Digital Apartheid Terhadap Palestina: Retorika dan Utopia Ruang Publik

Tulisan opini yang di tulis oleh Omar Zahzah (13/4/21) pad situs Al Jazeera dengan judul Digital Apartheid: Palestinians being silenced on social media, mengingatkan penulis kepada teori ruang publik yang bisa disediakan oleh media sosial.

Teori ruang publik sendiri dikemukan oleh Jurgen Habermas. Menurut Habermas, Ruang publik merupakan tempat berkumpulnya orang-orang untuk berdikusi secara rasional. Ruang publik memiliki peranan yang besar dalam proses demokrasi, karena orang-orang yang ada di dalamnya bebas menyatakan argumen, sikap, opini, kepentingan dan kebutuhan mereka secara diskursif. Ruang publik yang besar akan menjadi sarana untuk diseminasi dan pengaruh.

Merujuk pada tulisan Omar Zahzah di atas, Platform media sosial yang di-isi oleh akademisi untuk memperbincangkan argumen, sikap, opini, kepentingan dan kebutuhan mereka secara diskursif mengenai Palestina, mengalami nasib yang ironis. Secara sistematis platform tersebut menolak acara-acara, status, post dan menghapus dokumen yang berhubungan dengan diskursus yang membela Palestina atau bahkan sekedar kritis terhadap Israel.

Kejadian tersebut merupakan hal yang biasa dalam sebuah teori retorika. Secara teori, retorika terbagi menjadi metode retorika dan situasi retorika. Metode retorika adalah metode yang digunakan untuk memahami situasi retorika saat ini dan bagaimana retorika dapat bekerja lebih baik untuk esok (Safitri, 2015). Sedangkan situasi retorika adalah kondisi atau momentum yang dapat dimanfaatkan untuk mempopulerkan atau menjatuhkan sebuah gerakan (Snowball dalam Safitri, 2017). Apa yang dilakukan oleh para akademisi pro Palestina dan pemilik platform media sosial, dalam kacamata teori tersebut, sah sebagai sebuah metode retorika.

Para akademisi ingin memanfaatkan momen penembakan atas sejumlah rakyat sipil Palestina oleh Polisi Israel untuk mengingatkan dunia akan kekejian yang dilakukan pemerintahan Israel kepada warga Palestina pada Bulan suci Ramadhan. Para akademisi tersebut juga berupaya mengungkap bahwa kekejian ini bukan yang pertama dilakukan, sudah banyak kekejian yang dilakukan oleh tantara dan polisi Israel terhadap warga Palestina sebelumnya tanpa ada penyelesaian humanis yang menangani hal tersebut.

Di sisi yang lain, para pemilik Platform media sosial ingin menghentikan retorika tersebut berkembang di dalam platform mereka, karena mereka memiliki kuasa atas hal tersebut. Salah satu kuasa mereka adalah dengan menciptakan kondisi yang mendorong terjadinya spiral of silent, dimana mereka yang memiliki sudut pandang pembelaan terhadap Palestina akan merasa sebagai minoritas dan menarik diri dan diam karena komunikasi mereka dibatasi. Para pemilik platform media ini akan berfokus pada pengarusutamaan (mainstreaming) pandangan yang mereka setujui dan dukung sehingga seolah-olah menjadi pendapat mayoritas dan membuat pandangan yang berlawanan menjadi seolah-olah minoritas dan tidak terlibat lagi dalam mengkomunikasikan opini mereka yang menyebabkan munculnya spiral komunikasi yang bergerak ke bawah.

Teori spiral of silent ini tidak berlaku bagi kelompok atau individu masyarakat yang termasuk dalam kelompok avant garde dan hard core. Avant garde adalah orang-orang yang merasa bahwa posisi mereka akan semakin kuat. Pada situasi sekarang, para akademisi pro Palestina adalah dapat diletakkan pada posisi avant garde yang akan terus menemukan jalan untuk menguatkan posisi mereka. Disamping itu mereka juga orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok hard core, yaitu mereka yang selalu menentang, apa pun konsekuensinya.

Oleh karena itu, walaupun ada usaha yang sistematis untuk memblokir dan membatasi ruang gerak para avant garde dan hard core di beberapa media sosial oleh beberapa para pemilik platform media sosial, akan ada platform media sosial lainnya yang akan menjadi tempat untuk melakukan retorika gerakan sosial yang diyakini kebenarannya. Walaupun ada usaha untuk melemahkan suara demokrasi mengenai Palestina melalui apa yang disebut sebagai digital Apartheid, akan selalu ada platfom media sosial baru yang digunakan untuk terus menyuarakannya oleh mereka para avant garde dan hard core pembela Palestina.

Meskipun para avant garde pro Palestina akan menemukan kanal baru, namun apa yang dilakukan oleh para pemilik platform media sosial tentu sangat mengkhawatirkan, terutama untuk perkembangan demokrasi secara global. Platform-platform media sosial berbasis internet yang tadinya dianggap sebagai ruang publik yang ideal, ternyata juga tidak bebas dari penyensoran sepihak. Habermas sendiri sudah mengingatkan akan kematian ruang publik ketika terjadi transisi dari kapitalisme liberal ke kapitalisme monopoli, persis seperti yang terjadi saat ini ketika ruang public digital sudah dimonopoli oleh platform seperti Facebook dan Google

Isu Palestina saat ini tentunya bukan yang pertama dan jelas bukan yang terakhir bagi penerapan digital apartheid, dengan kesadaran tersebut maka kita patut bertanya apakah ruang publik dalam definisi Habermas memang hanyalah utopia.

RETIZEN REPUBLIKA

Deklarasi Balfour, 112 Kata yang Menjerumuskan Palestina

Deklarasi Balfour menjadi titik berdirinya Israel dan kerugian besar Palestina

Konflik antara Israel dan Palestina tak berhenti hingga saat ini. Penyerangan selama 11 hari pada Mei 2021 adalah serangan terakhir yang menyoroti perhatian dunia. Perang ini ditengahi Mesir dengan gencatan senjata yang dilanggar beberapa jam kemudian pada Jumat lalu.

Jika menelusuri sejarah, awal dari konflik ini adalah adanya Deklarasi Balfour yang dikeluarkan pada tanggal 2 November 1917. Percaya atau tidak, sebanyak 112 kata yang diketik itu bisa mengubah nasib rakyat Palestina. Inggris secara terbuka berjanji untuk mendirikan “rumah nasional” bagi orang-orang Yahudi di Palestina. Dokumen Balfour dianggap paling kontroversial dan diperdebatkan dalam sejarah modern dunia Arab dan telah membingungkan para sejarawan selama beberapa dekade.

Apa itu Deklarasi Balfour?

Deklarasi Balfour adalah perjanjian berisi 112 kata oleh Inggris pada tahun 1917 yang menyatakan tujuannya untuk membangun “rumah nasional” bagi orang-orang Yahudi di Palestina. Pernyataan itu datang dalam bentuk surat dari Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Balfour yang ditujukan kepada tokoh komunitas yahudi Inggris Lionel Walter Rothschild. Itu dibuat selama Perang Dunia I (1914-1918) dan dimasukkan dalam persyaratan mandat Inggris untuk Palestina setelah pembubaran Kekaisaran Ottoman.

Deklarasi ini bermula pada 1897 dan pendirian organisasi zionis di Swiss oleh Theodore Herzl. Organisasi itu berusaha mewujudkan aspirasi politik zionisme, rumah bagi orang-orang Yahudi di Palestina. Beberapa tahun kemudian, zionis politik mulai mendorong migrasi lebih lanjut ke Palestina dengan harapan Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat akan mendukungnya.

Dikutip MEE, Selasa (25/5), Perdana Menteri Inggris David Lloyd George adalah orang Kristen Evangelis Welsh dan salah satu dari sekelompok politisi Kristen yang taat. Dia menganggap pendirian tanah air Yahudi sebagai pemenuhan nubuatan alkitabiah, bahwa orang-orang yang telah lama teraniaya akan dapat kembali dari pengasingan ke tanah air mereka.

