Hukum Memberikan Harta Zakat untuk Membangun Masjid

Penjelasan Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:

Apakah hukum memberikan (mendistribusikan) zakat untuk membangun masjid? Dan siapakah yang disebut dengan fakir?

Jawaban:

Zakat tidak boleh diberikan, kecuali kepada delapan golongan yang telah Allah Ta’ala sebutkan saja. Hal ini karena Allah Ta’ala menyebutkan (delapan golongan) tersebut dengan diksi pembatasan (yaitu dengan kata “innamaa” [hanyalah]). Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk di jalan Allah, dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 60)

(Berdasarkan ayat tersebut), maka tidak boleh mendistribusikan zakat untuk membangun masjid, mengajarkan ilmu, dan sejenisnya. Adapun kalau sedekah yang hukumnya sunah, maka yang afdal (utama) adalah untuk perkara yang paling bermanfaat.

Adapun yang dimaksud dengan orang fakir yang berhak untuk mendapatkan zakat adalah mereka yang tidak memiliki harta (penghasilan) yang cukup untuk (menghidupi) dirinya atau keluarga (kerabat) yang dia tanggung nafkahnya selama satu tahun sesuai dengan kondisi zaman dan tempat tertentu. Maka terkadang 1.000 riyal di suatu zaman dan tempat sudah bisa dianggap sebagai orang kaya. Akan tetapi, di suatu zaman dan tempat yang lain tidak dianggap sebagai orang kaya karena tingginya kebutuhan, atau sejenisnya.

Pertanyaan:

Apakah mendistribusikan zakat untuk membangun masjid itu sesuai dengan firman Allah Ta’ala berkaitan dengan orang-orang yang berhak menerima zakat,

وَفِي سَبِيلِ اللّهِ

dan untuk di jalan Allah … ” (QS. At-Taubah: 60)?

Jawaban:

Sesungguhnya, membangun masjid itu tidak termasuk dalam kandungan firman Allah Ta’ala,

وَفِي سَبِيلِ اللّهِ

dan untuk di jalan Allah … ” (QS. At-Taubah: 60)

Karena, sebagaimana penjelasan ahli tafsir rahimahumullah terhadap ayat tersebut, bahwa yang dimaksud dengan “fii sabiilillah” adalah “jihad fii sabiilillah”. Seandainya kita katakan bahwa yang dimaksud dengan fii sabiilillah (dalam ayat tersebut) adalah seluruh bentuk kebaikan (apapun bentuknya, termasuk membangun masjid, pent.), maka konsekuensinya tidak ada faidah adanya diksi pembatasan dalam firman Allah Ta’ala,

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir … ” (QS. At-Taubah: 60)

Maksud diksi pembatasan (hashr) -sebagaimana yang telah diketahui- adalah menetapkan hukum (hanya) untuk perkara yang disebutkan dan meniadakan hukum dari perkara yang tidak disebutkan. Oleh karena itu, jika kita katakan bahwa (yang dimaksud dengan),

وَفِي سَبِيلِ اللّهِ

dan untuk di jalan Allah … ” adalah semua jalan kebaikan, maka ayat tersebut tidak ada faidahnya meskipun diawali dengan kata (إِنَّمَا) yang menunjukkan adanya pembatasan.

Selain itu, jika mendistribusikan zakat untuk membangun masjid dan juga untuk jalan kebaikan yang lain itu diperbolehkan, maka hal itu akan meniadakan kebaikan (untuk orang miskin yang berhak menerima zakat, pent.). Hal ini karena banyak manusia memiliki jiwa yang pelit (kikir atau bakhil). Jika mereka melihat bahwa (ada jalan untuk) membangun masjid, dan juga jalan kebaikan lain, dan diperbolehkan bagi mereka untuk mendistribusikan zakat ke jalan tersebut, mereka pasti akan lebih memilih jalan tersebut (daripada mereka berikan kepada fakir miskin yang membutuhkan, pent.). Konsekuensinya, orang fakir dan miskin akan selalu berada dalam kesusahan.

***

@Kantor Mikro, 4 Jumadil ula 1443/ 9 Desember 2021

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/70986-hukum-memberikan-harta-zakat-untuk-membangun-masjid.html

Pesan Rasulullah Bagi Orang yang tak Mau Zakat

Setelah dua tahun hijrah dari Makkah ke Madinah, Rasulullah Saw baru menerapkan sistem zakat secara lembaga. Diawali dengan diwajibkannya zakat fitrah pada bulan Ramadhan dan diwajibkannya zakat maal pada berikutnya.

Mengapa sistem zakat secara lembaga baru dimulai pada tahun kedua hijrah?

Alasannya, pada tahun pertama perekonomian Muslim masih dalam tahap pemulihan pascaperistiwa hijrah dari Makkah. Kaum Muhajirin tidak membawa banyak harta ketika hijrah sebab aset kekayaan mereka berada di Makkah. Alhasil ketika di Madinah mereka pun memulai kembali untuk membangun perekonomian mereka.

Ibnu Katsir menerangkan zakat yang dilaksanakan setelah tahun kedua hijrah adalah kewajiban yang didirikan secara khusus, sedangkan zakat yang dilaksanakan waktu di Makkah adalah kewajiban yang dilakukan oleh sukarela perseorangan semata.

Pada tahun kedua hijrah, perekonomian umat muslim sudah  lebih baik. Kaum Muhajirin sudah mulai memiliki ketahanan ekonomi. Rasulullah memberikan kebijakan wajib zakat. Rasulullah mengutus Mu’adz bin Jabal untuk menjadi Qadhi dan amil zakat di Yaman.

Rasulullah juga mengangkat dan menginstruksikan kepada beberapa sahabat seperti Umar bin Khattab dan Ibn Qais ‘Ubadah Ibn Shamit sebagai amil zakat di tingkat daerah. Sebagai kepala negara, perintah Rasul langsung dijalankan oleh seluruh umat muslim dengan sigap.

