Buah Tauhid, Sudahkah Ada Pada Diri Kita?

Memahami tauhid perkara yang sangat mulia. Lebih dari itu, mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari tentu tidak kalah mulianya, bahkan itulah tujuan seorang mempelajari tauhid melalui kitab-kitab para ulama. Seringkali, kita lupa bahwa tauhid bukan sekedar wacana yang cukup untuk didiskusikan dan dibaca berulang-ulang. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka berikanlah peringatan, sesungguhnya peringatan itu akan bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. adz-Dzariyat : 55).

Saudaraku sekalian –semoga Allah menambahkan nikmat Islam dan Sunnah kepada kita- apabila kita kaji lebih dalam dengan pikiran yang jernih dan hati yang tenang, sesungguhnya faidah mempelajari tauhid sangatlah banyak. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Salah satu manfaat dari tauhid adalah ia akan menjadi pilar terbesar untuk membangkitkan kemauan menjalankan ketaatan. Sebab, seorang yang bertauhid akan mempersembahkan amalnya tulus karena Allah subhanahu wa ta’ala. Karena dorongan itulah maka dia akan tetap beramal dalam keadaan sepi/sendirian maupun ketika berada di depan orang/terang-terangan. Sedangkan orang yang tidak bertauhid –misalnya orang yang riya’- maka dia akan melakukan amal sedekah, shalat dan berdzikir hanya jika di sisinya terdapat orang yang melihatnya. Oleh karena itu, sebagian ulama salaf mengatakan, “Sesungguhnya saya sangat ingin mengerjakan suatu ketaatan yang tidak diketahui oleh siapa pun selain Dia” ” (al-Qaul al-Mufid, jilid 1. attasmeem.com).

Ikhlas, menuntut perjuangan
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah mereka disuruh melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan untuk-Nya, dengan lurus [bertauhid]…” (QS. al-Bayyinah : 5). Ibadah tidak akan diterima jika tidak ikhlas. Sebagaimana ia tidak akan diterima jika dilakukan dengan cara yang salah. Seorang yang menginginkan agar amalnya sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia akan berusaha mempelajari ilmu tentang ibadah yang akan dia jalani. Setelah mengetahui ilmu tersebut maka dia pun akan berusaha untuk menerapkannya. Kemudian apabila lupa, maka dia pun kembali membuka bukunya, mengingat-ingat tata cara dan bacaan doa yang luput dari ingatannya. Demikianlah seterusnya, sampai dia berhasil meniru tata cara beribadah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam kepada para sahabatnya. Mungkin diperlukan waktu yang tidak sebentar, sepekan dua pekan, sebulan dua bulan, atau bahkan setahun lamanya sampai dia benar-benar bisa melakukannya dengan baik dan sempurna. Demikianlah ketika seorang ingin menjadikan ibadahnya persis sebagaimana dituntunkan oleh Nabi-Nya.

Maka tidak berbeda halnya dalam hal keikhlasan. Untuk mendapatkan keikhlasan dalam beribadah maka seorang hamba harus senantiasa belajar dan belajar, mengingat-ingat dan merenungkan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, membaca ayat-ayat al-Qur’an, menyimak hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membaca keterangan-keterangan para ulama. al-Bukhari rahimahullah membuat bab di dalam Kitab al-‘Ilm dalam Shahihnya dengan judul ’Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan’. Apa yang beliau kemukakan sangatlah tepat! Dan tidak cukup berhenti di situ saja, setelah mengetahui ilmunya, maka orang masih harus melakukan perjuangan berikutnya yaitu agar ikhlas itu benar-benar terwujud dalam dirinya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami niscaya Kami akan menunjukkan kepadanya jalan-jalan menuju keridhaan Kami.” (QS. al-Ankabut : 69).

Pentingnya ilmu ikhlas
Kita semua tahu bahwa untuk berwudhu yang benar ada ilmunya. Untuk shalat yang benar ada ilmunya. Untuk berpuasa yang benar ada ilmunya. Demikian pula untuk menunaikan ibadah-ibadah lain dengan benar pun ada ilmunya. Namun hendaknya kita juga ingat bahwa ternyata ikhlas pun ada ilmunya. Bagaimana tidak? Sementara ikhlas itulah tujuan hidup kita, untuk mengajak kepada keikhlasan itulah para rasul dibangkitkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat : 56). Allah juga berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul [yang mengajak] sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. an-Nahl : 36).

Salah satu bukti pentingnya ilmu ikhlas ini adalah apa yang dilakukan oleh Amirul Mukminin fil hadits Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi, an-Nawawi, dan Syaikh as-Sa’di rahimahumullah yang memulai kitab mereka dengan hadits ‘Innamal a’maalu bin niyaat’. Anda bisa melihat hal itu dalam Sahih Bukhari, hadits yang pertama. Umdat al-Ahkam hadits yang pertama. al-Arba’in an-Nawawiyah, hadits yang pertama. Bahjat al-Qulub al-Abrar, hadits yang pertama. Para ulama terkemuka itu menempatkan hadits ‘Innamal a’maalu bin niyaat’ sebagai hadits pertama dalam kitab-kitab mereka. Tentu saja hal itu menunjukkan betapa pentingnya kandungan hadits tersebut yang tidak lain adalah ajaran keikhlasan beribadah untuk Allah ta’ala.

Buah tauhid itu (baca: ikhlas) sudah ada dalam diri kita?
Menilai orang lain sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Namun, ketika kita berusaha untuk menilai diri sendiri terkadang kita mengalami kesulitan. Sebagian orang –yang tertipu- merasa bahwa dirinya sudah ikhlas padahal dia belum ikhlas. Sebagian orang yang lain berjuang untuk meraih keikhlasan namun dengan cara-cara yang tidak disyari’atkan, sampai-sampai banyak kewajiban dan ibadah yang ditinggalkannya demi mendapatkan apa yang dia anggap sebagai keikhlasan. Dia meninggalkan amal karena takut dikatakan sebagai orang yang riya’. Sebagian lagi berusaha untuk ikhlas, namun godaan dan rintangan kerapkali menyeretnya ke tepi-tepi jurang kemunafikan. Ketika bersama orang banyak begitu bersemangat, namun ketika sendirian maka lenyaplah gairahnya untuk beramal. Aduhai, termasuk kelompok yang manakah kita?

Saudaraku, perlu kita sadari bahwa riya’d alam beramal merupakan akhlak yang sangat tercela. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Riya’ adalah akhlak yang sangat tercela dan ia termasuk ciri orang munafik.” (al-Qaul al-Mufid, jilid 2. at-tasmeem.com). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apabila mereka (orang-orang munafik) hendak mendirikan shalat, maka mereka lakukan dengan rasa malas. Mereka ingin amalnya dilihat oleh manusia (riya’), dan mereka tidak mengingat Allah kecuali hanya sedikit saja.” (QS. an-Nisaa’: 143).

Sebenarnya apa sih yang kita harapkan dalam hidup ini? Bukankah kitaberharap Allah menerima amal-amal kita? Bukankah kita juga berharap Allah mengampuni dosa-dosa kita? Bukankah kita juga berharap kelak Allah memasukkan kita ke surga dan menyelamatkan kita dari api neraka? Bukankah kita juga tahu bahwa hanya Allah yang bisa memenuhi harapan-harapan kita tersebut? Kita pun tahu bahwa tak seorang pun manusia yang menguasai pemberian rezeki, kehidupan, kematian, surga dan neraka selain Allah semata? Lalu mengapa kita tertipu oleh pujian manusia, dukungan mereka, senyuman mereka dan kedudukan mereka? Apa yang bisa kita harapkan dari manusia? Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya apa-apa yang kalian seru (ibadahi) selain Allah itu hanyalah hamba [yang lemah] sebagaimana kalian.” (QS. al-A’raaf : 194). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang berharap untuk berjumpa dengan Rabbnya maka lakukanlah amal salih dan tidak mempersekutukan sesuatu pun [dengan Allah] dalam beribadah kepada Rabb-nya.” (QS. al-Kahfi : 110).