Pada 1914, Pemimpin Zionis Chaim Weizmann melakukan kontak dengan Rothschild dan mulai melobi anggota pemerintah Inggris. Setahun kemudian, kabinet Inggris untuk pertama kalinya membahas gagasan tanah air bagi orang Yahudi di Palestina.

John Bond dari Proyek Balfour mengatakan diskusi di antara para politisi Inggris tidak terlalu berfokus pada agama dan lebih pada keamanan geopolitik. Dia menyebut motifnya adalah imperialisme. Di sini, Inggris melihat adanya manfaat strategis. Sejak dimulainya mandat, Inggris mulai memfasilitasi imigrasi orang-orang yahudi Eropa ke Palestina. Antara 1922 dan 1935, populasi Yahudi meningkat dari sembilan persen menjadi hampir 27 persen.

Meskipun Deklarasi Balfour menyatakan tidak ada yang boleh dilakukan yang dapat merugikan hak-hak sipil dan agama dari komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina, mandat Inggris menerapkan cara yang mengorbankan orang Arab Palestina.

Mengapa kontroversial?

Selain soal perjanjian tanah orang yahudi di pemukim Arab Palestina, Deklarasi Balfour merupakan salah satu dari tiga janji masa perang yang saling bertentangan dibuat Inggris. Inggris telah menjanjikan kemerdekaan Arab dari Kekaisaran Ottoman dalam Korespondensi Hussein-MacMahon 1915.

Inggris juga berjanji kepada Prancis dalam perjanjian terpisah, Perjanjian Sykes-Picot 1916 bahwa mayoritas Palestina akan berada di bawah administrasi internasional. Sementara wilayah lainnya akan dibagi antara dua kekuatan kolonial setelah perang.

Bagaimanapun, perjanjian itu membuat Palestina di bawah pendudukan Inggris dan orang Arab Palestina yang tinggal tidak akan memperoleh kemerdekaan. Akhirnya, dalam Deklarasi Balfour memperkenalkan sebuah gagasan rumah nasional. Gagasan ini belum pernah terjadi dalam hukum internasional. Penggunaan istilah “rumah nasional” membuat maknanya menjadi multitafsir.

Republika.co.id

Palestina dalam Nubuwat Akhir Zaman

Ramadhan 1435 H merupakan ujian keimanan yang cukup berat. Pasukan Zionis Israel mengulang kembali kebrutalannya sebagaimana Gaza 2 atau 5 tahun yang silam. Tanpa ada perang terbuka seperti yang terjadi saat ini, sebenarnya kaum Muslimin di Gaza dan Palestina juga tidak pernah merasakan kedamaian dan ketentraman hidup yang layak. Sebab, kaum Zionis tiada henti melakukan konspirasi dan kedzaliman.

Kedzaliman semacam ini telah berlangsung di Palestina selama puluhan tahun. Bahkan sejarah negeri Syam yang di dalamnya termasuk Palestina merupakan sejarah yang tidak pernah sepi dari peperangan antara kaum Muslimin dengan bangsa Yahudi dan Nashrani. Perang Salib adalah sedikit contoh bagaimana penduduk Syam / Palestina memang tidak pernah berhenti pertarungan antara hak dan bathil.

Muncul pertanyaan dalam benak kita, apakah memang negeri itu sudah ditakdirkan menjadi ajang pertarungan yang tidak akan kunjung usai hingga datangnya kiamat? Nampaknya kita perlu melihat kembali apa yang telah diingatkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassallam dalam banyak nubuwatnya. Setidaknya, inilah beberapa nubuwat yang pernah disampaikan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassallam tentang negeri Syam / Palestina.

Pertama, Palestina akan menjadi bumi ribath sampai akhir zaman

Mu’awiyah bin Abi Sufyan berkata, “Saya mendengar Rasulullah bersabda, “Akan senantiasa ada sekelompok umatku yang menegakkan agama Allah, orang-orang yang memusuhi mereka maupun tidak mau mendukung mereka sama sekali tidak akan mampu menimpakan bahaya terhadap mereka. Demikianlah keadaannya sampai akhirnya datang urusan Allah.” Malik bin Yakhamir menyahut: Mu’adz bin Jabal mengatakan bahwa mereka berada di Syam.” Mu’awiyah berkata, “Lihatlah, ini Malik menyebutkan bahwa ia telah mendengar Mu’adz bin Jabal mengatakan bahwa kelompok tersebut berada di Syam.” [ HR. Bukhari: Kitabul Manaqib no. 3369 dan Muslim: dalam Kitabul Imarah no. 3548].

Tentang negeri Syam yang disebutkan dalam hadits di atas, riwayat di bawah ini memperjelas bahwa negeri Syam yang dimaksud adalah Palestina. Hal itu sebagaimana yang disebutkan dari Abu Umamah, ia berkata, Rasulullah bersabda, “Akan senantiasa ada sekelompok umatku yang berada di atas kebenaran, mengalahkan musuh-musuhnya, dan orang-orang yang memusuhi mereka tidak akan mampu menimpakan bahaya terhadap mereka kecuali sedikit musibah semata. Demikianlah keadaannya sampai akhirnya datang urusan Allah.”“Wahai Rasulullah, di manakah kelompok tersebut?”tanya para sahabat. “Mereka berada di Baitul Maqdis dan serambi Baitul Maqdis.”

Maka, berbagai pertanyaan yang terus menggelayuti benak setiap Muslim; mengapa konflik di Palestina dan pertikaian antara umat Islam dan Yahudi tak kunjung usai, barangkali bila dilacak dari sudut pandang takdir bisa dijawab dengan hadits ini. Sungguh, negeri Palestina tidak akan pernah sepi dari peperangan antara kaum Muslimin dengan musuh-musuhnya. Dan, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat di atas, musibah apapun yang ditimpakan oleh musuh-musuh Islam terhadap kaum Muslimin di Palestina, hal itu tidak memberikan madharat kecuali sedikit musibah.

Maknanya, bahwa sehebat apapun gempuran musuh yang ditimpakan terhadap umat Islam di Palestina, maka hal itu tidak akan pernah membuat komunitas di negeri itu lenyap. Ada semacam jaminan bahwa umat Islam di negeri itu akan tetap eksis. Dan jihad di negeri itu akan terus berlanjut sampai akhir zaman; sampai kaum Muslimin berhasil mengalahkan Dajjal.

Kedua, Palestina akan menjadi Bumi Hijrah di Akhir Zaman

Nubuwat lain yang juga menakjubkan adalah bahwa negeri Palestina ini akan menjadi bumi hijrah akhir zaman. Hal itu sebagaimana yang disebutkan dari Abdullah bin Amru bin Ash berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda, “Akan terjadi hijrah sesudah hijrah, maka sebaik-baik penduduk bumi adalah orang-orang yang mendiami tempat hijrah Ibrahim, lalu yang tersisa di muka bumi hanyalah orang-orang yang jahat. Bumi menolak mereka, Allah menganggap mereka kotor, dan api akan menggiring mereka bersama para kera dan babi.” [HR. Abu Daud. Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 3202]

Ketiga, Palestina akan menjadi Tempat Tegaknya Khilafah di Akhir Zaman

Nubuwat lain yang disebutkan oleh Rasulullah n. adalah bahwa Palestina akan menjadi salah satu tempat tegaknya Khilafah di akhir zaman. Hal itu sebagaimana yang disebutkan bahwa Abdullah bin Hawalah Al-Azdi berkata, “Wahai Ibnu Hawalah, jika engkau melihat kekhilafahan telah turun di bumi Al-Maqdis (Baitul Maqdis, Palestina), maka itu pertanda telah dekatnya berbagai goncangan, kegundah-gulanaan, dan peristiwa-peristiwa besar. Bagi umat manusia, kiamat lebih dekat kepada mereka daripada dekatnya telapak tanganku kepada kepalamu ini.” [HR: Abu Daud no. 2535]

Keempat,  Asqolan (wilayah Palestina yang kini dalam cengkeraman penjajah Zionis Israel) akan menjadi salah satu tempat terbaik untuk ribath

Dari Ibnu Abbas bahwasanya Rasulullah n bersabda, “Permulaan dari perkara Islam ini adalah kenabian dan rahmat. Kemudian tegaknya khilafah dan rahmat. Kemudian berdiri kerajaan dan rahmat. Kemudian berlaku pemerintahan (kerajaan kcil-kecil) dan rahmat. Kemudian orang-orang memperebutkan kekuasaan seperti kuda-kuda yang berebut makanan. Maka (pada saat seperti itu), hendaklah kalian berjihad. Sesungguhnya jihad yang paling utama adalah ribath, dan sebaik-baik ribath kalian adalah di Asqalan.” [HR. Thabrani].*

HIDAYATULLAH

Mengenang 37 Tahun Tragedi Kamp Palestina Sabra dan Shatila

Dari kejauhan terlihat kibaran bendera yang sudah sangat saya hapal. Hitam-putih-hijau-merah. Bendera Palestine! Allahu akbar!

