasi ini telah menaklukkan Romawi dan membangun peradaban unggul  di Jerusalem. Dalam Perang Yarmuk, pasukan Islam yang jumlahnya sekitar 20.000-40.000, mampu mengalahkan kekuatan Romawi yang jumlahnya 10 kali lipatnya.

Kesuksesan dan kegemilangan generasi sahabat Nabi ini kemudian diikuti oleh generasi-generasi muslim berikutnya. Diantara yang terkenal adalah generasi Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil menaklukkan pasukan Salib dari Eropa dan merebut kembali kota Jerusalem. Generasi ini lahir dari proses pendidikan dengan model yang sama.

Contoh generasi unggul lain adalah generasi Muhammad al-Fatih, yang Berjaya menaklukkan kekuatan Romawi Timur dan membebaskan Konstantinopel tahun 1453. Generasi ini pun lahir dari proses pendidikan ideal.

Dan juga jangan dilupakan bangkitnya generasi santri 1945 di Indonesia. Generasi inilah yang taat kepada fatwa Jihad KH Hasyim Asy’ari dan berhasil mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Meski sudah disokong oleh Tentara Sekutu sebagai pemenang Perang Dunia II, Belanda pun gagal menjajah kembali di Indonesia. Bahkan dalam Perang Dahsyat di Surabaya tahun 1945,  seorang jenderal Sekutu mati di tangan santri.

Generasi sahabat Nabi adalah generasi yang haus ilmu, cinta pengorbanan, dan bersemangat menjadi umat terbaik. Di mana pun juga, generasi semacam ini akan tampil sebagai pemimpin. Model pendidikan berbasis adab ini sudah ditegaskan oleh para ulama besar. Al-Laits Ibn Sa’ad memberi nasehat kepada para ahli hadits: “Ta’allamul hilm qablal ‘ilmi!” Belajarkah sikap penyayang sebelum belajar ilmu!

Abdullah ibn Wahab, murid Imam Malik rahimahullah mengatakan: “Mā ta’allamnā min adabi Malikin aktsaru min-mā ta’allamnā min ‘ilmihī.”  (Apa yang kami pelajari tentang adab dari Imam Malik lebih banyak daripada yang kami pelajari tentang ilmunya).  Seorang ulama besar, Ibnul Mubarak, menyatakan, bahwa ia belajar adab selama 30 tahun; dan 20 tahun kemudian ia belajar ilmu. Bahkan, kata beliau, porsi adab dalam agama Islam adalah sekitar 2/3-nya.

Ungkapan para ulama besar itu sudah cukup membuktikan betapa pentingnya masalah adab dalam agama Islam. Karena itu, para ulama menulis ribuan kitab tentang adab. Di wilayah Nusantara, misalnya, KH Hasyim Asy’ari menulis kitab Adabul Alim wal-Muta’allim. Ada kitab Gurindam 12 karya Raja Ali Haji. Juga ada kitab Adabul Insan karya Habib Sayyid Utsman. Pendiri Persis A. Hassan menulis buku berjudul Kesopanan Tinggi secara Islam. Dan masih banyak kitab-kitab adab lainnya.

 

Jika disimak riwayat hidup dan perjuangan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, maka tampak jelas, bagaimana beliau sangat menekankan masalah adab ini dalam pendidikan. Bahkan, Kyai Ahmad Dahlan memberikan teladan yang luar biasa dalam perjuangan menegakkan Islam di Indonesia. Beliau bukan hanya konseptor, tetapi juga menjadi contoh dalam perjuangan di bidang pendidikan.

Masalah adab inilah yang diangkat dan dikonseptualisasikan oleh Prof. Syed Naquib al-Attas, dalam Konferensi Internasional Pendidikan Islam pertama tahun 1977 di Kota Mekkah. Al-Attas menegaskan, bahwa akar krisis yang menimpa umat Islam saat ini adalah “loss of adab”.  Tahun 2014, selama tiga bulan, saya mengadakan penelitian di Center for Advanced Studies on Islam, Science, and Civilization – Universiti Teknologi Malaysia (CASIS-UTM), tentang masalah “adab” menurut Prof. Naquib al-Attas ini.

Dari hasil penelitian itu, saya terbitkan sebuah buku berjudul “Menuju Indonesia Adil dan Beradab” (Jakarta: INSISTS, 2015).  Buku itu menjabarkan aplikasi konsep adab menurut Prof. al-Attas dalam kehidupan kenegaraan dan politik di Indonesia. Ada sesuatu yang menarik dalam konsep adab Prof. Naquib al-Attas, yang menyatakan, bahwa adab bersumber dari hikmah. Jika adab ditegakkan, maka terciptalah kondisi “al-‘adalah”, dimana segala sesuatu ada pada tempatnya yang betul sesuai dengan harkat martabat yang ditentukan Allah SWT. Menariknya, kata ‘hikmah’, ‘adab’, dan ‘keadilan’, tercantum dalam Pancasila yang merupakan bagian dari Pembukaan UUD 1945.

Mulai tahun 2014 itu pula, bersama beberapa ilmuwan dan praktisi pendidikan, saya mendirikan Pesantren at-Taqwa, sebagai proyek rintisan pendidikan berbasis adab pada tingkat SMP, yang kami beri nama ‘Pesantren Shoul-Lin al-Islami’. Alhamdulillah, setelah tiga tahun berjalan, Pesantren at-Taqwa Depok terus berkembang, hingga memasuki jenjang SMA, yang diberi nama Pesantren for the Study of Islamic Thought and Civilization (PRISTAC).

Perpaduan konsep pendidikan berbasis adab dengan pengalaman lapangan membina Pesantren at-Taqwa Depok itulah yang saya tuangkan dalam buku “Pendidikan Islam, Mewujudkan Generasi Gemilang Menuju Negara Adidaya 2045”.  Kami bertekad mewujudkan satu lembaga pendidikan ideal yang insyaAllah akan menjadi salah satu model pendidikan ideal, membentuk manusia adil, beradab, dan bermanfaat bagi masyarakat.*>>>>

Pendidikan Ramadhan

 Menurut al-Attas, “Adab is recognition and acknowledgement of the reality that knowledge and being are ordered hierarchically according to their various grades and degrees of rank, and of one’s proper place in relation to that reality and one’s physical, intellectual and spiritual capacities and potentials. (S.M. Naquib al-Attas, the Concept of Education in Islam.” (1980).