Cukuplah Allah sebagai saksi atas amal-amal kita! Alangkah meruginya apabila kita mengalami nasib buruk seperti tiga golongan orang yang diadili pertama kali pada hari kiamat nanti. Mereka berjihad, menimba ilmu serta mengajarkannya, rajin berderma; namun ternyata mereka riya’. Dan oleh karena dosa itulah Allah tak segan-segan untuk mencampakkan mereka ke dalam neraka, wal ‘iyadzu billah! Semoga Allah menjaga diri kita dari syirik yang tersembunyi, dan semoga Allah mencabut nyawa kita dalam keadaan kita mengabdi kepada-Nya semata; bukan mengabdi kepada dunia ataupun hawa nafsu manusia. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdu lillahi Rabbil ‘alamin.

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/6908-buah-tauhid-sudahkah-ada-pada-diri-kita.html

Hakikat Tauhid adalah Kalimat Laa ilaaha illallah (Bag. 3)

Baca pembahasan sebelumnya Hakikat Tauhid adalah Kalimat Laa ilaaha illallah (Bag. 2)

Perhatian kita harus ditujukan untuk mendakwahkan tauhid uluhiyyah

Setelah membaca penjelasan di atas, mungkin sebagian pembaca bertanya-tanya,”Untuk apa penulis membahas hal ini? Kalau memang hakikat tauhid adalah tauhid uluhiyyah, lalu apa kepentingannya?”

Maksud penulis dari penjelasan ini dengan mengutip perkataan dari beberapa ulama adalah untuk menjelaskan bahwa tauhid inilah yang seharusnya menjadi titik perhatian kita semua dalam kehidupan kita, termasuk ketika mendakwahkan tauhid. Hal ini sekaligus untuk menjelaskan kesalahan sekelompok orang yang lebih mementingkan dan mengutamakan dakwah kepada tauhid rububiyyah, dan berhenti di situ saja tanpa menjelaskan kepada umat tentang hakikat tauhid yang sebenarnya, yaitu tauhid uluhiyyah.

Contohnya adalah belasan tahun yang lalu ketika banyak bermunculan VCD-VCD dan juga buku-buku yang intinya mengajak masyarakat untuk merenungi keajaiban dan keindahan alam semesta ini. Misalnya VCD atau buku tentang keajaiban di dalam sel, sistem pertahanan tubuh manusia, proses penciptaan manusia, dan juga keajaiban pada semut, dan binatang-binatang lainnya. Dengan merenungi itu semua, mereka bermaksud untuk menunjukkan bahwa di balik semua keajaiban itu pasti terdapat Dzat Yang Maha pencipta dan Maha kuasa atas segala sesuatu. 

Hal ini sekaligus mereka gunakan untuk membantah para pengikut teori evolusi Darwin yang menyatakan bahwa manusia dan seluruh makhluk hidup yang ada tidaklah “diciptakan secara khusus”, akan tetapi merupakan hasil dari “proses alamiah” melalui proses seleksi alam, adaptasi, dan mutasi selama ratusan bahkan ribuan tahun lamanya. VCD-VCD tersebut kemudian sering ditayangkan kepada anak-anak dan juga orang dewasa melalui forum-forum pengajian dan juga forum-forum pertemuan lainnya. 

Atau fenomena lainnya, yaitu diselenggarakannya acara outbond dengan naik gunung atau ke tempat-tempat lainnya, untuk merenungi keindahan alam tersebutKarena dengan naik gunung atau naik tebing kemudian berkemah, maka akan tampaklah keindahan dan keteraturan alam semesta ini, yang semuanya itu menunjukkan adanya Pencipta alam semesta ini, yaitu Allah Ta’ala.

Penulis sama sekali tidak bermaksud untuk mengecilkan atau meremehkan usaha yang telah mereka lakukan tersebut. Namun yang penulis sayangkan adalah, ketika usaha mereka hanya sampai pada mengenalkan tauhid rububiyyah saja, kemudian berhenti dan selesai, serta tidak melanjutkannya dengan mendakwahkan tauhid uluhiyyah. 

Hal ini karena hakikat tauhid yang sebenarnya bukanlah tauhid rububiyyah, akan tetapi tauhid uluhiyyah. Inti dakwah para Rasul sejak zaman Nuh ‘alaihis salaam sampai Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah pada tauhid rububiyyah, akan tetapi pada tauhid uluhiyyah. Penyelewengan yang banyak terjadi pada umat manusia sejak zaman dahulu hingga sekarang ini, bukanlah pada masalah rububiyyah, tetapi dalam masalah uluhiyyah. 

Selain itu, keyakinan bahwa Allah-lah Dzat Yang Maha mencipta dan Maha mengatur alam semesta adalah keyakinan dan fitrah yang telah dimiliki oleh setiap orang. Bahkan orang yang paling kafir sekalipun, yaitu Fir’aun, mengakui hal ini. Adapun pernyataan Fir’aun bahwa dia-lah Tuhan alam semesta ini, hanyalah karena kesombongan yang ada pada dirinya, padahal sebenarnya hatinya mengakui bahwa Allah-lah Yang Maha pencipta. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala ketika menceritakan perkataan Musa ‘alaihis salaam kepada Fir’aun, 

قَالَ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا أَنْزَلَ هَؤُلَاءِ إِلَّا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ بَصَائِرَ وَإِنِّي لَأَظُنُّكَ يَا فِرْعَوْنُ مَثْبُورًا

“Musa menjawab, ’Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Rabb yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata’.” (QS. Al-Isra’ [17]: 102)

Dan apabila kita membaca Al Qur’an, maka akan kita jumpai ayat-ayat yang menunjukkan bahwa konsekuensi selanjutnya dari keimanan terhadap rububiyyah Allah adalah beriman terhadap uluhiyyah-Nya. Dan Allah pun berdalil dengan keimanan orang-orang musyrik terhadap tauhid rububiyyah untuk memerintahkan mereka agar beriman kepada tauhid uluhiyyah dan mengamalkannya

Misalnya, perintah pertama dalam ayat Al Qur’an. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ؛ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Wahai manusia, sembahlah Rabb-mu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. Dia-lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap. Dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rizki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 21-22)

Dalam ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman,

رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا

“Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya. Maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (QS. Maryam [19]: 65) 

Oleh karena itu, apabila kita hanya sibuk mendakwahkan tauhid rububiyyah, tanpa menjelaskan tauhid uluhiyyah dan lawannya yaitu syirik dalam masalah uluhiyyah, maka umat ini akan menyangka bahwa tauhid rububiyyah inilah yang merupakan inti dari ajaran agama Islam. Mereka juga akan salah paham dengan meyakini bahwa seseorang baru disebut sebagai seorang musyrik jika tidak meyakini adanya Allah Ta’ala. Adapun jika mereka masih meyakini adanya Allah Ta’ala, mereka tetap disebut sebagai seorang muslim, meskipun beribadah kepada kubur atau percaya kepada dukun. 

Selain itu, berhenti hanya pada tauhid rububiyyah inilah yang menjadi sumber asal kesesatan sekte-sekte yang menyimpang dalam agama Islam seperti sekte khawarij, syi’ah rafidhah, mu’tazilah, tasawwuf, dan juga asy’ariyyah. Hakikat tauhid yang mereka pahami adalah tauhid rububiyyah, sehingga tidak aneh jika mereka memaknai “laa ilaaha illallah”  dengan “Tidak ada Pencipta, Pemberi rizki, dan Pengatur alam semesta kecuali Allah”. Mereka tidak mengetahui lebih daripada makna itu, meskipun mereka mengucapkan kalimat “laa ilaaha illallah”, mengumandangkannya ketika adzan, dan menyatakannya ketika shalat. Akan tetapi, mereka tetap tidak mengetahui makna yang benar dan juga tidak mengetahui syarat-syaratnya. 