Driver Abu Ismail menunjuk sebelah kiri, ia mengatakan kalau itu adalah kamp pengungsi Palestine. Rumah-rumah yang sudah terlihat tua, centang perentang. Ah, hati kembali basah.

Saya teringat buku yang ditulis Dr Ang Swee Chai “From Beirut to Jerusalem” tentang pembantaian di Kamp Sabra-Shatila.

Tiba-tiba tercetus tanya, “Where’s Sabra-Shatila Camp?”

“Sabra-Shatila is in Libanon, Mam,” wajah Abu Ismail berubah sendu.

Ah, tentu saja saya tahu kalau Kamp Sabra-Shatila ada di Libanon. Tapi entah kenapa pertanyaan itu terlontar begitu saja, ketika mendengarnya mengatakan bangunan yang ada di kiri jalan adalah kamp pengungsi Palestine.

Mungkin karena ini pertama kali saya melihat langsung kamp pengungsi yang sudah ratusan kali saya baca di buku maupun tonton di tayangan berita tentang Palestine.

Hari ini, mungkin tak banyak yang masih mengingat peristiwa memilukan yang terjadi mulai 16 September selama beberapa hari, 37 tahun lalu. Tragedi berdarah di kamp pengungsi Palestine yang bernama Sabra dan Shatila di Libanon.

Sebenarnya, Sabra adalah nama pemukiman miskin di pinggiran selatan Beirut, yang bersebelahan dengan kamp pengungsi UNRWA Shatila yang dibangun untuk pengungsi Palestine pada 1949.

Interaksi selama bertahun-tahun membuat penduduk kedua wilayah itu menjadi biasa menggunakan istilah kamp Sabra dan Shatila.

Pembantaian penduduk sipil di kamp pengungsi itu terjadi sewaktu zionis Israel menduduki Beirut. Mereka menggunakan tangan-tangan milisi Maronit yang dipimpin Elie Hobeika.

Selama beberapa hari kamp pengungsian itu berubah menjadi neraka. Ratusan orang, termasuk wanita dan anak-anak dibantai di tepi jalan. Tak kurang 500 orang syahid atau dinyatakan hilang.

Seorang saksi hidup bernama Magida mengatakan, “Tetangga kami ikut bersembunyi. Gaunnya berlumuran darah. Ia mengatakan orang-orang dibantai di jalanan. Awalnya kami tidak percaya, tapi setelah mendengar jeritan di sana-sini kami baru sadar apa yang terjadi.”

Pejabat yang dituding paling bertanggung jawab atas tragedi itu adalah Menteri Pertahanan Ariel Sharon. Dunia murka, hingga ia dipaksa meletakkan jabatannya.

Meski begitu, ia melenggang bebas tanpa pernah diadili. Belakangan, ia bahkan sempat menjabat menjadi Perdana Menteri Israel.

Kematian Sharon setelah koma selama 8 tahun disyukuri warga Sabra dan Shatila. Dirayakan dengan membagikan permen dan makanan manis. Beberapa menyanyi dan menabuh gendang.

Hari ini, mari sejenak kita mengingat para syuhada dan kirimkan doa untuk mereka. “Allahummaghfir lahum, warhamhum, wa’afihi wa’fu ‘anhum, waj’alil jannata matswahum”.

Duka untuk Sabra dan Shatila…

Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Traveler dan Penulis Buku

IHRAM

Al-Azhar: ‘UU Rasis’ Israel akan Gagal Halangi Perjuangan Bebaskan Baitul Maqdis

Al-Azhar asy Syarif mengecam keras langkah ‘Israel’ menyetujui UU Negara Yahudi, sebagai langkah rasial yang mengungkap hakikat penjajah tanah Palestina.

Al-Azhar menegaskan, langkah illegal yang ditempuh ‘Israel’ merupakan rangkaian pelanggaran baru terhadap eksistensi bangsa Palestina, dimulai dari perjanjian Balfour 1917, dilanjutkan klaim Amerika Serikat (AS) yang memindahkan kedutaannya ke Yerusalem (Baitul Maqdis) Ibu Kota ‘Israel’,  pada Senin,  14 Mei 2018.

“Al-Azhar dengan keras mengecam … apa yang disebut ‘Undang-undang Negara Bangsa (Yahudi)’ dalam sebuah langkah mencerminkan rasisme yang buruk dan membuktikan sifat sebenarnya dari pendudukan itu,” kata lembaga Islam bersejarah itu dalam pernyataannya yang dibagikan pada akun media sosialnya sebagaimana dikutip al Ahram.

Hari Kamis, anggota parlemen Zionis ‘Israel’, Knesset,  menyetujui dan meloloskan ‘Undang-undang Negara Bangsa’ yang mendefinisikan ‘Israel’ sebagai negara bangsa dari orang-orang Yahudi dan menjadikan bahasa Ibrani sebagai bahasa resmi. Penjajah juga mendefinisikan ‘UU rasis’ pembentukan komunitas Yahudi sebagai alasan kepentingan nasional.

Undang-undang apartheid ini telah memprovokasi kekhawatiran dunia yang akan menyebabkan meminggirkan warga Arab di ‘Israel’.

Undang-undang yang didukung oleh 62 anggota parlemen dan ditolak oleh 55 anggota itu menempatkan warga Arab di ‘Israel’ sebagai “orang asing permanen”.

Undang-undang rasis ini dinilai akan memulai proses jangka panjang yang akan mengikis hak dan status warga Muslim dan Kristen Arab ‘‘Israel’’, menurut kritikus.

Menurut Al Azhar, langkah rasial ‘Israel’ ini akan gagal menghadapi keteguhan dan pengorbanan bangsa Palestina, dan komitmen mereka untuk mendirikan hak negara merdeka dengan Ibu Kota Baitul Maqdis.

“Langkah tersebut merupakan babak baru dalam katalog pelanggaran dan serangan yang diderita oleh warga Palestina,” kata  pemegang jabatan ulama Islam Sunni yang dihormati dan jabatan publik penting di Mesir ini dalam sebuah pernyataan.

Al-Azhar al-Syarif menegaskan bahwa Palestina akan tetap sebagai bagian Negara Arab, yang tak bisa ditawar, meski beragam agama dan suku.

“Palestina akan selalu tetap menjadi Negara Arab, hak yang tidak dapat dicabut untuk orang-orang Arabnya terlepas dari agama dan sekte mereka,” sebagaimana dikutip MENA.

“Keputusan rasis ini akan gagal dalam menghadapi ketahanan dan pengorbanan rakyat Palestina dan hak mereka untuk memiliki negara merdeka yang ibukotanya adalah Yerusalem,” kata Al-Azhar.

Al-Azhar dianggap sebagai salah satu institusi Ahlus Sunnah (Sunni) terbesar dan paling berpengaruh di dunia.*

HIDAYATULLAH

Obat untuk Anak-anak Penderita Leukemia di Gaza Nyaris Habis

GAZA, Senin (PIC): Rumah Sakit Anak Al-Rantisi di Gaza memperingatkan bahwa obat kanker yang dikenal dengan Mercaptopurine hampir habis. Obat ini digunakan dengan obat-obatan lain untuk mengobati anak-anak yang menderita jenis kanker tertentu, khususnya leukemia limfositik akut. Ini merupakan obat kemoterapi yang diminum.