Intinya, adab adalah pemahaman dan kemauan seseorang untuk meletakkan sesuatu pada tempatnya, sesuai harkat dan martabat yang ditentukan Allah. (Lihat, al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, (2001). Manusia beradab akan ikhlas taat kepada Tuhannya, cinta dan taat kepada Nabi-Nya, Muhammad saw, hormat guru dan orang tua, cinta sesama, dan gigih belajar dan berjuang untuk mengembangkan potensi dirinya, sehingga menjadi manusia bermanfaat. Sebab, kata Nabi saw, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia.

Prof. Naquib al-Attas merumuskan konsep pendidikan sebagai proses mencari ilmu (thalabul ilmi) yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan atau keadilan dalam diri seorang manusia, sebagai manusia (inculcation of goodness or justice in man as man). Dan elemen paling fundamental dalam pendidikan adalah penanaman adab (inculcation of adab).

Tujuan pendidikan dalam Islam itu sejalan dengan tujuan pendidikan yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 31 ayat c, UU Pendidikan Nasional, No 20/2003 dan UU Pendidikan Tinggi, No 12/2012.   Disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah membentuk manusia yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia.

Al-Quran menegaskan, bahwa tujuan ibadah Ramadhan adalah menjadi orang yang bertaqwa. “Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian. Mudah-mudahan kalian menjadi orang yang bertaqwa.” (QS al-Baqarah:183).

 

Inilah sebenarnya inti pendidikan yang sepatutnya dijalankan di Indonesia. Ramadhan adalah bulan mulia, bulan penuh berkah dan ampunan Allah, bulan yang tepat untuk mengoptimalkan proses penanaman nilai-nilai kebaikan. Jadi, jika pendidikan dimaknai dengan benar – bukan sekedar dimaknai sebagai “sekolah” – maka Ramadhan bukanlah bulan libur pendidikan.  Sekolah bisa libur, tetapi proses pendidikan – untuk membentuk manusia taqwa — harus terus berjalan.

 

Dalam proses pendidikan, pensucian jiwa (tazkiyyatun nafs) menjadi inti kurikulum pendidikan. Jiwa manusia harus dibangun, dengan cara disucikan dari sifat-sifat tercela, seperti  kemunafikan, kemalasan, ketidakberdayaan, kedengkian, penakut, riya’, cinta dunia, dan sebagainya.  Ibadah puasa Ramadhan adalah metode yang jitu untuk proses pensucian jiwa itu. Maka, sungguh bijak, seandainya pemerintah menetapkan Ramadhan sebagai bulan pendidikan nasional.

Inilah hakekat pendidikan. Pendidikan berbasis adab. Pendidikan untuk membentuk manusia taqwa. Dengan pendidikan yang hakiki inilah, Indonesia insyaAllah akan menjadi negara maju, kuat, adil, makmur dan beradab (negara taqwa), sebagaimana ditegaskan dalam al-Quran, bahwa: “Andaikan penduduk suatu wilayah mau beriman dan bertaqwa, maka pasti akan Kami buka pintu-pintu barokah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ajaran-ajaran Allah), maka Kami azab mereka, karena perbuatan mereka sendiri” (QS Al A’raf: 96)

Jika bangsa Indonesia ingin meraih berkah dari Allah, maka beradablah kepada Allah! Berlaku sopanlah kepada Utusan-Nya! Jangan sampai berani menentang Allah dan Rasul-Nya, baik sadar atau tidak. Jangan sampai ada muatan kurikulum yang menyalahi wahyu Allah SWT. Jangan membuat ‘teori’ bahwa manusia Indonesia merupakan kelanjutan kehidupan monyet. Padahal, al-Quran jelas-jelas menyebutkan kita semua merupakan keturunan dari Nabi Adam a.s. bukan keturunan monyet.

Jangan membuat konsep ‘kemajuan’ yang sama  sekali tidak mencantumkan kriteria ‘taqwa’, baik secara pribadi, lembaga pendidikan, atau pun kenegaraan. Jangan pula membuat teori tentang kebutuhan primer manusia, yang sama sekali tidak menyebut ibadah dan zikir sebagai kebutuhan primer manusia.

Kita berharap, para orang tua, guru, pengelola lembaga pendidikan, dan juga para pejabat pemerintah memahami benar akan hakikat pendidikan ini. Dan bulan Ramadhan adalah bulan terbaik untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan, atau bulan pensucian jiwa. Semoga Allah berkahi hidup kita di bulan Rajab dan Sya’ban, dan kita semua dipertemukan oleh Allah dengan Ramadhan 1439 H. Kita tekadkan Ramadhan tahun ini sebagai bulan pendidikan yang lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. (Depok, 10 Mei 2014).*

Oleh: Dr. Adian Husaini

 

HIDAYATULLAH

Anjuran Bergembira dengan Datangnya Ramadhan

Anjuran Bergembira dengan Datangnya Ramadhan

Apakah ada anjuran untuk bergembira ketika datang ramadhan? adakah hadis yang menunjukkan keutamaan bergembira ketika datang ramadhan?

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Terdapat satu hadis yang sangat terkenal dan banyak dikutip para khatib ketika kultum awal-awal ramadhan. Hadis itu menyatakan,

مَنْ فَرِحَ بِدُخُولِ رَمَضَانَ حَرَّمَ اللهُ جَسَدَهُ عَلىَ النِّيْرَانِ

”Siapa bergembira dengan masuknya bulan Ramadhan, Allah akan mengharamkan jasadnya masuk neraka.”

Banyak penceramah begitu antusias menyampaikan hadis ini, tanpa tahu dari mana sebenarnya teks ini berasal. Anda bisa perhatikan, hampir tidak ada penceramah yang menyampaikan sumber dan rujukan seusai mengutip hadis ini. Karena memang hadis ini tidak dijumpai di kitab-kitab hadis.

Prof. KH. Ali Musthafa Ya’qub MA, dalam bukunya, Hadits-hadits Bermasalah di Bulan Ramadhan, menuliskan bahwa hadis dengan teks seperti di atas itu terdapat dalam kitab Durrotun Nashihin, karya Utsman bin Hasan al-Khubawi.

Kitab ini tergolong kitab favorit para kiyai, guru ngaji, para ustadz, terutama mereka yang kurang peduli dengan keotentikan hadis. Karena dalam kitab ini, terdapat sangat banyak hadis yang bombastis. Cerita masalah ghaib yang mendetail, amal-amal kecil, sederhana, namun dihargai dengan balasan yang sangat besar, dan berlipat ganda.