Karena yang mereka pahami dari tauhid adalah tauhid rububiyyah, maka kita tidak heran ketika mendapati pengikut-pengikut sekte tersebut yang menyembah kubur, dan meyakini bahwa para wali dalam sekte mereka memiliki pengetahuan tentang hal-hal yang ghaib dan dapat mengatur alam ini. Bahkan saking parahnya, mereka sampai terjatuh ke dalam syirik dalam tauhid rububiyyah. Semuanya karena kebodohan mereka tentang hakikat tauhid yang menjadi inti dakwah para Rasul dan juga kebodohan tentang makna yang benar dari “laa ilaaha illallah”, sesuatu yang diketahui oleh orang-orang musyrik zaman dahulu seperti kaum kafir Quraisy. 

Hal ini karena sebenarnya di antara pengikut sekte tersebut, seperti syi’ah rafidhah dan sufi, terdapat orang-orang yang hanya ingin menghancurkan Islam. Orang-orang yang menyimpang tersebut, dengan berpakaian sebagai seorang muslim dan bertingkah seolah-olah sebagai seorang ahli ibadah dan ahli zuhud, mereka menyebarkan ideologi syirik, hulul (bahwa Allah dapat menitis pada mahluk), dan wihdatul wujud (bahwa segala sesuatu yang ada pada hakikatnya adalah Allah). 

Semua ideologi ini menyebar di kalangan kaum sufi. Sampai-sampai tidak ada sebuah kelompok sufi secara keseluruhan di muka bumi ini kecuali pada saat ini terjatuh ke dalam syirik, hulul, dan wihdatul wujud. Meskipun ada beberapa individu yang mungkin terbebas dari penyimpangan ini, namun sebagian besar orang dari sekte ini tidak selamat dari kesesatan ini. Sehingga mereka meyakini bahwa para wali mengetahui hal-hal yang ghaib dan dapat mengontrol alam semesta ini. Di antara mereka ada yang berdoa, menyembelih, dan memohon pertolongan kepada selain Allah Ta’ala. Oleh karena itu, kita pun memohon petunjuk dan hidayah kepada Allah Ta’ala. [1]

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50671-hakikat-tauhid-adalah-kalimat-laa-ilaaha-illallah-bag-3.html

Hakikat Tauhid adalah Kalimat Laa ilaaha illallah (Bag. 2)

Baca pembahasan sebelumnya Hakikat Tauhid adalah Kalimat Laa ilaaha illallah (Bag. 1)

Mendefinisikan tauhid dengan tauhid uluhiyyah?

Karena hakikat tauhid adalah mengikhlaskan atau memurnikan seluruh ibadah hanya kepada Allah Ta’ala semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, maka kita jumpai beberapa ulama yang mendefinisikan tauhid dengan pengertian tauhid uluhiyyah

Di antaranya adalah Syaikh Muhammad At-Tamimy rahimahullah, ketika beliau mendefinisikan tauhid dengan,

اعلم رحمك الله . . أن التوحيد هو إفراد الله سبحانه بالعبادة

“Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu, sesungguhnya tauhid adalah meng-esakan Allah Ta’ala dalam ibadah.” (At-Taudhihaat Al-Kaasyifaat ‘ala Kasyfi Syubuhaat, hal. 47)

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan hafidzahullah berkata,

أما معناه شرعاً: فهو إفراد الله- تعالى- بالعبادة. هذا هو التّوحيد شرعاً

“Adapun makna (tauhid) dalam istilah syar’i adalah meng-esakan Allah Ta’ala dalam ibadah. Inilah tauhid dalam istilah syari’at.” (I’aanatul Mustafiid, 1: 19)

Setelah mengetahui bahwa hakikat tauhid adalah meng-esakan Allah dalam ibadah, sehingga di antara ulama pun mendefinisikan tauhid dengan pengertian tauhid uluhiyyah, maka mungkin kemudian timbul tanda tanya dalam benak kita. Mengapa para ulama mendefiniskan tauhid dengan tauhid uluhiyyah?Bukankah masih ada dua tauhid lagi, yaitu tauhid rububiyyah dan tauhid asma’ wa shifat? Mengapa dua macam tauhid ini tidak dimasukkan dalam definisi tauhid? Bukankah kedua jenis tauhid ini juga penting?

Pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan beberapa tinjauan berikut ini [1]

Pertama, tujuan para ulama mendefinisikan tauhid dengan tauhid uluhiyyah adalah dalam rangka menekankan betapa pentingnya tauhid uluhiyyah tersebut. Karena tauhid uluhiyyah adalah inti ajaran dakwah yang dibawa oleh seluruh Rasul, mulai dari Nabi Nuh hingga nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan sungguhnya kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu’.” (QS. An-Nahl [16]: 36) 

Bukti lain tentang betapa pentingnya tauhid uluhiyyah adalah bahwa tujuan utama penciptaan jin dan manusia adalah untuk menegakkan tauhid uluhiyyah ini. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)

Mendefinisikan sesuatu dengan menyebutkan salah satu bagian dari sesuatu tersebut yang paling penting juga sering dipakai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara contohnya adalah beliau mendefinisikan haji dengan wukuf di Arafah, padahal masih terdapat bagian dari ibadah haji yang lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْحَجُّ عَرَفَةُ

“Haji adalah (wukuf di) Arafah.” (HR. Ahmad no. 18796. Syaikh Syu’aib Arnauth menyatakan bahwa sanad hadits ini shahih.)

Maksud Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wukuf di Arafah merupakan rukun haji yang paling agung.

Ke dua, sesungguhnya penyelewengan yang sangat banyak terjadi pada manusia sejak zaman dahulu dan akan terus berlanjut hingga sekarang ini adalah kesyirikan dalam masalah uluhiyyah. Kesyirikan yang pertama kali terjadi di muka bumi ini adalah kesyirikan umat Nuh ‘alaihis salaam dalam masalah uluhiyyah. Dan demikianlah kesyirikan tersebut terus berlanjut pada umat-umat yang lain sehingga Allah pun mengutus para Rasul-Nya dengan misi pokok menegakkan tauhid uluhiyyah. Sehingga tauhid inilah yang merupakan titik perseteruan dan permusuhan antara para Rasul dengan umatnya masing-masing dan merupakan titik persimpangan yang memisahkan antara orang-orang beriman dan orang-orang kafir. Dan tema perseteruan ini akan terus berlanjut hingga sekarang dan mungkin akan terus berlanjut hingga hari kiamat. 

Ke tiga, pada hakikatnya, tauhid uluhiyyah telah mencakup tauhid rububiyyah dan tauhid asma’ wa shifat. Oleh karena itu, apabila kita mendefiniskan tauhid dengan tauhid uluhiyyah, maka sebenarnya tauhid rububiyyah dan tauhid asma’ wa shifat telah tercakup dalam definisi tersebut.

Orang yang beribadah kepada Allah Ta’ala saja dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun (tauhid uluhiyyah), maka tentu saja dia telah meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat Yang menciptakan, memberi rizki, menghidupkan, mematikan, dan mengatur alam semesta (tauhid rububiyyah). Karena tidak mungkin dan tidak dapat dibayangkan bahwa seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala semata, namun dia tidak meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat Yang menciptakan, memberi rizki, menghidupkan, mematikan, dan mengatur alam semesta. Di sisi lain, seseorang juga tidak mungkin beribadah kepada Allah, kecuali karena dia meyakini bahwa Allah Ta’ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang sempurna (tauhid asma’ wa shifat).