Rasulullah mensosialisasikan aturan-aturan dasar, bentuk harta yang wajib dizakatkan, siapa saja yang harus membayar zakat, serta siapa saja yang menerima zakat.

Zakat yang diterapkan Nabi Muhammad mengalami perubahan sifat. Saat di Makkah, zakat dilakukan hanya bersifat sukarela. Setelah hijrah, zakat menjadi kewajiban sosial yang dilembagakan, dan harus dipenuhi oleh setiap muslim yang memiliki harta dan telah mencapai nisab.

Ini beberapa konsekuensi bagi orang-orang yang tidak mau mengeluarkan zakat.

1. Siksa bagi orang yang tak mau berzakat

قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ أَتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَلَمْ يُؤَدِّزَكَاتَهُ مُثِّلَ  لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًاأَقْرَعَ لَهُ زَبِيْبَتَانِ يُطَوِّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ يَأْخُذُبِلَهْزَمَتَيْهِ يَعْنِى شِدْقَيْهِ ثُمَّ يَقُوْلُ اَنَا مَالُكَ اَنَا كَنْزُكَ ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْاَيَةَ  : وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ – اِلْاَيَة.

Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa diberi harta oleh Allah, dan tidak mengeluarkan zakatnya, niscaya pada hari kiamat ia diserupakan dengan ular botak yang mampunyai dua taring. Ular itu melilitnya pada hari kiamat kemudian menangkap dengan kedua rahangnya, lalu ia berkata, “Aku adalah harta bendamu, aku adalah barang simpananmu” Kemudian rasul membaca ayat (yang artinya), “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan hartanya (HR. Bukhari dan Muslim).

2. Ekonomi seseorang akan hancur bila tak mau berzakat

قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :  مَاتَلِفَ مَالٌ فِى بَرٍّ وَلَا بَحْرٍ اِلَّا بَحْرٍبِحَسْبِ الزَّكَاةِ.

Rasulullah Saw bersabda: Tidak jadi rusak harta di daratan dan di lautan kecuali dengan menahan zakat (HR. Thabarani).

3. Neraka bagi orang tak mau zakat

قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَانِعُ الزَّكَاةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِى النَّارِ.

Rasulullah Saw bersabda: Orang yang menahan zakat, pada hari kiamat bertempat di neraka  (HR. Thabarani)

4. Belum diterima puasanya orang yang belum berzakat

قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  : صَوْمُ شَهْرِرَمَضَانَ مُعَلَّقٌ بَيْنَ السَّمَاءِوَالْأَرْضِ وَلَا يُرْفَعُ اِلَّا بِزَكَاةِ الْفِطْرِ.

Rasulullah Saw bersabda: Puasa Ramadhan itu digantungkan antara langit dan bumi, dan tidak diangkat puasa itu kecuali dengan zakat fitrah  (HR. Abu Hafsh bin Syahin)

IHRAM

Jual Rumah, Berapa Zakatnya?

Bismillahirrahmanirrahim

Setelah rumah laku terjual, apakah ada kewajiban zakat dari hasil penjualan rumah?

Agar tidak salah paham, ada dua hal yang harus kita bedakan:

1. Menjual rumah

2. Jualan rumah.

Menjual rumah artinya dia bukan sebagai pedagang properti. Atau rumah yang dia beli sejak awal tidak diniatkan untuk diperdagangkan.

Adapun jualan rumah, dia menjadikan aktivitas menjual rumah sebagai profesi. Atau dia menggeluti bisnis properti. Dia meniatkan rumah yang dibeli untuk diperdagangkan.

Untuk yang pertama, yakni menjual rumah, ini tidak ada zakatnya. Adapun yang kedua, yakni jualan rumah, maka ada kewajiban zakatnya. Karena di antara syarat barang menjadi wajib dizakati adalah ketika barang diniatkan untuk diperdagangkan.

Sebagaimana penjelasan Syekh As-Samarqandi rahimahullah di dalam
Uyun Al-Masail,

وقَالَ هشام سألت محمداً : عن رجل اشترى خادماً للخدمة وهو ينوي إن أصاب ربحاً باع ، هل فيها الزكاة؟  قَالَ: لا، هكذا شِرَى الناس إذا أصابوا ربحاً باعوه

Hisyam berkata, “Aku bertanya ke Muhammad (yakni Ibnu Hasan as-Syaibani) tentang seorang yang membeli hamba sahaya untuk dijadikan pembantu, dan dia berniat jika ada keuntungan, akan dijual. Apakah ada zakatnya?” Muhammad bin Hasan menjawab, “Tidak ada zakat. Seperti itu pula ketika ada orang beli, lalu jika nanti menguntungkan akan dijual.” (Uyun Al-Masail fi Furu’ Al-Hanafiyah, as-Samarqandi, hlm. 33)

Demikian pula penjelasan Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin,

لو كان عند إنسان عقارات لا يريد التجارة بها، ولكن لو أُعطي ثمناً كثيراً باعها فإنها لا تكون عروض تجارة ؛ لأنه لم ينوها للتجارة ، وكل إنسان إذا أتاه ثمن كثير فيما بيده، فالغالب أنه سيبيع ولو بيته ، أو سيارته ، أو ما أشبه ذلك

Bila seorang mempunyai tanah, bukan untuk diperdagangkan, namun jika nanti ditawar dengan harga tinggi, akan dia jual. Harta seperti ini bukan tergolong barang dagangan. Karena dia tidak berniat untuk diperdagangkan. Dan semua orang yang memiliki barang, jika barangnya ditawar dengan harga yang tinggi, biasanya dia akan menjualnya, sampaipun rumahnya, mobilnya, atau barang semisalnya.” (As-Syarh Al-Mumthi’, 6/142).