Hanya saja, para ahli hadis menilai kitab ini sebagai kitab bermasalah. Pasalnya, kitab ini selain dipenuhi dengan hadis dhaif dan palsu (maudhu’), kitab ini juga dipenuhi hadis yang statusnya laa ashla lahu (tidak ada sumbernya). Derajat hadis laa ashla lahu jauh lebih parah dari pada hadis palsu. Karena hadis dengan status semacam ini, tidak memiliki sanad dan sama sekali tidak ada sumber kitab hadis yang mencantumkannya.

Berbeda dengan hadis palsu, hadis ini masih memiliki sanad. Hanya saja, dalam sanadnya terdapat perawi pendusta, sehingga status hadisnya palsu.

Ringkasnya, hadis ini tidak perlu dihiraukan, karena sama sekali bukan hadis.

Ceramah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أتاكم رمضان شهر مبارك. فرض الله عز وجل عليكم صيامه، تفتح فيه أبواب السماء، وتغلق فيه أبواب الجحيم، وتغلّ فيه مردة الشياطين، لله فيه ليلة خير من ألف شهر، من حرم خيرها فقد حرم

Telah datang kepada kalian ramadhan, bulan yang penuh berkah. Allah wajibkan kepada kalian puasa di bulan ini. Di bulan ini, akan dibukakan pintu-pintu langit, dan ditutup pintu-pintu neraka, serta setan-setan nakal akan dibelenggu. Demi Allah, di bulan ini terdapat satu malam yang lebih baik dari pada 1000 bulan. Siapa yang terhalangi untuk mendulang banyak pahala di malam itu, berarti dia terhalangi mendapatkan kebaikan. (HR. Ahmad, Nasai 2106, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Syaikh Abdullah al-Fauzan mengatakan,

في هذا الحديث بشارة لعباد الله الصالحين بقدوم شهر رمضان المبارك، لأن النبي صلى الله عليه وسلم أخبر الصحابة – رضي الله عنهم – بقدومه، وليس هذا إخباراً مجرداً بل معناه بشارتهم بموسم عظيم، يقدره حقّ قدره الصالحون المشمرون، لأنه بين فيه ما هيأ الله لعباده من أسباب المغفرة والرضوان وهي أسباب كثيرة، فمن فاتته المغفرة في رمضان فهو محروم غاية الحرمان.

Dalam hadis ini terdapat kabar gembira bagi para hamba Allah yang sholeh dengan datangnya bulan ramadhan yang diberkahi. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kepada para sahabat akan kedatangan ramadhan. Dan ini bukan hanya berita semata, namun maknanya adalah kabar gembira bagi mereka dengan adanya masa yang agung, yang selayaknya dimuliakan oleh orang-orang shaleh yang menyisingkan lengan untuk beramal. Karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa di bulan ramadhan, Allah telah siapkan banyak kebaikan bagi para hamba-Nya, berupa sebab untuk menggapai ampunan dan ridha-Nya. Sebab ini banyak sekali. Karena itu, siapa yang tidak mendapatkan ampunan di bulan ramadhan, berarti dia telah diharamkan untuk mendapatkan banyak kebaikan. (Ahadits Shiyam, Ahkam wa Adab, keterengan hadis ketiga).

Hanya saja, sebagai catatan, dalam khutbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak menyampaikan adanya fadhilah tertentu bagi orang yang bergembira menyambut kedatangan ramadhan. Menambahkan adanya fadhilah tertentu tanpa dalil, tentu termasuk berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan kita berlindung dari hal ini.

Allahu a’lam.

Dijawab oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

KONSULTASI SYARIAH

Apa Persiapan Kita Menuju Ramadhan?

RAMADHAN sudah tinggal sejengkal, namun sudahkah umat Islam menyiapkan dengan baik akan kedatangannya? Terlebih, beberapa hari lagi akan memasuki bulan Sya’ban yang merupakan bulan paling dekat dengan Ramadhan di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam begitu gencar berpuasa dan beribadah di dalamnya.

Sejenak kita baca kembali sejarah ulama dan tokoh muslim terdahulu. Menurut Mu’alla bin Fadhl rahimahullah, para generasi terdahulu memiliki kebiasaan unik terkait persiapan Ramadhan. Persiapan mereka untuk menyambut Ramadhan bukan seperti kebanyakan orang di masa kini yang baru siap ketika Ramadhan dekat. Kalaupun siap, kebanyakan hanya berkutat pada masalah persiapan ragawi, bukan rohani.

Mereka –para salaf saleh- enam bulan sebelum Ramadhan sudah mempersiapkan dengan baik dan meminta kepada Allah ta’ala agar diberi kesempatan kembali merasakan berkah Ramadhan.

Dalam buku berjudul “Nidâ al-Rayyân fii Fiqhi al-Shaumi wa Fadhli Ramadhân” (1417: 163-164) Sayyid Husain Affani mencatat dengan sangat baik kondisi mereka. Alkisah,  ada suatu kaum dari kalangan salaf yang menjual budak wanitanya. Ketika Ramadhan sudah dekat, sang budak melihat mereka (tuan baru dan keluarga) bersiap-siap menyediakan makanan dan yang lainnya. Lalu budak itu bertanya perihal itu. Mereka menjawab, “Kami siap-siap untuk berpuasa Ramadhan.”

 

Mendengar jawaban demikian, lantas sang budak berkomentar, “Kalian tidak berpuasa melainkan Ramadhan! Sesungguhnya aku dulu berada pada suatu kaum yang semua waktunya adalah Ramadhan. Kembalikan aku pada tuanku yang dulu!” Narasi dan statement ini –meski dari budak- begitu bermutu tinggi. Ia mengungkap kondisi salaf saleh yang tidak membeda-bedakan ibadah baik di dalam maupun di luar Ramadhan. Karenanya, kalau mereka ditanya sudah siap menghadapi Ramadhan? Maka akan senantiasa siap karena hari-harinya adalah disadari laksana Ramadhan.