Dengan penjelasan tersebut, maka jelaslah bagi kita bahwa tauhid uluhiyyah telah mencakup tauhid rububiyyah dan tauhid asma’ wa shifat. Sehingga definisi yang dibuat oleh para ulama tersebut telah mencakup tauhid rububiyyah dan tauhid asma’ wa shifat.

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50669-hakikat-tauhid-adalah-kalimat-laa-ilaaha-illallah-bag-2.html

Pentingnya Memperkuat Tauhid Umat Islam

Para pemikir Islam dalam perkembangan agama Islam berbeda pendapat tentang ajaran ketuhanan. Kiai As’ad sendiri dalam Risalah As’adiyah menganggap tauhid sebagai sesuatu yang sangat penting untuk diperkuat di kalangan umat Islam.

Tauhid harus selalu diajarkan pertama kali kepada manusia dengan sebenar-benarnya. Kewajiban pertama kali atas manusia adalah dengan mengenal Allah dengan penuh keyakinan. Dan setiap orang yang beramal tidak disadari dengan ilmu maka amal nya tidak diterima/ditolak, tulis Kiai As’ad mengutip dari kitab Zubad, dalam muqadimah Risalah at-Tauhid. Dalam kitab tersebut, Kiai As’ad menjelaskan tauhid dengan mengutip dari kitab Risalah al-Qusyairiyyah.

Kiai As’ad mengatakan bahwa tauhid adalah hukum tentang sesuatu yang satu, sedangkan ilmu adalah hukum tentang sesuatu yang satu juga. Menurut Kiai As’ad, tauhid juga bisa diartikan hati yang mendominasi atas yang haq.

Barang siapa yang berkeyakinan atau mengetahui terhadap dalil-dalil bahwasanya Allah adalah tunggal atau pandangan hati mendominasi terhadap yang Haq, sehingga melupakan yang tidak haq (makhluk). Maka, dia adalah orang yang bertauhid.

Sebagai seorang ulama, Kiai As’ad benar-benar menekankan tauhid dalam diri umat Islam. Hal ini juya bisa dilihat di kitab Risalah at-Tauhid. Di awal kitab tersebut, Kiai As’ad langsung menjelaskan tentang sifat dua puluh yang wajib diketahui dan sifat dua puluh yang harus ditentang. Sifat-sifat tersebut harus diketahui secara minimum oleh seorang Islam untuk mengenal Tuhannya.

Kiai As’ad juga pernah mengatakan bahwa segala ilmu yang sebelumnya tidak dijiwai ketauhidan jangan diharap memuaskan hasilnya. Segala ilmu yang hinggap ke lubuk hati seseorang yang kosong tauhidnya, ilmu tersebut malah bisa mencelakakan orang tersebut. Namun, jika tauhidnya sudah melekat, ilmu tersebut akan bermanfaat dan berkah.

Kiai As’ad menilai, kenakalan dan kebrutalan para pelajar juga disebabkan karena sistem pendidikan yang keliru. Pelajaran agama yang diterapkan di sekolah amat minim. Jiwa mereka sangat gersang lantaran ilmu tauhid tidak terpatri di hati mereka. Padahal, tauhid meru pakan fondasi segala sesuatu.

Dengan tauhid, seseorang tidak akan mudah goyah dan tertipu ekstasi keduniawian. Karena itu, Kiai As’ad menganggap tauhid juga sangat penting diajarkan di sekolahsekolah sejak dini.

 

KHAZANAH REPUBLIKA

Hati Tenteram dengan Tauhid

Ketenteraman hati merupakan impian setiap insan, hilangnya rasa duka, rasa sedih, rasa keterpurukan sudah menjadi cita-cita setiap manusia, namun tak semua manusia dapat merasakannya, Allah Ta’ala memberikan semua rasa itu hanya kepada yang Ia inginkan, namun Allah Ta’ala juga memberikan sebuah jalan untuk mendapatkan, jalan itu adalah jalan ketauhidan.

Ikhwati fillah jika kita lihat diri ini sering terpuruk, sering di rundung kesedihan dan kecemasan, ketahuilah itu karena tauhid kita yang lemah, sebab tauhid dalam diri bagai pondasi dalam sebuah bangunan, jika pondasiya lemah maka bangunan pun akan cepat rapuh dan hancur, begitu pula hati seorang muslim jika tauhidnya lemah maka imannya akan cepat rapuh dan hancur.

Di dalam ketauhidan ada penawar untuk kesedihan, di dalam tauhid ada dasar dari setiap kebahagiaan, padanya terdapat tali ikatan antara hamba dan Rabbnya. Rasulullah bersabda,

Musa ‘alaihis salam pernah berkata: “Wahai Rabb-ku! Ajarkan kepadaku sesuatu yang bisa kugunakan untuk berdzikir dan berdoa kepada-Mu.” Allah menjawab: “Katakanlah, wahai Musa: laa ilaaha illallaah.” Musa berkata: “Wahai Rabb-ku! Semua hamba-Mu mengatakan ucapan ini?”. Allah berkata: “Wahai Musa! Seandainya langit yang tujuh beserta seluruh penghuninya selain Aku, demikian pula bumi yang tujuh diletakkan di atas daun timbangan, kemudian laa ilaaha illallaah di atas daun timbangan yang satu, niscaya yang lebih berat adalah timbangan laa ilaaha illallaah” (HR. Ibnu Hibban dan al-Hakim. al-Hakim menyatakan hadits ini sahih).

Nabi Musa ‘Alaih Salam bertanya akan dzikir yang paling baik, dan ia mendapatkan jawaban tauhid. Karena memang tauhid pujian paling tinggi untuk Allah Jalla wa ‘Alla, dan hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.

Bahkan doa yang diajarkan Rasulullah saat dilanda kesedihan adalah

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ الْعَظِيمُ الْحَلِيمُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ رَبُّ السَّمَوَاتِ، وَرَبُّ الْأَرْضِ، وَرَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ

“Tiada sembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah Yang Maha Agung, Maha lembut, Tiada sembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah Rabb Al ‘Arsy Yang Agung, Tiada sembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah Rabbnya langit-langit dan Rabbnya bumi, Rabbnya “Arsy Yang Mulia.”( HR. Bukhari dan Muslim).

Doa yang lain, dari Abu Bakrah radhiallahu’anhu bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “doanya orang yang terkena kesulitan adalah:

اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو فَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ أَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ

Wahai Allah, Rahmat-Mu aku harapkan, maka janganlah sandarkan aku kepada diriku walau sekejap mata, perbaikilah keadaanku seluruhnya, tiada sembahan yang berhak disembah kecuali Engkau” (HR. Abu Daud dan dihasankan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih Abu Daud, no. 3294).

Doa yang lain, dari Anas bin Malik ia berkata, dahulu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika dilanda keresahan beliau membaca,

 يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ

Wahai yang Maha hidup, Maha berdiri sendiri, dengan rahmat-Mu aku meminta pertolongan” (HR. Tirmidzi dan dihasankan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 4777).

Dari doa-doa yang di ajarkan Rasulullah saat di landa keresahan semuanya kembali kepada Tauhid, bersaksi bahwa dirinya adalah hamba dan Allah Rabb tempat bergantung, pertolongan hanya ada dariNya, tiada lagi yang berhak di sembah kecuali Allah, Rabb semesta alam, Rabb ‘Arsyal Adzim.

Namun, bagaimanakah agar Tauhid ini menjadi penawar bagi kesedihan?

Allah ta’ala berfirman,

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ

Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan” (QS. Muhammad: 19).

Yaa, ketahuilah! Berilmulah! Bahwa tiada Tuhan yang berhak di sembah dengan benar melainkan Allah ‘Azza wa Jalla, itulah perintah Allah yang tersirat lewat ayat ini, selalu pertebalah ketauhidan dalam hati. Karena hati tidak akan tenteram kecuali dengan tauhid, dan tauhid tidak akan di dapat kecuali dengan ilmu.