Zakat jualan rumah mengikuti ketentuan zakat perdagangan.

Berikut cara menghitungnya :

– Ketahui nishob (batasan kadar wajib zakat) pada zakat perdagangan.

Nishobnya adalah seperti nishob emas. Nishob emas = 85 gram. Jika ingin diuangkan, dikalikan dengan harga beli emas di saat jatuh tempo wajib zakat.

Contohnya:

Harga emas per gramnya saat ini Rp. 870.263,- / gram (sumber : indogold.id)

Maka, nishobnya adalah:

Rp. 870.263,- × 85 gram = Rp. 73.972.355,-

– Cara mengetahui apakah bisnis tanah sudah masuk wajib zakat perdagangan dan cara menghitung zakatnya adalah :

Menghitung nilai barang ditambah keuntungan bersih dikurangi utang dan biaya operasional. Nilai barang adalah harga barang di saat jatuh tempo zakat.

Jika hasil perhitungan tersebut sudah mencapai nishob, maka dikeluarkan 2,5 % dari jumlah tersebut.

Misal:

Ada seorang penjual tanah. Di akhir tahun, ia memiliki nilai aset dagang sebesar 2 milyar rupiah. Lalu keuntungan bersih sebesar 1 milyar rupiah. Hutang dan biaya operasional sebesar 500 juta rupiah. Maka, cara menghitung zakatnya adalah :

2 milyar + 1 milyar – 500 juta = 2,5 milyar

Lalu 2,5 milyar × 2,5 % = 62.500.000

Maka, zakat yang dikeluarkan sebesar Rp. 62.500.000.

Penulis: Ahmad Anshori, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/68889-jual-rumah-berapa-zakatnya.html

Serial Fikih Zakat (Bag. 12): Zakat Pesangon

Definisi  dan Karakteristik Pesangon

Pesangon dapat didefinsikan sebagai:

حق مالي أوجبه ولي الأمر بشروط محددة، على رب العمل لصالح العامل عند انتهاء خدمته، وذلك بأن يدفع رب العمل للعامل مبلغاً نقدياً دفعة واحدة، ويكون مقدارها بحسب مدة الخدمة وسبب انتهائها والراتب الشهري الأخير للعامل

“Hak finansial yang diwajibkan oleh pemerintah (ulil amri) dengan syarat-syarat tertentu kepada pemberi kerja demi kepentingan pekerja ketika masa kerja berakhir; dimana pemberi kerja menyerahkan sejumlah uang kepada pekerja sekaligus dengan besaran yang disesuaikan dengan masa kerja, alasan berakhirnya masa kerja, gaji bulanan terakhir dari pekerja.” [Nawazil az-Zakat Dirasah Fiqhiyah Ta’shiliyah li Mustajaddat az-Zakathlm. 269]

Berdasarkan definisi di atas, dapat diketahui bahwa terdapat sejumlah aturan yang ditetapkan oleh setiap pemerintah di masing-masing negara untuk ketentuan pesangon yang menjadikannya memiliki sejumlah karakteristik, yaitu:

  1. Pesangon merupakan kewajiban yang diwajibkan pemerintah kepada pemberi kerja demi kepentingan pekerja (karyawan/pegawai). Di mana keharusan dan karakter pesangon tidaklah tunduk terhadap kehendak kedua belah pihak dalam kontrak. [Qadha al-‘Ummal 782]
  2. Besaran pesangon ditentukan berdasarkan alasan berakhirnya masa kerja, lama masa kerja, dan besar gaji bulanan terakhir yang diterima oleh pekerja sebelum berakhirnya masa kerja. [Tasyri’ al-‘Amal wa at-Taminat al-Ijtima’iyah 246; Qawa’id Inha Khidmah al-Muwazhzhaf al-‘Am fi al-Qanun al-Kuwaitiy hlm. 190]
  3. Waktu penerimaan pesangon adalah di saat masa kerja karyawan berakhir, sehingga karyawan tidak boleh menuntut pesangon sebelum masa kerja berakhir, demikian juga ia tidak boleh menolaknya. [Tasyri’ al-‘Amal wa at-Taminat al-Ijtima’iyah 245]. Karakteristik ini sangat penting karena berpengaruh dalam menentukan apakah uang pesangon wajib dizakati atau tidak [Nawazil Zakat hlm. 11].
  4. Tidak disyaratkan melakukan pemotongan gaji karyawan ketika masih aktif bekerja untuk alokasi dana pesangon sebagaimana halnya dengan program pensiun. [Qawa’id Inha Khidmah al-Muwazhzhaf al-‘Am fi al-Qanun al-Kuwaitiy 188].
  5. Karyawan adalah pihak yang berhak memperoleh pesangon ketika masa kerjanya berakhir semasa ia hidup. Namun, jika masa kerjanya berakhir disebabkan kematian, maka yang berhak memperoleh pesangon adalah orang yang berhak dinafkahi oleh karyawan tersebut seperti istri dan anaknya, tanpa terikat dengan kaidah-kaidah pewarisan yang diatur dalam agama. [at-Tasyri’at al-Ijtima’iyah 381; Tasyri’ al-‘Amal wa at-Taminat al-Ijtima’iyah hlm. 247].
  6. Pemberi kerja berhak menahan pesangon dalam beberapa kondisi yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan seperti karyawan melakukan pelanggaran yang menyebabkan kerugian material yang cukup besar bagi pemberi kerja. [at-Tasyri’at al-Ijtima’iyah 384]

Perspektif Fikih terhadap Pesangon

Hukum zakat pesangon bergantung pada perspektif fikih terhadap pesangon itu sendiri. Terkait hal tersebut, para peneliti memiliki ragam pendapat dalam menentukan status pesangon.