Senada dengan kisah tersebut, suatu hari, Hasan bin Shalih rahimahullah menjual budak wanita miliknya. Ketika pada pertengahan malam (di rumah tuan barunya), budak tersebut bangun untuk shalat dan memanggil seisi rumah, “Wahai penghuni rumah, shalat! Shalat!” Mereka menjawab, “Apa sudah waktunya shalat Subuh?” Ia menjawab, “Apakah kalian tidak shalat melainkan shalat wajib saja?” Ketika Hasan datang, budak itu berkata, “Kamu menjualku pada suatu kaum yang tidak shalat melainkan yang wajib saja. Kembalikan aku, kembalikan aku (kepadamu)!” Kalau pada kisah sebelumnya titik tekannya adalah puasa, pada kisah ini tekanannya adalah shalat malam. Persamaannya adalah ibadah mereka, di dalam maupun di luar Ramadhan tidak pernah dibeda-bedakan.

Suatu hari ada yang bercerita kepada Biysr rahimahullah, bahwa ada kaum yang beribadah dan bersungguh-sungguh dalam Ramadhan saja. Kemudian beliau berkomentar, “Betapa jeleknya kaum itu, hanya mengenal Allah pada waktu Ramadhan saja. Sesungguhnya orang saleh adalah yang beribadah kepada-Nya dan bersungguh-sungguh sepanjang tahun.”

Pernyataan Biysr ini semakin meneguhkan betapa mantapnya persiapan pasa salaf saleh dalam menghadapi Ramadhan.

Ketika salah seorang saleh ditanya mengenai mana yang paling utama antara bulan Rajab dan Sya’ban, ia menjawab, “Jadilah orang yang rabbani dan jangan menjadi Sya’bani!” Artinya, meski masing-masing memiliki keutamaan, mereka tidak membeda-bedakan antara bulan Ramadhan dengan bulan lain dalam hal ibadah dan kesungguhan.

Lebih mengesankan dari semua itu, ada diksi menarik yang diungkapkan sebagian salaf saleh terkait puasa, “Berpuasalah saat di dunia, dan jadikan waktu berbukamu adalah kematian. Dunia semuanya adalah Ramadhan. Orang-orang bertakwa berpuasa di dalamnya (dunia) dari syahwat-syahwat yang diharamkan. Jika maut telah menjemput, maka bulan puasa mereka sudah habis dan mereka memulai hari raya mereka.”

Mereka menganggap sebagai orang yang berpuasa (dalam arti mengendalikan diri) selama di dunia, dan baru merayakan Idul Fitrinya ketika sudah kembali kepada Allah.

Lalu, apa kabar Ramadhan? Sebagaimana salaf, sudahkah kita mempersiapkannya dengan baik jauh-jauh hari? Masihkah di antara kita ada yang membeda-bedakannya dengan bulan lain? Jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, akan berpengaruh pada kualitas Ramadhan tahun ini jika masing-masing dari umat Islam mau mengevaluasi diri dan meneladani apa yang dilakukan salaf saleh.

Tulisan ini akan penulis tutup dengan dua buah bait syair dari salaf saleh:

وَقَدْ صُمْتُ عَنْ لَذَّاتِ دَهْرِيْ كُلِّهَا

وَيَوْمَ لَقَاكُمْ ذَاكَ فِطْرُ صِيَامِيْ

Sungguh aku telah berpuasa dari segenap kelezatan hidupku

          Pada hari saat bertemu dengan-Mu (saat meninggal) itulah hari raya Fitriku.*/Mahmud Budi Setiawan

 

HIDAYATULLAH

Ramadhan yang Membekas

BULAN Ramadhan, umat Islam berlomba-lomba melakukan berbagai aktivitas ibadah dan amal shalih. Karena memang, berbagai kelebihan dan keutamaan yang dimiliki oleh bulan Ramadhan telah memberikan motivasi dan semangat bagi kita untuk meraihnya. Maka, tidak mengherankan bila pada bulan Ramadhan masjid atau mushalla penuh dengan jamaah shalat lima waktu dan tarawih. Begitu pula tadarus al-Quran bergema di mana-mana. Orang-orang berlomba-lomba berbuat amal shalih dengan berinfak, bersedekah, dan sebagainya.

Kini Ramadhan telah berlalu meninggalkan kita. Lantas, bagaimana status ibadah dan amal shalih kita pasca Ramadhan? Apakah kita tetap istiqamah dalam melakukan ibadah dan amal shalih seperti yang kita lakukan selama Ramadhan? Sejauh mana Ramadhan kali ini memberi kesan dan pengaruh terhadap perilaku kita? Beberapa pertanyaan ini patut mendapat perhatian bagi setiap muslim, dalam rangka muhasabah. Selain itu, agar semangat Ramadhan terus hidup di jiwa kita dan membekas dalam perilaku kita sehari-hari pasca Ramadhan.

Sejatinya pasca Ramadhan kita diharapkan istiqamah, mampu dan terbiasa dengan melakukan berbagai aktivitas ibadah dan amal shalih untuk hari-hari pasca Ramadhan selama sebelas bulan berikutnya, baik berupa amalan wajib maupun sunnat. Karena Ramadhan adalah bulan tarbiyah. Ramadhan telah mendidik dan mentraining kita secara fulltime 30 hari berturut-turut untuk melakukan ibadah puasa dan lainnya. Tujuannya yaitu untuk menjadi insan yang bertaqwa sebagaimana Allah Subhanahu Wata’ala jelaskan dalam al-Quran (al-Baqarah: 183). Inilah keutamaan Ramadhan yang disediakan Allah Subhanahu Wata’ala sebagai sarana untuk menjadi orang yang bertakwa.

Jika Ramadhan yang telah berlalu ini dapat memberikan bekas dan pengaruh kepada kita dalam kehidupan kita  sehari-hari pasca Ramadhan yaitu dengan ditandai semakin baik perilaku, amal shalih dan ibadah kita, maka sukseslah kita dalam training dan ujian untuk memperoleh gelar taqwa tersebut dan beruntunglah kita. Namun sebaliknya, jika Ramadhan tidak membekas dan berpengaruh dalam kehidupan kita sehari-hari, maka gagallah kita dalam training dan ujian tersebut dan merugilah kita. Maka, kesuksesan Ramadhan kita sangatlah tergantung dengan kuantitas dan kualitas ibadah kita pada bulan-bulan berikutnya setelah Ramadhan.