Madinah, 24 Safar 1436
6 Desember 2015

***

Penulis: Muhammad Halid Syar’i

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/27887-hati-tenteram-dengan-tauhid.html

Tauhid dan Rezeki

Pukul lima sore sudah lama berlalu. Maghrib memang masih belum waktunya. Sang artis terkenal itu bergegas menunaikan sholat Ashar. Ada perasaan bersalah yang susah payah ditepisnya. Tapi mau bagaimana lagi? Jadualnya memang padat.

Usai sholat, dia berniat berdoa. Bukan karena ada permohonan khusus, melainkan karena kebiasaan atau refeks saja. Namun ada SMS masuk ke telepon selulernya. Dari managernya. Ada order gede, dan dia diminta segera menemui si Bos. Sekarang, karena tidak ada waktu lagi, dan si Bos sangat sibuk. Sang artis dengan cepat memutuskan untuk membatalkan doanya, menuju kendaraan, dan memacunya. Ia tahu maghrib sudah menjelang. Namun ia memutuskan untuk ‘lihat bagaimana nantilah!’

Di perjalanan, adzan berkumandang. Nuraninya pun menyapa lembut, namun gelisah. Begitu tinggikah penghargaannya kepada si Bos? Sebegitu tingginya sehingga mengalahkan penghargaannya kepada Sang Pemberi Rizki? Demikian gugat sang nurani. Perasaan bersalah mengaliri seluruh jiwanya. Ia tahu, ia harus berubah. Ia juga tahu, ia tidak boleh menunda. Akhirnya ia putuskan, jika bertemu Masjid terdekat ia akan berhenti. Bagaimana janji bertemu si Bos? Biarlah Allah yang mengurus rizkinya. Demikian pikir Sang Artis.

Sang Artis menuturkan pengalaman ini kepada saya, yang mendengarkan dengan ta’zim. Sebenarnya Saya jarang bertemu artis manapun, apalagi artis papan atas. Di sisi lain, Saya sendiri memang tidak pernah berkeinginan untuk bertemu artis manapun.

Namun artis yang satu ini memang berbeda. Ia memiliki semangat untuk membantu syiar keIslaman. Walaupun belum sepenuhnya lepas dari kehidupan glamour, namun keinginannya untuk berbuat sesuatu terhadap Islam memancing simpati Saya.

Akhirnya mereka bertemu. Sang artis bersedia memberikan sedikit tausyiah untuk remaja, dengan bayaran yang nyaris gratis untuk ukuran seorang artis. Dan Sang artis pun menceritakan salah satu pengalaman rohaninya, sebagaimana dikisahkan di awal tulisan ini.

* * * * *

“Sebenarnya kisah Artis tadi adalah salah satu pelajaran tentang ketauhidan”, demikian kata salah seorang Ustadz di Masjid tempat saya tinggal.

“Tauhid? Apakah benar sedalam itu, Ustadz?” tanya saya keheranan.

“Ya, cerita tadi memang kecil dan sederhana, namun hakikatnya sungguh dalam. Cerita tadi adalah salah satu fragment tentang ketauhidan. Betapa tidak. Teori tauhid memang mengajarkan kita untuk meyakini bahwa hanya Allah Yang Maha Pemberi Rizki. Namun implementasi tauhid kita sering kali jauh dari itu.

“Kita masih lebih sering ‘memohon’ kepada atasan atau manusia-manusia lain yang kita anggap dapat mengalirkan rizki kepada kita. Kita juga lebih takut kepada mereka. Juga lebih berharap. Di mata kita, mereka sangat berwibawa dan sangat patut dihormati.

“Untuk itu, kadang-kadang kita rela mengorbankan hal-hal yang sebenarnya prinsip. Menggeser-geser, bahkan meninggalkan sholat, hanya karena harus mengejar deadline tugas yang diberikan oleh si Bos, adalah contoh sederhana namun sering kita temui sehari-hari”, demikian urai Sang Ustadz.

“Gejala lainnya adalah kita jadi sering malas berdoa, karena rasanya ‘kurang konkret’. Jauh lebih konkret bekerja dan ‘memohon’ kepada orang-orang yang ‘memberi’ rizki kepada kita.

“Sholat kita pun jadi kering. Kita tidak sungguh-sungguh merasakan kehadiran Allah di hadapan kita. Karena sebelum sholat kita tidak mempersiapkan jiwa untuk memohon dan meminta. Kita tidak menyiapkan proposal apapun ketika menghadap kepadaNya. Kenapa? Karena kita memang tidak sungguh-sungguh merasa menghadap kepadaNya.

“Bandingkan ketika kita membuat proposal fund raising atau pengumpulan dana kepada donatur atau sponsor. Kita menyiapkan segalanya dengan begitu rapih dan detail. Juga apik dan indah. Itu semua kita lakukan karena besarnya harapan kita terhadap pertolongan calon donatur atau sponsor tersebut. ” Sang Usatdz menjelaskan panjang lebar.

“Kadang-kadang, ketika kantor kita melakukan praktek kecurangan, loyalitas kita kepada kantor atau perusahaan tempat kita bekerja lebih kuat dari pada kepada Allah. ” Tandas Sang Ustadz.

Saya dan beberapa jama’ah lainnya manggut-manggut.

“Tapi bukankah Islam mengajarkan kita untuk bekerja profesional dan sungguh-sungguh?” Salah seorang jamaah mencoba mengklarifikasi.

“Betul sekali. Profesional berarti bekerja sesuai standar dan etika profesi yang bersangkutan. Jika profesinya dokter, bekerjalah sesuai standar dan etika kedokteran. Demikian pula arsitek, teknisi, IT, guru, bahkan mungkin da’i. Dan setahu saya, tak satu profesi pun yang mengajarkan kecurangan dan ketidaketisan”, demikian penjelasan Sang Ustadz.

“Kadang-kadang, saya sengaja menunda waktu sholat, karena pekerjaan belum selesai. Saya merasa lebih profesional jika pekerjaan sudah selesai, baru mengerjakan sholat”, orang tadi masih mencoba menjelaskan argumentasinya.

Sang Ustadz tersenyum. Kemudian menjawab dengan tenang, “Sebenarnya memang tergantung profesinya. Kalau profesi Anda adalah seorang dokter, apalagi dokter bedah, memang tidak bijaksana meninggalkan pasien dengan luka menganga. Walaupun sedapat mungkin kita menjadualkan pembedahan dengan perkiraan tidak melampaui waktu sholat. Namun terkadang hal itu memang sulit dilakukan.

“Ada pula profesi pemadam kebakaran, juga polisi yang sedang dalam operasi menangkap pelaku tindak kriminal. Namun itu semua adalah profesi khusus, sehingga memang perlu perlakuan khusus. Sedangkan yang saya maksud dalam penjelasan di atas adalah profesi yang umum, yaitu orang-orang dengan jadual kerja yang teratur. Jam masuk kantornya jelas, jam istirahatnya pasti, begitu pula jam pulangnya. ”

“Ustadz, adakah contoh lain selain menunda-nunda sholat?” Tanya jama’ah yang lain.

“Ada. Misalnya, enggan membayar zakat, apalagi infaq. Kita tahu, zakat itu sudah jelas ukurannya. Sedangkan infaq itu bebas besarnya. Nah, karena begitu takutnya kita akan kekurangan rizki, kita malas mengeluarkan zakat dan infaq. Tanda bahwa kita malas adalah kita ketika kita tidak menyediakan anggaran khusus atau rutin untuk kedua pos itu.

“Kita tidak begitu yakin dengan janji Allah, bahwa DIA akan mencukupi seluruh kebutuhan kita. Kita takut miskin karena berinfaq.

“Jadi, semuanya kembali berakar kepada ketauhidan”, jelas Sang Ustadz.

“Nah, mulai sekarang, bersegeralah setiap kali ada SMS atau calling dari Allah, ” demikian Sang Ustadz mengakhiri penjelasannya, sambil tersenyum.