Pendapat pertama

Pesangon merupakan upah non-tunai. Alasannya adalah pemberi kerja, baik lembaga pemerintahan atau pun perusahaan, mencatat besaran pesangon berikut besaran gaji, ketika mengadakan kontrak dengan karyawan. Hal itu menunjukkan bahwa pesangon adalah upah non-tunai.

Pendapat kedua

Pesangon merupakan pertanggungan terhadap hal-hal yang dikhawatirkan ketika berakhirnya kontrak. Hal ini berarti karyawan ini membutuhkan sejumlah uang ketika berakhirnya masa kerja. Ulama yang mendukung pendapat ini beralasan bahwa pesangon memiliki karakteristik pertanggungan, dimana terdapat pihak penanggung, pihak yang ditanggung, besaran pertanggungan, dan hasil.

Pendapat ketiga

Pesangon adalah donasi atau komiten untuk berdonasi.

Pendapat keempat

Pesangon merupakan hak finansial yang secara khusus ditetapkan untuk pekerja. Ulama yang mendukung pendapat ini beralasan bahwa salah satu hak pemerintah pusat adalah menciptakan sejumlah hak dan kewajiban bagi masyarakat jika terdapat maslahat. Di antara contohnya adalah penetapan kewajiban untuk membayar pesangon bagi pekerja, mengingat pihak pekerja umumnya menjadi pihak yang memiliki posisi tawar lebih rendah dalam suatu kontrak. Pemberi kerja boleh jadi menyodorkan berbagai persyaratan yang hanya dapat disetujui tanpa ditolak oleh pekerja karena ia sangat membutuhkan pekerjaan. Maka, penetapan kewajiban pembayaran pesangon atas pemberi kerja merupakan bentuk perlindungan terhadap hak pekerja. Juga, pemenuhan terhadap kepentingan pekerja dan kepentingan pemberi kerja sekaligus, karena bisa meningkatkan kenyamanan dan kesungguhan dalam bekerja. [Nawazil az-Zakah Dirasah Fiqhiyah Ta’shiliyah li Mustajaddat az-Zakah hlm. 274].

Pendapat terakhir inilah yang lebih tepat dalam menggambarkan hakikat pesangon, yaitu pesangon adalah hak finansial yang diwajibkan oleh penguasa, baik kepada Bait al-Maal al-Muslimin, jika pekerja berstatus sebagai pegawai pemerintahan. Atau hak finansial itu diwajibkan kepada pemberi kerja seperti pemilik perusahaan atau yayasan, jika pekerja berstatus non-pegawai pemerintahan. Pendapat ini dikuatkan oleh alasan bahwa salah satu tujuan syari’at adalah mempertahankan hak pihak yang lemah dan melindungi mereka dari kezaliman pihak yang kuat. Di antara cara untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan menetapkan hak finansial bagi pekerja untuk dibayarkan oleh pemberi kerja. Kewajiban ini merupakan kewenangan pemerintah karena dalam ketetapan tersebut terdapat upaya mewujudkan keadilan. Semangat inilah yang ditekankan oleh Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam terkait riwayat dengan sanadnya berupa risalah yang ditulis oleh ‘Umar bin Abdil Aziz kepada para pegawainya di Bashrah. Umar bin Abdil Aziz menyampaikan,

وانظر من قبلك من أهل الذمة، قد كبرت سنه وضعفت قوته، وولت عنه المكاسب، فأجر عليه من بيت المال المسلمين ما يصلحه، فلو أن رجلاً من المسلمين كان له مملوك كبرت سنه، وضعفت قوته، وولت عنه المكاسب، كان من الحق عليه أن يقوته حتى يفرق بينهما موت أو عتق، وذلك أنه بلغني أن أمير المؤمنين عمر مر بشيخ من أهل الذمة يسأل على أبواب الناس، فقال: ما أنصفناك إن كنا أخذنا منك الجزية في شبيبتك ثم ضيعناك في كبرك، ثم أجرى عليه في بيت المال ما يصلحه

“Perhatikan ahli dzimmah di wilayahmu, yang telah berusia lanjut, berfisik lemah, dan sulit bekerja mencari nafkah. Berikanlah nafkah secara cuma-cuma kepada mereka dari Bait al-Maal al-Muslimin untuk mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Dengan demikian, apabila salah seorang kaum muslimin memiliki budak yang telah berusia lanjut, berfisik lemah, dan sulit bekerja mencari nafkah, maka ia berkewajiban menanggung kebutuhannya sehari-hari hingga kematian atau status merdeka memisahkan ikatan keduanya. Aku mengetahui riwayat dari Amir al-Mukminin, Umar bin al-Khathab bahwa beliau pernah melewati seorang pria tua renta dari kalangan ahli dzimmah yang mengemis dari satu pintu ke pintu yang lain. Umar berkata kepada pria itu, ‘Kami telah berbuat tidak adil kepada engkau jika kami menarik upeti (jizyah) darimu semasa muda, kemudian menelantarkanmu di masa tua’. Kemudian Umar memberikan nafkah secara cuma-cuma untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pria itu.” [al-Amwal 1/57].

Bagaimana Zakat Pesangon?

Ketika masa kerja berakhir, baik karena pekerja mengundurkan diri, pensiun, atau kematian dan pesangon telah diterima oleh pihak keluarga, lantas bagaimana zakatnya?

Dari karakteristik dan perspektif fikih yang diuraikan di atas, nampak bahwa pekerja memiliki pesangon setelah masa kerja berakhir dan telah menerima pesangon. Maka, ketika masa kerja telah berakhir dan pekerja atau keluarganya telah menerima pesangon itu, di saat itulah haul zakat pesangon dimulai. Zakat tidak ditunaikan/dikeluarkan saat pesangon itu diterima, kecuali jika kita memilih pendapat pertama yang menyatakan bahwa pesangon adalah upah non-tunai yang diserahkan belakangan, sehingga saat menerima pesangon, pekerja berkewajiban langsung menunaikan zakatnya.