 

Sungguh Ramadhan telah memberikan pembelajaran yang banyak terhadap kepribadian seorang muslim dalam rangka melahirkan insan yang bertakwa dan berkarakter islami. Banyak pembelajaran yang dapat kita peroleh dari bulan Ramadhan untuk diimplementasikan dalam kehidupan kita sehari-hari pasca Ramadhan. Di antaranya adalah:

Pertama, semangat beribadah dan beramal shalih. Ramadhan telah mendidik dan melatih kita untuk semangat beribadah dan berlomba-lomba dalam  kebaikan. Maka, pasca Ramadhan ini sejatinya kita mempertahankan kualitas dan kuantistas ibadah dan amal shalih itu. Karena ibadah dan amal shalih itu tidak hanya disyariatkan untuk bulan Ramadhan saja, tapi sesungguhnya diperintahkan sepanjang masa selama kita hidup di dunia yang fana ini. Inilah tugas utama kita di dunia sebagai makhluk Allah sesuai dengan firman-Nya:

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ (٥٦)

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS: Az-Zariyat: 56).

Bahkan kita diperintahkan Allah Subhanahu Wata’ala untuk berlomba dalam kebaikan setiap saat, bukan hanya pada bulan Ramadhan. Allah berfirman, Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan..” (Al-Baqarah: 148)

Kedua, menjaga diri dari maksiat. Ramadhan telah mendidik dan melatih kita bagaimana mengendalikan diri dari hawa nafsu  dan maksiat lewat ibadah puasa. Pada waktu berpuasa kita dituntut untuk menahan diri dari makan, minum, hubungan suami istri dan hal-hal yang membatalkan puasa lainnya. Jika hal-hal yang mubah seperti makan, minum dan hubungan istri dilarang pada waktu berpuasa, maka terlebih lagi hal-hal yang diharamkan. Dengan demikian kita dilatih untuk menjauhi hal-hal yang diharamkan. Maka puasa itu dapat menjaga diri dari maksiat. Inilah salah satu maqashid syariah dari ibadah puasa sebagaimana dijelaskan oleh Nabi Saw dengan sabdanya, “Puasa itu perisai (penahan diri dari maksiat)”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Maka, sudah sepatutnya setelah Ramadhan kita mampu mengendalikan diri dari hawa nafsu dan maksiat baik berupa perkataan seperti ghibah, mencaci maki, menipu, menfitnah dan sebagainya, maupun perbuatan seperti mencuri, korupsi, memukul, membunuh dan sebagainya. Pasca Ramadhan ini diharapkan kita menjadi orang  yang shalih. Hal ini tercermin dari perilaku kita yang semakin baik dari sebelumnya.

 

Ketiga, suka membantu orang lain. Ramadhan telah mendidik dan melatih kita untuk membantu saudara kita yang lemah ekonominya lewat infak, shadaqah dan zakat. Amal shalih tersebut sangat digalakkan pada bulan Ramadhan. Maka, pasca Ramadhan kita diharapkan terbiasa dengan membantu saudara-saudara kita yang membutuhkan pertolongan kita dan terjepit ekonominya. Kebiasaan berinfak pada bulan Ramadhan perlu dipertahankan dan dilanjutkan pada bulan lainnya.

Mengenai keutamaannya, Allah Subhanahu Wata’ala berfirman;

وَمَا تُنفِقُواْ مِنۡ خَيۡرٍ۬ فَلِأَنفُسِڪُمۡ‌ۚ

“Dan apa saja yang kamu nafkahkan (dijalan Allah), maka pahalanya itu untuk kalian sendiri…” (QS: Al-Baqarah: 272).

Nabi Shalalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “Setiap hari, dua malaikat turun kepada seorang hamba. Salah satunya berdoa, “Ya Allah, berikanlah pengganti kepada orang yang berinfak. Dan yang lain berdoa, “Ya Allah, hilangkan harta orang yang menolak infak.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Nabi Shalalallahu ‘Alaihi Wassallam juga bersabda, “Allah Swt menolong hamba-Nya selama ia menolong saudaranya”. (HR. Muslim)

Keempat, suka mengasihi dan mencintai saudara seiman. Ramadhan telah mendidik dan melatih kita untuk berempati dan peduli terhadap orang fakir dan miskin. Melalui puasa Ramadhan kita dapat merasakan kondisi orang-orang yang kelaparan dan bagaimana penderitaan hidup orang fakir dan miskin yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Begitu pula Ramadhan mengajari kita untuk saling mencintai dan mengasihi sesama muslim dengan memberikan menggalakan kita untuk memberikan makanan untuk berbuka puasa dan makanan untuk bersahur . Maka, pasca Ramadhan kita diharapkan untuk dapat selalu merasakan penderitaan saudara-saudara kita seiman, baik karena lemah ekonominya maupun konflik perang sehingga menimbulkan rasa empati dan kasih sayang terhadap mereka. Kita diharapkan untuk memiliki rasa solidaritas ukhuwwah dan kepedulian sosial serta mencintai saudara muslim. Rasulullah Saw bersabda, “Tidak sempurna iman salah seorang di antara kamu sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya.” ( HR. Bukhari dan Muslim).

Kelima, selalu menjaga shalat berjama’ah. Ramadhan telah mendidik dan melatih kita untuk selalu menjaga shalat jama’ah lewat shlat lima waktu, shalat tarawih dan qiyam lail di masjid dan mushalla. Pada saat shalat tarawih, masjid dan mushalla penuh dengan jama’ah selama bulan Ramadhan. Bahkan pada awal-awalnya terlihat membludak, walaupun pada akhir Ramadhan jama’ah semakin berkurang, namun tetap lebih ramai dibandingkan dengan jumlah jama’ah pada hari-hari sebelum Ramadhan. Maka, diharapkan pasca Ramadhan kita terbiasa melakukan shalat berjama’ah di masjid atau mushalla. Sejatinya semangat shalat berjama’ah ini bisa dipertahankan dan dilanjutkan pada shalat lima waktu pada hari-hari setelah Ramadhan.

Baca: Etos Perjuangan di Bulan Ramadhan

Di antara keutamaan shalat jama’ah yaitu pertama, orang yang shalat berjamaah mendapatkan 27 kali lipat pahala dibandingkan shalat sendirian (HR. Bukhari dan Muslim). Kedua, setiap langkah orang yang shalat berjama’ah dicatat satu pahala sekaligus dihapus satu kesalahan (HR. Bukhari dan Muslim). Ketiga, orang yang shalat berjama’ah akan tetap di doakan oleh para malaikat setelah shalatnya sampai shalat berikutnya selama ia masih ditempat shalatnya (HR. Bukhari dan Muslim). Keempat, makmum yang berbarengan ucapan aminnya dengan para malaikat, maka diampuni dosa-dosanya. (HR. Bukhari).