 

ERA MUSLIM

Ayo, Belajar Tauhid Dari Tubuh Kita

BANYAK hal besar dan mengagumkan dalam kehidupan ini yang sesungguhnya sering kita lewatkan. Jika kita mau sedikit merenungkan, maka tidak ada sedikitpun hal kecil yang tidak memiliki makna. Seolah-olah mereka hendak mengatakan sesuatu. Sebuah pesan yang hanya bisa ditangkap oleh mereka yang mau memikirkannya.

Jika belajar tentang anatomi tubuh manusia, maka kita akan terheran-heran. Bagaimana mungkin, setiap alur kecil berukuran milimeter sekalipun ternyata memiliki peran yang sangat penting. Tonjolan, lekukan, cekungan, lubang, serta detail detail kecil lainya dalam tulang kita, semua berada dalam posisi yang sangat tepat.

Ada bagian bagian dari tulang tersebut yang kemudian bertemu membentuk persendian, ada yang menjadi tempat perlekatan otot, ada yang ditembusi oleh pembuluh darah dan saraf, ada pula yang membentuk keanekaragaman wajah kita. Semua dikemas dengan begitu rapi dan sangat efisien.

Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana mungkin semua ini terbentuk dengan sendirinya tanpa ada rancangan, jika ada yang membentuk, lalu siapakah yang menciptakan semua struktur luar biasa itu? Sehingga walaupun setiap manusia berasal dari rahim yang berbeda beda, terbentuk dari sel sperma dan ovum yang juga berbeda beda, tetap memiliki pola struktur yang sama dan telah berlangsung selama berjuta juta generasi.

Seandainya tubuh ini membentuk dirinya sendiri dari sebuah proses kebetulan, tentulah akan banyak error yang terjadi.

Ketika kita sedang duduk, bersantai, atau beraktivitas normal, tanpa kita sadari semua keajaiban itu bekerja. Setiap hari, jantung manusia normal berdetak sekitar seratus ribu kali, dengan memompa darah sebanyak 2000 galon, untuk mengalirkannya pada pembuluh darah sepanjang 96561 km jauhnya. Sebuah jarak yang fantastis, bahkan energi yang dihasilkan oleh jantung kita setara dengan energi yang diperlukan untuk menggerakkan sebuah truk sejauh 32 km dan dalam seumur hidup setara dengan menggerakkanya dalam jarak 2 kali bumi bulan. Dan hebatnya semua proses ini sebagian besar manusia tidak pernah menyadarinya.

Kita mungkin juga akan terheran-heran, bahwa di dalam paru paru manusia, terdapat bangunan yang memiliki luas setara dengan lapangan tenis. Tempat itulah yang kita sebut dengan alveolus. Di sana terjadi pertukaran antara oksigen yang masuk dengan karbondioksida yang akan dikeluarkan dari tubuh. Apa yang akan terjadi ketika struktur yang berbentuk mirip buah anggur tersebut mengalami kerusakan atau penyusutan luas permukaan? Tentu proses bernapas akan menjadi lebih sulit, membutuhkan energi yang lebih besar, terkadang perlu bantuan oksigen tambahan hingga mesin ventilator dan di saat itulah kita akan sadar, betapa mahalnya harga bernafas.

Tulang, jantung, dan paru-paru tersebut di atas hanya sebagian kecil dari keajaiban yang terdapat dalam diri manusia. Di balik semua itu, masih terdapat keajaiban yang jauh lebih besar serta rahasia rahasia yang masih belum terungkap. Jika kita melihat tubuh kita lebih dekat lagi, dalam skala mikrometer hingga nanometer maka kita akan menyaksikan kehidupan terkecil yang begitu luar biasa di antara serangkaian besar kehidupan di alam semesta ini. Sel-sel dalam tubuh kita yang kesemuanya berjumlah sekitar 100 triliyun, mereka seolah olah mengerti bahasa satu sama lain.

Sel dalam tubuh kita memiliki bahasa untuk berkomunikasi, melalui molekul-molekul kimia yang berjuta banyaknya. Ketika sel merasa bahwa dirinya sudah terlalu tua dan tidak mampu produktif menjalankan fungsinya, maka dia akan mengeluarkan sinyal melalui molekul kimia yang disebut sitokin untuk memberitahukan pada sel imun untuk membunuhnya agar bisa digantikan dengan sel baru. Ketika sel terinfeksi oleh mikroorganisme patogen maka dia akan berusaha memberitahu sel lain dan meminta sesegera mungkin dihancurkan agar sel lain tidak terinfeksi.

Memasuki lebih dalam di ruang intraseluler atau ruangan di dalam sel, maka kita akan takjub karena kita akan melihat sebuah aktivitas transportasi dan desain tata bangunan yang lebih canggih dari kota manapun di dunia ini. Semua proses terjadi secara ajaib, tanpa perintah, tanpa sadar. Sel kita memproduksi apa yang kita butuhkan, membuang apa yang kita tidak perlukan, memperbaiki apa yang rusak dalam proses yang otomatis.

Semua kunci dari proses-proses yang luar biasa tersebut, terletak pada struktur yang hanya terdiri dari gula, nitrogen, forfor dan karbon yang apabila dirangkai maka kita akan mengenal yang disebut DNA. Dalam dunia genetika, DNA divisualisasikan dalam deretan huruf-huruf yang jumlahnya sekitar enam miliar. Huruf-huruf ini apabila dirangkai menjadi satu untaian panjang kalimat, maka panjangnya sekitar delapan kali perjalanan bumi bulan bolak-balik. Dari struktur itulah, dihasilkan jutaan proses dalam tubuh manusia, dari struktur itu pula ada bermilyar ragam wajah manusia.

Semua proses dalam tubuh manusia bersifat integratif dan saling mempengaruhi, A membuat B untuk menghasilkan C, atau A membuat B untuk memperbanyak A, atau A membuat B yang akan mempengaruhi C, D, E. Ada berjuta kemungkinan yang bisa terjadi pada reaksi kimia di dalam tubuh manusia setiap detik, setiap hari. Meskipun demikian, hanya kecil sekali kesalahan yang mungkin dilakukan.

Bagaimana mungkin semua itu terjadi? Tentulah pasti ada yang mengatur semua itu. Dan pasti, Dia yang sama dengan yang mengatur kecepatan pengembangan alam semesta sehingga setiap bintang tidak saling bertabrakan. Dia yang sama dengan yang mengatur komposisi zat dalam atmosfer bumi sehingga ada kehidupan. Dia yang sama dengan yang menciptakan semua hal dari yang awalnya tidak ada menjadi ada. Semua tunduk pada perintah-Nya. Dialah Allah Robbul alamin.

Dia berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya.” (QS At-Tin : 4)

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Alquran itu benar..” (QS Fussilat : 53)

Jika di dalam diri manusia saja, semua tunduk taat kepada Allah, maka mengapa hati manusia menjadi keras untuk beriman kepadanya .

“Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk secara khusyuk mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan (kepada mereka), dan janganlah mereka (berlaku) seperti orang-orang yang telah menerima kitab sebelum itu, kemudian mereka melalui masa yang panjang sehingga hati mereka menjadi keras. Dan banyak di antara mereka menjadi orang-orang fasik” (QS Al Hadiid: 16). [dakwatuna.com]

 

MOZAIK

Tauhid sebagai Prinsip Agama Islam

TAUHID merupakan prinsip agama. Allah Subhanahu Wa Ta’ala tak menerima agama, baik dari orang pertama maupun terakhir di dunia ini, tanpa prinsip tersebut. Karena itu,  Allah SWT mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya.

Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu, ‘Adakah Kami menentukan ilah-ilah untuk disembah, kecuali Allah Yang Maha Pemurah’?” (Az-Zukruf: 45)

Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwasanya tidak ada Ilah (yang hak) kecuali Aku, maka sembahlah Aku.” (Al-Anbiyaa’:25)

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thagut itu,’ maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya.” (An-Nahl: 36)

Allah SWT juga menyebutkan bahwa setiap rasul memulai dakwahnya dengan seruan kepada kaumnya: “Sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Ilah kecuali Dia. Kamu hanyalah mengada-adakan saja.” (Huud: 50)

“Aku dibangkitkan dengan membawa pedang menjelang hari kiamat supaya Allah saja yang disembah tanpa disekutukan, rezekiku diletakkan di bawah panahku dan kehinaan diberikan kepada orang yang menentang perintahku. Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka itu bagian dari mereka. ” (Ahmad, Abu Ya’la, Ath-Thabarani)

Orang-orang musyrik yang diceritakan al-Qur’an tentang kemusyrikannya, dihalalkan darah dan hartanya oleh Rasul Shalallaahu ‘Alahi Wasallam— mengakui bahwa Allah sajalah yang menciptakan langit dan bumi.

Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’ Tentu mereka akan menjawab, ‘Allah.’ Katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah’; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Luqman:25)

Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?’ Tentu mereka akan menjawab, ‘Allah,’ maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar).” (Al-‘Ankabuut: 61)

Katakanlah, “Kepunyaan siapakah bumi, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab, “Kepunyaan Allah.” Katakanlah, “Maka apakah kamu tidak ingat?” Katakanlah, “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab, “Kepunyaan Allah.” Katakanlah, “Maka apakah kamu tidak bertakwa?” Katakanlah, “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab, “Kepunyaan Allah.” Katakanlah, “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?” Sebenarnya Kami telah membawa kebenaran kepada mereka, dan sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta. Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada ilah (yang lain) beserta-Nya, kalau ada ilah besertaNya, masing-masing ilah itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari ilah-ilah itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu.” (Al Mu’minuun: 84-91)

Orang-orang musyrik yang menjadikan tuhan-tuhan lain, selain Allah juga mengakui bahwa tuhan mereka itu diciptakan. Mereka telah menjadikan tuhan-tuhan tersebut sebagai pemberi syafaat dan pendekat kepada Allah dengan menyembahnya.

Dan mereka menyembah selain Allah, suatu yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak pula kemanfaatan, dan mereka berkata, “Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah.” Katakanlah, “Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya di langit dan tidak (pula) di bumi” Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (itu)”. (Yunus: 18)

Kitab (al-Qur’an) diturunkan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (al-Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (Az-Zumar: 1-3)

Mereka juga dalam talbiyahnya mengucapkan: “Aku sambut panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu, kecuali sekutu yang Engkau miliki, yang Engkau kuasai berikut apa-apa yang ia miliki.”

 

Kemudian Allah SWT juga berfirman:

Dia membuat perumpamaan untuk kamu dari dirimu sendiri. Apakah ada di antara hamba-sahaya yang dimiliki oleh tangan kananmu, sekutu bagimu dalam (memiliki) rezeki yang telah Kami berikan kepadamu. Maka kamu sama dengan mereka dalam (hak menggunakan) rezeki itu, kamu takut kepada mereka sebagaimana kamu takut kepada dirimu sendiri? Demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat bagi kaum yang berakal. Tetapi orang-orang yang zalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan. Maka siapakah yang akan menunjuki orang yang telah disesatkan Allah? Dan tiadalah bagi mereka seorang penolong pun. Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Ar-Ruum: 28-32)

Allah menjelaskan dalam ayat di atas dengan perumpamaan bahwa seseorang tidak pantas menjadikan hamba sahayanya sebagai sekutu bagi dirinya. Firman-Nya,

‘Apakah ada di antara hamba sahaya yang dimiliki oleh tangan kananmu, sekutu bagimu dalam (memiliki) rezeki yang telah Kami berikan kepadamu; maka kamu sama dengan mereka dalam (hak menggunakan) rezeki itu. Setiap kalian akan takut kepada mereka seperti sebagian kalian takut kepada sebagian yang lain. Jika setiap kalian tak rela hamba sahayanya menjadi sekutu baginya, bagaimana kalian rela ia menjadi sekutu diri kalian? Hal ini sama tak relanya jika salah seorang teman orang-orang musyrik itu mendengar perkataan mereka ketika itu, “Ia mempunyai beberapa anak perempuan.”

Allah SWT menggambarkan sifat mereka:

Dan mereka menetapkan bagi Allah apa yang mereka sendiri membencinya, dan lidah mereka mengucapkan kedustaan, yaitu bahwa sesungguhnya merekalah yang akan mendapat kebaikan. Tiadalah diragukan bahwa nerakalah bagi mereka, dan sesungguhnya mereka segera dimasukkan (ke dalamnya).” (An-Nahl: 62)

Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, merah padamlah mukanya dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya hidup-hidup. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk; dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi; dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (An-Nahl: 58-60).

 

*/Ibnu Taimiyah, dari bukunya Tawassul dan Wasilah.

HIDAYATULLAH

Mengenal Tauhid (Mengesakan Tuhan) dan Syirik (Menyekutukan Tuhan)

Apabila anda belum membaca artikel sebelumnya tentang Konsep Tuhan yang Benar, diharapkan anda membaca artikel tersebut terlebih dahulu agar lebih memahami artikel tentang tauhid ini. Silahkan klik disini untuk membaca artikel tentang Konsep Tuhan yang Benar.

Definisi dan Kategori:

Islam meyakini ‘Tauhid’ yang tidak hanya berarti beriman pada Tuhan yang Maha Esa, melainkan lebih dari itu. Tauhid secara harfiah berarti ‘bersaksi akan ke-Maha Esa-an Tuhan’ yang berarti ‘menegaskan sifat Maha Esa dari Tuhan’ dan berasal dari kata kerja bahasa Arab ‘Wahhada’ yang berarti ‘mengesakan.”

Tauhid dapat dibagi menjadi tiga kategori.

  1. Tauhid ar-Rububiyah
  2. Tauhid al-Asmaa-was-Sifaat
  3. Tauhid al-ibadah.
  1. Tauhid ar-Rububiyah (mengesakan Tuhan)

Kategori pertama adalah ‘Tauhid ar-Rububiyah’. ‘Rububiyah’ berasal dari kata “Rabb” yang berarti Tuhan Yang Maha Memelihara Alam Semesta beserta isinya. Oleh karena itu Tauhid ar-Rububiyah berarti bersaksi akan keesaan Tuhan Semesta Alam. Kategori ini berdasarkan konsep bahwa hanya Allah (swt) yang menciptakan segala hal dari ketiadaan. Dia adalah satu-satunya Pencipta, Pemelihara, dan Penjaga alam semesta beserta isinya, tanpa memerlukan apapun dari alam semesta atau mengharapkan sesuatu dari alam semesta.

  1. Tauhid al-Asmaa was-Sifaat (mengesakan nama dan sifat-sifat Allah):

Kategori kedua adalah ‘Tauhid al Asmaa was Sifaat’ yang berarti mengesakan nama dan sifat-sifat Allah. Kategori ini dibagi menjadi lima aspek:

(i) Definisi tentang Allah harus merujuk sebagaimana yang dijelaskan oleh-Nya dan Nabi Muhammad s.a.w. Definisi tentang Allah harus sesuai dengan penjelasan oleh-Nya sendiri dan Rasulullah s.a.w tanpa memberikan makna lain kepada nama dan sifat-sifat-Nya selain yang dijelaskan oleh-Nya dan Nabi Muhammad s.a.w.

(ii) Allah harus disebut sebagaimana Ia menyebut diri-Nya

Allah tidak boleh diberikan nama-nama atau sifat-sifat baru. Misalnya Allah tidak dapat diberi nama Al-Ghaadib (Yang Maha Memurkai), meskipun dalam beberapa ayat dalam Al-Qur’an dan hadist, Allah murka. Hal ini dikarenakan Allah dan Nabi Muhammad tidak pernah menggunakan nama ini.