Namun, jika kita memilih pendapat keempat, dan pendapat inilah yang terpilih, bahwa pesangon adalah hak finansial yang diwajibkan pemerintah untuk dibayarkan kepada pekerja, atau pesangon adalah komitmen untuk memberikan donasi, maka berdasarkan kedua pendapat tersebut apabila pekerja menerima pesangon setelah masa kerja berakhir, di saat itulah pekerja memulai haul tersendiri untuk pesangon tersebut. Dengan demikian, jika pesangon itu habis terpakai sebelum haul tercapai sempurna, maka ia tidak wajib mengeluarkan zakat dari pesangon tersebut. Namun, jika haul telah tercapai sempurna dan pesangon itu masih dimiliki, maka ada kewajiban zakat pada pesangon itu yang harus ditunaikan.

Hal ini didukung oleh sejumlah alasan berikut:

  1. Pihak yang mengeluarkan pesangon menjelaskan kapan pesangon diterima oleh pekerja, yaitu pekerja tidak berhak menerima pesangon kecuali setelah masa kerjanya berakhir. Jika masa kerja belum berakhir, tentu pekerja belum berhak menerima pesangon. Jika kondisinya demikian, tentu zakat terhadap pesangon hanya dapat ditunaikan setelah haul tercapai sempurna.
  2. Pekerja belum memiliki hak kepemilikan sehingga bisa mengelola dan/atau membelanjakan pesangon itu sebelum masa kerja berakhir. Sebagai contoh, diasumsikan seorang pekerja berhak atas pesangon sebesar Rp50.000.000,- ketika masa kerja berakhir. Dia belum diperkenankan menggunakan pesangon itu untuk membeli sesuatu atau menolaknya. Ini adalah suatu hal yang menunjukkan bahwa pekerja belum memiliki pesangon itu kecuali masa kerja telah berakhir. Di saat itu tiba, maka pesangon pun menjadi milik pekerja dan selanjutnya membutuhkan haul tercapai sempurna agar zakat dikeluarkan dari pesangon tersebut.
  3. Pesangon ini bersifat tidak pasti. Terkadang pekerja tidak memperolehnya mengingat syarat dan aturan yang ditetapkan untuk pesangon. Pekerja boleh jadi melakukan pelanggaran yang mengakibatkan dirinya tidak bisa menerima pesangon.

Pesangon termasuk Maal Mustafad

Berdasarkan hal di atas, apakah pesangon perlu digabungkan dengan harta sejenis yang dimiliki oleh pekerja atau memiliki haul tersendiri? Menurut pendapat terpilih, zakat pesangon memiliki haul tersendiri, sehingga zakat pesangon ditunaikan setelah diterima dan haulnya tercapai sempurna (dimiliki selama setahun). Hal ini mengingat pesangon termasuk ke dalam kategori maal mustafad yang bukan berupa keuntungan perdagangan atau hasil ternak, namun sejenis dengan harta yang telah ada, di mana maal mustafad dengan kepemilikan yang baru tidaklah dimiliki dengan mengembangkan harta yang telah dimilikinya, sehingga tidak perlu digabungkan dengan haul harta pokok (lihat https://muslim.or.id/60688-serial-fiqh-zakat-bag-11-zakat-gaji-bulanan.html).

Demikian yang dapat disampaikan. Wallahu ta’ala a’lam.

Sumber:

  1. Nawaazil az-Zakat, Prof. Dr. Khalid ibn Aliy al-Musyaiqih.
  2. Nawazil az-Zakat Dirasah Fiqhiyah Ta-shiliyah li Mustajaddat az-Zakat, Dr. Abdullah ibn Manshur al-Ghufailiy.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/66428-serial-fiqh-zakat-bag-12-zakat-pesangon.html

Fatwa Ulama: Hukum Memberikan Zakat kepada Saudara Kandung

Fatwa Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr

Pertanyaan:

Apakah saya boleh memberi zakat kepada saudara kandung saya?

Jawaban:

Saudara kandung boleh diberi zakat apabila dia termasuk orang fakir. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa kerabat memiliki hak dalam harta selain dari zakat. Apabila harta Anda sedikit sehingga zakat yang Anda keluarkan pun sedikit, kemudian tidak memungkinkan untuk Anda memberi sebagian harta Anda (selain zakat) kepada kerabat tersebut, maka berikanlah zakat kepada dia. Bahkan mereka (kerabat) lebih utama untuk diberi zakat daripada selainnya.

Adapun jika harta Anda banyak, maka bagi kerabat ada hak-hak lain selain zakat. Janganlah seseorang menjadikan zakat sebagai tameng (alasan) untuk tidak memberikan hartanya (selain zakat) kepada kerabat. Sebagian manusia ada yang berlepas diri dari hak-hak yang mesti dia tunaikan, dengan alasan sudah memberi zakat. Mereka mengatakan, “Zakat itu pasti dikeluarkan. Apabila saya tidak berikan zakat kepada mereka, maka terpaksa akan memberikan mereka harta lain (nafkah) selain zakat. Namun jika saya hanya memberikan mereka zakat, maka harta saya akan tetap awet”. Seperti ini tidak boleh.

Tidak boleh seseorang menjadikan zakat sebagai perisai untuk hartanya. Ini semisal dengan orang yang memiliki piutang pada seseorang yang kesusahan membayar hutang. Kemudian dia anggap piutangnya tersebut sebagai zakat. Ia menghutangi orang-orang fakir dengan menganggap itu sebagai zakat yang akan dibayarkan kepada mereka. Ini juga tidak boleh.