Keenam, menjaga shalat sunnat. Ramadhan telah mendidik dan melatih kita untuk semangat melakukan ibadah sunnah. Pahala amalan sunnat pada bulan Ramadhan dihitung pahala wajib sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits (HR. Baihaqi).

Itu sebabnya orang berlomba-lomba melakukan shalat-shalat sunnat di bulan Ramadhan. Maka, pasca Ramadhan kita diharapkan kita untuk tetap istiqamah dalam menjaga shalat-shalat sunnat seperti Rawatib, ghair Rawatib, Dhuha, Tahiyatul masjid, Wudhu’, Tahajjud, Witir dan shalat sunat Fajar.

Adapun keutamaan shalat Rawatib yaitu dibangunkan rumah di Surga (HR. Muslim). Keutamaan shalat Dhuha yaitu pahalanya sama seperti bersedekah (HR. Muslim). Mengenai keutamaan shalat sunat setelah wudhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassallam bersabda kepada Bilal, “Hai Bilal, ceritakanlah kepadaku tentang amalan yang paling kamu harapkan akan mendapatkan pahala, yang telah kamu kerjakan sejak masuk Islam, karena aku benar-benar mendengar suara terompahmu di surga.” Bilal menjawab, “Tidak ada amalan yang paling aku harapkan pahalanya kecuali setiap kali selesai berwudhu, baik di waktu siang maupun malam, aku melakukan shalat sunnah semampuku.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Adapun keutamaan shalat sunnat Fajar (sudah masuk waktu shubuh, namun sebelum shalat shubuh) adalah nilai pahalanya lebih baik dari dunia dan isinya, sebagaimana sabda Nabi Saw, “Shalat dua rakaat di waktu fajar lebih baik daripada dunia beserta isinya.” (HR. Muslim)

 

Ketujuh, suka bertadarus al-Quran. Makna tadarus al-Quran adalah membaca, memahami, menghafal dan mempelajari Al-Quran. Ramadhan telah mendidik dan melatih kita untuk tadarus dengan al-Quran. Tadarus al-Quran termasuk amalan yang paling utama dan digalakkan di bulan Ramadhan. Oleh karena itu, umat Islam dengan semangat dan antusias bertadarus al-Quran. Bahkan dalam bulan Ramadhan seorang muslim mampu mengkhatamkan Al-Quran beberapa kali.

Maka, sepeninggal Ramadhan kita diharapkan terbiasa dengan berinteraksi dengan al-Quran baik dengan  membaca, mengkhatamkan,  memahami, menghafal maupun mengkaji al-Quran. Karena al-Quran itu tidak hanya wajib dibaca pada bulan Ramadhan, namun juga wajib dibaca pada bulan-bulan berikutnya (selain Ramadhan).

Banyak sekali keutamaan orang yang membacanya, di antaranya yaitu; Pertama: mendapatkan syafaat (pertolongan) pada hari Kiamat (HR. Muslim). Kedua, Rasulullah Shalallahu ’Alaihi Wassallam menegaskan bahwa orang yang terbaik di antara manusia adalah orang yang mau mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an. (HR. Bukhari). Ketiga, orang yang pandai membaca Al-Qur’an akan disediakan tempat yang paling istimewa di surga bersama para malaikat yang suci. Sedangkan orang yang membaca terbata-bata (belum pandai), maka ia akan diberi dua pahala. (HR. Bukhari dan Muslim). Kelima, orang yang membaca dan mendengar Al-Qur’an akan mendapatkan sakinah, rahmah, doa malaikat dan pujian dari Allah Swt. (HR. Muslim). Keenam, mendapat pahala yang berlipat ganda yaitu setiap huruf dihitung satu kebaikan dan satu kebaikan dilipat gandakankan menjadi sepuluh ganda (HR. at-Tirmizi), dan sebagainya.

Demikianlah hendaknya kita mengisi hari-hari pasca Ramadhan yaitu dengan istiqamah melakukan berbagai ibadah dan amal shalih seperti yang kita lakukan di bulan Ramadhan. Ibadah dan amal shalih ini tidak hanya diperintahkan pada bulan Ramadhan, namun juga pada bulan-bulan lainnya. Kesuksesan Ramadhan seseorang itu ditandai dengan semakin baik ibadah dan perilakunya yaitu menjadi orang bertakwa. Semoga ibadah dan amal shalih kita di bulan Ramadhan diterima Allah Swt. Dan semoga kita termasuk kita termasuk orang-orang yang sukses dalam Ramadhan dan mendapat gelar taqwa. Amin!

 

Oleh: Muhammad Yusran Hadi, Penulis adalah Ketua Majelis Intelektual & Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Aceh, anggota Rabithah Ulama & Duat Asia Tenggara

HIDAYATULLAH

Bayar Fidyah, Mazhab Mana yang Anda Ikuti?

ADA banyak ibadah yang disyariatkan karena adanya sebab tertentu. Misalnya, kaffarah sumpah, disyariatkan karena orang itu melanggar sumpah. Atau kaffarah dzihar, disyariatkan karena ada suami yang mendzihar istrinya, dst.

Termasuk diantaranya membayar fidyah. Membayar fidyah disyariatkan karena seseorang tidak mampu berpuasa.

Allah berfirman,

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. (QS. al-Baqarah: 184).

Artinya, fidyah diwajibkan ketika ada orang yang tidak puasa karena tidak mampu menjalankannya. Sehingga ketidakmampuan untuk berpuasa menjadi sebab adanya fidyah. Ketika ini belum ada, maka fidyah tidak disyariatkan.

Kita simak ilustrasi berikut: Si A sudah tidak mampu berpuasa karena sudah tua. Dia membayar fidyah untuk puasa sebulan di tanggal 5 Ramadan. Kasus yang terjadi, si A baru meninggalkan pausa selama 5 hari. Dari tanggal 1 sampai 5 ramadan. Sementara untuk puasa tanggal 6 sampai 30 ramadan, si A belum meninggalkannya. Karena ketika si A bayar fidyah, hari itu belum datang. Sehingga, si A membayar fidyah untuk kejadian yang belum ada, yaitu meninggalkan puasa tanggal 6 30 ramadan.

Inilah yang dimaksud membayar fidyah sebelum ada sebab.

Lalu bolehkah menyegerakan fidyah sebelum ada sebab tidak puasa? Ulama syafiiyah melarang hal ini.