Kepala farmasi darah dan tumor rumah sakit Talha Ba’lusha menjelaskan bahwa setiap anak dengan leukemia biasanya membutuhkan Mercaptopurine selama sekitar dua tahun dan ketiadaan obat penting ini akan mengancam kesehatan anak-anak yang sakit itu.

Ba’lusha menambahkan, puluhan anak yang sakit mendapatkan obat ini di seluruh tahap perawatan mereka. Oleh karena itu, ia mendesak otoritas berwenang untuk mengatasi masalah ini dan menyelamatkan puluhan anak-anak yang menderita penyakit ini. Ia juga menegaskan bahwa harga obat di Gaza empat kali lipat dari harga sebenarnya.* (PIC | Sahabat Al-Aqsha)

Yaser Abu Al-Naja, ‘Bukan Bocah Palestina Terakhir yang Dibunuh Serdadu Zionis’

JALUR GAZA, Ahad (Al Jazeera): Pada Jumat (29/6) sore, ketika para serdadu Zionis dari sisi lain pagar perbatasan menembakkan gas airmata, peluru berlapis karet dan amunisi tajam, Yaser Abu Al-Naja dan beberapa temannya berlindung di balik tempat sampah jauh dari garis depan demonstrasi di Jalur Gaza.

Ketika Yaser mengintip sebentar dari balik tempat sampah, peluru ledak menghantamnya di kepala. Tempurung kepalanya hancur, ungkap para saksi mata.

Yaser masih berusia 11 tahun. Pembunuhannya pada Jumat lalu menjadikan ia anak Palestina ke-16 yang ditembak mati serdadu Zionis sejak diluncurkannya demonstrasi “Great March of Return” pada 30 Maret.

Beberapa jam kemudian, saat matahari terbenam, ibunda Yaser Samah Abu Al-Naja sedang menjelajah Facebook di telepon genggamnya ketika ia tiba-tiba melihat sebuah foto “anak laki-laki tidak dikenal” dengan kepala diburamkan dan pakaian berlumuran darah.

“Wajahnya tidak terlihat, tapi saya mengenalinya sebagai anak saya dari pakaian yang ia kenakan,” ungkap wanita berusia 30 tahun itu kepada Al Jazeera di rumahnya di timur Khan Younis, selatan Jalur Gaza.

“Tetangga dan salah seorang putri saya duduk bersama saya,” tambahnya. “Saya menoleh ke mereka dengan telepon di tangan saya dan mengatakan: ‘ini putra saya.’”

Hal mengerikan yang ia lihat itu tentu saja membuatnya syok. Ketika menuju Rumah Sakit Eropa, tempat jenazah Yaser berada, Samah berusaha keras untuk menyadarkan pikirannya tentang fakta bahwa anak pertamanya telah ditembak mati.

“Saya tidak pernah menduga anak saya dibunuh,” ujarnya, menangis. “Saya tahu dia pergi setiap Jumat untuk mengikuti demonstrasi, tapi itu didorong oleh rasa ingin tahu dan ia pergi untuk menyaksikan pengunjuk rasa lainnya bersama teman-temannya.”

‘Sinar matahari’

Yaser lahir pada 2006. Ia tumbuh dengan mengalami tiga serangan ‘Israel’ yang menghancurkan daerah kantong yang dikuasai Hamas itu. Rumah keluarganya dihancurkan dua kali selama masa hidupnya yang singkat – sekali tahun 2011 dan pada 2014 – yang membuat ia dan kerabatnya mencari tempat penampungan sementara dengan keluarga-keluarga lainnya.

Mereka yang mengenal Yaser –yang pemakamannya diselenggarakan pada Sabtu (30/6)– menggambarkannya sebagai anak yang sopan, penurut, pintar dan sangat menyukai olahraga, seperti berenang, menunggang kuda dan sepakbola. Pada malam sebelum ia gugur, ia menyaksikan sepakbola Piala Dunia dengan teman-temannya.

“Dia membantu merawat adik-adiknya,” kata sang ibu. “Ia sangat supel dan suka bermain di luar bersama teman-temannya.”

Ia adalah anak laki-laki pertama dalam keluarga. Kelahiran Yaser merupakan sumber utama kebahagiaan bagi orangtua dan istri pertama ayahnya, Naeema. Naeema memiliki sembilan anak perempuan. Kemudian ia menyarankan suaminya, Amjad Abu Al-Najar, lebih dari satu dekade lalu untuk menikahi wanita muda dengan harapan mengandung seorang pewaris laki-laki yang didambakan. Ketika Yaser lahir, wanita 48 tahun itu memperlakukannya seperti anaknya sendiri.

“Dia selalu ada di rumah saya seperti sinar matahari,” kata Naeema. “Kakak-kakak perempuannya, putri-putri saya, sangat dekat dengannya dan sangat mencintainya.”

Naeema mengatakan, pembunuhan Yaser dimaksudkan untuk membalas ayahnya, yang merupakan pemimpin sayap militer Hamas: Brigade Al-Qassam. “Penjajah Zionis hanya mengerti satu bahasa,” katanya. “Entah itu perlawanan bersenjata atau demonstrasi tanpa senjata, respon mereka selalu dengan membunuh.”

Samah sependapat. “Peluru (ditembakkan) ke kepala? Itu disengaja,” ucapnya.

Syok masih tampak jelas di wajah sang ayah, Amjad. Terlepas dari itu ia mengatakan pada Al Jazeera bahwa putranya tidak ada bedanya dengan anak-anak Palestina yang ditargetkan oleh serdadu Zionis.

“Cara dia ditembak … Saya tidak pernah bisa melupakan tempurung kepalanya yang hancur,” katanya. “Penargetan warga sipil oleh serdadu Zionis adalah pelanggaran berat, namun di setiap demonstrasi pada hari Jumat mereka justru semakin berani.”

Juru bicara Kementerian Kesehatan Palestina Ashraf Al-Qidra mengatakan pada Al Jazeera bahwa usia 16 anak yang tewas pada demonstrasi Jumat antara 10-17 tahun. “Jumlah anak-anak yang terluka sekitar 2.250, termasuk dua kasus yang kaki mereka harus diamputasi,” katanya.

Pada demonstrasi Jumat lalu, Muhammad Al-Hamaydeh (24) asal Rafah juga tewas. Sekitar 415 orang terluka, termasuk tiga petugas medis dan 11 anak-anak. “Keseluruhan, 134 warga Palestina gugur sejak 30 Maret dan 15.200 terluka,” kata Al-Qidra.

Bukan bocah terakhir yang dibunuh

Bagi Samah, demonstrasi memungkinkan orang untuk menuntut hak-hak dasar mereka. “Akan tetapi, respon penjajah Zionis mengarah pada kematian, amputasi dan luka parah,” katanya. “Kami telah mengalami kehilangan besar, seperti kehilangan orangtua, atau kehilangan anak. Sangat sulit bagi saya untuk menanggung kehilangan ini sekarang setelah saya mengalaminya.”

“Yaser tidak akan menjadi anak terakhir yang dibunuh,” tambah Naeema. “Setiap Jumat ada kisah baru dari anak-anak, wanita muda atau pemuda yang terbunuh.”

“Semua itu dilakukan karena tidak ada penghalang bagi penjajah Zionis,” tegasnya.*

 

(Al Jazeera | Sahabat Al-Aqsha)

Sumbangsih Pertama Indonesia untuk Palestina

Pada Desember 2017, serombongan relawan asal Indonesia melakukan misi kemanusiaan dengan mengunjungi beberapa kamp pengungsi Palestina. Melalui Hayat Yolu, sebuah lembaga non-pemerintah asal Turki yang menangani pengungsi Palestina di Beirut, mereka menyerahkan bantuan untuk musim dingin senilai 250 ribu dolar Amerika.

“Alhamdulillah, bantuan untuk pengungsian Palestina di Beirut Lebanon sudah sampai melalui Hayat Yolu. Kami tidak bisa menyaksikan secara langsung karena pemerintah setempat tidak menjamin keselamatan kami di sana,” kata artis Melly Goeslaw, yang bersama penyanyi religi Opick ikut dalam rombongan, di akun Instagram-nya, @melly_goeslaw, 23 Desember 2017.