Kesimpulannya, kerabat memiliki hak lain selain dari zakat. Apabila hartanya banyak, maka hendaknya dia memberi sebagian hartanya sebagai nafkah kepada kerabatnya dan tidak menjadikan zakat sebagai alasan untuk menjaga hartanya tetap awet.

Tidak diperbolehkan juga untuk seseorang untuk memotong takaran zakatnya dari piutangnya dari orang fakir. Contohnya dia berkata, “Kamu (orang fakir) punya hutang kepadaku sebesar 1000 riyal, padahal zakatnya sebesar 500 riyal. Aku sudah potong untukmu 500 riyal, jadi hutangmu tersisa 500 riyal”. Karena ini maknanya, dia mengambil pelunasan hutangnya dari zakat. Seharusnya, dia memberikan sebagian hartanya kepada orang-orang fakir dan orang-orang miskin, dan bukan menjadikan zakat sebagai pengganti hutangnya.

[Selesai]

Mufti:

Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr hafizhahullahu Ta’ala

(Ahli Hadis, Faqih, Guru di Masjid Nabawi Asy-Syarif. Rektor Universitas Islam Madinah [1384-1399 H])

Link Fatwa: http://iswy.co/e40k1

***

Penerjemah: Muhammad Fadhli, ST.

Artikel: Muslim.or.id

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/65727-fatwa-ulama-hukum-memberikan-zakat-kepada-saudara-kandung.html

Agar Harta Zakat Bertransformasi Menjadi Alokasi Produktif

Berikut penjelasan agar harta zakat bertransformasi jadi alokasi produktif, bukan sekadar seremonial semata.

Syahdan, zakat merupakan rukun Islam. Saban muslim yang mampu, berkewajiban untuk menunaikan zakat. Zakat ini didistribusikan bagi pelbagai golongan yang berhak menerimanya. Dalam Q.S at Taubah Allah berfirman;

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَآءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Artinya; Sesungguhnya zakat hanya untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (muallaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Dan Allah Maha mengetahui, Maha bijaksana.

Ibadah zakat merupakan ajaran Islam yang erat kaitannya dengan dimensi sosial-ekonomi. Pasalnya, dalam praktiknya, zakat digunakan sebagai medium untuk menolong  masyarakat mengalami kesulitan sosial-ekonomi. Zakat berperan sebagai penjamin perlindungan sosial. Sejatinya, itulah peran yang ingin di sasar zakat.

Namun dalam fakta lain di lapangan tak menunjukkan, angka orang miskin dan fakir masih relatif tinggi. Lantas muncul soal, apakah ini karena masyarakat muslim yang kaya, enggan mengeluarkan zakat? Atau sebaliknya, distribusi dan alokasi pengelolaan zakat yang kurang efektif dan tak tepat sasaran?

Pendapat pertama, bisa saja terjadi. Namun, penulis tak akan membahas masalah itu di sini. Nanti akan ada pembahasan tersendiri. Namun, yang  menarik untuk ditilik adalah persoalan kedua.  Distribusi dan alokasi produktif harta zakat.

Dalam sebuah hadis Nabi, dikisahkan seorang sahabat bernama Muadz bin Jabal diutus Nabi ke negeri Yaman. Hadis  yang bersumber dari riwayat Bukhari dan Muslim menceritakan Rasululullah berpesan pelbagai  hala kepada Muadz, di antaranya adalah memungut zakat dari orang-orang kaya.

  عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ ادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ

Artinya; Dari Ibnu Abbas r.a, sesungguhnya nabi SAW mengutus Muadz r.a, ke Yaman, beliau bersabda, “ajaklah mereka untuk mengakui bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan mengakui bahwa aku adalah utusan Allah. Jika mereka menerima itu, beritahukanlah bahwa Allah Azza Wa Jalla telah mewajibkan bagi mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam. Jika ini telah mereka taati, sampaikanlah bahwa Allah telah mewajibkan zakat pada harta benda mereka yang dipungut dari orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang miskin diantara mereka.

Menurut Profesor KH. Ali Musthafa Yaqub dalam buku Islam Masa Kini, hadis inilah yang menjadi dasar argumen para ulama, bahwa zakat sepenuhnya menjadi hak orang fakir dan sejenisnya. Harta zakat itu diberikan kepada mereka, dan mereka (miskin, fakir dll) memutuskan untuk apa zakat itu dipergunakan. Pasalnya, menurut mereka zakat itu dikembalikan kepada orang-orang yang fakir tersebut.

Pada sisi lain, hadis ini juga dipahami sekelompok orang, bahwa memindahkan harta zakat dari wilayah wajib zakat, ke wilayah lain, tidak diperbolehkan. Kelompok ini berargumen, pasalnya menurut Nabi harta zakat itu dikembalikan pada para fakir dan miskin yang mereka mustahik zakat.

Imbas dari pemahaman hadis secara tekstual ini pun, menurut Profesor KH. Ali Musthafa Yaqub menjadikan zakat  selalu dialokasikan dalam bentuk-bentuk konsumtif. Mustahik zakat diberikan zakat berupa makanan, uang, dan kebutuhan pokoknya.

Akhirnya, zakat pun hanya sebatas aktivitas rutin saban tahun, sementara ia kehilangan peran sebagai penunjang dalam menaikan martabat golongan ekonomi lemah. Yang miskin tetap miskin, meskipun zakat telah disalurkan.  Itulah imbas dari zakat hanya bersifat konsumtif.

Untuk itu kemudian, Profesor KH. Musthafa Yaqub mengusulkan alternatif penyaluran zakat dalam bentuk produktif. Terlebih penyaluran zakat Mal. Pasalnya, zakat mal yang wajib dizakati itu memiliki illat (kausalitas dominan), yaitu al nama’ (dapat berkembang atau dikembangkan). Ini merupakan pertanda, bahwa harta zakat tak akan dapat berkembang bila hanya dialokasikan padahal yang konsumtif belaka.