Imam ar-Ramli ulama Syafiiyah pernah ditanya sebagai berikut,

“Apakah orangtua yang tidak mampu lagi berpuasa wajib niat ketika membayar fidyah? Bagaimana caranya? Lalu bagaimana cara membayar fidyah, apakah wajib untuk dikeluarkan setiap hari di hari itu, atau boleh dia bayarkan sekali, baik di awal Ramadhan atau pertengahannya?”

Jawaban ar-Ramli,

“Dia wajib niat. Karena fidyah termasuk ibadah harta, sebagaimana zakat atau kaffarah. Dia bisa berniat membayar fidyah karena tidak puasa. Dia boleh milih, apakah dibayarkan setiap hari yang dia tidak puasa atau setelah selesai ramadan. Namun tidak boleh mendahulukan pembayaran fidyah, karena berarti mendahulukan amal sebelum adanya kewajiban, disebabkan dia tidak puasa.” (Fatawa ar-Ramli, 2/74).

Ini berbeda dengan mazhab hanafiyah, yang membolehkan membayar fidyah untuk keseluruhan di awal bulan.

Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan,

“Ulama berbeda pendapat tentang kasus orangtua atau orang sakit menahun yang lagi tidak mampu puasa. Apakah boleh menyegerakan bayar fidyah. Hanafiyah membolehkan bayar fidyah di awal bulan, sebagimana boleh dibayarkan di akhir bulan.

Kemudian dalam ensiklopedi itu dilanjutkan keterangan dari mazhab Syafii,

“An-Nawawi mengatakan, seluruh ulama mazhab kami sepakat bahwa orangtua dan orang sakit yang tidak mampu puasa, mereka tidak boleh membayar fidyah sebelum masuk Ramadan, dan boleh setiap hari setelah masuk waktu subuh. Apakah boleh dibayarkan sebelum subuh di bulan Ramadan? Ad-Darimi menegaskan bahwa itu boleh. Dan inilah yang benar. (al-Mausuah al-Fiqhiyah, volume ke-32, hlm. 68).

Hukum Membayar Fidyah dengan Uang

Berdasarkan keterangan di atas, mengenai waktu pelaksanaan fidyah bisa dengan dua cara,

Pertama, dibayarkan harian. Batasnya adalah malam hari ramadan, sebagaimana keterangan ad-Darimi. Jika di tanggal 3 ramadan, si A tidak puasa, dia sudah boleh bayar fidyah di malam tanggal 3 ramadan.

Kedua, dibayarkan sekali untuk satu bulan. Ini hanya bisa dilakukan di akhir ramadhan atau setelah ramadan. Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits/konsultasisyariah]

MOZAIK

Apa Hukum Takbir Keliling?

Beberapa hari terakhir Ramadhan, suasana Idul Fitri 1438 H mulai terasa. Takbir keliling atau semarak lebaran menjadi salah satu tandanya. Meski demikian, sejumlah masyarakat bertanya kepada Komisi Fatwa MUI tentang hukum takbir keliling.

Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh mengatakan takbir di malam Idul Fitri hukumnya sunnah bagi setiap muslim. Ini menjadi salah satu tanda hari kemenangan dan keberasan Allah. Meski demikian, gema takbir ini bisa dilakukan dimana saja.

“Takbir dapat dilaksanakan dengan sendiri atau berjamaah, dapat dilaksanakan di rumah, di masjid, di mushalla, juga di jalan. Bisa dilaksanakan dengan duduk berdiam diri, jalan, atau dengan berkendara, baik darat, laut maupun udara,” katanya, dilansir siaran pers yang diterima Republika.co.id, Sabtu (24/6).

MUI pun mengimbau kepada seluruh umat Islam untuk menghidupkan malam Idul Fitri dengan syiar kumandang takbir, tahmid, dan tahlil, di manapun berada. Asrorun menyarankan untuk menyemarakkan masjid, mushalla, rumah, jalanan, dengan semarak syiar takbir dan memuji asma Allah.

“Syiar takbir yang menggema di seluruh negeri diharapkan dapat menjadi penyebab diturunkannya rahmat Allah, sehingga negeri ini dikaruniai kedamaian, keamanan,  dan kesejahteraan,” kata dia.

 

REPUBLIKA

Batalkah Puasa Wajib tanpa Udzur? Ini Hukumnya!

ADA yang bertanya kepada Ustaz M Shiddiq Al Jawi, apakah jika orang membatalkan puasa wajib secara sengaja tanpa udzur syari, adakah kewajiban qadha atas orang itu?

Bagaimana dengan hadis yang menyebutkan “lam yaqdhi shiyamud dahri wa in shaamahu” (Dia tak akan dapat mengqadhanya dengan puasa satu tahun, meskipun dia melakukan puasa satu tahun)?

Ustaz menjawab sebagai berikut; Para ulama berbeda pendapat mengenai orang yang dengan sengaja tak berpuasa atau berpuasa tapi membatalkannya tanpa udzur syari, misalnya sakit atau dalam perjalanan. Ada dua pendapat; Pertama, pendapat jumhur ulama yang mengatakan orang tersebut wajib mengqadha.

Dalam kitab Rahmatul Ummah fi Ikhtilafil A`immah disebutkan, “Mereka [Imam Abu Hanifah, Malik, Syafii, dan Ahmad] sepakat bahwa orang yang sengaja makan atau minum pada siang hari pada bulan Ramadan sedang dia dalam keadaan sehat dan mukim (tak dalam perjalanan), maka dia wajib mengqadha` (M. Abdurrahman Ad Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilafil A`immah, hlm. 93).

Dalil wajibnya qadha adalah hadis dari Abu Hurairah RA yang diriwayatkan Imam Dawud mengenai seorang laki-laki yang menggauli istrinya pada siang hari bulan Ramadan. Pada ujung hadis, Rasulullah SAW bersabda, “Dan berpuasalah satu hari [sebagai gantinya] dan mintalah ampun kepada Allah [wa shum yauman wastighfirillaah].” (HR Abu Dawud,no 2393). Jumhur ulama mengatakan hadis ini merupakan dalil yang menunjukkan wajibnya qadha bagi orang yang sengaja berbuka (membatalkan puasanya) tanpa udzur syari. (Imam Shanani, Subulus Salam, 2/164; Said Al Qahthani, Al Shiyam fil Islam, hlm. 288; Ahmad Huthaibah, Al Jami li Ahkam Al Shiyam, hlm. 138).