Pemberian bantuan untuk musim dingin itu sejatinya bukan yang pertama dilakukan Indonesia. Pada pertengahan Desember 1953, Menlu Sunario Sastrowardoyo –kakak dari kakek aktris Dian Sastrowardoyo– mengirim Duta Besar Keliling (mantan menteri luar negeri di Kabinet Presidensil) Ahmad Subardjo dan anggota parlemen dari Partai Persatuan Tarbiyah Islam (Perti) Siradjuddin Abbas ke Yerusalem guna memenuhi undangan dari General Islamic Congress/Conference atau Muktamar Umum Islam. Kedua wakil Indonesia itu datang sebagai peninjau.

Muktamar tersebut diprakarsai Ikhwanul Muslimin dengan sokongan dana 100 ribu dolar Amerika dari pemerintah Arab Saudi. Namanya sengaja mengambil nama sama dengan muktamar sebelumnya yang dipimpin Mufti Besar Yerusalem Mohammad Amin al-Husayni pada 1931. Harapannya, ujar pakar politik Islam dan Timur Tengah Martin Kramer mengutip Al Ahram edisi 10 Desember 1953 di laman pribadinya, martinkramer.org, “Amin bersedia memimpin muktamar itu lagi. Ketika itu Amin bermukim di Damaskus, namun otoritas Yordania mencekalnya (ke Palestina).”

Kedua wakil Indonesia itu berangkat dari Jakarta pada 1 Desember via Singapura, Bangkok, Karachi, Baghdad dan mendarat di Kairo pagi dua hari kemudian. Siangnya, mereka menemui mantan sekjen Liga Arab Abdurrachman Azam di Kairo.

“Haji Abbas dan saya diterima di kediamannya. Dinyatakan penghargaan tinggi atas beleid pemerintah Indonesia untuk mengirim peninjau-peninjau ke Muktamar Islam di Yerusalem. Ini berarti betapa besar minat rakyat Indonesia terhadap perkembangan Islam di dunia,” tulis Subardjo dalam Kesadaran Nasional, Sebuah Otobiografi.

Hari berikutnya, Subardjo dan Abbas terbang ke Yerusalem menggunakan pesawat Air Jordan. Di Yerusalem, anggota peninjau Indonesia di muktamar itu bertambah dua dengan masuknya Salim al-Rasjidi (staf perwakilan Indonesia di Mesir) dan Abdul Mukti Ali (mahasiswa merangkap perwakilan Indonesia di Karachi).

Muktamar yang sedianya dibuka sejak 3 Desember itu menjadi forum masing-masing perwakilan negara peserta menyuarakan pandangan tentang situasi Palestina, terutama setelah Israel merebut sebagian besar Yerusalem. Hanya Yerusalem Timur kala itu satu-satunya wilayah yang masih dikuasai militer Yordania.

Usai muktamar, keesokan harinya para partisipan diajak mengunjungi sejumlah situs di kota tua Yerusalem. Mereka juga mengunjungi kamp-kamp pengungsian di perbatasan Israel-Palestina seperti di Deheisha dan Qibya. Subardjo dan ketiga koleganya melihat sendiri betapa memprihatinkan keadaan kamp-kamp pengungsian itu. Kondisi para pengungsi begitu mengenaskan. Mereka tak hanya kekurangan makanan tapi juga pakaian tebal untuk melewati musim dingin. Beberapa utusan yang berpidato di hadapan para pengungsi tak jarang diiringi emosi dan air mata.

“Saya mengunjungi Qibya dan meragukan apakah kita semua manusia. Semoga keraguan ini tak bertahan lama,” cetus Sayyid Qutb, salah satu petinggi Ikhwanul Muslimin, dikutip Kramer dari suratkabar Ha-Po’el Ha-Tza’ir, 22 Desember 1953.

Bantuan yang mengalir masih jauh dari tuntutan kebutuhan para pengungsi. Meski ada UNRWA atau Badan PBB untuk Pengungsi Palestina, kala itu masih sedikit negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mendonasikan bantuan. Indonesia termasuk di dalamnya –itu menjadi sumbangan nyata pertama Indonesia untuk Palestina. “Indonesia juga turut menyumbangnya, kira-kira 60 ribu dolar Amerika, khusus untuk Palestine Relief Fund (Sumbangan Pengungsi Palestina),” lanjut Subardjo.

Subardjo dan Abbas sempat menghadiri jamuan Raja Yordania Hussein bin Talal sebelum kembali ke tanah air keesokan harinya. Setibanya di Jakarta, Subardjo dan Abbas menyampaikan hasil dan kesimpulan muktamar berupa resolusi dan anjuran. Inti resolusi, persoalan Palestina harus menjadi tanggung jawab umat Islam di seluruh dunia dengan bersatu dalam persaudaraan. Adapun usulan lain yang diharapkan adalah dibangunnya jalur keretapi Hejaz-Amman, dan pendirian konsulat di Yerusalem oleh negara-negara Islam.

Sementara, anjuran yang dihasilkan dari muktamar itu berisi tujuh poin desakan kepada pemerintah negeri peserta. Antara lain, pemerintah negara peserta muktamara memikul persoalan Palestina sebagai persoalan setiap Muslim dan memaknai bahwa mempertahankan tanah suci di Yerusalem sebagai kewajiban fardlu ain, menurut kesanggupan masing-masing; menentang dan mengharamkan setiap hubungan perdagangan dengan Israel; melakukan tindakan nyata untuk membuka jalan bagi beraneka bantuan terhadap para pengungsi Palestina; memperingatkan negara-negara yang pro-Israel bahwa sokongannya terhadap Israel berarti permusuhan terhadap negara-negara yang pro-Palestina; dan menjadikan tanggal 27 Rajab sebagai Hari Palestina. Tanggal ini merujuk pada hari pembuka muktamar, 3 Desember 1953 yang bertepatan dengan 27 Rajab dalam kalender Islam.(kl/historia)

 

Penulis: Randhy Wirayudha

ERA MUSLIM

Baitul Maqdis Indikator Kekompakan Umat Islam

Baitul Maqdis atau Al Quds atau Yerusalem, adalah indikator penting untuk melihat kondisi umat Islam. Apakah umat Islam kuat atau lemah, bersatu atau terpecah, akan dengan cepat berdampak pada kota ini. Kota yang memang sangat diinginkan oleh para penguasa dan bangsa-bangsa, terutama penganut agama Abrahamik.

Ya, sejarah selalu berulang. Bila umat Islam sedang kuat dan bersatu, maka Baitul Maqdis selalu berada dalam naungan Islam. Sebaliknya, jika umat Islam sedang lemah dan berpecah, maka Baitul Maqdis selalu lepas ke tangan orang lain. Tarikh Islam, sejak era Khulafaur Rasyidin sampai dengan zaman now, merupakan cermin yang sangat jelas menunjukkan hal itu.

Pembebasan pertama

Kabar gembira (bisyarah) pembebas an kota para nabi itu, sudah disampaikan Nabi Muhammad SAW. “Perhatikan enam tanda-tanda hari Kiamat: pertama, wafatku; kedua, penaklukan Baitul Maqdis….” (HR Bukhari No 3217 dari sahabat’Auf bin Malik RA). Dan, realisasi bisyarah segera cepat ter wujud, tepat berurutan seperti yang disam paikan Nabi. Sebab, pembebasan itu hanya berlangsung kurang dari lima tahun sejak wafatnya Sang Nabi. Nabi wafat pada Juni 632. Sedangkan, Baitul Maqdis dibebaskan pada April 637. Pembebasan itu terjadi 17 ta hun sejak peristiwa Isra’ Mi’raj yang ber langsung pada tahun 620.

Pembebasan pertama ini, merupakan yang paling mulus. Ini sekaligus memper lihatkan kekuatan Islam yang sedang me mun cak. Betapa tidak, setahun sebelum Khalifah Umar memasuki Baitul Maqdis, pa sukan Muslim lebih dulu mengalahkan dua superpower, yaitu Romawi Byzantium dan Sassanid Persia, dalam dua perang habishabisan dan menentukan jalannya sejarah, yaitu Perang Yarmuk dan Perang Qadisiya.