Dalam rangka menunjang alokasi produkti harta zakat itu, maka harta harta zakat itu bisa disalurkan dalam bentuk investasi (istitsmar), agar mustahik zakat dan harta zakat lebih berkembang.

Si mustahik zakat misalnya mempunyai keahlian berwiraswasta, ia tidak saja diberi harta zakat dalam bentuk alat-alat yang diperlukan untuk berwiraswasta, lebih dari itu, ia juga dapat diberikan modal dari harta zakat itu agar ia dapat mengembangkan usahanya.

Dalam pengertian ini, zakat telah bertransformasi, dari sekadar konsumtif beralih pada alokasi tepat sasaran. Si mustahik zakat, tak sekadar diberikan uang atau makanan pokok belaka. Ia juga dibina dan diberikan modal untuk melanjutkan usahanya bila ia  memiliki bakat dalam dagang. Si petani dibelikan bibit dan modal, agar ia mampu memanen hasil yang maksimal.

Apakah ini bertentangan dengan ajaran Islam? Apakah ini menyalahi fiqih Islam? Apakah zakat model begini dibenarkan dalam Islam? Pasalnya, banyak yang tak setuju dalam pemahaman tersebut. Golongan ini terjebak dalam tekstualitas hadis, lantas mengabaikan kontekstualitas zakat itu sendiri.

Menurut Imam Nawawi dalam kitab al Majmu’ Syarh al Muhadzab, Jilid VI, apabila fakir dan miskin (mustahik zakat) orang yang sudah biasa bekerja— mempunyai keterampilan—, maka harta zakat yang diberikan kepadanya untuk modal yang bisa ia pergunakan untuk bekerja atau membeli pelbagai alat yang menunjang kinerjanya. Sekiranya, dengan modal dan alat itu, kelak hasil kerjanya bisa mencukupi kebutuhan hidupnya.

Berikut kutipan Imam Nawawi dalam al Majmu’ Syarh al Muhadzab, Jilid VI, halaman 194;

ال اصحابنا فان كان عادته الاحترف اعطي ما يشتري به حرفته او آلات حرفته  قلت قيمة ذلك ام كثرت  ويكون قدره بحيث يحصل له من ريحه ما يفى بكفايته غالبا تقريبا

Artinya; Ashab (penerus Imam Syafi’i) mengatakan apabila si mustahik zakat (faqir dan miskin dll) telah mempunyai profesi (biasa bekerja dan memiliki kemampuan), maka ia diberikan zakat untuk tambahan modal atau membeli alat-alat pekerjaannya, aku berkata; baik itu harga yang biasa (murah) atau mahal. Dan adapun ukurannya ialah sekiranya dengan keuntungan dari pekerjaannya dapat mencukupi pelbagai kebutuhan hidupnya secara layak.

Pada sisi lain, Syekh Al Bajuri dalam Kitab Hasyiyah al Bajuri, Jilid I, mengatakan pemerintah juga dapat membelikan ladang/sawah untuk faqir dan miskin dari harta zakat. Ini apabila si mustahik zakat tak mempunyai kemampuan atau keterampilan. Akan tetapi bila si fakir dan miskin mempunyai keterampilan, maka ia diberikan harta zakat yang dapat dipakai untuk membeli alat alat keterampilan itu.

Misalnya, orang-orang miskin dan fakir mempunyai keterampilan untuk berdagang, maka ia diberikan modal untuk berdagang. Orang yang memiliki keterampilan bertani, maka ia diberikan modal untuk bercocok tanam. Kelak, keuntungan dari zakat itu bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak.

Para ulama klasik dan kontemporer sejatinya telah memunculkan ide terkait alokasi harta zakat produktif. Ini merupakan agar zakat lebih terasa dampaknya bagi kaum miskin dan fakir yang membutuhkan. Dan diharapkan alokasi zakat produktif mampu mengangkat martabatnya. Lebih dari itu, agar zakat tak sekadar konsumtif belaka.

Demikian penjelasan terkait agar harta zakat bertransformasi jadi alokasi produktif. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Pengamat: Negara Pas Dukung Gerakan Zakat

Sangat pas jika Pemerintah campur tangan soal zakat

Peran negara sebagai pendukung gerakan zakat mendapat dukungan positif dari berbagai pihak. Pengamat Ekonomi Syariah, Greget Kalla Buana menyampaikan zakat adalah instrumen keuangan syariah yang punya andil dalam sisi sosial kemasyarakatan.

“Zakat menjadi ibadah yang bersifat sosial, maka sangat pas jika Pemerintah campur tangan,” katanya pada Republika, Jumat (16/4).

Greget menilai dukungan pemerintah langsung oleh Presiden RI, Joko Widodo menjadi satu tindakan persuasif yang inovatif. Karena pemerintah juga punya kewajiban dalam mencari solusi pengentasan kemiskinan yang dapat dilakukan oleh zakat.

Zakat adalah bentuk ibadah wajib yang jika tidak ditunaikan maka ada pihak lain yang tidak terpenuhi haknya. Mustahik atau penerima zakat akan menghadapi kesulitan jika tidak mendapatkan zakat atau redistribusi kekayaan.

“Zakat bukan hanya ibadah hubungan dengan Allah SWT, seperti shalat, tapi ada hubungan sosialnya, jadi negara pas untuk turut andil,” katanya.

Greget menilai peran negara juga bisa diperluas dari Gerakan Cinta Zakat dengan penerapan pemotongan pajak bagi yang sudah membayar zakat. Muslim yang sudah bayar zakat maka pendapatan kena pajaknya bisa berkurang.