Kedua, pendapat sebagian ulama, seperti Imam Ibnu Hazm dan Imam Ibnu Taimiyyah, yang mengatakan bahwa qadha tidak disyariatkan bagi orang tersebut. Dalilnya, hadis dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa berbuka pada satu hari dari bulan Ramadan tanpa suatu rukhsah yang diberikan Allah kepadanya maka dia tak akan dapat mengqadhanya dengan puasa satu tahun (lam yaqdhi anhu shiyaam ad dahr).” (HR Abu Dawud, no 2396; Ibnu Majah no 1672; Ad Darimi 2/10; Ahmad, 2/376).

Dalil lainnya, pendapat sebagian sahabat seperti Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Masud, dan Abu Hurairah yang tak mewajibkan qadha` bagi orang yang sengaja berbuka tanpa udzur syari. (Ibnu Hazm, Al Muhalla, 2/359; Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 3/108; Abdurrahman Al Harafi, Ahkamush Shiyam, hlm. 45).

Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat jumhur ulama, yang mewajibkan qadha bagi orang yang membatalkan puasa secara sengaja tanpa udzur syari. Ada dua alasan; pertama, bahwa hadis Abu Hurairah RA bahwa orang yang berbuka tanpa rukhsah tak akan dapat mengqadha puasanya walau puasa setahun, adalah hadis yang dhaif (lemah). (Nashiruddin Al Albani, Dhaif Sunan Abi Dawud, hlm. 517).

Alasan kelemahannya, karena ada seorang periwayat hadis bernama Abu Muthawwas yang majhul (tak diketahui dengan jelas identitasnya). Demikian sebagaimana dijelaskan oleh Imam Bukhari dalam At Tarikh Al Kabir, Imam Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Bari, dan Imam Ibnu Hazm dalam Al Muhalla. Imam Ibnu Hazm berkata, “Abu Muthawwas tidaklah terkenal sifat keadilannya (ghairu masyhur bi al adalah).” (Ibnu Hazm, Al Muhalla, 2/358; Abdurrahman Al Harafi,Ahkamush Shiyam, hlm. 45).

Kedua, pendapat sebagian sahabat yang tak mewajibkan qadha, kedudukannya hanya sebagai ijtihad yang boleh saja diikuti, namun bukan dalil syari. (Mahmud Uwaidhah, Al Jami li Ahkam Al Shiyam, hlm. 55). Ijtihad shahabat dalam ilmu ushul fiqih disebut dengan istilah mazhab al shahabi, yakni mazhab seorang shahabat. Para ulama berbeda pendapat apakah mazhab al shahabi dapat menjadi hujjah (dalil syari) atau tidak.

Namun yang rajih menurut jumhur ulama adalah bukan dalil syari. Imam Taqiyuddin An Nabhani berkata, “Madzhab sahabat tidak termasuk dalil-dalil syari. [mazhab al shahabi laisa min al adillah al syariyyah].” (Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/417). Kesimpulannya, orang yang membatalkan puasa secara sengaja tanpa uzur syari, wajib mengqadha`. Wallahu alam. [konsultasiislam ]

MOZAIK

Ramadan, Waktu yang Tepat Berhenti Merokok

SYAIKH Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah taala pernah ditanya: Sebagian orang yang berpuasa yang gemar merokok meyakini bahwa mengisap rokok di bulan Ramadan bukanlah pembatal puasa karena rokok bukan termasuk makan dan minum.

Bagaimana pendapat Syaikh yang mulia tentang masalah ini?Beliau rahimahullah menjawab:

Menurutku, ini adalah pernyataan yang tidak ada usulnya sama sekali. Bahkan sebenarnya rokok termasuk minum (syariba). (Dalam bahasa Arab) mengisap rokok disebut syariba ad dukhon. Jadi mengisap rokok disebut dengan minum (syariba).

Kemudian juga, asap rokok -tanpa diragukan lagi- masuk hingga dalam perut atau dalam tubuh. Dan segala sesuatu yang masuk dalam perut dan dalam tubuh termasuk pembatal puasa, baik yang masuk adalah sesuatu yang bermanfaat atau yang mendatangkan bahaya. Misalnya seseorang menelan manik-manik, besi atau selainnya (dengan sengaja), maka puasanya batal. Oleh karena itu, tidak disyaratkan sebagai pembatal puasa adalah memakan atau meminum sesuatu yang bermanfaat. Segala sesuatu yang masuk ke dalam tubuh dianggap sebagai makanan dan minuman.

Mereka meyakini bahkan mengenal bahwa mengisap rokok itu disebut (dalam bahasa Arab) syariba (yang artinya = minum), namun mereka tidak menyatakan bahwa rokok adalah pembatal puasa. Sama saja kita katakan bahwa ini jumlahnya satu, namun dia menganggap mustahil ini jumlahnya satu. Jadi, orang ini ada kesombongan dalam dirinya.

Kemudian berkaitan dengan bulan Ramadan, ini adalah waktu yang tepat bagi orang yang memiliki tekad yang kuat untuk meninggalkan rokok yang jelek dan bisa mendatangkan bahaya. Waktu ini adalah kesempatan yang baik untuk meninggalkan rokok karena sepanjang siang seseorang harus menahan diri dari hal tersebut. Sedangkan di malam hari, dia bisa menghibur diri dengan hal-hal yang mubah seperti makan, minum, jalan-jalan ke masjid atau berkunjung ke majelis orang saleh. Untuk meninggalkan kebiasaan merokok, seseorang juga hendaknya menjauhkan diri dari para pencandu rokok yang bisa mempengaruhi dia untuk merokok lagi.

Apabila seorang pencandu rokok setelah sebulan penuh meninggalkan rokoknya (karena moment puasa yang dia lalui), ini bisa menjadi penolong terbesar baginya untuk meninggalkan kebiasaan rokok selamanya, dia bisa meninggalkan rokok tersebut di sisa umurnya. Bulan Ramadan inilah kesempatan yang baik. Waktu ini janganlah sampai dilewatkan oleh pecandu rokok untuk meninggalkan kebiasaan rokoknya selamanya.[]

Sumber : Majmu Fatawa wa Rosail Ibnu Utsaimin, Bab Ash Shiyam, 17/148 (Asy Syamilah)

– See more at: http://ramadhan.inilah.com/read/detail/2384704/ramadan-waktu-yang-tepat-berhenti-merokok#sthash.uXh96zOw.dpuf