Romawi Byzantium dikalahkan secara telak dalam Perang Yarmuk oleh pasukan Muslim yang dipimpin Abu Ubaidah dan Khalid bin Walid. Sedangkan, Sassanid Per sia dikalahkan, juga secara telak, dalam Pe rang Qadisiya, oleh pasukan Muslim yang dipimpin oleh Saad bin Abi Waqqash. Kedua kemenangan desesif tersebut berhasil diraih kendati pasukan Islam berjumlah sedikit dan tertinggal dari sisi teknologi. Bisyarah penaklukan kedua adikuasa itu juga pernah disampaikan Nabi: “Jika Kisra binasa maka tidak akan ada lagi Kisra lain sesudahnya dan jika Kaisar binasa maka tidak akan ada lagi Kaisar lain sesudahnya.

Dan demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, sungguh kalian akan mengambil perbendaharaan kekayaan keduanya di jalan Allah” (HR Bukhari). Peristiwa itu kemudian terjadi. Setelah Perang Qadisiya yang diikuti pembebasan Al Madain (Ctesiphon), ibu kota Sassanid- Per sia, sisa pasukan terakhir Persia dikalah kan dalam pertempuran Nihawand pada 642. Setelah itu kekaisaran Persia tamat, dan tak pernah ada lagi kisra yang muncul.

Sedangkan, riwayat kekaisaran Romawi berakhir dengan penaklukan Konstantino pel, ibu kota Romawi Byzantium, oleh Mu hammad Al Fatih pada tahun 1453, dan sete lah nya kekaisaran Romawi pun tutup buku. Memang, di Barat, pada saat itu, sempat muncul pula Kekaisaran Romawi Suci (Holy Roman Empire), dengan kaisar terkenalnya yang bernama Charlemagne. Kekaisaran ini beribu kota Aachen, yang merupakan kota bekas tempat mantan presiden BJ Habibie menimba ilmu di Jerman. Tapi, betapapun namanya mirip, dan kaisar Romawi Suci ini dimahkotai oleh Paus di Roma, namun tidak ada hubungan genealogis dengan kekaisaran Romawi yang didirikan Augustus Caesar.

Setelah menang dalam dua peperangan besar tersebut, pasukan Muslim kemudian menuju Baitul Maqdis, dan mengepungnya selama enam bulan, sejak November 636 sampai dengan April 637. Akhirnya, Yerusa lem menyerah dengan syarat, kota itu dise rah kan langsung kepada Khalifah Umar bin Khattab. Dan, kunci kota itu kemudian diserahkan oleh Patriark Sophronius, wakil Romawi Byzantium di Yerusalem, kepada Khalifah Umar.

Jatuh ke tangan Pasukan Salib

Selama ratusan tahun kemudian, Baitul Maqdis berada dalam naungan Islam. Yang berganti hanya kekhalifahan atau daulah yang memerintahnya. Setelah berada di bawah Khalifah Rasyidun yang berpusat di Madinah, Baitul Maqdis berturut-turut berada di bawah Dinasti Umayyah yang berpusat di Damaskus; Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad.

Seiring melemahnya Abbasiyah, kontrol efektif kawasan Asia Tengah, Syam, sampai dengan Asia Kecil (Anatolia), berada di tangan Kesultanan Seljuk Turki, sedangkan Kekhalifahan Baghdad hanya menjadi sim bol. Sementara, Mesir dan wilayah tanduk Afrika diperintah oleh Dinasti Fathimiyah.

Belakangan, Kesultanan Seljuk Turki (Sel juk Raya) yang berpusat di Isfahan pun ter bagi dua, dengan terbentuknya Kesul tan an Seljuk Rum. Terpecahnya Kesultanan Seljuk Raya itu terjadi sepeninggal Sultan Alp Arsalan, salah satu sultan legendaris Sel juk Raya, yang berjasa mengakhiri pengaruh Romawi Byzantium di sebagian besar Anatolia. Kesultanan Seljuk Rum didirikan Kilij Arsalan, salah seorang keponakan jauh Alp Arsalan. Selain itu, sebagian wilayah Anatolia juga dikuasai oleh negara-negara kecil yang disebut beylik-beylik (setara dengan emirat atau principality-Red).

Seljuk dan Fathimiyah, yang kebetulan menganut mazhab berbeda, sering terlibat persaingan, konflik, dan pertikaian. Ter utama, dalam memperebutkan pengaruh di wilayah Syam dan Hijaz, yang merupakan lo kasi tiga tanah suci, yaitu Makkah, Madi nah, dan Baitul Maqdis. Perpecahan dan pertikaian itulah, yang kemudian berujung pada terlepasnya Baitul Maqdis.

Saat Pasukan Salib bergerak dari Eropa, yang pertama kali berhadapan dengan me reka adalah Kesultanan Seljuk Rum. Pada awal 1097, Pasukan Salib ‘tak resmi’ yang terdiri dari orang-orang biasa (people cru sade) yang dipimpin Peter Amien, memasuki wilayah Anatolia, dengan mudah dikalahkan oleh pasukan Kilij Arsalan. Namun, tidak demikian dengan Pasukan Salib I yang dipimpin oleh para pangeran atau dikenal sebagai Princes’ Crusade. Pasukan Salib I yang dipimpin Godrey, Raymond, dan Bohe mond, memasuki Anatolia pada pertengah an 1097 dan mereka berhasil mengalahkan Seljuk Rum, memaksa Kilij Arsalan mundur dan memindahkan ibu kotanya dari Iznik (Nikosia) di tepi Laut Aegean, ke Konya.

Maka, pasukan Salib pun melanjutkan ber gerak menuju wilayah Syam, yang meru pa kan daerah kekuasaan Kesultan Seljuk Raya dan mengambil alih satu per satu kota dan benteng Muslim, sampai akhirnya me reka tiba Intakiyyah (Antioch). Selama lima bulan mereka mengepung kota tersebut, sejak Oktober 1097. Pada Maret 1098, kota penting di utara Suriah itu akhirnya jatuh. Ke sultanan Seljuk mengirimkan pasukan untuk merebut kembali kota itu, namun gagal.

Sebuah cerita mengenaskan tentang per tikaian internal yang parah pun kemudian terungkap di sana. Saat Pasukan Salib telah berada di Intakiyyah, Fathimiyah justru melihatnya sebagai peluang untuk mengusir Seljuk. Alih-alih bekerja sama untuk meng usir Pasukan Salib, para pembesar Fathi miyah justru menegosiasikan kesepakatan pembagian wilayah Seljuk dengan Pasukan Salib. Kesepakatan yang mirip dengan Per janjian Sykes Picot. Perjanjian itu diteken kedua belah pihak di Intakiyyah pada Fe bruari 1098. Fathimiyah mendapatkan wila yah Tyre dan Sidon, yang terletak di pantai timur Mediterania.

Para sejarawan menilai, dalam perjan jian tersebut Fathimiyah seolah tak mema hami bahwa goal Pasukan Salib sesungguh nya adalah Baitul Maqdis atau Yerusalem. Padahal, saat perjanjian itu dibuat, kontrol atas Baitul Maqdis telah berada di bawah Fathimiyah, yang baru saja mengambil alih kota itu dari Seljuk. Bahkan, seolah percaya Pasukan Salib tak akan menyerang Baitul Maqdis, Fathimiyah hanya menempatkan pasukan kecil untuk menjaganya, yang jumlahnya tak lebih dari lima ribu orang.

Pada Mei 1099, Pasukan Salib dengan personel ratusan ribu orang bergerak me nuju Baitul Maqdis. Pasukan Salib mema hami betul bahwa butuh waktu sekitar dua bulan bagi Fathimiyah untuk membentuk pa sukan besar untuk mempertahankan Baitul Maqdis. Pasukan Salib pun bergerak cepat dan mengepung kota itu pada 7 Juni 1099. Hanya sebulan kota itu mampu berta han, dan pada 15 Juli 1099, kota itu akhirnya jatuh, diiringi pembantaian mengerikan atas penduduknya. Para saksi mata mencatat genangan darah sampai setinggi mata kaki dan mayat ditumpuk-tumpuk bak piramida.