(iii) Allah disebut tanpa memberikan-Nya sifat dari makhluk-Nya

Ketika menyebut Tuhan, kita jangan sampai memberikannya sifat-sifat dari ciptaan-Nya. Misalnya dalam Bibel, Tuhan digambarkan menyesali pikiran buruk-Nya sama seperti yang manusia lakukan ketika menyadari kesalahan mereka. Hal ini benar-benar bertentangan dengan prinsip Tauhid. Tuhan tidak pernah melakukan kesalahan apapun dan oleh karenanya Dia tidak pernah menyesal.

Poin penting berkenaan dengan sifat-sifat Allah ada dalam Al Qur’an di Surat Ash-Syuura

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” [Al-Qur’an 42:11]

Mendengar dan melihat adalah kemampuan yang juga dimiliki manusia. Namun, berkenaan dengan Tuhan, maka penglihatan dan pendengaran Tuhan tidak sama dengan makhluk ciptaan-Nya. Kita tidak bisa membayngkan dan membandingkan penglihatan dan pendengaran Tuhan dalam hal kesempurnaan, tidak seperti manusia yang membutuhkan telinga dan mata, dimana kemampuan penglihatan dan pedengaran manusia juga terbatas dalam hal ruang dan waktu.

(iv) Makhluk Tuhan tidak boleh memakai sifat-sifat-Nya

Menyebut/memanggil manusia dengan sifat-sifat Tuhan juga bertentangan dengan prinsip Tauhid. Misalnya, menyebut seseorang dengan sebutan “dia yang tidak memiliki awal atau akhir (abadi).”

(v) Nama Tuhan tidak dapat diberikan kepada makhluk-Nya

Beberapa nama Tuhan dalam bentuk terbatas, seperti ‘Rauf’ atau ‘Rahim’ adalah nama-nama yang diizinkan untuk manusia sebagaimana Allah telah menggunakan nama-nama itu untuk para nabi; tapi ‘Ar-Rauf’ (Maha Shaleh) dan ‘Ar-Rahim’ (Maha Penyayang) hanya dapat digunakan jika diawali dengan ‘Abdu’ yang berarti ‘hamba.’ Dengan demikian menamai seseorang ‘Abdur-Rauf’ atau ‘Abdur- Raheem’ dibolehkan dalam Islam. Demikian pula ‘Abdur-Rasul’ (hamba Rasulullah) atau ‘Abdun-Nabi’ (hamba Nabi) tidak boleh digunakan.

  1. Tauhid al-ibadah (mengesakan Tuhan dalam Ibadah):

(i) Definisi dan makna ‘Ibadaah’:

‘Tauhid al-ibadah’ berarti mengesakan Tuhan dalam ibadah. Ibaadah berasal dari kata Arab ‘Abd’ yang berarti hamba. Jadi ibadah berarti penghambaan dan penyembahan.

(ii) Ketiga kategori tersebut harus diikuti secara bersamaan.

Hanya mengimani dua kategori Tauhid tanpa menerapkan Tauhid-al-ibadah tidaklah berguna. Al-Qur’an memberikan contoh tentang orang-orang musyrik (penyembah berhala) di zaman Rasulullah yang hanya mengimani dua kategori Tauhid. Hal ini difirmankan dalam Al Qur’an:

Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah “Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?[Al-Qur’an 10:31]

Pesan yang serupa diulangi dalam Surat Az-Zukhruf dalam Al-Qur’an:

Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?[Al-Qur’an 43:87]

Orang-orang kafir Mekkah mengetahui bahwa Allah (swt) adalah Pencipta, Pemberi rezeki, dan Penguasa mereka. Namun mereka bukan Muslim karena mereka juga menyembah berhala selain Allah. Allah (swt) menyebut mereka sebagai ‘kuffar’ (orang-orang kafir) dan ‘musyrikin’ (penyembah berhala dan orang-orang yang menyekutukan Allah).

Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” [Al-Qur’an 12: 106]

Jadi ‘Tauhid al-ibadah’ atau mengesakan Tuhan dalam ibadah adalah aspek yang paling penting dari Tauhid. Hanya Allah (swt) saja yang layak disembah dan hanya Dia yang dapat memberikan manfaat kepada manusia yang menyembah-Nya.

Syirik

  1. Definisi Syirik: menghilangkan salah satu kategori tauhid yang dijelaskan di atas atau tidak memenuhi persyaratan Tauhid disebut sebagai ‘syirik’. ‘Syirik’ secara harfiah berarti menyekutukan. Dalam istilah Islam, syirik berarti menyekutukan Allah dan hal ini setara dengan menyembah berhala.
  1. Syirik adalah dosa terbesar yang tidak akan diampuni Allah:

Al-Qur’an menggambarkan dosa terbesar dalam Surat An-Nisaa’:

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [Al-Qur’an 4:48]

Pesan yang sama diulangi dalam ayat berikut:

Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” [Al-Qur’an 4: 116]

  1. syirik menjerumuskan manusia ke dalam api neraka:

Allah berfirman dalam Surat Al-Maidah:

Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam (Yesus putra Maria)”, padahal Al Masih (Yesus) sendiri berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu”. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allahq, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” [Al-Qur’an 5:72]

  1. Ibadah dan Ketaatan kepada selain Allah:

Allah berfirman dalam Surat Ali ‘Imran:

Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” [Al-Qur’an 3:64]

Allah berfirman:

Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [Al-Qur’an 31:27]

Analisis tentang Konsep Tuhan dalam berbagai Agama menunjukkan bahwa monoteisme merupakan bagian penting dari setiap agama-agama besar di dunia. Namun, sangat disayangkan sebagian dari penganut agama ini melanggar ajaran kitab suci mereka sendiri dan telah menyekutukan Tuhan.

Dengan menganalisis kitab-kitab suci dari berbagai agama, saya menemukan bahwa semua kitab suci dari berbagai agama menasihati umat manusia untuk beriman dan tunduk kepada Tuhan Yang Maha Esa. Semua kitab suci berbagai agama mengutuk orang yang menyekutukan Tuhan, atau menyembah Tuhan dalam bentuk gambar/berhala. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.” [Al-Qur’an 22:73]

Dasar dari agama adalah menerima petunjuk dari Ilahi. Menolak petunjuk dari Tuhan dapat berakibat fatal bagi manusia. Sementara kita telah membuat langkah besar dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, kedamaian yang sejati masih hilang dari diri kita. Semua paham ‘isme’ seperti ateisme, liberalisme, sosialisme, komunisme, dan lain-lain telah gagal menyediakan kedamaian yang sejati tersebut.

Kitab suci dari berbagai agama-agama besar menasihati umat manusia untuk mengikuti apa yang baik dan menghindari yang jahat. Semua kitab suci mengingatkan umat manusia yang baik akan diberikan hadiah oleh Tuhan dan kejahatan tidak akan luput dari hukuman Tuhan!

Pertanyaan yang perlu kita tanyakan adalah, kitab suci dari agama manakah yang memberikan kita ‘instruksi manual’ yang benar yang kita butuhkan untuk mengatur kehidupan individu dan kolektif kita? Kitab suci agama manakah yang mengajarkan kita tentang keesaan Tuhan dengan benar? Jawabannya adalah agama Islam seperti yang sudah dijelaskan di atas dan pada artikel sebelumnya tentang Konsep Tuhan yang benar dan artikel Kenapa Hanya Boleh Memilih Islam Sementara Semua Agama Mengajarkan Kebenaran?

Saya berharap dan berdoa agar Allah menuntun kita semua menuju Kebenaran (Aamiin).

 

 

 

Ditulis oleh: Dr. Zakir Naik dari irf.net

sumber:Lampu Islam