Misal seseorang berpendapatan Rp 10 juta membayar zakat dan memperoleh bukti menunaikan zakat. Maka pendapatan kena pajaknya adalah pendapatan dikurang nilai zakat.

Menurutnya, hal tersebut akan positif dalam meningkatkan penghimpunan zakat yang dibantu negara. Ia mendukung pula upaya pemotongan gaji secara langsung untuk berzakat bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang sudah wajib zakat.
 
“Dimulai dari PNS/ASN, kemudian nanti bisa perusahaan-perusahaan swasta dimana Lembaga Amil Zakat (LAZ) bisa mendirikan Unit Pengumpul Zakat (UPZ) di sana,” katanya.

Dengan demikian, maka penghimpunan zakat bisa lebih optimal dan sistematis. Mengingat selama ini, pengumpulan zakat tidak pernah mencapai 100 persen. Padahal menurut riset Pew Research Centre pada tahun 2012, sebanyak 98 persen responden penduduk Muslim Indonesia mengaku menunaikan zakat. Namun, realisasi penghimpunan masih di bawah lima persen.

KHAZANAH REPUBLIKA

Terry Putri Senang Kemajuan Teknologi Permudah Bayar Zakat

Artis dan pembawa acara Terry Putri merasa senang karena kemajuan teknologi mempermudah segala lini kehidupan, termasuk soal urusan membayar zakat.”Ibadah sebenarnya mudah, jadi ukuran melakukan ibadah itu mudah dan tidak menyulitkan,” kata Terry dalam webinar, Kamis (22/4).

Ia merasa senang ada Gerakan Cinta Zakat dari pemerintah untuk mendorong partisipasi masyarakat menunaikan zakat, infak, dan sedekah (ZIS). Masyarakat muslim diharapkan menyerahkan zakat, infak serta sedekah melalui lembaga amil zakat resmi yang akan dimanfaatkan bagi kesejahteraan penerima zakat.

Masyarakat juga diajak untuk memanfaatkan kanal pembayaran digital sehingga kewajiban berzakat bisa dilakukan tanpa keluar rumah. Hanya dengan memanfaatkan koneksi internet, setiap orang bisa membayar zakat dan meminimalisasi kontak dengan orang lain sehingga bisa menekan risiko penyebaran virus corona.

Terry juga berusaha ikut berpartisipasi dalam sosialisasi pembayaran zakat secara digital agar orang-orang yang hanya mengetahui cara berzakat secara konvensional bisa beralih ke opsi yang lebih praktis.

IHRAM

Perbanyak Zakat, Infak dan Sedekah Saat Ramadhan

Umat Islam akan memasuki bulan Ramadhan yang kemungkinan masih dalam situasi pandemi Covid-19. Selama masa pandemi Covid-19 ini banyak masyarakat menghadapi kesulitan ekonomi akibat terdampak pandemi Covid-19.

Sehubungan dengan itu, Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengimbau untuk memperbanyak zakat, infak dan sedekah selama Ramadhan. Imbauan ini termaktub dalam Edaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 03/EDR/1.0/E/2021 tentang Tuntunan Ibadah Ramadhan 1442 H/ 2021 M Dalam Kondisi Darurat Covid-19 sesuai Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid. 

“Memperbanyak zakat, infak dan sedekah serta memaksimalkan penyalurannya untuk pencegahan dan penanggulangan wabah Covid-19. Hal ini selaras dengan spirit dari Alquran dan hadis,” kata Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Mohammad Mas’udi dalam Edaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 03/EDR/1.0/E/2021 yang diterima Republika, Senin (29/3).

Edaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 03/EDR/1.0/E/2021 ini mengutip ayat Alquran dan hadis yang menyeru umat manusia untuk melaksanakan zakat, infak dan sedekah.

وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ ۖ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

. . . Barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya, dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya. (QS Saba: 39)

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS Al Baqarah: 261)

Rasulullah adalah orang yang paling dermawan, dan kedermawanan itu semakin tampak pada bulan Ramadhan ketika malaikat Jibril menemuinya (HR. al-Bukhari dan Muslim). 

IHRAM

Jangan Ragu Sedekah, Ini Sejumlah Manfaatnya Menurut UAS

Sedekah mempunyai sejumlah manfaat yang kembali kepada pelakunya

Dalam Islam yang disebut orang yang menang adalah orang yang selamat dari sifat bakhil. 

Menurut Ustadz Abdul Somad, keutamaan-keutamaan mensyukuri nikmat dengan cara bersedekah. Di antaranya yakni orang yang yang bersedekah akan mudah dikabulkan doanya oleh Allah SWT. Sebagaimana riwayat pemuda soleh yang terbebas setelah terkurung dalam gua. 

Pemuda itu terbebas setelah berdoa dengan menyebutkan amal sedekah yang pernah dilakukannya. Dari keterangan itu, menurut UAS  bahwa boleh bagi seorang Muslim memanjatkan doa dengan menyebut amal sedekah yang pernah dilakukannya. 

Selain itu UAS menjelaskan bahwa amal sedekah dapat membebaskan seseorang dari berbagai kesulitan atau mempermudah segala urusan yang dihadapi. Sebab itu sangat mulia bahi seseorang yang dapat bersedekah dengan membebaskan utang-utang Muslim yang sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk melunasinya.  

UAS menjelaskan keutamaan sedekah lainnya yakni menolak datangnya kematian dengan cara yang buruk. Sedekah juga dapat memadamkan kemurkaan Allah dan menjadi sarana membuka pintu surga.

“Karena itu anak-anak kita latih sedekah sejak kecil, seumur hidup dia akan ingat. Ingat hidup kita singkat, tetapi sedekah panjang, sedekah jariyah,” sebagaimana dikutip dari dokumentasi Harian Republika. 

KHAZANAH REPUBLIKA