Selanjutnya, Masjid Al Aqsa diubah men jadi istana Kerajaan Yerusalem, sedang kan Masjid Kubah Batu diubah menjadi gereja. Sejak 1141, Masjid Al Aqsa yang diubah na ma nya menjadi Templum Salomonis (Kuil Su laiman), menjadi markas Ksatria Templar, sedangkan Masjid Kubah Batu yang diberi nama Templum Domini (Kui Tuhan) tetap menjadi gereja.

Untuk merebut Baitul Maqdis, Fathimi yah kemudian menyiapkan pasukan besar yang langsung dipimpin wazir Al Afdal Sya hansyah. Namun, mereka dikalahkan secara te lak dalam Pertempuran Askalon pada Agus tus 1099. Dan, sejak itu, Kerajaan Yeru salem berdiri di sana, di tengah wilayah kaum Muslim, persis seperti saat ini. Muslim yang terpecah belah, dengan bermuncul annya raja-raja kecil, lebih tertarik mengurus wilayahnya masing-masing, ketimbang meng amblih alih Baitul Maqdis.

Pembebasan kedua

Setelah shock kehilangan Baitul Maqdis, perlahan muncullah angin segar. Aljazeera, dalam film dokumenter bertajuk The Crusa des, An Arab Perspective, menggambarkan nya dengan kemunculan tipologi kepemim pinan baru di dunia Islam, yaitu warrior king/princes. Dengan model pertamanya adalah Maudud ibn Altuntash, seorang atabeg (semacam emir atau gubernur) Sel juk di Mosul. Dialah yang ditunjuk oleh Sul tan Seljuk, Muhammad I, untuk melawan Pasukan Salib di berbagai front, untuk mem pertahankan sejumlah kota seperti Damas kus dan Aleppo.

Suatu hari, Gubernur Damaskus, Tugh te kin, meminta bantuan Maudud untuk meng hadapi Pasukan Salib. Dan, dalam Per tempuran Sannabra di dekat Danau Tiberias, pada 28 Juni 1113, pasukan Maudud berhasil mengalahkan Pasukan Kerajaan Yerusalem yang langsung dipimpin Raja Baldwin I. Menyikapi kekalahan Pasukan Salib terse but, sejarawan Kristen, William of Tyre, me nu lis bahwa “Langit telah menolak Pasukan Salib”. Sebab, bila Tuhan bersama Pasukan Salib, William mengatakan pastilah mereka tak akan terkalahkan.

Namun, saat diundang oleh Tughtekin ke Damaskus pada akhir 1113, Maudud ter bu nuh menjelang shalat Jumat. Sejumlah se jarawan menilai, para pemimpin Islam saat itu mengkhawatirkan popularitas Maudud yang kian menanjak, sehingga mengi rimkan seorang hasyasyin untuk mem bunuhnya. Meski demikian, model kepemimpinan warrior princes tersebut kemudian berlanjut kepada para pahlawan Islam sesudahnya yang kebetulan dari Di nasti Zanki yang berkuasa di Mosul, seperti Imaduddin, Nuruddin, hingga Salahuddin.

Sebelum mengambil alih Baitul Maqdis, sebagian besar waktu yang dihabiskan Ima duddin, Nuruddin, dan Salahuddin, adalah mempersatukan wilayah Islam, mulai dari Damaskus sampai Mesir. Setelah berhasil mempersatukan wilayah Muslim, barulah Salahuddin memusatkan perhatiannya ke Baitul Maqdis. Dan, Salahuddin Al Ayyubi akhirnya berhasil mengalahkan Pasukan Salib secara telak pada Pertempuran Hittin yang berlangsung 3-4 Juli 1187, dan mena wan Raja Yerusalem, Guy de Lusignan.

Dua bulan kemudian, pada 27 Rajab 583 Hijriyah, atau bertepatan dengan 2 Oktober 1187, Salahuddin berhasil merebut Baitul Maqdis, dan dua masjid di Kompleks Haram al Sharif, Masjid Al Aqsa dan Masjid Kubah Batu, dikembalikan kepada fungsinya se mula. Maka, sejak itulah, adzan kembali ber ku mandang di tanah para nabi itu, setelah tak terdengar selama 88 tahun.

Hilangnya Yerusalem, membuat Barat menjadi shock. Dan, kemudian mengirim kan ekspedisi berikutnya. Namun, Pasukan Salib II yang dipimpin para raja, terutama Richard the Lion Heart, maupun gelombang Pasukan Salib berikutnya yang berjilid sam pai angkatan VII, tak berhasil merebut Baitul Maqdis.

Memang, pada 1229, Sultan Dinasti Ayyubiyah, Al Kamil, pernah menyerahkan Baitul Maqdis secara damai kepada pihak Kristiani, demi mengakhiri Perang Salib VI. Penyerahan itu menyusul kesepakatan Al Kamil dengan Kaisar Romawi Suci, Frede rick II. Perjanjian tersebut, antara lain men syaratkan tempat-tempat suci umat Islam tetap dikontrol oleh Dinasti Ayyubiyah yang saat itu berpusat di Mesir.

Penyerahan Baitul Maqdis ini terbilang kontroversial. Namun, sejumlah sejarawan memandang langkah tersebut sebagai se buah taktik belaka, untuk menghindari per tumpahan darah, karena sepanjang Mesir dan Suriah dalam kontrol Muslim, Baitul Maqdis akan tetap mudah diambil alih. Pada 1239, An Nasir Ad Dawud, emir Ayyubiyah di Kerak, mengambi alih Baitul Maqdis. Dia hanya sebentar menguasainya. Namun, se belum meninggalkan kota itu, dia meng hancurkan bentengnya, sehingga setiap saat kota itu mudah dimasuki. Pasukan Salib tetap menguasai kota itu hingga tahun 1244.

Pada 1244, Baitul Maqdis diambil alih oleh pasukan Khawarizm yang diundang oleh salah seorang penguasa Ayyubiyah yang sedang bertikai. Namun, pada 1246, Dinasti Ayyubiyah kembali mengontrol Baitul Maq dis.

Eropa kemudian melancarkan Perang Salib VII untuk merebut Yerusalem, namun pimpinannya Raja Louis IX dari Perancis, ditangkap oleh Sultan Turansyah dari Dinas ti Ayyubiyah. Namun, kemudian dilepaskan. Perang Salib VII tersebut merupakan gelom bang terakhir serangan dari Kristen Latin.

Jatuh ke tangan Mongol

Tapi, pertikaian internal Dinasti Ayyu biyah kemudian terjadi, yang berbuntut ter bunuhnya Sultan Turansyah. Hasilnya, ke sultanan itu terbagi dua. Di Mesir kemu dian berdiri Kesultanan Mamluk yang dipimpin Aybak, sedangkan Kesultanan Ayyubiyah merelokasi ibu kotanya ke Damaskus. Ayyu biyah tetap mengontrol Baitul Maqdis hing ga sepuluh tahun berikutnya, sebelum da tangnya gelombang serangan Mongol.

Tentara Mongol memasuki Baitul Maq dis pada tahun 1260. Serangan Mongol ini di pimpin oleh Jenderal Kitbuqa, seorang Kristen Nestorian. Setelah berhasil merebut Baitul Maqdis, Hulagu Khan menyurati Raja Louis IX, bahwa Yerusalem telah kembali ke pangkuan Kristen di bawah aliansi Franco- Mongol.

Saat itu, negeri-negeri Islam takluk di bawah Mongol, bahkan Baghdad dibuat hancur lebur. Benteng terakhir umat Islam yang menolak menyerah kepada Mongol saat itu adalah Mesir di bawah Dinasti Mam luk. Dan, dari Mesir lah, upaya mengambil alih Baitul Maqdis kembali dilanjutkan.

Pembebasan ketiga

Pasukan Mamluk yang dipimpin Sultan Saifuddin Qutuz dan Baibars, akhirnya ber hasil mengambil alih Baitul Maqdis setelah mengalahkan Pasukan Mongol yang dipim pin Kitbuqa dalam Pertempuran Ain Jalut pada September 1260. Mitos bahwa Pasukan Mongol tidak terkalahkan, seketika pupus di Ain Jalut. Hasilnya, pertempuran ini bu kan hanya berhasil mengusir Mongol dari Baitul Maqdis, tapi juga berlanjut pada pembebasan wilayah Islam lain dari tangan Mongol.

Sejarawan Arnold Toynbee, menyebut Pertempuran Ain Jalut sebagai salah satu pertempuran yang sangat penting, karena menjadi titik balik sejarah. Dalam pertem puran tersebut, tulisnya, Pasukan Muslim bukan hanya menghadapi Pasukan Mongol, tapi juga para penguasa Kristen di sekitar nya seperti Raja Armenia maupun Pangeran Antiochia. “Setelah kejatuhan Khawarizm, Baghdad, dan Suriah, maka Mesir merupa kan benteng terakhir Islam di Timur Te ngah,” katanya.

Saat Perang Ain Jalut sedang berlang sung, Pasukan Salib dari Eropa juga sudah ber siap-siap mendarat ke pantai timur Medi terania (kawasan Syam), dan menjadi an cam an sangat serius bagi Dunia Islam. Ka rena itu, menurut Shayyal, “Masa depan Islam dan Kristen Barat, sangat bergantung pada hasil Perang Ain Jalut.”

Setelah kemenangan di Ain Jalut, Mo ngol dibantu Raja Armenia sempat menye rang Baitul Maqdis, namun tak berhasil mengambil alih kota itu secara permanen. Dan, Baitul Maqdis tetap dalam naungan Islam. Setelah era Mamluk, Baitul Maqdis beralih ke tangan Khilafah Usmani pada 1516. Baitul Maqdis berada di tangan Us mani selama lebih dari empat ratus tahun, merupakan yang paling lama dalam sejarah dibanding kontrol Baitul Maqdis oleh ke khalifahan-kekhalifahan sebelumnya. Jatuh ke tangan Inggris dan Zionis Pada Desember tahun 1917, Baitul Maq dis jatuh ke tangan Inggris. Seperti sebelum nya, selain karena serangan langsung, lepas nya Baitul Maqdis itu didahului oleh per pecahan internal umat Islam.

Lepasnya Baitul Maqdis ini, diawali be be rapa peristiwa yang berjalin kelindan. Per tama, dibuatnya perjanjian rahasia (Per janjian Sykes-Picot) antara Inggris dan Pe ran cis –yang kemudian diikuti oleh Rusia dan Italia, untuk membagi-bagi wilayah Us mani di Timur Tengah. Perjanjian ini diteken pada 16 Mei 1916. Kedua, dibuatnya Dekla rasi Balfour pada 2 November 1917, yang berisi dukungan Inggris untuk pendirian ta nah air bagi orang Yahudi di tanah Pales tina. Ketiga, dihasutnya para penguasa Mus lim-Arab untuk melawan Khilafah Usmani.

Hanya sebulan setelah Deklarasi Balfour diteken, pasukan Inggris di bawah pimpinan Jenderal Edmund Allenby, memasuki Yeru salem. Inggris mengambil alih kontrol atas Palestina, setelah mengalahkan tentara Usmani pada Perang Yerusalem. Jenderal Allenby memasuki Yerusalem dari arah yang dulu digunakan Khalifah Umar saat mema suki Yerusalem dengan berjalan kaki. Salah satu pernyataan Allenby yang terkenal saat memasuki Yerusalem adalah: “Baru seka rang lah Perang Salib berakhir.”

Di berbagai media Inggris saat itu, ilus trasi Perang Salib memang banyak dimun culkan. Salah satunya, dimuat dalam laporan utama Majalah Punch, edisi 19 Desember 1917, yang mendeklarasikan “The Last Crusade”, dengan ilustrasi Raja Inggris, Richard The Lion Heart sedang memandang Yerusalem dari ketinggian, sambil mengang guk puas dan bergumam: “Mimpiku akhir nya menjadi nyata.”

Memang, pers Inggris mendapat instruk si dalam sebuah memo tertanggal 15 Novem ber 1917, untuk tidak merefer operasi militer melawan Khilafah Usmani dengan istilah Perang Suci, Perang Salib Modern, atau istilah apapun terkait dengan soal ke agamaan. Namun, memo tersebut di abaikan, dan mereka tetap tetap mengguna kan istilah “Crusade” dalam mendiskusikan okupasi terhadap Yerusalem.

Hatem Bazian, pengajar Universitas Cali fornia, Berkeley, dalam tulisannya bertajuk Revisiting the British Conquest of Jerusalem di laman Aljazeera, menyatakan bahwa memo tersebut dibuat untuk mencegah friksi dengan personel militer Islam yang direkrut Inggris untuk berperang melawan Usmani. Juga untuk mencegah timbulnya masalah dengan Sharif Husein, Gubernur Usmani di Makkah, yang saat itu bekerja sama dengan Inggris untuk melawan Usmani.

Pernyataan serupa tercatat disampaikan oleh Jenderal Henri Gouraud, pimpinan militer Perancis, usai mengalahkan pasukan Raja Faisal di Suriah. Sang Jenderal, seperti dikutip Tariq Ali dalam bukunya, Clash of Fundamentalism: Crusades, Jihads and Mo dernity, menyatakan sang jenderal me ma suki Damaskus bersama pasukannya, ke mu dian pergi ke makam Salahuddin, me nen dangnya, dan berseru: “Perang Salib telah berakhir sekarang! Bangun Sala hud din, kami telah kembali! Kehadiranku di sini menahbiskan kemenangan Salib terhadap Bulan Sabit.”

Tak berselang lama setelah jatuhnya Baitul Maqdis, pada tahun 1923, Khilafah Usmani, major power terakhir umat Islam, juga dibubarkan. Sementara, pada tahun 1948, ‘negara panjajah’ Zionis-Israel yang digerakkan oleh Yahudi Eropa (Ashkenazi) berdiri di atas tanah Palestina. Bahkan, pada Desember 2017 lalu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump, menyerahkan Baitul Maqdis kepada Zionis.

Dan sejarah pun berulang. Saat ini, para penguasa negeri-negeri Islam, khususnya di Timur Tengah, sibuk bersaing dan bertikai, sehingga Baitul Maqdis tak kunjung bisa dibebaskan, bahkan warga Palestina sema kin dalam terpuruk dalam penderitaan. Per tikaian Arab Saudi dan Iran saat ini, misal nya, mengingatkan pada pertikaian Seljuk dengan Fathimiyah di masa lalu.

Pendudukan Yahudi atas Baitul Maqdis ini, semakin banyak dipandang dari sisi eskatologis, tentang takdir akhir zaman di mana Muslim akan berperang dengan Ya hudi, sesuatu yang tak terbayangkan terjadi selama lebih dari seribu tahun, karena orang Yahudi tak pernah menjadi kekuatan politik dan militer berarti. “Hari Kiamat belum akan terjadi sampai kaum Muslimin memerangi orang Yahudi. Mereka diserang oleh kaum Muslimin hingga bersembunyi di balik batu dan pohon. Namun, batu maupun tumbuh an akan berkata, “Wahai Muslim, wahai ham ba Allah, di belakangku ada orang Ya hudi. Kemari dan bunuhlah dia!” Kecuali pohon Gharqad. Sebab pohon Gharqad adalah pohonnya orang Yahudi.” (Hadits Riwayat Muslim).

REPUBLIKA

Ini 9 Negara yang Dukung Trump Berikan Yerusalem ke Israel

Sebanyak 128 negara menolak keputusan Presiden AS Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Penolakan itu dikeluarkan dalam resolusi pertemuan darurat Majelis Umum PBB, Kamis (21/12).

Hanya sembilan negara yang menentang resolusi tersebut dan 35 lainnya memilih abstain. Berikut sembilan negara yang menolak resolusi dan mendukung Trump.

1. Guatemala
2. Honduras
3. Israel
4.  Marshall Islands

5. Micronesia
6. Nauru
7. Palau
8. Togo
9. United States

 

 

REPUBLIKA